Distribusi Spasial dan Temporal Urban Heat Island Wilayah Bogor

(1)

DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL

URBAN HEAT ISLAND

WILAYAH BOGOR

ADHITYA NOVIANTO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

ABSTRACT

ADHITYA NOVIANTO. Spatial and Temporal Distribution of the Urban Heat Island in Bogor Region. Supervised by SONNI SETIAWAN and SOBRI EFFENDY.

The activities which is centered in the urban or industrial areas form a typical microclimate characteristic that is the urban heat island. In general, UHI refers to increase of the air temperature, but it can also refer to the relative heat surface or sub-surface material that have a higher temperature than the temperature surround it. In this study analysis is conducted by using remote sensing data that has advantages in the provision of spatial data with a wide coverage area. The determination of spatial and temporal distributions of UHI Bogor region use Terra MODIS L1B raster image data with channel 31 and channel 32 through extraction surface temperature components. The raster image uses two raster image data (day and night) in a month of July in the year 2000 until 2011. The results of this study indicate that Bogor area at the day time have an average surface temperature of 26.8 °C, while at the night time an average surface temperature of 19.4 oC. During the day time, the surface temperature forms the urban heat island pattern which centered in the city of Bogor. While at the night time, the surface temperature tends to form an increasing surface temperature gradient towards to the city of Depok until to the city of Jakarta. At the day time, the city of Bogor gives the intensity of UHI greater than at night time. During the daytime the intensity of UHI which are concentrated in the city of Bogor has an average value of 2.1 °C at the distance of 7 km and 3.6 °C at the distance of 14 km. While at the night time the intensity of UHI has an average value of 0.3 °C at the distance of 7 km and 1.2 °C at the distance of 14 km.


(3)

ABSTRAK

ADHITYA NOVIANTO. Distribusi Spasial dan Temporal Urban Heat Island Wilayah Bogor. Dibimbing oleh SONNI SETIAWAN and SOBRI EFFENDY.

Aktivitas yang terpusat di suatu perkotaan atau wilayah industri membentuk karakteristik iklim mikro yang khas yaitu pulau panas perkotaan (urban heat island). Secara umum, UHI mengacu pada pertambahan suhu udara, tetapi juga bisa mengacu pada panas relatif permukaan atau material sub permukaan yang memiliki suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu sekitar. Dalam studi ini analisis dilakukan dengan menggunakan data pengindraan jauh yang memiliki kelebihan dalam penyediaan data spasial dengan cakupan wilayah yang luas. Penentuan distribusi spasial dan temporal UHI wilayah Bogor dilakukan dengan menggunakan data citra Terra MODIS L1B pada kanal 31 dan kanal 32 melalui ekstraksi komponen suhu permukaan. Data citra yang digunakan yaitu dua data citra satelit (siang dan malam) di bulan Juli pada tahun 2000 hingga 2011. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wilayah Bogor pada siang hari memiliki suhu permukaan rata-rata sebesar 26.8 oC, sedangkan pada malam hari suhu permukaan rata-rata sebesar 19.4 oC. Pada saat siang hari, suhu permukaan membentuk pola urban heat island yang memusat di Kota Bogor. Pada saat malam hari, suhu permukaan cenderung membentuk gradien suhu permukaan yang meningkat menuju Kota Depok hingga Kota Jakarta. Pada siang hari Kota Bogor memberikan intensitas UHI yang lebih besar dibandingkan pada malam harinya. Pada siang hari intensitas UHI yang memusat di Kota Bogor memiliki nilai rata-rata sebesar 2.1 oC pada jarak 7 km dan 3.6 oC pada jarak 14 km. Pada malam hari nilai intensitas UHI rata-rata sebesar 0.3 oC pada jarak 7 km dan 1.2 oC pada jarak 14 km.


(4)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam

bentuk apa pun tanpa izin IPB


(5)

DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL

URBAN HEAT ISLAND

WILAYAH BOGOR

ADHITYA NOVIANTO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(6)

Judul Skripsi : Distribusi Spasial dan Temporal

Urban Heat Island

Wilayah

Bogor

Nama

: Adhitya Novianto

NIM

: G24080066

Menyetujui,

Pembimbing I

Sonni Setiawan, M.Si

NIP. 19760116 200604 1 006

Pembimbing II

Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si

NIP. 19641124 199003 1 001

Mengetahui,

Ketua Departeman Geofisika dan Meteorologi

Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S

NIP. 19600305 198703 2 002

Tanggal Lulus :


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur kepada Allah SWT penulis ucapkan atas segala

Rahmat, Hidayah, dan Karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat

menyelesaikan karya ilmiah dengan judul: Distribusi Spasial Dan Temporal

Urban Heat

Island

Wilayah Bogor. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat kelulusan di

program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian, Bogor.

Dalam penyusunan skripsi dan pelaksanaan penelitian tidak terlepas dari bantuan

berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih

kepada :

1

Bapak Sonni Setiawan, M.Si. dan Bapak Dr. Sobri Effendy, M.Si. dari Departemen

Geofisika dan Meteorologi selaku pembimbing yang memberikan saran dan

bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.

2

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi beserta seluruh dosen dan karyawan

atas bantuan selama mengikuti pendidikan.

3

Bapak Sutardi, Ibu Sri Murni dan Fery Hermawan selaku keluarga atas doa restu

yang senantiasa diberikan.

4

Rizki Fitria dan keluarga yang selalu memberikan doa dan dukungan moral.

5

Faiz, Iput, Nadita, Ferdy, Fida, Fauzan, Pungki, Firman, Taufik, Emod, Yuda, dan

teman-teman yang telah berkontribusi selama penelitian berlangsung.

Penulis menyadari dalam tulisan skripsi ini belum sempurna, sehingga

diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca. Penulis juga

berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi ilmu

pengetahuan serta kepada seluruh pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2013


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 November 1990 di

Jakarta, dari bapak bernama Sutardi dan ibu bernama Sri Murni.

Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD

Negeri Rawamangun 07 Pagi Jakarta Timur pada tahun 2002,

pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 99 Jakarta pada tahun

2005 dan pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 36 Jakarta pada

tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi di Institut

Pertanian Bogor, program studi mayor Meteorologi Terapan,

Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam dan program studi minor Ilmu Komputer.

Selama perkuliahan, penulis ikut berperan aktif dalam organisasi kemahasiswaan.

Beberapa organisasi yang pernah diikuti yaitu, anggota Himpunan Profesi Himagreto,

DPM-FMIPA periode 2010, MPM-KM periode 2010, dan pernah aktif di Unit Kegiatan

Mahasiswa Panahan IPB. Penulis pernah melakukan kegiatan magang di BMKG Pusat

yang berada di Kemayoran, Jakarta. Penulis juga pernah mengikuti Program Kreativitas

Mahasiswa-Gagasan Tertulis dan Program Kreativitas Mahasiswa-Artikel Ilmiah.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si), penulis membuat tugas akhir

dengan judul Distribusi Spasial dan Temporal

Urban Heat Island

Wilayah Bogor

dibawah bimbingan Bapak Sonni Setiawan, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si.


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

II TINJAUAN PUSTAKA ... 1

2.1 Pengindraan Jauh ... 1

2.1.1 Konsep Dasar Pengindraan Jauh ... 1

2.1.1.1 Gelombang Elektromagnetik ... 2

2.1.1.2 Hukum-hukum tentang Radiasi ... 2

2.1.1.3 Sistem Pengindraan Jauh ... 3

2.1.2 Citra MODIS ... 4

2.1.2.1 Koreksi Citra ... 4

2.1.2.2 Koreksi Bow-tie Citra MODIS ... 5

2.2 Suhu Permukaan ... 5

2.3 Urban Heat Island ... 6

2.3.1 Jenis Urban Heat Island ... 6

2.3.2 Karakteristik Spasial dan Temporal Urban Heat Island ... 6

2.3.3 Sebab dan Dampak Urban Heat Island... 7

III METODOLOGI ... 8

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 8

3.2 Data dan Peralatan ... 9

3.3 Metode Penelitian ... 9

3.3.1 Pemilihan Data Citra Satelit ... 9

3.3.2 Proses Pengolahan Data Citra Satelit ... 9

3.3.3 Suhu Permukaan ... 9

3.3.4 Urban Heat Island ... 10

3.3.5 Digital Elevation Model dan Klasifikasi Lahan Wilayah Bogor ... 11

3.4 Asumsi Dasar Penelitian ... 11

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11

4.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian ... 11

4.2 Pengolahan Data Citra MODIS... 13

4.3 Suhu Permukaan ... 13

4.4 Struktur Urban Heat Island ... 16

4.5 Intensitas Urban Heat Island ... 17

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 20

5.1 Kesimpulan ... 20

5.2 Saran ... 20


(10)

DAFTAR TABEL

1 Tutupan lahan wilayah Bogor ... 12 2 Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi hasil ekstraksi suhu permukaan antara

kanal 31 dengan kanal 32 pada (a) siang hari dan (b) malam hari ... 14 3 Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi suhu permukaan hasil ekstraksi citra

dengan suhu udara observasi ... 15 4 Nilai distribusi temporal suhu permukaan hasil ekstraksi citra (siang hari) ... 16 5 Nilai distribusi temporal suhu permukaan hasil ekstraksi citra (malam hari) ... 16


(11)

DAFTAR GAMBAR

1 Komponen utama sistem pengindraan jauh... 2

2 Spektrum elekromagnetik ... 2

3 Intensitas emisi benda hitam (blackbody) pada berbagai suhu (Michaelsen 2010) ... 3

4 Morfologi efek bow-tie (Maier et al. 2004) ... 5

5 Profil suhu udara dalam urban canopy layer (UCL) dan suhu permukaandalam kondisi heat island optimum pada (a) siang hari dan (b) malam hari (Voogt 2002) ... 6

6 Model pola spasial suhu udara kota pada malam hari (Voogt 2002) ... 7

7 Perkembangan umum suhu udara harian perkotaan dan pedesaan (garis tebal) dan intensitas heat island (garis tipis) (Voogt 2002) ... 7

8 Wilayah kajian (Kabupaten Bogor dan Kota Bogor) ... 8

9 Diagram alir metodologi penelitian... 10

10 Peta ketinggian di wilayah Bogor ... 12

11 (a) Data belum terkoreksi dan (b) data terkoreksi, citra MODIS akuisisi 12 Juli 2002 (siang hari) ... 13

12 Hubungan sebaran hasil ekstraksi suhu kecerahan (K) kanal 31 dengan kanal 32 pada citra MODIS tahun 2011 akuisisi 31 Juli 2011 (a) siang hari dan (b) malam hari ... 14

13 Peta lokasi stasiun meteorologi ... 14

14 Analisis regresi suhu permukaan hasil ekstraksi citra akuisisi (a) 23 Juli 2003 dan (b) 26 Juli 2003 dengan suhu udara observasi. ... 15

15 Sebaran jumlah sel citra tahun 2009 (siang hari) ... 16

16 Peta distribusi spasial suhu permukaan rata-rata wilayah Bogor (siang hari) ... 17

17 Peta distribusi spasial suhu permukaan rata-rata wilayah Bogor (malam hari) ... 17

18 Pengambilan data sampel titik suhu permukaan wilayah Bogor ... 18

19 Besar intensitas UHI berjarak 7 km (UHI+7 __ kolom biru) dan 14 km (UHI+14 __kolom merah) pada saat siang hari ... 19

20 Besar intensitas UHI berjarak 7 km (UHI+7 __ kolom biru) dan 14 km (UHI+14 __kolom merah) pada saat malam hari... 19


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Spesifikasi dan dimensi satelit MODIS ... 23

2 Spesifikasi resolusi spektral MODIS ... 23

3 Karakteristik dan kegunaan umum sensor MODIS ... 24

4 Peta tutupan lahan wilayah Bogor ... 25

5 Persentase tutupan lahan wilayah Bogor ... 25

6 Hubungan hasil ekstraksi suhu kecerahan antara kanal 31 dengan kanal 32 pada siang hari (kiri) dan malam hari (kanan) tahun 2000-2003 ... 26

7 Hubungan hasil ekstraksi suhu kecerahan antara kanal 31 dengan kanal 32 pada siang hari (kiri) dan malam hari (kanan) tahun 2004-2007 ... 27

8 Hubungan hasil ekstraksi suhu kecerahan antara kanal 31 dengan kanal 32 pada siang hari (kiri) dan malam hari (kanan) tahun 2008-2011 ... 28

9 Perbandingan suhu permukaan hasil ekstraksi citra MODIS dengan suhu udara hasil observasi (siang hari) ... 29

10 Perbandingan suhu permukaan hasil ekstraksi citra MODIS dengan suhu udara hasil observasi (malam hari) ... 30

11 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2000-2005 (siang hari) ... 31

12 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2006-2011 (siang hari) ... 32

13 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2000-2005 (malam hari) ... 33

14 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2006-2011 (malam hari) ... 34

15 Besar intensitas UHI pada siang hari tahun 2000-2005 ... 35

16 Besar intensitas UHI pada siang hari tahun 2006-2011 ... 36

17 Besar intensitas UHI pada malam hari tahun 2000-2005 ... 37


(13)

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pertambahan penduduk yang diikuti dengan peningkatan luasan ruang terbangun dan jumlah kendaraan bermotor di suatu perkotaan membawa dampak secara tidak langsung terhadap perubahan komponen unsur iklim. Perubahan unsur iklim yang terjadi antara lain seperti suhu, arah dan kecepatan angin, dan kelembaban udara. Dari keempat unsur tersebut, perubahan yang paling dirasakan yaitu peningkatan suhu.

Peningkatan aktivitas yang terpusat di suatu perkotaan atau wilayah industri membentuk karakteristik iklim mikro yang khas. Salah satu karakteristik iklim mikro yang tampak adalah dengan terbentuknya pulau panas (heat island). Pulau panas perkotaan atau biasa disebut urban heat island (UHI) adalah suatu fenomena peningkatan suhu rata-rata di daerah dengan bangunan yang lebih padat dari pada suhu udara terbuka sekitarnya (Atkinson 2003).

Fenomena UHI pada suatu daerah ditandai dengan adanya suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Secara umum, UHI mengacu pada pertambahan suhu udara, tetapi juga bisa mengacu pada panas relatif permukaan atau material sub permukaan. Suhu udara tertinggi biasanya terdapat di pusat kota (urban) atau kawasan industri dan akan menurun secara bertahap ke arah daerah pinggir kota (suburban/rural). Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa heat island berkembang cepat di musim kemarau dan sering terjadi di pusat kota dan kawasan industri. Selain itu intensitas UHI akan jauh berkembang pada siang hari dan akan menyusut pada malam hari (Oke 1997; Voogt 2002).

Pendugaan UHI yang efektif dapat dilakukan dengan kajian observasi suhu udara di perkotaan dan sekitarnya. Contoh kajian UHI seperti yang telah dilakukan oleh Mas’at (2009) dengan pendekatan analisis data stasiun cuaca. Suhu udara di kota Jakarta lebih besar 0.8 oC dibandingkan suhu udara yang berada di pinggiran kota. Namun, untuk mengetahui luasan distribusi suhu permukaan suatu daerah dengan cakupan yang luas dapat juga dilakukan dengan melakukan pemantauan dari data citra satelit. Seperti yang dilakukan Effendy et al. (2006) dalam penelitiannya menganalisis dampak UHI terhadap perubahan indeks kenyamanan (THI) menggunakan data Landsat.

Dalam studi ini dilakukan analisis penentuan distribusi spasial dan temporal UHI wilayah Bogor dengan menggunakan data pengindraan jauh. Menurut Streutker (2003), teknik pengindraan jauh memiliki kelebihan dalam penyediaan data spasial dengan akurasi baik serta cakupan wilayah yang luas, sehingga pemanfaatan teknik pengindraan jauh ini sangat membantu apabila wilayah kajian tidak memiliki stasiun pengamat cuaca yang memadahi. Selain itu, teknik pengindraan jauh dapat menghemat biaya dan waktu, serta menyediakan data yang relatif cepat, mudah dan berkelanjutan. Dengan demikian, penentuan distribusi UHI secara spasial dan temporal yang diperoleh melalui ekstraksi komponen suhu permukaan dapat lebih mudah dilakukan.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

a Mengidentifikasi urban heat island

wilayah Bogor dengan menggunakan data citra satelit

b Membuat suatu analisis pola spasial dan temporal urban heat island wilayah Bogor c Mengestimasi intensitas urban heat island

wilayah Bogor

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengindraan Jauh

Pengindraan jauh (remote sensing) merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai permukaan bumi seperti suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data dari citra yang diperoleh dari jarak jauh dengan menggunakan sensor (Lillesand dan Kiefer 1994). Data yang diperoleh dari pengindraan jauh dapat berbentuk hasil dari variasi daya, gelombang bunyi atau elektromagnetik. Data tersebut dikelola dan akan digunakan untuk kepentingan tertentu.

2.1.1 Konsep Dasar Pengindraan Jauh Konsep pengindraan jauh terdiri atas beberapa komponen dasar yang meliputi sumber energi, atmosfer, target/objek kajian, alur transmisi, dan satelit itu sendiri dengan sensor beserta sistemnya (DeMers dan Michael 2005). Komponen dalam sistem ini bekerja sama untuk mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh objek tersebut.


(14)

Gambar 1 Komponen utama sistem pengindraan jauh 2.1.1.1 Gelombang Elektromagnetik

Gelombang elektromagnetik atau energi elektromagnetik dalam pengindraan jauh merupakan energi yang dipancarkan maupun dipantulkan oleh objek yang direkam oleh sensor satelit. Gelombang elektromagnetik dapat berasal dari matahari (pasif) maupun satelit itu sendiri (aktif). Gelombang ini seperti gelombang atau gerakan partikel yang dapat merambat melalui dan tanpa melalui medium. Energi atau radiasi yang ditranmisikan ini dapat merambat di medium atmosfer bumi maupun di dalam ruang hampa. Gelombang elektromagnetik terdiri dari beberapa spektrum panjang gelombang, mulai dari gelombang pendek sampai gelombang panjang.

Gambar 2 Spektrum elekromagnetik Gelombang elektromagnetik bergerak secara harmonis berbentuk sinusiodal pada suatu kecepatan cahaya, digambarkan dengan persamaan berikut:

……… (1) dimana,

c : kecepatan cahaya (3 x 108 m/s) f : frekuensi gelombang (Hz) λ : panjang gelombang (m)

Umumnya dalam pengindraan jauh, istilah spektrum menunjuk pada bagian tertentu dan sumber energinya seperti spektrum yang sering digunakan yaitu, sinar tampak dan inframerah reflektif, inframerah panas, dan gelombang mikro. Istilah saluran (band) atau kanal (channel) digunakan untuk porsi yang lebih kecil, misalnya pada spektrum sinar tampak memiliki kanal atau

band biru, hijau, dan merah.

2.1.1.2 Hukum-hukum tentang Radiasi Sifat radiasi elektromagnetik mudah diuraikan dengan menggunakan teori gelombang namun lebih mudah diuraikan dengan menggunakan partikel karena interaksinya dengan objek dapat mudah diterangkan. Hukum Planck memberikan dasar mengenai energi elektromagnetik yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa paket atau kuanta. Teori ini secara khusus digunakan untuk menjelaskan sebaran intensitas radiasi yang dipancarkan oleh benda hitam. Selain itu teori ini juga menjelaskan efek fotoelektrik yang menyimpulkan bahwa energi cahaya datang dalam bentuk kuanta yang disebut foton. Besarnya energi dalam satu kuanta tergantung pada frekuensi dan panjang gelombang radiasinya, sesuai dengan persamaan:

……… (2) dimana,

E : energi kuantum (J)

h : tetapan Planck (6.626x10-34 J/s) f : frekuensi (Hz)

Apabila persamaan di atas digabungkan dengan persamaan gelombang maka menjadi:

Berdasarkan persamaan di atas maka energi kuantum berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Semakin panjang panjang gelombang maka semakin rendah tenaga kuantumnya dan sebaliknya.

Semua benda di permukaan bumi merupakan sumber radiasi walaupun besar dan komposisi spektralnya berbeda dengan radiasi matahari. Oleh karena itu semua benda pada suhu di atas nol Kelvin memancarkan radiasi elektromagnetik secara terus menerus. Besarnya energi radiasi suatu objek di permukaan bumi merupakan fungsi suhu permukaan objek tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh Hukum Stefan Boltzman yaitu:

………(4) dimana,

W : fluks energi radiasi yang dipancarkan oleh permukaan objek setiap detik per satuan luas (W m-2)

σ : tetapan Stefan Boltzman (5.56697 x 10-8 W m-2 K-4) T : suhu absolut objek (K)


(15)

Hukum ini berlaku untuk sumber energi sebagai benda hitam sempurna (blackbody) yaitu benda yang akan menyerap tenaga yang diterimanya dari segala sudut penerimaan dan memancarkannya kembali ke segala arah dengan seluruh panjang gelombang yang ada. Fakta di alam, hampir semua benda tidak memiliki sifat seperti benda hitam sempurna yang ada hanya mendekati sifat tersebut. Oleh karena itu setiap energi yang dipancarkan suatu objek di permukaan bumi tidak tergantung pada suhu absolutnya, tetapi tergantung pada daya pancarnya sehingga jumlah energi yang dipancarkan merupakan fungsi suhu dan akan meningkat dengan adanya peningkatan suhu. Hal ini menyebabkan jumlah energi yang dipancarkan suatu objek bervariasi dengan suhunya dan didasarkan pada panjang gelombangnya.

Gambar 3 Intensitas emisi benda hitam (blackbody) pada berbagai suhu (Michaelsen 2010)

Pada kurva di atas memperlihatkan distribusi radiasi untuk benda hitam sempurna pada berbagai suhu. Kurva tersebut menunjukkan adanya pergeseran puncak distribusi radiasi benda hitam ke arah panjang gelombang yang makin pendek apabila suhu naik yang menyebabkan intensitas radiasi yang dipancarkan juga naik. Panjang gelombang yang dominan atau panjang gelombang yang mencapai radiasi maksimum berkaitan dengan suhunya. Hubungan antara pancaran maksimum objek, panjang gelombang, dan suhu dinyatakan dengan hukum pergeseran Wien dengan persamaan:

Berdasarkan persamaan di tersebut, dengan suhu mutlak matahari 6000 K maka akan didapatkan nilai panjang gelombang maksimum radiasi matahari yang mampu memberikan pancaran puncak maksimum terjadi pada panjang gelombang 0.55 µm. Nilai tersebut merupakan nilai tengah panjang gelombang untuk cahaya tampak. Permukaan bumi dengan suhu permukaan sebesar 300 K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9.7 µm. Oleh karena itu, pengindraan jauh termal banyak dilakukan pada kisaran panjang gelombang infra merah yaitu antara 8 µm sampai 14 µm.

2.1.1.3 Sistem Pengindraan Jauh

Seluruh sistem pengindraan jauh mutlak memerlukan sumber energi. Sumber energi dapat berupa sumber energi alami, misalnya matahari, atau sumber energi buatan yang dapat memancarkan energi elektromagnetik berasal dari satelit itu sendiri. Energi berinteraksi dengan target atau objek yang ingin dikaji dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk meneruskan informasi kepada sensor. Sensor adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai, diantaranya berupa citra (imagery). Citra ini kemudian diinterpretasikan untuk mencari informasi mengenai target. Proses interpretasi biasanya melakukan pengolahan data citra dengan bantuan komputer dan perangkat lunak pengolah citra.

Data pengindraan jauh dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah, atau fenomena yang diindra atau diteliti. Analisis data pengindraan jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik, dan data lapangan. Hasil akhir yang diperoleh berupa informasi mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi, dan kondisi sumberdaya daerah yang diindrakan. Hasil akhir suatu proses pengolahan indraja tergantung pada tujuan dan kebutuhan si pengguna. Oleh karena itu, pihak pengguna merupakan komponen penting dalam sistem indraja. Keseluruhan proses mulai dari pengambilan data, analisis data hingga penggunaan data disebut Sistem Pengindraan Jauh (DeMers dan Michael 2005).


(16)

2.1.2 Citra MODIS

Citra MODIS (Moderate-Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah muatan instrumen ilmiah berupa sensor yang diluncurkan ke orbit Bumi pada tahun 1999 oleh NASA pada Satelit Terra (EOS AM), dan pada tahun 2002 pada Satelit Aqua (EOS PM). Satelit ini mampu meliputi areal dengan luasan 2330 km. MODIS dirancang untuk memberikan pengukuran dalam skala besar dinamika global seperti pergerakan awan di bumi, radiasi netto dan proses yang terjadi di lautan, di darat, dan di atmosfer yang lebih rendah.

Instrumen memiliki 36 saluran (band) atau kanal (channel) dengan panjang resolusi spektral gelombang berkisar dari 0.4 µm sampai 14.4 µm dan pada resolusi spasial yang bervariasi yaitu 250 m (kanal 1-2), 500 m (kanal 3-7) dan 1000 m (kanal 8-36) (Lampiran 3). MODIS memiliki resolusi temporal 1 sampai 2 hari untuk mengambil gambar citra permukaan bumi sepanjang satu putaran penuh keliling bumi. MODIS memiliki resolusi radiometrik sampai 12 bits sehingga dapat membedakan warna hingga 4000 warna. Sensor ini dapat bekerja pada cahaya tampak, inframerah, dan gelombang mikro. Citra yang paling sering dimanfaatkan adalah data hasil citra visible light. Hasil citra dari sensor satelit ini dapat memberikan informasi mengenai dinamika global dan proses-proses yang terjadi di darat, laut dan atmosfer. Selain itu sensor satelit ini dapat menghitung radiasi gelombang panjang pemukaan dari benda-benda alam seperti tanah, pasir, vegetasi, dan lainnya, berdasarkan fungsi Planck dan hukum Stefan-Boltzmann (Wang et al. 2005).

2.1.2.1 Koreksi Citra

Tahapan paling penting dalam pengolahan awal citra satelit adalah melakukan koreksi, sehingga citra tersebut sesuai dengan peta yang diinginkan dan hilang dari berbagai kesalahan yang ada. Untuk dapat memberikan informasi yang benar, baik jenis informasi maupun skalanya, rekaman citra satelit harus diperbaiki.

Citra digital yang belum diolah berisi distorsi geometrik sehingga tidak dapat digunakan sebagai peta. Kesalahan geometrik terjadi selama proses pengumpulan data. Citra yang mempunyai kesalahan geometrik berarti jarak, luas, arah, sudut, dan bentuk bervariasi di semua bagian citra. Sumber distorsi geometrik antara lain merupakan distorsi panoramik (sumber kesalahan

geometri terbesar), orientasi, rotasi bumi, kesalahan instrumen, dan ketidakstabilan platform (wahana).

Sistem koordinat pada hasil produk citra MODIS yang dikeluarkan oleh NASA sesungguhnya sudah datar (planimetri), hanya saja belum mempunyai koordinat peta yang benar. Dalam hal ini, koreksi geometrik sesungguhnya melibatkan proses georeferensi karena semua sistem proyeksi sangat terkait dengan koordinat peta. Georeferensi adalah suatu proses memberikan koordinat peta pada citra yang sesungguhnya sudah planimetris. Sistem proyeksi berpijak pada tiga kaidah yaitu mempertahankan jarak, sudut dan luas (equal distance, equal angle, equal area). Di Indonesia, sistem proyeksi yang digunakan adalah sistem proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) dengan datum DGN-95 (Datum Geodesi Nasional) atau WGS84 untuk tingkat internasionalnya.

Koreksi radiometrik merupakan teknik perbaikan citra satelit untuk menghilangkan efek atmosferik yang mengakibatkan kenampakan bumi tidak selalu tajam. Koreksi radiometrik bertujuan untuk menghilangkan pengaruh haze, kekaburan citra, dan kekurangjelasan daya pisah unsur, sehingga mampu membuat citra terlihat lebih tajam dan jelas detailnya (Supriatna dan Sukartono 2002). Selain itu koreksi radiometrik juga berfungsi untuk menghilangkan efek duplikasi data pada citra di baris-baris tertentu seperti koreksi bow-tie pada citra MODIS.

Koreksi ini merupakan tahap awal pengolahan data sebelum analisis dilakukan. Perlu diketahui, untuk melakukan koreksi radiometrik sebaiknya dilakukan sebelum menggabungkan kanal-kanal citra. Hal ini dimaksudkan agar objek yang terekam mudah diinterpretasikan atau dianalisis untuk menghasilkan data atau informasi yang benar sesuai dengan keadaan lapangan.

Cropping merupakan teknik dasar pada pengolahan data citra dengan memotong daerah kajian pada citra. Hal ini dilakukan supaya daerah yang diamati terpusat, sehingga daerah yang diamati memiliki batasan hanya sampai pada wilayah kajian yang diambil dari citra sebenarnya. Karena data citra yang dikaji (yang telah dilakukan proses cropping) akan lebih cepat dalam memproses data. Kegunaan lainnya adalah pengamatan citra yang memiliki batasan dapat memiliki ukuran size yang lebih kecil pada pengamatan visual maupun dari segi ukuran file dibandingkan dari citra


(17)

sebelumnya yang lebih besar. Karena pengamatan citra pada cakupan yang besar membutuhkan super-computer yang memiliki spesifikasi kebutuhan komputer yang besar dengan ukuran harddisk besar, resolusi layar besar, dan memori RAM yang besar pula. 2.1.2.2 Koreksi Bow-tie Citra MODIS

Data mentah pada citra MODIS pada baris-baris tertentu terdapat kerusakan citra berupa duplikasi baris di bagian tertentu. Hal ini terjadi karena pada perangkat satelit terdapat peningkatan Instantaneous Field Of View (IFOV) dari 1x1 km pada titik terendah (nadir) menjadi hampir mendekati 2x5 km pada sudut scan maksimum yaitu 55o. Pengaruh bow-tie terjadi ketika sensor pemandaian mencapai sudut 15o, besar sudut semakin meningkat akan menyebabkan semakin jelas efeknya (Wen 2008). Untuk memperbaiki kerusakan tersebut perlu dilakukan koreksi radiometrik untuk menghilangkan efek tersebut. Selanjutnya seluruh data pada citra asli akan ditransformasikan secara matematik ke citra akhir atau resampling. Dalam hal ini dibentuk piksel baru sebagai perbaikan pada piksel lama yang mengalami kerusakan yaitu

dengan teknik “tetangga terdekat” (nearest

neighbour). Teknik ini dilakukan dengan cara mengalihkan titik keabuan piksel yang telah terkoreksi dengan harga keabuan piksel tetangganya pada citra semula.

Gambar 4 Morfologi efek bow-tie

(Maier et al. 2004)

Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 4, bahwa data dipengaruhi oleh efek bow-tie

menempati sebagian dari gambar. Oleh karena itu, efek bow-tie harus dihapus sebelum aplikasi data MODIS dikeluarkan. Scan pertama dan ketiga diwakili oleh kisi yang cerah, sedangkan scan kedua diwakili oleh kisi yang hitam (Wen 2008).

2.2 Suhu Permukaan

Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu bagian terluar dari suatu objek. Suhu

permukaan benda tergantung dari sifat fisik permukaan objek, diantaranya yaitu emisivitas, kapasitas panas jenis, dan konduktivitas termal. Misalkan permukaan pada daratan di siang hari yaitu memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang rendah, sedangkan konduktivitas termalnya tinggi, maka suhu permukaan objek tersebut akan meningkat.

Suhu permukaan diperoleh dari suhu kecerahan yang diturunkan dari persamaan Planck seperti berikut:

( ⁄ ) dimana,

: radiasi yang dipancarkan benda hitam, dalam hal ini yaitu Lλ

T : suhu mutlak (K)

Suhu permukaan dengan mudah dapat diidentifikasi dengan memakai asumsi emisivitas sama dengan satu dimana sifat tersebut dimiliki oleh benda hitam (Wang et al. 2005). Benda hitam adalah objek yang menyerap seluruh radiasi elektromagnetik, kemudian menurut teori fisika klasik, objek tersebut juga haruslah memancarkan energi yang diserapnya. Oleh karena itu energi suatu benda dapat diukur.

Dalam remote sensing, suhu permukaan dapat didefinisikan sebagai suhu permukaan rata-rata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda. Besarnya suhu permukaan dipengaruhi oleh panjang gelombang yang ditangkap oleh sensor. Suhu permukaan dapat dideteksi dengan baik menggunakan kanal inframerah termal. Namun, kondisi keawanan juga tidak luput dari tangkapan sensor. Kondisi keawanan merupakan salah satu gangguan untuk menganalisis permukaan bumi. Suhu permukaan awan biasanya memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan suhu permukaan. Sehingga dalam keadaan ini dapat digunakan metode filter pada suhu yang rendah.

Suhu permukaan merupakan salah satu kunci keseimbangan energi pada permukaan dan merupakan variabel klimatologis yang utama dalam mengendalikan fluks energi gelombang panjang yang melalui atmosfer. Suhu di dekat permukaan atau lapisan perbatas sangat dipengaruhi oleh fluks energi dan karakteristik fisis permukaan. Kesetimbangan energi alam antara input


(18)

radiasi matahari, emisivitas, panjang gelombang, dan transfer panas terasa menghasilkan siklus diurnal pemanasan dan pendinginan dari permukaan bumi dan lapisan batas atmosfer. Seperti dalam halnya untuk menganalisis urban heat island, suhu permukaan merupakan kontribusi terbesar dalam memberikan panas kota setelah aktivitas manusia.

2.3 Urban Heat Island

Urban heat island (UHI) adalah karakteristik panasnya daerah urban dibandingkan dengan daerah non-urban yang mengelilinginya. Secara umum, UHI mengacu pada peningkatan suhu udara, tetapi UHI dapat juga mengacu pada panas relatif sebuah permukaan atau material diatasnya. UHI secara tidak sengaja meningkatkan perubahan iklim lokal karena modifikasi atmosfer dan permukaan pada daerah urban. Namun, UHI tidak berpengaruh langsung terhadap pemanasan global karena pendudukan suatu kota hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh permukaan bumi. UHI mempunyai implikasi penting bagi kesehatan dan kenyamanan manusia, polusi udara, neraca energi, dan perencanaan kota. UHI di kota beriklim panas sangat tidak menguntungkan karena menyebabkan kapasitas udara semakin banyak menyimpan udara panas dibandingkan udara dinginnya, selain itu juga meningkatkan ketidak-nyamanan manusia, dan meningkatkan konsentrasi polusi udara. Meningkatnya jumlah populasi di dunia, terutama pada negara berkembang, berarti akan meningkatkan intensitas UHI di negara tersebut yang akan mempengaruhi kehidupan manusia (Voogt 2002).

2.3.1 Jenis Urban Heat Island

Observasi mengenai UHI banyak didapatkan dari pengukuran suhu udara berasal dari stasiun cuaca/meteorologi maupun alat observasi manual yang ditempatkan di bawah atap bangunan-bangunan dan pohon-pohon, dikenal sebagai

urban canopy layer (UCL). Observasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan jaringan stasiun-stasiun yang tetap atau dari stasiun buatan yang bergerak, contohnya pada kendaraan yang ditempelkan termometer.

Sekarang, teknologi pengindraan jauh dengan sensor inframerah termal dapat digunakan untuk mengamati UHI permukaan, dengan resolusi spasial yang tinggi. Sensor ini mendeteksi radiasi yang dipancarkan dan

dipantulkan oleh permukaan. Keluaran yang dihasilkan berupa suhu permukaan dan bisa dilanjutkan menjadi suhu udara dengan komponen-komponen meteorologis tertentu yang diperlukan. Suhu permukaan yang dihasilkan ini mungkin cukup berbeda dengan suhu permukaan yang sebenarnya karena adanya perbedaan informasi yang diperoleh oleh citra pada sebuah piksel. Ukuran spasial juga mempengaruhi ketepatan nilai digital pada sebuah citra.

Gambar 5 Profil suhu udara dalam urban canopy layer (UCL) dan suhu permukaan dalam kondisi heat island optimum pada (a) siang hari dan (b) malam hari (Voogt 2002)

Suhu permukaan sangat sensitif pada perubahan kondisi permukaan dibandingkan suhu udara. Hal tersebut diperlihatkan pada Gambar 5 yang memperlihatkan banyaknya perbedaan variabilitas spasial dan variasi temporal pada siang dan malam. Meskipun UHI yang didapatkan dari suhu udara dan suhu permukaan saling terkait, namun keduanya tidaklah sama, dan perbedaan keduanya harus diperhatikan diantaranya (Voogt 2002).

2.3.2 Karakteristik Spasial dan Temporal

Urban Heat Island

Istilah UHI timbul karena pola isoterm yang membentuk seperti pulau. Besarnya pola yang timbul tergantung dari daerah yang terurbanisasi. Pola ini akan membentuk gradien suhu yang yang membentuk mulai dari daerah pinggiran sampai memuncak di pusat kota. Perbedaan suhu antara urban dan desa di sekelilingnya dapat mencapai 12 °C pada kota-kota metropolitan. Di dalam wilayah terbangun, pola ini dipengaruhi secara lokal oleh adanya ruang terbuka hijau seperti taman kota, badan air, dan banyak sedikitnya ruang terbangun (Voogt 2002).

(a)


(19)

Pola spasial isoterm biasanya mengikuti daerah terurbanisasi. Pola topografi (pesisir atau lokasi lembah) juga dapat menambah kompleksitas kepada karakteristik spasial UHI. Besarnya heat island atau intensitas

heat island diukur dari perbedaan antara suhu udara rural dan suhu tertinggi di daerah urban (Voogt 2002).

Gambar 6 Model pola spasial suhu udara kota pada malam hari (Voogt 2002)

UHI pada malam hari akan meningkat sebagai akibat perbedaan rata-rata pendinginan antara wilayah urban dan rural. Perbedaan ini akan semakin tinggi saat keadaan cerah dan tidak berangin/lemah. Intensitas heat island secara umum meningkat mulai saat matahari tenggelam, walaupun puncaknya bergantung pada keadaan cuaca dan musim. Dalam beberapa kasus, nilai intensitas yang bernilai negatif yang disebut cool island, terjadi karena karakteristik dalam perkotaan yang lambat dalam meningkatkan suhu akibat adanya halangan radiasi yang masuk dibandingkan di daerah pinggiran yang memiliki lahan terbuka.

Gambar 7 Perkembangan umum suhu udara harian perkotaan dan pedesaan (garis tebal) dan intensitas heat island (garis tipis) (Voogt 2002)

Intensitas atau besarnya heat island

maksimum biasanya terjadi pada saat malam hari dimana perbedaan suhu udara wilayah urban dan suburban mencapai maksimum. Wilayah urban akan cenderung memper-tahankan suhu dalam kota dibandingkan wilayah suburban. Lebih lanjut lagi, setelah matahari terbit suhu udara di daerah rural

akan menyamai suhu udara di wilayah urban. Hal ini disebabkan wilayah urban memiliki tutupan bayangan oleh bangunan tinggi (urban canopy) dan melemahnya sinar matahari karena lapisan polusi yang terangkat yang mengakibatkan suhu udara meningkat lebih lambat pada pagi hari. Pada lintang rendah, efek ini dapat saja memproduksi

urban cool island di mana daerah rural lebih panas daripada daerah urban (Voogt 2002). Selain itu kondisi lokal seperti topografi, daerah iklim, dan musim mempengaruhi karakteristik urban heat island wilayah lokal tersebut (Oke 1997).

Penelitian tentang UHI di beberapa kota besar di Indonesia dengan data satelit menunjukkan adanya perubahan temperatur yang merupakan salah satu indikasi adanya perubahan iklim, hal ini ada hubungannya dengan perubahan lahan yang terjadi akibat urbanisasi. Di Bandung teramati perluasan UHI (daerah dengan suhu tinggi 30-35 0C yang terletak pada kawasan terbangun di pusat kota per tahun kira-kira 12606 ha atau 4.47%, di Semarang 12174 ha atau 8.4%, di Surabaya 1512 ha atau 4.8%. Pertumbuhan kawasan terbangun di Bandung per tahun kurang lebih 1029 ha (0.36%), Semarang 1200 ha (0.83%), dan Surabaya 531.28 ha (1.69%) (Tursilowati 2007).

2.3.3 Sebab dan Dampak Urban Heat Island

Voogt (2002) mengatakan bahwa formasi urban heat island dipengaruhi oleh karakteristik permukaan dan kondisi atmosferik. Tambahan panas langsung menuju atmosfer melalui aktivitas manusia, yang dikenal sebagai panas antropogenik dapat memainkan peran penting dalam pembentukan UHI. Penyebab-penyebab itu secara lebih rinci sebagai berikut.

1 Geometri Permukaan (Surface Geometry) Geometri permukaan merupakan struktur pada permukaan yang terdiri dari struktur datar/halus dengan tambahan berbagai bentuk struktur kasar lainnya. Pada wilayah urban memiliki ruang terbangun yang merupakan struktur geometri permukaan kasar. Penambahan geometri permukaan yang kasar


(20)

dengan terperangkapnya radiasi matahari oleh pemantulan berganda memicu pemanasan sebagai akibat dari absorpsi sinar matahari yang lebih besar. Selain itu, bangunan yang letaknya berdekatan mengurangi sky view factor yang mengurangi kehilangan panas radiatif, terutama pada malam hari. Geometri permukaan juga dapat menimbulkan

sheltering effect yang mengurangi kehilangan panas konvektif dari permukaan dan udara di dekat permukaan.

2 Properti termal permukaan

Material bangunan pada wilayah urban merupakan penyimpan panas yang baik. Material ini memiliki kapasitas panas yang lebih tinggi dan pemasukan termal permukaan yang lebih besar.

3 Kondisi permukaan

Bangunan urban yang tahan air seperti pengaspalan mengurangi evaporasi, sehingga energi lebih banyak diarahkan pada panas sensibel yang dapat memanaskan udara daripada panas laten (panas yang diambil untuk evaporasi air).

4 Panas Antropogenik

Panas antropogenik dilepaskan oleh penggunaan energi urban pada bangunan, kendaraan, dan dari manusia.

5 Efek Rumah Kaca Urban

Atmosfer urban yang tercemar dan lebih panas mengemisikan radiasi termal berlebih ke arah bawah menuju permukaan kota. Kelembaban kota yang meningkat juga dapat berkontribusi pada efek ini.

6 Kondisi atmosfer

UHI yang paling kuat dapat diamati ketika langit cerah dan angin tenang. Awan dan kelembaban atmosferik dapat mempengaruhi panas radiatif permukaan menuju atmosfer. Kelembaban atmosferik bertindak seperti awan yang melakukan pendinginan radiatif. Kelembaban atmosferik yang tinggi akan mengurangi intensitas heat island; kelembaban yang lebih rendah memudahkan pendinginan radiatif. Ketika kecepatan angin meningkat, percampuran turbulen juga meningkat sehingga dapat menekan besar UHI. Angin yang disebabkan oleh adveksi skala lokal memindahkan panas secara horizontal juga dapat mempengaruhi UHI. Adveksi panas dapat memacu peningkatan UHI dan adveksi dingin dapat menekan peningkatan UHI.

UHI dapat menimbulkan dampak positif dan negatif bagi kota. Untuk kota beriklim hangat, atau kota iklim temperate pada musim panas, UHI meningkatkan penggunaan energi untuk pendingin udara

(AC). Peningkatan permintaaan akan energi dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca. Emisi gas rumah kaca dapat mendegradasikan kualitas udara. Suhu urban yang makin tinggi dapat memicu terbentuknya kabut urban karena emisi polutan dan reaksi fotokimia atmosferik. Panasnya suhu kota juga dapat menyebabkan penyebaran penyakit vector-borne.

Pada iklim yang lebih dingin, UHI dapat memberikan efek positif seperti berkurangnya tutupan salju sehingga penggunaan energi juga berkurang. UHI tidak secara langsung berpengaruh terhadap pemanasan global. UHI adalah modifikasi iklim lokal. Dampak UHI pada skala global terbatas pada catatan suhu jangka panjang yang dilakukan pada stasiun-stasiun cuaca. Namun urbanisasi yang terjadi kota dengan adanya stasiun cuaca menjadikan kemampuan untuk mendeteksi iklim global lebih sulit karena superposisi dengan efek iklim lokal.

III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Wilayah kajian melingkupi Kabupaten Bogor dan Kota Bogor (wilayah Bogor) yang

berada pada koordinat 6°12’30” - 6°53’10”

LS dan 106°18’38” - 107°19’26” BT.

Gambar 8 Wilayah kajian (Kabupaten Bogor dan Kota Bogor)


(21)

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Oktober tahun 2012, bertempat di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB. 3.2 Data dan Peralatan

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu berupa seperangkat komputer dengan perangkat lunak pengolah data satelit (ENVI dan ER Mapper), pengolah sistem informasi geografis (Arc GIS), pengolah data statistik (Minitab dan Ms Excel), serta dokumentasi (Ms Word).

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data citra MODIS yang mencakup seluruh wilayah Bogor (kota dan kabupaten), data Digital Elevation Model (DEM) untuk mengetahui ketinggian wilayah Bogor, data observasi meteorologi berupa data suhu udara, dan peta tata ruang wilayah Bogor yang mencakup data spasial penggunaan lahan.

Pada penelitian ini, data citra MODIS yang digunakan sebanyak 24 akuisisi yaitu pada tahun 2000 hingga tahun 2011 pada waktu siang dan malam hari di setiap tahunnya.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pemilihan Data Citra Satelit

Pemilihan data sangat penting untuk memberi batasan sebelum mengolah data citra satelit untuk lebih lanjut. Batasan yang dipakai dalam pemilihan data antara lain

temporal selection dan spatial selection.

Temporal selection atau pemilihan data secara temporal yang digunakan yaitu dua data citra satelit (1 siang dan 1 malam) di bulan Juli pada tahun 2000 hingga tahun 2011. Spatial selection atau pemilihan data secara spasial yang digunakan yaitu data citra satelit yang mencakup wilayah Bogor dengan syarat memiliki tingkat keawanan yang menunjukkan langit cerah tanpa awan atau hampir tidak ada awan.

Data citra satelit dapat dipilih dan diunduh melalui alamat situs: http://ladsweb.nascom.nasa.gov. Data yang dipilih adalah data satelit Terra MODIS Level 1B. Kanal yang digunakan yaitu kanal 31 dan kanal 32.

3.3.2 Proses Pengolahan Data Citra Satelit

Proses awal pengolahan data citra satelit dilakukan untuk mendapatkan data dengan informasi yang sesuai. Proses awal ini

mencakup kesesuaian posisi koordinat hingga pembenaran informasi pada setiap piksel. Tahap-tahap yang dilakukan antara lain: 1) Georeferensi MODIS dengan Koreksi

Bow-tie

Georeferensi adalah proses memasukan citra ke dalam sistem koordinat tertentu. Proses georeferensi disebut juga proses registrasi citra. Cara yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan mengekspor

ground check point (GCP) atau titik ikat yang menggunakan perangkat lunak ENVI. Penentuan sistem koordinat dilakukan dengan memilih sistem proyeksi dan datum yang akan digunakan. Pada penelitian ini digunakan sistem proyeksi UTM dan datum WGS-84. Koreksi bow-tie dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ENVI yang berfungsi untuk menghilangkan efek duplikasi data pada citra di baris-baris tertentu.

2) Pemotongan (Cropping) Wilayah Bogor

Data citra satelit dalam satu subset

memiliki ukuran spasial yang luas, sehingga memiliki ukuran file yang sangat besar. Pemotongan (cropping) data citra diperlukan agar data citra yang dianalisis lebih lanjut memiliki batasan spasial dengan ukuran file

yang lebih kecil. Batasan spasial yang dipakai pada penelitian ini yaitu wilayah Bogor dan sekitar. Data citra satelit dipotong dengan data vektor wilayah bogor. Data vektor dapat dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ER Mapper dengan menggunakan peta tata ruang wilayah bogor sebagai peta acuan. 3.3.3 Suhu Permukaan

Suhu permukaan diturunkan dari nilai radiansi atau energi yang diterima bumi per satuan luas berdasarkan persamaan Planck (Lim 2001). Planck dalam persamaannya menggunakan brigthness temperature yang dapat dianggap sebagai suhu permukaan dari suatu objek. Hukum Planck digunakan untuk menurunkan suhu permukaan karena hukum tersebut dapat menghitung intensitas radiasi yang dipancarkan oleh suatu objek permukaan.

Intensitas radiasi berkaitan dengan panas objek di bumi dan besarnya panas dapat ditunjukkan dengan suhu permukaan. Suhu permukaan dapat diekstraksi melalui kanal pada sensor satelit. Kanal yang digunakan pada citra MODIS yaitu kanal 31 dan kanal 32 dengan masing-masing nilai tengah


(22)

panjang gelombang yaitu 11.03 µm dan 12.02µm. Adapun persamaannya yaitu:

(

)

dimana,

Tb : suhu kecerahan (K) C1 : konstanta radiasi pertama

(1.1911 x 108 W M-2 sr-1 (µm-1)-4) C2 : konstanta radiasi kedua

(1.439 x 10-4 K µm) Lλ(i) : nilai radiansi kanal ke-i

(Wm-2µm-1sr-1)

λi : nilai tengah panjang gelombang kanal ke-i (µm)

Ekstraksi dari kedua kanal dapat mempresentasikan masing-masing gambaran suhu permukaan, walaupun memiliki selisih nilai. Suhu permukaan akhir didapat dari nilai rata-rata kedua suhu kecerahan pada kanal 31 dan kanal 32.

dimana,

Ts : suhu permukaan (K) Tb31 : suhu kecerahan kanal 31 (K) Tb32 : suhu kecerahan kanal 32 (K)

3.3.4 Urban Heat Island

Besarnya intensitas urban heat island

pada suatu daerah merupakan perbandingan besar antara suhu yang berada di wilayah urban dengan suhu yang berada di wilayah

suburban. UHI dapat dilihat secara spasial melalui citra satelit dengan menggunakan pendekatan suhu permukaan. Dengan menggunakan pendekatan suhu permukaan dapat digunakan persamaan sebagai berikut:

SUHI = Ts urban– Ts suburban ……… (9) dimana,

SUHI : intensitas surface urban heat island

Ts urban :suhu permukaan di wilayah urban

Ts suburban :suhu permukaan di wilayah suburban


(23)

Wilayah bogor secara umum dibagi menjadi dua bagian: wilayah urban berada di Kota Bogor dan wilayah suburban berada di Kabupaten Bogor. Nilai suhu permukaan (Ts) diambil dari hasil ekstraksi suhu permukaan pada citra satelit. Pada citra satelit memiliki informasi nilai suhu permukaan yang didapat dari karakteristik spasial pada setiap piksel. Hal ini dapat dijadikan acuan dalam mengidentifikasi intensitas UHI. 3.3.5 Digital Elevation Model dan

Klasifikasi Lahan Wilayah Bogor Suhu udara pada suatu wilayah memiliki hubungan erat dengan kondisi topografi dan ketinggian wilayah tersebut. Oleh karena itu penelitian ini membutuhkan sebuah data topografi dan ketinggian wilayah Bogor. Data topografi dan ketinggian sebuah daerah dapat dimodelkan dengan menggunakan data DEM (Digital Elevation Model). Data DEM dapat diolah dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Data ini disesuaikan dengan peta tata ruang wilayah Bogor dan hasil pengolahan data citra satelit untuk menghasilkan analisis distribusi spasial dan temporal UHI di wilayah Bogor.

Pada penelitian ini, proses klasifikasi penutupan lahan di Bogor melalui interpretasi data landuse wilayah Jawa Barat pada tahun 2002 yang telah dipotong. Klasifikasi lahan dilakukan dengan menggunakan klasifikasi tak terbimbing (Unsupervised Classification). Klasifikasi tak terbimbing dimulai dari mengklasifikasikan dari kelas-kelas atau wilayah-wilayah yang kita spesifikasikan atau dari jumlah nominal kelas yang dijadikan pembeda antara masing-masing penutupan lahan. Klasifikasi tak terbimbing secara sendiri akan mengategorikan semua piksel menjadi kelas-kelas dengan menampakan spektral atau karakteristik spektal yang sama. Di wilayah Bogor, penutupan lahan dibedakan menjadi sembilan bagian, yaitu air tawar, belukar/semak, gedung/pemukiman, hutan, kebun/perkebunan, rumput/tanah kosong, sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan tegalan/ladang.

3.4 Asumsi Dasar Penelitian

Pada penelitian ini, untuk mendapatkan nilai suhu permukaan sebagai identifikasi

urban heat island menggunakan beberapa asumsi sebagai berikut:

1 Data citra satelit yang digunakan berupa data yang memiliki tingkat keawanan yang menunjukkan langit cerah tanpa awan atau hampir tidak ada awan.

2 Atmosfer bersifat statis, sehingga faktor angin tidak berpengaruh.

3 Suhu permukaan yang dihasilkan oleh data citra satelit memiliki perbandingan yang mirip dengan suhu udara data observasi meteorologi, sehingga suhu permukaan dapat digunakan untuk mengidentifikasi UHI.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian

Kabupaten Bogor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan Cibinong sebagai pusat pemerintahan dan industri. Kota Bogor adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang wilayahnya berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor dan Kota Bogor (wilayah Bogor) yang merupakan wilayah kajian

berada pada koordinat 6°12’30” - 6°53’10”

LS dan 106°18’38” - 107°19’26” BT.

Kabupaten Bogor memiliki luas 2071.21 km2 dan jumlah penduduknya 4 771 932 jiwa. Kota Bogor memiliki luas yang lebih kecil yaitu 118.50 km² dengan jumlah penduduknya 950 334 jiwa(2010). Kabupaten Bogor memiliki kepadatan penduduk yang lebih renggang yaitu sebesar 2303.93 jiwa/km2, sedangkan Kota Bogor memiliki kepadatan penduduk 8019.7 jiwa/km².

Sebelah utara Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Tangerang (Banten), Kota Depok, dan Kabupaten Bekasi; sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi; sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Banten).

Bagian utara Kabupaten Bogor merupakan dataran rendah (lembah Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane, sedangkan bagian selatan berupa pegunungan, dengan puncaknya: Gunung Halimun (1764 m), Gunung Salak (2211 m), Gunung Gede (2958 m), dan Gunung Pangrango (3018 m) yang merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Barat.


(24)

Gambar 10 Peta ketinggian di wilayah Bogor Kota Bogor terletak pada ketinggian 190

sampai 330 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini memiliki udara yang relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26 °C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70%. Suhu rata-rata terendah di Bogor mencapai 21.8 °C, paling sering terjadi pada Bulan Desember dan Januari. Kota Bogor memiliki curah hujan tahunan mencapai 1700 mm, namun pada wilayah sekitarnya bisa mencapai 3500 mm. Tingginya curah hujan disebabkan banyak terjadinya hujan konvektif di daratan pulau Jawa Barat dan efek orografis di wilayah Bogor (Kusumawati et al. 2008).

Tabel 1 Tutupan lahan wilayah Bogor

Klasifikasi penutupan lahan di Bogor dilakukan melalui interpretasi data landuse

wilayah Jawa Barat pada tahun 2002 yang

telah dipotong. Klasifikasi lahan menggunakan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Penutupan lahan (land cover) pada wilayah kajian diklasifikasikan menjadi tujuh kelas, yaitu air tawar, belukar/semak, gedung/ pemukiman, hutan, kebun/perkebunan, rumput/tanah kosong, sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan tegalan/ladang.

Wilayah Bogor yang memiliki luas total sebesar 2189.71 km2, memiliki berbagai tutupan lahan beragam dan tersebar yang telah diklasifikasikan seperti pada Tabel 1. Pada bagian selatan, barat, dan timur wilayah kajian terdapat tutupan lahan yang dominan lebih hijau, yaitu antara lain: perkebunan, hutan, semak/belukar, sawah tadah hujan, tegalan/ladang. Pada bagian utara dan tengah wilayah kajian terdapat tutupan lahan yang dominan antara lain: gedung, pemukiman penduduk, sawah irigasi, dan rumput/tanah kosong. Perkebunan memiliki tutupan lahan terbesar di wilayah Bogor yaitu sebesar 20% dari tutupan lahan seluruhnya, sedangkan gedung dan pemukiman hanya memiliki tutupan lahan sebesar 11%.

Dengan terkonsentrasinya lahan terbangun di wilayah perkotaan seperti Kota Bogor dibandingkan wilayah sekitar kota (suburban/rural), mengindikasikan akan adanya fenomena urban heat island. Hal ini ditandai dengan adanya wilayah lahan terbangun yang terpusat di Kota Bogor dan

Tutupan Lahan Luas (km2) Persentase (%)

Kebun/Perkebunan 438.14 20.01

Hutan 377.54 17.24

Belukar/Semak 317.66 14.51

Sawah Tadah Hujan 260.54 11.9

Gedung/Pemukiman 246.02 11.24

Tegalan/Ladang 242.49 11.07

Sawah Irigasi 237.43 10.84

Rumput/Tanah kosong 52.47 2.4


(25)

Kota Cibinong. Pada bagian selatan, barat, dan timur wilayah Bogor terdapat tutupan lahan yang dominan lebih hijau. Hal ini menyebabkan wilayah perkotaan akan cenderung lebih panas dibandingkan wilayah di pinggir kota sehingga membentuk seperti kubah di pusat kota.

4.2 Pengolahan Data Citra MODIS Informasi suhu permukaan untuk menentukan urban heat island dalam penelitian ini menggunakan data citra Terra MODIS L1B. Data citra ini dapat memberikan ukuran spasial dalam cakupan wilayah yang besar dan waktu temporal yang konsisten pada setiap waktunya. Data citra MODIS cocok digunakan dalam penelitian ini yaitu untuk menentukan UHI di wilayah Bogor.

Pada citra yang digunakan perlu dilakukan adanya pemotongan wilayah kajian (cropping). Hal ini dilakukan supaya daerah yang diamati memiliki batasan hanya sampai pada wilayah kajian dari citra yang diambil dari citra sebenarnya. Karena data citra yang dikaji atau yang telah dilakukan proses

cropping akan lebih cepat dalam proses pengolahan data.

Data mentah citra MODIS yang didapat merupakan data sudah terkoreksi secara geometrik dan radiometrik. Namun data citra ini belum memiliki sistem koordinat yang sesuai dan masih terdapat bow-tieeffect. Data citra yang masih memiliki efek bow-tie dapat dihilangkan dan dinormalkan dengan menggunakan perangkat lunak ENVI. Pada dasarnya perangkat lunak ini melakukan koreksi radiometrik, khusus untuk efek bow-tie, yaitu dengan membenarkan informasi nilai radians efek duplikasi baris-baris akibat dari perbesaran sudut Instantaneous Field Of View (IFOV).

Sistem proyeksi ditentukan secara otomatis dengan cara georeferensi. Proses georeferensi pada citra dilakukan dengan memberikan koordinat peta pada citra. Data citra tersebut sesungguhnya sudah datar (planimetri), hanya saja belum mempunyai koordinat peta yang benar. Dalam hal ini, koreksi geometrik sesungguhnya melibatkan proses georeferensi karena semua sistem proyeksi sangat terkait dengan koordinat peta. Sistem proyeksi peta yang digunakan yaitu sistem proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) dengan datum WGS-84. Keluaran titik ikat atau Ground Check Point

(GCP) secara otomatis dihasilkan dengan adanya proses georeferensi citra. Dengan cara

inilah data citra sudah terkoreksi geometrik secara benar dengan sistem proyeksi yang sesuai.

Gambar 11 (a) Data belum terkoreksi dan (b) data terkoreksi, citra MODIS akuisisi 12 Juli 2002 (siang hari) Data citra MODIS memiliki cakupan spasial dan temporal yang baik, sehingga hasil pengolahan data yang didapatkan memenuhi kriteria dalam cakupan luasan kajian dengan rentang periode data yang diperlukan. Hasil analisis data citra akan lebih baik apabila data memiliki cakupan sudut pengamatan dengan kondisi langit yang cerah (Wan et al. 2004).

4.3 Suhu Permukaan

Suhu permukaan yang diekstraksi dari data citra MODIS merupakan nilai suhu permukaan pada wilayah kajian, yaitu wilayah Bogor. Wilayah Bogor yang dimaksud antara lain Kota Bogor sebagai pusat kota dan Kabupaten Bogor sebagai wilayah suburban.

Dalam satu hari, satelit Terra mengambil gambar suatu tempat yang sama sebanyak dua kali. Nilai suhu permukaan pada citra MODIS yang diekstraksi merupakan gambaran suhu permukaan di wilayah Bogor yang terekam antara pukul 08.00 - 10.00 (siang hari) dan antara pukul 20.00 - 22.00 (malam hari) waktu setempat. Pada penelitian ini, data citra MODIS diambil sebanyak 24 akuisisi yaitu pada tahun 2000 hingga tahun 2011 pada waktu siang dan malam hari di setiap tahunnya.

Dari data citra MODIS yang telah dipilih, kanal 31 dan kanal 32 dapat digunakan untuk mengestraksi suhu permukaan. Suhu permukaan diturunkan berdasarkan persamaan Planck (Lim 2001). Suhu permukaan hasil ektraksi kanal 31 dan kanal 32 memiliki pola sebaran yang relatif sama.


(26)

Hal ini ditunjukkan seperti pada Gambar 12. Pada grafik tersebut dapat terlihat pada kanal 31 dan kanal 32 memiliki nilai koefisien determinasi sebesar 1. Kedua kanal mempunyai hubungan yang linier dengan masing-masing komponen yang saling berhubungan.

Gambar 12 Hubungan sebaran hasil ekstraksi suhu kecerahan (K) kanal 31 dengan kanal 32 pada citra MODIS tahun 2011 akuisisi 31 Juli 2011 (a) siang hari dan (b) malam hari

Pada Tabel 2 menunjukkan kedua kanal memiliki pola sebaran yang saling berhubungan erat. Data pada masing-masing citra memiliki nilai koefisien determinasi yang besar. Kedua kanal ini memiliki selisih nilai pada masing-masing hasil ekstraksi suhu permukaan. Suhu kecerahan pada kanal 32 lebih besar dibandingkan pada kanal 31. Selisih antara kedua kanal berbeda sekitar ±3 K. Oleh karena itu, suhu permukaan akhir bisa didapatkan dari nilai rata-rata kedua suhu kecerahan hasil ekstraksi pada kanal 31 dan kanal 32.

Tabel 2 Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi hasil ekstraksi suhu permukaan antara kanal 31 dengan kanal 32 pada (a) siang hari dan (b) malam hari

Suhu permukaan dalam citra digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda. Suhu permukaan pada hasil ekstraksi pada citra MODIS memiliki nilai yang berbeda dibandingkan dengan data suhu udara hasil pengukuran di enam stasiun yang tersebar.

Gambar 13 Peta lokasi stasiun meteorologi Stasiun observasi meteorologi yang terdapat di Bogor antara lain: Stasiun Meteorologi Atang Senjaya yang berada di wilayah Kota Bogor; Stasiun Meteorologi Darmaga, Stasiun Meteorologi Cibinong, dan Stasiun Meteorologi Citeko yang berada di wilayah Kabupaten Bogor; Stasiun Meteorologi Halim Perdanakusuma dan Stasiun Meteorologi Curug Budianto yang berada di luar wilayah Bogor.

Masing-masing stasiun meteorologi dapat mewakili data pengukuran suhu udara hingga radius ±5 km sesuai dengan

(a) Siang (b) Malam

Akuisisi R-Sq S Akuisisi R-Sq S

12 Juli 2000 100% 0.0014 18 Juli 2000 100% 0.0003 12 Juli 2001 100% 0.0008 6 Juli 2001 100% 0.0005 20 Juli 2002 100% 0.0027 11 Juli 2002 100% 0.0005 23 Juli 2003 100% 0.0016 26 Juli 2003 100% 0.0002 23 Juli 2004 100% 0.0030 23 Juli 2004 100% 0.0005 3 Juli 2005 100% 0.0017 5 Juli 2005 100% 0.0006 26 Juli 2006 100% 0.0010 11 Juli 2006 100% 0.0010 11 Juli 2007 100% 0.0020 4 Juli 2007 100% 0.0014 8 Juli 2008 100% 0.0004 8 Juli 2008 100% 0.0003 12 Juli 2009 100% 0.0031 7 Juli 2009 100% 0.0009 24 Juli 2010 100% 0.0017 24 Juli 2010 100% 0.0013 31 Juli 2011 100% 0.0015 31 juli 2011 100% 0.0008

(b) (a)


(27)

karakteristik topografi tempat didirikannya stasiun tersebut. Data pengukuran suhu udara ini dapat dikorelasikan dengan melakukan analisis regrasi pada hasil ekstraksi suhu permukaan pada citra MODIS.

Tabel 3 Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi suhu permukaan hasil ekstraksi citra dengan suhu udara observasi

Gambar 14 Analisis regresi suhu permukaan hasil ekstraksi citra akuisisi (a) 23 Juli 2003 dan (b) 26 Juli 2003 dengan suhu udara observasi Analisis korelasi atau hubungan dilakukan dengan cara analisis regresi antara suhu permukaan hasil ektraksi citra MODIS sebagai peubah respon dengan suhu udara

hasil observasi dari enam stasiun sebagai peubah prediktor. Analisis regresi memiliki nilai koefisien determinasi (R2) dan standar deviasi atau simpangan baku (S) yang menunjukkan kesalingterkaitan antar kedua peubah. Makin tinggi nilai koefisien determinasi (R2) maka kedua peubah saling memiliki keterkaitan. Sebaliknya standar deviasi, merupakan gambaran besarnya penyimpangan, makin kecil nilai S (mendekati nol), kedua peubah saling memiliki keterkaitan (Drapper dan Smith 1992).

Dari Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa setiap analisis regresi yang dilakukan memiliki memiliki nilai koefisien determinasi (R2) dan standar deviasi (S) masing-masing yang menunjukkan korelasi atau kesalingterkaitan antar kedua peubah. Analisis regresi yang dilakukan pada citra akuisisi 23 Juli 2003 dan 26 Juli 2003 (Gambar 14) memiliki koefisien determinasi masing-masing sebesar 40.9% dan 76.8% dengan nilai simpangan baku masing-masing sebesar 1.71 dan 1.30. Hal ini menunjukkan suhu permukaan hasil ektraksi citra MODIS tersebut memiliki keterkaitan yang cukup sesuai terhadap suhu udara hasil observasi dari enam stasiun yang tersebar di wilayah sekitar Bogor.

Suhu permukaan dan suhu udara merupakan unsur meteorologi yang berbeda. Namun kedua suhu ini saling terkait satu sama lain. Suhu permukaan mempunyai pengaruh utama terhadap suhu udara lapisan perbatas (boundary layer). Suhu permukaan berpengaruh terhadap fluks bahang terasa (sensible heat) terutama pada siang hari, hal ini yang menyebabkan suhu permukaan suatu benda lebih tinggi dari suhu udara (Mannstein 1987). Namun pada beberapa keadaan, suhu permukaan dapat lebih dingin dibandingkan suhu udara, terutama pada malam hari. Hal ini dikarenakan oleh adanya sifat konduktivitas oleh beberapa bahan penyusun dasar permukaan. Seperti contoh, dasar permukaan yang terbuat dari bahan logam atau keramik akan lebih dingin dibandingkan dasar permukaan yang masih berupa tanah.

Menurut Effendy (2009), penggunaan data pengindraan jauh dapat menutupi kekurangan kerapatan stasiun cuaca. Hal ini dinilai dapat memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di masa-masa mendatang tanpa mengurangi pentingnya pengukuran secara insitu pada stasiun-stasiun cuaca sebagai bahan referensi atau rujukan.

(a) Siang (b) Malam

Akuisisi R-Sq S Akuisisi R-Sq S

12 Juli 2001 57.0% 1.40 6 Juli 2001 94.7% 0.65 20 Juli 2002 56.5% 1.81 11 Juli 2002 79.3% 1.55 23 Juli 2003 40.9% 1.71 26 Juli 2003 76.8% 1.30 23 Juli 2004 3.0% 3.93 23 Juli 2004 5.1% 3.89 3 Juli 2005 42.5% 2.41 5 Juli 2005 62.1% 1.89 26 Juli 2006 67.0% 2.47 11 Juli 2006 44.1% 2.56 11 Juli 2007 44.6% 2.67 4 Juli 2007 66.4% 1.53

(b) (a)


(28)

Stasiun cuaca dapat digunakan untuk melakukan kalibrasi atau validasi model-model pendugaan berdasarkan ekstraksi data pengindraan jauh sebagai analisis lebih lanjut.

Meskipun ada beberapa korelasi pada citra yang kurang begitu baik, seperti pada tahun 2004, namun data citra masih bisa digunakan untuk menganalisis urban heat island walaupun hanya menggunakan hasil ekstraksi data suhu permukaan. Hal ini juga dipengaruhi oleh keberadaan stasiun meteorologi yang kurang mencukupi di wilayah Bogor. Sehingga keberadaan stasiun meteorologi dalam ukuran spasial kurang mencukupi untuk melakukan validasi dan kalibrasi sehingga menghasilkan model yang baik. Namun dalam hal ini, fenomena UHI diidentifikasi menggunakan data spasial, meskipun dengan menggunakan pendekatan suhu permukaan dari data citra. Namun penggunaan data citra akan lebih baik lagi apabila didukung dengan data konvensional seperti data dari stasiun meteorologi.

4.4 Struktur Urban Heat Island

Struktur UHI dapat dideskripsikan melalui pola spasial dan pola temporal dari hasil pengolahan data citra. Karakteristik spasial dapat dilihat dari pola isoterm yang terlihat pada peta spasial, sedangkan karakteristik temporal dapat diinterpretasikan melalui data statistika baik secara diurnal hingga mencapai tahunan.

Gambar 15 Sebaran jumlah sel citra tahun 2009 (siang hari)

Hasil nilai suhu permukaan akhir pada histogram seperti pada Gambar 15 merupakan nilai suhu permukaan secara keseluruhan pada wilayah Bogor pada setiap data citra. Hasil statistika suhu permukaan mengikuti histogram pola sebaran normal. Suhu permukaan dengan nilai terbanyak

mendekati nilai tengah (mean) dari suhu permukaan tersebut. Banyaknya jumlah pada masing-masing rentang suhu permukaan dihitung dari jumlah sel dalam piksel pada masing-masing data citra.

Tabel 4 Nilai distribusi temporal suhu permukaan hasil ekstraksi citra (siang hari)

Tabel 5 Nilai distribusi temporal suhu permukaan hasil ekstraksi citra (malam hari)

Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5, data yang digunakan menunjukkan wilayah Bogor pada siang hari memiliki suhu permukaan rata-rata sebesar 26.8 oC, dengan rata-rata minimum sebesar 14.2 oC dan rata-rata maksimum sebesar 32.4 oC. Pada malam hari, wilayah Bogor memiliki suhu permukaan rata-rata sebesar 19.4 oC, dengan rata-rata minimum sebesar 8.1 oC dan rata-rata maksimum sebesar 22.2 oC.

Tahun Min Maks Rerata StdDev

2000 13.9 33.1 27.0 2.58

2001 19.3 29.7 26.3 1.50

2002 13.5 30.5 26.2 2.12

2003 10.7 33.3 27.5 2.86

2004 10.0 33.7 27.3 3.00

2005 16.8 35.4 27.6 2.88

2006 17.1 30.4 26.7 1.92

2007 11.2 32.0 25.5 2.78

2008 18.3 28.4 26.1 1.25

2009 12.4 35.1 27.9 3.35

2010 13.8 34.4 26.9 3.40

2011 13.2 32.3 26.9 3.37

Rerata 14.2 32.4 26.8

-Tahun Min Maks Rerata StdDev

2000 10.3 21.8 19.9 1.73

2001 10.3 21.8 19.4 1.96

2002 9.8 22.1 19.6 1.72

2003 3.0 21.0 19.3 1.98

2004 10.6 21.5 19.1 1.54

2005 10.0 22.1 19.3 2.05

2006 8.7 21.7 18.5 2.34

2007 -2.6 23.2 19.8 3.00

2008 10.9 21.6 19.3 1.67

2009 8.9 23.3 20.1 2.28

2010 7.6 22.9 18.4 2.46

2011 9.5 23.2 20.0 2.20


(29)

-Gambar 16 Peta distribusi spasial suhu permukaan rata-rata wilayah Bogor (siang hari)

Gambar 17 Peta distribusi spasial suhu permukaan rata-rata wilayah Bogor (malam hari) Pada siang hari suhu udara maupun suhu

permukaan jelas lebih tinggi dibandingkan pada malam hari. Namun yang perlu diperhatikan, suhu permukaan sangat sensitif pada perubahan kondisi permukaan dibandingkan suhu udara. Geometri dan bahan properti permukaan serta kondisi

atmosfer merupakan hal yang dominan dalam menentukan kondisi suhu permukaan.

Pada Gambar 16 dan Gambar 17 menunjukkan distribusi spasial suhu permukaan rata-rata 12 data pada tahun 2000 sampai tahun 2011 di bulan Juli. Gambaran spasial suhu permukaan dibedakan menjadi dua bagian yaitu siang hari dan malam hari


(30)

sesuai pengambilan data citra. Pada saat siang hari, suhu permukaan membentuk pola urban heat island dimana suhu permukaan berkurang dari pusat kota yang berada Kota Bogor. Suhu permukaan tampak memperlihatkan pola isoterm yang memusat.

Fenomena UHI yang terjadi di wilayah Bogor terjadi akibat terdapatnya lahan terbangun yang terpusat di Kota Bogor. Aktivitas manusia dan pusat industri serta wilayah komersial yang berkembang di Kota Bogor juga mengakibatkan meningkatnya pola UHI yang memusat di Kota Bogor terutama pada siang hari. Meningkatnya suhu udara pada suatu perkotaan memiliki kaitan erat terhadap kegiatan industri dan aktivitas kendaraan yang mengeluarkan emisi polutan ke udara. Pada kajian yang dilakukan oleh Adiningsih (1997), didapatkan bahwa pengemisi gas rumah kaca terbesar disumbangkan oleh sektor transportasi perkotaan, khususnya di Jakarta dan sekitarnya. Menurut Turyanti dan Santikayasa (2006), unsur suhu udara menunjukkan korelasi positif terhadap konsentrasi polutan O3 di udara ambien.

Selain itu pola isoterm juga terdapat di Kota Cibinong yang berada di sebelah utara Kota Bogor dan juga di sepanjang Jalan Raya Darmaga hingga Jalan Raya Ciampea yang berada di sebelah barat Kota Bogor. Kedua pola isoterm ini berada di Kabupaten Bogor. Kota Cibinong merupakan kota di Kabupaten Bogor yang memiliki pusat industri sehingga dapat memicu pertumbuhan fenomena UHI. Jalan Raya Darmaga hingga Jalan Raya Ciampea merupakan wilayah yang memiliki kepadatan kendaraan yang cukup tinggi. Aktivitas lalu lintas di sepanjang jalan ini cukup padat di siang hari, ditambah trayek angkutan umum yang sangat banyak. Sehingga di sepanjang jalan ini terlihat pembentukan pola isoterm.

Pada saat malam hari, suhu permukaan tidak membentuk pola urban heat island

yang berpusat di Kota Bogor. Suhu permukaan cenderung membentuk gradien suhu yang meningkat menuju ke utara yaitu Kota Depok hingga Kota Jakarta dan sekitarnya. Pola isoterm yang terjadi pada malam hari mengikuti pola kontur ketinggian. Fenomena UHI yang berpusat di Kota Bogor menghilang pada malam harinya. Fenomena UHI seperti ini dapat terjadi di wilayah lintang rendah dengan keadaan topografi berbukit. Pada malam hari suhu merata di

setiap wilayah akibat adanya pendinginan dari udara dingin yang turun dari gunung pada malam harinya (angin lembah). Kemudian pada siang harinya fenomena UHI cenderung tumbuh seiring meningkatnya aktivitas manusia yang memusat di kota (Alcoforado dan Andrade 2006).

4.5 Intensitas Urban Heat Island

Untuk mengestimasi intensitas urban heat island di wilayah Bogor, UHI dihitung dari perbedaan antara suhu permukaan yang berada di Kota Bogor dengan suhu permukaan wilayah suburban. Suhu permukaan wilayah urban diambil dari satu suhu permukaan tertinggi dari suhu permukaan rata-rata sebanyak 24 data (siang dan malam) selama 12 tahun. Pengambilan satu titik suhu permukaan diambil dari wilayah urban yang berada di wilayah Kota Bogor.

Gambar 18 Pengambilan titik acuan suhu permukaan wilayah Bogor Titik suhu permukaan wilayah suburban

tersebar di wilayah pinggir Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Titik suhu permukaan wilayah suburban sebanyak 32 titik berjarak 7 km dan 14 km dari satu titik pusat atau titik suhu permukaan wilayah urban. Titik-titik ini diambil sesuai dengan 16 arah mata angin secara radial dari titik pusat.

Penghitungan intensitas UHI dengan metode seperti diatas menunjukkan keberadaan fenomena UHI di wilayah Bogor. Pola UHI yang terbentuk memiliki intensitas UHI yang memusat di Kota Bogor. Pada siang hari intensitas UHI yang memusat di Kota Bogor memiliki nilai rata-rata sebesar 2.1 oC pada jarak 7 km dan 3.6 oC pada jarak 14 km. Pada malam nilai intensitas UHI rata-rata sebesar 0.3 oC pada jarak 7 km dan 1.2 o


(31)

Gambar 19 Besar intensitas UHI berjarak 7 km (UHI+7 __ kolom merah) dan 14 km (UHI+14 __ kolom biru) pada saat siang hari

Gambar 20 Besar intensitas UHI berjarak 7 km (UHI+7 __ kolom merah) dan 14 km (UHI+14 __ kolom biru) pada saat malam hari

Intensitas UHI memiliki nilai paling tinggi hingga mencapai 8.3 oC pada siang hari dan 4.2 oC pada malam hari. Kedua intensitas ini yaitu antara titik pusat dengan titik selatan-barat daya (SSW). Nilai intensitas yang tinggi disebabkan oleh perbedaan suhu yang cukup tinggi antara suhu dalam Kota Bogor dengan suhu di kaki Gunung Salak.

Nilai intensitas UHI terendah yaitu sebesar 0.6 oC pada siang hari dan -0.4 oC pada malam hari. Kedua intensitas berada diantara titik pusat dengan titik utara-timur laut (NNE). Nilai intensitas yang rendah menunjukkan wilayah antara kedua titik,

yaitu Kota Bogor dan Kota Cibinong memiliki perbedaan suhu yang hampir sama. Kota Cibinong merupakan kota yang memiliki perkembangan industri dan merupakan pusat kota di wilayah Kabupaten Bogor. Intensitas UHI bernilai negatif menunjukkan suhu udara lebih cepat menurun pada malam hari (Kim dan Baik 2004; Lee dan Baik 2010).

Aktivitas yang cenderung pasif pada malam hari di Kota Bogor menjadikan fenomena UHI di Kota Bogor menghilang secara temporal. Selain itu, penurunan suhu yang terjadi di Kota Bogor dan sekitarnya 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

N NNE NE ENE E ESE SE SSE S SSW SW WSW W WNW NW NNW

In ten sit as UHI ( oC)

Arah Mata Angin

UHI+7 UHI+14 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8

N NNE NE ENE E ESE SE SSE S SSW SW WSW W WNW NW NNW

In ten sit as UHI ( oC)

Arah Mata Angin

UHI+7 UHI+14


(32)

juga diakibatkan oleh peristiwa angin gunung. Angin gunung terjadi karena keadaan topografi yang diakibatkan oleh perbedaan suhu (Handoko 1995). Pada malam hari, puncak gunung mengalami pendinginan lebih cepat akibat proses pemanasan yang berhenti. Sehingga angin gunung yang membawa massa udara yang lebih dingin ini menumpuk dan kemudian bergerak menuju ketinggian permukaan yang lebih rendah.

V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Urban heat island dapat diidentifikasi dengan menggunakan teknik pengindraan jauh (remote-sensing). Teknik pengindraan jauh yang digunakan yaitu dengan melakukan ekstraksi komponen suhu permukaan menggunakan data citra satelit yang menghasilkan pola distribusi UHI secara spasial dan temporal.

Wilayah Bogor pada siang hari memiliki suhu permukaan rata-rata sebesar 26.8 oC, sedangkan pada malam hari wilayah Bogor memiliki suhu rata-rata sebesar 19.4 oC. Pada saat siang hari, suhu permukaan membentuk pola urban heat island yang memusat di Kota Bogor. Pada saat malam hari, suhu permukaan cenderung membentuk gradien suhu permukaan yang meningkat menuju Kota Depok hingga Kota Jakarta.

Pada siang hari Kota Bogor memberikan intensitas UHI yang lebih besar dibandingkan pada malam harinya. Pada siang hari intensitas UHI yang memusat di Kota Bogor memiliki nilai rata-rata sebesar 2.1 oC pada jarak 7 km dan 3.6 oC pada jarak 14 km. Pada malam hari nilai intensitas UHI rata-rata sebesar 0.3 oC pada jarak 7 km dan 1.2 oC pada jarak 14 km.

5.2 Saran

Dalam menganalisis urban heat island

sebaiknya dilakukan juga dengan pendekatan observasi suhu udara di perkotaan dan sekitarnya. Kajian observasi dapat efektif apabila terdapat data suhu udara yang berkelanjutan dan stasiun cuaca otomatis yang tersebar merata hingga wilayah Kabupaten Bogor. Pada penelitian ini digunakan pendekatan suhu permukaan hasil ekstraksi citra MODIS untuk menentukan UHI wilayah Bogor. Kedua metode apabila dilakukan secara bersamaan dapat menghasilkan analisis yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih ES. 1997. Perkembangan Perkotaan dan Dampaknya Terhadap Kualitas Udara dan Iklim di Jakarta dan Sekitarnya. Majalah Lapan No. 68: 38-52. Alcoforado MJ, Andrade H. 2006. Nocturnal Urban Heat Island In Lisbon (Portugal): Main Features And Modelling Attempts. Journal of Theor Appl Climatol. 84: 151– 159.

Atkinson BW. 2003. Numerical Modelling of Urban Heat Island Intensity. Journal of Boundary-Layer Meteorology. 109(3): 285-310.

Cheval S, Žák M, Dumitrescu A, Květoň V. 2009. Modis-Based Investigations On The Urban Heat Islands Of Bucharest (Romania) And Prague (Czech Republic).

Journal of Theor Appl Climatol. Vol 97. DeMers, Michael N. 2005. Fundamentals of

Geographic Information Systems. Hoboken: John Wiley.

Drapper NR, Smith H. 1992. Analisis Regresi Terapan (Edisi Kedua). Sumantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia. Terjemahan dari: Applied Regression Analysis (Second Edition).

Effendy S, Bey A, Zain AFM, Santosa I. 2006. Peranan Ruang Terbuka Hijau Dalam Mengendalikan Suhu Udara dan

Urban Heat Island Wilayah Jabotabek.

Jurnal Agromet Indonesia. 20 (1): 23-33. Effendy S. 2009. Dampak Pengurangan

Ruang Terbuka Hijau (RTH) Perkotaan Terhadap Peningkatan Suhu Udara dengan Metode Pengindraan Jauh. Jurnal Agromet Indonesia. 23 (2): 169-181. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta:

PT Dunia Pustaka Jaya.

Kusumawati Y, Effendy S, Aldrian E. 2008. Variasi Spasial dan Temporal Hujan Konvektif di Pulau Jawa Berdasarkan Citra Satelit. Jurnal Agromet Indonesia.


(33)

Kim YH, Baik JJ. 2004. Spatial and Temporal Structure of the Urban Heat Island in Seoul. Journal of Applied Meteorology. 44: 591-605.

Lee SH, Baik JJ. 2010. Statistical And Dynamical Characteristics Of The Urban Heat Island Intensity In Seoul. Journal of Theor Appl Climatol. 100: 227–237. Lillesand TM, Kiefer RW. 1997.

Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri et al, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation.

Lim KH, Chang CW, Liew SC. 2001.

Regional Cloud-Free Composite of MODIS Data. Di dalam: The 22nd Asian Conference on Remote Sensing. Singapore: CRISP, National University of Singapore.

Maier SW, Ebke W, Ruppert T. 2004.

MODIS-Processing at DLR/DFD.

Deutsches Zentrum für Luft- und Raumfahrt e.V. (DLR) Deutsches Fernerkundungsdatenzentrum (DFD).

Mannstein H. 1987. Surface Energy Budget, Surface Thermal and Thermal Inertia. Remote Sensing Applications in Meteorology And Climatology. Dordrectht: D. Reidel Publishing Company. hlm 391-410.

Mas’at A. 2009. Efek Pengembangan Perkotaan Terhadap Kenaikan Suhu Udara di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Agromet Indonesia 23. (1):52-60.

Oke TR. 1997. Urban Climate and Global Environmental Change. Di dalam: Thompson RD, A Perry, editor. Applied Climatology: Priciples and Practices. London. hlm 273-287.

Streutker DR. 2003. Satellite-measured growth of the urban heat island of Houston, Texas. Journal of Remote Sensing Environment. 85: 282-289.

Supriatna W, Sukartono. 2002. Teknik Perbaikan Data Digital (Koreksi dan Penajaman) Citra Satelit. Buletin Teknik Pertanian. Vol 7 No 1.

Tursilowati L. 2007. Urban Heat Island dan Kontribusinya pada Perubahan Iklim dan Hubungannya dengan Perubahan Lahan. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Pemanasan Global dan Perubahan Global – Fakta, Mitigasi, dan Adaptasi. Bandung: Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN. hlm 89-96. Turyanti A, Santikayasa IP. 2006. Analisis

Pola Unsur Meteorologi dan Konsentrasi Polutan di Udara Ambien Studi Kasus: Jakarta Dan Bandung. Jurnal Agromet Indonesia. 20 (2): 25-37.

Voogt JA. 2002. Urban Heat Island: Causes and Consequences of Global Environmental Change. Chichester: John Wiley and Sons, Ltd.. hlm 660-666. Wan Z, Zhang Y, Zhang Q, Li Z L. 2004.

Quality Assessment and Validation of The MODIS Global Land Surface Temperature. International Journal of Remote Sensing. 25(1): 261−274.

Wang K, Wan Z, Wang P, Sparrow M, Liu J, Zhou X, Haginoya S. 2005. Estimation of Surface Long Wave Radiation and Broadband Emissivity Using Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) Land Surface Temperature/ Emissivity Products. Journal of Geophysical Research. Vol 110 (D11109).

Wen X. 2008. A New Prompt Algorithm for Removing The Bowtie Effect of Modis L1B Data. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol XXXVII.


(34)

(1)

Lampiran 14 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2006-2011 (malam hari)

11 Juli 2006 4 Juli 2007

8 Juli 2008 7 Juli 2009


(2)

Lampiran 15 Besar intensitas UHI pada siang hari tahun 2000-2005

12 Juli 2000

12 Juli 2001

20 Juli 2002

23 Juli 2003

23 Juli 2004


(3)

Lampiran 16 Besar intensitas UHI pada siang hari tahun 2006-2011

26 Juli 2006

11 Juli 2007

8 Juli 2008

12 Juli 2009

24 Juli 2010


(4)

Lampiran 17 Besar intensitas UHI pada malam hari tahun 2000-2005

18 Juli 2000

6 Juli 2001

11 Juli 2002

26 Juli 2003

23 Juli 2004


(5)

Lampiran 18 Besar intensitas UHI pada malam hari tahun 2006-2011

11 Juli 2006

4 Juli 2007

8 Juli 2008

7 Juli 2009

24 Juli 2010


(6)