KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA KDRT (4)

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(KDRT)

Oleh:
NURUL MUKARROMAH (0821010007)
RIDWAN (0821010003)

FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
2009

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunianya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan sebaikbaiknya.
Makalah ini berisi tentang pembahasan dari UU No. 23 Tahun 2004 tentang
“Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Makalah ini dibuat untuk memberitahukan

kepada masyarakat luas tentang betapa sangat dilarangnya kekerasan yang dilakukan di
dalam ruang lingkup rumah tangga dan agar tidak ada lagi berita – berita tentang kekerasan
yang dilakukan di dalam ruang lingkup rumah tangga
Penulis juga menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dalam pembuatan suatu makalah atau karya ilmiah. Untuk itu penulis mengharapkan kritik,
saran dan solusinya agar penulis dapat menyempurnakan tugas makalah ini di masa yang
akan datang.
Dengan demikian, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga
paper ini bermanfaat bagi semuanya dan dapat dijadikan pengetahuan dan sumber refrensi.
Medan, 19 Juni 2009
Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
Kesimpulan


DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai
merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah
negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup
rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini
perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhanrumahtangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap
orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri
setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga
dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya
dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau
ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan
penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan,
terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan

terhadap

martabat

kemanusiaan

serta

bentuk

diskriminasi.

Untuk itu, disini kami sebagai penulis akan membahas satu – per satu undang –
undang yang mengatur tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam segi
pengertian, maksud dan tujuan dibuatnya undang – undang ini, sanksi yang di dapat oleh
tersangka.


B. Rumusan Masalah
Untuk membatasi masalah agar yidak panjang lebar, pemakalah memberi batasan
masalah, yakni sebagai berikut:
1.Bagaimana bahasan Sekilas Tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14
September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang
diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga,
khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan. Berikut adalah poin-poin penting yang
diatur dalam Undang Undang ini.
1. Apa sih Kekerasan dalam Rumah Tangga itu?
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga

adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
2. Siapa saja yang termasuk lingkup rumah tangga?
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1):
a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian,
yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut
(Pekerja Rumah Tangga).

3. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga?
Bentuk-bentuk KDRT adalah (Pasal 5):
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga
4. Apa yang dimaksud dengan kekerasan fisik?

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat (Pasal 6).
DELIK ANCAMAN SANKSI
Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
➢ penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 15 juta
Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat
➢ penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 30 juta
Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban
➢ penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 45 juta
Kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari
➢ penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau
➢ denda paling banyak Rp 5 juta.
5. Apa yang dimaksud dengan kekerasan psikis?

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa

percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang (pasal 7).
DELIK ANCAMAN SANKSI
Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
➢ penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 9 juta
Kekerasan psikis yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari
➢ penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau
➢ denda paling banyak Rp 3 juta
6. Apa yang dimaksud kekerasan seksual?
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

DELIK ANCAMAN SANKSI
Kekerasan seksual

➢ penjara paling lama 12 tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 36 juta
Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual
➢ penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun; atau
➢ denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 300 juta
Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu
terus menerus atau1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan,
atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi
➢ penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun; atau
➢ denda paling sedikit 25 juta dan paling banyak 500 juta
7. Apa yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga?
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk

bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban ber DELIK ANCAMAN
SANKSI
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga; atau Menelantarkan orang lain yang
berada di bawah kendali
➢ penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau
➢ denda paling banyak Rp 15 juta
Pidana Tambahan Selain ancaman pidana penjara dan/atau denda tersebut di atas, hakim
dapat men-jatuhkan pidana tambahan berupa:

• PEMBATASAN GERAK pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
• PENETAPAN pelaku mengikuti program KONSELING di bawah pengawasan
lembaga tertentu .
ada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).
8. Apakah UU PKDRT ini mengatur mengenai hak-hak korban?
Tentu. Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan (pasal 10):
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani
Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban
dari (pasal 39):
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.
Bentuk Perlindungan/Pelayanan Bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KEPOLISIAN:

~Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan keke-rasan
dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada
korban (ps 16 (1)).
~Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepo-lisian
wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan (ps 16 (3)).
~Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk
mendapat pelayanan dan pendampingan (ps 18).

~Kepolisian wajib segera melakukan pe-nyelidikan setelah mengetahui atau me-nerima
laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (ps 19).
~Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:
--identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
--kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan
--kewajiban kepolisian untuk melindungi korban (Ps 20).
TENAGA KESEHATAN (Ps 21 (1)):
~Memeriksa kesehatan korban sesuai de-ngan standar profesi;
~Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas
permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum
yang sama sebagai alat bukti.
~Pelayanan kesehatan dilakukan di sarana ke-sehatan milik pemerintah, pemerintah daerah,
atau masyarakat (Ps 21 (2)).
PEKERJA SOSIAL (Ps 22 (1)):
~Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
~Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari
kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
~Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan

~Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak
kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
~Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau
masyarakat (Ps 22 (2)).
RELAWAN PENDAMPING (Ps 23):
~Relawan Pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konse-ling,
terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan.
Bentuk pelayanannya adalah:
~Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa
orang pendamping;
~Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan
dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam
rumah tangga yang dialaminya;
~Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman
didampingi oleh pendamping; dan
~Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
PEMBIMBING ROHANI (Ps 24):
~Memberikan penjelasan mengenai hak, kewa-jiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa
kepada korban.
ADVOKAT (Ps 25):
~Memberikan konsultasi hukum yang men-cakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses
peradilan;
~Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah
tangga yang dialaminya; atau

~Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial
agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

PENGADILAN:
~Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan wajib
mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota
keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut (Ps 28).
~Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan un-tuk (Ps
31 (1)):
menetapkan suatu kondisi khusus, yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki
tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, me-ngawasi, atau mengintimidasi korban.
mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlin-dungan.
~Pertimbangan pengadilan dimaksud dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan
perkara kekerasan dalam rumah tangga (Ps 31 (2)).
Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan (Ps 33 (1)).
Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan
keterangan dari kor-ban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani (Ps 33 (2)).
~Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menya-takan
satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, dengan kewajiban
mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Ps 34).
Pelanggaran Perintah Perlindungan

Kepolisian dapat menangkap untuk selan-jutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah
terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran
tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas (Ps 35 (1)).
Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pela-ku
dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindu-ngan (Ps 36
(1)).
Penangkapan dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan
dalam waktu 1 x 24 jam (Ps 36 (2)).
Korban, kepolisian atau relawan pendam-ping dapat mengajukan laporan secara tertulis
tentang adanya dugaan pelangga-ran terhadap perintah perlindungan (Ps 37 (1)). Bilamana
pengadilan mendapatkan laporan tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap
perintah perlindu-ngan ini, pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 jam guna
dilakukan pemeriksaan, di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu
pelanggaran diduga terjadi (Ps 37 (2)(3)).
Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindu-ngan dan
diduga akan melakukan pelang-garan lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku
untuk membuat per-nyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi
perintah perlindungan (Ps 38 (1)). Bilamana tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut, pengadilan dapat menahan (dengan surat perintah penahanan) pelaku paling
lama 30 hari (Ps 38 (2).
Pemulihan Korban
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
~Tenaga Kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa kor-ban sesuai dengan standar
profesi, dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan
dan merehabilitasi kesehatan korban.

~Pekerja Sosial;
~Relawan Pendamping; dan/atau
~Pembimbing Rohani.
~Pekerja Sosial, Relawan Pendamping, dan/ atau Pembimbing Rohani wajib memberikan
pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau
memberikan rasa aman bagi korban.
Delik Aduan
Tindak pidana kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan DELIK ADUAN.[1]

9.

Apakah

UU

PKDRT

ini

mengatur

mengenai

kewajiban

pemerintah?

Ya. Melalui Undang-Undang ini pemerintah bertanggung jawab dalam upaya
pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untuk itu pemerintah harus (pasal 12):
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b. Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam

rumah

tangga;
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam
rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.
Selain itu, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan
pemerintah
a.

Penyediaan

daerah
ruang

pelayanan

dapat
khusus

melakukan
(RPK)

di

kantor

upaya:
kepolisian;

b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani;
c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang

mudah

diakses

korban;

d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban.[2]
Kewajiban Pemerintah
menyelenggarakan KOMUNIKASI, INFORMASI dan EDUKASI tentang kekerasan dalam
rumah tangga;
menyelenggarakan ADVOKASI dan SOSIALISASI tentang kekerasan dalam rumah tangga;
menyelenggarakan PENDIDIKAN dan PELATIHAN SENSITIF JENDER dan ISU
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA serta menetapkan STANDAR dan
AKREDITASI pelayanan yang sensitif gender.
Selanjutnya menurut Pasal 13, untuk penye-lenggaraan pelayanan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan
tugasnya masing-masing dapat melakukan upaya:
penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian;
penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang
melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Dalam penyelenggaraan upaya-upaya tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah dapat
melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya (Ps 14).[3]

10. Bagaimana dengan kewajiban masyarakat?
Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat,
atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya
sesuai dengan batas kemampuannya untuk (pasal 15):
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;

b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang
terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya
adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga
kepada kepolisian (pasal 26 ayat 1). Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga
atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian
(pasal 26 ayat 2).
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali,
pengasuh atau anak yang bersangkutan (pasal 27).
11. Bagaimana dengan ketentuan pidana yang akan dikenakan pada pelaku?
Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 – pasal
53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak
kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana
sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya
mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya
dikenai hukuman percobaan saja.
Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal
yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual.
Pasal 47: “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda
paling sedikit Rp 12.000.000 atau denda paling banyak Rp 300.000.000”
Pasal 48: “Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban

mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau
1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan
tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun
dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000 dan denda
paling banyak Rp 500.000.000”
12. Bagaimana mengenai pembuktian kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
Dalam UU ini dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan
seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (pasal 55).
Alat bukti yang sah lainnya itu adalah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.[4]
Asas Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 3)
~ penghormatan hak asasi manusia;
~ keadilan dan kesetaraan gender, yakni suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki
menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewu-judkan secara
penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsu-ngan rumah tangga secara
proporsional.
~nondiskriminasi; dan
~perlindungan korban.[5]
Tujuan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 4)

~mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
~melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
~menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
~memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. .[6]

1.B. Pentingnya RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pasal 356 KUHP yang memberikan tambahan hukuman 1/3 bagi pelaku penganiayaan
terhadap anak, istri, ibu dan bapak –yang kemudian dalam pasal 487 RKUHP ditambah kata
suami--, adalah pasal yang selama ini dikaitkan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam prakteknya pasal tersebut memiliki kelemahan mendasar untuk melindungi
korban KDRT, hal mana mendorong aktifis perempuan mengusulkan RUU tensendiri.
Kelemahan-kelemahan mendasar dalam KUHP’ sehingga perlu adanya RUU anti
KDRT, sbb:


KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Istilah ini penting untuk
dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang selama ini ditanamkan dalam
benak masyarakat maupun aparat hukum; sehingga tidak menganggap serius adanya
kekerasan dalam rumah tangga atau menganggap hanya masalah rumah tangga sebagai
masalah privat.
RUU anti KDRT menambahkan asas-asas baru dalam hukum pidana yang selama ini
tidak dimuat dalam KUHP, yakni: a) perlindungan dan penegakan HAM b)kesetaraan dan
keadilan jender; c) Keadilan relasi sosial dan perlindungan bagi korban.



KUHP hanya mengatur secara terbatas ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga
sebagaimana yang diatur dalam RUU Anti KDRT , sbb:

a.

Pasal 351- 356 KUHP mengatur penganiayaan, yang berarti hanya terbatas pada kekerasan
fisik.
b.

Pasal 285 - 296 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul., belum sepenuhnya
mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dimaksud dalam RUU Anti KDRT,
sbb:
-

Pasal tentang perkosaan (285) misalnya, masih mengeluarkan istri sebagai korban

perkosaan dan belum mengakomodir bentuk-bentuk lain di luar persetubuhan atau penetrasi
penis seperti menggunakan benda atau alat atau dengan bagian-bagian tubuh tertentu di luar
penis, atau dengan cara menggesek-gesekkan penis ke bibir kelamin perempuan di luar
kehendak perempuan, sebagai bentuk perkosaan.
-

Dalam pasal-pasal lainnya tidak mengenal istilah pelecehan seksual, yang ada istilah

perbuatan cabul. Walaupun sebagian bentuk pelecehan seksual bisa ditemukan dalam pasal
ini, namun karena istilah pelecehan seksual tidak dikenal dalam KUHP maka tidak seluruh
bentuk-bentuk pelecehan seksual terakomodir di dalamnya. Definisi perbuatan cabul
diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan atau rasa susila masyarakat, bukan pelanggaran atas
integritas tubuh seseorang.
c.

KUHP juga tidak mengatur tindakan kekerasan seksual berupa penyerangan seksual
(seperti serangan yang ditujukan untuk memperkosa namun perkosaan itu tidak sampai
terjadi). Dalam KUHP, tindakan ini di tempatkan sebagai percobaan semata berdasarkan
Pasal 53 KUHP. Dan dalam prakteknya jarang pelaku perkosaan --yang tidak sampai
menyelesaikan perbuatannya— bisa dijerat dengan pasal ini, tetapi lebih dikenakan pada
pasal perbuatan cabul yang hukumannya dalam prakteknya selalu lebih ringan, terlebih lagi
esensi perbuatan cabul tidak sama dengan perkosaan.

d.

Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah ”kejahatan terhadap kesusilaan”. Tidak
menggunakan / memakai istilah seksual violence atau kejahatan seksual yang diartikan

sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap lakilaki ataupun perempuan.
e.

Tidak adanya penjelasan resmi tentang istilah kesusilaan yang digunakan, menyebabkan
masyarakat terutama aparat hukum seringkali terjebak dalam menempatkan pasal-pasal
kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai budaya, norma agama,
atau sopan santun berkaitan dengan nafsu perkelaminan bukan kejahatan terhadap orang
(tubuh dan jiwa).

f.

Pasal 442 KUHP mempidana mereka yang menelantarkan orang-orang yang

menurut

hukum wajib ia beri nafkah, dirawat dan dipelihara. Sekalipun demikian, pasal ini barulah
mengatur satu aspek saja dari definisi kekerasan ekonomi yang dimuat dalam RUU anti
KDRT.
g.

Pasal 465 tentang penyanderaan dan pasal 470 perampasan kemerdekaan seseorang,
dianggap telah menampung kekerasan psikis yang diajukan dalam RUU Anti KDRT.
Kenyataannya kedua pasal tersebut hanya mengatur dua bentuk perbuatan (penyanderaan dan
perampasan), sementara definisi kekerasan psikis yang termuat dalam RUU anti KDRT lebih
luas, karena yang dicantumkan adalah akibatnya (secara psikis), tetapi perbuatannya bisa
mewujud dalam berbagai bentuk.

h. KUHP tidak mengenal lingkup rumah tangga sebagaimana yang diajukan dalam RUU Anti
KDRT.
i.

KUHP tidak mengatur alternatif hukuman kecuali hanya pidana penjara, hal mana membuat
dilema tersendiri bagi korban.

j.

KUHP tidak mengatur hak-hak korban, layanan-layanan darurat bagi korban serta
kompensasi.

k.

Pasal 351-356 KUHP (pasal penganiayaan) hanya mengatur sanksi pidana penjara atau
denda dan sanksi lebih ditujukan untuk penjeraan (punishment). Padahal bentuk kekerasan

dalam rumah tangga memiliki tingkat kekerasan yang beragam, terutama bila dilihat dari
dampak kekerasan terhadap korban yang semestinya dikenakan penerapan sanksi yang
berbeda. Selain itu, penghukuman penjara sering membuat dilemma tersendiri bagi korban,
karena adanya ketergantungan ekonomi dan sosial pada pelaku, sehingga korban cendrung
untuk tidak melaporkan.
Sementara RUU KDRT memuat alternatif pengaturan sanksi pidana bagi pelaku dan
tujuannya juga meliputi korektif, preventif dan protektif, yang juga berdasarkan tingkat
ringan dan beratnya tindak KDRT.
RUU KDRT adalah undang-undang yang mengatur permasalahan spesifik secara
khusus, sehingga memuat unsure-unsur lex special. Unsur-unsur lex special terdiri dari :
-- Unsur korektif terhadap pelaku. RUU KDRT mengatur alternatif sanksi dari pada
KUHP yang hanya mengatur pidana penjara dan denda, yakni berupa kerja sosial dan
program intervensi yang diberlakukan tehadap pelaku. Hal ini dimaksudkan agar pelaku tidak
kembali melakukan tindak kekerasan.
--Unsur preventif terhadap masyarakat. Keberadaan RUU KDRT ditujukan untuk
mencegah tindak kekerasan yang terjadi pada lingkup rumah tangga, karena selama ini
masalah KDRT dianggap masalah privat sehingga kekerasan yang terjadi tidak mudah di
intervensi.
--Unsur Protektif terhadap korban. RUU KDRT memuat pasal-pasal yang memberikan
perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam hubungan-hubungan domestik,
khususnya terhadap pihak-pihak yang tersubordinasi (kelompok rentan).
Adanya RUU anti KDRT menjadi penting, karena RUU mencantumkan mekanisme
yang didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan korban, yang pokok-pokoknya, sbb:
--Kewajiban masyarakat dan negara untuk melindungi korban

--Perintah perlindungan terhadap korban serta perintah pembatasan gerak sementara terhadap
pelaku
--Bantuan hukum bagi korban
--Perlindungan saksi
--Prosedur alternatif pengajuan tuntutan
Prosedur pembuktian yang tidak mempersulit korban. kesaksian korban dapat dipakai
dan diperkuat oleh keterangan ahli maka perkara bisa terus diajukan hingga ke penuntutan
Alat pembuktian menerapkan pula visum psikiatrikum Penanganan secara
integratif/terpadu dari instansi hukum, instansi medis atau instansi pemerintah lainnya dan
lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan

I. C. ARGUMENTASI MENENTANG GAGASAN tentang KODIFIKASI HUKUM (KUHP /
KUHAP)
Pandangan yang menganggap semua masalah kejahatan harus diatur dalam suatu
kodifikasi hukum seperti KUHP atau KUHAP adalah pandangan yang sempit dan
ketinggalan zaman serta tidak sesuai dengan tuntutan yang ada. Karena pada era modernisasi
dimana pembagian kerja semakin kompleks, kebutuhan akan adanya peraturan-peraturan
khusus yang bisa menjangkau permasalahan di lapangan semakin mendesak untuk segera
diakomodir.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga perlu diatur secara khusus dalam sebuah UU,
mengingat konteks permasalahannya yang juga spesifik.
Pentingnya keberadaan RUU KDRT dapat dijelaskan dalam prinsip hukum yakni
berpegang pada adagium lex priori: hukum atau aturan yang baru mengalahkan hukum atau
aturan yang lama. Dan lex spesialis derogat legi generalis: hukum atau aturan yang bersifat
khusus mengalahkan hukum atau aturan yang bersifat umum.

Kekerasan

dalam rumah tangga sudah merupakan perbuatan yang

perlu

dikriminalisasikan karena secara substansi telah melanggar hak-hak dasar atau fundamental
yang harus dipenuhi negara seperti tercantum dalam pasal 28 amandemen UUD 1945,
Undang-undang no. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Againsts Women), dan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
KUHP dan KUHAP sejauh ini terbukti tidak mampu memberi perlindungan bagi
korban KDRT. Karena kedua aturan tersebut masih sangat umum, tidak mempertimbangkan
kesulitan-kesulitan korban untuk mengakses perlindungan hukum, terutama karena jenis
kelaminnya. KUHP maupun KUHAP sama sekali tidak mempertimbangkan konteks budaya
patriarkhi dan feudal serta adanya perbedaan kelas/status sosial yang membuat adanya
ketimpangan dalam hubungan sosial, terutama dalam relasi-relasi domestik. Aturan-aturan tsb
mengandaikan setiap orang sama mampu dan berdayanya untuk memperoleh keadilan
hukum.
Dalam konteks budaya patriarkhi, para perempuan korban KDRT, menghadapi
berlapis-lapis hambatan untuk mengakses hukum, seperti:
~ Tidak mudah melaporkan kasusnya karena berarti membuka aib keluarga.
~ Ragu melaporkan karena bisa jadi ia yang di persalahkan karena tidak becus mengurus
suami/keluarga, karena kata orang ‘tidak ada asap kalau tidak ada api’.
~ Takut melaporkan karena bisa memperparah kekerasan yang dialami. Suami semakin gelap
mata kalau mengetahui istrinya berani melaporkan dirinya, yang berarti mencemarkan status
sosialnya sebagai kepala keluarga.

~ Khawatir kalau melapor, ia akan dicerai dan menjadi janda. Bagaimana ia kelak dan
bagaimana anak-anak?
~ Berani melapor ke polisi tapi ternyata respon aparat tidak serius karena menganggapnya
sebagai masalah privat. Tidak semua kepolisian ada RPK-nya.
~ Berani melapor, direspon oleh polwan di RPK, tapi ternyata sulit untuk membuktikan
kekerasan yang dialaminya (terbentur KUHAP).
~ Berani melapor dan ada bukti kuat, tetapi ancamannya pidana penjara. Berarti suami akan
dikurung. Bagaimana nafkah keluarga? Sekolah anak-anak? Siapa yang akan menjamin
biayanya? Sebab, selama ini baik sistem sosial dan hukum telah membuat ia (istri) tergantung
secara ekonomi terhadap sang kepala rumah tangga.

I.C. PIDANA KERJA SOSIAL
Dalam konsep Rancangan KUHP baru Indonesia [Naskah Rancangan KUHP (Baru)
Buku Kesatu-Buku Kedua dan Penjelasannya, yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU
KUHP 1991/1992 yang disempurnakan oleh Tim Kecil sampai dengan 13 Maret 1993,
Departemen Kehakiman RI], Pidana Kerja Sosial diatur dalam Pasal 75:
(1) Dalam hal Hakim mempertimbangkan untuk menjatuhkan Pidana Penjara tidak lebih dari 6
bulan atau denda tidak melebihi Kategori I, maka ia dapat mengganti pidana kerja sosial yang
sifatnya tidak dibayar (tidak diberi upah).
(2) Dalam hal pidana kerja sosial dijatuhkan, Hakim harus mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
a.Pengakuan terpidana terhadap tindak pidana yang dilakukan.
b.Usia layak kerja terpidana menurut Undang-undang.
c.Persetujuan terpidana, sesudah Hakim menjelaskan tujuan dan segala hal yang
berkaitan dengan pidana kerja sosial.

d.Riwayat sosial terpidana.
e.Pidana Kerja Sosial tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama dan politik terpidana.
f.Pidana Kerja Sosial tidak boleh dikomersialkan.
g.Dalam hal Pidana Kerja Sosial dijatuhkan sebagai pengganti pidana denda, maka sebelumnya
harus ada permohonan terpidana dengan alasan tidak mampu membayar denda tersebut.
(3) Pidana Kerja Sosial dikenakan paling lama 240 jam, untuk terpidana yang telah berumur 18
tahun, dan 120 jam untuk terpidana yang berumur di bawah 18 tahun, dan paling pendek 7
jam.
(4) Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 bulan, dengan
memperhatikan kegiatan-kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan
atau kegiatan lainnya yang bermanfaat.
(5) Apabila terpidana gagal untuk memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya dalam
menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasa yang wajar, maka Hakim dapat memerintahkan
terpidana untuk:
a.Mengulangi seluruh atau sebagian Pidana Kerja Sosial tersebut, atau
b.Menjalani seluruh atau sebagian Pidana Kerja Sosial yang digantikan oleh Pidana Kerja
Sosial tersebut, atau
c.Membayar seluruhnya atau sebagian Pidana Denda yang tidak dibayar yang
digantikan dengan Pidana Kerja Sosial tersebut, atau menjalani Pidana Penjara
sebagai pengganti Denda yang tidak dibayar.
Berdasarkan ketentuan Pasal 75 Rancangan KUHP Baru, Pidana Kerja Sosial dapat
dijatuhkan dalam hal:
1.

Hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan Pidana Penjara tidak lebih dari 6 bulan.
Dengan demikian dalam hal Hakim mempertimbangkan untuk menjatuhkan Pidana Penjara
lebih dari 6 bulan, maka Pidana Kerja Sosial tidak dapat dijatuhkan.

2. Hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan Pidana Denda yang tidak melebihi Kategori I.
Pasal 75 ayat (2) Rancangan KUHP Baru:
Dalam hal Hakim akan menjatuhkan Pidana Kerja Sosial perlu diperhatikan berbagai hal.
Berbagai persyaratan tersebut dimaksudkan agar Pidana Kerja Sosial dapat benar-benar dapat
dijalankan.
Bertolak dari berbagai keistimewaan Pidana Kerja Sosial tersebut, sekalipun
merupakan suatu “Pidana”, Pidana Kerja Sosial tidak bersifat forced labour. Pidana Kerja
Sosial merupakan bentuk Pidana yang sarat dengan muatan perlindungan hak asasi manusia.
Karenanya Pidana Kerja Sosial sangat relevan menjadi alternatif pidana (perampasan
kemerdekaan) yang ditawarkan dalam pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. [7]

Pelaporan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 26)
Korban berhak melaporkan secara:
langsung; atau
memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain;
kekerasan dalam rumah tangga yang dialami-nya kepada kepolisian, baik:
di tempat korban berada; maupun
di tempat kejadian perkara.
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali,
pengasuh, atau anak yang bersangkutan (Ps 27).

DAFTAR PUSTAKA
http://omperi.wikidot.com/tindak-pidana-kekerasan-dalam-rumah-tangga
http://www.lbh-apik.or.id/kdrt-pentingnya.htm
http://www.lbh-apik.or.id/fact-58.htm
[2]

http://www.lbh-apik.or.id/fact-58.htm

[3]

http://omperi.wikidot.com/tindak-pidana-kekerasan-dalam-rumah-tangga

[4]
[5]

http://www.lbh-apik.or.id/fact-58.htm
http://omperi.wikidot.com/tindak-pidana-kekerasan-dalam-rumah-tangga

[6]

http://omperi.wikidot.com/tindak-pidana-kekerasan-dalam-rumah-tangga

[7]

http://www.lbh-apik.or.id/kdrt-pentingnya.htm