Kesultanan Kota Pinang Sekitar Proklamasi RI (1945-1946)
KESULTANAN KOTA PINANG SEKITAR PROKLAMASI RI (1945-1946)
Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh
IUNITA SIMANJUNTAK NIM : 050706003
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2009
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(2)
KESULTANAN KOTA PINANG SEKITAR PROKLAMASI RI (1945-1946) SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN O
L E H
Nama : Iunita Simanjuntak Nim : 050706003
Pembimbing
Drs. Sentosa Tarigan, M. SP Nip 195103221978021001
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2009
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(3)
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
KESULTANAN KOTA PINANG SEKITAR PROKLAMASI RI (1945-1946) SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN O
L E H
Nama : Iunita Simanjuntak Nim : 050706003
Pembimbing
Drs. Sentosa Tarigan, M. SP Nip 195103221978021001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan,
untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2009
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(4)
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
KESULTANAN KOTA PINANG SEKITAR PROKLAMASI RI (1945-1946) Yang diajukan oleh
Nama : Iunita Simanjuntak Nim : 050706003
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh Pembimbing
Drs. Sentosa Tarigan, M. SP Tanggal Nip 195103221978021001
Ketua Departemen Ilmu Sejarah
Dra. Fitriaty Harahap S.U Tanggal Nip 195406031983032001
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2009
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(5)
Lembar Persetujuan Ketua Departemen Disetujui oleh :
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH Ketua Departemen
Dra. Fitriaty Harahap S.U Nip 195406031983032001
Medan, Desember 2009
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(6)
Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian
Diterima oleh :
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah Pada Fakultas Sastra USU Medan
Pada : Hari : Tanggal :
Fakultas Sastra USU Dekan
Prof. Syaifuddin, M.A,. Ph.D Nip 196509091994031004
Panitia Ujian,
No. Nama Tanda Tangan 1. ……… (………) 2. ……… (………) 3. ……… (……….…...) 4. ……… (………...….) 5. ……… (………....)
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(7)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta karunia-Nya yang dilimpahkan dengan memberikan kesehatan, ketabahan serta ketekunan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini mulai dari awal sampai selesai. Adapun penulisan ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Program Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi terutama dalam masalah pencarian data dan buku-buku literatur pendukung dalam penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis menerima kritikan dan masukan yang bersifat membangun dari semua pihak sebagai bahan penyempurnaan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Keluarga teristimewa kedua orang tua tercinta K. Simanjuntak/D. Silitonga yang telah memberikan perhatian, dukungan dan doa kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Drs. Syaifuddin, MA. Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara beserta staf dan pegawainya.
3. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah FS-USU dan Ibu Dra. Nurhabsyah M.Si selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah FS-USU.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(8)
4. Bapak Drs. J. Fachruddin Daulay, selaku Dosen Wali penulis yang memberikan motivasi agar cepat menyelesaikan skripsi.
5. Bapak Drs. Sentosa Tarigan M.SP, selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah memberikan bimbingan dan pengarahannya kepada penulis.
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Sejarah terutama Drs. Timbun Ritonga yang memberikan banyak masukan kepada penulis dan membekali penulis selama dalam bangku kuliah.
7. Ito Gohi, Bang Fery Siagian dan segenap informan yang banyak membantu dan memberikan masukan dan bahan-bahan serta data-data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
8. Teman-teman stambuk 2005 tanpa terkecuali dan sahabat-sahabat ku yang telah membantu dan memberikan dorongan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Someone special yang memberikan semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga semua kebaikan yang telah penulis terima dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan penyertaan-Nya senantiasa menyertai kita semua.
Medan, Desember 2009 Penulis
Iunita Simanjuntak
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(9)
ABSTRAK
Kesultanan Kota Pinang adalah satu kesultanan di Sumatera Timur yang terkena imbas dari revolusi sosial pada tahun 1946.
Sebelum kedatangan Belanda ke Kota Pinang, kehidupan rakyatnya aman, damai dan tentram. Hubungan antara Sultan dengan rakyat terjalin dengan baik dimana rakyat tunduk kepada Sultan dan demikian sebaliknya Sultan melindungi dan memperhatikan rakyatnya.
Kedatangan Belanda ke Kota Pinang pada tahun 1837 mengakibatkan perekonomian dan pemerintahan menjadi berubah akibat adanya campur tangan Belanda. Sultan dijadikan perpanjangan tangan Belanda untuk menguras rakyat, sehingga rakyat menderita karena rakyat harus memberikan seluruh harta benda miliknya kepada Sultan yang kemudian akan diserahkan kepada Belanda.
Jepang datang ke Kota Pinang dan menggantikan kekuasaan Belanda pada tahun 1942. Rakyat berharap kehidupan mereka akan berubah setelah kedatangan Jepang, namun kenyataan yang terjadi sebaliknya kehidupan rakyat semakin menderita karena Jepang menjadikan rakyat sebagai pasukan militernya dan sebagai romusha.
Pada tahun 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta. Namun realisasinya tidak dapat terwujud secepatnya di seluruh Indonesia khususnya Sumatera Timur, sehingga terjadilah revolusi sosial yang mengakibatkan berakhirnya Kesultanan Kota Pinang.
Iunita Simanjuntak
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(10)
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Abstrak
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………...…..1
1.2 Rumusan Masalah ………..…….6
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..………….6
1.4 Tinjauan Pustaka ……….……..………..7
1.5 Metode Penelitian ………..……….8
BAB II KONDISI KESULTANAN KOTA PINANG SEBELUM PROKLAMASI RI 2.1 Geografis Kesultanan Kota Pinang ………...10
2.2 Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Pinang 2.2.1 Sistem Perekonomian ………..……..12
2.2.2 Sistem Sosial Buda ya ……….………....13
2.3 Sistem Pemerintahan Kesultanan Kota Pinang …………...16
2.4 Masa Penjajahan Belanda ……….………….21
2.5 Masa Penjajahan Jepang ………..…………..28
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(11)
BAB III KONDISI KESULTANAN KOTA PINANG SESUDAH PROKLAMASI RI
3.1 Sikap Kesultanan Kota Pinang Terhadap Proklamasi …………..….……35 3.2 Sikap Masyarakat Kota Pinang Terhadap Proklamasi ………..38 3.3 Perbedaan Sikap Antara Masyarakat Kota Pinang dengan Kesultanan Terhadap
Proklamasi ……….43
BAB IV REVOLUSI SOSIAL DI KESULTANAN KOTA PINANG
4.1 Revolusi Sosial ……….….47 4.2 Dampak Revolusi Sosial ………54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ………..….……….58 5.2 Saran ………..……60
Daftar Pustaka Daftar Informan Lampiran
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(12)
ABSTRAK
Kesultanan Kota Pinang adalah satu kesultanan di Sumatera Timur yang terkena imbas dari revolusi sosial pada tahun 1946.
Sebelum kedatangan Belanda ke Kota Pinang, kehidupan rakyatnya aman, damai dan tentram. Hubungan antara Sultan dengan rakyat terjalin dengan baik dimana rakyat tunduk kepada Sultan dan demikian sebaliknya Sultan melindungi dan memperhatikan rakyatnya.
Kedatangan Belanda ke Kota Pinang pada tahun 1837 mengakibatkan perekonomian dan pemerintahan menjadi berubah akibat adanya campur tangan Belanda. Sultan dijadikan perpanjangan tangan Belanda untuk menguras rakyat, sehingga rakyat menderita karena rakyat harus memberikan seluruh harta benda miliknya kepada Sultan yang kemudian akan diserahkan kepada Belanda.
Jepang datang ke Kota Pinang dan menggantikan kekuasaan Belanda pada tahun 1942. Rakyat berharap kehidupan mereka akan berubah setelah kedatangan Jepang, namun kenyataan yang terjadi sebaliknya kehidupan rakyat semakin menderita karena Jepang menjadikan rakyat sebagai pasukan militernya dan sebagai romusha.
Pada tahun 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta. Namun realisasinya tidak dapat terwujud secepatnya di seluruh Indonesia khususnya Sumatera Timur, sehingga terjadilah revolusi sosial yang mengakibatkan berakhirnya Kesultanan Kota Pinang.
Iunita Simanjuntak
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(13)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia selalu mengalami yang namanya perubahan. Perubahan tersebut dapat diketahui dari sejarah masa lampau. Itu sebabnya kita perlu mengetahui peristiwa sejarah yang telah terjadi pada masa lampau, sebab sesuatu yang terjadi pada masa lampau tentu mempengaruhi kehidupan masa kini. Begitu juga dengan apa yang dilakukan oleh manusia pada masa kini akan mempengaruhi kehidupan yang akan datang, sesuai dengan dimensi yang dimiliki sejarah yaitu masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.
Sulit untuk menemukan pengertian sejarah yang sebenarnya sesuai dengan yang diinginkan pembaca. Yang sering kali ditemukan ialah istilah-istilah yang artinya sama dengan sejarah. Misalnya kata “sejarah” yang berasal dari bahasa Yunani kuno “istoria” yang kurang lebih berarti “belajar dengan cara bertanya-tanya pada orang pintar yang mengetahui tentang sejarah tersebut”. Kata “sejarah” yang berasal dari bahasa Arab “syajaratun” berarti “pohon” dan juga “keturunan” atau “asal usul”.1 Menurut defenisi yang paling umum, kata history kini berarti “masa lampau umat manusia”.2
Sejarah menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia yang berorientasi pada kebudayaan, ekonomi sosial dan politik. Demikian juga halnya dengan Kota Pinang yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Kota Pinang menjadi salah satu tempat terjadinya
1
William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah
Revolusi, LP3ES, Jakarta. 1982. Hlm. 1
2
Louis Gottscalk, Understanding History, Mengerti Sejarah, (Ter) Nugroho Noto Sutanto, UI Press, Jakarta. 1986. Hlm. 27
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(14)
revolusi sosial di Sumatera Timur pada tahun 1946 yang menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek kebudayaan, ekonomi, sosial dan politik.
Kota Pinang adalah salah satu Kecamatan yang berada di Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Provinsi Sumatera Utara.3
Sebelum kedatangan bangsa Belanda ke Sumatera Timur khususnya Kota Pinang, keadaan masyarakat Kota Pinang sangat diperhatikan oleh Sultan. Kedatangan Belanda membawa dampak negatif maupun dampak positif bagi Kesultanan Kota Pinang. Dampak negatifnya adalah dengan datangnya Belanda ke Kesultanan Kota Pinang menimbulkan penderitaan bagi rakyat Kota Pinang dimana sebelum kedatangan Belanda rakyat sudah tunduk kepada Sultan tetapi setelah kedatangan Belanda Sultan dimanfaatkan untuk memeras rakyat dengan memberikan semua hasil jerih payah rakyat kepada Sultan yang kemudian akan diserahkan oleh Sultan kepada Belanda. Belanda mempengaruhi penguasa lokal dengan menanamkan sifat feodalistis kepada penguasa lokal sehingga penguasa lokal tidak lagi memperhatikan rakyatnya. Belanda juga menguasai perekonomian dan
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Negara Indonesia banyak mengalami perubahan, salah satunya adalah sistem pemerintahan yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia termasuk Sumatera Timur.
Sistem pemerintahan di Sumatera Timur sebelum masuknya bangsa Belanda berbentuk kerajaan, seperti di Labuhan Batu terdapat beberapa kerajaan pada saat itu diantaranya adalah Kerajaan Kualuh di Tanjung Pasir, Kerajaan Bilah di Negeri Lama, Kerajaan Panai di Labuhan Bilik dan Kesultanan Kota Pinang di Pinang Awan.
3
Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, Sumatera Utara masih disebut dengan Sumatera Timur.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(15)
pemerintahan di Kota Pinang, hal ini dilakukan oleh Belanda untuk kepentingannya sendiri yakni ingin menguasai daerah tersebut.
Selain pengaruh yang negatif tersebut, kedatangan Belanda juga membawa pengaruh yang positif bagi Kesultanan Kota Pinang khususnya dan Indonesia umumnya. Dengan datangnya bangsa Belanda ke Indonesia, rakyat mendapat pengetahuan tentang edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan) dan transmigrasi (perpindahan penduduk). Meskipun hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengecam pendidikan pada masa penjajahan Belanda, namun hal tersebut sangat berguna nantinya untuk terjadinya revolusi sosial. Demikian juga halnya dengan irigasi dan transmigrasi, rakyat Indonesia dapat mengetahui pengairan untuk pertanian dan perpindahan penduduk yang nantinya sangat berguna sehingga rakyat Indonesia dapat bertani dengan baik dan benar juga melakukan perpindahan dari satu daerah ke daerah lain untuk mencari pekerjaan dan mengatasi terjadinya kepadatan penduduk pada satu daerah. Meskipun pada awalnya Belanda melakukan ini semua hanya untuk kepentingan kolonialnya di Indonesia.
Bangsa Belanda banyak mempengaruhi sistem pemerintahan lokal di Indonesia termasuk Sumatera Timur. Masa kolonial Belanda di Sumatera Timur berlaku sejak diadakannya perjanjian antara Belanda dengan Inggris yang disebut dengan Traktat London pada tahun 1824 yang pada intinya berisikan tentang pertukaran daerah jajahan, dimana Inggris berjanji tidak akan meluaskan daerah jajahannya ke Sumatera demikian juga halnya dengan Belanda tidak akan meluaskan daerah jajahannya ke Semenanjung Melayu. Kesultanan Kota Pinang sudah lebih dulu dikuasai oleh Belanda dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Sumatera Timur seperti Kerajaan Kualuh, Bilah dan lain sebagainya yakni pada tahun 1837. Sehingga pada saat Belanda membuat kontrak politik
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(16)
dengan Siak, Kesultanan Kota Pinang tidak lagi didatangi oleh Belanda untuk menekankan kekuasaannya di daerah tersebut seperti yang dilakukan oleh Belanda terhadap daerah-daerah lainnya di bawah taklukan Siak. Kontrak politik antara Belanda dengan Siak ini disebut dengan Traktat Siak yang ditandatangani pada tanggal 1 Februari 1858 dengan tujuan agar kerajaan-kerajaan yang ada di bawah taklukan Siak yakni seluruh kerajaan yang ada di Sumatera Timur kecuali Aceh menjadi berada di bawah pengaruh kolonial Belanda.4
4
Tengku Luckman Sinar, Sari Sejarah Serdang, Medan: 1971. Hlm. 63
Kemudian Jepang datang ke Indonesia dan menggantikan kedudukan Belanda di Indonesia. Kedatangan bangsa Jepang ke Indonesia khususnya Sumatera Timur pada awalnya disambut baik oleh rakyat karena propaganda yang diberikan oleh Jepang pada rakyat yang menyatakan bahwa Jepang adalah penolong bagi rakyat Indonesia dari jajahan Belanda. Namun itu semua bohong, Jepang melakukan itu semua agar rakyat Indonesia menuruti Jepang dan dengan mudah Jepang dapat menguasai Indonesia.
Pada masa kekuasaan Jepang, posisi penguasa-penguasa lokal tidak dipengaruhi oleh Jepang seperti yang dilakukan oleh Belanda. Jepang tidak memberikan hak istimewa kepada kaum feodal dan bangsawan, bagi Jepang semua rakyat Indonesia sama. Jepang tidak memperhatikan sistem pemerintahan seperti yang dilakukan oleh Belanda, hal ini disebabkan oleh Jepang lebih menaruh perhatiannya pada usaha-usaha untuk mengumpulkan tenaga kerja untuk membangun benteng-benteng pertahanan dan membangun militer yang kuat dengan melatih rakyat untuk dijadikan pasukan perang dalam menghadapi sekutu. Untuk mewujudkan keinginan tersebut maka semua sistem pendidikan dipengaruhi oleh sistem militer.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(17)
Pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di Jakarta, namun realisasinya belum terwujud di seluruh Indonesia termasuk di Sumatera Timur. Berita proklamasi tersebut baru sampai ke Medan pada tanggal 29 Agustus 1945 dibawa oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan dan Dr. Amir dari Jakarta.5
Berdasarkan latar belakang tersebut perlulah kiranya dibuat suatu penelitian khusus untuk mengetahui ekonomi dan sosial budaya di Kesultanan Kota Pinang. Supaya tulisan Hal ini disebabkan oleh kurang lancarnya komunikasi dan transportasi dari Jawa ke daerah-daerah di luar Jawa. Berita proklamasi tersebut belum juga dapat direalisasikan secepat mungkin disebabkan oleh keadaan di Sumatera Timur pada saat itu masih banyak Sultan yang mengharapkan kedatangan Belanda kembali ke Sumatera Timur.
Para penguasa lokal atau Sultan yang ada di Sumatera Timur masih menginginkan kedudukannya kembali seperti pada masa kekuasaan Belanda, sehingga pada saat Jepang meninggalkan Sumatera Timur para penguasa atau sultan membentuk panitia untuk menyambut kedatangan Belanda kembali di Sumatera Timur. Hal ini memicu kemarahan rakyat sehingga mulailah timbul gejolak yang mengarah pada kekerasan. Rakyat menginginkan sistem pemerintahan yang bercorak demokrasi sehingga kekuasaan kaum feodal harus dihapuskan. Manifestasi dari gejolak-gejolak yang terjadi di Sumatera Timur termasuk di Labuhan Batu mencapai puncak pada bulan Maret 1946 yang disebut dengan Revolusi Sosial. Para penguasa feodal yang ada di Labuhan Batu termasuk Kesultanan Kota Pinang menjadi korban dalam revolusi sosial yang dipelopori oleh Pemuda Sosial Indonesia (Pesindo).
5
Mayjen TNI (Purn) H.R Sjahnan SH, Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota
Medan, Dinas Sejarah Kodam-II/BB, Medan: 1982. Hlm. 9
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(18)
ini tidak terlalu luas cakupannya maka penulis membatasi tulisan ini dengan memberi judul
“Kesultanan Kota Pinang Sekitar Proklamasi RI 1945-1946”. Batasan tahun pada
penelitian ini adalah tahun 1945 yakni terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan mulai tumbuhnya keinginan untuk merealisasikan kemerdekaan Republik Indonesia dan tahun 1946 menjadi batas akhir dari penulisan ini karena pada tahun inilah terjadinya revolusi sosial di Indonesia umumnya dan Kota Pinang khususnya yang menyebabkan terjadinya perubahan yang secara serta merta dalam bidang sosial, ekonomi, dan pemerintahan di Kesultanan Kota Pinang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dan untuk mempermudah penulisan serta upaya menghasilkan penelitian yang objektif, maka penulis perlu membatasi masalah Kesultanan Kota Pinang Sekitar Proklamasi RI 1945-1946 sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi Kesultanan Kota Pinang sebelum Proklamasi RI? 2. Bagaimana kondisi Kesultanan Kota Pinang sesudah Proklamasi RI? 3. Bagaimana proses terjadinya revolusi sosial di Kesultanan Kota Pinang?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan pasti memiliki tujuan yang akan dicapai, biasanya penelitian bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kondisi Kesultanan Kota Pinang sebelum Proklamasi RI. 2. Untuk mengetahui kondisi Kesultanan Kota Pinang sesudah Proklamasi RI. 3. Untuk mengetahui proses terjadinya revolusi sosial di Kesultanan Kota Pinang.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(19)
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi kepada pembaca tentang Kesultanan Kota Pinang sekitar Proklamasi RI.
2. Memberikan pemahaman tentang dampak dari revolusi sosial baik dampak positif maupun dampak negatif agar kejadian tersebut tidak terulang kembali di daerah manapun di Indonesia.
1.4 Telaah Pustaka
Dalam menyelesaikan tulisan ini perlu dilakukan tinjauan pustaka dengan menggunakan buku-buku yang berhubungan dengan judul tulisan ini yakni tentang Kesultanan Kota Pinang Sekitar Proklamasi RI. Untuk itu penulis menggunakan beberapa buku yang dapat mendukung tulisan ini.
Menurut Suprayitno dalam bukunya yang berjudul Mencoba (lagi) Menjadi
Indonesia memaparkan tentang keadaan sosial ekonomi dan politik Sumatera Timur pada
masa kolonial hingga pasca kemerdekaan RI. Dimana kerajaan-kerajaan tradisional yang ada di Sumatera Timur mengalami perubahan yang sangat mempengaruhi pemerintahan dan sosial ekonomi kerajaan tersebut. Dan juga menceritakan tentang bagaimana sikap penguasa lokal terhadap kolonial dan terhadap proklamasi kemerdekaan RI, hingga terjadinya revolusi sosial di Sumatera Timur pada tahun 1946 akibat kemarahan masyarakat kepada penguasa lokal.
Dalam bukunya, Anthony Reid yang berjudul Perjuangan Rakyat: Revolusi dan
Hancurnya Kerajaan di Sumatera menceritakan tentang berlangsungnya revolusi sosial di
berbagai daerah di Sumatera dengan berbagai proses yang dilalui di daerah tersebut. Dengan demikian dapat diketahui bahwa revolusi sosial di setiap daerah berbeda-beda
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(20)
waktu dan proses yang dilalui, seperti misalnya di daerah Tanah Karo revolusi sosial yang terjadi lebih tertib tanpa adanya pertumpahan darah dibandingkan dengan daerah Asahan yang melakukan pembantaian terhadap keluarga Sultan yang mengakibatkan banyak korban.
Mayjen TNI (Purn) H. R Sjahnan SH dalam bukunya yang berjudul Dari Medan
Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan, menceritakan tentang keadaan Sumatera
Timur pada saat Jepang telah menyerah tanpa syarat pada sekutu dan masuknya tentara sekutu ke Sumatera Timur dan membonceng tentara Belanda. Melihat keadaan yang demikian, para pemuda Indonesia melakukan tindakan yaitu dengan membentuk tentara juga dari partai politik membentuk lasykar rakyat yang memiliki tujuan yang sama untuk kepentingan rakyat.
1.5 Metode Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah merekonstruksi sejarah dan menghasilkan sebuah karya yang bernilai ilmiah, sehingga suatu tahapan harus dilalui untuk mencapai suatu hasil yang maksimal. Untuk itu dalam penelitian ini memakai metode penelitian sejarah. Adapun metode penelitian sejarah dilakukan 4 (empat) langkah, antara lain heuristik, kritik, interpretasi dan historiography.6
Langkah pertama yang dilalui ialah heuristik mengumpulkan data dan sumber-sumber yang sesuai dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan). Dalam penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan beberapa dokumen, buku, majalah, dan artikel yang berkaitan dengan judul tulisan. Kemudian dalam penelitian lapangan, dengan
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(21)
menggunakan metode wawancara yang terstruktur dan terbuka kepada orang-orang yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan.
Langkah kedua yang dilakukan ialah kritik. Dalam tahapan ini, akan melakukan kritik terhadap sumber yang terkumpul untuk mencari keaslian sumber tersebut baik dari segi substansial (isi) yakni dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan Kesultanan Kota Pinang maupun materialnya untuk mengetahui keaslian atau palsu kah sumber tersebut agar diperoleh keotentikannya. Namun karena kesulitan mencari sumber primer membuat kritik eksternal tidak dapat dilakukan secara efektif, maka kritik internal dilakukan yaitu melihat sejauh mana kebenaran informasi dari sumber tersebut.
Tahapan lanjutan setelah uji dan analisa data ialah tahapan interpretasi. Dalam tahapan ini data yang telah diperoleh harus dianalisa sehingga melahirkan suatu analisa baru yang sifatnya objektif dan ilmiah dari objek yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta minimnya data fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisa yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Dengan kata lain, tahap ini dilakukan dengan menyimpulkan kesaksian atau data/ informasi yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada untuk diceritakan kembali.
Selanjutnya tahapan akhir ialah historiografi yang akan selalu berusaha memperhatikan aspek kronologis. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah Deskriptif-Analitif yaitu lewat pembeberan rangkaian peristiwa dan dilanjutkan dengan penggunaan alat analisa yang melibatkan perspektif sejarah.
6
Louis Gottschalk. Op.cit., Hlm. 34.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(22)
BAB II
KONDISI KESULTANAN KOTA PINANG SEBELUM PROKLAMASI RI
2.1 Geografis Kesultanan Kota Pinang
Kesultanan Kota Pinang terletak di daerah Kabupaten Labuhan Batu Selatan sekarang dan juga sebagai ibukota kabupaten Labuhan Batu Selatan yang luasnya 48.240 Ha. Kabupaten Labuhan Batu Selatan terdiri dari 5 Kecamatan yaitu Kecamatan Kota Pinang, Kecamatan Kampung Rakyat, Kecamatan Silangkitang, Kecamatan Sungai Kanan dan Kecamatan Torgamba.
Adapun batas-batas Kecamatan Kota Pinang tersebut adalah sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan daerah kecamatan Kampung Rakyat
- Sebelah Timur berbatasan dengan daerah kecamatan Kampung Rakyat - Sebelah Selatan berbatasan dengan daerah kecamatan Torgamba - Sebelah Barat berbatasan dengan daerah kecamatan Silangkitang
Daerah kecamatan Kota Pinang memiliki ketinggian 105 meter dari permukaan laut, beriklim sedang dengan rata-rata curah hujan 67 hari selama satu tahun. Permukaan daratan daerah ini terdiri dari permukaan datar sampai berombak sekitar 50%, berombak sampai berbukit terdiri dari 45% sedangkan berbukit sampai bergunung adalah sekitar 5%. Dengan demikian melihat keadaan permukaan yang seperti ini daerah ini sangat cocok dengan pertanian dan perkebunan kelapa sawit dan karet.
Sesuai dengan judul dan tujuan dari penulisan skripsi ini yakni untuk menceritakan keadaan Kota Pinang pada masa Kesultanan hingga berakhirnya, maka perlu diketahui batas-batas wilayah Kota Pinang pada masa Kesultanan Kota Pinang.
(23)
Adapun batas-batas wilayah Kota Pinang pada masa Kesultanan Kota Pinang adalah sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kerajaan Bilah - Sebelah Selatan berbatasan dengan Gunung Tua
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kerajaan Bilah dan Riau - Sebelah Barat berbatasan dengan Gunung Tinggi
Daerah ini sangat strategis ditinjau dari jalur lalu lintas yang menghubungkan Dumai, Padang Sidempuan, Rantau Prapat dan Medan. Disamping jalur lalu lintas darat tersebut, sungai juga masih digunakan sebagai jalur lalu lintas air yang menghubungkan Kota Pinang dengan Labuhan Bilik bahkan sampai ke Malaysia.7
Peranan sungai-sungai yang mengalir di wilayah Kesultanan Kota Pinang bukan hanya sebagai penyubur tanah saja, tetapi juga memegang peranan sebagai sarana transportasi yang menghubungkan antara daerah-daerah di Kesultanan Kota Pinang, demikian pula peranannya dalam bidang perdagangan. Pada mulanya peranan sungai-sungai ini hanyalah sebagai penghubung antara daerah-daerah maupun dengan pusat Kesultanan tapi karena perkembangan zaman maka lama-kelamaan sungai-sungai ini memegang peranan penting pula dalam perdagangan.
Sungai sangat berperan di wilayah Kesultanan Kota Pinang yaitu menyebabkan daerah ini sangat subur sehingga terdapat banyak hutan di wilayah ini. Oleh sebab itu daerah ini sangat cocok dengan pertanian dan perkebunan. Sungai-sungai yang mengalir melalui Kota Pinang adalah Sungai Barumun, Sungai Rumbia, Sungai Tasik dan Sungai Sumerkaluang.
(24)
Sebelum kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia, di Labuhan Batu terdapat beberapa kerajaan yang besar maupun kerajaan-kerajaan yang kecil. Kerajaan yang tergolong besar terdiri dari Kerajaan Bilah, Kerajaan Panai dan Kesultanan Kota Pinang. Kerajaan-kerajaan kecilnya tergabung dalam beberapa konfederasi, berdasarkan konfederasi tersebut kerajaan-kerajaan kecil dapat dikelompokkan ke dalam kekuasaan kerajaan Na IX-X, kerajaan Natolu dan kerajaan Nalapan.
2.2 Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Pinang
2.2.1 Sistem Perekonomian
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kota Pinang dipengaruhi oleh keadaan alam yang masih berhutan dan banyak dilalui oleh sungai. Sistem mata pencaharian masyarakat Kota Pinang pada dasarnya adalah bertani dengan hasil padi, karet, kopi dan kopra. Selain bertani, masyarakat juga mengumpulkan hasil hutan seperti rotan, damar dan pinang. Rakyat juga menangkap ikan dari sungai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari tanpa menjual belikannya.
Pada masa sebelum kedatangan Belanda ke wilayah Kota Pinang, Kesultanan Kota Pinang telah menjalin hubungan dagang dengan beberapa kerajaan di daerah Labuhan Batu dan juga dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di Selat Malaka dengan menggunakan Sungai Barumun sebagai jalur lalu lintas. Sungai ini adalah salah satu sungai besar di Kota Pinang yang dapat dilalui oleh kapal-kapal besar. Dengan digunakannya sungai ini sebagai sarana transportasi dalam perdagangan maka sungai ini dimanfaatkan oleh orang-orang
7
Wawancara dengan bapak T.Chairul Azham di Kota Pinang pada tanggal 23 Juni 2009.
(25)
yang ingin mendapatkan keuntungan lebih banyak dari hasil perdagangannya dengan cara perdagangan yang illegal yang pada saat itu dikenal dengan sebutan smokel.
Pada masa pertumbuhannya hingga sebelum masuknya pengaruh Belanda di Kesultanan Kota Pinang, rakyatnya aman, tertib dan teratur. Sultan masih memperhatikan rakyatnya, misalnya dengan memberikan bantuan kepada rakyat berupa pemberian kupon kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan. Kupon tersebut digunakan untuk penjualan karet dari kebun karet rakyat. Pada saat itu hasil produksi karet di pasaran internasional melimpah sehingga karet mengalami penurunan harga yang drastis sehingga Sultan membuat kebijakan berupa pembagian kupon kepada setiap pemilik karet agar penjualan karet terkontrol dan harga karet tetap stabil sehingga rakyat tidak dirugikan karena harga karet yang murah. Setiap satu kupon diberikan ketentuan untuk menjual karet dengan porsi atau ukuran tertentu yang telah ditentukan oleh Sultan. Sehingga mereka hanya dapat menjual karet sesuai dengan kupon yang mereka miliki.8
Sistem Sosial Budaya
Sistem sosial budaya Kesultanan Kota Pinang sama halnya dengan sistem masyarakat Melayu di Sumatera Timur dan pada dasarnya sudah diwarnai oleh nilai-nilai agama Islam.
Letak Kesultanan Kota Pinang sangat strategis yaitu sebagai tempat persinggahan para pedagang yang berasal dari pedalaman menuju pusat-pusat perdagangan yang terdapat di Malaka dan pulau Pinang. Peranan ini menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari berbagai suku bangsa seperti Minang Kabau, Batak, Jawa dan lain sebagainya. Mereka
(26)
dapat mengadaptasikan diri dengan alam lingkungannya dengan perkataan lain masyarakat pendatang ini me-Melayu-kan dirinya dan mengikuti adat resam Melayu. Hal ini menyebabkan bertambah ramainya penduduk Kesultanan Kota Pinang. Oleh sebab itu masyarakat Kesultanan Kota Pinang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan kata lain masyarakat Kota Pinang adalah masyarakat yang heterogen.
Percampuran masyarakat antara masyarakat pendatang dengan masyarakat asli wilayah Kota Pinang tersebut mengakibatkan adanya perbedaan kedudukan masyarakat ditinjau dari sifat keasliannya. Hal ini menimbulkan adanya golongan-golongan seperti golongan bangsawan dan golongan rakyat jelata. Golongan bangsawan adalah golongan yang terdekat dengan kaula kesultanan baik secara lahiriah maupun secara batiniah.
Adapun golongan bangsawan ini masih terbagi lagi gelar-gelar yang mereka peroleh, antara lain :
- Sultan yaitu Sultan/Raja - Tengku yaitu anak Raja
- Datuk yaitu penguasa-penguasa daerah
- O.K yaitu orang-orang kaya dalam arti seseorang yang memiliki kekayaan harta benda atau kekayaan pikiran
- Wan yaitu seorang putra dari rakyat biasa yang menikahi putri seorang Sultan, keturunannya juga memakai gelar Wan.
Semua gelar yang berasal dari pihak bangsawan sebagai identitas kaum feodal atau bangsawan tersebut diteruskan secara turun-temurun. Mereka hanya boleh bergaul dengan golongannya masing-masing sehingga jelas kelihatan status seseorang dalam kehidupan
8
Wawancara dengan bapak Musir Nasution di Kota Pinang pada tanggal 17 Juli 2009.
(27)
masyarakat. Pergaulan antar golongan tidak bebas terlebih-lebih dalam hal adat dan perkawinan. Rakyat jelata tidak boleh bergaul dengan golongan bangsawan secara bebas sehingga terdapat suatu jurang pemisah antara golongan bangsawan dengan golongan rakyat biasa.
Masyarakat pendatang biasanya adalah rakyat biasa. Dalam perkembangannya dalam kurun waktu yang relatif singkat atau lama maka suatu saat masyarakat pendatang ini dapat menjadi golongan bangsawan karena kemampuan yang dimilikinya baik ditinjau dari segi lahiriah maupun batiniah. Misalnya seorang pendatang menjadi orang kaya atau pintar maka suatu saat nanti ia akan menjadi golongan bangsawan. Rakyat biasa juga menjadi bangsawan dengan jalan menikahi putri Sultan.
Aktivitas di dalam Kesultanan hanya dipegang oleh kaum bangsawan saja, demikian juga dalam sistem peradilan, kaula kesultanan jauh lebih dimuliakan. Rakyat jelata hanya sebagai penunggu tanah, bukan yang memiliki hak atas tanah. Seluruh tanah Kesultanan adalah hak Kesultanan. Peranan Sultan dalam kehidupan masyarakat sangat penting sehingga rakyat terikat dengan berbagai peraturan yang dibuat oleh Sultan. Misalnya semasa kekuasaan Kesultanan, masyarakat biasa dilarang menggunakan pakaian berwarna kuning karena warna tersebut merupakan warna khas bagi keluarga bangsawan atau keluarga istana. Apabila ternyata ada rakyat yang mengenakan pakaian berwrna kuning maka orang tersebut akan mendapat tegoran dari Sultan. Selain penggunaan warna dalam berpakaian, rakyat juga dibebani dengan peraturan lain yakni dalam membangun rumah. Sultan memberikan ketentuan yang sangat ketat kepada rakyat dalam membangun rumah yaitu rumah harus berbentuk rumah panggung dan tangganya tidak boleh terbuat dari semen. Disamping beberapa campur tangan Sultan dalam kehidupan rakyat, Sultan
(28)
juga memperhatikan keinginan-kenginan rakyatnya. Misalnya dalam merayakan hari-hari besar agama, Sultan mengadakan pesta dan memberikan hiburan kepada rakyatnya dengan mengadakan berbagai jenis kegiatan seperti menari dan pertunjukan pencak silat dan ronggeng. Selain itu, Sultan memiliki kebiasaan mengundang setiap rakyatnya yang memiliki keahlian dalam mengadakan humor untuk menghibur kalangan istana. Hal ini juga merupakan salah satu cara Sultan dalam memberikan bantuan kepada rakyatnya. Apabila orang yang diundang tersebut berhasil menghibur orang-orang di istana dengan humor yang dibuatnya maka ia akan mendapatkan hadiah dari Sultan berupa bekal hidup sehari-hari.9
9
Wawancara dengan bapak T.Chairul Azham di Kota Pinang pada tanggal 23 Juni 2009. 2.3 Sistem Pemerintahan Kesultanan Kota Pinang
Kesultanan Kota Pinang pada mulanya bernama Kesultanan Pinang Awan. Sultan yang pertama memerintah adalah Sultan Batara Sinombah yang disebut juga dengan Sultan Batara Guru Gorga Pinayungan, yang memiliki makam di Hotang Mumuk Negeri Pinang Awan. Sultan Batara Sinombah adalah keturunan dari alam Minang Kabau Negeri Pagaruyung yang bernama Sultan Alamsyah Syaifuddin. Sultan Batara Sinombah bersama saudaranya Batara Payung beserta saudara tirinya perempuan Putri Lenggani meninggalkan Negeri Pagaruyung pergi ke daerah Mandailing. Dalam perjalanannya, Batara Payung memutuskan untuk tinggal di Mandailing dan menjadi asal-usul raja-raja di daerah itu. Sedangkan Batara Sinombah dan Puteri Lenggani meneruskan perjalanannya sampai ke Hotang Mumuk (Pinang Awan).
(29)
Keturunan Batara Sinombah dari putranya Mangkuto alam merupakan asal-usul dari beberapa kerajaan yang terdapat di daerah Labuhan Batu seperti Raja Indra yang tertua menetap di Kambul (Bilah Hulu) dan keturunannya menjadi raja-raja Panai dan Bilah. Sedangkan yang nomor dua Raja Segar menetap di Sungai Toras menjadi Zuriat raja Kampung Raja, dan yang termuda Raja Awan menetap di Sungai Tasik menjadi Zuriat raja di Kota Pinang.10
Yang dipertuan Pagar Ruyung
Batara Guru Panjang Batara Sinombah Puteri Lenggani
(Raja Mandailing) (Marhumsin. Batara Guru Gorga (Adik Tiri)
Secara turun-temurun dari keturunan Batara Sinombah yang pernah memerintah di Kesultanan Kota Pinang, dapat digambarkan sebagai berikut :
Alamsyah Syaifuddin
Pinayungan Pinang Awan)
Sultan Nusa
(Marhum Mangkat Dijambu)
Siti Puteh Raja Tahir Maha Raja Hulu Balang Slt.Syahir Alam Siti Unggu (Kawin Slt.Husisyah Siti Medja
(kawin sama Raja (Slt.Edar Alam) (Raja Rantau Binuang) (Glr.Maha Raja dgn Raja Haro) (Glr.Segar Alam) Tdk Menikah
Tambusai) Kumbul Awan) Tesik Raja Simargoloang Sel Toras
Stn.Kohar (Yg Dipertuan
Besar Pinang Awan)
Yg Dipertuan Muda
Hotang Mumuk
10
T. Lucman Sinar. Op.cit., Hlm. 136.
(30)
Stn.Kumala Marhum Tua
(Yg Dipertuan Hadudung
Pengali Nama Pinang Awan
Menjadi Kota Pinang)
Yg Dipertuan Muda
Simarkaluang
Sultan Tua
Kota Pinang
Sultan Muda
Kota Pinang
Sultan Bungsu
Pulau Biromata
Sultan Moestafa
Glr.Yg Dipertuan Besar
Sistem pemerintahan yang digunakan di Kesultanan Kota Pinang adalah sistem kerajaan yang bersifat monarki pemerintahan dipegang oleh seorang raja yang diwariskan secara turun-temurun. Sistem pemerintahan monarki ini mengakibatkan terdapatnya suatu klasifikasi di dalam masyarakat Kesultanan Kota Pinang yaitu perbedaan kelas masyarakat antara golongan bangsawan dengan golongan rakyat jelata. Golongan bangsawan memegang peranan di segala bidang yang tertumpu pada Sultan. Rakyat biasa hanya sebagai abdi Raja dan penunggu tanah. Seluruh aktifitas rakyat hanyalah untuk kemuliaan dan kekayaan Kesultanan. Sebaliknya Kesultanan harus melindungi rakyatnya dan menjaga
(31)
keharmonisan dan ketentraman rakyatnya. Dalam sistem peradilan kaula kerajaan lebih dimuliakan, rakyat hanya sebagai penerima keadaan apabila hukum peradilan dijatuhkan.
Sistem pemerintahan monarki yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Sultan adalah kepala pemerintahan yang berasal dari putra Sultan terdahulu, biasanya anak tertua dari permaisuri nya.
- Tengku adalah anak dari Sultan sendiri yang dapat menggantikan kedudukan ayahnya dalam melaksanakan roda pemerintahan. Tugas Tengku adalah membantu sepenuhnya tugas Sultan.
- Datuk adalah salah seorang yang terkemuka dari masyarakat dan memerintah di daerahnya atau di bidangnya masing-masing yang tunduk kepada Sultan. Misalnya Datuk Kepala Wilayah, Datuk Bendahara Kepala Keuangan dan sebagainya.
- Tumenggung adalah kepala peradilan dan polisi. Kesemuanya ini berhak mengangkat pembantu-pembantunya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Pembantu-pembantu ini harus berasal dari golongan-golongan yang sama yaitu dari golongan bangsawan. - Wan adalah anak laki-laki dari rakyat biasa yang mengawini anak perempuan dari seorang
Sultan, keturunannya juga memakai gelar Wan.
- O.K adalah orang kaya dalam arti seseorang yang memiliki kekayaan berupa harta benda maupun kecakapan dan keluasan wawasan berpikir.
Adapun skema sistem pemerintahan tradisional Kesultanan Kota Pinang adalah sebagai berikut:
Yang Dipertuan Besar (Sultan)
(32)
Raja Muda (Tengku)
Bendahara Setia Datuk Mahalela Orang Kaya Sutan Sri Maharaja Mangaraja
Kepala Kampung
Meskipun para Datuk dan Tumenggung dapat mengangkat pembantu-pembantunya sesuai dengan bidangnya masing-masing namun keputusan terakhir tetap berada dalam tangan Sultan. Apapun kebijaksanaan yang telah diambil oleh para Datuk dan Tumenggung, jika hal tersebut tidak disetujui oleh Sultan maka kebijaksanaan itu tidak dapat dilaksanakan. Untuk dapat melaksanakan pemerintahan yang baik dan terarah, maka Sultan mengajak seluruh kaula Kerajaan bersidang yang dipimpin langsung oleh Sultan. Sebagai penasehat kerajaan maka diangkat lah para kaum agama wan yang berasal dari kaum bangsawan juga.
Sistem pemerintahan yang bersifat monarki tersebut menyebabkan adanya jurang pemisah antara golongan bangsawan dengan golongan rakyat biasa. Seolah-olah rakyat biasa dilahirkan tidak mempunyai arti apa-apa di dalam struktur birokrasi pemerintahan, sehingga rakyat tidak berambisi untuk dapat berperan serta di dalam pemerintahan. Hal ini kemudian dengan mudah akan dimanfaatkan oleh Belanda pada masa kekuasaan Belanda di Kesultanan Kota Pinang.
Dengan berkuasanya Belanda di Kesultanan Kota Pinang, maka sistem pemerintahan pun mengalami perubahan. Pemerintahan seluruhnya diatur oleh Belanda mulai dari pemerintahan tingkat paling rendah samapai tingkat paling tinggi dipegang oleh
(33)
orang-orang Belanda. Sistem pemerintahan yang dibentuk oleh Belanda ini dijalankan hingga tahun 1942 sampai masuknya Jepang ke Indonesia umumnya dan Kota Pinang khususnya. Setelah kedatangan Jepang ke Kota Pinang maka terjadi sedikit perubahan pada pemerintahan dimana Jepang melibatkan golongan bangsawan dalam pemerintahan yakni golongan bangsawan ditempatkan di tingkat bawah dan untuk tingkat atas dipegang oleh orang Jepang sendiri. Namun sistem pemerintahan yang dijalankan masih sistem pemerintahan yang dibentuk oleh Belanda. Jepang tidak memberikan banyak perhatiannya pada pemerintahan pada masa penjajahannya di Indonesia karena pada saat itu Jepang lebih mengutamakan kekuatan militernya untuk melawan Sekutu. Sistem pemerintahan yang demikian terus berlangsung sampai tahun 1946 hingga terjadinya revolusi sosial yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan Kesultanan Kota Pinang. Dengan demikian, sejalan dengan terjadinya revolusi sosial maka terjadilah perubahan sistem pemerintahan dari sistem pemerintahan monarki yang berbentuk kerajaan menjadi sistem pemerintahan demokrasi yang berbentuk republik.
2.4 Masa Penjajahan Belanda
Kedatangan bangsa Belanda pada tahun 1596 pada awalnya bertujuan untuk berdagang sambil mencari rempah-rempah. Namun lambat laun Belanda mulai berniat untuk menguasai wilayah Indonesia karena Indonesia penuh dengan kekayaan alam. Berbagai cara dilakukan oleh bangsa Belanda untuk menguasai daerah Indonesia, hingga akhirnya mereka berhasil meskipun pada awalnya mereka mendapat perlawanan dari penguasa pribumi. Bangsa Belanda berhasil menguasai penguasa pribumi dengan politik de vide et impera demi kepentingan kolonial nya.
(34)
Pada tahun 1824, Belanda dan Inggris menandatangani perjanjian yang disebut dengan Traktat London. Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk menghindari pertikaian antara Inggris dengan Belanda mengenai daerah jajahan mereka di sekitar Selat Malaka. Inti dari perjanjian ini adalah pertukaran daerah jajahan antara belanda dengan Inggris, yaitu Inggris menyerahkan Bengkulen pada Belanda dan Belanda Menyerahkan Melaka pada Inggris dan Singapura tidak dituntut lagi. Kemudian mereka berjanji tidak akan meluaskan daerah jajahannya ke daerah yang bukan haknya sesuai dengan isi perjanjian tersebut yakni Inggris tidak akan mengganggu Sumatera dan Belanda tidak akan mengganggu Semenanjung Melayu. Keduanya juga berjanji tidak akan melanggar kedaulatan Aceh. Tetapi walaupun perjanjian tersebut sudah ada, namun karena pertimbangan keuntungan ekonomi, maka masing – masing pihak masih terus meluaskan daerahnya secara diam – diam. Seperti Inggris masih selalu mengincar Sumatera demikian juga Belanda belum melepaskan tekanannya di Perak dan Selangor.11
Untuk dapat menguasai daerah Sumatera Timur maka Belanda harus dapat menguasai kerajaan Siak, karena menurut Sultan Siak seluruh Sumatera Timur adalah daerah jajahannya. Pada tahun1857, ketika Wilson seorang petualang Inggris ingin menguasai kerajaan Siak maka Sultan Siak minta bantuan kepada Belanda yang berpusat di Batavia. Ketika belanda dapat menguasai petualang Inggris tersebut maka Belanda sudah mulai meminta imbalan jasa dengan mengikat perjanjian dengannya pada tanggal 1 Februari 1858. perjanjian itu disebut juga dengan Traktat Siak yang berisikan kesediaan Sultan Siak untuk tunduk di bawah kekuasaan Belanda. Dengan tekanan Belanda, Siak mengakui bagian dari Hindia Belanda dan tunduk di Bawah Kedaulatan Agung Belanda.
11
Ibid., Hlm. 61.
(35)
Dalam perjanjian itu juga dinyatakan bahwa jajahan dan daerah taklukan Siak seperti kerajaan Melayu Sumatera Timur dimasukkan di bawah lindungan pemerintah Hindia Belanda. Selain itu Siak memohon pula bantuan Belanda untuk mempertahankan daerahnya dari serangan musuh Siak. Atas alasan inilah maka Belanda ekspedisi nya untuk mengakhiri kemerdekaan kerajaan – kerajaan di Sumatera Timur.12
Disamping mempengaruhi para penguasa lokal, pemerintah kolonial Belanda juga mengadakan semacam intimidasi dengan mendatangkan kapal perang Reiner Classon yang Setelah Belanda menandatangani Traktat London pada tahun 1824, Belanda sudah berhak meluaskan kekuasaannya di Sumatera Timur kecuali Aceh, namun perluasan wilayah itu tidak dapat dilaksanakan karena Belanda belum mendapat alasan yang kuat untuk mengakhiri kemerdekaan raja-raja di Sumatera Timur. Disamping itu masih banyak faktor yang menghambat perluasan jajahannya ke Sumatera Timur seperti takut akan terulang lagi pengalaman pahit yang dihadapi ketika perang Diponegoro. Sedangkan pada waktu itu Belanda masih perang dengan Paderi.
Untuk merealisasikan amanah dari Sultan Siak ini maka pada tahun 1862 datanglah ekspedisi Belanda yang pertama ke Sumatera Timur yang dipimpin oleh Residen Riau Elisa Netscher. Dalam kunjungan Netscher tersebut, satu persatu kerajaan di Sumatera Timur membuat suatu perjanjian dengan Belanda secara paksa yaitu dengan mempropagandakan Kerajaan Siak. Setelah Netscher memperoleh tandatangan dari Kerajaan Panai dan Bilah maka ia melanjutkan perjalanannya menuju Asahan, Deli, Serdang dan Langkat. Tujuan dari perjanjian yang telah ditandatangani oleh Sultan ini adalah pengakuan raja-raja di Sumatera Timur terhadap kekuasaan Belanda atas daerahnya.
12
Ibid., Hlm. 63.
(36)
dipimpin oleh Residen Netscher yang mendarat di Pantai Sumatera. Adapun maksud didatangkannya kapal tersebut adalah agar penguasa di Sumatera menjadi takut. Ancaman dan gertakan ini pada mulanya mendapat jawaban protes dari penguasa daerah di Sumatera Timur akan tetapi pada akhirnya penguasa-penguasa daerah tersebut seperti Sultan Asahan, Sultan Serdang, dan Sultan Langkat akhirnya tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda.
Melalui Convernemen Belsuit No. 2. 1867 tanggal 30 November 1867, Belanda membentuk Afdeling yang terdiri dari :
1. Onder Afdeling Batu Bara ibukotanya Labuhan Ruku 2. Onder Afdeling Asahan ibukotanya Tanjung Balai 3. Onder Afdeling Labuhan Batu ibukotanya Labuhan Batu
Pembentukan afdeling ini merupakan suatu taktik dari Belanda untuk dapat mengikat kerjasama dengan berbagai kerajaan tradisional yang berada dalam lingkungan afdeling dengan cara penandatanganan Korte Verklaaring dan Lange Verklaaring. Kesultanan Kota Pinang dan Kesultanan Kualuh menandatangani Lange Verklaaring sehingga kedua Kesultanan ini menjadi perantara Belanda untuk mengutip pajak dari onderdeming-onderdeming atau perkebunan-perkebunan di wilayah tersebut.
Sebelum mengadakan perjanjian dengan raja-raja yang mempunyai daerah taklukan yang luas, Belanda terlebih dahulu menanamkan kesan psikologis dan menunjukkan keunggulan tempur dengan peralatan militer dan memperkenalkan hukum yang berlaku di Eropa. Sehingga para raja mendapat kesan bahwa Belanda bisa dijadikan sebagai pelindung terhadap raja-raja kecil di sekeliling raja yang luas daerah taklukannya tadi. Dengan demikian mereka harus tunduk kepada pemerintah Belanda di Nederland yang diwakili oleh Gubernur Jenderal di Batavia.
(37)
Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia menguasai seluruh Nusantara mulai dari Sabang sampai Merauke. Gubernur Jenderal dibantu oleh para residen yang bertempat tinggal di daerah-daerah. Residen dibantu oleh para asisten residen yang semuanya adalah orang-orang Belanda.
Wilayah Labuhan Batu sebagai bagian dari daerah Sumatera timur sangat menarik bagi kolonialisme baik ditinjau dari segi militer maupun dari segi ekonomi. Kawasan ini letaknya sangat strategis dekat dengan Semenanjung Malaka dan ramai dilintasi melalui selat Malaka. Disamping itu juga, Labuhan Batu memiliki tanah yang subur sehingga menghasilkan kekayaan alam yang melimpah. Hasil bumi Labuhan Batu sebelum Belanda memasuki daerah ini antara lain rotan, damar, pinang, kopra, kopi dan hasil laut. Potensi alam inilah yang telah mendorong kedatangan pengusaha Belanda menanamkan modalnya di daerah ini dan sekaligus menguasainya.13
Setelah Belanda berhasil menguasai Asahan dan Batu Bara maka daerah lainnya pun di Labuhan Batu mengalami ancaman penaklukan Belanda. Kedatangan Belanda di daerah Labuhan Batu telah membawa dampak yang negatif, karena kedatangan Belanda tersebut telah memperuncing perselisihan yang ada di antara raja-raja yang lemah dengan raja-raja yang kuat. Hal ini pulalah yang menyebabkan Kesultanan Kota Pinang jatuh ke dalam kekuasaan penjajah Belanda. Hubungan keluarga antara Kesultanan Kota Pinang dengan Kesultanan Panai telah terjalin ketika raja Panai Sultan Mangedar Alam menikahi adik perempuan Sultan Bungsu, Sultan Kota Pinang. Dengan adanya hubungan keluarga tersebut maka Sultan Panai sebagai keluarga ingin menyadarkan Sultan Kota Pinang bahwa
13
Pemda Tk.II Labuhan Batu, Sejarah Pembangunan dalam Negeri Kabupaten Labuhan Batu: 1990. Hlm. 18
(38)
musuh yang sesungguhnya adalah Belanda. Namun Sultan Kota Pinang tetap pada pendiriannya yaitu pro kepada Belanda dengan ambisi pribadi sebagai feudal yang berkepentingan langsung atas semua sumber ekonomi termasuk hasil-hasil pemerasan tenaga rakyat dan perdagangan budak yang tanpa disadari oleh Sultan Kota Pinang bahwa ia telah dimanfaatkan oleh Belanda untuk kepentingan kolonial Belanda di Kota Pinang. Oleh sebab itu maka timbullah perselisihan antara Sultan Kota Pinang dengan Sultan Panai yang mengakibatkan tewasnya Sultan Bungsu. Ini menimbulkan dendam Tengku Mustafa, Sultan Kota Pinang yang menggantikan ayahnya. Ia juga meneruskan politik ayahnya yaitu sikap pro Belanda. Oleh karena Sultan Mustafa merasa belum cukup kuat dengan tentaranya sendiri menaklukkan sultan Mangedar Alam dari Panai, maka Sultan Mustafa meminta bantuan Belanda untuk mengalahkan Sultan Panai. Dengan bantuan Belanda maka Sultan Mustafa dapat mengusir Sultan Mangedar Alam dari tempat kedudukannya hingga terpaksa lari ke Asahan. Lalu Belanda mendirikan pos militer nya di Panai.
Dengan dukungan yang didapatkan oleh Sultan Mustafa dari Belanda maka ia berkesempatan memperteguh posisinya dan melebarkan daerahnya. Tidak lama setelah Belanda mengosongkan pos militernya di Panai, maka Sultan Mangedar Alam, Sultan Panai, kembali ke istananya dengan tujuan agar dapat mengambil kembali wilayahnya yang sudah dikuasai oleh Sultan Kota Pinang. Setelah Sultan Mustafa mengetahui hal tersebut, maka Sultan Mustafa kembali menyerang Sultan Mangedar Alam dan berhasil memukul mundur Sultan Mangedar Alam hingga lari kembali ke Asahan untuk yang kedua kalinya.
Melihat situasi yang demikian, permusuhan dan perebutan wilayah yang dilakukan oleh Sultan Mustafa dengan Sultan Mangedar Alam , maka Sultan Asahan bertindak sebagai juru damai antara Sultan Mustafa dan Sultan Mangedar Alam tersebut sehingga
(39)
mencapai jalan tengah. Sultan Kota Pinang mendapatkan wilayah yang didudukinya dan sebagai juru damai Asahan mendapatkan upah yaitu sebagian wilayah Panai.
Setelah Belanda dapat menaklukkan keempat kesultanan yang ada di Labuhan Batu yakni Kesultanan Kualuh, Kesultanan Panai, Kesultanan Bilah dan Kesultanan Kota Pinang, maka Belanda kemudian membuat berbagai perjanjian antara lain Korte Veerklaaring yang menyebabkan Kesultanan Kota Pinang menjadi tunduk kepada Belanda sebagai bawahan dalam sistem pemerintahan sendiri (self bestuur) sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani merubah status para sultan dari seorang penguasa menjadi seorang jajahan. Sehingga Sultan menjadi perantara bagi Belanda dalam mengeksploitasi kekayaan alam termasuk yang dimiliki rakyat Kota Pinang. Misalnya rakyat Kota Pinang yang memiliki kebun karet diberi kupon oleh Sultan dengan ketentuan karet yang dimiliki oleh rakyat tidak boleh dipanen. Hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk mempermudah penguasaan dalam perdagangan karet.14
Sebelum Belanda melakukan perjanjian dengan Siak pada tahun 1858, Kota Pinang sudah lebih dulu melakukan kerja sama dengan Belanda yakni sejak tahun 1838.15
14
Wawancara dengan Musir Nasution, tanggal 28 Juni 2009
Kota Pinang dan Belanda menjalin hubungan baik dan kerjasama yang saling menguntungkan antara Sultan dengan Belanda, dimana Sultan memberikan hasil bumi Kota Pinang dan daerah-daerah taklukan Kota Pinang kepada Belanda dan sebaliknya Belanda memberikan perlindungan pada Kota Pinang dari serangan musuh-musuh Kota Pinang. Sikap pro Sultan kepada Belanda ditunjukkan dengan menaikkan bendera Belanda di depan istananya dan menggantungkan foto Raja Willem III dengan permaisurinya Emma di tengah-tengah
(40)
dinding istana. Raja Kota Pinang juga telah memperoleh tanda mata berupa tongkat perak yang di hulunya lambang kerajaan Nederland “Je Maintendrai” dan dihadiahi cap mohor “Alwasiku Billah, Yang Dipertuan Besar Kota Pinang karunia Raja Nederland”. Semua ini menunjukkan bahwa Kota Pinang telah dikuasai oleh Belanda.16
Menjelang penutupan tahun 1941 tepatnya pada tanggal 8 Desember, bangsa Jepang menampakkan diri di mata dunia. Hal tersebut dikarenakan kemenangan bangsa Jepang
Pada tahun 1887 Sumatera Timur menjadi satu Residensi yang berpusat di Medan dan terbagi atas beberapa afdeling. Salah satu afdeling itu adalah afdeling Labuhan Batu yang berpusat di Rantau Prapat yang sebelumnya di Labuhan Bilik. Dengan perpindahan pusat afdeling Labuhan Batu maka semakin baik pula birokrasi Belanda di wilayah Labuhan Batu karena secara tidak langsung Belanda sudah dapat lebih baik mengawasi kerajaan-kerajaan yang di pedalaman. Peranan pemerintah Belanda bukan saja memonopoli perdagangan tetapi juga sudah menguasai Kesultanan Kota Pinang secara politis.
Penguasaan wilayah oleh Sultan Kota Pinang dalam batas yang telah ditentukan masih mutlak dimana rakyat harus tunduk kepada kesultanan. Tapi kesemuanya ini adalah dibawah pengaruh kekuasaan Belanda. Jika belanda membuat suatu kewajiban terhadap rakyat harus melalui Sultan Kota Pinang terlebih dahulu sehingga seolah-olah perintah atau peraturan tersebut berasal dari Sultan itu sendiri.
2.5 Masa Penjajahan Jepang
15
H. Mohd Said, Mengenang Patuan Nan Lobi Melawan Belanda, Harian Waspada Medan, Medan. 1989. Hlm.5
16
Ibid., Hlm. 24.
(41)
dalam perang Pasifik di Pearl Harbour.17
Jepang memasuki daerah Sumatera Timur pada saat tentara Belanda yang ada di Sumatera Timur terdiri dari KNIL, Stadwacht dan Landswacht berada di bawah pimpinan Mayor Jenderal RT. Overakker dan Kolonel Gosenson. Colonel Gosenson telah lama melakukan persiapan untuk membangun pertahanan di pegunungan Aceh tengah dengan maksud sebagai tindakan terakhir untuk melancarkan perlawanan terhadap Jepang oleh Kemenangan Jepang membawa dampak bagi bangsa Indonesia. Bangsa Jepang mulai memalingkan perhatiannya ke tanah air Indonesia.
Hal ini didasarkan karena potensi dan kesuburan tanah di kawasan bangsa Indonesia yang cukup penting bagi kemajuan industri Jepang. Dapat dianggap bahwa minyak Indonesia menjadi faktor yang menentukan untuk melancarkan perang pada akhir tahun 1941. sesuai dengan kepentingannya pihak Jepang mulai mengadakan serangkaian kampanye untuk menarik simpati dari bangsa Indonesia dengan berbagai semboyan yang mereka lontarkan seperti : Asia untuk bangsa Asia, Nippon pelindung Asia, Nippon cahaya Asia, Nippon pemimpin Asia dan Musnah kan Inggris, Amerika dan Belanda. Untuk menarik hati rakyat mereka mengatakan bahwa bangsa Indonesia masih saudara kandung dengan bangsa Jepang.
Sebelum tahun 1941, bangsa Jepang telah dikenal oleh bangsa Indonesia melalui perdagangan. Sementara itu orang Indonesia telah mengenal orang Jepang secara pribadi dalam bentuk tuan toko. Pada tahun tiga puluhan toko-toko Jepang mulai popular bukan karena harganya saja yang relatif murah, tetapi juga sopan santun pemiliknya. Toko-toko Jepang menyediakan dan memberikan kesempatan pada orang-orang Indonesia untuk membeli barang-barang yang bermutu bagus.
17
Nip M.S Xarim, Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan: Biro Sejarah Prima, 1976. Hlm. 13
(42)
pasukan-pasukan yang berada di bawah komando nya yang berkedudukan di dataran rendah Aceh dan Sumatera Timur. Diperhitungkan bahwa di daerah itu akan berlangsung suatu perang gerilya yang lama, sehingga berbagai perlengkapan perang telah disediakan seperti perbekalan, amunisi dan obat-obatan. Namun harapan tersebut musnah karena Jepang telah berhasil menguasai daerah-daerah yang sebelumnya telah dikuasai oleh Belanda di Sumatera.18
18
Ibid., Hlm. 29.
Untuk menyusup ke tengah-tengah rakyat melancarkan aksi perang gerilya yang sebenarnya, mereka sudah tidak berani karena sikap rakyat yang terang-terangan memusuhi mereka. Hanya tujuh belas hari sejak pendaratan tentara Jepang di wilayah Sumatera bagian utara, Belanda dapat menghindarkan diri dari buruan Jepang dan sesudah itu mereka pun terpaksa menyerah tanpa syarat kepada Jepang.
Pada tanggal 13 Maret 1942, pasukan Jepang membagi kekuasaannya ke dalam 3 bagian untuk menguasai daerah-daerah yang ada di wilayah Sumatera Timur. Satu bagian bergerak menuju Medan, satu bagian bergerak menuju Pematang Siantar dan satu bagian lagi menuju Rantau Prapat yang bergerak ke Labuhan Batu dari Asahan.
Tujuan Jepang ke Labuhan Batu adalah untuk menguasai Rantau Prapat karena di daerah ini berkedudukan controleur Belanda sebagai pusat pemerintahan. Masuknya tentara Jepang di Labuhan Batu tidak mendapat perlawanan sama sekali dari Belanda, begitu juga dengan penduduk setempat tidak melakukan perlawanan atau reaksi. Hal ini terjadi karena penduduk menganggap bahwa Jepang adalah penyelamat mereka dan karena adanya rasa benci kepada Belanda.
(43)
Serangan-serangan kilat dan gencar yang dilakukan Jepang berhasil merebut daerah-daerah yang dianggap penting dan berpotensi. Tepat pada tanggal 28 Maret 1942 wakil pemerintahan Belanda Carda Van Starken Bourq Van Houer dan Panglima American – British – Dutch – Australian – Command (ABDACOM) Jenderal Hein Ter Poorten berhasil ditangkap dan ditawan di Jepang. Akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan demikian secara otomatis Kota Pinang beralih kekuasaan kepada kepemimpinan Jepang.
Setelah Jepang berkuasa di Kesultanan Kota Pinang terjadi kemerosotan pada masyarakat terutama di bidang ekonomi. Hal ini disebabkan oleh perang dunia kedua yang sedang terjadi pada saat itu yang mengakibatkan macetnya perdagangan. Perang dunia kedua ini mengakibatkan Jepang tidak dapat membangun daerah jajahannya karena Jepang menguasai wilayah yang luas. Jajahannya adalah dari sekitar kepulauan Jepang, Jazirah daratan Asia sampai dengan wilayah Asia Tenggara, sehingga sistem pemerintahan Jepang semerawut karena kekurangan personil untuk menjalankan sistem pemerintahannya. Oleh sebab itu, untuk membangun wilayah jajahan dalam waktu singkat tidak mungkin karena Jepang juga termasuk Negara yang terlibat dalam perang dunia kedua. Apalagi menyangkut masalah ekonomi, hal ini mengakibatkan Jepang lebih menitikberatkan sistem pemerintahannya pada sistem militer. Sistem perekonomian rakyat hampir tidak mendapat perhatian dari Jepang, bahkan banyak pula tekanan yang harus dipikul oleh rakyat demi tercapainya tujuan Jepang yaitu menguasai seluruh Asia.
Untuk dapat mempertahankan kedudukannya di daerah jajahan Jepang harus membangun pangkalan yang kuat di daerah-daerah yang membutuhkan personil dan modal. Semua kebutuhan Jepang tersebut dibebankan kepada seluruh rakyat jajahan. Oleh karena
(44)
itu banyak rakyat Kesultanan Kota Pinang yang dilatih dalam bidang kemiliteran. Biaya untuk membangun sistem pertahanan dan pemerintahan dibebankan kepada rakyat dengan jalan memperbesar pungutan pajak, distribusi, kerja rodi dan sebagainya. Oleh sebab itu rakyat semakin miskin.
Kehidupan yang seperti ini juga dialami oleh kaum feodal. Sistem dan status yang diberikan oleh Jepang terhadap kaum feudal sangat berbeda dengan yang diberikan oleh Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, kemewahan dan keagungan Sultan sangat dihargai, tapi setelah Jepang berkuasa seluruhnya berubah.
Lebih penting dari perubahan ini adalah dalam sebuah upacara-upacara peringatan, perayaan dan hari-hari besar yang terdapat dalam penanggalan Jepang, Sultan dituntut agar berdiri sejajar dengan para pemimpin politik sambil menyanyikan lagu yang sama mengagung-agungkan Jepang. Yang lebih parahnya lagi adalah Sultan dan kerabat nya harus mengayunkan cangkul untuk memberi contoh teladan tentang pertanian atau ikut gotong royong secara “sukarela” dalam pembuatan jalan yang diwajibkan kepada mereka karena keadaan ekonomi yang semakin memburuk.19
Sikap yang dilahirkan oleh Jepang tersebut membuat kebencian di hati Sultan. Pada saat itu rasa ketidakmampuan di hati Sultan untuk melawan Jepang sudah semakin besar karena sistem pemerintahan Jepang. Sistem pemerintahan Jepang di Kesultanan Kota Pinang pada hakekatnya hanya melanjutkan system pemerintahan sebelumnya yang telah dibuat oleh Belanda. Tetapi karena situasi dan kepentingan yang berbeda maka sistem pemerintahan pun berbeda. Pada masa pemerintahan Belanda, sistem pemerintahan dititik
19
Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987. Hlm. 180
(45)
beratkan kepada perekonomian. Sedangkan pada masa Jepang sistem pemerintahan dititikberatkan pada bidang pertahanan. Untuk memperkuat pertahanan tersebut maka Jepang mendidik rakyat Indonesia dalam bidang kemiliteran, sehingga banyak rakyat yang masuk ke dalam angkatan perang Jepang.
Luas wilayah yang dikuasai oleh Jepang menuntut agar sistem pemerintahan lebih efektif. Tetapi karena personil Jepang kurang memadai maka banyak rakyat Indonesia yang diangkat menjadi pegawai negeri Jepang sebagai penguasa setempat. Seperti jabatan wakil controleur diangkat dari penduduk setempat, yaitu Tengku Hasnah (Tengku Besar Kerajaan Bilah) serta mengangkat Tengku Long (Anak yang Dipertuan Kota Pinang) dan Tengku Darmansyah putra yang Dipertuan Kualuh menjadi pegawai tinggi pemerintahan militer Jepang. Dengan demikian banyak rakyat Indonesia yang mengerti tentang sistem pemerintahan dan juga sistem pertahanan, seperti Heiho, Kubodan, Seinendan dan sebagainya.
Maka pendudukan Jepang di Labuhan Batu adalah masa yang paling pahit dirasakan oleh penduduk. Banyak orang tua yang kehilangan anaknya karena dikirim menjadi romusha ke daerah lain. Keadaan ekonomi cukup parah, hampir semua kebutuhan pokok tidak didapati lagi di pasaran.
Sistem pendidikan juga dimanfaatkan oleh Jepang untuk kepentingan militernya. Kurikulum pendidikan diatur demi kepentingan militer Jepang, setiap hari ada pelajaran baris-berbaris dan setiap pelajaran diawali dengan Seikerei (penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan menghadapkan muka ke Tokyo) kemudian diikuti dengan Taiso (gerak badan).
(46)
Sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang diberikan Jepang sangat berbeda dengan sistem pemerintahan Belanda dimana seluruh jabatan dipegang oleh Belanda sehingga rakyat tidak tahu tentang bentuk pemerintahan. Pengalaman yang rakyat peroleh pada masa Jepang kemudian dapat dimanfaatkan pada permulaan revolusi.
(47)
BAB III
KONDISI KESULTANAN KOTA PINANG SESUDAH PROKLAMASI RI
3.1 Sikap Kesultanan Kota Pinang Terhadap Proklamasi RI
Setelah tentara Jepang menyerah kalah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 para golongan bangsawan di Kesultanan Kota Pinang sangat gembira karena menganggap keadaan semasa pemerintahan Belanda akan pulih kembali. Pendudukan tentara Jepang atas bangsa Indonesia berlangsung selama lebih kurang tiga setengah tahun. Pendudukan tentara Jepang menimbulkan penderitaan bagi rakyat ditinjau dari segi sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Penderitaan rakyat baru berakhir setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Kekalahan tanpa syarat ini ditandai dengan pemboman Hirosima dan Nagasaki oleh Sekutu. Kekalahan Jepang tersebut dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta berkumandanglah Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia. Berita kemerdekaan bangsa Indonesia tersebar ke seluruh dunia. Namun di Indonesia, berita kemerdekaan ini belum diketahui oleh rakyat secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena sarana komunikasi dan sarana transportasi pada saat itu belum memadai. Keadaan yang demikian menyebabkan penyambutan terhadap berita proklamasi terdapat perbedaan waktu di berbagai daerah di Indonesia. Di Sumatera misalnya proklamasi diumumkan pada saat yang berbeda.
Untuk menyambut kedatangan Belanda ke Sumatera Timur, dibentuklah suatu komite yang disebut dengan Komite Van Onvangst pada tanggal 25 Agustus 1945 yang dipimpin oleh Sultan Langkat (Tengku Musa) dan Dr. Tengku Mansyur sebagai wakilnya. Inilah tindakan mereka yang lebih jelas tentang sikap gembira mereka akan kedatangan
(48)
Belanda. Kekuatan sosial politik ini menyebabkan Mr. T. Muhammad Hasan dan Dr. Amir tidak berdaya mewujudkan proklamasi tersebut sedini mungkin.20
Ketika berita proklamasi itu disampaikan oleh T M Hasan pada tanggal 30 September 1945 di Gedung Taman Siswa jalan Amplas Medan, Sultan yang turut mendukung proklamasi tersebut hanyalah Sultan Siak Sri Indrapura dan sultan Serdang. Kedua Sultan ini memihak kepada berdirinya Negara Republik Indonesia.21
20
Nip M S Xarim. Op.cit., Hlm. 76.
21
Ibid., Hlm. 288.
Sedangkan Sultan-Sultan lain menunjukkan sikap yang kurang menyenangi berita proklamasi tersebut sehingga mereka juga enggan terhadap pemerintah Repulik Indonesia. Sikap ini sangat berbahaya dalam mewujudkan proklamasi karena Sultan masih memegang peranan yang sangat besar di daerahnya.
Pada saat itu terlihat dualisme sikap yang ditujukan oleh para penguasa tradisional di Sumatera Timur. Di satu sisi mereka mengharapkan kembalinya kekuasaan Belanda yang diharapkan bisa mengembalikan hak-hak istimewa nya yang sempat terampas pada masa pemerintahan Jepang, sedangkan di sisi lain mereka menghadapi kenyataan hadirnya kekuasaan Republik. Dalam keadaan kebingungan di antara dua sikap tersebut mereka kehilangan kemampuan untuk mengambil tindakan-tindakan yang tegas. Di saat berhadapan dengan kekuasaan Republik, mereka menyatakan setia kepada Republik tetapi dalam perbuatan mereka tidak mampu bersikap dan bertindak sebagai seorang Republikan dan melakukan gerakan-gerakan yang sesuai dengan revolusi kemerdekaan, sehingga tidak jarang diantara mereka ditinggalkan oleh para pegawainya dan rakyatnya sendiri. Hal tersebut menyebabkan roda pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
(49)
Sikap dualisme yang ditunjukkan oleh penguasa dari Kesultanan Kota Pinang, di satu sisi ketika berita tentang proklamasi secara menyeluruh tersebar di daerah Sumatera Timur, pemerintah Kesultanan Kota Pinang juga menyambut nya dengan menaikkan bendera merah putih. Namun di sisi lain pemerintahan Kesultanan Kota Pinang juga mengharapkan hadirnya kekuasaan kolonialisme Belanda. Hal ini dapat dilihat dengan berkibarnya bendera Belanda jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan bendera Merah Putih.22
Pemerintah menginginkan agar rakyat diberi kesempatan dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah dengan memakai sistem demokrasi. Oleh karena itu perlu membentuk wakil-wakil rakyat yang pada saat itu disebut dengan Komite Nasional Indonesia (KNI). Pembentukan KNI di Sumatera timur kelihatannya bertentangan dengan situasi yang terdapat di Sumatera Timur. Sumatera Timur yang terbagi atas beberapa daerah istimewa atau swapraja memiliki sistem pemerintahan yang otokrasi. Karena pertentangan ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pemerintah dan tuntutan rakyat, maka pihak swapraja diharuskan untuk mendemokrasikan kerajaan dengan jalan pihak swapraja diharuskan agar membentuk KNI di daerah kerajaan setempat. Dengan demikian kedudukan para Sultan menjadi Sulit, dimana di satu sisi mereka harus menyambut
Namun demikian pemerintah tidak berputus asa untuk mewujudkan cita-cita proklamasi. Mereka terus menerus berusaha untuk menyesuaikan sistem swapraja atau kerajaan ini ke dalam bentuk sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Langkah-langkah yang diambil oleh T. Muhammad Hasan untuk merealisasikan proklamasi tersebut sesuai dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
22
Wawancara dengan Marwan Sir tanggal 10 Juli 2009
(50)
kedatangan Belanda dan di sisi lain rakyat akan menghalau Belanda. Situasi ini membuat mereka bingung karena banyak para pegawai kerajaan yang membantu merealisasikan proklamasi sehingga keadaan politik menjadi kacau.
Pada tanggal 3 Februari 1946 diadakan lah rapat yang dihadiri oleh pejabat-pejabat penting Sumatera Timur dan diikuti oleh pihak swapraja Sumatera timur dalam rangka mempersatukan sikap menyambut pemerintahan Republik Indonesia agar rakyat mendapat tempat dalam menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Dalam rapat ini terdengar pengakuan para Sultan dan Raja-Raja swapraja Sumatera Timur tentang negara Republik Indonesia yang diwakili oleh Sultan Langkat. Dengan demikian para Sultan juga membentuk KNI di daerahnya masing-masing. Namun utusan dari Kesultanan Kota Pinang tampaknya tidak menghadiri pertemuan tersebut.23
Masa kekuasaan Jepang adalah masa yang penuh dengan kontradiksi yang amat tajam. Bangsa Jepang tidak membiarkan rasa kebangsaan dibangkitkan dengan amat hebatnya, serdadu-serdadu dan pelatih-pelatih Jepang menghina bangsa Indonesia dan menekan kebanggaan nasional bangsa Indonesia semaunya. Radio-radio milik perorangan disita, koran-koran dirampas dan tidak dibiarkan beredar ke pasaran agar rakyat Indonesia tidak dapat mengetahui informasi-informasi penting yang dari sarana tersebut. Jepang membatasi segala aktivitas rakyat bahkan berbicara juga tidak boleh sembarangan sesuka hati. Kaki tangan Kompetai berkeliaran di mana-mana yang sewaktu-waktu menjadi ancaman-ancaman yang mengerikan bagi rakyat. Jepang menanamkan rasa benci terhadap
3.2 Sikap Masyarakat Kota Pinang Terhadap Proklamasi RI
(51)
kolonialisme barat, namun rakyat merasakan bahwa apa yang dilakukan oleh Jepang sendiri lebih mengerikan. Jepang juga menanamkan cita-cita kemakmuran bersama Asia Timur Raya yang bersemboyan “Asia untuk Asia” tetapi kenyataannya “Asia untuk Jepang”. Semua barang-barang kebutuhan hidup berada dalam cengkraman Jepang dan digunakan semata-mata hanya untuk kepentingan Jepang sendiri. Banyak rakyat Indonesia dijadikan sebagai romusha yang mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Indonesia.
Kebencian dan penderitaan yang semakin parah melanda setiap lapisan masyarakat Sumatera pada tahun 1944 menjadi sedikit lega dengan adanya janji “kemerdekaan pada waktu yang akan datang” yang diucapkan oleh Perdana Menteri Koiso di depan parlemen Jepang pada tanggal 7 September. Namun janji tersebut sengaja diberikan agar Jepang tetap dapat memanfaatkan rakyat. Dengan memberikan janji-janji tersebut maka Jepang berharap mereka bisa mendapatkan keuntungan yakni dukungan dari rakyat yang menginginkan kemerdekaan tersebut untuk kepentingan Jepang sendiri.
Hingga akhirnya Jepang kalah pada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 yang kemudian seluruh daerah jajahan Jepang harus diserahkan kepada Sekutu termasuk Indonesia. Oleh karena itu sejak tanggal 14 Agustus, Jepang tidak berhak lagi untuk membuat kebijaksanaan di wilayah jajahannya kecuali untuk menjaga ketentraman di wilayah jajahan sebelum datangnya sekutu. Maka tugas bangsa Jepang di Indonesia hanya memerintah dalam keadaan status quo. Dengan kata lain pemerintahan Jepang di Indonesia hanya mempertahankan apa yang telah ada sebelum tentara sekutu tiba di Indonesia. Kedatangan tentara sekutu di Indonesia hanya untuk melucuti tentara Jepang beserta personil lainnya.
23
Anthony Reid. Op,Cit., Hlm. 362.
(52)
Kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia diproklamirkan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta. Tetapi berita proklamasi tersebut tidak sampai ke seluruh penjuru tanah air pada hari itu juga, membutuhkan waktu yang lama untuk menyebarluaskan berita tersebut karena kurang lancar nya komunikasi dan transportasi pada saat itu dari Jawa ke daerah-daerah lainnya di luar Jawa termasuk Sumatera Timur.
Proklamasi kemerdekaan agak terlambat diumumkan di Sumatera Timur juga disebabkan oleh situasi di Sumatera Timur pada saat itu tidak mendukung karena pembesar-pembesar masyarakat atau kaum feodal dan bangsawan kurang memperhatikan kejadian-kejadian yang terjadi di Jawa. Ketika Jepang menyerah kalah kepada sekutu, kaum feodal dan bangsawan sangat senang dan mengharapkan kekuasaan Belanda kembali atas daerah masing-masing seperti sebelumnya. Sedangkan kemerdekaan yang telah diproklamirkan di Jakarta tersebut kurang mereka yakini akan keberhasilannya. Mereka lebih menyenangi kedatangan Belanda kembali ke Indonesia. Oleh karena itu untuk menyambut kedatangan Belanda ke Sumatera Timur, mereka membuat suatu komite yang disebut dengan “Comite Van Omvangst” yang diketuai oleh Sultan Langkat (Tengku Musa) pada tanggal 25 Agustus 1945.
Setelah mendengar berita proklamasi tersebut, beberapa pemuda di Medan seperti Abdul Xarim MS dan Wahab Siregar membagi-bagikan selebaran stensilan kepada masyarakat umum dalam rangka usaha menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan tujuan agar penduduk mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka. Secara resmi berita kemerdekaan Indonesia dibawa wakil-wakil Sumatera seperti Mr. TM Hasan, Dr. Amir dan Abdul Abbas tiba di Medan pada tanggal 29 Agustus 1945
(53)
dari Jakarta. Setibanya di Medan, mereka tidak dapat berbuat banyak, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan golongan, paham, serta penafsiran terhadap proklamasi. Untuk itu pemuda segera mengundang beberapa tokoh seperti Dr. T Mansyur, Dr. Raja Sauddin dan Datuk Hafil Haberman dalam rapat pada tanggal 3 September 1945. Kemudian rapat kedua dilaksanakan pada tanggal 17 September 1945, dalam rapat ini munculah tokoh yang militan yaitu Xarim MS. Tokoh ini juga tidak dapat berbuat banyak untuk merealisasikan proklamasi tersebut. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi pada saat itu yang belum terkendali dengan baik.
Situasi demikian ditanggapi para pemuda yang tergabung dalam organisasi pemuda latihan yang disponsori oleh Ahmad Tahir untuk mengadakan rapat. Rapat ini dilakukan pada tanggal 23 September 1945 bertempat di Puji Dori 6 (sekarang jalan Imam Bonjol Medan), dari rapat tersebut terbentuklah Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang diketuai oleh Sugondo Kartoprojo. Tujuannya adalah untuk merealisasikan Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Timur. Kemudian setelah itu mereka mengadakan rapat umum di Gedung Taman Siswa di jalan Amplas Medan pada tanggal 30 September 1945. Mereka mengundang TM Hasan agar segera dilaksanakan pemberitaan Proklamasi. Kemudian Mr. TM Hasan secara resmi menyampaikan amanat yang dibawanya dari Jakarta yang berisikan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta.
Dengan diumumkannya proklamasi tersebut oleh Mr. TM Hasan pada tanggal 30 September 1945 maka pada saat itu juga ia sendiri menjadi Gubernur Sumatera Timur dan Dr. M Amir sebagai wakilnya. Kemudian berita ini menyebar ke seluruh penjuru daerah
(54)
dan seluruh lapisan masyarakat. Demikian halnya berita proklamasi tersebut sampai ke daerah Labuhan Batu dan Kota Pinang pada awal Oktober 1945.
Meskipun sebagian masyarakat mengetahui tentang kemerdekaan Republik Indonesia melalui radio milik Kesultanan, masyarakat tidak memperlihatkan tindakan yang cukup berarti sebagai upaya penyambutan terhadap berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tersebut. Demikian juga halnya ketika selebaran tentang berita proklamasi kemerdekaan tersebar di daerah Kota Pinang, yang pada masa itu dibawa oleh orang-orang yang bekerja sebagai staf karyawan di perkebunan di Sisomut. Masyarakat Kota Pinang juga tidak menampakkan kegiatan yang cukup berarti sebagai reaksi terhadap berita kemerdekaan Republik Indonesia tersebut. Akan tetapi orang-orang yang merasa benci terhadap Sultan hanya dapat menanti perwujudan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tersebut sampai di daerah Kota Pinang.24
Keinginan rakyat untuk merealisasikan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tersebut khususnya para pemuda yang mengerti tujuan proklamasi, mereka wujudkan melalui berbagai cara diantaranya adalah pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang pada awalnya merupakan perintah dari pusat. Kemudian pembentukan
Pada umumnya berita proklamasi tersebut disambut baik oleh sebagian besar masyarakat terutama bagi mereka yang telah mengerti dan tahu apa tujuan proklamasi tersebut. Sedangkan masyarakat yang belum mengerti tujuan proklamasi tersebut bersikap biasa saja. Mereka tidak ikut campur dalam keadaan yang genting seperti itu, ada pula yang bersikap menentang proklamasi tersebut. Mereka adalah orang-orang dari kelompok penguasa yang telah merasakan kebahagiaan pada masa pemerintahan Belanda.
(55)
TKR ini diikuti oleh pembentukan lasykar-lasykar rakyat yang dilakukan oleh partai-partai politik seperti dari PNI, Pesindo, Hizbullah, Barisan Harimau Liar (BHL) dan lain sebagainya. Mereka membentuk ini agar mereka dapat melawan penjajah yang tidak menginginkan realisasi proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tersebut.
3.3 Perbedaan Sikap antara Masyarakat dengan Kesultanan terhadap Proklamasi
Pada mulanya berita proklamasi kemerdekaan di Sumatera Timur disambut oleh seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai perasaan. Ada yang menyambut dengan perasaan senang dan ada juga yang menyambut dengan perasaan tidak senang bahkan ada pula yang tidak mau tahu dengan berita tersebut. Sikap yang berbeda-beda tersebut wajar terjadi karena berita kemerdekaan masih merupakan berita yang belum pasti. Demikian juga halnya dengan sikap msyarakat Kesultanan Kota Pinang terhadap berita proklamasi tersebut. Hal ini tergantung kepada individu dan kepentingan masing-masing terhadap berita proklamasi. Kelompok masyarakat yang menyambut gembira berita proklamasi tersebut pada umumnya adalah masyarakat yang sudah tahu dan mengerti tujuan dan makna dari kemerdekaan tersebut yaitu suatu pemerintahan yang terlepas dari belenggu penjajahan. Bagi masyarakat yang tidak mengerti perkembangan situasi dan tidak menegerti tujuan dari proklamasi serta tidak mau tahu dengan persoalan yang terjadi, mereka bersikap tidak perduli. Bahkan tidak jarang diantara mereka menjadi gelisah dengan berita proklamasi tersebut karena situasi yang sedang dan akan dihadapi yaitu kehidupan yang serba melarat, dimana ada dua kekuatan politik yaitu antara memihak kepada Belanda atau memihak kepada berita proklamasi. Keadaan yang beragam ini membuat mereka tidak
24
wawancara dengan Marwan Sir pada tanggal 10 Juli 2009
(56)
mau ikut campur dengan urusan-urusan tentang proklamasi dan mereka lebih senang menunggu apa yang akan terjadi.
Situasi yang demikian terjadi karena kurangnya komunikasi antara pemimpin yang berada di pusat dengan rakyat yang ada di daerah. Bahkan banyak diantara mereka kurang yakin dengan berita itu sehingga sulit untuk menghimpun kekuatan untuk mengusir penjajah yang akan datang.
Disamping sikap-sikap masyarakat yang demikian, pihak Kesultanan, kaum feodal dan bangsawan yang telah menikmati kemewahan pada masa pemerintahan Belanda menunjukkan sikap yang kurang menyenangi berita proklamasi tersebut.. Kaum feodal ini menginginkan agar Belanda kembali berkuasa di Sumatera Timur dengan harapan mereka akan mendapat posisi semula dalam pemerintahan dan juga statusnya dalam masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan kaum feodal tidak menginginkan terwujudnya proklamasi. Bahkan mereka menganggap bahwa tidak mungkin rakyat Indonesia umumnya dan rakyat Kesultanan Kota Pinang khususnya dapat melawan Belanda karena Belanda memiliki peralatan perang yang jauh lebih modern bila dibandingkan dengan peralatan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Perwujudan proklamasi yang akan dilaksanakan rakyat menurut kaum feodal adalah hal yang tidak masuk akal, sehingga kaum feodal banyak memihak Belanda.
Adanya sikap kelompok-kelompok yang bertentangan di Sumatera Timur ini sangat menyulitkan bagi para pemimpin untuk mewujudkan proklamasi tersebut. Disamping itu dengan adanya perbedaan kelompok masyarakat ini sangat berbahaya dalam perwujudan proklamasi karena dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh kaum penjajah. Sedangkan untuk melawan kaum penjajah tersebut perlu pula persatuan yang kokoh.
(57)
Setelah rakyat mengerti tentang tujuan dan makna dari proklamasi maka rakyat menyadari kekeliruan mereka terhadap berita tersebut. Hal ini menyebabkan mereka menginginkan terwujudnya kemerdekaan tersebut. Sikap yang demikian bukan saja dimiliki oleh rakyat biasa tetapi juga banyak dari golongan bangsawan dan kaum feodal. Oleh karena itu banyak di antara kaum feodal yang turut membela kemerdekaan. Kelompok-kelompok yang ingin merealisasikan proklamasi menyatu dalam satu tujuan yaitu kemerdekaan. Mereka ingin mewujudkan proklamasi sedini mungkin. Oleh sebab itu banyak kelompok-kelompok perjuangan yang terbentuk dan akhirnya nanti bersatu dalam bentuk lasykar-lasykar. Kelompok-kelompok perlawanan ini ada yang dikelola oleh pemerintah, partai dan kelompok perlawanan daerah. Kelompok perlawanan yang dikelola oleh partai nantinya bergabung dengan kelompok perlawanan rakyat di daerah yang disebut dengan lasykar. Adapun lasykar-lasykar yang terkenal pada saat itu antara lain Pesindo, Hizbullah, PNI, PKI dan lain sebagainya. Semua lasykar memiliki tujuan yang sama yaitu merealisasikan kemerdekaan, namun memiliki perbedaan ide atau gagasan tentang kemerdekaan tersebut sehingga tidak jarang terjadi perpecahan dalam satu partai. Disamping itu banyak pula yang terjadi di luar perhitungan dalam rangka mewujudkan kemerdekaan itu. Salah satunya adalah terjadinya revolusi sosial di berbagai daerah di Indonesia umumnya dan di Kesultanan Kota Pinang khususnya.
Demikianlah sikap para pejuang terhadap berita proklamasi yang penuh dengan semangat dan emosional yang berlainan dengan sikap bangsawan yang ingin mempertahankan statusnya seperti pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Mereka ini pada prinsipnya adalah kelompok masyarakat yang kebingungan. Mereka tidak yakin dengan kemampuan para pejuang bersama rakyat untuk merealisasikan kemerdekaan.
(58)
Sehingga kelihatan mereka cenderung untuk memihak kepada Belanda. Tetapi karena melihat perkembangan yang demikian cepat di dalam masyarakat yang menunjukkan sikap antipati terhadap penjajahan maka kaum feodal ini menjadi serba salah. Sikap kaum feodal dan bangsawan ini dipengaruhi oleh dua kekuatan besar yaitu kemerdekaan atau menerima kembali pemerintahan Belanda. Dari keadaan yang demikian membuat mereka menjadi tidak stabil. Di satu pihak mereka harus menerima Belanda dan di lain pihak mereka harus menerima saran-saran dari republik, sehingga kaum feodal tidak turut aktif untuk merealisasikan proklamasi.
Mengingat kedudukan kaum feodal yang masih kuat dimana mereka masih memiliki daerah, rakyat, pemerintahan dan modal yang kuat maka kelompok ini merupkan kekuatan ketiga di samping kekuatan Belanda yang akan datang dan kekuatan pemerintahan Indonesia yang akan direalisasikan.
Perbedaan pandangan, sikap dan tingkah laku antara para pejuang dengan kaum feodal terhadap proklamsi tersebut dirasakan oleh para pejuang merupakan penghalang bagi terwujudnya proklamasi kemerdekaan. Bahkan sebagian kelompok para pejuang yang tergabung dalam lasykar-lasykar merasakan bahwa kaum feodal merupakan musuh bagi cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Anggapan para pejuang yang dimotori oleh lasykar-lasykar ini beralasan karena demikian hebatnya harapan rakyat untuk merealisasikan proklamasi kemerdekaan. Untuk dapat merealisasikan proklamasi di Sumatera Timur memerlukan pengorbanan dan perjuangan yang banyak, baik dari segi materialnya maupun dari segi kehidupan spiritualnya. Oleh karena itu apa saja yang dianggap sebagai penghambat kemerdekaan perlu terlebih dahulu disingkirkan.
(59)
BAB IV
REVOLUSI SOSIAL DI KESULTANAN KOTA PINANG 4.1 Revolusi Sosial
Setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno Hatta, dan setelah diumumkan secara resmi di Medan pada tanggal 30 September 1945 oleh Mr. TM Hasan maka rakyat menginginkan segera mungkin untuk merealisasikan proklamasi tersebut. Untuk dapat merealisasikan berita proklamasi tersebut maka yang pertama harus dilakukan adalah mengakhiri sistem kerajaan yang ada di Sumatera Timur, merubah sistem kerajaan yang autokrasi menjadi sistem demokrasi. Pemerintah republik telah memerintahkan para Sultan agar merubah sistem pemerintahan tersebut melalui suatu rapat yang dilakukan dengan mengundang semua Sultan. Namun kelihatannya Sultan masih enggan untuk melakukan hal tersebut karena masih mengharapkan kedatangan Belanda agar mereka mendapatkan kembali hak-hak istimewa mereka yang mereka miliki ketika masih kekuasaan Belanda.
Melihat keadaan yang demikian, muncullah lasykar-lasykar dari pemuda yang bertujuan untuk merealisasikan proklamasi. Perkembangan lasykar-lasykar ini sangat cepat, hal ini terlihat di setiap daerah-daerah di Sumatera Timur. Organisasi yang demikian banyak dan tidak mempunyai hubungan kerja langsung antara satu dengan yang lainnya mengakibatkan kurang baiknya gerakan. Padahal mereka memiliki satu tujuan yang sama yaitu untuk mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia. Untuk menyatukan organisasi-organisasi ini, maka pada tanggal 15 Oktober 1945 Mnteri Penerangan Mr. Amir Sarifudin menginstruksikan agar seluruh organisasi tersebut bersatu dalam satu wadah yaitu organisasi yang bernama Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang kemudian berubah nama
(1)
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Albiker Simanjuntak Umur : 67 tahun
Alamat : Kota Pinang 2. Nama : H. Ibrahim
Umur : 65 tahun Alamat: Kota Pinang 3. Nama : H. Ilias
Umur : 64 tahun Alamat : Kota Pinang 4. Nama : H. Makmur Karim
Umur : 67 tahun Alamat : Kota Pinang 5. Nama : H. Muksir Nasution
Umur : 71 tahun Alamat : Kota Pinang 6. Nama : H. Sharon
Umur : 62 tahun Alamat : Kota Pinang 7. Nama : Kakdus
Umur : 68 tahun Alamat : Kota Pinang
(2)
8. Nama : Marwan Sir Umur : 67 tahun Alamat : Kota Pinang 9. Nama : Sahrial
Umur : 65 tahun Alamat : Kota Pinang 10.Nama : T. Chairul Azham
Umur : 50 tahun Alamat : Kota Pinang 11.Nama : T. Saibun
Umur : 63 tahun Alamat : Kota Pinang 12.Nama : T. Shangkat
Umur : 60 tahun Alamat : Kota Pinang 13.Nama : Ust. Darus
Umur : 59 tahun Alamat : Kota Pinang
(3)
(4)
(5)
(6)