14 Negara KeSultanan Serdang merupakan perkawinan antara kerajaan Perbaungan asal Minangkabau,
Denai
21
, Lubuk Pakam, Batang Kuis, Percut Sei Tuan sampai Selatan, sampai kebatas Sungai Ular melalui Namu Rambe dari Hulu sampai ke pantai Selat Malaka.
32
Nama Negara KeSultanan Serdang berasal dari nama pohon Serdang sejenis Palm yang daunnya dapat dijadikan atap rumah.
4
Adapun arti daripada suksesi 1720 itu dalam garis –garis besarnya ialah :
1 Lahirnya bangsawan Melayu Serdang ;
2 Puncak perjuangan Tengku Umar Johan Perkasa Alamsyah untuk memperebutkan tahta kerajaan
Deli namun gagal; 3
Titik tolak untuk membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan raja adil raja disembah raja jalim raja disanggah.
Semenjak suksesi 1720 itu sejarah bangsa Melayu Serdang merupakan daripada suatu bangsa yang merdeka dan bernegara; sejarah bangsa Melayu Serdang yang menyusun pemerintahannya.
3. Kondisi Ekonomi-Politik
Di awal abad ke-19 penggerak utama dari perekonomian Negara KeSultanan Serdang berorientasi pada sektor perdagangan impor dan ekspor. Dalam abad ini perdagangan dapat maju dan berkembang
pesat oleh karena adanya pengutan di bidang perpajakan yang menelola di Sungai Serdang. Orang Batak dari negeri Dolok dan Alas dari Singkel banyak berdagang ke Serdang. Adapun barang-barang yang
diperdagangkan oleh orang-orang Batak dan Alas tersebut ialah kapur Barus dan emas yang dibarter dengan pakaian dan barang-barang lainnya.
Di tahun 1822 – lada diekspor ke Penang dan Malaka kira-kira berjumlah sekitar 8000 pikul. Lada
dijual seharga 20 per 100 gantang. Lada di KeSultanan ini berfungsi sebagai pemasukan atas devisa bagi Negara. Jadi dengan demikian dapat diperumpamakan bahwa lada itu fungsinya semacam patokan
barter dan ukuran cukai untuk menetapkan “nilai mata uang” dalam perdagangan impor dan ekspor - 1 per gantang sebagai patokan untuk cukai dan inpor dan ekpor tersebut.
Disamping lada yang dipakai sebagai patokan barter; bijan, tembakau dan kacang putih juga dipakai untuk hal yang sama. Masing-masing 10 per 100 gantang untuk bijan; 10 per pikul untuk tembakau
dan 100 gantang kacang putih. Selain jenis tumbuh-tumbuhan yang dipakai sebagai patokan barter –
“HET harga eceran tertinggi”, budak hamba juga dijadikan hal serupa sebagai patokan - 1 per hamba.
Kain produksi sendiri dengan merek Berkampong yang kualitasnya kira-kira seperti kain Bugis dan Serawal seperti kain celana Aceh merupakan hasil industri dari KeSultanan ini. Tidak ketinggalan juga
beberapa buah perahu besar juga merupakan bagian industri dari KeSultanan ini. Industri lainnya berupa timah yang terdapat di dekat Kampung Perungit dalam kapasitas besar tetapi belum sepenuhnya
ditetapkan sebagai komoditi utama untuk KeSultanan ini.
Hasil seperti kegiatan perdagangan, perindustrian dan cukai – mengakibatkan pemasukan devisa
Negara sulit untuk diperkirakan. Namun dapatlah ditaksirkan bahwa pendapatan dari devisa tersebut diserahkan ke kas Negara dan masuk ke Sultan pribadi sekitar 1200 ditambah dengan usaha-usaha
Sultan berupa keuntungan dari hasil perdagangan Sultan dan Kerabat Sultan di Istana serta cukai yang dikutip dari kampong-kampung seperti Kampung Besar, Durian dan Klambir untuk lada, padi dan garam.
Dipertengahan abad ke-20, motor penggerak daripada perekonomian Negara KeSultanan Serdang mengarah kepada ekonomi perkebunan yang menimbulkan perubahan drastis pada Negara ini. Sistem
perekonomian ini telah meningkatkan kesejahteraan hampir semua bangsawan dan rakyat KeSultanan
1
Wawancara dengan Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH; dirumah : JL. Abdulla Lubis No. 4247 Medan, tanggal 31 Maret 2001.
2
Luckman. Sari Sejarah Serdang Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1970 hal.18.
4
Ibid., hal. 20
15 penduduk Melayu. Imbalan honorarium dari perusahaan perkebunan terus mengalir ke kantong pribadi
para Sultan dan Datuk yang berkuasa – sejumlah 51,9 dari pajak. Keuntungan dari pajak itu masih
ditambah lagi dengan gaji resmi dan Honorarium Sultan Sulaiman sebesar f103.346. Sejalan dengan kekayaan yang luar biasa ini memunculkan perubahan gaya hidup Sultan dan Kerabat
Istana. Kaum Istana sebelum kedatangan Belanda berada dalam keadaan melarat. Setelah hadirnya system ekonomi perkebunan
– mereka telah mampu membangun istana yang megah, membeli mobil mewah
– menurut Budi Agustono : Sultan Serdang memiliki 10 unit dan pesiar ke Eropa. Gaya hidup mewah pada gilirannya mewarnai kehidupan mereka sehari-hari. Sultan kerap kali mengadakan pesta-
pesta untuk menyambut tamu-tamu penting orang Eropa. Untuk membentuk kebesaran dinastinya, mereka membentuk pasukan yang terdiri dari para keluarga bangsawan.
Dampak daripada perkembangan ekonomi-perkebunan ini juga telah mengubah demografis. Hal ini diakibatkan olah masuknya buruh-buruh dan kaum pendatang
– maka penduduk asli orang Melayu menjadi minoritas di negerinya sendiri. Disamping itu perlakuan yang sewenang-wenang terhadap buruh
perkebunan oleh majikan sudah sering terjadi
5
. Prosedur pengadilan yang terjadi diperkebunan- perkebunan adalah :
1 Priode pertama antara tahun 1863-1872; Sultan menyetujui para manager-maneger perkebunan
untuk menghukum kuli-kuli mereka tanpa meminta izin pada Sultan – izin ini diberikan oleh
Sultan; 2
Priode sejak tahun 1880-1931; saat Poenali Sancti diberlakukan – pada saat itu kuli-kuli tetap menjalani berbagai hukuman yang dilakuakan oleh manager perkebunan atau Asisten Kebun.
6
Pada masa pendudukan Jepang, kondisi sosial-ekonomi hancur sama sekali.
7
Pemerintah Jepang kurang berminat untuk membangun kembaliprasarana transportasi yang telah hancur akibat pertempuran
singkat pada bulan Maret 1942. Bersamaan dengan itu muncul kecendrungan untuk membangun kebutuhan mereka sendiri secara semi otonomi
– keadaan ini akhirnya menyebabkan surplus produksi. Menghadapi situasi seperti itu, pemerintah Jepang segera mengambil tindakan. Jepang memutuskan
bahwa seluruh tanah perkebunan adalah dibawah control langsung pemerintah Jepang. Ini berarti bahwa hak istimewa yang dimiliki penguasa tradisional dan hak sewa tanah dihapuskan.
8
Kebijakan Jepang ini tentu saja mendapat sambutan hangat dari buruh-buruh perkebunan, petani Karo dan Batak Toba. Mereka segera berdatangan untuk membuka tanah-tanah kosong dan hutan-hutan lebat
untuk dijadikan persawahan. Sebagian Etnis Jawa, Batak Toba dan Karo bahkan Tionghowa menduduki tanah-tanah perkebunan itu dan menganggap sebagai miliknya sendiri. Tindakan ini akhirnya
memberikan kontribusi berat bagi petani Etnis Melayu dan pihak KeSultanan. Mereka mengamati dengan perasaan cemas
– karena tidak hanya kehilangan tanah tetapi juga menyaksikan sendiri bagaimana tanah-
tanah leluhur mereka diambil alih oleh sejumlah besar kaum “pendatang”. Lebih parah lagi
– pemerintah Jepang masih membolehkan para pemimpin pergerakan mempropagandakan dan mengindok
trinasikan kaum “pendatang” dengan sentiment anti KeSultanan.
9
Memasuki bulan Maret 1946 – ketegangan golongan dan kesukuan yang sudah terbentuk sejak awal
tahun 1920-an meledak ketika para pendudukung Republik melakukan aksi balas dendam terhadap kaum Bangsawan. Alasan utama mereka adalah karena Etnis Melayu dan Bangsawan yang memiliki hak-hak
istimewa.
10
5
Ibid., hal. 24-28. Mengenai tindakan sewenang-wenang terhadap Buruh, Lihat juga Anthony Reid
– The Blood of The People : Revolution and The End of Traditional Rule In Northeren Sumatra, atau Perjuangan Rakyat : Revolusi
dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, terj. Team PHS Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal. 79-85.
6
Ibid., hal. 28
7
Ibid., hal. 45.
8
Ibid., hal. 46.
9
Ibid., hal. 47.
10
Ibid., hal. 74-75.
16
4. Kependudukan