Pembuatan Edible Film Dari Ekstrak Kacang Kedelai Dengan Penambahan Tepung Tapioka Dan Gliserol Sebagai Bahan Pengemas Makanan

(1)

PEMBUATAN EDIBLE FILM DARI EKSTRAK

KACANG KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN

TEPUNG TAPIOKA DAN GLISEROL SEBAGAI BAHAN

PENGEMAS MAKANAN

SKRIPSI

Oleh

MELISA SERI REJEKINA

080405049

SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN

PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JANUARI 2014


(2)

PEMBUATAN EDIBLE FILM DARI EKSTRAK

KACANG KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN

TEPUNG TAPIOKA DAN GLISEROL SEBAGAI BAHAN

PENGEMAS MAKANAN

SKRIPSI

Oleh

MELISA SERI REJEKINA

080405049

SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN

PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JANUARI 2014


(3)

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul :

PEMBUATAN EDIBLE FILM DARI EKSTRAK KACANG KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA DAN GLISEROL SEBAGAI

BAHAN PENGEMAS MAKANAN

dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini adalah hasil karya saya kecuali kutipan-kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya. Demikian pernyataan ini diperbuat, apabila dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau merupakan hasil jiplakan maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Medan, 6 Januari 2014

Melisa Seri Rejekina NIM. 080405049


(4)

(5)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tulisan

ini merupakan skripsi dengan judul “Pembuatan Edible Film Dari Ekstrak Kacang

Kedelai Dengan Penambahan Tepung Tapioka Dan Gliserol Sebagai Bahan Pengemas Makanan”, berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Departemen Teknik Kimia Fakulatas Teknik Sumatera Utara. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana teknik.

Melalui penelitian ini diketahui bahwa kacang kedelai dapat digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan edible film dengan penambahan tepung tapioka dan gliserol. Sehingga hasil yang diperoleh dapat dimanfaatkan, khususnya dalam inovasi bahan pengemas makanan. Manfaat lain yang diperoleh, yaitu dapat meningkatkan nilai ekonomis kacang kedelai.

Selama melakukan penelitian sampai penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat pengarahan dan bimbingan dari dosen pembimbing penulis, untuk itu secara khusus penulis mengucapakan terima kasih kepada ibu Mersi Suriani Sinaga, ST, MT yang telah banyak membantu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, 6 Januari 2014

Penulis


(6)

DEDIKASI

Rasa terima kasih dan hormat penulis ucapkan kepada nenek penulis, Sehmalem Sebayang yang selalu mendukung penulis dalam melaksanakan studi dan dalam proses pengerjaan skripsi ini.

Dedikasi skripsi ini penulis tujukan kepada : 1. Kedua orang tua penulis

2. Abang penulis. 3. Keluarga penulis.

4. Bapak dan Ibu dosen Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

5. Para pegawai administrasi Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

6. Loisa Sinaga atas kerjasamanya yang sangat baik selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat terbaik di Teknik Kimia, khususnya semua stambuk 2008 yang memberikan banyak dukungan dan semangat kepada penulis.

8. Seluruh teman-teman, adik-adik dan abang kakak yang turut memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(7)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Melisa Seri Rejekina NIM : 080405049

Tempat/tgl lahir : Medan 25 Juli 1991 Nama orang tua : M. Sembiring Alamat orang tua :

Desa Gunung Meriah Kab. Karo

Asal Sekolah

 SD Santo Thomas 5 Medan 1996-2002

 SMP Santo Thomas 4 Medan Sumbul 2002-2005  SMA Negeri 1 Medan 2005-2008

Beasiswa yang diperoleh :

Beasiswa Bantuan Mahasiswa (BBM) tahun 2008-2011 Pengalaman Organisasi :

1. HIMATEK periode 2011/2012 sebagai sekretaris Bidang Hubungan Masyarakat


(8)

ABSTRAK

Salah satu cara untuk mengatasi dampak lingkungan dalam penggunaan plastik nonbiodegradable adalah dengan memakai pengemas biodegradable. Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi makanan. Pada penelitian ini, edible film dibuat dari campuran ekstrak kacang kedelai dengan pati dan gliserol. Pengolahan edible film diawali dengan pembuatan ekstrak protein kacang kedelai atau pembuatan susu kedelai. Susu kedelai ditambahkan dengan tepung tapioka dan gliserol (2, 4, 6, 8, 10 ml). Kemudian campuran diaduk menggunakan magnetic stirer, dicetak dan dikeringkan di oven pada suhu 40 oC ± 2 hari. Setelah itu dilakukan uji karakteristik edible film, meliputi ketebalan, kekuatan tarik dan pemanjangan saat pemutusan. Hasil penelitian menunjukkan penambahan gliserol berpengaruh terhadap ketebalan edible film, kekuatan tarik dan pemanjangan saat pemutusan. Adapun ketebalan yang diperoleh meningkat seiring penambahan gliserol, yaitu 0,208 mm; 0,228 mm; 0,248 mm; 0,274 mm dan 0,294 mm. Kekuatan tarik yang diperoleh menurun dengan peningkatan ketebalan edible film, yaitu 0,105 MPa; 0,134 MPa; 0,088 MPa; 0,072 MPa dan 0,048 MPa. Pemanjangan saat pemutusan yang diperoleh meningkat dengan peningkatan ketebalan edible film, yaitu 1,839%; 3,270%; 3,842%; 5,779% dan 6,158%. Dari uji karakteristik yang dilakukan diperoleh yang terbaik pada ketebalan edible film 0,228 mm.

Kata kunci : edible film, gliserol, ketebalan, kekuatan tarik, dan pemanjangan saat pemutusan


(9)

ABSTRACT

One of the method to solve the environment issue in the usage of nonbiodegradable plastic is by using biodegradable packaging. Edible film is a thin layer which is covers the food. In this research, edible film was made from mixture of soybean extract with starch and glycerol. The process of making edible films was started with producing soybean protein extract or producing soy milk. Soy milk was added with tapioca flour and glyserol ( 2, 4, 6, 8 and 10 ml ). Then, the mixture was stirred by using magnetic stirer, formed and dried in the oven at the temperature of 40 °C ± 2 days. After that, the characteristics of edible film (thickness, tensile strength and elongation at break) was checked. The results of research shows that the addition of glycerol influenced was the edible film’s thickness, tensile strength and elongation at break. The thickness was obtained from the increasing of the addition glycerol. They are 0,208 mm; 0,228 mm; 0,248 mm; 0,274 mm and 0,294 mm. The tensile strength decreased if the thickness of the edible film increase. They were 0,105 MPa; 0,134 MPa; 0,088 MPa; 0,072 MPa and 0,048 MPa. The elongation at break which was obtained will increase by increasing of edible film’s thickness. They were 1,839%; 3,270%; 3,842%; 5,779%, and 6,158%. The characteristic’s test showed the best thickness of edible film is 0,228 mm.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI i

PENGESAHAN ii

PRAKATA iii

DEDIKASI iv

RIWAYAT HIDUP PENULIS v

ABSTRAK vi

ABSTRACT vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

DAFTAR SINGKATAN xiv

DAFTAR SIMBOL xv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 LATAR BELAKANG 1

1.2 PERUMUSAN MASALAH 2

1.3 TUJUAN PENELITIAN 2

1.4 MANFAAT PENELITIAN 3

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 KACANG KEDELAI 4

2.2 TAPIOKA 5

2.3 GLISEROL 7

2.4 EDIBLE FILM 8

2.4.1 Material Pembentukan Film 9

2.4.1.1 Hidrokoloid 10

2.4.1.2 Lipida 10

2.4.1.3 Komposit 11


(11)

2.4.3 Karakteristik Edible Film 13

2.4.4 Aplikasi dalam Bahan Pangan 14

2.5 ANALISA BIAYA PRODUKSI EDIBLE FILM 16

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 17

3.1 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 17

3.2 BAHAN DAN PERALATAN 17

3.3 DIAGRAM KERJA 17

3.4 PROSEDUR KERJA 17

3.4.1 Pembuatan Susu Kedelai 17

3.4.2 Pembuatan Edible Film 18

3.5 PENGUJIAN SIFAT FISIK EDIBLE FILM DARI

KACANG KEDELAI 18

3.5.1 Pengujian Ketebalan 19

3.5.2 Pengujian Kekuatan Tarik (Tensile Strength) 19 3.5.3 Persen pemanjangan saat pemutusan

(Elongation at Break) 19

3.6 FLOWCHART PROSEDUR PENELITIAN 20

3.6.1 Flowchart Pembuatan Susu Kedelai 20

3.6.2 Flowchart Pembuatan Edible Film 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 22

4.1 PENGARUH PENAMBAHAN GLISEROL TERHADAP

KETEBALAN EDIBLE FILM 22

4.2 PENGARUH KETEBALAN EDIBLE FILM TERHADAP

KEKUATAN TARIK EDIBLE FILM 23

4.3 PENGARUH KETEBALAN EDIBLE FILM TERHADAP

PEMANJANGAN SAAT PEMUTUSAN EDIBLE FILM 25 4.4 ANALISA GUGUS FUNGSI DENGAN MENGGUNAKAN

FTIR (FOURIER TRANSFORMED INFRA RED) 26

4.4.1 Analisa FTIR (Fourier Transformed Infra Red)

Kacang Kedelai 27

4.4.2 Analisa FTIR (Fourier Transformed Infra Red)


(12)

4.4.3 Analisa FTIR (Fourier Transformed Infra Red)

Edible Film 29

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 30

5.1 KESIMPULAN 30

5.2 SARAN 30

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 1 DATA PERCOBAAN 35

LAMPIRAN 2 CONTOH PERHITUNGAN 42


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Kacang Kedelai 4

Gambar 2.2 Struktur Gliserol 7

Gambar 3.1 Diagram Kerja Pembuatan Edible Film dari Ekstrak Kacang

Kedelai dengan Penambahan Tepung Tapioka dan Gliserol 17

Gambar 3.2 Flowchart Pembuatan Susu kedelai 20

Gambar 3.3 Flowchart Pembuatan Edible Film dari Kacang Kedelai 21 Gambar 4.1 Histogram Hubungan Penambahan Gliserol dengan Ketebalan

Edible Film 22

Gambar 4.2 Histogram Hubungan Ketebalan Edible Film terhadap

Kekuatan Tarik Edible Film 23

Gambar 4.3 Histogram Hubungan Ketebalan Edible Film terhadap

Pemanjangan saat Pemutusan Edible Film 25

Gambar 4.4 Grafik Hasil Analisa FTIR Kacang Kedelai 27 Gambar 4.5 Grafik Hasil Analisa FTIR Tepung Tapioka 28 Gambar 4.6 Grafik Hasil Analisa FTIR Edible Film 29

Gambar L3.1 Kacang Kedelai 45

Gambar L3.2 Perendaman Kacang Kedelai 45

Gambar L3.3 Penghancuran kacang Kedelai 45

Gambar L3.4 Pembuatan Susu Kedelai 46

Gambar L3.5 Pembuatan Edible Film 46

Gambar L3.6 Film 2 % 46

Gambar L3.7 Film 4 % 46

Gambar L3.8 Film 6 % 46

Gambar L3.9 Film 8 % 46

Gambar L3.10 Film 10 % 47

Gambar L3.11 Mikrometer Digital Mitutoyo 47

Gambar L3.12 Torsee’s Electronic System Universal Testing Machine 47 Gambar L3.13 Alat Uji FTIR (Fourier Transformed Infra Red) 47


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kandungan Gizi kacang Kedelai 4

Tabel 4.1 Tabel Daerah Gugus Fungsi 26

Tabel L1.1 Data Percobaan Hasil Pengukuran Ketebalan (mm) Edible Film 35

Tabel L1.2 Data Percobaan Hasil Load dan Stroke 36

Tabel L1.3 Data Percobaan Hasil Pengukuran Tensile Strength (MPa)

Edible Film 37

Tabel L1.4 Data Percobaan Hasil Pengukuran Elongation at Break (%)


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Data Percobaan 35

1.1 Data Percobaan Hasil Pengukuran Ketebalan (mm)

Edible Film 35

1.2 Data Percobaan Load dan Stroke 36

1.3 Data Percobaan Hasil Pengukuran Tensile Strength (Mpa)

Edible Film 37

1.4 Data Percobaan Hasil Pengukuran Elongation at Break (%)

Edible Film 38

1.5 Data Hasil Uji FTIR 39

1.5.1 Data Hasil Uji FTIR Kacang Kedelai 39 1.5.2 Data Hasil Uji FTIR Tepung Tapioka 40 1.5.1 Data Hasil Uji FTIR Edible Film Kacang Kedelai 41

Lampiran 2 Contoh Perhitungan 42

2.1 Perhitungan Kekuatan Tarik (Tensile Strength) 42 2.2 Perhitungan Pemanjangan saat Pemutusan

(Elongation at Break) 43

Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian 45

3.1 Penyiapan Kacang Keedelai 45

3.2 Perendaman Kacang Kedelai 45

3.3 Penghancuran Kacang Kedelai 45

3.4 Pembuatan Kacang Kedelai 46

3.5 Pembuatan Edible Film 46

3.6 Edible Film 46

3.7 Alat Ukur Ketebalan Film 47

3.8 Alat Uji Kuat Tarik dan Pemanjangan saat Pemutusan 47


(16)

DAFTAR SINGKATAN

BM Berat Molekul

FTIR Forier Transformed Infra Red PEG Polietilen Glikol


(17)

DAFTAR SIMBOL

F Gaya kekuatan tarik

Fmaks Gaya kekuatan tarik maksimal

Ao Luas spesimen


(18)

ABSTRAK

Salah satu cara untuk mengatasi dampak lingkungan dalam penggunaan plastik nonbiodegradable adalah dengan memakai pengemas biodegradable. Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi makanan. Pada penelitian ini, edible film dibuat dari campuran ekstrak kacang kedelai dengan pati dan gliserol. Pengolahan edible film diawali dengan pembuatan ekstrak protein kacang kedelai atau pembuatan susu kedelai. Susu kedelai ditambahkan dengan tepung tapioka dan gliserol (2, 4, 6, 8, 10 ml). Kemudian campuran diaduk menggunakan magnetic stirer, dicetak dan dikeringkan di oven pada suhu 40 oC ± 2 hari. Setelah itu dilakukan uji karakteristik edible film, meliputi ketebalan, kekuatan tarik dan pemanjangan saat pemutusan. Hasil penelitian menunjukkan penambahan gliserol berpengaruh terhadap ketebalan edible film, kekuatan tarik dan pemanjangan saat pemutusan. Adapun ketebalan yang diperoleh meningkat seiring penambahan gliserol, yaitu 0,208 mm; 0,228 mm; 0,248 mm; 0,274 mm dan 0,294 mm. Kekuatan tarik yang diperoleh menurun dengan peningkatan ketebalan edible film, yaitu 0,105 MPa; 0,134 MPa; 0,088 MPa; 0,072 MPa dan 0,048 MPa. Pemanjangan saat pemutusan yang diperoleh meningkat dengan peningkatan ketebalan edible film, yaitu 1,839%; 3,270%; 3,842%; 5,779% dan 6,158%. Dari uji karakteristik yang dilakukan diperoleh yang terbaik pada ketebalan edible film 0,228 mm.

Kata kunci : edible film, gliserol, ketebalan, kekuatan tarik, dan pemanjangan saat pemutusan


(19)

ABSTRACT

One of the method to solve the environment issue in the usage of nonbiodegradable plastic is by using biodegradable packaging. Edible film is a thin layer which is covers the food. In this research, edible film was made from mixture of soybean extract with starch and glycerol. The process of making edible films was started with producing soybean protein extract or producing soy milk. Soy milk was added with tapioca flour and glyserol ( 2, 4, 6, 8 and 10 ml ). Then, the mixture was stirred by using magnetic stirer, formed and dried in the oven at the temperature of 40 °C ± 2 days. After that, the characteristics of edible film (thickness, tensile strength and elongation at break) was checked. The results of research shows that the addition of glycerol influenced was the edible film’s thickness, tensile strength and elongation at break. The thickness was obtained from the increasing of the addition glycerol. They are 0,208 mm; 0,228 mm; 0,248 mm; 0,274 mm and 0,294 mm. The tensile strength decreased if the thickness of the edible film increase. They were 0,105 MPa; 0,134 MPa; 0,088 MPa; 0,072 MPa and 0,048 MPa. The elongation at break which was obtained will increase by increasing of edible film’s thickness. They were 1,839%; 3,270%; 3,842%; 5,779%, and 6,158%. The characteristic’s test showed the best thickness of edible film is 0,228 mm.


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Plastik adalah salah satu bahan yang selalu digunakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Penggunaan plastik terutama sebagai media untuk pengemas produk sangat lazim digunakan oleh masyarakat baik untuk produk makanan, minuman, pakaian, alat elektronik, peralatan rumah tangga, dsb. Riset yang dilakukan oleh PT Lion Superindo [1] menyatakan bahwa dalam satu tahun pengunaan kantong plastik masyarakat di dunia adalah sebesar 500 juta sampai dengan 1 miliar kantong.

Sampah plastik tergolong dalam sampah non organik yang sangat berbahaya bagi lingkungan karena membutuhkan waktu yang sangat lama yaitu 1.000 tahun untuk dapat diuraikan secara alami di tanah dan 450 tahun untuk terurai di air [2]. Penggunaan plastik ini banyak digunakan untuk kemasan pada bahan pangan dan masih bersifat nonbiodegradable.

Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan memakai pengemas makanan yang biodegradable. Pengemas biodegradable ini dibuat dari bahan alami, seperti kacang kedelai, singkong, dan sebagainya. Pengemas biodegradable ini termasuk ke dalam edible film karena berdasarkan sifat mekaniknya dapat menggantikan plastik nonbiodegradable.

Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi makanan, atau diletakkan di antara komponen yang berfungsi sebagai penahan terhadap transfer massa seperti air, oksigen, dan lemak. Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan makanan untuk mempertahankan kualitas warna, aroma, dan tekstur produk, serta untuk mengontrol pertumbuhan mikroba [3].

Kedelai (Glycine max) merupakan salah satu komoditas hasil pertanian tanaman pangan berprotein tinggi yang sudah meluas penggunaannya di masyarakat. Sebagai bahan pangan, kedelai sering digunakan untuk menggantikan protein hewani yang relatif lebih mahal harganya [4].

Polisakarida seperti pati dapat dijadikan sebagai bahan baku pada pembuatan edible film. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film


(21)

untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui dan memberikan karakteristik fisik yang baik [5]. Tapioka sering digunakan sebagai bahan tambahan atau pengisi karena kandungan patinya yang cukup tinggi [6]. Tapioka dan terigu mengandung gluten yaitu suatu protein yang memberikan sifat elastis, kenyal dan tidak putus [7].

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penambahan tapioka berpengaruh pada sifat fisik edible film. Evi Suliastini (2011) menyimpulkan bahwa penambahan tapioka pada pembuatan edible film dari ekstrak wortel meningkatakan sifat keelastisan dan tidak rapuh untuk dimanfaatkan sebagai bahan pengemas makanan [8]. Pembuatan edible film dari ekstraksi pektin cincau hijau dengan penambahan tapioka juga dipelajari oleh Arinda Rachmawati (2009) [9].

Pembuatan edible film dari kedelai dengan penambahan tapioka belum pernah dilakukan sebelumnya. Peneliti sebelumnya Toni Yoyo (1995) mempelajari tentang karakteristik fisik edible film dari protein kedelai tanpa penambahan tapioka dengan variasi konsentrasi gliserol 4%, 6%, 8%, dan 10%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Toni Yoyo didapatkan bahwa persen pemanjangan saat pemutusan semakin berkurang dengan penambahan konsentrasi gliserol, dan kuat tarik semakin berkurang dengan bertambahnya konsentrasi gliserol. Berdasarkan uraian tersebut peneliti berharap dapat membuat edible film dari ekstrak kacang kedelai dengan penambahan tepung tapioka dan gliserol sebagai bahan pengemas makanan [10]. 1.2 PERUMUSAN MASALAH

Dari penelitian-penelitian sebelumnya telah dilakukan pembuatan edible film dari kedelai tanpa penambahan tapioka. Pada peneltian ini ingin diketahui apakah dengan penambaha tepung tapioca masih bias membentuk edible film, dan juga bagaimana pengaruh konsentrasi gliserol yang digunakan terhadap edible film.

1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah :

1. Memperoleh edible film dari ekstrak kacang kedelai dengan penambahan tepung tapioka dan gliserol sebagai bahan pengemas makanan.


(22)

2. Mengetahui pengaruh penambahan gliserol terhadap sifat fisik edible film dari ekstrak kedelai.

1.4MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah hasil penelitian diharapkan dapat mengurangi penggunaan bahan pengemas makanan yang bersifat non biodegradable.

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Proses Industri Kimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bahan-bahan yang akan digunakan antara lain kedelai, tepung tapioka, dan gliserol.

2. Peralatan yang digunakan adalah blender, hotplate, dan magnetic stirer. 3. Variabel tetap, meliputi :

 Susu kedelai 100 ml

 Tepung tapioka 10 gr

 Temperatur pembuatan edible film 60oC

 Temperatur pengeringan edible film 40oC

 Pengadukan skala 5 4. Variabel berubah, meliputi :

 Konsentrasi gliserol 2 %, 4%, 6%, 8%, dan 10% 5. Parameter yang diuji, yaitu :

 Ketebalan film

 Kekuatan tarik (tensile strength)

 Pemanjangan saat pemutusan (elongation at break)


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KACANG KEDELAI

Kedelai (Glycine maxi) merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan oleh manusia sejak 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya perdagangan antar negara yang terjadi pada awal abad ke-19, menyebabkan tanaman kedalai juga ikut tersebar ke berbagai negara tujuan perdagangan tersebut, yaitu Jepang, Korea, Indonesia, India, Australia, dan Amerika. Kedelai mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke-16. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai yaitu di pulau Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau lainnya [4].

Gambar 2.1. Kacang Kedelai [4]

Tanaman kedelai salah satu komoditas tanaman pangan yang sangat dibutuhkan oleh penduduk Indonesia dan dipandang penting karena merupakan sumber protein, nabati, lemak, vitamin dan mineral yang murah dan mudah tumbuh di berbagai wilayah Indonesia serta kedelai merupakan salah satu jenis tanaman palawija yang cukup penting setelah kacang tanah dan jagung. Sebagai bahan makanan kedelai mempunyai kandungan gizi yang tinggi terutama protein, lemak, karbohidrat dan air. Di Indonesia, kedelai banyak diolah untuk berbagai macam bahan pangan, seperti: tauge, susu kedelai, tahu, kembang tahu, kecap, oncom, tauco, tempe, es krim, minyak makan, dan tepung kedelai. Selain itu, juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak [4].


(24)

Kedelai (Glycine max) merupakan salah satu komoditas hasil pertanian tanaman pangan berprotein tinggi yang sudah meluas penggunaannya di masyarakat. Sebagai bahan pangan, kedelai sering digunakan untuk menggantikan protein hewani yang relatif lebih mahal harganya [4].

Kedelai dikenal sebagai biji ajaib dari Timur karena di dalam biji kedelai terkandung berbagai zat gizi seperti protein, lemak, karbohidrat dan bahan bioaktif isoflavon. Isoflavon memiliki kemampuan sebagai zat antikanker [11]. Kedelai mengandung protein 35% bahkan varietas unggul kadar proteinya dapat mencapai 40-43%. Kandungan protein kedelai lebih tinggi dari jenis kacang-kacangan lainnya. Secara lengkap kandungan gizi kacang kedelai dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Kandungan Gizi Kacang Kedelai [4]

Kandungan Gizi Kacang Kedelai

Air (%) 8

Energi (kal) 331

Protein (%) 34,9

Lemak (%) 18,1

Karbohidrat (%) 35

Ca (mg/100 gr) 227

Fe (mg/100 gr) 8,0

Beta karotin equivalent (mcg) 10

Thiamin (mg/100 gr) 1,07

Riboflavin (mg/100 gr) 0,30

Niacin (mg/100 gr) 2,0

Vitamin C (mg/100 gr) 8

2.2 TAPIOKA

Ubi kayu/singkong merupakan bahan baku tapioka, yang diperoleh dengan cara mengekstrak sebagian umbi dan memisahkan patinya. Tepung tapioka adalah pati dari umbi singkong yang dikeringkan dan dihaluskan. Tepung tapioka merupakan produk awetan singkong yang memiliki peluang pasar yang sangat luas. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat sehingga dapat meningkatkan taraf


(25)

hidup. Tanaman singkong termasuk tanaman tropis yang berasal dari Brazil (Amerika Selatan). Di Indonesia, singkong memiliki peranan penting sebagai makanan pokok ke-3 setelah padi dan jagung. Peranan singkong menjadi semakin besar berkaitan dengan daya gunanya di bidang industri, baik industri kecil, menengah, maupun industri besar, tidak terbatas kepada industri di dalam negeri, tetapi juga di negara lain.

Tepung tapioka yang dibuat dari singkong berwarna putih atau pun kuning akan menghasilkan tepung berwarna putih lembut dan licin. Perbedaan kualitas antara keduanya disebabkan oleh proses pembuatannya, yaitu berbeda dalam hal tingkat/derajat keputihan, tingkat kehalusan, kadar air tersisa, dan kandungan benda asing. Tepung tapioka, meskipun dibuat dari bahan singkong dengan kandungan unsur gizi yang rendah, namun masih memiliki unsur gizi. Dimana tepung tapioka mengandung kalori sebesar 362 kal, karbohidrat sebesar 86,9 gram [12].

Tepung tapioka tidak termasuk di dalam golongan amilopektin, namun tepung tapioka memiliki sifat-sifat yang sangat mirip dengan amilopektin. Sifat-sifat tepung tapioka tersebut adalah :

1) Sangat jernih. Dalam bentuk pasta, amilopektin menunjukkan kenampakkan yang sangat jernih sehingga sangat disukai karena dapat mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir.

2) Tidak mudah menggumpal. Pada suhu normal, pasta dari amilopektin tidak mudah menggumpal dan kembali menjadi keras.

3) Memiliki daya pemekat yang tinggi. Karena kemampuannya untuk mudah pekat, maka pemakaian pati dapat dihemat.

4) Tidak mudah pecah atau rusak. Pada suhu normal atau lebih rendah, pasta tidak mudah kental dan pecah (retak-retak). Dibandingkan dengan pati biasa, stabilitas amilopektin pada suhu amat rendah juga lebih tinggi.

5) Suhu gelisasi lebih rendah. Dengan demikian juga menghemat pemakaian energi [13].

Tepung tapioka memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan bahan bakunya (singkong), yaitu lebih tahan lama dalam penyimpanan, lebih mudah didistribusikan karena praktis, ringan dan aman, daya jangkau pemasarannya jauh lebih luas, dan kegunaanya lebih banyak. Tepung tapioka dapat dimanfaatkan


(26)

sebagai bahan baku atau campuran/tambahan pada berbagai macam produk. Selain itu, tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental, bahan pemadat/pengisi (filler), bahan pengikat pada industri makanan olahan, dan dapat juga sebagai bahan penguat benang pada industri tekstil [12].

2.3 GLISEROL

Gliserol merupakan plasticizer yang bersifat hidrofilik, sehingga cocok untuk bahan pembentukan film yang bersifat hidrofilik seperti pati. Gliserol dapat meningkatkan penyerapan molekul polar seperti air. Gliserol berperan sebagai plastisizer yang dapat meningkatkan fleksibilitas film. Gliserol (gliserin) merupakan senyawa poliol sederhana yang tidak berwarna, tidak berbau, dan berupa cairan kental yang banyak digunakan dalam formulasi farmasi. Gliserol memiliki rasa manis dan toksitas rendah [14].

Gliserol dapat larut sempurna dalam air dan alkohol, tetapi tidak dalam minyak. Sebaliknya banyak zat dapat lebih mudah larut dalam gliserol dibandingkan dalam air maupun alkohol. Oleh karena itu gliserol merupakan pelarut yang baik [16].

Senyawa ini bermanfaat sebagai anti beku (anti frezee) dan juga merupakan senyawa yang higroskopis sehingga banyak digunakan untuk mencegah kekeringan pada tembakau, pembuatan parfum, tinta, kosmetik, makanan dan minuman lainnya [15].

Gliserol banyak dihasilkan dari industri oleokimia yang merupakan bahan baku yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi. Gliserol dapat diperoleh dari pemecahan ester asam lemak dari minyak dan lemak industri oleokimia [17].

Gambar 2.2. Struktur Gliserol [18]

Dalam penelitian ini digunakan plasticizer gliserol yang memiliki rumus kimia C3H8O3 dengan berat molekul 92,10 g/mol dan massa jenis 1,23 g/cm3.


(27)

hidrofilik kecil dan dapat dengan mudah masuk di antara rantai protein. Gliserol akan lebih membentuk ikatan hidrogen dengan grup amida dari protein kedelai. Masuknya gliserol dalam struktur protein kedelai diduga akan mengurangi interaksi dan kedekatan antar rantai protein sehingga pergerakan rantai protein menjadi lebih baik. dengan penambahan gliserol maka film yang dihasilkan akan lebih fleksibel dan dapat mengurangi sifat rapuh dari edible film yang dihasilkan [10].

2.4 EDIBLE FILM

Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi makanan (coating), atau diletakkan di antara komponen yang berfungsi sebagai penahan terhadap transfer massa seperti kadar air, oksigen, lemak, dan cahaya atau berfungsi sebagai pembawa bahan tambahan pangan. Edible film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan film kemasan seperti plastik, yaitu harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat mencegah kehilangan kelembaban produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna, pigmen alami dan gizi.

Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti sosis, buah-buahan dan sayuran segar dapat memperlambat penurunan mutu, karena edible film dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan uap air, sehingga mampu menciptakan kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas.

Dalam berbagai kasus edible film dengan sifat mekanik yang baik dapat menggantikan pengemas sintetik. Meskipun edible film tidak ditujukan untuk mengganti secara total pengemas sintetis, tetapi edible film memiliki potensi untuk mengurangi penggunaan kemasan nonbiodegredable [3]. Edible film dari polisakarida mempunyai keunggulan yang lebih baik dalam penghambatan gas terhadap uap air. Edible film juga mempunyai banyak keuntungan jika dibandingkan dengan pengemas sintetik yang tidak dapat dimakan, yaitu :

1. Edible film dapat dimakan bersamaan dengan produk yang dikemas, sehingga tidak ada pembuangan pengemas.

2. Edible film yang tidak dikonsumsi dapat didaur ulang, sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan edible film dibuat


(28)

dari bahan-bahan yang dapat diolah kembali sehingga lebih mudah diuraikan daripada bahan sintetik.

3. Edible film dapat digunakan pada beragam makanan ataupun diletakkan diantara permukaan komponen lapisan. Penggunaan edible film dapat disesuaikan untuk mencegah memburuknya kelembaban antara komponen dan migrasi padatan dalam makanan seperti jenis pizza, pastel, dan permen.

4. Edible film dapat berfungsi sebagai suplemen gizi pada makanan.

5. Edible film dapat berfungsi untuk memperbaiki sifat-sifat organoleptik makanan yang dikemas dengan memberikan variasi komponen (pewarna, pemanis, dan pemberi aroma) yang menyatu dengan makanan.

6. Edible film dapat digunakan sebagai pengemas satuan (individu) dari bahan makanan yang berukuran kecil, misalnya: kacang, biji-bijian dan strawberry. 7. Edible film dapat berfungsi sebagai pembawa antimikroba dan antioksidan.

Edible filmdapat secara umum dapat digunakan pada permukaan makanan untuk mengontrol difusi substansi bahan pengawet dari permukaan ke interior makanan.

8. Edible film dapat digunakan sangat baik sekali sebagai microencapsulasi flavour makanan dan keasaman adonan untuk mengontrol efisiensi penambahan dan pembebasan ke dalam interior makanan.

9. Edible film dapat digunakan sebagai multilayer material kemasan makanan bersama-sama dengan nonedible film dapat sebagai pelapis internal permukaan yang berhubungan langsung dengan material makanan [19].

2.4.1 Material Pembentukan Edible Film

Komponen penyusun kemasan Edible Film terdiri atas 2 bagian. Komponen utama yang terdiri dari hidrokoloid, lipid dan komposit. Komponen tambahan terdiri dari plasticizer, zat anti mikroba, antioksidan, flavor dan pigmen. Pada penelitian ini, komponen utama yang digunakan adalah ekstrak kacang kedelai yangtermasuk dalam kelompok hidrokoloid, dan menggunakan gliserol sebagai plasticizer.


(29)

Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah protein atau karbohidrat. Film yang dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati, gum (seperti contoh alginat, pektin, dan gum arab), dan pati yang dimodifikasi secara kimia. Pembentukan film berbahan dasar protein antara lain dapat menggunakan gelatin, kasein, protein kedelai, protein whey, gluten gandum, dan protein jagung. Film yang terbuat dari hidrokoloid sangat baik sebagai penghambat perpindahan oksigen, karbondioksida, dan lemak, serta memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik, sehinggga sangat baik digunakan untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah hancur [20].

Polisakarida sebagai bahan dasar edible film dapat dimanfaatkan untuk mengatur udara sekitarnya dan memberikan ketebalan atau kekentalan pada larutan edible film. Pemanfaatan dari senyawa yang berantai panjang ini sangat penting karena tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah, dan bersifat nontoksik [3].

Beberapa jenis protein yang berasal dari protein tanaman dan hewan dapat membentuk film seperti zein jagung, gluten gandum, protein kedelai, protein kacang, keratin, kolagen, gelatin, kasein, dan protein dari whey susu, karena sifat dari protein tersebut yang mudah membentuk film. Albumin telur dapat digunakan sebagai bahan pembetuk film yang baik yang dikombinasikan dengan gluten gandum, dan protein kedelai [3].

2.4.1.2 Lipida

Film yang berasal dari lipida sering digunakan seagai penghambat uap air, atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk-produk kembang gula. Film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan menghasilkan kekuatan struktur film yang kurang baik [3]. Karakteristik film yang dibentuk oleh lemak tergantung pada berat molekul dari fase hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai cabang, dan polaritas. Lipida yang sering digunkan sebagai edible film antara lain lilin (wax) seperti parafin dan carnauba, kemudian asam lemak, monogliserida, dan resin [6].


(30)

Komposit film terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Penggunaan dari komposit film dapat dalam bentuk lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan lipida, atau dapat berupa gabungan lipida dan hidrokoloid dalam satu kesatuan edible film. Gabungan dari hidrokolid dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen lipida danhidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap penguapan air dan hidrokoloid dapat memberikan daya tahan. Edible film yang dibuat dari gabungan antara lipida dan hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan dan sayuran [3].

2.4.2 Pembentukan Edible Film

Teknik yang dikembangkan dari edible film hidrokoloid [21], yaitu:

1. Coacervation sederhana atau penggumpalan yang melibatkan pemisahan material pelapis dari larutan dengan pemanasan, pengubahan pH dan penambahan pelarut. 2. Gelitifikasi, yaitu proses perubahan menjadi gel atau koagulasi panas (perubahan

dari cairan menjadi padat), dimana pemanasan makromolekul menyebabkan perubahan sifat menjadi gel.

Gel mungkin mengandung 99,9 % air tetapi mempunyai sifat lebih khas seperti padatan, khususnya sifat elastis (elasticity) dan kekuatan (rigidity). Gelatinasi atau pembentukan gel merupakan fenomena yang menarik dan sangat kompleks, namun sampai saat ini masih banyak hal-hal yang belum diketahui tentang mekanismenya. Pada prinsipnya pembentukan gel hidrokoloid terjadi karena adanya pembentukan jala atau jaringan tiga dimensi oleh molekul primer yang terentang pada seluruh volume gel yang terbentuk dengan memerangkap sejumlah air di dalamnya [22].

Kekuatan edible film terkait dengan struktur kimia polimer bahan yang digunakan, kandungan bahan aditif dan kondisi lingkungannya selama berlangsungnya pembentukan edible film [23]. Tahapan pembentukan edible film adalah sebagai berikut:

a. Pensuspensian Bahan dalam Pelarut

Pembuatan larutan film diawali dengan pensuspensian bahan dalam pelarut seperti etanol,air atau bahan pelarut lain.


(31)

b. Penambahan Plastizicer

Plastizicer ditambahkan untuk memperbaiki sifat mekanik yaitu memberikan fleksibilitas pada sebuah polimer film sehingga film lentur ketika dibengkokkan, tidak mudah putus dan kuat.

c. Pengaturan Suhu

Pengaturan suhu pada pembuatan edible film bertujuan membantuk pati tergelatinisasi yang merupakan awal pembentukan film. Suhu pemanasan akan menetukan sifat mekanik edible film karena suhu ini menentukan tingkat gelatinisasi yang terjadi dan sifat fisik pasta yang terbentuk.

d. Pengeringan

Pengeringan bertujuan untuk menguapkan pelarut sehingga diperoleh film. Suhu mempengaruhi waktu pengeringan dan kenampakan film yang dihasilkan. Bila pasta yang terbentuk ketika proses gelatinisasi mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula.

Dengan demikian mereka menggabungkan butir pati yang membengkak itu menjadi semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi tersebut disebut retrogradasi [24].

Produk pangan biasanya sangat kompleks, efek dari kandungan lainnya juga mempengaruhi ketika mengevaluasi fungsional pati yang berhubungan dengan viskositas. Lemak, gula, protein, dan garam dapat mempengaruhi gelatinisasi, pengentalan, dan retrogradasi. Kandungan yang berinteraksi (pelapisan, ikatan, atau membentuk kompleks) dengan granula atau bersaing dengan granula untuk berikatan dengan air dapat memberikan dampak negatif pada kekentalan. Sebagai contoh, lemak memiliki kecenderungan untuk berinteraksi dengan granula pati dan menghalangi hidrasi sehingga menghasilkan tingkat kekentalan yang rendah.

Gula dan padatan lain membatasi gelatinisasi dan pengentalan dengan bersaing untuk keberadaan air. Kandungan pangan lainnya, seperti protein dan garam, juga dapat merubah kenampakan pati dan harus betul-betul dipertimbangkan ketika kandungan pati pangan diformulasikan [16].


(32)

2.4.3 Karakteristik Edible Film

Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju transmisi uap air, dan kelarutan film [25].

1) Ketebalan Film (mm)

Ketebalan merupakan sifat fisik yang akan mempengaruhi laju transmisi uap air, gas dan senyawa volatil serta sifat-sifat fisik lainnya seperti tensile strength dan elongasi [22]. Faktor yang dapat mempengaruhi ketebalan film adalah konsentrasi padatan terlarut dalam larutan film. Makin tinggi konsentrasi padatan terlarut makin tinggi ketebalan film yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena jumlah polimer penyusun film yang mengakibatkan peningkatan ketebalan film.

2) Tensile strength (KgF/mm2) dan elongasi at break (%)

Pemanjangan didefinisikan sebagai prosentase perubahan panjang film pada saat film ditarik sampai putus. Kekuatan regang putus merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film dapat tetap bertahan sebelum film putus atau robek. Pengukuran kekuatan regang putus berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk merenggang atau memanjang [3].

3) Kelarutan Film

Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah dicelupkan di dalam air selam 24 jam [25].

4) Permeabilitas Uap Air (WVP)

Peremeabilitas terhadap gas dan uap air (Gas or water vapor permeability = WVP) yang banyak digunakan dalam 11 teknologi pengemasan didefinisikan sebagai gram air per hari per 100 in2 permukaan kemasan, untuk ketebalan dan temperatur tertentu, dan kelembaban relatif di satu sisi 0% dan pada sisi lainnya 95%. Metode yang umum digunakan untuk mengukur permeabilitas uap ialah


(33)

dengan metode gravimetri. Dalam metode ini digunakan suatu desikan yang bisa menyerap uap air dan menjaga supaya tekanan uap air tetap rendah disimpan dalam suatu mangkuk alumunium yang kemudian ditutup dengan film plastik yang akan diukur permeabilitasnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas kemasan adalah :

a) Jenis film permeabilitas dari polipropilen lebih kecil dari pada polietilen artinya gas atau uap air lebih mudah menembus polipropilen daripada polietilen. b) Suhu

c) Ada tidaknya plasticizer misal air d) Jenis polimer film

e) Sifat dan besar molekul gas f) Solubilitas atau kelarutan gas [26].

2.4.4 Aplikasi Dalam Bahan Pangan

Penggunaan edible film sebenarnya sudah lama dilakukan, terutama pada sosis, yang pada zaman dahulu menggunakan usus hewan. Selain itu pelapisan buah-buahan dan sayuran dengan lilin juga sudah dilakukan sejak tahun 1800-an.

Aplikasi dari edible film untuk kemasan bahan pangan saat ini sudah semakin meningkat, seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.

Edible film dan biodegradable film banyak digunakan untuk pengemasan produk buahbuahan segar yaitu untuk mengendalikan laju respirasi, akan tetapi produk-produk pangan lainnya juga sudah banyak menggunakan edible coating, seperti produk konfeksionari, daging dan ayam beku, sosis, produk hasil laut dan pangan semi basah.

Aplikasi dari edible film atau edible coating dapat dikelompokkan atas : 1. Sebagai Kemasan Primer dari produk pangan

Contoh dari penggunaan edible film sebagai kemasan primer adalah pada permen, sayur-sayuran dan buah-buahan segar, sosis, daging dan produk hasil laut. 2. Sebagai Barrier


(34)

Penggunaan edible film sebagai barrier dapat dilihat dari contoh-contoh dibawah ini.

- Gellan gum yang direaksikan dengan garam mono atau bivalen yang membentuk film, diperdagangkan dengan nama dagang Kelcoge merupakan barrier yang baik untuk absorbsi minyak pada bahan pangan yang digoreng, sehingga menghasilkan bahan dengan kandungan minyak yang rendah. Di Jepang bahan ini digunakan untuk menggoreng tempura.

- Edible coating yang terbuat dari zein (protein jagung), dengan nama dagang Z’coat TM (Cozean) dari Zumbro Inc., Hayfielf, MN terdiri dari zein, minyak sayuran, BHA, BHT dan etil alkohol, digunakan untuk produk-produk konfeksionari seperti permen dan coklat .

- Fry Shiled yang dipatenkan oleh Kerry Ingradientt, Beloit, WI dan Hercules, Wilmington,DE, terdiri dari pektin, remah-remahan roti dan kalsium, digunakan untuk mengurangi lemak pada saat penggorengan, seperti pada penggorengan french fries.

- Film Zein dapat bersifat sebagai barrier untuk uap air dan gas pada kacang-kacangan atau buah-buahan. Diaplikasikan pada kismis untuk sereal sarapan siap santap (ready to eat- breakfast cereal).

3. Sebagai Pengikat (Binding)

Edible film juga dapat diaplikasikan pada snack atau crackers yang diberi bumbu, yaitu sebagai pengikat atau adhesif dari bumbu yang diberikan agar dapat lebih melekat pada produk. Pelapisan ini berguna untuk mengurangi lemak pada bahan yang digoreng dengan penambahan bumbu-bumbu.

4. Pelapis (Glaze)

Edible film dapat bersifat sebagai pelapis untuk meningkatkan penampilan dari produk-produk bakery, yaitu untuk menggantikan pelapisan dengan telur. Keuntungan dari pelapisan dengan edible film, adalah dapat menghindari masuknya mikroba yang dapat terjadi jika dilapisi dengan telur.


(35)

2.5 ANALISA BIAYA PRODUKSI EDIBLE FILM

Analisa biaya produksi ini hanya menghitung biaya untuk bahan baku dan daya listrik yang digunakan.

Harga kacang kedelai = Rp 10.000/kg Harga tepung tapioka = Rp 4.000/kg Harga gliserol teknis = Rp 16.000/liter

Jumlah bahan yang digunakan setiap sampel penelitian:

Kacang kedelai 75 gram = 0,075 x Rp 10.000/kg = Rp 750,- Tepung tapioka 10 gram = 0,01 x Rp 4.000/kg = Rp 40,- Harga gliserol teknis 2 ml = 0,002 x Rp 16.000/liter = Rp 32,-

Jumlah edible film yang bisa dihasilkan setiap 1 run penelitian = 12 lembar edible film dengan ukuran 5x5 cm ketebalan 0,294 mm.

Asumsi: Harga jual edible film dengan ukuran 5x5 cm = Rp 200,-/lembar. Tarif dasar listrik per kWh = Rp 600,-

Daya untuk pengaduk magnetic 0,02 kW. Waktu pemakaian blender 0,1 jam Biaya listrik untuk magnetic stirrer = 0,2 kW x 0,1 h x Rp 600,- = Rp 12,- Daya untuk hotplate 0,23 kW. Waktu pemakaian blender 0,25 jam

Biaya listrik untuk magnetic stirrer = 0,23 kW x 0,25 h x Rp 600,- = Rp 34,5

Hasil yang diperoleh adalah harga penjualan edible film dikurangi biaya pembelian bahan baku dan biaya listrik.

Hasil perolehan = (Rp 200 x 12) – ( Rp 750 + Rp 40 + Rp 32 + Rp 12 + Rp 34,5) =Rp 1541,5

Dari analisa biaya produksi edible film dapat dilihat bahwa proses pembuatan edible film dari kacang kedelai memberikan nilai tambah. Oleh karena itu, proses ini baik untuk dikembangkan, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis dari kacang kedelai.


(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Proses Industri Kimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 BAHAN DAN PERALATAN

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai, tepung tapioka dan gliserol.

Peralatan yang digunakan adalah blender, kain saring, panci, kompor gas, magnetic stirer, hot plate, oven, pH meter, beaker gelas, gelas ukur, termometer, timbangan, dan cetakan.

3.3 DIAGRAM KERJA

Gambar 3.1. Diagram Kerja Pembuatan Edible Film Dari Ekstrak Kacang Kedelai dengan Penambahan Tepung Tapioka dan Gliserol

3.4 PROSEDUR KERJA 3.4.1 Pembuatan Susu Kedelai

Pembuatan susu kedelai merupakan ekstraksi protein kedelai dengan menggunakan air. Adapun perbandingan biji kedelai dengan air berdasarkan berat yang digunakan dalam pembuatan susu kedelai adalah 1: 6. Prosedur pembuatan susu kedelai ini mengacu kepada penelitian yang pernah dibuat oleh Yoyo (1995).

Penyiapan Kacang Kedelai

Pembuatan Susu Kedelai

Edible Film Pembuatan Edible Film


(37)

Adapun prosedur pembuatan susu kedelai adalah sebagai berikut: 1. Kacang kedelai dipilih dan ditimbang 75 gr, dibersihkan dan dicuci.

2. Kacang direndam dengan menggunakan air mendidih selama 60 detik sambil terus diaduk menggunakan pengaduk kayu.

3. Kacang kedelai ditambahkan air panas (90oC) sebanyak 450 ml lalu dihancurkan dengan menggunakan blender.

4. Kemudian bubur kedelai yang diperoleh dimasak dalam panci terbuka dengan suhu 95-98oC sambil terus diaduk menggunakan pengaduk kayu selama 10 menit. 5. Kemudian disaring dan diperas dengan menggunakan kain saring untuk

mendapatkan susu kedelai.

6. Susu kedelai didinginkan sampai mencapai suhu ruangan. 3.4.2 Pembuatan Edible Film

Prosedur pembuatan susu kedelai ini mengacu kepada penelitian yang pernah dibuat oleh Sulastini (2011). Adapun prosedur pembuatan edible film dari campuran ekstrak kacang kedelai dengan tepung tapioka dan gliserol adalah sebagai berikut: 1. Sebanyak 100 ml susu kedelai dimasukkan ke dalam beaker gelas.

2. Ditimbang tepung tapioka 10 gr lalu dimasukkan ke dalam beaker gelas dan diaduk sampai larut.

3. Campuran dipanaskan di atas hotplate sambil diaduk dengan menggunakan stirrer sampai mencapai suhu 60oC.

4. Ditambahkan gliserol 2 ml.

5. Diaduk kembali sampai semua campuran homogen sampai mencapai suhu 65-70oC.

6. Kemudian larutan dituang ke dalam cetakan kaca akrilik dengan ukuran 20 x 20 cm dengan ketebalan 2 mm dan diratakan dengan menggunakan penggaris. 7. Dikeringkan di dalam oven selama ± 24 jam pada suhu 40oC.


(38)

3.5 PENGUJIAN SIFAT FISIK EDIBLE FILM KACANG KEDELAI

Secara umum parameter sifat fisik yang penting yang diukur dan diamati dari edible film berbahan dasar kacang kedelai pada penelitian ini adalah ketebalan dari edible film, kekuatan tarik (tensile strength) dan persen pemanjangan saat pemutusan (elongation at break).

3.5.1 Pengujian Ketebalan

Edible film yang dihasilkan diukur ketebalannya dengan menggunakan mikrometer (ketelitian 0,01 mm) dengan cara menempatkan film di antara rahang mikrometer. Pengukuran dilakukan pada lima tempat yang berbeda kemudian dihitung ketebalan rata-rata edible film.

3.5.2 Pengujian kekuatan Tarik (Tensile Strength)

Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan polimer terpenting dan sering digunakan untuk karakteristik suatu bahan polimer. Kekuatan tarik suatu bahan didefenisikan sebagai besarnya beban maksimum (Fmaks) yang digunakan

untuk memutuskan spesimennya bahan dibagi dengan luas penampang awal (Ao). Perhitungan Uji Kekuatan Tarik:

Keterangan : F = Gaya kekuatan tarik (N) Load = Tegangan (KgF)

Ao = Luas spesimen (mm2)

3.5.3 Persen Pemanjangan saat Pemutusan (Elongation at break)

Persentase pemanjangan ditentukan berdasarkan pada penambahan panjang film pada saat putus. Nilai pemanjangan (% elongation at break) diukur berdasarkan rumus:

Keterangan : Stroke = Regangan (mm/menit)

lo = Panjang sampel mula-mula (mm)

Kekuatan Tarik =

o o maks A Load A F

% Elongation at break = x100% lo


(39)

3.6 FLOWCHART PROSEDUR PENELITIAN 3.6.1 Flowchart Pembuatan Susu Kedelai

Adapun prosedur pembuatan susu kedelai dapat dilihat dari flowchart berikut:

Mulai

Kacang kedelai ditimbang sebanyak 75 gr

Dibersihkan dan dicuci

Direndam dalam air mendidih selama 60 detik

Ditambah air panas (90oC) sebanyak 450 ml

Dihancurkan dengan menggunakan blender

Dimasak sambil diaduk selama 10 menit (95-98oC)

Disaring

Didinginkan sampai suhu kamar

Selesai

Gambar 3.2. Flowchart Pembuatan Susu kedelai [10]


(40)

Adapun prosedur pembuatan edible film dari protein kacang kedelai dengan penambahan tepung tapioka dan gliserol dapat dilihat dari flowchart berikut ini:

Mulai

Ditambahkan 10 gr tepung tapioka

100 ml susu kedelai dimasukkan ke dalam beaker gelas

Diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer

Larutan tersebut diaduk dan dipanaskan di atas hot plate sampai suhu 60oC

Ditambahkan gliserol 2 ml

Diaduk sampai homogen Larutan dicetak dan dikeringkan pada

suhu 400C selama 24 jam

Apakah masih ada variasi lain?

Selesai Tidak

Ya


(41)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PENGARUH PENAMBAHAN GLISEROL TERHADAP KETEBALAN EDIBLE FILM

Histogram hubungan penambahan gliserol dengan ketebalan edible film dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.1. Histogram Hubungan Penambahan Gliserol dengan Ketebalan Edible

Film

Ketebalan merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap penggunaan film dalam pembentukan produk yang akan dikemasnya. Ketebalan dapat mempengaruhi laju trnsmisi uap, gas, dan senyawa volatil serta sifat fisik lainnya seperti kekuatan tarik dan pemanjangan pada saat putus edible film yang dihasilkan.

Dari histogram di atas dapat dilihat bahwa penambahan gliserol berbanding lurus dengan ketebalan film yang diperoleh. Ketebalan edible film yang dihasilkan meningkat dengan penambahan gliserol. Dengan jumlah protein yang relatif sama dalam tiap jenis film, maka makin tinggi penambahan gliserol makin tinggi pula kandungan film sehingga makin tebal film yang dihasilkan, demikian juga sebaliknya


(42)

makin sedikit penambahan gliserol makin rendah pula kandungan film sehingga makin tipis film yang dihasilkan [10].

Dibandingkan dengan standar ketebalan film sebagai pengemas makanan hasil penelitian ini sudah layak digunakan sebagai pengemas makanan karena telah mencapai standar yang ditentukan yaitu maksimal 0,3 mm. Menurut Poeloengsih (2003) melaporkan hasil penelitian edible film yang dibuat komposit protein biji kecipir 2,5% (b/v), tapioka 1% (b/v), sorbitol 1% (b/v) dan variasi asam palmitat 0%-8% memiliki ketebalan 0,096 mm – 0,104 mm [27]. Sedangkan menurut Yoyo (1995) melaporkan hasil penelitian edible film yang dibuat dari kacang kedelai dengan variasi gliserol 4%-10% dan tanpa penambahan tapioka memiliki ketebalan 0,1730 mm - 0,2943 mm [10]. Perbedaan ketebalan antara berbagai jenis film tersebut disebabkan komposisi formula film yang berbeda.

4.2 PENGARUH KETEBALAN EDIBLE FILM TERHADAP KEKUATAN TARIK EDIBLE FILM

Histogram hubungan ketebalan edible film terhadap kekuatan tarik edible film dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.2. Histogram Hubungan Ketebalan Edible Film Terhadap Kekuatan Tarik Edible Film


(43)

Kekuatan tarik pada penelitian ini diuji dengan menggunakan Torsee’s Electronic System Universal Testing Machine dengan kecepatan 20 mm/menit dan beban 100 kgf. Sebelum diuji sampel terlebih dahulu dicetak dengan menggunakan ASTM D-882. Setiap sampel dicetak sebanyak 3 dan diambil rata-rata dari pengujian tersebut. Data dari pengukuran kekuatan tarik dapat dilihat pada lampiran A. Dari data tersebut sehingga diperoleh histogram pada gambar 4.2.

Dari histogram di atas secara keseluruhan dapat dilihat bahwa ketebalan edible film berbanding terbalik dengan kekuatan tarik edible film yang dihasilkan. Kekuatan tarik menurun dengan meningkatnya ketebalan dari edible film. Pada ketebalan 0,228 mm diperoleh kekuatan tarik 0,134 MPa, sedangkan pada ketebalan 0,248 mm diperoleh kekuatan tarik 0,088 MPa. Kekuatan tarik menurun terus pada ketebalan 0,274 mm dan 0,294 mm dengan kekuatan tarik 0,072 MPa dan 0,048 MPa.

Penambahan gliserol akan meningkatkan ketebalan edible film yang dihasilkan sehingga dengan semakin bertambahnya ketebalan edible film yang dihasilkan akan menurunkan kekuatan tarik edible film. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan tarik dari edible film yang dihasilkan berbanding terbalik dengan ketebalan.


(44)

4.3 PENGARUH KETEBALAN EDIBLE FILM TERHADAP PEMANJANGAN SAAT PEMUTUSAN EDIBLE FILM

Histogram hubungan ketebalan edible film terhadap pemanjangan saat pemutusan edible film dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.3. Histogram Hubungan Ketebalan Edible Film Terhadap Pemanjangan Saat Pemutusan Edible Film

Pemanjangan pada saat putus menunjukkan perubahan panjang film maksimum saat memperoleh gaya tarik sampai film putus dibandingkan dengan panjang awalnya.

Dari histogram di atas menunjukkan bahwa ketebalan film berbanding lurus dengan pemanjangan saat pemutusan edible film. Pemanjangan pada saat putus yang dihasilkan semakin meningkat dengan meningkatnya ketebalan. Pada ketebalan 0,208 mm diperoleh pemanjangan pada saat putus 1,839%, sedangkan pada ketebalan 0,228 mm diperoleh pemanjangan pada saat putus 3,270%. Pemanjangan pada saat putus terus meningkat seiring pada meningkatnya ketebalan 0,248 mm; 0,274 mm dan 0,294 mm yaitu 3,842 %; 5,779 % dan 6,158 %.

Berdasarkan uraian di atas bahwa ketebalan edible film juga mempengaruhi pemanjangan pada saat putus yang dihasilkan. Reduksi interaksi intermolekuler rantai protein terjadi disebabkan oleh penambahan gliserol, molekul plasticizer akan mengganggu kekompakan pati, menurunkan interaksi intermolekul dan


(45)

meningkatkan mobilitas polimer. Selanjutnya menyebabkan peningkatan pemanjangan pada saat putus seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol [29].

Penambahan gliserol akan meningkatkan ketebalan edible film yang dihasilkan sehingga dengan semakin bertambahnya ketebalan edible film yang dihasilkan akan meningkatkan pemanjangan pada saat putus edible film. Hal ini menunjukkan bahwa pemanjangan pada saat putus dari edible film yang dihasilkan berbanding lurus dengan ketebalan.

4.4 ANALISA GUGUS FUNGSI DENGAN MENGGUNAKAN FTIR

(FOURIER TRANSFORMED INFRA RED)

FTIR merupakan alat untuk mengidentifikasi gugus fungsi bahan, identifikasi jenis polimer, dan surface layer analysis system menggunakan ATR. Pada penelitian ini dilakukan analisa gugus fungsi pada sampel kacang kedelai, tepung tapioka, dan edible film yang dihasilkan. Gugus fungsi pada grafik FTIR dapat dianalisa dengan menggunakan tabel daerah gugus fungsi di bawah ini.

Tabel 4.1 Tabel Daerah Gugus Fungsi [30]

Ikatan Tipe Senyawa Daerah

Frekuensi (cm-1) Intensitas

C-H Alkana 2850-2970 Kuat

1340-1470 Kuat

C-H Alkena 3010-3095 Sedang

675-995 Kuat

C-H Alkuna 3300 Kuat

C-H Cincin Aromatik 3010-3100 Sedang

690-900 Kuat

O-H

Fenol, monomer alkohol, alkohol ikatan hidrogen

3590-3650 Berubah-ubah 3200-3600 Melebar Monomer asam karboksilat,

ikatan hidrogen asam karboksilat

3500-3650 Sedang

2500-2700 Melebar

N-H Amina, Amida 3300-3500 Sedang

C=C Alkena 1610-1680 Berubah-ubah


(46)

CC Alkuna 2100-2260 Berubah-ubah

C-N Amina, Amida 1180-1360 Kuat

CN Nitril 2210-2280 Kuat

C-O Alkohol, Eter, Asam

Karboksilat, Ester 1050-1300 Kuat

C=O Aldehid, Keton,Asam

Karboksilat, Ester 1690-1760 Kuat

CO2 Senyawa Nitro

1500-1570 Kuat

1300-1370 Kuat

4.4.1 Analisa FTIR (Fourier Transformed Infra Red) Kacang Kedelai

Hasil analisa FTIR dari kacang kedelai dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4.4. Grafik Hasil Analisa FTIR Kacang Kedelai

Gambar di atas merupakan hasil pengukuran FTIR kacang kedelai yang merupakan bahan baku pembuatan edible film. Kacang kedelai mengandung 35-50 % protein. Dari grafik di atas dapat kita lihat bahwa pada puncak 1743,65 cm-1 dan 1651,07 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C=O yang merupakan bagian dari amida I. Sedangkan pada puncak 1242,16 cm-1 merupakan adanya ikatan amida II yaitu ikatan


(47)

N-H. Kedua ikatan C=O dan N-H menunjukkan bahwa adanya protein yang terkandung dalam sampel kacang kedelai. Pada penyerapan 2924,09 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C-H yang secara umum merupakan karakteristik grup aldehid. Pada penyerapan 3294,42 – 4335,98 cm-1 menunjukkan adanya ikatan hidrogen yang terletak mengikat kedua struktur yang berbeda yaitu ikatan amida I dan amida II [30].

4.4.2 Analisa FTIR (Fourier Transformed Infra Red) Tepung Tapioka

Hasil analisa FTIR dari tepung tapioka dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4.5. Grafik Hasil Analisa FTIR Tepung Tapioka

Gambar di atas merupakan hasil pengukuran FTIR tepung tapioka yang merupakan bahan pembuatan edible film. Pada grafik di atas dapat kita lihat pada puncak 4312,83 - 3363,86 cm-1 menunjukkan adanya ikatan hidrogen (O-H). Pada penyerapan 2931,8 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C-H yang lemah. Sedangkan pada puncak 1643,35 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C=O dan C-N. Karbohidrat terdapat kuat pada penyerapan 1160-1000 cm-1 yang merupakan ikatan C-O pada grup C-O-C. Pada penyerapan 960-730 cm-1 menunjukkan karakteristik dari berbagai tipe karbohidrat yang berbeda [28].


(48)

4.4.3Analisa FTIR (Fourier Transformed Infra Red) Edible Film

Hasil analisa FTIR dari edible film ekstrak kacang kedelai dengan penambahan tepung tapioka dan gliserol sebagai bahan pengemas makanan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4.6. Grafik Hasil Analisa FTIR Edible Film kacang kedelai

Gambar di atas merupakan hasil pengukuran FTIR edible film dari ekstrak kacang kedelai dengan penambahan kacang kedelai dan gliserol sebagai bahan pengemas makanan. Pada grafik di atas dapat kita lihat pada puncak 3533,59 cm-1 menunjukkan adanya gabungan ikatan O-H dengan ikatan intermolekul H dan ikatan intramolekul N-H. Pada penyerapan 2970,38 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C-H yang secara umum merupakan karakteristik grup aldehid demikian juga dengan penyerapan 1697,36 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C=O. Pada penyerapan 1473,62 cm-1 menunjukkan adanya ikatan N-H pada fase padat. Pada penyerapan 1172,72 cm-1 menunjukkan adanya ikatan karbonil C-O [31].


(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Penambahan gliserol dapat mempengaruhi ketebalan edible film yang dihasilkan, semakin tinggi gliserol yang ditambahkan maka semakin tinggi pula ketebalan edible film yang dihasilkan.

2. Penambahan gliserol dapat juga mempengaruhi kekuatan tarik dari edible film yang dihasilkan, semakin banyak gliserol yang ditambahkan maka kekuatan tariknya semakin kecil dan diperoleh kekuatan tarik paling tinggi saat penambahan 4 ml gliserol/ 100 ml susu kedelai.

3. Penambahan gliserol juga mempengaruhi % elongation at break (pemanjangan saat pemutusan), semakin banyak gliserol yang ditambahkan maka % elongation at break semakin besar.

5.2 SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan adalah:

1. Proses pengeringan edible film sangat perlu diperhatikan, semakin tinggi suhu yang digunakan dapat menyebabkan film menjadi retak-retak dan suhu pengeringan dijaga konstan supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. 2. Untuk penelitian selanjutnya, dapat dilakukan untuk variasi bahan baku dan

sebaiknya menghilangkan gas terlarut dalam larutan sebelum dicetak, seperti pompa vakum untuk menghasilkan edible film yang lebih baik.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

[1] PT Lion Superindo. 2008.

[2] Adiwijaya, Michael. 2009. Peran Pemerintah, Industri Ritel, dan Masyarakat dalam Membatasi Penggunaan Kantong Plastik Sebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Lingkungan. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra.

[3] Krochta and De Mulder Johnston. 1997. Edible and Biodegradable Polymer Film: Changes & Opportunities. Food Technology 51

[4] Suprapto. Bertanam Keledai. Penebar Swadaya. Medan. 2011.

[5] Bourtoon, T. 2007. Effect of Some Process parameters on The Properties of Edible Film Prepared From Starch. Department of Material Product Technology, Songkhala.

[6] Hui, Y.H. 2006. Handbook of Food Science, Technology, and Engineering. Volume I. USA: CRC Press.

[7] Sutomo, B. 2008. Variasi Mi dan Pasta. Jakarta: Kawan Pustaka.

[8] Evi Suliastini. Pembuatan Edible Film dari Campuran Kanji, Ekstrak Pepaya sebagai Bahan Pengemas. Skripsi. Departemen Kimia Universitas Sumatera Utara. Medan. 2011.

[9] Arinda Rachmawati. Ekstraksi dan Karakterisasi Cincau Hijau untuk Pembuatan Edible Film. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2009.

[10] Yoyo, T. 1995. Mempelajari Karakteristik Fisik Edible Film Dari Protein Kedelai. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.


(51)

[11] Layuk, P, M. Lintang, G.H. Yoseph, M.M. Rumoki, R. Novarianto, dan J.G. Kindangen. 2002. Pasca Panen dan Pengolahan Kedelai. Balai pengkajian Teknologi pertanian Sulawesi Utara.

[12] Suprapti, L. 2005. Tepung Tapioka. Yogyakarta: Kanisius.

[13] Tjokroadikoesoemo, P. Soebiyanto. 1986. HFS dan Industri Ubi KayuLainnya. PT.Gramedia. Jakarta.

[14] Ab Christoph. 2006. Gliserol Ultimann’s Encyclopedia Of Chemical Industry. USA : Inc.

[15] Austin, T. 1985. Shenrve’s Chemistry Process Industries. Fourth Edition. New York: McGraw Hill Book Company.

[16] Anonymous. 2006. Glycerine. www. Pioneerthingking.com/glycerine.hmtl. Diakses tanggal 15 Juni 2012.

[17] Bhat, S.G. 1990. Oleic Acid a Value Added product From Palm Oil. The Conference Chemistry Technology. Kuala Lumpur: PORIM.

[18] Finar, L. 1959. Organic Chemistry : Stereochemistry And The Chemistry of Natural Product. California: Longsman Green.

[19] Kester , J.J., dan Fennema, O.R., 1986. Edible film and Coatings: a Review. Food Technology (51).

[20] Donhowe, I. G; dan O. R. Fennema. 1994. water vapour and oxygen permeability of wax film. J. Am. Oil. Sci. 70(9):867-873.

[21] Guilbert, S. 1993. Technology and Aplication of Edible Protective Films In Packging and Preservation. New York: Applied Science.


(52)

[22] Mchugh. 1994. Permeability of Edible Film. Lancaster: Technomic Publishing Co,inc.

[23] Fennema, O.R., 1976. Principles of Food Science. Marcel Dekker, Inc., Basset. [24] Winarno, F.G.1992. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia. [25] Gontard,N.,Guilbert,S.,Cuq.J.L.,1993. Water and Glyserol as plasticizer Affect

Mechanical and Water Barrier Properties at an Edible Wheat Gluten Film. J. Food Science. 58 (1): 206-211.

[26] Syarief, Rizal; Sasya Sentausa; St Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan san Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor.

[27] Poeloengasih, C.D., 2003. Karakteristik Edible Film komposit Protein Biji kecipir (Psophocarpus tetregonolobus (L) DC) dan Tapioka. Tesis. Yogyakarta: Program pascasarjana Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan UGM. [28] Rodrigues, Arturo. 2010. Fundamentals and Characterization of Fungally

Modified Polysaccharides for the Production of Bio plastics. Graduate Department of Forestry. University of Toronto.

[29] Rodrigues, M., J., Ose’s, K. Ziani dan J.I. Mate. 2006. Conbined effect of plasticizer and surfactans on the physical properties of Strach based ediblw films. Food Research International. 39:840-846.

[30] Douglas A. Skoog, F. James Hooler, Stanley R. Crouch. Principle of Instrumental Analysis (California: Brooks/Cole, 2007).

[31] Byler, D.M. dan Susi, H. 1986. Biopolymers. Food Research International. 25:469-487.


(53)

[32] Emad, dkk. 2007. Preparation and Characterization of Soy protein Based Edible/Biodegradable Films. American Journal of Food Technology 2 (6): 462-476.


(54)

LAMPIRAN 1

DATA PERCOBAAN

L1.1 DATA PERCOBAAN HASIL PENGUKURAN KETEBALAN (MM) EDIBLE FILM

Tabel L1.1. Data Percobaan Hasil Pengukuran Ketebalan (mm) Edible Film

No. Gliserol (ml/100 ml susu

kedelai) Ketebalan (mm)

1 2

0,20 0,21 0,20 0,21 0,22 0,208 ± 0,01

2 4

0,23 0,22 0,23 0,22 0,24 0,228 ± 0,01

3 6

0,25 0,24 0,25 0,24 0,26 0,248 ± 0,01

4 8

0,26 0,28 0,26 0,28 0,29 0,274 ± 0,01

5 110

0,28 0,30 0,28 0,30 0,31 0,294 ± 0,01


(55)

L1.2 DATA PERCOBAAN LOAD DAN STROKE

Tabel L1.2. Data Percobaan Load dan Stroke No Gliserol (ml/100 ml

susu kedelai)

Load (kgf)

Stroke (mm/menit)

1 2 0,06 2,67

0,08 1,72

0,06 1,68

2 4 0,12 4,66

0,08 2,74

0,10 3,39

3 6 0,07 5,03

0,07 3,39

0,06 4,26

4 8 0,04 5,46

0,08 7,36

0,06 6,25

5 10 0,06 6,83

0,03 6,29


(56)

L1.3 DATA PERCOBAAN HASIL PENGUKURAN TENSILE STRENGTH (MPA) EDIBLE FILM

Tabel L1.3. Data Percobaan Hasil Pengukuran Tensile Strength (MPa) Edible Film No Gliserol (ml/100 ml susu kedelai) Tensile Strength (MPa)

1 2

0,0943 0,1257 0,0943

Rata-rata 0,1048

2 4

0,1720 0,1147 0,1147

Rata-rata 0,1338

3 6

0,0923 0,0923 0,0791

Rata-rata 0,0879

4 8

0,0477 0,0954 0,0716

Rata-rata 0,0716

5 10

0,0667 0,0334 0,0445


(57)

L1.4 DATA PERCOBAAN HASIL PENGUKURAN ELONGATION AT BREAK (%) EDIBLE FILM

Tabel L1.4. Data Percobaan Hasil Pengukuran Elongation at Break (%) Edible Film No Gliserol (ml/100 ml susu kedelai) Elongation at Break (%)

1 2

2,4273 1,5636 1,5273

Rata-rata 1,8394

2 4

4,2364 2,4909 3,0818

Rata-rata 3,2697

3 6

4,5727 3,0818 3,8727

Rata-rata 3,8424

4 8

4,9636 6,6909 5,6818

Rata-rata 5,7788

5 10

6,2091 5,7182 6,5455


(58)

L1.5 DATA HASIL UJI FTIR

L.1.5.1 Data Hasil Uji FTIR Kacang Kedelai


(59)

L.1.5.2 Data Hasil Uji FTIR Tepung Tapioka


(60)

L.1.5.3 Data Hasil Uji FTIR Edible Film Kacang Kedelai


(61)

LAMPIRAN 2

CONTOH PERHITUNGAN

L2.1 PERHITUNGAN KEKUATAN TARIK (TENSILE STRENGTH)

Penentuan kekuatan tarik Edible Film dari ekstrak kacang kedelai dengan pati dan gliserol sebagai pengemas makanan pada variasi gliserol 2 ml/100 ml susu kedelai dengan 3 perlakuan:

a. Sampel a

Load = 0,06 KgF

Lebar Sampel = 30 mm Tebal Sampel = 0,208 mm

Maka, diperoleh Ao = Lebar Sampel x Tebal Sampel = 30 mm x 0,208 mm

= 6,240 mm2 Sehingga diperoleh,

Kekuatan tarik =

=

= 0,0096 KgF/mm2 1 KgF/mm2 = 9,80655 MPa

Maka, Kekuatan tarik = 0,0096 x 9,80655 = 0,0943 MPa

b. Sampel b

Load = 0,08 KgF

Lebar Sampel = 30 mm Tebal Sampel = 0,208 mm

Maka, diperoleh Ao = Lebar Sampel x Tebal Sampel = 30 mm x 0,208 mm

= 6,240 mm2 Sehingga diperoleh,

Kekuatan tarik =

=

= 0,0128 KgF/mm2


(62)

1 KgF/mm2 = 9,80655 MPa

Maka, Kekuatan tarik = 0,0128 x 9,80655 = 0,1257 MPa c. Sampel c

Load = 0,06 KgF

Lebar Sampel = 30 mm Tebal Sampel = 0,208 mm

Maka, diperoleh Ao = Lebar Sampel x Tebal Sampel = 30 mm x 0,208 mm

= 6,240 mm2 Sehingga diperoleh,

Kekuatan tarik =

=

= 0,0096 KgF/mm2 1 KgF/mm2 = 9,80655 MPa

Maka, Kekuatan tarik = 0,0096 x 9,80655 = 0,0943 MPa

Dari variasi gliserol 2 ml/100 ml susu kedelai diperoleh rata-rata kekuatan tarik dari 3 perlakuan:

Rata-rata = = 0,1048 MPa

L2.2 PERHITUNGAN PEMANJANGAN SAAT PEMUTUSAN

(ELONGATION AT BREAK)

Penentuan Pemanjangan saat pemutusan Edible Film dari ekstrak kacang kedelai dengan pati dan gliserol sebagai pengemas makanan pada variasi gliserol 2 ml/100 ml susu kedelai dengan 3 perlakuan:

a. Sampel a

Stroke = 2,67 mm/menit

Panjang sampel mula-mula (lo) = 110 mm Elongation = = x 100% = 2,4273 %


(63)

b. Sampel b

Stroke = 1,72 mm/menit

Panjang sampel mula-mula (lo) = 110 mm Elongation = = x 100% = 1,5636 %

c. Sampel c

Stroke = 1,68 mm/menit

Panjang sampel mula-mula (lo) = 110 mm Elongation = = x 100% = 1,5273 %

Dari variasi gliserol 2 ml/100 ml susu kedelai diperoleh rata-rata Elongation dari 3 perlakuan:


(64)

LAMPIRAN 3

DOKUMENTASI PENELITIAN

L3.1 PENYIAPAN KACANG KEDELAI

Gambar L3.1. Kacang Kedelai

L3.2PERENDAMAN KACANG KEDELAI

Gambar L3.2. Perendaman Kacang Kedelai

L3.3 PENGHANCURAN KACANG KEDELAI


(65)

L3.4 PEMBUATAN SUSU KEDELAI

Gambar L3.4. Pembuatan Susu Kedelai

L3.5 PEMBUATAN EDIBLE FILM

Gambar L3.5. Pembuatan Edible Film

L3.6 EDIBLE FILM

Gambar L3.6. Film 2 % Gambar L3.7. Film 4 %


(66)

Gambar L3.10. Film 10 % L3.7 ALAT UKUR KETEBALAN FILM

Gambar L3.11. Mikrometer Digital Mitutoyo

L3.8 ALAT UJI KUAT TARIK DAN PEMANJANGAN SAAT PEMUTUSAN

Gambar L3.12. Torsee’s Electronic System Universal Testing Machine L3.9 ALAT UJI FTIR (FOURIER TRANSFORMED INFRA RED)


(1)

LAMPIRAN 2

CONTOH PERHITUNGAN

L2.1 PERHITUNGAN KEKUATAN TARIK (TENSILE STRENGTH)

Penentuan kekuatan tarik Edible Film dari ekstrak kacang kedelai dengan pati dan gliserol sebagai pengemas makanan pada variasi gliserol 2 ml/100 ml susu kedelai dengan 3 perlakuan:

a. Sampel a

Load = 0,06 KgF

Lebar Sampel = 30 mm Tebal Sampel = 0,208 mm

Maka, diperoleh Ao = Lebar Sampel x Tebal Sampel = 30 mm x 0,208 mm

= 6,240 mm2 Sehingga diperoleh,

Kekuatan tarik =

=

= 0,0096 KgF/mm2 1 KgF/mm2 = 9,80655 MPa

Maka, Kekuatan tarik = 0,0096 x 9,80655 = 0,0943 MPa

b. Sampel b

Load = 0,08 KgF

Lebar Sampel = 30 mm Tebal Sampel = 0,208 mm

Maka, diperoleh Ao = Lebar Sampel x Tebal Sampel = 30 mm x 0,208 mm

= 6,240 mm2 Sehingga diperoleh,


(2)

1 KgF/mm2 = 9,80655 MPa

Maka, Kekuatan tarik = 0,0128 x 9,80655 = 0,1257 MPa

c. Sampel c

Load = 0,06 KgF

Lebar Sampel = 30 mm Tebal Sampel = 0,208 mm

Maka, diperoleh Ao = Lebar Sampel x Tebal Sampel = 30 mm x 0,208 mm

= 6,240 mm2 Sehingga diperoleh,

Kekuatan tarik =

=

= 0,0096 KgF/mm2 1 KgF/mm2 = 9,80655 MPa

Maka, Kekuatan tarik = 0,0096 x 9,80655 = 0,0943 MPa

Dari variasi gliserol 2 ml/100 ml susu kedelai diperoleh rata-rata kekuatan tarik dari 3 perlakuan:

Rata-rata = = 0,1048 MPa

L2.2 PERHITUNGAN PEMANJANGAN SAAT PEMUTUSAN

(ELONGATION AT BREAK)

Penentuan Pemanjangan saat pemutusan Edible Film dari ekstrak kacang kedelai dengan pati dan gliserol sebagai pengemas makanan pada variasi gliserol 2 ml/100 ml susu kedelai dengan 3 perlakuan:

a. Sampel a

Stroke = 2,67 mm/menit

Panjang sampel mula-mula (lo) = 110 mm Elongation = = x 100% = 2,4273 %


(3)

b. Sampel b

Stroke = 1,72 mm/menit

Panjang sampel mula-mula (lo) = 110 mm Elongation = = x 100% = 1,5636 %

c. Sampel c

Stroke = 1,68 mm/menit

Panjang sampel mula-mula (lo) = 110 mm Elongation = = x 100% = 1,5273 %

Dari variasi gliserol 2 ml/100 ml susu kedelai diperoleh rata-rata Elongation dari 3 perlakuan:


(4)

LAMPIRAN 3

DOKUMENTASI PENELITIAN

L3.1 PENYIAPAN KACANG KEDELAI

Gambar L3.1. Kacang Kedelai

L3.2PERENDAMAN KACANG KEDELAI

Gambar L3.2. Perendaman Kacang Kedelai

L3.3 PENGHANCURAN KACANG KEDELAI


(5)

L3.4 PEMBUATAN SUSU KEDELAI

Gambar L3.4. Pembuatan Susu Kedelai

L3.5 PEMBUATAN EDIBLE FILM

Gambar L3.5. Pembuatan Edible Film

L3.6 EDIBLE FILM


(6)

Gambar L3.10. Film 10 %

L3.7 ALAT UKUR KETEBALAN FILM

Gambar L3.11. Mikrometer Digital Mitutoyo

L3.8 ALAT UJI KUAT TARIK DAN PEMANJANGAN SAAT PEMUTUSAN

Gambar L3.12. Torsee’s Electronic System Universal Testing Machine

L3.9 ALAT UJI FTIR (FOURIER TRANSFORMED INFRA RED)