Alergenisitas Protein Kacang Kedelai dan Kacang Bogor Terglikasi Selama Pengolahan

ALERGENISIT AS PROTEIN KACANG KEDELAI DAN
KACANG BOGOR TERGLIKASI SELAMA PENGOLAHAN
(Allergenicity ofGlycated Soybean and Bogor Peanut Protein during Processing)
Nurheni Sri PaIupil), Feri Kusnandarl), Sri Rebbeca Sitorus2 )
I)
2)

Dep. I1mu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB .
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia

ABSTRAK
Kacang kedelai merupakan salah satu penyebab utama alergi pada anak-anak maupun
orang dewasa di berbagai negara. Kacang bogor juga dilaporkan mengandung protein
alergen, sehingga penting mengetahui cara pengolahannya untuk meminimalkan tingkat
alergenitasnya. Proses pengolahan yang memungkinkan terjadinya reaksi glikasi diduga
berpengaruh pada tingkat alergenisitas bahan pangan. Glikasi merupakan reaksi
pengikatan gugus gula pada gugus lateral asam amino dalam suatu protein secara non
enzimatis. Tingkat glikasi akibat proses pengolahan berpengaruh pada sifat hidrofobisitas
suatu protein. Penelitian ini dilakukan untuk menguji alergenisitas protein kacang kedelai
dan kacang bogor yang terglikasi selama pengolahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengisolasi protein alergen dalam kacang kedelai dan kacang bogor yang diolah dengan

pemanasan basah (perebusan, pengukusan) dan pemanasan kering (penyangraian dan
pengeringan oven) serta mengkarakterisasi sifat kimia isolat protein alergen dengan
metode uji SDS-PAGE dan immunoblotting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses
pengolahan mempengaruhi profil elektroforesis isolat protein kacang kedelai dan kacang
bogor. Berat molekul protein isolat protein kacang kedelai dan kacang bogor bervariasi
akibat proses pengolahan. Sifat alergenisitas isolat protein diprediksi dipengaruhi oleh
perubahan berat molekul protein pada isolat kacang kedelai dan kacang bogor akibat
diterapkannya berbagai cara pengolahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
protein terglikasi selama pengolahan menentukan alergenisitas.
Kata kunci : kacang kedelai, kacang bogor, alergi, glikasi

ABSTRACT
Soybean is one of the main causes of allergies in children and adults in many countries.
Bogor peanut is also reported to contain peanut protein allergens, so it is important to
know the processing method to minimize level of allergen in food . Processing method
that causes glycation reaction is suspected effect on the level of allergen in food.
Glycation is a non-enzymatic reaction of the binding of the sugar groups on the lateral
groups of amino acids in a protein. Glycation level affects the protein hydrophobicity.
This study was aimed to test the allergenicity of glycated soybean and Bogor peanut
protein during processing. The purpose of the study is to isolate the protein allergens in

soybeans and Bogor peanuts processed with wet (boiled and steamed) and dry heating
(roasted and oven) and characterize the profile of the allergen protein with SDS-PAGE
and immunoblotting test. The results showed that the wet and dry heating affects the
profile of soybean and Bogor peanut protein. The molecular weight of soybean and Bogor
peanut protein vary due to processing methode. Allergenicity of soybean and Bogor
peanut are affected by changes in protein molecular weight. It can be concluded that
glycated proteins during processing determine allergenicity.

Keywords:soybean, Bogor peanut, allergy, glycation

PENDAHULUAN
Tubuh manusia memiliki suatu sistem pertahanan untuk melindungi tubuh
dari serangan mikroorganisme asing seperti bakteri patogen, virus, dan jamur
yang disebut dengan sistem imun. Pada keadaan tertentu kerja sistem imun dapat
menyebabkan respon yang berlebihan dan tidak terkontrol , sehingga menimbulkan
reaksi hipersensitivitas yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan
menyebabkan penyakit. Salah satu reaksi hipersensitivitas yang menimbulkan
manifestasi klinis yang cukup serius adalah reaksi alergi. Alergi termasuk reaksi
hipersensitivitas tipe I (fgE-mediated hypersensitivity) yang disebabkan oleh
alergen yang pada umumnya berupa protein pangan.

Alergi akan terjadi pada individu yang memiliki kelainan genetik (atop i),
sehingga suatu protein pangan yang bersifat alergen pada seseorang, belum tentu
akan berakibat sarna terhadap orang lain. Narnun demikian, pola makan yang
kurang sehat dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada saluran pencemaan,
sehingga protein bahan pangan tidak dapat tercerna dengan sempurna. Dengan
demikian maka peptida-peptida berberat rnolekul besar dapat terserap melalui
pori-pori pada mernbran sel rnukosa usus hal us. Peptida yang terserap tersebut
dapat dikenali oleh IgE yang sebagian besar terdapat di dinding saluran
pencernaan sebagai protein asing, dan dapat menginduksi respon imun dengan
menghasilkan reaksi alergi.
Beberapa bahan pangan yang telah dikenal rnengandung protein alergen
antara lain ikan, susu, kacang kedelai, kacang tanah, kerang, teiur, gandum, dan
udang (Bowman dan Selgrade, 2008). Kacang kedelai rnengandung protein yang
termasuk major alergen, yaitu alergen yang dapat berikatan dengan IgE penderita
alergi rnakanan spesifik sebanyak lebih dari 50 pesen (Mills el al. 2003).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kacang kedelai merupakan penyebab
utama alergi pada anak maupun orang dewasa di berbagai negara (Kagan el al.
2003 ; Grundy et al. 2010; Savage et al. 2010). Selain itu, kacang bogor yang
merniliki nama ilmiah Vigna sublerranea telah rnulai dikenal di Indonesia pada
awal abad ke-20 sebagai sumber protein altematif. Kacang bogor berpotensi untuk

dikembangkan menjadi berbagai pangan olahan, namun juga diduga rnengandung

protein alergen. Oleh karena kedua kacang tersebut berpotensi menyebabkan
alergi, maka penting untuk mengetahui cara pengolahannya agar dapat
meminimalkan sifat alergenitasnya.
Beberapa penelitian

menunjukkan

bahwa proses

pengolahan

dapat

mempengaruhi alergenisitas bahan pangan. Protein Ara h I yang dimumikan dari
kacang tanah yang dipanaskan pada suhu yang berbeda-beda memperlihatkan
kemampuan pengikatan IgE yang sarna dengan protein natif. Hal ini menunjukkan
bahwa alergenisitas Ara hi stabil terhadap panas. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa alergenisitas Ara hi tidak dipengaruhi adanya perlakuan panas,

meskipun Ara hI natif mengalami denaturasi yang signiftkan akibat panas di
tingkat molekuler. Hal ini menunjukkan bahwa pengenalan konformasi epitop Ara
hloleh IgE tidak merupakan mekanisme yang dominan dan pengenalannya tidak
terbatas pad a bagian protein yang tidak sensitif terhadap denaturasi oleh panas
(Koppelman et al. 1999).
Selain itu proses pengolahan yang memungkinkan terjadinya reaksi
glikosilasi dan glikasi diduga juga berpengaruh pada sifat alergenisitas bahan
pangan. Glikosilasi merupakan reaksi pengikatan gugus gula pada gugus lateral
asam amino dalam suatu protein secara enzimatis, sedangkan secara non enzimatis
dikenal dengan istilah glikasi. Dalam proses pengolahan bahan pangan lebih
sering melibatkan reaksi glikasi dibandingkan dengan reaksi glikosilasi. Glikasi
terjadi karena adanya ikatan kovalen molekul protein atau lipida dengan molekul
gula, seperti fruktosa atau glukosa tanpa adanya aktivitas enzim. Glikasi
merupakan tahap awal peru bah an senyawa dalam serangkaian reaksi kompleks
yang berlangsung secara perlahan di dalam tubuh, seperti reaksi Amadori, reaksi
basa Schiff dan reaksi Maillard hingga membentuk advanced glycation

endproducts (AGEs). Beberapa AGEs dapat bersifat reaktif melebih gula asalnya
dan akan terlibat dalam banyak reaksi yang dapat menimbulkan beberapa penyakit
degeneratif kronis seperti kardivaskuler (endotelium, fibrinogen dan kolagen),

alzheimer (yang merupakan prod uk samping reaksi AGEs), kanker (akrilamid
yang terbentuk sebagai hasil samping reaksi) dan sebagainya.
Palupi (2000) melaporkan bahwa hidrofobisitas protein

セMi。ォエッァャ「オゥョ@

yang diisolasi dari susu menurun secara efektif dan signiftkan dengan

meningkatnya derajat laktosilasi atau glikasi akibat proses pengolahan susu.
Dengan kata lain dapat dipahami bahwa secara tidak langsung derajat glikasi
dapat ditunjukkan dengan sifat hidrofobisitas suatu protein yang bereaksi dengan
karbohidrat dan turunannya pada kondisi tertentu. Selain itu dilaporkan oleh
Beyer et at (2001) bahwa cara pengolahan kacang tanah mempengaruhi
alregenisitasnya. Protein Ara h I yang diisolasi dari kacang tanah yang digoreng
dan direbus mempunyai

intensitas pengikatan terhadap IgE

lebih kecil


dibandingkan dengan yang disangrai.
Penelitian ini dirancang untuk menguji alergenisitas protein kacang kedelai
dan kacang

「ッァセイ@

yang telah terglikasi selama pengolahan.Dengan mengetahui

ada atau tidaknya protein alergen terglikasi pada kacang kedelai dan kacang

「ッァセイ@

serta potensi alergenitasnya, maka dapat ditentukan teknologi pengolahan yang
tepat dalam pengembangan produk kacang kedelai dan kacang bogor. Dengan
demikian maka kejadian alergi akibat konsumsi pangan asal kacang kedelai dan
kacang

「ッァセイ@

dapat diminimalkan.


METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Departemen llmu dan
Teknologi Pangan, Fateta-IPB serta di Laboratorium Bioteknologi Pangan,
Seafast Center, dan Pusat Studi Satwa Primata, LPPM-IPB.

Bahan
Peralatan yang digunakan untuk isolasi dan karakterisasi protein alergen
adalah alat sentrifuse, kolom kromatografi, alat SDS-PAGE, perangkat ELISA,
ELISA reader, spektrofotometer UV -VIS, water bath, freeze drier, inkubator,
evaporator, membran nitroselulosa 0,45 11m untuk imunobloting, serta peralatan
gelas lainnya.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai
(menta h), kacang

「ッァセイ@

(mentah) serta darah yang diambil dari 3 responden


(bukan penderita alergi serta penderita alergi kacang). Zat kimia yang digunakan

antara lain NaOH, heksana, Hel, natrium fosfat, amonium persulfat (APS),
metanol, kalium sulfat, etanol 9S%, asam fosfat, as am asetat glasial, akuades,
tween-20, TEMED (N,N,N',N'-tetramethyl-ethane-I ,2-diamine), tris base, SDS
(sodium dodecyl sulphate), BSA (bovine serum albumin), senyawa l-anilin-8naftalen sulfonat (ANS), akrilamid, glisin, TBS (tris buffer saline), PBS
(phosphate buffer saline), akuabides, coomasie brilliant blue G-2S0, antibodi 19E,
antibodi IgG tikus anti IgE manusia yang berlabel enzim HRP (Horseradish
Peroksidase), substrat DAB (3,3' Diaminobenzidine), N,N-metilen-bisakrilamid,
sephadex, dam Spectra Multicolor Broad Range Protein Ladder Thermo Scientific
(terdiri dari 10 protein dengan range 10- 260 kOa)

Tahapan Kerja
Pada tahun pertama dilakukan isolasi protein dari kacang kedele dan kacang
bogor yang diolah dengan pemanasan basah (perebusan dan pengukusan) dan
pemanasan kering (sangrai dan oven). Selanjutnya dilakukan karakterisasi profil
isolat protein dengan elektroforesis SDS-PAGE, dan imunobloting.
Sampel kacang dipanaskan secara basah, yaitu perebusan dan pengukusan
dengan menggunakan air mendidih dengan perbandingan 1:2 (w/v) selama IS, 30,
dan 60 menit. Pemanasan kering dengan menggunakan oven (170°C) dan sangrai

(130°C) selama 30 dan 60 men it. Sebelum dilakukan isolasi protein, sampel yang
telah digiling dihilangkan lemaknya terlebih dahulu menurut metode Liu et al
(2007). Isolasi protein dilakukan berdasarkan Wu et al. (2009). Endapan prote in
yang diperoleh kemudian dikeringkan denganJreeze drier.
Analisis karakteristik isolat protein sampel meliputi analisis kadar protein
(Bradford, 1976), pengujian elektroforesis SDS-PAGE (Bollag dan Edelstein,
1991) dengan konsentrasi stacking gel S% dan separating gel 12%, dan uji
hidrofobisitas (tahun kedua). Analisis imunokimia me lip uti immunoblotting
(Bollag and Edelstein, 1991) dan ELISA (tahun kedua). Serum yang digunakan
berasal dari penderita alergi kacang yang sebelumnya dilakukan uji alergi lebih
dahulu dengan menggunakan metode Skin Prick Test (SPT).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen dan kadar protein isolat kacang kedelai dan kacang bogor
Untuk mendapatkan isolat protein, khusus untuk kacang bogor dilakukan
pencucian terlebih dahulu sebelum dilakukan pemanasan basah dan kering.
Karena kandungan air pada kacang bogor yang cukup tinggi, maka setelah
pencucian harus disimpan pada refrigerator untuk mencegah kerusakan bahan.
Sedangkan kacang kedelai dapat disimpan pada suhu ruang. Rendeman tepung
kacang kedelai dan kacang bogor berdasarkan bahan baku, setelah proses

pengolahan

basah (perebusan

dan

pengukusan)

dan

pengolahan

kering

(pemanasan oven dan penyangraian) disajikan pada Tabel I.
Tabell

Rendemen tepung kacang kedelai dan kacang bogor berdasarkan bahan
baku, setelah proses pengolahan basah dan kering.

Cara dan lama waktu
(menit) pengolahan
Perebusan
15 min
30 min
60 min
Pengukusan
15 min
30 min
60 min
Pemanasan oven
30 min
60 min
Penyangraian
30 min
60 min
Berdasarkan Tabel

Rendeman (%)
Kacang Bogor
Kacang Kedelai
48.3
45.1
40.3

44.6
43.4
40.2

49.3
54.8
62.8

59.0
55.4
54.2

78.3
77.5

56.7
51.4

82.6
77.4

50.1
49.4

I dapat dilihat bahwa pengolahan secara basah

(perebusan dan pengukusan) menghasilkan rendemen tepung kacang kedelai dan
kacang bogor yang relatif lebih kecil dibandingkan cara pengolahan kering
(pemanasan oven dan penyangraian). Hal ini menunjukkan bahwa selama proses
perebusan dan pengkusan teIjadi kehilangan beberapa komponen yang terlarut

dalam air rebusan, sehingga persentase rendemen tepung yang diperoleh melalui
pemanasan basah relatif lebih kecil dibandingkan pemanasan kering. Pemanasan
merupakan tahapan umum yang dilakukan pada pengolahan pangan, meliputi
proses perebusan, pengukusan, penyangraian, dan oven. Pada pengolahan produk
berbahan

dasar

kedelai,

pemanasan

sangat

penting

dilakukan

untuk

menginaktivasi antinutrisi termasuk trips in inhibitor, meningkatkan daya cerna
protein, serta memberikan karakteristik flavor. Proses dengan panas juga
digunakan untuk meningkatkan sifat fungsional protein (pembentukan gel, busa,
dan sifat emulsiftkasi) serta mengurangi aktivitas alergenisitas prod uk berbahan
dasar kedelai (L' Hocine & Boye, 2007). Proses pengolahan kacang kedelai
dengan panas ban yak digunakan dalam pembuatan berbagai produk, seperti susu
kedelai, tahu, dan tempe. Dalam pembuatan susu kedelai, digunakan panas 93100°C selama 30 menit untuk menghancurkan faktor anti nutrisi (Kwok el at.
2002). Perlakuan panas yang dapat menyebabkan terjadinya proses glikasi yang
mengakibatkan protein terdenaturasi sehingga lipatannya terbuka, mengekspos
gugus hidrofobik dan sulfidril yang terdapat di dalam molekul ke permukaan,
sehingga mengakibatkan agresasi protein secara ireversibel dan berakibat pad a
penurunan kelarutan (Renkema el at. 2000).
Hasil anal isis proks imat tepung kacang kedelai dan kacang bogor dapat
dilihat pada Tabel 2, yang menunjukkan cukup tingginya protein kacang kedelai
dan kacang bogor. Rendemen isolat berdasarkan berat tepung kacang kedelai
dapat dilihat pada Tabel 3. Apabila dibandingkan dengan isolat protein yang
diperoleh tanpa pengolahan, maka proses pengolahan (pemanasan) berpotensi
besar menyebabkan kehilangan protein cukup besar. Semakin lama waktu
pemanasan menyebabkan makin kecilnya rendemen isolat. Terlalu kecilnya
rendemen isolat protein yang diperoleh ini sangat membatasi pengujian-pengujian
selanjutnya.

Tabe1 2

Hasil analisis proksimat tepung kacang kedelai dan kacang bogor
Konsentrasi (%)

Komposisi

Kacang Kedelai
Kadar air

9.07

Kacang Bogor
56.74

Kadar protein (BK)

35.87

22.11

Kadar lemak (BK)

22.89

11.l6

Kadar karbohidrat (BK)

26.55

61.68

Kadar abu (BK)

5.62

5.05

Tabel3

Rendemen isolat berdasarkan tepung, setelah proses pengolahan basah
dan kering

Cara dan lama waktu
(menit) pengolahan
Perebusan
15 min
30min
60min
Pengukusan
15 min
30 min
60 min
Pemanasan oven
30 min
60min
Penyangraian
30 min
60 min
Tanpa pemanasan

Rendeman (%)
Kacang Bogor
Kacang Kedelai
7.65
6.45
2.95

0.29
0.28
0.26

9.41
6.81
4.67

0.51
0.27
0.25

1.00
0.18

0. 11
4.58*

2.40
0.30
25.50

2.26
0.29
3.12

Profil elektroforesis isolat protein setelah proses pengolahan

Profil elektroforesis isolat protein menunjukkan karakteristik isolat protein
berdasarkan berat molekul fraksi proteinnya.

Pada dasarnya protein terususun

atas asam-asam amino yang dirangkikan melalui ikatan peptida, sehingga protein
dikenal juga dengan nama polipeptida. Profil e1ektroforesis isola! protein kacang
kedelai sete1ah pengolahan basah (rebus dan kukus) dan setelah pengolahan

kering (pemanasan menggunakan oven dan penyangraian) dapat dilihat pada
Gambar I dan Gambar 2. Sedangkan profit elektroforesis isolat protein kacang
bogor dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Profit isolat protein kacang
bogor tersebut diperoleh berdasarkan sam pel tepung sebelum diisolasi proteinnya.
Berdasarkan profit elektroforesis dilakukan pemetaan terhadap berat molekul
isolat protein yang dihasilkan dengan pemanasan basah dan kering pada berbagai
waktu pemanasan (Tabel 4 dan Tabel 5). Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat
bahwa berat molekul isolat protein yang dihasilkan berubah dan bervariasi setelah
dilakukan pemanasan.

kDa

liDo

Kontrol

kDo

Rebus 15'

koa

#cOo

Rebus 60'

Rebus 30"

Kukus6O'

lCubis3O'

Gambar I Profil elektroforesis isolat protein kacang kedelai setelah pengolahan
basah (rebus dan kukus).

tDa

iDa

kontrol

San!;ral3O'

iDo

ItDa

tOo

s。ョゥセ@

60'

Oven 30'

Oven 60'

Gambar 2 Profil elektroforesis isolat protein kacang kedelai setelah pengolahan
kering (sangrai dan oven).

Secara urn urn perlakuan pengolahan rnenyebabkan pita protein pada isolat
protein kedelai rnengalarni perubahan jika dibandingkan isolat protein tanpa
pengolahan. Sebelurn pengolahan pada profil elektroforesis isolat protein kacang
kedelai terdapat 18 pita, sedangkan setelah perlakuan pernanasan jumlahnya
berkurang, bervariasi antara 3-15 pita. Sedangkan pada kacang

「ッァセイ

L@

sebelurn

pengolahan terdapat 12 pita, sedangkan setelah perlakuan pernanasan jurnlahnya
berkurang, bervariasi antara 4-10 pita. Hal tersebut rnenunjukkan bahwa selarna
pernanasan terjadi pernecahan protein yang sernula berberat rnolekul besar
rnenjadi protein yang rnernpunyai berat rnolekul relatif lebih kecil (Garnbar I dan
2, Tabel 4). Perubahan berat rnolekul protein selarna pengolahan sangat ban yak
dihubungkan dengan sifat alergenisitasnya.
kOo

kOo

000

Rebus 60'

Kontrol

lCukus6O'

Garnbar 3 Profil elektroforesis isolat protein kacang Bogor setelah pengolahan
basah (rebus dan kukus).
tOo

kOo

kDQ

Kontrol

Sanaral30 •

Oven 60 •

Garnbar 4 Profil elektroforesis isolat protein kacang Bogor setelah pengolahan
kering (sangrai dan oven).

Tabel4.

Pemetaan perubahan berat molekul protein kacang kedelai pada
berbagai cara dan waktu 2engolahan

Kontrol

Tcknik Pcngolahan
Rebus

Rebus

Rebus

Kukus

Kukus

15'

30'
116.6

60'

30'

60'

116.6
102.7

Oven
60'

Oven
30'

102.7

96.4

96.4

87.7

96.4

Sangra i
60'

Sangrai
30'

102.7
96.4

96.4

87.7
85.0

82.3
19.8
78.5
77.3
74.9
12.5

- - - - - ----._-70.3

-- - - - -

70.3
68.1

68. 1
62.0

58.1

58.1

58.1

58. 1

56.3

56.3
55.0
52.9
51.0
50.9
48.1

48. 1




45.3
42.4_ _ML

TBG oNXセM

W T セVN

セM



45.2



T Z R Z NT M

T Z R NZ T M



39.8
---·---·----372- - - - - --

38.6
3-7-.1 -

39.8

-----36.9

35.0

35.0
34.3

34.0
33.0
32.9

32.9

32.9

3 1.7
29.9
28. 1
27.2
25.5
24.7

______n2

27.2

27.2
25.0

24.1

24.0

25.5

25.5

24.0

24.0

Mセ@

22.5
21.8

21.4

20.6
18.6

20.4

18.3
17.5

17.5

____

16.9
--- - - - -16.9
- - - - - - - - -- - - - ------15.6

15.4

IS.0

17.5

L G セ_N@

____ _____
GVセ@

15.4

14.5

14.0

13. 1
12.7

12.7

12.0

12.3

10.5
18

11 .2
10.5

10.5
10

14

_____ NAセ@

11 .2
10.5

12.0
11 .4

10.5

___セ@ ________ jNセ@ ____.__ セ@

10.5

___
4 ____._1_2_ _ _ _ _3_ _

Tabel 5.

Pemetaan perubahan berat molekul protein kacang Bogor pada berbagai
cara dan waktu pengolahan
Kontrol

Teknik Pengolahan
Kukus
Sangrai
60'
30'
66.4

Rebus
60'
67.0
62.0
57 .3
52.9
50.9
48.9

Oven
60'

52 .5

46.1
44.0
41.8

44.0
41.5

41.8
38.6

37. 1

________1!L_
33.0
30.5
28.2

------

33.0

27 .1
26.0
23 .1
22 .2
19.7

19.0
18.2

17.5
16.2
15.6

MN

12.8

16.2_ _ _ _ _ _ _._

16.2
15.6

セN





NM

10.1

12

18.2

17.5

10

14.0
10. 1
5

4

Menurut Beyer et al (200 I) proses penggorengan dan perebusan (100°C
selama 20 menit) menurunkan reaktivitas IgE pada major allergen Ara h I, Ara h
2 and Ara h 3, sedangkan proses penyangraian (170°C selama 20 menit)
meningkatkan reaktivitas alergen yang sarna. Maleki et al (2000) menunjukkan
bahwa protein kacang tanah yang disangrai mengikat IgE lebih tinggi
dibandingkan dengan kacang tanah mentah yang disebabkan adanya modifikasi
protein akibat reaksi Mailard. Berdasarkan penelitian Panda (2012), proses panas
yang diberikan dengan cara penyangraian kacang kedelai tidak mempengaruhi
sifat alergenisitas.

Alergenisitas Isolat Protein setelah Proses Pengolahan

Alergenitas isolat protein yang berasal dari sampel yang telah mengalami
pemanasan, diukur dengan teknik immunoblotting. Hasil immunobloting isolat
protein kacang kedelai dan kacang bogor terdapat pada Gambar 5 dan 6.

Gambar 5 Profil immunobloting isolat protein kacang kedelai kontrol, kukus 60
men it, serta sangrai 30 menit

Gambar 6 Profil immunobloting isolat protein kacang bogor kontrol

8eberapa peneliti terdahulu menunjukkan bahwa beberapa protein alergen
utama dalam kacang kedelai mempunyai berat molekul 68, 30, 28 kDa (Ogawa et
al 1991); 68, 30 dan 26 kDa (Tsuji et al 1997), 39 kDa (Xiang et al 2008); dan 26,
30, 68 kDa (Astuti 2012). Pada hasil immunobloting isolat protein kedelai kontrol
(tanpa pemanasan), terdapat 7 pita protein allergen yang berikatan dengan serum
penderita alergi kacang kedelai, yaitu protein dengan berat molekul 73.2 kDa,

62.0 kDa, 47.3 kDa, 33.0 kDa, 25 .2 kDa, 19.2 kDa, dan 17.5 kDa. Ketepatan dan
mengukur jarak migrasi pada membran nitroselulosa sangat mempengaruhi
penentuan berat molekul protein allergen. Pada hasil immunobloting sampel
pemanasan kukus 60 menit dan sangrai 30 menit tidak terlihat pita sarna sekali
sehingga dapat diartikan perlakuan pemanasan dengan pengukusan selama 60
menit dan sangrai selama 30 menit sudah dapat menghilangkan alergenitas isolat
protein kedelai .
Kacang bogor memiliki banyak protein yang bersifat alergenik seperti yang
ditunjukkan pada uji immunoblotting (Gambar 6). Penelitian yang dilakukan
Astuti (2012) menunjukkan bahwa kacang kedelai memiliki protein allergen
dengan berat molekul 69 kDa, 64 kDa, 62 kDa, 56 kDa, 44.7 kDa, 42.9 kDa, dan
30 kDa. Hasil immunoblotting terhadap sam pel kacang bogor yang tidak
mengalami pemanasan terdapat 9 pita protein allergen dengan berat molekul
masing-masing 64 kDa, 53.4 kDa, 37.2 kDa, 32.5 kDa, 27.2 kDa, 17.3 kDa, 14.4
kDa, 12.1 kDa, dan 8.4 kDa.

KESIMPULAN
Serdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
I.

Cara dan lama waktu pengolahan berpengaruh terhadap profil elektroforesis
isolat protein kacang kedelai dan kacang bogor.

2.

Serat molekul protein isolat protein kacang kedelai dan kacang bogor
bervariasi akibat proses pengolahan.

3.

Sifat alergenisitas isolat protein diprediksi dipengaruhi oleh perubahan berat
molekul protein pada kedua isolat kacang kedelai dan kacang bogor akibat
diterapkannya berbagai cara pengolahan.

DAFTAR PUST AKA
Astuti RM. 2012.Isolasi dan Karakterisasi Protein Kacang Kedelai , Kacang
Tanah, dan Kacang Bogor untuk Pembuatan Isolat Alergen [tesis]. Bogor
(ill): Institut Pertanian Bogor.
Beyer K, Ellman-Grunther L, Jarvinen K, Wood RA, Hourihane J, Sampson
HA.2003 . Measurement of peptide-specific IgE as an additional too l in
identifying patients with clinical reactivity to peanuts. JAllergy Clin
Immunoll 12(1):202-207.
Bollag OM, Edelstein SJ. I 99 I. Protein Method. New York: Willey-Liss Inc.
Bowman CC, Selgrade MK.. 2008. Failure to induce oral tolerance in mi ce is
predictive of dietary allergenic potency among foods with sensiti zing
capacity. Toxicological Science I 06(2):435-443 .
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantification of
microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye
binding. J Analytical Biochem 72:248-254.
Koppelman SJ , Bruijnzeel-Koomen CAFM, Hessing M, dan de Jongh HHJ. 1999.
Heat-induced conformational changes of Ara hI , a major peanut allergen, do
not affect its allergenic properties.
Kwok KC, Liang HH, Niranjan K. 2002. Optimizing conditions for thermal
processes of soy milk.J Agric Food Chern 50:4834-4838.
L'Hocine L, Boye, JI. 2007. Allergenicity of soybean: new developments in
identification
of
allergenic
proteins,
cross-reactIvItIes
and
hypoallergenization technologies. Critical Reviews in Food Science and
Nutrition 47: 127-143.
Liu C, Wang H, Cui Z, He X, Wang X, Zeng X, Ma H. 2007. Optimization of
extraction and isolation for I I Sand 7S globulins of soybean seed storage
protein. FoodChem 102:1310-1316.
Maleki SJ, Chung SY, Champagne ET, Raufman JP. 2000. The effects of roasting
on the allergenic properties of peanut proteins. J Allergy Clin Immunol
106:763-768.
Ogawa T, Bando N, Tsuji H, Okajima H, Nishikawa K, Sasaoka K. 199I.
Investigation of the 19E-binding proteins in soybeans by immunoblotting
with the sera of the soybean-sensitive patients with atopic dermatitis. J Nutr
Sci VitaminoI37:555-565 .
Palupi, 2000. Modifications de la Structure et des Proprietes Fonctionelles de la pLactoglobuline au cours des Traitements Biotechnologiques. These de
doctorate de L 'Universite Henri Poincare, Nancy I.
Panda, R. 2012. Soybean allergy: effect of genetic modification (GM), heat, and
enzymatic treatment on overall allergenicity [disertasi]. Linclon (US)
University of Nebraska.
Renkema, JM, Lakemond CM, de Jongh HH , Gruppen H, van Vliet T. 2000.The
effect of pH on heat denaturation and gel forming properties of soy
proteinsJ Biotechnol 79:223-230.
Rupa P, Hamilton K, Cirinna M, Wilkie BN. 2008. Porcine IgE in the context of
experimental food allergy: purification and isotype-specific antibodies.
Veterinary Immunology and Immunopathology I25(3-4 ):303-3 14.

Savage JH , Kaeding AJ , Matsui EC, Wood RA. 2010. The natural history of soy
allergy. JAllergy Clin ImmunoIl25(3):683-686.
Tsuji J, Bando N, Hiemori M, Yamanishi R, Kimoto M, Nishikawa K, Ogawa T.
1997. Purification and characterization of soybean allergen Gly m Bd 28K.
Biosci Biotech Biochem 61(6):942-947.
Wilson S, Blaschek K, Mejia EG. 2005 . Allergenic proteins in soybean:
processing and reduction ofP34 allergenicity. Nutrition Rev63:47-58.
Wu H, Wang Q, Ma T, Ren J. 2009. Comparative studies on the functional
properties of various protein concentrate preparations of peanut protein.
Food Research International 42:343-348.
Xiang P, Baird LM, Jung R, Zeece MG, Markwell J, Sarath G. 2008. P39, a novel
soybean protein allergen, belongs to a plant-specific protein family and is
present in protein storage vacuoles. J Agriculture Food Chem56(6):22662272.