Sarana dan prasarana Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Kota Dumai Provinsi Riau

Tabel 14 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek sosial unit penangkapan demersal di perairan Kota Dumai Kriteria Penilaian Unit Penangkapan X 1 X 2 X 3 X 4 VX 1 UP V 1 X 1 V 2 X 2 V 3 X 3 V 4 X 4 Sondong 377,5 175,5 104 104 0,3 1 1,30 3 Rawai tetapdasar 459,2 189,8 61,2 116,3 1 0,8 1 2,08 1 Gombang 342 193,9 73,5 110,2 1 0,28 0,5 1,79 2 Keterangan X1 = Respon penerimaan alat tangkap diinginkan= 5; diterima= 3; ditolak=1 X2 = Kemampuan investasi mampu=5 ; cukup = 3 ; tidak mampu = 1 X3 = Kemudahan pengoperasian mudah =5 ; sedang = 3; sulit = 1 X4 = Kemudahan pengadaan mudah = 5 ; sedang = 3 ; sulit = 1 UP = Urutan prioritas = Prioritas nilai tertinggi Berdasarkan standarisasi nilai pada aspek sosial prioritas pertama pada alat tangkap rawai tetapdasar dari segi respon penerimaan alat tangkap dan kemudahan pengadaan, untuk prioritas kedua alat gombang dan sondong prioritas ketiga Tabel 14.

5.1.5.4 Aspek ekonomi

Unit penangkapan prioritas berdasarkan Aspek ekonomi menggunakan penilaian kriteria kelayakan usaha dan kriteria kelayakan investasi. Kriteria usaha diantaranya, keuntungan X1, payback period X2, RevenueCost Ratio X3 Tabel 15. Untuk kelayakan investasi kriterianya, Net Present Value X1, Internal Rate of Rreturn X2 dan BenefitCost Ratio X3 Tabel 16.

a. kriteria kelayakan usaha

Tabel 15 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek ekonomi pada kriteria kelayakan usaha unit penangkapan demersal di perairan Kota Dumai Kriteria Penilaian Unit Penangkapan X 1 X 2 X 3 VX 1 UP V 1 X 1 V 2 X 2 V 3 X 3 Sondong 20.547.500 0,87 1,31 1 0,33 0,26 1,59 2 Rawai tetapdasar 4.178.650 3,82 1,19 1 1,00 3 Gombang 14..287.000 1,11 1,65 0,61 0,08 1 1,69 1 Keterangan X1 = Keuntungan X2 = Payback period Waktu pengembalian X3 = RevenueCost Ratio Imbangan penerimaan dan biaya UP = Urutan prioritas = Prioritas nilai tertinggi Berdasarkan Nilai hasil standarisasi dari aspek ekonomi dengan kriteria kelayakan usaha menunjukan bahwa prioritas pertama adalah alat tangkap gombang, prioritas kedua pada alat tangkap sondong kemudian prioritas ketiga rawai tetapdasar Tabel 14.

b. kriteria kelayakan investasi

Tabel 16 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek ekonomi pada kriteria kelayakan investasi unit penangkapan demersal di perairan Kota Dumai Kriteria Penilaian Unit Penangkapan X 1 X 2 X 3 VX 1 UP V 1 X 1 V 2 X 2 V 3 X 3 Sondong 50.508.860 118 3,81 1 1 1 3,00 1 Rawai tetapdasar 485.142 19 1,03 0,00 3 Gombang 34.644.684 97 3,17 0,68 0,78 0,77 2,23 2 Keterangan : X1 = NPV Rp X2 = IRR X3 = BC Ratio UP = Urutan prioritas = Prioritas nilai tertinggi Setelah dilakukan standarisasi dengan ketiga kriteria aspek kelayakan investasi, alat tangkap yang menjadi prioritas pertama adalah sondong, dari segi investasi merupakan unit penangkapan yang unggul untuk diinvestasikan. prioritas kedua pada alat tangkap gombang. Kemudian disusul dengan alat tangkap rawai tetapdasar.

5.1.6 Determinasi prioritas unit alat tangkap

Prioritas berdasarkan aspek biologi X1, teknis X2, sosial X3 dan ekonomi dengan kriteria, kelayakan usaha X4 serta kelayakan investasi X5 yang menjadi penilaian adalah keseluruhan aspek dari unit penangkapan. Tujuan dari determinasi unit penangkapan adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap yang menjadi prioritasunggulan sehingga cocok untuk dikembangkan. Tabel 17 Rangkuman penilaian standarisasi Aspek Biologi, Teknis, Sosial dan Ekonomi unit penangkapan ikan demersal di perairan Kota Dumai Unit Penangkapan Kriteria Penilaian V A UP V 1 X 1 V 2 X 2 V 3 X 3 V 4 X 4 V 5 X 5 Total Sondong 1,00 3,00 1,30 1,59 3,00 9,89 1 Rawai tetapdasar 2,00 1,57 2,08 1,00 0,00 6,65 3 Gombang 1,99 0,13 1,79 1,69 2,23 7,83 2 Keterangan : X1 = Aspek biologi X2 = Aspek teknis X3 = Aspek sosial X4 = Aspek ekonomi kriteria kelayakan usaha X5 = Aspek ekonomi kriteria kelayakan investasi UP = Urutan prioritas = Prioritas nilai tertinggi Berdasarkan standarisasi penilaian dari semua aspek maka alat tangkap yang menjadi prioritas utama adalah sondong dengan jumlah nilai 9,89, prioritas kedua pada alat tangkap gombang dengan nilai 7,83, kemudian disusul oleh alat tangkap rawai tetapdasar Tabel 17. 5.2 Pembahasan 5.2.1 Status pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, telah mendorong meningkatnya komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya permintaan akan ikan tersebut dipenuhi dari sumberdaya ikan yang jumlahnya di alam memang terbatas. Kecenderungan meningkatnya permintaan akan ikan telah membuka peluang berkembang pesatnya industri perikanan, hanya sayangnya perkembangan industri perikanan tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan serta kelestarian sumberdaya perikanan akibatnya usaha perikanan yang berkelanjutan dan upaya meningkatkan taraf hidup nelayan menjadi tanda tanya. Oleh karenanya penting diketahui status pemanfaatan sumberdaya perikanan, agar dapat mempertimbangkan kemungkinan pengembangan dimasa yang akan datang dengan mempertimbangkan keberlangsungan sumberdaya tersebut. Mengetahui Status pemanfaatan sumberdaya ikan dengan cara mengetahui besarnya potensi sumberdaya stok. Mengacu pada Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan 1998 bahwa estimasi stok ikan di Indonesia dipergunakan beberapa metode yaitu sensustransek, sweept area, akustik, production surplus, tagging dan ekstraintra-polasi. Diantara keenam metode pendekatan tersebut, metode production surplus adalah relatif paling murah, cepat dan sederhana dalam pengerjaannya. Faktor penentu keberhasilan penggunaan metode ini terletak pada keakuratan data yang digunakan. Metode production surplus menggunakan data time series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan. Diakui metode ini banyak menggunakan asumsi dalam perhitungannya. Stok sumberdaya ikan diasumsikan sebagai suatu biomasa yang tidak berpedoman pada umur, ukuran panjang ikan dan jumlah biomassa suatu stok tetap meski ada aktivitas usaha perikanan. Di perairan Kota Dumai unit penangkapan yang digunakan dominan menangkap ikan demersal, hal ini didukung oleh topografi perairan yang datar, belumpur dan berpasir, yang sangat disenangi oleh sumberdaya demersal. Hasil produksi ikan demersal tahun 2006 sebesar 1.142,8 ton atau 90,33 dari estimasi produksi lestari MSY 1.265 ton. Produksi tersebut dihasilkan pada tingkat pengupayaan sebesar 11.108,17 trip atau 116,41 dari upaya penangkapan optimum sebesar 9.542 trip. Produksi penangkapan ikan demersal belum melebihi batas produksi maksimal lestari. Namun upaya yang dilakukan telah melebihi batas upaya optimum. Meski demikian jika dicermati produksi yang telah dicapai sudah mendekati batas lestari, hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius, mengingat jumlah nelayan yang semakin bertambah demikian pula alat tangkap yang digunakan. Sedangkan semua aktifitas penangkapan terakumulasi pada 2 mil area penangkapan. Jika pada kondisi tersebut aktifitas penangkapan terus dilakukan secara intensif, maka dampak yag terjadi penurunan produksi persatuan upaya penangkapan. Gambar 10. Secara matematis dampak yang ditimbulkan dapat diprediksikan melalui persamaan regresi dari hubungan effort dan catch yaitu Y= 746,1 + 0.043x; R 2 = 0,205, dimana setiap penambahan satu satuan upaya penangkapan akan meningkatkan produksi sebesar 0.043 ton. Dari gambar 11 menunjukan bahwa kecenderungan trend meningkat. Sedangkan hubungan upaya penangkapan terhadap CPUE, secara matematis di prediksikan melalui persamaan regresi yaitu Y= 0.265 - 1E-05x; R 2 = 0,449, dari persamaan tersebut menggambarkan terjadinya penurunan produktifitas perunit penangkapan sebesar 05 tontrip setiap dilakukan penambahan upaya penangkapan. Dari gambar 11 menunjukan bahwa kecenderungan trend menurun. Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius, mengingat kebutuhan akan ikan harus terus terpenuhi dan aktifitas nelayan harus tetap berjalan agar dapat meningkatkan taraf hidup nelayan dengan tidak menggangu keberlangsungan sumberdaya demersal. Produksi ikan demersal meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah alat tangkap dengan target utama sumberdaya demersal, hal ini harus menjadi perhatian. Mengacu kepada kondisi faktual tersebut sangat diperlukan kehati- hatian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, meskipun sumberdaya perikanan laut termasuk dalam kriteria sumberdaya yang dapat diperbaharui, akan tetapi pemanfaatannya harus tetap rasional agar kesinambungan produksi dan kelestarian sumberdayanya tetap terjaga. Upaya kehati-hatian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan mengacu kepada prinsip-prinsip kehati-hatian precautionary sebagaimana yang tertuang dalam code of conduct for responsible fisheries CCRF FAO, 1995, di Indonesia penekanan pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi hingga 80 dari MSY. Sehingga sebaiknya produksi perikanan di perairan Kota Dumai sebesar 1.012 ton dengan upaya sebesar 7.633,6 trip. Dengan demikian pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, apabila dilakukan secara tidak hati-hati akan dapat menguras persediaan sumberdaya perikanan yang ada. Kondisi ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut, yang menyebabkan besarnya tekanan pemanfaatan sumberdaya demersal di perairan Kota Dumai adalah: 1 Dominannya unit penangkapan dengan target utama ikan demersal. 2 Peningkatan jumlah unit penangkapan. 3 Enggannya masyarakat mengalihkan target tangkapan ke ikan pelagis, karena ikan demersal biasaya harga tinggi dan banyak peminatnya. 4 Enggannya masyarakat melakukan ekpansi,karena harga solar tinggi. 5 Tingginya pembagian hasil dengan Tauke, dengan perbandingan 50:50.

5.2.2 Unit penangkapan prioritas

Teknologi penangkapan ikan demersal yang dominan digunakan oleh nelayan Kota Dumai diantaranya sondong, rawai tetapdasar dan gombang. Untuk menentukan unit penangkapan ikan prioritas digunakan beberapa aspek penilaian diantaranya: 1 Aspek biologi Berdasarkan Tabel 12 penilaian aspek biologi unit penangkapan ikan dengan menggunakan fungsi nilai unit penangkapan rawai tetapdasar menjadi prioritas utama, karena rawai dasar unggul pada kriteria selektifitas alat tangkap dan komposisi hasil tangkapan karena alat tangkap rawai lebih selektif terhadap target ukuran ikan. Monintja 1987 menyatakan bahwa alat tangkap pancing, rawai, pancing tonda, huhate pancing dasar sangat baik dikembangkan karena memiliki selektifitas tinggi sehingga lebih ramah terhadap lingkungan. Di perairan Kota Dumai mata pancing yang dipakai ukurannya 2-4 sehingga rawai ini tujuannya menangkap ikan-ikan yang berukuran besar. Sementara sondong dan gombang merupakan alat tangkap yang menyaring hasil tangkapan sehingga alat ini kurang selektif terhadap ukuran tangkapan. 2 Aspek teknis Berkaitan dengan pengoperasian unit penangkapan untuk mengetahui efektif atau tidak, suatu unit alat tangkap bila dioperasikan. Hasil penilaian dari standarisasi dengan fungsi nilai, unit penangkapan sondong merupakan alat tangkap yang menjadi prioritas pertama, karena produksi pertahun, pertrip dan produksi pertenaga kerja unggul sehingga hal ini menunjukan bahwa unit penangkapan sondong efektif untuk menangkap ikan demersal di perairan Kota Dumai sehingga alat ini dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan. 3 Aspek sosial Hasil analisa aspek sosial dengan beberapa kriteria yang kemudian dilakukan standarisasi nilai menghasilkan prioritas pertama yaitu unit penangkapan rawai tetapdasar, karena tingginya respon nelayan terhadap keberadaan rawai hanyut, kemampuan investasi bagi nelayan cukup besar karena lebih ringannya biaya yang dikeluarkan untuk investasi dan kemudahan pengadaan, mudahnya dalam mencari alat yang dibutuhkan. 4 Aspek ekonomi Aspek ekonomi menggunakan kriteria penilaian berdasarkan kelayakan usaha dan kelayakan investasi dengan beberapa parameter yang mendukung. 1 Kelayakan usaha Dari hasil standarisasi penilaian dengan fungsi nilai terhadap kelayakan usaha unit penangkapan gombang menjadi prioritas pertama, hal ini dapat terlihat dari manfaat yang diperoleh dari kegiatan selama 1 tahun, cukup menguntungkan. Cukup besarnya keuntungan memberi peluang bagi nelayan untuk pengembalian modal dalam waktu yang relatif singkat. Secara umum kriteria RC Ratio pada semua unit penangkapan menunjukan kategori layak untuk dikembangkan karena nilai RC Ratio semua unit penangkapan lebih besar dari satu satu. 2 Kelayakan investasi Unit penangkapan sondong merupakan prioritas pertama yang layak untuk diinvestasikan karena dari semua kriteria sondong menjadi prioritas pertama. Hasil investasi unit sondong dengan membandingkan semua penerimaan yang diperoleh dari investasi dengan semua pengeluaran yang harus dikeluarkan selama proses investasi dilaksanakan dengan menilai manfaat investasi yang merupakan jumlah nilai kini dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam rupiah sebesar Rp 50.508.860, maka investasi layak dan efisiensi dalam penggunaan modal 3.81 atau dari 1 dinyatakan memberikan keuntungan. Sedangkan nilai IRR 118 lebih besar dari nilai suku bunga bank yang berlaku 17.5.

5.2.3 Determinasi pengembangan perikanan tangkap

Hasil standarisasi unit penangkapan prioritas terpilih sebagai alternatif pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Kota Dumai yaitu: pertama unit penangkapan sondong, kedua unit penangkapan gombang yang ketiga unit penangkapan jaring insang hanyut dan keempat rawai tetapdasar. Secara umum sondong sebagai Unit penangkapan demersal prioritas untuk dikembangkan karena: 1 Aspek biologi: unit penangkapan sondong unggul dalam lama waktu musim ikan, dimana pada musim-musim tertentu bulan jenis ikan yang menjadi target penangkapan punya rentang waktu yang panjang berada di daerah penangkapan. 2 Aspek teknis: unit penangkapan sondong unggul dibanding unit penangkapan lainnya sehingga pengoperasian alat tangkap lebih efektif untuk menangkap ikan demersal di perairan Kota Dumai. 3 Aspek Sosial: unit penangkapan sondong memiliki kemudahan dalam pengoperasian, sehingga pengoperasian unit penangkapan lebih efisien dalam penggunaan waktu. 4 Aspek Ekonomi: unit penangkapan sondong paling unggul dalam aspek ekonomi kondisi ini sangat baik untuk dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan.

5.3 Pengembangan Perikanan Tangkap di Kota Dumai

Berdasarkan hasil analisis terhadap sumberdaya demersal yang menunjukan bahwa hasil tangkapan tahun 2006 belum melebihi batas optimum lestari. Namun berdasarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF jumlah tangkapan yang diperbolehkan yaitu 80 dari MSY, telah mengalami tangkap lebih secara biologi Biologycal Overfishing . Namun peluang pengembangan tetap ada. Mengacu kepada undang-undang No 22 tahun 2005 tentang otonomi daerah dimana batas kewenangan pengelolaan KabupatenKota sejauh 4 mil Karena Nelayan di perairan Kota Dumai biasanya melakukan penangkapan terbatas pada kawasan perairan dengan jarak 2 mil dari pantai sementara kewenangan KabupatenKota sejauh 4 mil dari pantai. agar kegiatan penangkapan tidak hanya terkosentrasi dekat dengan pantai agar perairan dekat pantai kondisi sumberdayanya dapat berangsur pulih. Sumberdaya manusia merupakan variabel penting yang menentukan status pemanfaatan dan potensi sumberdaya perikanan karena manusia berperan sebagai pengelola sumberdaya ikan yang hakekatnya pengelolaan terhadap manusia yang memanfaatkan sumberdaya ikan tersebut. Upaya pengelolaan sumberdaya harus berbasis sumberdaya agar kelestarian sumberdaya ikan beserta lingkungan dapat terjaga. Dahuri 2003 menyatakan bahwa Masyarakat, harus diikut sertakan dalam pengelolaan, baik secara langsung ataupun tidak langsung melalui program pendidikan dan pelatihan dalam konsep keanekaragaman hayati pesisir dan laut. Hal tersebut dapat dimasukan kedalam kurikulum pendidikan. Upaya penangkapan berlebih merupakan kendala bagi pengembangan perikanan tangkap dalam hal keberlangsungan sumberdaya perikanan dimasa yang akan datang, maka pengendalian upaya penangkapan merupakan suatu pendekatan yang berkaitan dengan pembatasan kapasitas penangkapan atau jumlah alat tangkap yang beroperasi di perairan Kota Dumai seperti pembatasan jumlah unit penangkapan sondong yang yang produktif dan mengalihkan unit penangkapan yang kurang produktif dengan unit penangkapan jaring insang hanyut atau unit penangkapan lainnya yang target utamanya ikan pelagis agar produksi hasil perikanan lebih bervariasi dan pemanfaatan sumberdaya perikanan lebih berimbang. Perlu adanya penelitian, kajian dan pengenalan tentang Teknologi penangkapan dengan target ikan pelagis, agar sumberdaya ikan pelagis dapat dimanfaatkan secara optimal. Dalam pengembangan diperlukan modal, sehingga modal dapat merupakan kendala dan peluang bagi pengembangan, sehingga perlu uluran tangan pemerintah untuk dapat memberikan bantuan pinjaman bunga rendah bagi pengadaan unit alat tangkap. Di perairan Kota Dumai dominan alat tangkap dioperasikan sepanjang tahun, sehingga musim penangkapan menjadi relatif lebih lama dalam hal ini perlu dilakukan pembatasan musim penangkapan sehingga memberi kesempatan kepada sumberdaya untuk berkembang. Beddington dan Retting 1983 mengungkapkan bahwa paling tidak ada dua bentuk penutupan musim penangkapan ikan, pertama menutup musim penangkapan ikan pada waktu tertentu untuk memungkinkan ikan untuk dapat memijah dan berkembang. Kedua penutupan kegiatan penagkapan ikan karena sumberdaya ikan mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh sebab itu penutupan musim harus dilakukan untuk membuka peluang pada sumberdaya ikan yang masih tersisa untuk dapat memperbaiki populasinya, hal ini berkaitan erat terhadap pengembangan perikanan dimasa yang akan datang. Pencemaran yang terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pembangunan industri yang terkosentrasi didaerah pesisir, menyebabkan pencemaran didaerah pesisir dan lautan juga mengalami peningkatan, bahan pencemar yang masuk umumnya berasal dari proses produksi industri. Dahuri 2003 menyatakan bahwa secara langsung maupun tidak langsung, pencemaran perairan akan mempengaruhi kegiatan perikanan karena akan mengurangi produktivitas perairan, kerusakan habitat, dan menurunkan kualitas lingkungan perairan sebagai media hidup ikan. yang akan meyebabkan pembatasan habitat ikan, khususnya ikan dasar yang berada dekat pantai sehingga potensi sumberdaya perikanan demersal akan menurun. Hal ini merupakan kendala bagi pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Dalam pengembangan perikanan tangkap, sangat dirasa perlu adanya pemantauan monitoring, pengendalian controlling dan pengawasan surveillance guna keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan harapan dapat menjamin ketersediaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Alternatif pendekatan yang dapat dilakukan didalam pengelolaan sumberdaya perikanan untuk menurunkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya demersal diantaranya: 1 Membatasi jumlah unit penangkapan ikan demersal. 2 Melakukan rasionalisasi unit penangkapan berdasarkan kapasitas daya dukung sumberdaya yang ada di perairan. 3 Melakukan penutupan musim penangkapan ikan. 4 Membatasi jumlah tangkapan. 5 Pemerintah memberikan bantuan modal dengan bunga rendah untuk peningkatan kualitas armada. 6 Melakukan ekspansi fishing ground, dengan didukung unit penangkapan yang lebih modern. 7 Memberikan pendidikan, pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan tentang IPTEK yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati dan teknologi penangkapan yang berkelanjutan. Sebagaimana pendekatan yang dikemukan oleh Gulland dalam Widodo dan Nurhudah 1995 adalah sebagai berikut: 1 Pembatasan alat tangkap 2 Penutupan daerah penangkapan ikan 3 penutupan musim penangkapan ikan 4 Pemberlakuan kuota penangkapan ikan 5 Pembatasan ukuran ikan sasaran 6 Penetapan jumlah hasil tangkapan setiap kapal

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Hasil produksi ikan demersal tahun 2006 sebesar 1.142,8 ton atau 90,33 dari estimasi produksi lestari MSY 1.265 ton. Produksi tersebut dihasilkan pada tingkat pengupayaan sebesar 11.108,17 trip atau 116,41 dari upaya penangkapan optimum sebesar 9542 trip. Produksi penangkapan ikan demersal yang dilakukan belum melebihi batas produksi maksimal lestari. Namun upaya yang dilakukan telah melebihi batas upaya optimum. Namun berdasarkan prinsip - prinsip pemanfaatan dalam Code of Conduct for Responsibility Fisheries CCRF pemanfaatan sumberdaya 80 dari MSY telah mengalami tangkap lebih secara biologi biologycal overfishing. 2. Sondong scoopnet merupakan unit penangkapan yang layak untuk dikembangkan karena unit penangkapan sondong merupakan prioritas pertama berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. 3. Prioritas kedua, gombang portable trap dan prioritas terakhir adalah alat tangkap Rawai dasar bottom long line, berdasarkan semua kriteria aspek semua alat tangkap layak untuk dikembangkan.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan, untuk mengetahui jumlah unit penangkapan yang optimal dalam rangka rasionalisasi unit penangkapan. 2. Perlu adanya kajian tentang pengembangan perikanan tangkap pelagis. 3. Pengkayaan stok Restocking. 4. Peningkatan kualitas armada, agar daya jangkau daerah penangkapan lebih luas dari 2 mil ke 4 mil. DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Perikanan laut. 1992. Ikan-Ikan Laut Eonomis Penting Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. 170 hal Barus H. Badrudin dan N. Naamin. 1991. Potensi Sumberdaya Perikanan Laut dan Strategi Pemanfaatannya Bagi Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan. Prosiding Forum II Perikanan, Sukabumi, 18-21 Juni 1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. 165-180 hal Baskoro, M. S. 2002. Metode Penangkapan Ikan. Diktat Pengajaran Kuliah Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan . Institut Pertanian Bogor. Baskoro, M. S, Sudirman, Purbayanto. 2004. Analisis Hasil Tangkapan dan Keragaman Spesies setiap Waktu Hauling pada Bagan Rambo di Perairan Selat Makasar. Buletin PSP Volume XIII. NO1. April. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 15 hal Beddington, J.R. and B. Retting. 1983. “ Approaches to the Regulation of Fishing Effort” Fao Fisheries Technical Paper, 243:39 p Bishop, J.M. 1984. Applied Oceanography. John Wiley dan Sons Cholik dan Budiharjo, 1993. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I, Bidang Sumberdaya Perikanan dan Penangkapan Puslitbang Perikanan-ISPIKANI. Jakarta. 120 hal Dahuri, R. 2000. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Indonesia. Prosiding Konperensi Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia, Makassar, 15-17 Mei 2000. Kerjasama Dep. Eksplorasi Laut dan Perikanan, Pemda Sulsel, Unhas. Makassar. 38-59 hal _________. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 233 hal Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Dumai 2006, Statistik Perikanan Kota Dumai. 23 hal Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Dumai. 2007. Laporan Tahunan Pemerintah Kota Dumai. 117 hal Direktur Jenderal Perikanan. 1997. Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya Perikanan Laut Bagian I. Jenis-Jenis Ikan Ekonomis Penting. Departemen Pertanian. Jakarta. 64 hal Dwiponggo, A.,M. Badruddin, D. Nugroho, Sri Yono WS. 1989. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Demersal dalam Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Jakarta. FAO, 1986. Distribution and Important Biology Fishery of Coastal Fish Regional South East Asia. FAO Fish Technical Paper. FAO. Vol 2. Rome. 42 p FAO, 2002. Food Kerns Reported for A Tufa Mate, Selaroides leptolepis, Selaroides crumenopthalmus, Decapterus macrosama, Rastrelliger kanaguria, Sardinella lemuru, Sardinella fimbriata and Auxis. figzar£.http:filaman...FooltemsListenn?vstockcode=Do\viiload 11603. FAO, 1995. Code of Conduct For Responsible Fisheries. Rome. 41 p FAO, 1997. Fisheries Management. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 4 Rome. 45 p Gitinger PJ. 1982. Ekonomic Analysis of Agricultural Projects. Second edision. Jakarta: Universitas of Indonesia Press. 505 p Gulland, J. A. 1983. Fish Stock Assestment: A Manual of Basic Methods. Wiley Sons. Rome. 223 p Gulland, J. A. 1988. Fish Population Dynamics : The Implementation for Management. Second edition. A. Willey Interscience Publication, London. 422 p Haluan, J. Dan T.W. Nurani. 1988. Penerapan Metode Skoring dalam Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk Dikembangkan di Suatu Wilayah Perairan. Bulletin Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Vol. II, No. 1. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor: Hal 3-16 Husna, S dan Suwarsono. 1994. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Ketiga. UPPAMP YKPN. Yogyakarta. 379 hal Kadariah, L. Karlina, dan Grey, C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. 181 hal King, M. 1995. Fisheries Biology, Assesment and Management. Fishing News Book, Farnham. Surrey. England. 342 p Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. LIPI Jakarta Mangkusubroto, K. dan Trisnadi C.L. 1985. Analisis Keputusan Pendekatan Sistem dan Manajemen Usaha dan Proyek. Ganesa Exacta. Bandung. 271 hal Maunder, M.N. 2001. A General Framework for Integrating the Standardization of Catch Per Unit Effort Into Stock Assessment Models. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. Vol. 58 Monintja D.R. 1994. Pengembangan Perikanan Tangkap Berwawasan Lingkungan. Seminar Pengembangan Agribisnis Perikanan pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Agustus 1994. Jakarta . hal 1-12