Dampak Psikologis pada Ibu yang Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Masa Kehamilan di Kota Kisaran Tahun 2014

(1)

DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN

DI KOTA KISARAN TAHUN 2014

TESIS

Oleh

FIFI RIA NINGSIH SAFARI 127032053/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN

DI KOTA KISARAN TAHUN 2014

THESIS

By

FIFI RIA NINGSIH SAFARI 127032053/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN

DI KOTA KISARAN TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FIFI RIA NINGSIH SAFARI 127032053/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN DI KOTA KISARAN TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : Fifi Ria Ningsih Safari Nomor Induk Mahasiswa : 127032053

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D) (dr. Yusniwarti Yusad, M.Si

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 06 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Anggota : 1. Dr. Yusniwarti Yusad, M.Si

2. Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D 3. Dra. Syarifah, M.S


(6)

PERNYATAAN

DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN

DI KOTA KISARAN TAHUN 2014

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2014

Fifi Ria Ningsih Safari 127032053/IKM


(7)

ABSTRAK

Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Domestic Violence

setiap tahun terus mengalami peningkatan. Data dari Polres Asahan juga menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga pada ibu selama 5 tahun terakhir sebanyak 197 kasus dan kasus KDRT pada ibu saat hamil sebanyak 93 kasus (47,2%). Terjadinya kekerasan pada masa kehamilan diduga akan berpengaruh terhadap pola interaksi ibu dan bayi.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif menggunakan pendekatan studi kasus yang bertujuan untuk menggali realita pola interaksi ibu dan bayi yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga pada masa kehamilan. Penelitian dilaksanakan di kota

Kisaran. Subjek penelitian sebanyak 3 orang diperoleh dengan teknik snowballing

sampling. Analisis data dilakukan dengan pengumpulan data lapangan, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi. Penyebab terjadinya KDRT karena pengaruh mabuk-mabukan, kalah bermain judi, selingkuh, ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dampak KDRT pada kesehatan reproduksi yang dialami istri yaitu terjadinya perdarahan pada saat hamil, keputihan setelah melahirkan, dan menstruasi yang tidak teratur. Dampak psikologis yang dialami istri akibat KDRT yaitu menangis di kamar, merasa menjadi orang yang tidak berguna, malas makan, malas mandi, malas berhias, pasrah, menyesali keadaan, kabur dari rumah, depresi dan mencoba bunuh diri. Interaksi yang terjalin antara ibu dan bayi yaitu menyayangi bayinya tetapi jika kesal dengan bayinya maka bayinya dicubit, dan ada juga ibu yang tidak ingin mengaitkan perilaku suaminya dengan bayinya..

Saran kepada tenaga kesehatan untuk emberikan edukasi kepada masyarakat terutama kepada ibu rumah tangga tentang jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga yang dapat dilaporkan pada pihak yang berwenang, juga memberikan informasi yang tepat cara melakukan menanggulangi kasus KDRT.


(8)

ABSTRACT

The case of Domestic Violence keeps increasing from year to year. The data obtained from Asahan Resort Police also showed that the number of domestic violence cases on the mothers for the past five years was 197 and on the pregnant mothers was 93 cases (47.2%). The domestic violence occured during pregnancy is suspected to have influence on pattern of mother-fetus interaction.

The purpose of this qualitative study with case study approach conducted in the City of Kisaran was to explore the reality of the impact of domestic violence on the pregnant mothers. The subject of study was 3 pregnant mothers selected through snowballing sampling technique. The analysis of study was carried out through the processes of data collection in the field, data reduction, data presentation and drawing conclusion.

The result of study showed that domestic violence experienced by the wives were physical violence, psychological violence, sexual violence and economic violence. The incident of this domestic violence was due to the effect of drunkenness, gambling loss, having an affair, inability to meet the needs of daily life. The impact of domestic violence on the reproductive health experienced by the wife was bleeding during pregnancy, postpartum vaginal discharge, and irregular periods. The psychological impact domestic violence experienced by the wives was crying in the room, feeling to be useless, lazy to eat, lazy to take a shower, lazy to beautify herself, feeling resigned, regretting the current condition, running away from home, feeling depressed and attempting to commit suicide.

The health workers are suggested to provide education to the community members particularly the housewives about the kinds of domestic violence that can be reported to the authorities, also to provide the right information on how to prevent the case of domestic violence.


(9)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kecenderungan meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT baik fisik, psikis, seksual maupun ekonomi seringkali lebih berkisar hanya sebagai isu baik dalam pembicaraan maupun berita dalam media massa. Penanganan sampai tuntas apa lagi sampai pada tahap proses penuntutan dan kemudian mengadili pelakunya, terbentur pada adanya berbagai kendala, baik yang berasal dari aparat yang berwenang menangani maupun situasi dan kondisi masyarakat dimana kasus tersebut terjadi. Biasanya keadaan akan menjadi kompleks dan rumit jika kasusnya terjadi sekitar ruang lingkup keluarganya sendiri (Rodiyah, 2012).

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Domestic Violence juga

dikenal sebagai tindakan pemukulan terhadap istri, penyiksaan terhadap istri, penyiksaan terhadap pasangan, kekerasan dalam perkawinan atau kekerasan dalam keluarga. Bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terbanyak kejadiannya adalah penyiksaan terhadap istri atau tepatnya penyiksaan terhadap perempuan dalam relasi hubungan intim yang mengarah pada sistematika kekuasaan dan kontrol, dimana penyiksa berupaya untuk menerapkannya terhadap istrinya atau pasangan intimnya melalui penyiksaan secara fisik, emosi, sosial, seksual dan ekonomi (Kolibonso, 2010).


(10)

Sekitar 30%-40% wanita dibunuh dan mati oleh pasangan intimnya atau oleh mantan pasangannya di Amerika Serikat. Sekitar 25%-45% wanita korban kekerasan ini berada dalam kondisi hamil. Kekerasan selama kehamilan cenderung meningkat dengan alasan: stres biopsikososial selama kehamilan mengganggu hubungan dan kemampuan koping, frustasi dan akhirnya melakukan kekerasan; suami cemburu dengan janin yang dikandung pasangannya dan menjadikan pasangan sebagai sasaran kemarahan; marah pada janin yang belum lahir atau pada pasangannya; kekerasan dilakukan suami karena bingung dan ingin mengakhiri kehamilan pasangannya (Handayani, 2006).

Laporan WHO pada tahun 2002 menunjukkan bahwa kualitas kesehatan perempuan menurun drastis akibat kekerasan yang dialaminya. Kematian wanita mencapai antara 40-70% akibat pembunuhan yang dilakukan pasangan atau mantan pasangannya. Di Amerika Serikat, KDRT merupakan bahaya terbesar bagi perempuan dibandingkan perampokan dan pencurian. Data statistik menunjukkan bahwa setiap 9 menit perempuan menjadi korban kekerasan fisik dan 25% perempuan terbunuh oleh pasangannya. Sebuah riset di Canada menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 1 dari 10 perempuan yang berumah tangga mendapatkan kekerasan dari pasangannya (Elli N, 2002, dalam Sonda, 2010).

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas Perempuan dijumpai adanya 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia (74%) pada tahun 2006.


(11)

Jawa tengah (4.878 kasus). Data tahun 2007, Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre (WCC) menjumpai 87% dari perempuan korban kekerasan yang mengakses layanan WCC mengalami KDRT, yang terbanyak (82,75%) dilakukan oleh suami dan mantan suaminya (82,75%). Fakta tersebut juga menunjukkan 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang didampingi WCC mengalami gangguan jiwa, 12 orang pernah mencoba bunuh diri; dan 13,12% dari mereka menderita gangguan kesehatan reproduksinya (Kolibonso, 2010).

Berdasarkan studi pendahuluan yang diperoleh data dari Polres Asahan (kota Kisaran, Air Joman, Bandar Pulau, Lima Puluh, Medang Deras, dan Pulau Raja) KDRT pada ibu-ibu terus mengalami peningkatan. Sejak tahun 2008 sampai dengan Nopember 2013 (197 kasus). Dimana pada tahun 2008 jumlah kasus KDRT yang dilaporkan sebanyak 12 kasus, tahun 2009 menjadi 17 kasus, tahun 2010 sebanyak 22 kasus, tahun 2011 sebanyak 43 kasus, tahun 2012 meningkat menjadi 51 kasus dan tahun 2013 (Januari-Nopember 2013) menjadi 52 kasus. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1. (Polres Asahan, 2013).

Data dari Polres Asahan juga menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga pada ibu selama 5 tahun terakhir sebanyak 197 kasus dan kasus KDRT pada ibu saat hamil sebanyak 93 kasus (47,2%). Angka tertinggi kasus kekerasan tersebut terjadi di Kota Kisaran sebanyak 90 kasus dan kasus KDRT pada ibu hamil sebanyak 35 kasus (38,8%). Jenis kekerasan fisik yang sering dilakukan oleh suami pada ibu hamil yaitu penganiayaan, pemukulan, meninju, menampar


(12)

wajah, menendang perut sehingga korban sering mengalami memar pada perut dan pendarahan. Sedangkan kekerasan psikologis yang diterima oleh ibu hamil dari suaminya yaitu cacian, makian, hinaan, celaan, tuduhan selingkuh, dan lain-lain.

Ibu korban kekerasan selama hamil biasanya juga melakukan tindakan yang merusak dirinya dan kandungannya misalnya merokok dan minum alkohol, sebagai salah satu cara (koping) yang dipilihnya untuk mengurangi tekanan psikologis yang dialaminya. Distres emosi ini juga terus menerus terjadi akan menyebabkan risiko bunuh diri, tidak menginginkan kehamilan dan melakukan kekerasan pada anak (Hakimi et.al, 2001, dalam Handayani, 2006).

Kekerasan pada ibu hamil dapat berdampak langsung maupun tidak langsung pada ibu dan janinnya. Akibat langsung yang berdampak pada ibu adalah luka, kecacatan fisik ibu, perdarahan, syok, meninggal dunia. Sedangkan akibat tidak langsung pada ibu adalah: infeksi, infertilitas/kemandulan, meningkatnya kecemasan, depresi, kondisi ibu menjadi lebih buruk (anemia ringan menjadi anemia berat, tidak ada peningkatan berat badan bahkan berat badannya menurun, dan lain-lain) mungkin ibu menjadi perokok, peminum alkohol, pengguna obat-obat terlarang, tidak ada akses terhadap pelayanan kebidanan, adanya keinginan untuk mengakhiri kehidupan janin/aborsi dan mengakhiri kehidupan dirinya/bunuh diri. Dampak pada janin adalah dapat terjadi abortus/keguguran, abratio placenta/ari-ari terlepas dari rahim sebelum persalinan, persalinan prematur, janin mengalami kecacatan, kematian janin dalam kandungan (Nggelan, 2009).


(13)

Penelitian Sonda (2010) yang meneliti dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap gangguan kesehatan reproduksi wanita di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar mendapatkan hasil bahwa terganggunya kesehatan reproduksi berupa gangguan haid bukan akibat langsung KDRT, kekerasan fisik menyebabkan stres, haid terlambat, gangguan perilaku berupa pasrah, tidak berdaya, ragu-ragu dalam mengambil keputusan, gangguan psikis berupa rasa tertekan, stres berkepanjangan, rasa malu, rendah diri, dan perceraian.

Dampak KDRT pada ibu hamil menyebabkan perilaku maladaptif ibu setelah melahirkan yang memengaruhi interaksi ibu dan bayi seperti kurangnya pemenuhan ASI bagi bayi akibat ibu tidak mau menyusui bayinya, bayi tidak terawat, bayi ditelantarkan, dibuang bahkan ada yang secara sengaja dibunuh oleh ibunya sendiri. Melalaikan bayi dan keengganan ibu dalam memberikan asuhan kepada bayi berkaitan erat dengan kegelisahan, kecemasan dan penolakan ibu untuk dekat dengan bayinya (Handayani, 2006).

Contoh kasus KDRT yang sempat menghebohkan terjadi di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan pada tanggal 24 Februari 2013. Seorang ibu rumah tangga NI (24), yang sedang hamil mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Peristiwa tersebut terjadi pada pagi hari, saat keduanya terlibat pertengkaran hebat di rumah mereka. Suaminya, PS, memutuskan untuk meninggalkan NI saat itu juga. Namun, NI yang sedang hamil tua tidak ingin kehilangan suaminya. NI sempat meminta uang agar bayi yang di kandungannya dilahirkan di rumah sakit. Bukan perhatian yang didapat istrinya, PS malah memukuli dan menunjang istrinya. NI mendapatkan


(14)

pukulan di sekujur tubuhnya yaitu di kepala, di wajah, di tubuh, di kaki dan akibatnya NI mengalami luka dan memar pada lutut kiri dan bengkak di bagian kepala kanan (Santosa, 2013).

Kota Kisaran merupakan salah satu kota di wilayah Sumatera Utara yang sedang berbenah dan tak luput dari globalisasi. Meningkatnya pembangunan di wilayah tersebut tidak saja berefek positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat tetapi juga berefek negatif terhadap kehidupan warga masyarakat yang tidak mampu mengikuti perkembangan, sehingga menimbulkan stres terutama banyak terjadi pada suami sebagai kepala rumah tangga yang harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagai dampak stres tersebut, suami melampiaskan kekesalan kepada istri dan mereka sering tidak memperhatikan kondisi istri yang sedang menjalankan tugas reproduksi (istri sedang hamil). Kekerasan oleh suami pada istri tidak saja kekerasan fisik tetapi sering kali juga dibarengi dengan kekerasan psikologis. Hal tersebut menjadi tekanan tersendiri bagi istri yang berakibat istri tidak siap menerima kehadiran bayi yang dikandungnya sehingga tidak mampu melakukan interaksi dengan baik.

Studi pendahuluan yang telah dilakukan di Kota Kisaran pada akhir bulan Nopember 2013, dengan mewawancarai 2 orang ibu yang baru melahirkan (Ibu A dan Ibu B) dan pernah mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga selama masa kehamilan. Peneliti menanyakan bagaimana perlakuan yang diterima dari suaminya saat kehamilan dan bagaimana perasaannya tentang anak yang dilahirkan


(15)

tidak manusiawi karena pada masa kehamilan dirinya mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya yaitu ditampar, dipukul, ditendang, dihina, dicaci maki, direndahkan, dan tidak diberi nafkah. Keduanya sangat membenci suaminya tersebut, tetapi terhadap bayi atau anak yang dilahirkan mereka memiliki pandangan yang berbeda. Ibu A cenderung bertambah sayang kepada anaknya karena merasa anaknya tidak bersalah atas semua yang terjadi pada ibunya, sedangkan Ibu B. cenderung membenci anak yang dilahirkan karena merasa anak tersebut adalah darah daging suaminya yang akan menurunkan sifat buruknya sebagai seorang penganiaya. Kebencian Ibu B. pada bayinya dilampiaskan dengan membiarkan anaknya menangis keras tanpa segera ditolong, sering timbul perasaan gemas (geram) pada bayinya dengan memukul bayi jika menangis terus menerus. Kadang Ibu B merasa menyesal telah melakukan hal tersebut pada bayinya, tetapi jika mengingat perilaku suaminya saat sedang hamil dirinya tidak kuasa membendung perasaannya tersebut, apalagi suaminya kini jarang pulang di rumah, dan ketika pulang sering marah-marah.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian dan data-data di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Pola Interaksi Ibu Dan Bayi yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Pada Masa Kehamilan di Kota Kisaran tahun 2014.”


(16)

Meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada ibu hamil menyebabkan ibu hamil dapat mengalami komplikasi yang membahayakan ibu dan janin. Bahaya yang terjadi pada ibu tidak saja bahaya fisik tetapi juga goncangan jiwa ibu hamil yang dapat mengganggu ikatan hubungan antara ibu dan bayi setelah melahirkan. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana pola interaksi ibu dan bayi yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada masa kehamilan di Kota Kisaran tahun 2014.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pola interaksi ibu dan bayi yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada masa kehamilan di Kota Kisaran tahun 2014.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Secara teoritis

Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan teoritik bagi ilmu kesehatan masyarakat dan memperkaya khasanah kesehatan reproduksi tentang kekerasan rumah tangga pada ibu hamil dan dampaknya pada bayi yang dilahirkan.

1.5.2. Secara praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian berikutnya terutama yang berhubungan dengan KDRT dan interaksi ibu-bayi


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 2.1.1. Pengertian

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan pada seorang perempuan dan pihak-pihak yang tersubordinasi lainnya, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, ekonomi dan psikologis, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup rumah tangga (Sofyan, 2006).


(18)

KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri (Susilowati, 2008).

Secara empiris Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah lama berlangsung dalam masyarakat, hanya secara kuantitas belum diketahui jumlahnya, seperti kekerasan suami terhadap istri atau suami terhadap anak. Bentuk kekerasannyapun beragam mulai dari penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya. Disamping itu pemenuhan hak kaum perempuan yang rentan tidak hanya terbatas kepada perlindungan dalam rumah tangga, tetapi juga berhubungan dengan reproduksi perempuan. Secara sosiologis sebagian besar kaum perempuan masih sangat dibatasi oleh budaya masyarakat, dimana peran tradisional masih melekat kuat, yang mengindikasikan bahwa perempuan tidak lebih sebagai isteri atau ibu rumah tangga semata (Rodiyah, 2012).

KDRT dapat terjadi dalam rumah tangga dari keluarga sederhana, miskin dan terbelakang maupun rumah tangga dari keluarga kaya, terdidik, terkenal, dan terpandang. Tindak kekerasan ini dapat dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangan masing-masing, atau terhadap anak-anak, anggota keluarga yang lain, dan terhadap pembantu mereka secara berlainan maupun bersamaan.


(19)

2.1.2. Bentuk Kekerasan dalam Rumah tangga

Deklarasi tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan tahun 1993 menyatakan bahwa segala bentuk tindak kekerasan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat menyakiti secara fisik, seksual, mental, atau penderitaan terhadap perempuan termasuk mengancam atau tindakan, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi (Widyastuti, 2009).

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan ke dalam 4 (empat) macam :

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.

2. Kekerasan psikologis / emosional

Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.


(20)

3. Kekerasan seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.

4. Kekerasan ekonomi

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.

Banyak kasus terjadi kekerasan psikis berupa makian, hinaan (ungkapan verbal) sering berkembang menjadi kekerasan fisik. Pada awalnya mungkin belum terjadi, tetapi ketidaksengajaan pria kemudian berlanjut pada tindakan kekerasan fisik secara nyata (Widyastuti, 2009).

2.1.3. Siklus Kekerasan dalam KDRT

Relasi Personal sering disertai dengan siklus kekerasan, dengan pola berulang. Siklus kekerasan ini menyebabkan korban terus mengembangkan harapan dan mempertahankan rasa cinta atau kasihan, membuatnya sulit keluar dari perangkap kekerasan (Indrarani, 2012).


(21)

Gambar 2.1. Siklus Kekerasan Siklus kekerasan umumnya bergulir sebagai berikut:

1. Dimulai dengan individu tertarik dan mengembangkan hubungan.

2. Individu dan pasangan mulai lebih mengenal satu sama lain, “tampil asli” dengan karakteristik dan tuntutan masing-masing, muncul konflik dan ketegangan.

3. Terjadi ledakan dalam bentuk kekerasan

4. Ketegangan mereda. Korban terkejut dan memaknai apa yang terjadi. Pelaku

bersikap ”baik” dan mungkin meminta maaf.

5. Korban merasa ”berdosa” (bila tidak memaafkan), korban menyalahkan diri

sendiri karena merasa atau dianggap menjadi pemicu kejadian, korban mengembangkan harapan akan hubungan yang lebih baik.

6. Periode tenang tidak dapat bertahan. Kembali muncul konflik dan ketegangan,


(22)

7. Korban “terperangkap”, merasa bingung, takut, bersalah, tak berdaya, berharap pelaku menepati janji untuk tidak melakukan kekerasan lagi, dan demikian seterusnya.

8. Bila tidak ada intervensi khusus (internal, eksternal) siklus kekerasan dapat terus berputar dengan perguliran makin cepat, dan kekerasan makin intens.

9. Sangat destruktif dan berdampak merugikan secara psikologis (dan mungkin juga

fisik) (Indrarani, 2012).

2.1.4. Penyebab Terjadinya KDRT

Zastrow & Browker (1984) dalam Wahab (2010), menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi-agresi, dan teori kontrol.

1. Teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu

instink agresif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh orang lain dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan. Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat berguna untuk survive. Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat keturunan dan survive, sementara itu manusia atau hewan yang kurang agresif memungkinkan


(23)

suatu sistem dominan, dengan demikian memberikan struktur dan stabilitas untuk kelompok. Beberapa ahli teori biologis berhipotesis bahwa hormon seks pria menyebabkan perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli teori belajar berteori bahwa perbedaan perilaku agresif terutama disebabkan oleh perbedaan sosialisasi terhadap pria dan wanita.

2. Teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk

mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu pendapat yang masuk akal bahwa seseorang yang frustasi sering menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya. Seorang remaja (teenager) yang diejek oleh orang lain mungkin membalas dendam, sama halnya seekor binatang kesayangan yang digoda. Seorang pengangguran yang tidak dapat mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya. Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak menjelaskan mengapa frustasi mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah orang, tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan kekerasan nampak tidak berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang pembunuh yang profesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan. 3. Teori frustasi-kontrol sebagian besar dikembangkan oleh para psikolog, beberapa

sosiolog telah menerapkan teori untuk suatu kelompok besar. Mereka memperhatikan perkampungan miskin dan kotor di pusat kota dan dihuni oleh kaum minoritas telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi. Mereka


(24)

berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesempatan, dan ketidakadilan lainnya di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua menginginkan semua benda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta tak ada hak yang sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka frustasi dan berusaha untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap angka kekerasan yang tinggi bagi penduduk minoritas.

4. Ketiga, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan

orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika usaha-usahanya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi situasi frustasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.

Menurut Susilowati (2008), KDRT pada istri tidak akan terjadi jika tidak ada penyebabnya. Di Indonesia, kekerasan pada perempuan merupakan salah satu budaya negatif yang tanpa disadari sebenarnya telah diturunkan secara turun temurun. Apa saja penyebab kekerasan pada istri? Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara lain:

1. Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa

anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.

2. Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.


(25)

4. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.

5. Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.

6. Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.

7. Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.

8. Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.

9. Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang

sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya (Susilowati, 2008).

Pria kadang kehilangan kontrol terhadap arah hidup, maka pria mungkin menggunakan sikap kekerasan untuk mengendalikan hidup orang lain, walaupun sikap itu salah. Adapun beberapa alasan yang menjadi penyebab pria menganiaya wanita / istri / pasangannya meskipun alasan itu salah antara lain: (Widyastuti, 2009). 1. Tindakan kekerasan dapat mencapai suatu tujuan.

a. Bila terjadi konflik, tanpa harus musyawarah kekerasan merupakan cara cepat penyelesaian masalah.

b. Dengan melakukan perbuatan kekerasan, pria merasa hidup lebih ‘berarti’

karena dengan berkelahi maka pria merasa menjadi lebih digdaya.

c. Pada saat melakukan kekerasan pria merasa memperoleh ‘kemenangan’ dan

mendapatkan apa yang dia harapkan, maka korban akan menghindari pada konflik berikutnya karena untuk menghindari rasa sakit.


(26)

2. Pria merasa berkuasa atas wanita. Bila pria merasa mempunyai istri ‘kuat’ maka dia berusaha untuk melemahkan wanita agar merasa tergantung padanya atau membutuhkannya.

3. Ketidaktahuan pria. Bila latar belakang pria dari keluarga yang selalu

mengandalkan kekerasan sebagai satu-satunya jalan menyelesaikan masalah dan tidak mengerti cara lain maka kekerasan merupakan jalan pertama dan utama baginya sebagai cara yang jitu setiap ada kesulitan atau tertekan karena memang dia tidak pernah belajar cara lain untuk bersikap (Widyastuti, 2009).

2.1.5. Faktor yang Memengaruhi terjadinya KDRT

Menurut Sofyan (2006), faktor yang memengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut :

1. Faktor Risiko KDRT

Faktor yang berperan di tiap tingkatan dalam penyalahgunaan pasangan oleh pria dijabarkan sebagai berikut :

a. Tingkat individu

Termasuk ke dalamnya adalah pernah mengalami kekerasan semasa kanak-kanak, menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga antar ibu dan bapak, tidak adanya atau penolakan terhadap figur ayah, atau kebiasaan minum alkohol. b. Tingkat hubungan / interaksi dengan pasangan

Faktor penentunya antara lain konflik perkawinan dan kendali pria terhadap harta dan pengambilan keputusan dalam keluarga.


(27)

c. Tingkat lingkungan kecil

Pengisolasian perempuan dan kurangnya dukungan sosial, disamping kelompok pria sebaya yang menerima budaya kekerasan sangat berpengaruh terhadap terjadinya kekerasan.

d. Tingkat masyarakat luas

Faktor yang berpengaruh antar lain kakunya dan dipaksanya peran jender, diterapkannya konsep maskulinitas yang berkaitan dengan kekerasan, kehormatan pria dan dominasi atas perempuan, toleransi terhadap hukuman fisik bagi perempuan dan anak, menerima kekerasan sebagai sarana untuk mengacaukan hubungan dengan pasangan dan persepsi bahwa pria mempunyai kepemilikan terhadap wanita.

2. Faktor protektif KDRT a. Tingkat individu

Termasuk rasa percaya diri dan persepsi yang positif terhadap kemampuan dan kendali diri.

b. Tingkat hubungan interaksi dengan pasangan

Faktor protektif antara lain kesatuan keluarga yang kuat, hubungan antara anak-orang tua baik, pengelolaan keuangan keluarga dilakukan suami istri. c. Tingkat lingkungan kecil

Kesatuan warga, kehadiran di sekolah, kewirausahaan yang ditujukan untuk wanita, fasilitas di lingkungan pemukiman (sarana, pelayanan kesehatan, tempat rekreasi) merupakan hal-hal yang bersifat protektif).


(28)

d. Tingkat masyarakat luas

Faktor protektif antara lain stabilitas politik, pengendalian pemakaian senjata, dan promosi kesetaraan jender dan anti kekerasan (Sofyan, 2006).

2.1.6. Korban Kekerasan

Menurut Ciciek (2005), berdasarkan kenyataan di seluruh dunia, yang menjadi korban KDRT berasal dari semua golongan masyarakat. Data dan fakta tentang para korban ini menunjukkan dengan gamblang bahwa semua perempuan dari berbagai lapisan sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama maupun rentang usia telah tertimpa musibah kekerasan.

Korban kekerasan tetap mencoba bertahan walaupun telah berulang kali menerima perlakuan kekerasan dari pasangan disebabkan oleh beberapa hal antara lain :

1. Takut pembalasan suami.

Banyak istri diancam dengan penganiayaan yang lebih kejam, bahkan pembunuhan, jika mereka berupaya meninggalkan rumah tangga. Menurut laporan kepolisian, setengah dari istri yang berupaya meninggalkan perkawinan dibunuh oleh suaminya.

2. Tidak ada tempat berlindung

Banyak istri bergantung secara ekonomi kepada suami, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mencoba bertahan dalam derita yang berkepanjangan.


(29)

3. Takut dicerca masyarakat

Banyak perempuan takut dicap sebagai perempuan tidak baik karena diketahui sebagai korban kekerasan akibat didera suami. Sebagian tidak siap dengan status sosial sebagai janda, karena masyarakat menganggap rendah.

4. Rasa percaya diri yang rendah

Akibat penganiayaan baik secara jasmani, rohani maupun seksual, istri seringkali merasa tidak berarti dan tidak percaya mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah.

5. Untuk kepentingan anak

Istri khawatir anak-anaknya akan mengalami penderitaan yang lebih buruk jika berpisah dari ayah mereka.

6. Sebagian istri tetap mencintai suami mereka

Mereka mendambakan berhentinya kekerasan, bukan putusnya perkawinan. Mereka berharap terus menerus agar suaminya berubah, menjadi baik kembali.

7. Mempertahankan perkawinan

Banyak istri yang percaya perkawinan itu sesuatu yang luhur dan perceraian adalah sesuatu yang buruk sehingga harus dihindari. Mereka beranggapan bahwa lebih baik tetap menderita dalam perkawinan daripada bercerai karena tabu atau dilarang agama (Ciciek, 2005).

Secara psikologis seorang perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga akan menampilkan karakteristik seperti: berusaha meminimalkan kekerasan yang dialaminya, menyalahkan diri sendiri korban merasa sebagai


(30)

penyebab terjadinya kekerasan yang dialami, dan ambivalensi dimana korban merasa bingung dengan suami dan beranggapan suami tidak ingin benar-benar melakukan kekerasan terhadap dirinya(Poerwandari, 2000).

2.1.7. Akibat Kekerasan

Menurut Hasanah, dkk (2003) dalam Saraswati (2009) menjelaskan dampak atau akibat yang ditimbulkan dari kekerasan dalam rumah tangga, seperti: terdapat memar, atau lebam setelah terjadi kekerasan fisik. Adanya rasa malu, takut hilangnya konsep diri, dan tidak percaya diri adalah dampak yang ditimbulkan dari kekerasan psikis, Terjadinya haid yang tidak teratur, dan sulit menikmati hubungan seksual adalah dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan seksual. Menurut pasal 5 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga, yaitu: penelantaran rumah tangga adalah tidak memberikan nafkah kepada istri, membiarkan istri bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai suami, bahkan mempekerjakan istri dan memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomi untuk mengontrol kehidupannya.

Menurut Sofyan (2006), kekerasan terhadap perempuan sangat merugikan kesehatan reproduksi wanita di samping merugikan aspek-aspek kesejahteraan fisik dan mental emosional juga menambah resiko jangka panjang yaitu terjadinya gangguan kesehatan lainnya.

1. Akibat fisik

a. Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri.


(31)

c. Trauma fisik dalam kehamilan, yang beresiko terhadap ibu dan janin.

d. Perlukaan / trauma terhadap anak sebagai korban dalam kejadian kekerasan.

e. Kehamilan yang tidak diinginkan dan kehamilan dini akibat perkosaan atau

pergaulan bebas.

f. Tertular PMS / AIDS.

g. Meningkatnya gangguan ginekologis, PMS/IMS, infeksi saluran kencing dan

gangguan pencernaan. 2. Akibat non fisik

a. Bunuh diri

b. Gangguan mental misalnya depresi, ketakutan dan cemas, rasa rendah diri,

kelelahan kronis, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual, gangguan makan, dan lain-lain.

c. Pengaruh psikologis terhadap anak karena menyaksikan kekerasan.

3. Akibat dampak terhadap masyarakat

a. Bertambahnya biaya pemeliharaan kesehatan akibat dampak fisik / nonfisik.

b. Efek terhadap produktivitas, misalnya mengakibatkan berkurangnya

kontribusi kepada masyarakat, kemampuan realisasi diri dan kinerja dan cuti sakit bertambah sering

4. Akibat dampak lain

a. Kehilangan nafsu makan.


(32)

c. Terus menerus mengalami kecemasan dan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri.

d. Gangguan psikis berat e. Kehilangan akal sehat

f. Tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi g. Curiga terus menerus (paranoid).

2.1.8. Dampak KDRT pada Kesehatan Reproduksi

Kesehatan reproduksi menurut ICPD (1994) adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya (Widyastuti, 2009).

Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan reproduksi perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan membentuk kehidupan seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai oleh pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di Norwegia oleh Schei dan Bakketeig (1989) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) juga menyatakan bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak kekerasan menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang lebih berat ketimbang dengan yang tinggal dengan pasangan/suami normal; bahkan problem ginekologis ini bisa berlanjut dalam rasa sakit terus menerus (Sutrisminah, 2012).


(33)

Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya terjadi demi terwujudnya hak perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang sehat. Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau

metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya.

Dampak lain yang juga memengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat memengaruhi cara berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular.

Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun tidak selalu adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang tidak bekerja tetapi juga perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekonomi secara mendadak, kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk hunian, kepindahan, pengobatan dan terapi serta ongkos perkara. Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan / pemakaian zat-zat


(34)

tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan diri (Sutrisminah, 2012).

2.1.9. KDRT pada Ibu Hamil

Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus, persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati (Sutrisminah, 2012).

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan penyebab penting yang menyebabkan kesakitan atau kematian pada wanita selama kehamilan. Banyak orang berpikir bahwa kekerasan akan berakhir jika seorang wanita dalam keadaan hamil. Penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperburuk tingkat kekerasan. Suatu hal yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana pasangan (suami) akan memperlakukan calon anak jika mereka sudah memperlakukan istri dengan buruk (Jennifer, 2008).

Kekerasan selama kehamilan juga dapat terjadi akibat peningkatan stres yang dialami oleh pria. Stres ini disebabkan oleh perasaan meningkatnya tanggungjawab materi yang harus dipenuhi nantinya, yang akhirnya mengharuskan pria menambah pemasukan atau bekerja lebih. Stress juga terjadi akibat pasangan belum siap menjadi seorang ayah, dan pria lebih enggan mencari bantuan untuk mengatasi stres atau


(35)

kebutuhan emosional daripada wanita sehingga menimbulkan stres yang berkepanjangan (Condon, 2004 dalam O’Reilly, 2007).

Jenis kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami pada istri saat mengalami kehamilan adalah sebagai berikut:

1. Kekerasan fisik

Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa penganiayaan fisik ibu hamil dengan bentuk yang bermacam-macam yaitu dengan cara melukai, menyiksa, menganiaya ibu hamil menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan atau kaki) mulai dari pukulan, jambakan rambut, cubitan, mendorong secara kasar, penginjakan, pelemparan, cekikan, tamparan, tendangan, sampai penyiksaan dengan menggunakan alat seperti pentungan, gagang sapu, pisau, ban mobil, setrika, sundutan rokok, siraman air keras, dan lain-lain. Tindakan tersebut dapat mengakibatkan rasa sakit, luka ringan sampai luka berat, kecacatan, mengalami komplikasi kehamilan, kerusakan pada daerah alat kelamin istri, keguguran, pendarahan, bahkan ibu hamil dapat meninggal dunia.

2. Kekerasan psikologis

Tindakan kekerasan yang dilakukan dengan menyerang wilayah psikologis korban, bertujuan untuk merendahkan harga diri seorang istri baik melalui kata-kata maupun perbuatan seperti mengumpat, membentak dengan kata-kata-kata-kata kasar, menghina, mengancam. Tindakan tersebut mengakibatkan ibu hamil menjadi ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, ibu hamil mengalami depresi, stres, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan psikis berat pada ibu hamil.


(36)

3. Kekerasan seksual

Penganiayaan atau penyerangan seksual oleh suami pada istri yang sedang hamil dengan cara memaksa hubungan seksual pada saat ibu hamil tidak menginginkan berhubungan seksual dengan suami. Suami memaksa dengan mengancam istri pada saat hamil (terutama pada saat hamil trimester II atau III) agar mau melayani kebutuhan seksual suami setiap saat. Kekerasan seksual dengan pemaksaan seringkali hanya memuaskan suami sedangkan istri lebih banyak mengalami penderitaan dengan kondisi perut yang membesar.

4. Kekerasan sosial dan ekonomi

Tindakan kekerasan dilakukan oleh suami dengan cara membuat istri tergantung secara ekonomi selama kehamilan, atau suami tidak memberikan nafkah lahiriah kepada istri yang sedang hamil, tidak memberikan kebutuhan selama ibu hamil seperti susu ibu hamil, makanan yang bergizi bagi ibu hamil, suami mengontrol atau mengawasi penggunaan uang oleh istri selama kehamilan, suami membatasi pengeluaran yang wajib dibeli setiap bulan, mengisolasi istri dari kehidupan sosial (masyarakat) karena suami takut perbuatannya terbongkar oleh orang lain, melarang istri mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di lingkungan rumah, suami tidak mendukung atau melarang istri untuk melakukan pemeriksaan selama kehamilan ke tenaga kesehatan, menelantarkan istri dengan tidak mencukupi kebutuhan ibu selama kehamilan.


(37)

2.2. Interaksi Ibu Korban KDRT dengan Bayi yang Dilahirkan

Kekerasan suami pada istri selama kehamilan cenderung meningkat dengan berbagai alasan seperti: stres biopsikososial (stres yang dipicu oleh hukum relasi dengan orang lain dan akibat situasi sosial lainnya) selama kehamilan mengganggu hubungan dan kemampuan koping, frustasi dan akhirnya melakukan kekerasan; suami cemburu dengan janin yang dikandung pasangannya dan menjadikan pasangan sebagai sasaran kemarahan; marah pada janin yang belum lahir atau pada pasangannya; kekerasan dilakukan suami karena bingung dan ingin mengakhiri kehamilan pasangannya. Hal tersebut akan berdampak negatif pada istri seperti istri mengalami depresi pada masa nifas (Handayani, 2006).

Depresi masa nifas merupakan keadaan yang sangat serius, karena pada masa ini ibu harus memerlukan istirahat dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Biasanya penyebab depresi masa nifas yaitu berhubungan dengan kesibukan ibu mengurus anak yang lain sebelum melahirkan anaknya, pengalaman ibu selama masa kehamilan seperti perbuatan suami yang kurang baik pada ibu selama masa kehamilan dengan perilaku kekerasan. Gejala-gejala psikis dari ibu yang mengalami depresi yaitu tidak mau mengurus diri atau tidak mau mengurus bayinya, gampang murung, mudah marah, dan terkadang mengalami halusinasi pendengaran (Pieter, 2011).

Distres emosi pada ibu pasca melahirkan akibat perlakuan tindakan kekerasan pada masa kehamilan yang terus menerus terjadi akan menyebabkan risiko bunuh diri, tidak menginginkan kehamilan dan melakukan kekerasan pada bayi yang


(38)

dilahirkan (Handayani, 2006). Kekerasan pada bayi ini diawali pada masa bayi, dimana pada saat bayi lahir, ibu mengalami perubahan fisik dan emosional, hal ini dapat mengakibatkan ibu korban kekerasan pada saat hamil mengalami kesulitan menjalin hubungan atau berinteraksi dengan bayinya. Ibu juga dapat menjadi pelaku kekerasan pada bayinya jika tidak dapat memperbaiki hubungan dengan suaminya (Lowdermilk, 2000).

Dampak perilaku maladaptif ibu postpartum akan memengaruhi interaksi ibu dengan bayi, hal tersebut dapat menyebabkan kurangnya pemenuhan ASI bagi bayi akibat ibu tidak mau menyusui bayinya, bayi tidak terawat, ditelantarkan, dibuang bahkan ada yang secara sengaja dibunuh oleh ibunya sendiri. Melalaikan bayi dan keengganan ibu dalam memberikan asuhan pada bayi berkaitan erat dengan adanya kegelisahan, kecemasan dan penolakan ibu untuk dekat dengan bayinya. Kekerasan dan penelantaran bayi dapat berdampak pada gangguan perkembangan antara lain kondisi gagal tumbuh tanpa penyakit organik, mudah terserang penyakit, atau muncul masalah emosional (Handayani, 2006).

Kekerasan terhadap istri juga berdampak bagi anak-anaknya. Bagi yang masih bayi, besar kemungkinan ia tidak lagi akan dapat merasakan nikmatnya air susu ibu (ASI), sebab stress akan membuat produksi ASI berkurang bahkan berhenti. Belum lagi dengan melemahnya kemampuan menguasai diri, baik dari suami maupun istri akan membuka kemungkinan mereka bertindak kejam terhadap anak. Kondisi ini tentu tidak baik bagi anak, karena akan membuat mereka trauma baik fisik maupun


(39)

ngompol, gelisah, gagap, sering menderita gangguan perut, sakit kepala, asma, kejam pada binatang, suka memukul teman, dan sebagainya (Adiningsih, 2005).

2.3. Kerangka Berfikir

Tindakan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat. Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki-laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan.

Efek psikologis kekerasan atau penganiayaan suami bagi banyak perempuan atau istri lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.

Menurut undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), bentuk-bentuk kekerasan suami terhadap istri


(40)

dalam rumah tangga yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Menurut Widyastuti (2009), banyak kasus terjadi kekerasan psikis berupa makian, hinaan (ungkapan verbal) sering berkembang menjadi kekerasan fisik. Pada awalnya mungkin belum terjadi, tetapi ketidak-sengajaan pria kemudian berlanjut pada tindakan kekerasan fisik secara nyata yang akan membuat istri menderita.

Dampak kekerasan rumah tangga pada kesehatan reproduksi ibu yaitu perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil maka dapat mengalami gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami menopause yang terjadi lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya (Sutrisminah, 2012). Sedangkan jika terjadi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan abortus/keguguran, abratio placenta/ari-ari terlepas dari rahim sebelum persalinan, persalinan prematur, janin mengalami kecacatan, kematian janin dalam kandungan (Nggelan, 2009).

Kekerasan suami pada istri akan berdampak pada interaksi ibu dengan bayi yang dilahirkannya. Dampak tersebut diawali pada masa bayi, dimana pada saat bayi lahir ibu mengalami perubahan fisik dan emosional, hal ini dapat mengakibatkan ibu korban kekerasan pada saat hamil mengalami kesulitan menjalin hubungan atau berinteraksi dengan bayinya. Ibu juga dapat menjadi pelaku kekerasan pada bayinya jika tidak dapat memperbaiki hubungan dengan suaminya. Hal tersebut juga akan menyebabkan kurangnya pemenuhan ASI bagi bayi akibat ibu tidak mau menyusui


(41)

bayinya, bayi tidak terawat, ditelantarkan, dibuang bahkan ada yang secara sengaja dibunuh oleh ibunya sendiri (Lowdermilk, 2000).

0

Gambar 2.2. Kerangka Teori (Lowdermilk, 2000)

Bentuk kekerasan menurut UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT):

1. Kekerasan fisik, 2. Kekerasan psikologis/

emosional,

3. Kekerasan seksual, dan 4. Kekerasan ekonomi

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Suami pada istri)

Kesehatan Reproduksi

Hamil Tidak Hamil

• gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia

• mengalami menopause dini,

• penurunan libido, •ketidakmampuan

orgasme

Interaksi Ibu-bayi

• abortus/keguguran,

• persalinan prematur,

• janin mengalami kecacatan,

• kematian janin dalam kandungan,

• abratio placenta/ari-ari terlepas dplacenta/ari-ari rahim sebelum persalinan.

• bayi ditelantarkan (child abuse)

• bayi dibuang

• bayi dibunuh oleh ibunya sendiri

• bayi tidak terawat,

• bayi tidak diberi ASI

• Fisik : menganiaya, memukul, meninjau, menampar, menjambak, menendang, mencubit, menyiram, dan lain-lain.

• Psikologis : cacian, makian, hinaan, celaan, mengumpat, membentuk, menuduh, dan lain-lain.

• Seksual: pemaksaan hubungan seksual.

• Ekonomi: mengawasi/

mengontrol penggunaan keuangan, tidak memberi nafkah, dan lain-lain.


(42)

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Dalam penelitian studi kasus berusaha memperoleh pemahaman yang utuh dan terintegrasi mengenai berbagai fakta dan dimensi dari suatu kasus. Di samping itu dengan studi kasus dapat mengantar peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil dalam masyarakat (Notoatmodjo, 2010).

Dalam hal ini peneliti menggunakan studi kualitatif karena peneliti ingin menggali realita yang sebenarnya belum tentu tergali bila dengan hanya menggunakan angket atau studi kuantitatif. Penelitian ini akan menggali apa penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami, apa yang dirasakan ibu setelah mendapatkan perlakuan kekerasan dari suami baik secara fisik maupun psikologis, dan dampak yang dirasakan ibu dalam berinteraksi atau berhubungan dengan bayi yang dilahirkan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Kisaran Kabupaten Asahan. Alasan pemilihan lokasi ini karena terjadi peningkatan jumlah kasus-kasus kekerasan selama tahun 2008 – Nopember 2013 (data pada Bab I) baik kekerasan yang umum terjadi pada


(43)

istri maupun pada istri yang sedang mengalami kehamilan. Belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya dengan judul yang sama dengan penelitian ini.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2013 sampai dengan bulan April 2014.

3.3 Informan Penelitian

Pada penelitian kualitatif, Sarantakos menekankan bahwa banyaknya jumlah sampel bukan menjadi prioritas utama, untuk menjamin tingginya akurasi, validitas dan keberhasilan dalam penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005).

Sampel penelitian merupakan individu-individu yang akan menjadi fokus yang diamati dari suatu penelitian. Sesuai dengan judul penelitian yaitu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada istri yang mengalami kehamilan dan dampaknya terhadap interaksi ibu dan bayi maka yang menjadi subyek penelitian adalah ibu pasca melahirkan yang pernah mendapatkan kekerasan selama masa kehamilan oleh suaminya.

Dalam penelitian ini teknik sampling yang dipakai adalah sampel bola salju (snowball sampling) yang merupakan bagian dari nonprobability sampling. Nonprobability yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/ kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Snowball sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar (Sugiyono, 2008).


(44)

Sampel dalam penelitian ini yaitu ibu yang mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama masa kehamilan, ibu yang sudah melahirkan dan memiliki bayi, petugas kesehatan (bidan) yang menangani kehamilan dan persalinan ibu, anggota keluarga yang mengetahui kejadian kekerasan dalam rumah tangga, dan tokoh masyarakat.

Dari subyek ini sudah mewakili dan memenuhi kriteria dari masalah-masalah yang peneliti rumuskan. Selain itu metode dalam melakukan penelitian ini dapat menjabarkan semua temuan-temuan selama peneliti melakukan penelitian di lapangan sehingga didapat hasil penelitian yang mendalam dan memenuhi dari batasan-batasan masalah yang disajikan.

3.3.1. Syarat Informan

Dalam menentukan atau menetapkan informan diperlukan syarat–syarat dari informan penelitian. Adapun syarat-syarat dari informan adalah :

1. Mengalami kekerasan dalam rumah tangga pada masa kehamilan.

2. Memiliki bayi yang hidup setelah melahirkan. 3. Tinggal bersama dengan bayi.

4. Memiliki kemampuan menceritakan kembali pengalaman tentang kasus kekerasan

dalam rumah tangga yang terjadi pada masa kehamilan.

5. Memiliki kondisi emosional dan penyesuaian diri yang positif dalam kehidupan


(45)

6. Orang yang dekat dengan informan dan mengetahui kehidupan sehari-hari dan sosial kemasyarakatan (tokoh masyarakat) serta memahami kondisi kesehatan reproduksi informan (tenaga kesehatan/bidan).

7. Bersedia diwawancarai dan memiliki kemauan untuk memberikan informasi sesuai

dengan tema penelitian.

3.3.2 Proses Penelusuran Informan

Dalam penelusuran informan dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki bayi dan pernah mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga pada masa kehamilan. Dari 35 orang ibu yang mengalami kekerasan pada masa kehamilan dari bulan Januari-Nopember 2013 peneliti memilih informan dalam penelitian ini yang sesuai dengan kriteria yang dianggap sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan pendekatan penelitian, maka instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah peneliti sendiri. Peneliti sebagai key instrument atau alat penelitian yang utama (Moeloeng, 2005). Menurut Lincoln, keberadaan peneliti sebagai key instrument memberikan keuntungan, karena sifat peneliti yang responsif dan adaptable. Sebagai key instrument, kehadiran dan keterlibatan peneliti di lapangan lebih memungkinkan untuk menemukan makna dan tafsiran dari subyek

penelitian dibandingkan dengan penggunaan alat non human (seperti instrument


(46)

pengecekan pada subyek apabila informasinya kurang atau tidak sesuai dengan tafsiran peneliti melalui pengecekan anggota / membercheks.

Peneliti hadir tanpa berperan serta dan tidak melakukan intervensi apapun terhadap peristiwa yang akan diungkap. Wawancara dilakukan dalam situasi

informal. Dengan demikian fenomena yang terjadi adalah asli (natural). Dalam

pengumpulan data lebih banyak bergantung pada diri peneliti sendiri sebagai alat pengumpul data. Yang berarti bahwa penelitian harus dapat mengungkapkan makna, berinteraksi dengan nilai-nilai lokal dimana hal ini tidak bisa dilakukan dengan kuesioner, angket, atau yang lainnya. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lokasi penelitian mutlak diperlukan sesuai dengan prinsip-prinsip penelitian kualitatif yaitu peneliti harus dapat menciptakan hubungan yang baik dengan subyek penelitian.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) instrumen utama adalah peneliti. Hal ini dikarenakan kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif adalah sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya, (2) kamera digital sebagai alat bantu, (3) perekam digital, dan (4) beberapa alat tulis (Moeloeng, 2005).

3.5. Pengumpulan dan Keabsahan Data

Antara pengumpulan dan keabsahan data tidak dilakukan secara terpisah, melainkan berjalan bersamaan dan berproses secara simultan. Untuk itu peneliti mengambil teknik triangulasi dalam proses pengambilan data. Metode triangulasi merupakan metode pemahaman sosial yang meyakini bahwa untuk memahami


(47)

fenomena sosial dan fenomena psikologi tidaklah cukup menggunakan satu metode saja (Moeloeng, 2005).

Triangulasi mengacu pada upaya mengambil sumber-sumber data yang berbeda untuk menjelaskan suatu masalah. Selanjutnya Marshall dan Rossman mengungkapkan bahwa data tersebut dapat digunakan untuk mengelaborasi dan memperkaya penelitian, selain itu dengan data tersebut peneliti akan dapat menguatkan derajat manfaat studi pada situasi-situasi yang berbeda (Poerwandari, 2005).

Pada penelitian ini triangulasi data dilaksanakan pada praktik wawancara dan observasi. Misalkan dalam wawancara awal telah diperoleh suatu data, maka selanjutnya dari data tersebut akan dijadikan pijakan bagi wawancara selanjutnya, tentunya setelah melakukan sedikit kajian terhadapnya (data yang telah diperoleh), dan untuk memperkuatnya bisa dibantu dengan data observasi.

Lebih jauh proses pengumpulan data melalui observasi dan wawancara dapat dipaparkan di bawah ini:

1. Observasi

Mengutip dari pendapat Guba dan Lincoln teknik pengamatan memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melihat dan mengamati sendiri peristiwa yang ingin diteliti dan mencatat segala kejadian sesuai dengan situasi yang sebenarnya (Moeloeng, 2005).

Adapun acuan yang di jadikan peneliti untuk melakukan observasi, terdapat pada lampiran laporan penelitian. Alat observasi yang digunakan dalam penelitian


(48)

ini adalah dengan menggunakan check list. Check list adalah suatu daftar yang

berisi nama subyek dan faktor-faktor yang hendak diselidiki. Check list

dimaksudkan untuk mensistematiskan catatan observasi (Moeloeng, 2005).

Peneliti menggunakan observasi (pengamatan) sehingga peneliti akan memperoleh informasi yang lebih valid. Peneliti bisa melihat keadaan subyek secara langsung dan menguatkan informasi yang telah diberikan melalui pengumpulan data yang lain. Observasi dilakukan saat subyek beraktivitas sepanjang hari. Selain mengobservasi subjek penelitian, peneliti juga mengobservasi keadaan tempat tinggal, hubungan dengan anggota keluarga lain, dan mengobservasi perilaku subjek saat diwawancarai.

Teknik observasi adalah pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti terjadi dalam pengakuan. Menurut Sutrisno (2008) observasi adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap kenyataan-kenyataan yang diselidiki.

Menurut Arikunto (2010) metode observasi adalah kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan seluruh alat indera. Jadi observasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba dan pengecap.

Peran serta yang dilakukan peneliti dalam melakukan pengamatan di lapangan adalah dalam tahap pasif. Peneliti hadir dalam pelaksanaan


(49)

sebagai anggota pura-pura, jadi tidak melebur dalam arti sesungguhnya. Peranan demikian masih membatasi para subyek menyerahkan dan memberikan informasi terutama yang bersifat rahasia (Moeloeng, 2005).

2. Wawancara

Cara ini merupakan tahapan yang dilalui peneliti untuk mendapatkan data primer dari informan sesuai dengan kajian atau fokus penelitian. Peneliti berpedoman pada batasan-batasan dari rumusan masalah. Adapun acuan yang di jadikan peneliti untuk melakukan wawancara, terdapat pada lampiran laporan penelitian. Wawancara sendiri dilakukan secara mendalam (in depth-interview). Untuk dapat melakukan wawancara secara mendalam, peneliti melakukannya dengan beberapa tahapan, yaitu wawancara yang dilakukan beberapa kali terhadap satu subyek. Dari hasil wawancara pertama nantinya menjadi pedoman wawancara kedua dan akan begitu seterusnya, sampai data yang diperoleh cukup relevan dengan tujuan penelitian. wawancara secara berkala tersebut selain untuk memperjelas dan menambah informasi data, juga sebagai metode untuk memperoleh keabsahan data atau tidak lain sebagai teknik triangulasi itu sendiri.

Kedua metode tersebut, digunakan secara simultan agar data yang didapatkan bisa saling mendukung dan sinergis. Hal itu merupakan triangulasi data yakni sampai seberapa jauh temuan dari lapangan benar-benar representatif. Untuk memperoleh data yang representatif, maka selalu dilakukan perbandingan antara hasil wawancara dengan observasi, hasil wawancara satu dengan yang lainnya, dan hasil observasi satu dengan lainnya (Sutrisno, 2008).


(50)

Selain dari teknik triangulasi yang dilakukan dalam proses pengambilan data, peneliti juga melakukan peer debrifing terhadap data yang mendiskusikan hasil kajian dengan orang lain yang tentunya mempunyai pengetahuan tentang pokok penelitian dan metode penelitian yang diterapkan, seperti dengan pembimbing ataupun orang lain yang berkompeten. Secara lebih lanjut keabsahan data akan diperoleh dari proses data yang dilakukan. Informan yang dipilih adalah informan yang mempunyai pengetahuan, mendalami situasi, dan lebih mengetahui informasi yang diperlukan.

3.6. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data yang telah terkumpul dari lapangan adalah metode kualitatif yaitu menginterprestasikan data yang telah diperoleh ke dalam bentuk kalimat-kalimat dengan menggunakan langkah-langkah sebagaimana diuraikan oleh Mathew B. Miles dan Michael A Huberman (1992) sebagai berikut:

1) Pengumpulan data lapangan

Untuk memperoleh data dari lapangan, dilakukan kegiatan observasi dan wawancara, kemudian dalam pengumpulan data tersebut dilaksanakan kegiatan triangulasi.

2) Reduksi Data

Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian dan penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis


(51)

di lapangan. Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis data lapangan.

3) Penyajian data

Penyajian data diartikan sebagai kegiatan untuk menyusun informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan penarikan data akan dipahami apa yang terjadi, apa yang harus dilakukan dan lebih jauh lagi menganalisis atau mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut.

4) Penarikan kesimpulan

Langkah ini menyangkut interpretasi penelitian yaitu menggambarkan maksud dari data yang ditampilkan. Cakupan dari cara yang dipergunakan sangat beragam mulai dari perbedaan dan pembandingan yang tipologis dan meluas, pencatatan tema dan pengelompokan.


(52)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Kota Kisaran merupakan ibukota Kabupaten Asahan, berjarak ±160 km dari ibukota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota kisaran terbagi menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Kota Kisaran Timur dan Kecamatan Kota Kisaran Barat. Kota Kisaran selain dilintasi oleh jalan raya lintas Sumatera yang terletak di jalur kereta api Sumatera bagian utara. Batas-batas wilayah kota Kisaran yaitu:

1. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Simpang empat

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Airbatu

3. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Aek Kuasan.

4. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Airjoman

Dengan mempertimbangkan posisi yang strategis, pada tanggal 20 Mei 1968 melalui PP Nomor 19 tahun 1980, ibukota Kabupaten Asahan dipindahkan dari Kota Tanjungbalai ke Kota Kisaran. Status Kisaran sebelumnya adalah kota administratif, yang kemudian dihapuskan menjadi kea biasa pada tahun 2003 karena tidak memenuhi persyaratan peningkatan daerah.

Luas wilayah kisaran berkisar 462.441 Ha jumlah penduduk 118.750 jiwa, berasal dari salah satu kota yang bernama Asahan. Ciri khas dari wilayah kisaran ditandai sebagai simbol di depan kantor bupatinya adalah kerang, karena Asahan


(53)

merupakan daerah penghasil kerang. Wilayahnya terbagi dalam dua wilayah yakni Kecamatan Kota Kisaran Timur, dan Kecamatan Kota Kisaran Barat.

Penduduk Kota Kisaran pada umumnya sebagian besar penduduk kota kisaran adalah berprofesi sebagai wiraswasta, pedagang, pegawai negeri sipil, buruh, karyawan, pegawai swasta, dan lain-lain. Luas wilayah yang ada di wilayah Kota Kisaran diantaranya adalah perumahan dan wilayah pasar, lapangan, stasiun angkatan, dan lain-lain.

Sarana dan prasarana yang ada di Kota Kisaran ada beberapa tempat fasilitas olah raga, gedung pertemuan yang ada pada yang ada di Kota Kisaran tidak memenuhi syarat dan jumlahnya sangat sedikit dikarenakan terbatasnya anggaran. Sarana dan prasarana pendidikan berupa sekolah sudah memenuhi syarat, namun sebagian besar penduduk yang ada di Kota Kisaran pada umumnya hanya menamatkan sekolah di tingkat sekolah menengah pertama (SMP), bahkan masih ada warga masyarakat kota Kisaran yang berpendidikan SD.

Warga masyarakat Kota Kisaran saat ini bukan merupakan warga asli, tetapi sebagian besar adalah kaum pendatang dari luar kota Kisaran atau berasal dari daerah yang berdekatan dengan Kota Kisaran, namun ada juga yang berasal dari kota lain bahkan dari provinsi lainnya. Penduduk yang ada di wilayah kota kisaran dominan adalah suku Jawa, juga terdapat suku lainnya seperti suku Batak, suku Melayu, suku Mandailing, China (Tionghoa), dan suku pendatang lainnya seperti suku Minang, Karo, dan lain-lain. Sumber daya yang ada di Kota Kisaran jumlahnya tidak begitu


(54)

banyak namun dapat digali beberapa diantaranya berupa pasir yang dapat digali oleh sejumlah pasir oleh warga yang ingin membuat bangunan, wilayah lain daerah Bandar pulo ada beberapa tempat penambangan batu padas, yang dipergunakan untuk material bahan bangunan.

Bila dilihat dari jumlah rumah yang ada di Kota Kisaran, secara garis besar di daerah perkotaan jumlah rumah sudah padat, dan sebagian sudah berdiri bangunan-bangunan bertingkat. Jarak antar rumah hanya berbataskan dinding, tidak ada lagi tempat atau pekarangan, bila harus ada pekarangan rumah tersebut ada di pelosok atau wilayah pinggiran kota. Banyak juga berdiri bangunan-bangunan berbentuk warung atau kafe yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang membicarakan pekerjaan, sekedar santai, dan lain-lain.

Fasilitas kesehatan yang ada di Kota Kisaran yaitu rumah sakit pemerintah sebanyak 1 unit, rumah sakit swasta sebanyak 5 unit, rumah sakit bersalin sebanyak 2 unit, puskesmas induk sebanyak 2 unit, dan puskesmas pembantu sebanyak 4 unit, klinik bersalin atau praktek bidan swasta sebanyak 75 unit.

4.2. Penelusuran Subjek

Untuk dapat berkenalan dengan subjek I (Ro), peneliti mendapatkan informasi dari teman dekat, W, yang menyatakan bahwa ada tetangganya yang sering dipukuli suaminya, bahkan pada waktu hamil, sampai pernah minggat dari rumahnya. Ro beralamat di jalan Sei Silau Kisaran. Untuk menemuinya pertama kali, agak sulit karena Ro sering menutup pintu rumahnya. Dengan bantuan W,


(55)

sebagai tetangga Ro maka peneliti mencoba berkenalan dan mendekati Ro dan berjaga-jaga jangan sampai diketahui oleh suami Ro yang bertemperamental tinggi. Akhirnya peneliti dapat mewawancarai Ro dengan leluasa ketika peneliti menyatakan bahwa peneliti adalah bidan yang akan memeriksa kesehatan anaknya. Dengan pendekatan tersebut, akhirnya Ro bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini setelah peneliti menjelaskan maksud dan tujuan serta kerahasiaan informasi yang akan disampaikan.

Subjek kedua adalah Ds. Peneliti mendapatkan informasi Ds dari Ro yang merupakan kawan sekolah dulu. Awalnya Ds menaruh curiga tentang maksud dan kedatangan peneliti ke rumahnya, tapi setelah peneliti menyatakan bahwa peneliti ingin melakukan penelitian dan akan merahasiakan identitas Ds maka Ds bersedia menjadi informan atau subjek dalam penelitian ini.

Sama dengan subjek kedua, maka subjek ketiga (Rd) peneliti dapatkan dengan

teknik snowball sampling yaitu dengan mendapatkan subjek dari informan atau

subjek sebelumnya. Rd adalah teman dari subjek kedua semasa gadisnya yang sering pergi bersama. Sama seperti subjek pertama dan kedua, maka subjek yang ketiga juga agak tertutup dan ragu untuk menjadi subjek dalam penelitian ini. Tetapi setelah peneliti menjelaskan maksud kunjungan ataupun maksud penelitian ini maka peneliti bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.

Karakteristik informan atau subjek penelitian selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.


(56)

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

No Keterangan Subjek I Subjek II Subjek III

1. Inisial Ro Ds Rd

2. Umur saat ini 22 23 24

3. Umur saat menikah 19 22 21

4. Berat / tinggi badan 158/47 165/50 157/45

5. Inisial Suami Ri So Wi

6. Umur suami saat ini 26 29 25

7. Umur suami saat

menikah

23 28 22

8. Jumlah Anak 2 1 2

9. Pendidikan subjek SMA SMA SMA

10. Pendidikan suami SMA SMA D-III

11. Suku Batak Jawa Mandailing

12. Agama Kristen Islam Islam

13. Pekerjaan subjek Pegawai

Swasta

IRT IRT

14. Pekerjaan suami Tidak tetap Sales Tidak Tetap

15. Status Perkawinan Sah Sah Sah

16. Kelahiran bayi Normal, cukup

bulan.

Normal, Prematur.

Normal, cukup bulan. Status Kesehatan Reproduksi

17. Usia Menarche 12 tahun 13 tahun 12 tahun

18. Siklus haid Tidak teratur,

kadang cepat kadang lambat. Tidak teratur, sering terlambat. Tidak teratur, kadang cepat kadang lambat.

19. Banyaknya darah haid Tidak tentu,

Kadang banyak kadang sedikit. Tidak tentu, Kadang banyak kadang sedikit. Tidak tentu, Kadang banyak kadang sedikit.

20. Gangguan haid Nyeri haid

(dismenore)

Nyeri haid (dismenore)

Tidak ada 21. Gangguan pada organ

reproduksi

Keputihan Keputihan Tidak ada

22. Gangguan pada masa kehamilan

Perdarahan. Perdarahan Tidak ada

gangguan yang berarti.


(57)

4.3 Pengalaman dengan Subjek 4.3.1 Kasus 1

Subjek berinisial Ro, saat ini berumur 22 tahun dengan tinggi badan 165 cm, dengan berat 50 kg. Ro adalah anak ke 3 dari 3 orang bersaudara yang lahir di Koa Kisaran. Saat menikah, A berumur 20 tahun sedangkan suaminya berumur 24 tahun. Subjek adalah suku Batak, beragama Kristen dengan jumlah anak saat ini 2 orang, satu laki-laki dan satu orang perempuan. Tampilan subjek dengan rambut pendek sebahu, menggunakan kaca mata minus 5. Ro berpakaian rapi jika berangkat kerja karena tuntutan pekerjaan sebagai pegawai swasta di kantor milik pamannya yang bergerak di bidang jasa pengangkutan. Tapi jika sudah di rumah, Ro tampil tidak rapi, rambut acak-acakan, pakai pakaian sesukanya. Menurut Ro, sebenarnya suami Ro tipikal pendiam (tidak suka berbicara). Suaminya anak pertama dari 3 (tiga) bersaudara, yang dibesarkan di Kota Tarutung. Pertama kali bertemu, subjek tampak ragu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Peneliti tetap menjalin kedekatan dengan subjek sehingga timbul kepercayaan subjek untuk menceritakan masalah yang dihadapinya kepada peneliti.

Pada pertemuan pertama, peneliti memperkenalkan diri pada Ro dan menjelaskan maksud penelitian. Awalnya Ro agak ragu, tetapi dengan bantuan teman peneliti, yang merupakan tetangga Ro, akhirnya Ro bersedia menjadi informan dalam penelitian ini, karena Ro merasa, W, sudah tahu sebagian hidupnya karena suaminya sering teriak-teriak tengah malam yang sering membangunkan tetangga. Ro mengatakan bahwa dirinya sebenarnya takut menceritakan masalah rumah tangga


(58)

kepada orang lain, dia tidak ingin orang lain mengetahui kehidupannya, tetapi dirinya sudah tidak tahan memendamnya sendiri terus terusan sehingga ingin sekali dia menceritakan masalah ini pada orang lain yang dapat memahaminya.

Ro menceritakan bahwa KDRT yang dialaminya pada kehamilan anaknya yang kedua, usia kehamilan 6 bulan ke 7 bulan. Kejadiannya waktu itu, dirinya sedang menidurkan anaknya yang pertama di kamar, sementara suaminya baru pulang, dengan suara keras dan mengetuk pintu keras-keras, suaminya berteriak minta dibukakan pintunya. Ro tidak menjawabnya karena merasa sangat mengantuk, tetapi karena suaminya terus-terusan teriak dan malu sama tetangga, dirinya juga ketakutan suaminya sangat marah. Dan benar saja, dengan susah payah Ro turun dari tempat tidur dan membuka pintu, dilihatnya mata suaminya merah, mulutnya bau minuman, tanpa basa basi suaminya mendorong Ro dan menampar mukanya sambil berkata “lama kali kau buka pintunya monyet...gak kau tengok aku capek manggil-manggil kau, dasar anjing”. Ro mengatakan hatinya sangat sakit dan perih, menurutnya suaminya sudah keterlaluan sekali dengan mengeluarkan kata-kata kasar, karena belum pernah dirinya dihina dengan menyebut nama-nama binatang oleh orangtuanya, tapi suaminya gampang saja menyebutnya dengan nama-nama binatang seperti monyet, anjing, babi. Peneliti melihat Ro menitikkan air mata, menangis sesenggukan. Peneliti mengelus punggung Ro, agar dirinya kuat dan bersabar.

Saat peneliti menanyakan kepada Ro mengapa tidak melawan, Ro mengatakan akan hancurlah dirinya jika melawan suaminya karena badan suaminya


(59)

Dadanya pun sering sesak setelah dipukul. Peneliti menunjukkan empati dengan menenangkan Ro agar lebih bersabar dan lebih kuat dan terharu mengapa suaminya begitu tega pada dirinya.

Dua hari berikutnya, sesuai dengan janji yang telah kami sepakati, peneliti bertemu kembali dengan Ro, dan menanyakan kesiapannya untuk melakukan wawancara. Setelah Ro menyatakan siap, peneliti menanyakan bagaimana kisah perkenalan Ro dengan suaminya tersebut sampai dengan menikah. Ro menjelaskan bahwa dirinya dijodohkan sama paribannya. Dirinya tidak terlalu tahu latar belakang suaminya tersebut karena suaminya orang Tarutung, sementara dia tinggal di Kisaran. Ketika ada pertemuan keluarga, dirinya dijodohkan dan Ro menurutinya karena menurutnya saat pertama kali bertemu, suaminya itu dilihatnya sebagai orang yang baik.

Ro mengatakan bahwa suaminya berpendidikan SMA. Dulu pada saat berkenalan sampai dengan awal pernikahan, suaminya tidak kejam, tetapi sekarang suaminya temperamental, ada masalah sedikit marah, memukul, jika ada perkataan yang tidak cocok dengan dia, Ro dimakinya. Kata-kata binatang mudah saja terlontar dari mulut suaminya jika marah. Pernah juga punggung Ro dipukul hingga dirinya jatuh tersungkur, serta pernah diancam akan dibunuh.

Suami Ro mulai berubah sejak hamil kedua, Ro mengatakan tidak mengerti sebabnya, karena dirinya karena urusan pekerjaan pergi ke luar kota Kisaran. Kadang dalam satu minggu ada beberapa kali ke Medan, karena perintah dari atasannya, sehingga dirinya dan suami sangat jarang berkomunikasi. Suaminya jadi sangat


(60)

kurang perhatiannya pada Ro. Karena urusan kerja yang padat, hari-hari Ro dilewati dengan kelelahan sampai di rumah kadang cepat tidur. Tapi jika sudah bertemu dengan suaminya mereka seringkali berantem, main pukul, menurut Ro, suaminya sangat kasar padanya.

Ketika peneliti menanyakan apakah suaminya tidak pernah meminta maaf, Ro menjawab dengan pesimis. Suaminya seringkali mengatakan bahwa yang salah salah adalah Ro jadi dirinya tidak bersalah sehingga tidak perlu meminta maaf. Suaminya sering mengatakan bahwa perempuan harus menuruti apa yang dikatakan suami. Tanggapan keluarga Ro dan mertuanya hampir sama, mereka justru menyalahkan Ro, karena menurut mereka, Ro kurang perhatian pada suaminya karena terlalu sibuk dengan pekerjaan, dikatakan mereka, Ro adalah istri yang tidak mengerti suami. Hal tersebut menyebabkan Ro menjadi stres, karena ada anggapan Ro tidak peduli dengan suami dan anaknya.

Pada saat hamil, suami Ro juga tidak memberikan perhatian yang selayaknya. Suaminya tidak pernah memegang atau mengelus-elus perut Ro. Demikian juga ketika Ro melakukan pemeriksaan atau kunjungan ANC, suaminya tidak mau disuruh mengantar, bahkan seringkali suaminya menelepon adik perempuannya yang disuruh untuk mengantar Ro pergi ke bidan, padahal suaminya di rumah hanya tidur dan menonton TV. Dulu pernah dirinya meminta tolong agar diantarnya suaminya ke bidan tapi langsung membentuk dengan mengatakan “monyet kau, gak tau kau aku baru tidur. Pigi sendiri kau bodat”. Daripada terus terjadi pertengkaran, dirinya lebih


(1)

P : Kenapa gak dilawan.

S3 : Aku ngomong dikit aja dia udah main pukul, apalagi kalau kulawan, bisa-bisa ditunjangnya aku bu. Ngomongnya pun sekarang kasar kali bu.

P : Bagaimana hubungan suami istri bu?

S3 : Ya, jujur aja bu aku nggak terima atas kejadian itu, tapi aku masih sayang bu dengan suami aku itu, saat berhubungan dengan suami aku itu aku tetap melayani.

P : Apakah dalam hubungan intim dia suka maksa ibu?

S3 : Kadang-kadang maksa dia bu. Kadang aku capek seharian bersih-bersih di rumah, malamnya cepat tidur. Tapi dia banguni aku, disuruh ngelayani dia, padahal aku juga ngantuk, kalau gak dilayani didorongnya kepala aku di tempat tidur, jadi ya terpaksa bu.

P : Bagaimanakah pengaruh menstruasi bu saat sekarang ini?

S3 : Abis melahirkan ini, menstruasiku sering gak teratur bu, kadang lambat kadang cepat, gak bisa ditentukan lagi. Darahnya pun kadang banyak kadang sikit.

P : Oh gitu ya bu... dulu sebelum hamil gimana?

S3 : Waktu belum hamil sih lancar bu, tapi setelah melahirkan ini kog jadi gitu, aku gak tahu bu. Bu maaf ya aku gak bisa lama-lama ngobrolnya, karena suamiku tadi minta dibelikan mi goreng... maaf ya bu saya pamit dulu. P : Baiklah bu.., tapi kita masih bisa ngobrolkan bu...

S3 : Iya bu... saya juga ingin punya teman cerita. P : Kapan kita bisa ngobrol lagi bu...

S3 : Kebetulan aku besok mau pigi bu dua hari ke tempat kakak... jadi tanggal 23 aja kita jumpa ya bu. Ibu telpon aku aja, kita nanti atur tempatnya.... Ini nomor hape saya bu...

P : Baiklah bu... terima kasih ya atas waktunya...ini juga nomor hape saya bu. S3 : Sama-sama bu...

P : Selamat pagi bu.

Pertemuan 2, tanggal 23 April 2014

S3 : Pagi bu.

P : Gimana bu, sudah bisa kita ngobrol-ngobrol. S3 : Ya, bu saya sudah siap.

P : Bisa ibu menceritakan awal perkenalan ibu dengan suami sampai dengan menikah?

S3 : Aku awalnya dikenalkan sama dia sama si Ds (Subjek 2), kami terus kenalan, sms-an, teleponan, akhirnya kami pacaran.


(2)

S3 : Ya memang dulu waktu pacaran pun dia suka mukul, tapi karena memang sudah cinta, aku pikir dia nanti akan berubah setelah berumah tangga, tapi ternyata tidak, malah makin jadi.

P : O. begitu.... sejak kapan dia mulai kasar setelah menikah bu?

S3 : Awal-awal nikah sih biasa. Masih sayang-sayangan, tapi pas aku mulai hamil 4 bulan, aku lihat dia udah berubah, mulai kasar samaku.

P : Apa jenis kekerasan yang sering dilakukan suami ibu itu?

S3 : Kalo kata-kata kotor sih sering kali bu, segala penghuni kebon binatang dibilangnya ke aku. Ya anjing, babi, monyet, apalagi kalo kulawan dia, makin tambah beringas dia maki aku, sambil nampar muka ku, pernah juga aku ditunjangnya waktu aku balas gigit dia. Sakit hati kali aku dibuatnya bu..

P : Pada waktu kapan suami ibu paling sering marah bu?

S3 : Pada waktu minta uang belanja. Aku kan gak kerja, dia itu kadang kerja kadang enggak, tapi kan perut ini gak bisa ditahan kalo gak makan. Setiap minta uang belanja dia bilang nanti..nanti... ya kumarahi jugalah dia, bukannya cari kerja malah di rumah aja nonton TV.

Tapi kadang juga sering marah dia kalau pulang malam hari, bukannya pulang malam-malam bawa duit, malah yang ada aku dengar dari kawannya dia itu sering duduk di kafe sama cewek. Katanya suamiku sering boncengan sama perempuan dari kafe. Banyak juga tetanggaku yang bilang gitu bu. Dia kalau sms-an sembunyi-sembunyi. Apa itu gak selingkuhan bu. Hati siapa yang gak panas bu.

P : Tapi itukan bu masih kata orang bu?

S3 : Gak gitu juga bu, kan aku ada kawan namanya Annisa, dia yang kusuruh mata-matai suami aku, dan terbukti suamiku bonceng cewek, malah duduknya meluk-meluk dari belakang, apa itu gak cukup bukti. Fotonya pun ada sama aku. Tapi waktu suamiku pulang dan kutunjukin foto di hape, malah hapenya dibanting, memorinya dihancurkan dia. Abis itu aku ditampar terus disundut rokok sama dia, ini masih ada bekasnya. Ditampar aja sudah sakit bu, apalagi tahu dia selingkuh... lebih sakit..

P : Itu kapan kejadiannya bu.

S3 : Pas aku hamil 7 bulan. Mungkin karena aku sudah gak melayani dia lagi, karena ngangkat perut aja aku sudah sakit, apalagi kalau melayani dia, apalagi dia itu kalau berhubungan suka kasar, gak hati-hati, gak romantis. P : Apa ibu gak pernah membicarakan ini sama keluarga?

S3 : Sudah bu, aku juga pernah minta cerai saja. Tapi keluarga bilang keluarga ini baru berapa tahun, anak baru satu masa minta cerai. Kalau masih bisa disatukan lagi itu lebih baik.

P : Trus gimana tanggapan suami?

S3 : Suamiku kalau udah gitu minta-minta maaf, janji gak ngulangi lagi, tapi ya itu bu, sebulan baik, bulan berikutnya kumat lagi. Aku capek bu.


(3)

S3 : Sering telat sekarang bu, gak tahu kenapa, dulu waktu belum hamil lancar kok, udah gitu darahnya kadang banyak, kadang dikit.

P : Trus waktu ibu melahirkan, siapa yang nunggui?

S3 : Ya mamak ku, bu, suamiku di luar aja. Gak mau masuk, katanya takut. Iya, mukuli istri mau, tapi ngelihat istrinya berjuang hidup mati untuk melahirkan dia gak mau. Mau enaknya aja dia bu.

P : Bagaimana perasaan ibu sama anak ibu kalau ngelihat bapaknya kayak gitu. S3 : Aku kadang gondok juga nengok anakku itu bu. Apalagi kalau nangis gak

bisa diem...Pernah juga kucubit anakku itu saking palaknya aku. Kadang abis dimarahi suami itu aku lampiaskan juga ke dia... kayaknya dia itu kog nurun sama suamiku itu, wajahnya pun mirip kali.. jadi kadang gemes kali aku liat dia kalo rewel.

P : Tindakan apa aja yang ibu lakukan sama bayi ibu....

S3 : Ya gitu bu, kadang kubiarin dia nangis, sampai dia diem sendiri. Habis, anakku itu kalo nangis susah diemnya, lama-lama diem sendiri terus tidur. P : Kalau anak ibu sakit bagaimana ibu merawatnya?

S3 : Kalo panas badannya kubawa dia ke bidan. P : Apa anak ibu gak dikasih ASI?

S3 : Kasih bu, waktu umur 2 hari langsung kasih ASI, sampe sekarang ini dia umur 4 bulan, masih kukasih ASI.

P : Bayi ibu gak diberi roti atau biskuit.

S3 : Ya dikasih bu, umur seminggu dia udah dikasih biskuit promina, kadang nasi tim. Abis susuku gak cukup, dia itu rewel aja kalau masih lapar.

P : Siapa yang mandiin bayi?

S3 : Ya saya bu, dulu baru lahir dibantu sama kakak ipar. Tapi sekarang sudah saya mandiin sendiri.

P : Apa suami ibu gak bantuan ibu?

S3 : Boro-boro suami saya bantui bu, kalau hari libur malah dia pergi entah kemana, kalau kutanya katanya ada urusan. Entah urusan apa, aku juga heran kog dia gak ada perhatian sama anaknya sendiri.

P : Kalau ibu gimana cara merawat anaknya?

S3 : Ya seperti ibu lainnya, digendong, diayun, diganti celana kalo pipis. P : Apa yang ibu harapkan dari pernikahan ini bu?

S3 : Aku maunya suamiku itu sayang sama aku, sama anakku, kami jadi keluarga yang benar, gak ada masalah, gak ada pukul-pukulan. Karena dalam hati aku masih sayang dia.

P : Bu, apa ibu ada tahu lagi perempuan yang waktu hamil dianiaya sama suaminya...

S3 : Gak tahu saya bu.

P : Ya sudah bu. Terima kasih atas bincang-bincangnya, semoga ibu menjadi lega, dan menjadi lebih sabar menjalani hidup.

S3 : Trima kasih ya bu. Semoga doanya dikabulkan. Amin P : Assalaualaikum


(4)

S3 : Walaaikum salam.


(5)

DOKUMENTASI 1. Subjek 1


(6)