Perubahan Alergenisitas Protein Kacang Kedelai (Glycine max) dan Kacang Bogor (Vigna subterranea) akibat Pengolahan dengan Panas

PERUBAHAN ALERGENISITAS PROTEIN
KACANG KEDELAI (Glycine max) DAN KACANG BOGOR
(Vigna subterranea) AKIBAT PENGOLAHAN DENGAN PANAS

SRI REBECCA SITORUS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Alergenisitas
Protein Kacang Kedelai (Glycine max) dan Kacang Bogor (Vigna subterranea)
akibat Pengolahan dengan Panas adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014
Sri Rebecca Sitorus
NIM F251110451

RINGKASAN
SRI REBECCA SITORUS. Perubahan Alergenisitas Protein Kacang Kedelai
(Glycine max) dan Kacang Bogor (Vigna subterranea) akibat Pengolahan dengan
Panas. Dibimbing oleh FERI KUSNANDAR dan NURHENI SRI PALUPI.
Kacang-kacangan adalah bahan pangan yang mengandung protein yang
berpotensi sebagai alergen. Protein alergen utama pada kedelai (Glycine max)
adalah Gly m Bd 30K atau P34, Gly m Bd 28K, dan Gly m Bd 60K. Kacang
bogor (Vigna subterranea) sebagai salah satu sumber protein alternatif, juga
diduga mengandung protein alergen. Sebagai protein, proses pemanasan
diharapkan dapat menghilangkan komponen alergen tersebut.
Penelitian ini untuk bertujuan mengetahui perubahan berat molekul protein
pada kacang kedelai dan kacang bogor serta perubahan alergenisitasnya sebagai
akibat pengolahan dengan pemanasan, yaitu perebusan, pengukusan, pemanasan
oven dan penyangraian. Proses pemanasan basah, yaitu perebusan dan
pengukusan dilakukan selama 15, 30, dan 60 menit, sedangkan proses pemanasan

kering, yaitu pengyangraian dan pemanasan oven dilakukan selama 30 dan 60
menit.
Profil berat molekul protein kacang kedelai grobogan dan kacang bogor
yang dipanaskan melalui perebusan, pengukusan, pemanasan oven, dan
penyangraian menunjukkan variasi jika dibandingkan dengan isolat protein
kontrol (tanpa pemanasan). Jumlah protein yang terdeteksi pun berkurang
dibandingkan dengan isolat protein kontrol. Kacang kedelai grobogan memiliki
protein alergen dengan berat molekul 60.2, 67.4, 84.5, 98.3, dan 110.0 kDa.
Proses pemanasan dapat menurunkan alergenisitas yang ditunjukkan dengan tidak
terdeteksi pita protein pada hasil imunobloting dan terdapatnya penurunan nilai
reaktivitas imunologinya berdasarkan uji ELISA. Kacang bogor memiliki protein
alergen dengan berat molekul 25.2, 59.8, dan 113.1 kDa. Setelah proses
pemanasan pada kacang bogor, pita protein alergen dengan berat molekul 25.2
kDa terdeteksi pada isolat protein dengan perebusan selama 30 menit dan pita
protein 59.8 kDa terdeteksi pada pengukusan selama 30 menit. Hasil ELISA juga
menunjukkan terdapatnya penurunan reaktivitas imunologi akibat pemanasan
kacang bogor.

Kata kunci: alergi, kacang bogor, kacang kedelai


SUMMARY
SRI REBECCA SITORUS. Allergenicity Changes of Heat Processed Soybean
(Glycine max) and Bambara Groundnut (Vigna subterranea). Supervised by FERI
KUSNANDAR and NURHENI SRI PALUPI.
Legumes contain protein as a potential allergen. Gly m Bd 30K or P34, Gly
m Bd 28K, and Gly m Bd 60K were identified as major allergens in soybean.
Bambara groundnut have been recognized as alternative protein source, but it’s
also contain of allergen. Heating process was expected to eliminate the protein
allergen. The aim of this study was to assess the changes in molecular weight and
allergenicty of soybean and bambara groundnut proteins produced by heat
processing, i.e. boiling, steaming, oven, and roasting.
Protein molecular weight profile of grobogan soybean and bambara
groundnut that have been boiled, steamed, ovened, and roasted showed variations
when compared with the unheated soybean and bambara groundnut. The amount
of protein detected was reduced compared with unheated soybean and bambara
groundnut. The protein allergens in grobogan soybean had molecular weight 60.2,
67.4, 84.5, 98.3, and 110.0 kDa. The heat treatment removed allergenicity as
indicated by no detectable protein band in immunoblotting results and the
reduction of immunology reactivity based on ELISA test result. Bambara
groundnut had protein allergens with molecular weight 25.2, 59.8, dan 113.1 kDa.

Protein allergen with molecular weight 25.2 kDa and 59.8 kDa were detected in
bambara groundnut processed through boiling and steaming for 30 minutes,
respectively. ELISA test also showed reduction of immunology reactivity of
heated bambara groundnut.

Keywords: allergy, bambara groundnut, soybean

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERUBAHAN ALERGENISITAS PROTEIN
KACANG KEDELAI (Glycine max) DAN KACANG BOGOR
(Vigna subterranea) AKIBAT PENGOLAHAN DENGAN PANAS


SRI REBECCA SITORUS

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Dr Nancy Dwi Yuliana, STP, DEA

Judul Tesis : Perubahan Alergenisitas Protein Kacang Kedelai (Glycine max)
dan Kacang Bogor (Vigna subterranea) akibat Pengolahan dengan
Panas
Nama

: Sri Rebecca Sitorus
NIM
: F251110451

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Feri Kusnandar, MSc
Ketua

Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ratih Dewanti Hariyadi


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 18 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini adalah alergi kacangkacangan, dengan judul Perubahan Alergenisitas Protein Kacang Kedelai dan
Kacang Bogor akibat Pengolahan dengan Panas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Feri Kusnandar, MSc dan Dr Ir
Nurheni Sri Palupi, MSi selaku pembimbing atas bimbingan dan arahannya, serta
Dr Nancy Dwi Yuliana, STP, DEA selaku dosen penguji. Secara khusus Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pertanian atas kesempatan tugas
belajar di Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada orang tua, D. Parlin Sitorus, SH, MS, dan Saida Roswita Simanjuntak
serta seluruh keluarga, rekan-rekan di IPB dan Kementerian Pertanian atas segala
doa, dukungan, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, November 2014
Sri Rebecca Sitorus

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Alergi
Kacang Kedelai (Glycine max)
Kacang Bogor (Vigna subterranea)
Reaksi Glikasi

4
4
5
6
7


3 METODE
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data

9
9
9
9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemanasan Kacang Kedelai dan Kacang Bogor
Isolasi Protein Kacang
Indeks Hidrofobisitas
Profil Berat Molekul Protein berdasarkan Elektroforesis SDS-PAGE
IgE Total Serum Penderita Alergi
Profil Protein Alergen berdasarkan Pengujian Imunobloting
Reaktivitas Imunologi Isolat Protein Kacang berdasarkan Uji ELISA


15
15
16
16
18
21
22
24

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

28
28
28

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

49

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Komposisi kimia kacang kedelai keringa
Komposisi kimia kacang bogorb
Persen penurunan reaktivitas (OD) serum penderita alergi terhadap
isolat protein kacang kedelai setelah proses pemanasan
Persen penurunan reaktivitas (OD) serum penderita alergi terhadap
isolat protein kacang bogor setelah proses pemanasan

6
6
25
26

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Mekanisme reaksi alergi (Singh and Bhalla 2008)
Bagan alir penelitian
Indeks hidrofobisitas (H0) kedelai setelah pemanasan 30 menit
Indeks hidrofobisitas (H0) kacang bogor setelah pemanasan 30 menit
Profil berat molekul protein kedelai setelah pemanasan basah
Profil berat molekul protein kedelai setelah pemanasan kering
Profil berat molekul protein kacang bogor setelah pemanasan basah
Profil berat molekul protein kacang bogor setelah pemanasan kering
IgE total serum penderita alergi berdasarkan uji ELISA
Profil protein alergen isolat kedelai setelah pemanasan 30 menit
Profil protein alergen isolat kacang bogor setelah pemanasan 30 menit

5
10
17
17
19
19
20
21
22
23
23

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Pembuatan larutan kerja untuk SDS-PAGE
Hasil analisis proksimat kacang kedelai dan kacang bogor
Rendemen tepung setelah proses pemanasan basah dan kering
Rendemen isolat protein setelah pemanasan basah dan kering
Perhitungan hidrofobisitas isolat protein kedelai kontrol (tanpa
pemanasan)
6 Perhitungan hidrofobisitas isolat protein kedelai setelah perebusan 30
menit
7 Perhitungan hidrofobisitas isolat protein kedelai setelah pengukusan
30 menit
8 Perhitungan hidrofobisitas isolat protein kedelai setelah pemanasan
oven 30 menit
9 Perhitungan hidrofobisitas isolat protein kedelai setelah penyangraian
30 menit
10 Perhitungan hidrofobisitas isolat protein kacang bogor tanpa
pemanasan
11 Perhitungan hidrofobisitas isolat protein kacang bogor setelah
perebusan 30 menit
12 Perhitungan hidrofobisitas isolat protein kacang bogor setelah
pengukusan 30 menit

33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44

13
14
15
16

Perhitungan hidrofobisitas isolat protein kacang bogor setelah
pemanasan oven 30 menit
Perhitungan hidrofobisitas isolat protein kacang bogor setelah
penyangraian 30 menit
Hasil pengujian alergenisitas serum penderita alergi terhadap isolat
protein kacang kedelai setelah proses pemanasan dengan ELISA
Hasil pengujian alergenisitas serum penderita alergi terhadap isolat
protein kacang bogor setelah proses pemanasan dengan ELISA

45
46
47
48

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sistem imun merupakan pertahanan tubuh yang dimiliki oleh manusia untuk
melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme, seperti bakteri, virus, dan jamur.
Sistem imun dapat memberikan respon yang tergantung dengan kemampuannya
dalam mengenali molekul asing, yaitu antigen, dan menghasilkan reaksi untuk
membunuh antigen tersebut (Kresno 2001). Pada saat sistem imun melemah,
kemampuan melindungi tubuh berkurang sehingga mikroorganisme dapat
berkembang di dalam tubuh. Sistem imun memberikan respon berlebihan serta
tidak terkontrol, sehingga menimbulkan reaksi hipersensitivitas yang dapat
merusak jaringan dan memicu terjadinya penyakit. Reaksi alergi pangan
merupakan salah satu reaksi hipersensitivitas dan termasuk dalam reaksi
hipersensitivitas tipe I (Roitt and Delves 2001) yang diperantarai oleh antibodi
Imunoglobulin E atau IgE (Sun et al. 2008). Alergi pangan merupakan reaksi
cepat karena terjadi hanya beberapa menit setelah seseorang terpapar oleh alergen
yang pada umumnya berupa protein pangan. Reaksi alergi dapat menimbulkan
gatal-gatal, pembengkakan, hidung dan mata berair, kesulitan bernafas, sakit
kepala, diare, dan anafilaksis yang bisa menyebabkan kematian.
Bahan pangan yang dikenal mengandung protein alergen adalah ikan, susu,
kacang kedelai, kacang tanah, kerang, telur, gandum, dan udang (Bowman and
Selgrade 2008). Kacang kedelai (Glycine max) merupakan sumber protein nabati
yang sudah banyak diolah antara lain menjadi tahu, tempe, kecap, tauco, susu
kedelai (Cahyadi 2009). Konsumsi kacang kedelai penduduk Indonesia cukup
tinggi, yaitu 7.56 kg/kapita/tahun (PKKP 2012). Kacang kedelai mengandung 21
jenis protein yang dapat berikatan dengan IgE penderita alergi kedelai (Wilson et
al. 2005). Protein alergen utama pada kedelai adalah Gly m Bd 30K atau P34, Gly
m Bd 28K, dan Gly m Bd 60K (Ogawa et al. 2000).
Selain kacang kedelai, produk kacang-kacangan yang mulai dikenal di
Indonesia adalah kacang bogor (Vigna subterranea). Kacang bogor berpotensi
untuk dikembangkan menjadi berbagai pangan olahan sebagai salah satu sumber
protein alternatif, namun kacang bogor juga diduga mengandung protein alergen.
Astuti (2012) menunjukkan bahwa pada kacang bogor terdapat beberapa protein
alergen yang memberikan hasil positif terhadap serum penderita alergi kacang,
yaitu protein dengan berat molekul 30, 42.9, 44.7, 56, 62, 64, dan 69 kDa.
Berdasarkan Candra et al. (2011), sebanyak 7.4 % anak dari 208 pasien
yang terdiri dari orang dewasa dan anak, mengalami alergi kedelai. Angka yang
kecil tersebut dapat terjadi karena masih banyak masyarakat yang tidak
melakukan tes alergi untuk memastikan positif alergi makanan atau tidak.
Disamping itu, tempat untuk melakukan tes alergi masih belum banyak ditemukan.
Penderita alergi pangan pada umumnya hanya akan menghindari bahan pangan
yang mengandung protein alergen. Namun sifat alergenisitas suatu bahan pangan
dapat dipengaruhi oleh proses pemanasan, fermentasi, hidrolisis enzimatik,
konjugasi dengan karbohidrat, rekayasa genetika dan proses ekstrusi (Wilson et al.
2005). Adanya kandungan protein alergen pada kacang kedelai dan kacang bogor,
mengakibatkan perlu adanya pengetahuan tentang pengolahan yang tepat untuk

2
meminimalisasi sifat alergenisitas dari kedua produk tersebut. Selama proses
pengolahan, sifat alergenisitas juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
waktu penyimpanan, teknik persiapan, proses pemanasan, pencucian, dan
interaksi dengan komponen pangan lainnya (Van Putten et al. 2011). Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh proses pengolahan
terhadap alergenisitas bahan pangan. Proses pemanasan dari protein alergen
kacang tanah Ara h 2/6 pada suhu ekstrim dapat menurunkan kapasitas pengikatan
IgE (Vissers et al. 2011). Proses denaturasi dapat merusak epitop konformasi dari
protein alergen yang mengakibatkan penurunan pengikatan IgE.
Penelitian ini dirancang untuk mengetahui pengaruh proses pemanasan yang
umum dilakukan dalam pengolahan pangan terhadap berat molekul protein pada
kacang kedelai dan kacang bogor serta perubahan alergenisitasnya. Proses
pemanasan yang dipilih adalah proses pemanasan yang sering dilakukan dalam
pengolahan pangan, yaitu perebusan, pengukusan, penyangraian, dan oven.
Dengan mengetahui ada atau tidaknya protein alergen pada kacang kedelai dan
kacang bogor setelah pengolahan serta potensi alergenitasnya, maka dapat
direkomendasikan teknologi pengolahan kacang kedelai dan kacang bogor yang
dapat meminimalisasi kejadian alergi akibat mengkonsumsinya.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah yang
dapat diteliti adalah proses pemanasan kacang kedelai dan kacang bogor, profil
isolat protein kacang kedelai dan kacang bogor akibat pemanasan, dan reaktivitas
imunologi isolat protein kacang kedelai dan kacang bogor setelah pemanasan
terhadap IgE serum penderita alergi.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan, maka penelitian dilakukan dengan tujuan :
1 Mengisolasi protein dalam kacang kedelai dan kacang bogor yang diolah
dengan pemanasan.
2 Mengkarakterisasi isolat protein kacang kedelai dan kacang bogor yang
diolah dengan pemanasan melalui elektroforesis SDS-PAGE.
3 Mengukur hidrofobisitas isolat protein kacang kedelai dan kacang bogor yang
diolah dengan pemanasan.
4 Menguji reaktivitas imunologi isolat protein kacang kedelai dan kacang bogor
yang diolah dengan pemanasan menggunakan uji imunobloting dan ELISA
(Enzyme linked immunosorbent assay).

Hipotesis
Proses pemanasan kacang kedelai dan kacang bogor dapat menyebabkan
terjadinya glikasi. Proses glikasi dapat menurunkan sifat hidrofobisitas dan sifat
alergenisitas kacang kedelai serta kacang bogor.

3
Manfaat Penelitian
1
2

3

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :
Memperoleh data profil dan sifat hidrofobisitas isolat protein kacang kedelai
dan kacang bogor setelah proses pemanasan.
Memperoleh informasi teknologi pengolahan dalam pengembangan produk
kacang kedelai dan kacang bogor yang dapat meminimalisasi risiko terjadinya
alergi.
Menurunkan risiko terjadinya alergi akibat konsumsi pangan yang berasal
dari kacang kedelai dan kacang bogor.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Alergi
Alergi merupakan salah satu reaksi hipersensitivitas yang merupakan respon
dari mekanisme imunologi (Johansson et al. 2001). Reaksi hipersensitivitas yang
terjadi pada manusia digolongkan menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III, dan IV (Roitt
and Delves 2001), ditentukan oleh jenis respon imun yang mengakibatkan
kerusakan jaringan. Reaksi tipe I terjadi dalam waktu yang relatif cepat,
pengikatan antigen dan respon IgE menyebabkan pelepasan berbagai mediator
oleh sel mastosit (IgE-mediated hypersensitivity). Reaksi tipe II (antibodydependent cytotoxic hypersensitivity) merupakan reaksi hipersensitivitas yang
bersifat sitotoksik dan antibodi akan melawan antigen yang muncul pada
permukaan sel sehingga terjadi dekstruksi sel. Reaksi tipe III (immune complexmediated hypersensitivity) diperantarai oleh reaksi imun yang kompleks, dimana
kompleks antigen-antibodi yang terdeposit di jaringan menginduksi aktivasi
komplemen dan respon inflamasi. Reaksi tipe IV (delayed-type hypersensitivity)
melibatkan sel T yang tersensitisasi melepas sitokin untuk mengaktivasi makrofag
dan sel Tc sehingga mengakibatkan kerusakan sel.
Reaksi alergi pangan termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe I yang
disebabkan oleh meningkatnya jumlah spesifik antibodi IgE (Sun et al. 2008).
Pada individu yang cenderung mengalami alergi atau disebut juga individu atopik,
IgE yang diproduksi lebih banyak dibandingkan dengan individu normal. Alergi
pangan dapat dipengaruhi oleh genetik, budaya, dan pola hidup (Kumar et al.
2010).
Secara umum protein alergen memiliki berat molekul berkisar antara 10-70
kDa dengan banyak epitop, yaitu bagian dari antigen yang berikatan dengan
antibodi (Bannon 2004). Protein alergen dapat masuk melalui pori-pori dinding
usus halus dan dilihat sebagai protein asing oleh sistem imun sehingga akan
ditangkap oleh makrofag untuk dihancurkan. Proses terjadinya reaksi alergi
seperti terdapat pada Gambar 1. Makrofag yang juga berfungsi sebagai APC
(Antigen Presenting Cell), merekam struktur protein alergen dan mengirimkannya
ke sel Th2 (T helper) melalui MHC (Major Histocomptability Complex). Sel Th2
kemudian mengeluarkan IL-4 (Interleukin 4) dan IL-13 (Interleukin 13) yang
menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi IgE, serta IL-5 (Interleukin-5)
yang dapat menstimulasi sel eosinophil. IgE yang dihasilkan oleh sel B akan
terikat pada sel mastosit melalui reseptor Fc. Ketika terjadi paparan kedua dari
alergen, maka alergen membentuk ikatan silang antara dua IgE yang terikat pada
sel mastosit, sehingga sel terdegranulasi dan melepaskan mediator-mediator
aktifnya, seperti histamine dan β-glukosaminidase. Mediator-mediator tersebutlah
yang mengakibatkan terjadinya berbagai gejala alergi seperti gatal-gatal,
pembengkakan, hidung dan mata berair, kesulitan bernafas, sakit kepala, dan diare.
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I
melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis. Zat ini merupakan salah satu
mediator yang sudah ada dalam granula sel mastosit Mediator yang terbentuk
kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mastosit
yang berperan pada reaksi tipe I.

5

Gambar 1 Mekanisme reaksi alergi (Singh and Bhalla 2008)

Kacang Kedelai (Glycine max)
Kacang kedelai tinggi akan kandungan protein dan memiliki harga yang
relatif murah sehingga banyak dikonsumsi sehari-hari. Di Asia, kedelai diolah
menjadi berbagai produk fermentasi dan non fermentasi, seperti kecap, tahu,
tempe, natto, yoghurt, kinako, makanan bayi, dan susu kedelai. Kacang kedelai
mengandung 34.9 % protein, 34.8 % karbohdirat, serta 18.1 % lemak (Tabel 1).
Protein kedelai banyak digunakan dalam berbagai bentuk, seperti isolat dan
konsentrat protein kedelai. Konsumsi kacang kedelai diketahui dapat menurunkan
kolesterol, mencegah terjadinya kanker, serta meningkatkan densitas mineral
tulang (Kreijkamp-Kaspers et al. 2004). Manfaat kacang kedelai bagi kesehatan
tersebut disebabkan kandungan isoflavon, saponin, dan protein pada kedelai
(Friedman and Brandon 2001; Xiao 2008). US Food and Drug Administration
(FDA) telah menyetujui penggunaan klaim kesehatan pada label makanan terkait
dengan kemampuan protein kedelai dalam mengurangi risiko penyakit jantung
koroner.
Meskipun kacang kedelai memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, ternyata
kacang kedelai dapat menimbulkan masalah alergi pada sebagian orang. Kacang
kedelai termasuk dalam “Big 8” yaitu 8 jenis pangan yang dapat menimbulkan
reaksi alergi yang berat, bersama dengan kacang tanah, almond, tree nut, susu,
ikan, kerang-kerangan, dan gandum (FAO 1995). Kejadian alergi kacang kedelai
mencapai 0.4 % dari total populasi anak-anak di dunia (Savage et al. 2010).
Sebanyak 21 protein pada kacang kedelai berhasil diidentifikasi dan menunjukkan
ikatan dengan IgE, yaitu protein dengan berat molekul 7.0 – 71 kDa (Wilson et al.
2005). Protein alergen utama pada kedelai adalah Gly m Bd 30K atau P34 dengan
berat molekul 30-34 kDa, Gly m Bd 28K dengan berat molekul 26 kDa, dan Gly
m Bd 60K dengan berat molekul 63-67 kDa (Ogawa et al. 2000). Alergen P34
merupakan komponen alergen utama kacang kedelai karena 65 % penderita alergi
menunjukkan ikatan IgE dengan alergen tersebut.

6
Tabel 1 Komposisi kimia kacang kedelai keringa
Komposisi kimia
Protein
Lemak
Karbohidrat
Mineral (mg/100 g)
Ca
P
F
a
Sumber: Cahyadi (2009)

Jumlah (g/100 g)
34.9
18.1
34.8

227.0
585.0
8.0

Kacang Bogor (Vigna subterranea)
Kacang bogor (Vigna subterranea) berasal dari Afrika Tengah dan Barat,
banyak dikonsumsi oleh warga Afrika karena merupakan sumber protein dan
karbohidrat (Minka and Bruneteau 2000). Kacang bogor mulai diperkenalkan ke
Indonesia pada abad ke-20 dan nama tersebut diberikan karena kacang bogor
banyak dijajakan di kota Bogor, Jawa Barat. Kacang bogor telah dikembangkan
menjadi produk susu dan isolat proteinnya telah dimanfaatkan dalam pembuatan
produk surimi untuk meningkatkan protein surimi (Oujifard et al. 2012). Saat ini
penelitian mengenai kandungan nutrisi dan teknologi proses untuk produk kacang
bogor masih sangat sedikit, diantaranya adalah Amarteifio dan Moholo (1998)
yang menganalisis komposisi kimia kacang bogor (Tabel 2).
Tabel 2 Komposisi kimia kacang bogorb
Komposisi kimia
Abu
Karbohidrat
Lemak
Serat
Protein

Nutrien g/100 g
(rata-rata ± uncertainty)
4.4 ± 0.14
63.5 ± 0.02
6.6 ± 0.04
5.2 ± 0.13
18.3 ± 0.12

Mineral (mg/100 g)
Fe
5.9 ± 0.17
K
1240 ± 12.8
P
296 ± 19.7
Na
3.7 ± 0.29
Ca
78 ± 4.7
b
Sumber: Amarteifio and Moholo (1998)
Astuti (2012) melakukan uji imunobloting isolat protein kacang bogor,
diketahui terdapat beberapa protein alergen yang menunjukkan hasil positif

7
terhadap serum penderita alergi kacang, yaitu protein dengan berat molekul berat
molekul 30, 42.9, 44.7, 56, 62, 64, dan 69 kDa. Protein dengan berat molekul 56
kDa merupakan protein kacang bogor dengan konsentrasi tertinggi. Berdasarkan
hasil pengujian ELISA, isolat protein kacang bogor memberikan respon 50 %
serum positif yang mengandung IgE anti protein kacang. Hal ini menunjukkan
bahwa kacang bogor mengandung banyak protein alergenik dengan sensitivitas
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kacang kedelai dan kacang tanah yang
masing-masing memberikan respon serum positif 33 % dan 37 %.

Reaksi Glikasi
Glikasi adalah reaksi antara molekul protein dengan molekul gula melalui
tanpa adanya aktivitas enzim (Wang et al. 2009). Glikasi dapat dipengaruhi oleh
pH, rasio amino dan karbonil, asal dari protein pangan, karakter gula pereduksi
(mono-, di-, oligo-, maupun polisakarida). Glikasi melalui reaksi Maillard
mempengaruhi sifat fungsional protein, seperti sifat kelarutan protein, stabilitas
terhadap panas, meningkatkan sifat emulsi, pembentukan busa, meningkatkan
aktivitas antioksidan, meningkatkan sifat antimikroba, serta meningkatkan sifat
tekstur protein. Berdasarkan tempat terjadinya reaksi, glikasi dibedakan menjadi
glikasi endogenus (di dalam tubuh) dan eksogenus (di luar tubuh). Glikasi
endogenus terjadi di dalam pembuluh darah pada sejumlah kecil gula sederhana
yang dapat diserap, seperti glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Fruktosa dan
galaktosa diketahui mempunyai aktivitas glikasi sepuluh kali dibandingkan
dengan glukosa. Glikasi eksogenus terjadi ketika molekul gula dipanaskan
bersama-sama dengan protein.
Karbohidrat yang berikatan dengan protein alergen memegang peranan
penting dalam alergenisitas protein pangan. Commins et al (2009)
mengidentifikasi 24 orang dewasa yang mengalami urtikaria, angioedema atau
anafilaksis 3-6 jam setelah mengonsumsi daging sapi, daging domba, dan daging
babi, setelah IgE berikatan dengan galaktosa--1,3-galaktosa, yaitu suatu
karbohidrat yang terikat pada alergen. Penelitian ini merupakan penelitian
pertama yang menunjukkan bahwa IgE dapat berikatan langsung dengan epitop
karbohidrat yang ada dalam protein alergen terglikasi. Van de Lagemaat et al
(2006) melaporkan bahwa isolat protein kedelai yang terglikasi dengan
penambahan fruktosa maupun frukto-oligosakarida melalui reaksi Maillard,
menunjukkan adanya penurunan group asam amino primer. Sifat antigenisitas dari
protein terglikasi juga mengalami penurunan sampai dengan 90% dibandingkan
dengan bentuk yang tidak terglikasi.
Proses konjugasi dengan gula pereduksi melalui reaksi Maillard merupakan
metode yang aman dan menjanjikan dalam meminimalisasi protein alergen.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh reaksi Maillard
pada sifat alerginisitas dari kerang-kerangan, kacang tanah, cherry, βlaktoglobulin, dan kedelai dan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Perbedaan
hasil penelitian-penelitian tersebut mengakibatkan pengaruh dari reaksi Maillard
terhadap sifat alergenisitas masih belum jelas. Namun menurut Wilson et al
(2005), gula terkonjugasi merupakan salah satu cara untuk mengubah struktur

8
protein alergen kacang kedelai, meminimalisasi alergenisitas, serta meningkatkan
sifat fungsional kacang kedelai.
Reaksi glikokunjugasi dapat dilihat dari beberapa sifat fisikokimia, seperti
derajat glikasi, titik isoelektrik, sifat hidrofobisitas permukaan, dan sifat reologi
(Liu et al. 2012). Hidrofobisitas memiliki peran penting dalam menentukan
konformasi protein. Glikasi yang disertai dengan pemanasan mempengaruhi
hidrofobisitas protein sehingga lipatan molekul terbuka dan bagian hidrofobik
muncul ke permukaan molekul protein (Nakai 1983).

9

3 METODE
Penelitian ini dilaksanakan selama 14 bulan, yaitu dari April 2013 sampai
Mei 2014 di Laboratorium Biokimia Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
IPB, Seafast Center, Pusat Studi Satwa Primata LPPM IPB, dan Laboratorium
Spektroskopi Departemen Fisika IPB.
Bahan
Kacang kedelai varietas lokal grobogan diperoleh dari Rumah Tempe
Indonesia, Bogor sedangkan kacang bogor diperoleh dari pedagang di Pasar
Anyar, Bogor. Serum berasal dari 3 orang responden penderita alergi. Bahan
kimia yang digunakan antara lain adalah heksana, akrilamid, N,N’-metilenbisakrilamid, tris base, glisin, SDS (sodium dodesil sulfat), -merkaptoetanol,
APS (ammonium persulfat), TEMED (N,N,N’,N’-tetrametil-etana-1,2-diamin),
metanol, asam asetat glacial, coomasie brilliant blue R-250 dan G-250, Tween-20,
PBS (phosphate buffer saline), susu skim, antibodi IgG tikus anti IgE manusia
yang berlabel enzim HRP (Horseradish Peroksidase) dari ICL Lab, substrat DAB
(3,3’-diaminobenzidine), substrat TMB (3,3’,5,5’-tetrametilbenzidin), dan Thermo
Scientific Spectra Multicolor Broad Range Protein Ladder yang mengandung 10
protein dengan berat molekul 10-260 kDa.
Alat
Peralatan yang digunakan untuk isolasi dan karakterisasi protein alergen
adalah alat sentrifuse dingin, pengering beku, alat SDS-PAGE (BIO-RAD),
membran nitroselulosa 0.45 m, lempeng mikrotiter Nunc Maxisorb, perangkat
ELISA, ELISA reader (BIO-RAD), spektrometer Ocean Optics USB4000-FL,
dan peralatan gelas lainnya.
Prosedur Analisis Data
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan
isolasi protein kacang kedelai dan kacang bogor yang diolah dengan pemanasan.
Selanjutnya dilakukan karakterisasi isolat protein dengan elektroforesis SDSPAGE dan hidrofobisitas. Tahap selanjutnya adalah penentuan alergenisitas isolat
protein melalui teknik imunobloting dan ELISA. Secara garis besar tahapan
penelitian disajikan pada Gambar 2. Prosedur kerja masing-masing uji adalah
sebagai berikut :
Pemanasan Basah dan Kering
Kacang kedelai dan kacang bogor mentah dipanaskan secara basah
(perebusan dan pengukusan) dan dipanaskan secara kering (penyangraian dan
pemanasan oven). Perebusan dilakukan dengan menggunakan air mendidih dan
untuk tiap 1 kg kedelai diperlukan 2 L air. Perebusan dan pengukusan dilakukan
selama 15, 30, dan 60 menit, sedangkan untuk oven dan penyangraian dilakukan
selama 30 dan 60 menit. Proses oven dilakukan pada suhu 171 oC. Sebagai

10
kontrol negatif digunakan isolat protein yang diperoleh dari kacang kedelai dan
kacang bogor tanpa pemanasan.
Preparasi Penghilangan Lemak Sampel (Liu et al. 2007)
Kacang kedelai yang telah dipanaskan, dikupas kulit arinya, kemudian
digiling, dan diayak dengan ayakan 60 mesh. Kacang bogor tidak melalui proses
penghilangan lemak karena kandungan lemaknya cukup rendah dan kadar air
yang sangat tinggi sehingga kacang bogor hanya dikupas, dihaluskan, dan
langsung diisolasi proteinnya.
Sampel kacang kedelai yang telah dihaluskan direndam dalam heksana
dengan rasio sampel : heksana = 1 : 5 (v/v) selama 1 jam pada suhu kamar.
Sampel disentrifus (8000 g selama 15 menit pada suhu 4 oC). Supernatan yang
diperoleh dibuang, sedangkan endapannya diekstrasi kembali sebanyak 2 kali
untuk menghilangkan kandungan lemak yang masih tersisa.
Isolasi Protein dengan Pengaturan pH (Speroni et al. 2010)
Sampel bebas lemak dicampur dengan akuades (rasio 1 : 10 w/v), kemudian
pH suspensi dinaikkan sampai 8 dengan menggunakan NaOH 1 N, diaduk selama
90 menit pada suhu ruang dan disentrifus (8000 g atau 10000 rpm selama 30
menit pada suhu 4 oC). pH supernatan yang diperoleh diturunkan sampai 4,5
dengan menggunakan HCl 1 N, lalu disentrifus kembali selama 20 menit.
Supernatan yang diperoleh dibuang, sedangkan endapan proteinnya diambil dan
dikeringkan dengan pengering beku.

Gambar 2 Bagan alir penelitian

11
Elektroforesis SDS-PAGE (Bollag and Edelstein 1991)
Masing-masing isolat protein dianalisis dengan elektroforesis menggunakan
gel akrilamid. Gel yang digunakan terdiri atas 2 bagian, yaitu gel atas (stacking
gel) dan gel bawah (separating gel) dengan konsentrasi stacking gel 5 % dan
separating gel 12 %. Pembuatan larutan kerja untuk elektroforesis SDS-PAGE
terdapat pada Lampiran 1. Tahapan dalam analisis SDS-PAGE adalah sebagai
berikut :
a

Pembuatan separating gel
Dua lempeng kaca (mini slab) yang akan digunakan sebagai cetakan gel
dirangkai sesuai dengan petunjuk pemakaian. Sebanyak 4 mL larutan
akrilamid 30 % (larutan A) dipipet ke dalam gelas piala, kemudian
ditambahkan 2.5 mL larutan Tris-HCl/SDS pH 8.8 (larutan B) dan 3.5 mL
akuabides. Larutan tersebut kemudian diaduk perlahan dengan
menggoyangkan gelas piala. Selanjutnya, sebanyak 100 L APS 10 % dan 10
L TEMED ditambahkan ke dalam larutan dan diaduk kembali dengan
perlahan. Larutan dimasukkan ke dalam lempeng kaca (mini slab) tanpa
menimbulkan gelembung udara dengan menggunakan mikropipet sampai
sekitar 1 cm dari atas lempeng. Bagian yang tidak diisi gel diberi akuades
untuk meratakan gel yang terbentuk. Gel dibiarkan mengalami polimerisasi
selama 30-60 menit.

b

Pembuatan stacking gel
Air dibuang dari atas separating gel dan dikeringkan dengan
menggunakan tissue. Akuabides, larutan akrilamid 30 % (larutan A), dan
larutan Tris-HCl/SDS pH 6.8 (larutan C) masing-masing sebanyak 2.3 mL,
0.67 mL, dan 1.0 mL dicampurkan ke dalam gelas piala dan diaduk perlahan
dengan menggoyangkan gelas piala. Selanjutnya sebanyak 50 L APS 10 %
dan 5 L TEMED ditambahkan ke dalam campuran dan diaduk kembali
dengan perlahan. Kemudian sisir dimasukkan dengan cepat tanpa
menimbulkan gelembung udara. Stacking gel dibiarkan mengalami
polimerisasi selama 30-60 menit. Setelah gel berpolimerisasi, sisir diangkat
dari atas gel dengan perlahan dan ditempatkan ke dalam wadah elektroforesis.
Bufer elektroforesis dimasukkan ke dalam wadah elektroforesis di bagian
dalam dan luar agar gel terendam.

c

Preparasi dan injeksi sampel
Sebanyak 40 L sampel dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf dan
ditambahkan 10 L bufer sampel. Tabung kemudian dipanaskan selama 5
menit dalam air mendidih 100 oC. Sampel siap diinjeksikan ke dalam sumur
menggunakan mikropipet. Pada salah satu sumur, ditempatkan sebanyak 7-10
L protein marker sebagai standar. Standar yang digunakan adalah Thermo
Scientific Spectra Multicolor Broad Range Protein Ladder yang mengandung
10 protein dengan berat molekul 10-260 kDa.

d

Running SDS-PAGE
Katup elektroda dipasang dengan arus mengalir ke anoda. Sumber
listrik dinyalakan dan dijaga konstan pada 70 V. Running dilaksanakan

12
selama 180 menit sampai migrasi pewarna tersisa 0.5 cm dari dasar. Setelah
selesai, aliran listrik dimatikan dan katup elektroda dilepaskan, lalu plat gel
dipindahkan dari elektroda.
e

Pewarnaan gel
Gel diangkat dari slab dan dipindahkan ke dalam wadah tertutup yang
telah berisi pewarna coomasie brilliant blue G-250 (kurang lebih 20 mL).
Kemudian digoyang-goyangkan sesekali selama 5-10 menit.

f

Destaining gel
Gel diangkat dan dicuci menggunakan akuades sebanyak 2 kali. Larutan
penghilang warna ditambahkan (destaining solution) dan digoyangkan
sesekali hingga latar belakang pita protein menjadi terang. Selanjutnya,
larutan penghilang warna dibuang dan gel siap dianalisis.

g

Penentuan berat molekul protein yang terpisahkan
Berat molekul protein sampel dapat dihitung melalui persamaan regresi
yang diperoleh dari kurva hubungan antara mobilitas relatif protein penanda
(Rf) dan logaritma berat molekul protein penanda. Mobilitas relatif protein
dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein, diukur dari garis awal
separating gel sampai ujung pita protein, dan jarak migrasi pewarna.
Mobilitas relatif tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Rf =

jarak migrasi protein
jarak migrasi pewarna

Pengujian Hidrofobisitas Isolat Protein (Alizadeh and Li Chan 2000)
Satu seri konsentrasi larutan protein (0.005 – 0.025 % w/w) disiapkan
dengan mengencerkan larutan stok protein (0.05 % w/w protein) dalam buffer
fosfat 0.01 M (pH 7.0). Larutan ANS (8 mM dalam 0.01 M bufer fosfat pH 7.0)
digunakan untuk menentukan indeks hidrofobisitas. Sebanyak 20 L larutan ANS
ditambahkan ke dalam 4 mL larutan protein yang telah diencerkan. Larutan
divorteks dan disimpan dalam ruang gelap selama 15 menit sebelum pengukuran.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektrofluorometer pada panjang
gelombang eksitasi 390 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm. Indeks
hidrofobisitas permukaan ditentukan melalui garis hubungan antara intensitas
fluoresensi dengan konsentrasi protein.
Preparasi Serum Penderita Alergi
Serum berasal dari 3 responden penderita alergi. Setiap responden akan
diminta untuk menyumbangkan darahnya sebanyak 20 mL. Pengambilan darah
dilakukan oleh tenaga medis di klinik terdekat dari kampus IPB. Darah responden
selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk pemisahan serumnya dengan cara
sentrifugasi. Darah yang diperoleh segera diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30
menit, lalu disentrifus selama 20 menit pada kecepatan 1250 g. Supernatan yang
diperoleh merupakan serum yang diduga banyak mengandung IgE. Serum
disimpan pada suhu -20oC.

13
Imunobloting (Bollag and Edelstein 1991)
Gel hasil elektroforesis yang tidak diwarnai ditransfer ke membran
nitroselulosa (0.45 m). Gel dan membran nitroselulosa disusun dalam alat
transblotting, lalu diisi dengan bufer. Bloting dilakukan selama 1.5 jam pada arus
konstan 0.25 A. Membran dicuci dengan PBST selama 10 menit, lalu diblok
dengan Bloto 5 % dalam PBS selama 2 jam pada suhu kamar. Membran
nitroselulosa dicuci dengan PBST dan ditambah serum penderita alergi yang telah
diencerkan 2 kali dalam Bloto 5 %. Selanjutnya diinkubasi selama 1 jam pada
suhu kamar. Pencucian dilakukan lagi dengan PBST, lalu diberi antibodi IgG
tikus anti IgE manusia yang berlabel enzim HRP (pengenceran 1 : 2000 dalam
Bloto). Kemudian diinkubasi selama 1 jam sambil digoyang. Hasil deteksi
kompleks protein alergen dengan serum subyek akan terlihat setelah diberikan
substrat DAB. Deteksi positif ditandai dengan terjadinya kompleks berwarna
coklat pada membran nitroselulosa.
Pengujian Reaktivitas Imunologi menggunakan ELISA (Rupa et al. 2008)
a Penentuan IgE total serum subyek alergi
Sebanyak 100 L serum dengan pengenceran 1 : 10 (dalam bufer karbonatbikarbonat 0.05 M pH 9.8) diikatkan pada lempeng mikrotiter. Inkubasi
dilakukan selama 18 jam pada suhu 4 oC, lalu dicuci sebanyak 3 kali dengan
PBST (200 L/sumur). Selanjutnya sebanyak 200 L Bloto 5 % dalam PBS
ditambahkan ke dalam lempeng mikrotiter dan diinkubasi selama 1 jam pada
suhu 37 oC. Setelah dicuci sebanyak 3 kali dengan PBST (200 L/sumur),
dilakukan penambahan antibodi HRP Conjugated Mouse anti-Human IgE
sebanyak 100 L/sumur yang sebelumnya telah diencerkan 1 : 6000 dalam
Bloto. Selanjutnya lempeng mikrotiter diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1
jam, dicuci dengan PBST (200 L/sumur) sebanyak 3 kali, lalu ditambahkan
substrat TMB sebanyak 100 L/sumur, dan diinkubasi lagi selama 20 menit
pada suhu 37 oC. Hasil positif ditandai dengan timbulnya warna biru. Reaksi
dihentikan dengan menggunakan H2SO4 2 M sebanyak 50 µL/sumur dan
larutan berubah warna menjadi kuning cerah. Optical Density (OD) diukur
dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.
b

Penentuan sifat alergenisitas protein kacang
Sebanyak 100 µL/sumur protein sampel yang terlarut dalam bufer karbonatbikarbonat 0.05 M, pH 9.8 diikatkan ke dalam lempeng mikrotiter. Inkubasi
dilakukan selama 18 jam pada suhu 4 oC, lalu dicuci sebanyak tiga kali
dengan PBST (200 µL/sumur). Selanjutnya lempeng mikrotiter diblok dengan
larutan Bloto sebanyak 200 µL/sumur dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu
37 oC. Lempeng mikrotiter kemudian dicuci sebanyak tiga kali dengan PBST
(200 µL/sumur). Serum penderita alergi yang telah diencerkan 1 : 10 dalam
Bloto ditambahkan pada lempeng mikrotiter sebanyak 100 µL/sumur dan
diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 oC. Setelah inkubasi, lempeng
mikrotiter dicuci sebanyak tiga kali dengan PBST (200 µL/sumur).
Penambahan antibodi sekunder dilakukan setelah sebelumnya telah
diencerkan 1 : 6000 dalam Bloto. Antibodi sekunder yang ditambahkan ke
dalam lempeng mikrotiter sebanyak 100 µL/sumur dan kemudian diinkubasi
pada suhu 37 oC selama 1 jam. Lempeng mikrotiter kemudian dicuci

14
sebanyak tiga kali dengan PBST lalu ditambahkan substrat TMB sebanyak
100 µL/sumur, dan diinkubasi lagi selama 20 menit pada suhu 37 oC. Hasil
positif ditandai dengan timbulnya warna biru. Reaksi dihentikan dengan
menggunakan H2SO4 2 M sebanyak 50 µL/sumur dan larutan berubah warna
menjadi kuning cerah. Optical Density (OD) diukur dengan menggunakan
ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Persen penurunan reaktivitas
dihitung berdasarkan rumus berikut (Frias et al. 2008):
% penurunan reaktivitas OD =
=

OD sampel tanpa pemanasan – OD sampel setelah pemanasan
x 100%
OD sampel tanpa pemanasan

15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemanasan Kacang Kedelai dan Kacang Bogor
Pemanasan merupakan tahapan umum yang dilakukan pada pengolahan
pangan, meliputi proses perebusan, pengukusan, penyangraian, dan oven. Proses
pengolahan kacang kedelai dengan melibatkan panas banyak digunakan dalam
pembuatan berbagai produk, seperti tahu, tempe, dan susu kedelai. Selain untuk
menginaktivasi antinutrisi seperti tripsin inhibitor, pengolahan dengan panas pada
kedelai juga digunakan untuk meningkatkan daya cerna protein, memberikan
karakteristik flavor, meningkatkan sifat fungsional protein (pembentukan gel,
busa, dan sifat emulsifikasi) serta mengurangi aktivitas alergenisitas produk
berbahan dasar kedelai (L’Hocine and Boye 2007). Perlakuan panas yang dapat
menyebabkan terjadinya proses glikasi mengakibatkan protein terdenaturasi
sehingga lipatannya terbuka, mengekspos grup hidrofobik dan sulfidril yang
terdapat di dalam molekul ke permukaan, sehingga mengakibatkan agresasi
protein secara ireversibel dan berakibat pada penurunan kelarutan. Agregasi dan
penurunan kelarutan protein dapat menyebabkan penurunan pengikatan IgE yang
tajam.
Produk turunan kedelai seperti tepung kedelai, konsentrat protein kedelai,
serta isolat protein kedelai saat ini banyak dimanfaatkan dalam pengolahan
pangan karena tingginya kandungan nutrisi. Produk-produk tersebut banyak
digunakan pada produk roti, olahan daging, maupun produk dairy. Dalam
pembuatan susu kedelai, digunakan panas 93 – 100 oC selama 30 menit untuk
menghancurkan faktor anti nutrisi (Kwok et al. 2002). Pada penelitian ini proses
pemanasan basah, yaitu perebusan dan pengukusan, dilakukan selama 15, 30, dan
60 menit, sedangkan proses pemanasan kering, yaitu oven dan sangrai dilakukan
selama 30 dan 60 menit. Pemanasan oven dilakukan pada suhu 170 oC. Pemilihan
waktu dan proses diharapkan telah dapat mewakili proses pengolahan kedelai
yang digunakan di industri pangan.
Kacang kedelai yang digunakan merupakan kedelai lokal varietas grobogan
yang diperoleh dari Rumah Tempe Indonesia – Bogor, sedangkan kacang bogor
diperoleh dari pedagang di Pasar Anyar – Bogor. Hasil analisis proksimat dari
kacang kedelai grobogan dan kacang bogor terdapat pada Lampiran 2 dengan
kandungan protein masing-masing adalah sebesar 35.87 % dan 22.11 %. Kacang
yang telah dipanaskan kemudian dihilangkan kulitnya untuk proses penggilingan.
Rendemen tepung kacang hasil pemanasan terdapat pada Lampiran 3. Semakin
lama waktu pemanasan menyebabkan rendemen tepung semakin kecil, baik pada
pemanasan basah maupun pemanasan kering. Namun rendemen tepung kacang
yang dihasilkan dari pengolahan basah lebih sedikit (40 – 59 %) dibandingkan
dengan hasil rendemen dari pengolahan kering (49 – 83 %). Hal ini dapat
disebabkan oleh adanya komponen yang terlarut dalam air, terutama pada proses
perebusan. Agar mudah digiling, kacang hasil pemanasan basah dikeringkan pada
oven dengan suhu konstan 30 oC selama 1 x 24 jam, sedangkan kacang hasil
pemanasan kering dapat langsung digiling.

16
Isolasi Protein Kacang
Sampel kacang kedelai dan kacang bogor yang telah mengalami pemanasan
diisolasi proteinnya dengan menggunakan metode pengaturan pH. Teknik isolasi
protein ini diharapkan dapat menghasilkan rendemen yang lebih tinggi
dibandingkan isolasi protein dengan metode isoelectric precipitation, aqueous
precipitation, dan alcohol precipitations (Wu et al. 2009). Sebelum proses isolasi,
terlebih dahulu dilakukan penghilangan lemak dengan menggunakan heksana agar
jumlah protein yang diperoleh lebih banyak. Isolat protein kacang kedelai dan
kacang bogor tanpa pemanasan adalah sebesar 26.80 gram dan 3.46 gram
(Lampiran 4).
Proses pemanasan menyebabkan isolat protein yang diperoleh jumlahnya
sangat sedikit, baik pada kacang kedelai maupun kacang bogor. Semakin lama
waktu pemanasan, jumlah isolat protein yang dihasilkan semakin kecil. Rendemen
isolat protein kacang kedelai hasil pemanasan basah lebih tinggi dibandingkan
dengan isolat hasil pemanasan kering. Berat rendemen isolat protein kacang bogor
setelah pemanasan basah maupun kering sangat kecil, yaitu sebesar ≤ 1 gram.
Khusus untuk pemanasan oven selama 60 menit, berat yang dihitung bukan
merupakan berat isolat protein, tetapi merupakan konsentrat protein karena pada
saat proses isolasi, tidak diperoleh isolat proteinnya. Proses pemanasan kacang
bogor menyebabkan protein kacang bogor mengalami denaturasi sehingga tidak
dapat terdeteksi pada proses isolasi protein. Terlalu kecilnya nilai rendemen isolat
protein yang diperoleh pada penelitian ini sangat membatasi pengujian selanjutnya.

Indeks Hidrofobisitas
Sifat fisikokimia dari reaksi glikokonjugasi meliputi derajat glikasi, titik
isoelektrik, sifat hidrofobisitas permukaan, dan sifat reologi (Liu et al. 2012).
Pada umumnya, hidrofobisitas terkait dengan sifat fungsional protein namun sifat
hidrofobisitas memiliki peran penting dalam menentukan konformasi protein.
Glikasi yang disertai dengan pemanasan mempengaruhi hidrofobisitas protein
sehingga lipatan molekul terbuka dan bagian hidrofobik muncul ke permukaan
molekul protein (Nakai 1983). Selama proses glikasi tersebut, hidrofobisitas
permukaan protein berubah, dapat naik maupun turun, tergantung dari protein dan
karbohidrat yang bereaksi, serta derajat glikasi. Glikasi protein visilin kacang
merah mampun menaikkan hidrofobisitas dengan waktu inkubasi selama 2.5 jam,
namun dengan meningkatnya waktu inkubasi (5 – 10 jam), hidrofobisitas
menurun (Tang et al. 2012). Hidrofobisitas protein 11S terglikasi dari kedelai
mengalami penurunan secara signifikan sedangkan derajat glikasi mengalami
kenaikan, khususnya pada awal inkubasi 6 jam pertama (Achouri et al. 2006).
Pengukuran indeks hidrofobisitas pada penelitian ini menggunakan ANS (1anilin-8-naftalen sulfonat) dengan sampel isolat protein yang merupakan hasil
pemanasan selama 30 menit. ANS merupakan pewarna fluoresens yang banyak
digunakan dalam analisis perubahan konformasi protein. ANS akan berkonjugasi
dengan grup hidrophobik dari protein yang terekspos ke permukaan akibat adanya
pemanasan. Grup hidrophobik dari protein yang terekspos ke permukaan
memegang peranan penting pada interaksi hidrophobik dan berpengaruh pada sifat

17
emulsi dan pembentukan busa pada pangan yang berasal dari protein (Kato and
Nakai 1980).
Indeks hidrofobisitas (H0) dari kacang kedelai dan kacang bogor dapat
dilihat pada Gambar 3 dan 4. Proses pemanasan mengubah indeks hidrofobisitas
protein kacang kedelai dan kacang bogor. Proses pemanasan menurunkan
sebagian besar indeks hidrofobisitas. Pada sampel kacang kedelai (Gambar 3),
nilai H0 hasil pemanasan lebih rendah daripada H0 kacang kedelai kontrol, kecuali
pada perebusan selama 30 menit. Pada proses pemanasan kacang kedelai terjadi
glikasi yang menyebabkan menurunnya hidrofobisitas dibandingkan dengan
kacang kedelai kontrol (tanpa pemanasan), namun pada perebusan selama 30
menit terjadi kenaikan hidrofobisitas yang menunjukkan meningkatnya protein
pada permukaan yang terikat oleh ANS. Pada sampel kacang bogor, nilai H0
isolat protein kedelai kacang bogor hasil pemanasan lebih rendah daripada kacang
bogor kontrol tanpa pemanasan, kecuali pada penyangraian selama 30 menit. Hal
ini menunjukkan bahwa proses pemanasan protein kacang bogor, kecuali proses
penyangraian, menyebabkan menurunnya hidrofobisitas protein. Identifikasi
struktur tiga dimensi protein serta sekuen asam amino kacang bogor perlu
dilakukan untuk dapat mengetahui karakteristik dari kacang bogor.

Indeks Hidrofobisitas (H0)

60363.24±514.35

60000

41422.05±414.68

50000

40495.06±431.37

35407.01±349.09

40000
15430.77±136.51

30000
20000
10000
0
Kedelai
Kontrol

Kukus 30 Rebus 30 Sangrai 30 Oven 30
menit
menit
menit
menit

Sampel

Indeks Hidrofobisitas (H0)

Gambar 3 Indeks hidrofobisitas (H0) kedelai setelah pemanasan 30 menit

35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0

26329.34±331.13

15650.61±130.97

13276,04±159.23

5154.90±61.56
2508.98±27.00

Kc Bogor Kukus 30 Rebus 30 Sangrai 30 Oven 30
Kontrol
menit
menit
menit
menit

Sampel

Gambar 4 Indeks hidrofobisitas (H0) kacang bogor setelah pemanasan 30 menit

18
Profil Berat Molekul Protein berdasarkan Elektroforesis SDS-PAGE
Protein merupakan polimer yang disusun oleh asam amino dengan jumlah
asam amino yang mencapai ratusan. Asam amino penyusun protein dihubungkan
satu sama lain melalui ikatan peptida. Jenis ikatan yang dapat terbentuk
antarmolekul asam amino adalah ikatan elektrostatik, ikatan hidrogen, ikatan
sulfida, dan interaksi hidrofobik. Penggunaan SDS (sodium dodesil sulfat) pada
elektroforesis dapat merusak ikatan non kovalen seperti interaksi hidrofobik, ionik,
dan van der Waals dan -merkaptoetanol dapat merusak ikatan disulfida pada
rantai polipeptida sehingga protein berada dalam bentuk polipeptida tunggal
(Wilson and Walker 2000). Reaksi SDS dengan protein akan memberikan muatan
negatif sehingga dengan adanya medan listrik protein akan bergerak menuju ke
anoda yang bermuatan positif. Elektroforesis SDS-PAGE akan memisahkan
protein berdasarkan berat molekul. Protein dengan berat molekul kecil akan lebih
cepat bergerak menuju anoda dibandingkan dengan protein dengan berat molekul
besar. Hasil akhir adalah terbentuknya pita-pita protein pada gel akrilamid. Setiap
pita menunjukkan berat molekul dari protein dan ketebalan pita menunjukkan
tingkat konsentrasi protein dalam sampel.
Pemanasan kacang menyebabkan profil berat molekul isolat protein
bervariasi. Berdasarkan hasil elektroforesis SDS-PAGE, kedelai kontrol (tanpa
pemanasan) dengan varietas lokal grobogan memiliki protein dengan berat
molekul antara 9.6 - 114.7 kDa dengan pita protein yang cukup tebal pada berat
molekul 19.6 dan 54.0 kDa. Pita alergen utama kedelai dengan berat molekul 3034, 26, dan 63-67 kDa tidak terlihat pada kedelai grobogan, namun terlihat protein
alergen lainnya yang dapat berikatan dengan IgE penderita alergi kedelai. Protein
a