Tahun XXIV, N0. 80 Edisi Januari - April 2013 87
Demikian pula pengarang yang berasal dari daerah lain tentu akan banyak dipengaruhi oleh latar belakang budaya penulis tersebut.
Kehadiran ‖kelokalan‖ memang banyak mewarnai khasanah sastra Indonesia. Walaupun karya-karya sastra tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa
Indonesia, tetapi masih juga terdapat istilah-istilah yang sengaja tetap ditulis dengan bahasa daerah tempat peristiwa dalam cerita itu berlangsung. Bukan hanya
istilah tetapi juga mengangkat permasalahan dari suatu budaya daerah tertentu yang menggambarkan corak atau ciri khas suatu daerah tersebut. Maka apabila
akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, misalnya, akan ada ada banyak hal yang tidak bisa ditransferkan begitu saja. Oleh karena itu, guna memahami dengan
baik karya-karya tersebut dibutuhkan ‖pengetahuan‖ khusus mengenai unsur-unsur budaya dari seting yang ada dalam karya sastra tersebut. Unsur-unsur budaya suatu
daerah lengkap dengan segala ke-khas-annya yang ada dalam karya seperti itulah mau diberi istilah apa?
2. Pengertian Sastra Lokal, Warna Lokal, Lokalitas, dan Lokalisme
Indonesia sebagai negara yang memiliki aneka ragam budaya dan bahasa, juga memiliki aneka kekayaan dalam karya-karya sastra daerah. Karya satra daerah
adalah karya-karya sastra yang mengungkapkan permasalahan kehidupan daerah setempat dengan menggunakan bahasa daerah setempat. Misalnya, di Jawa sampai
saat ini juga masih hidup dengan subur sastra Jawa, baik dalam bentuk geguritan, cerita cekak maupun novel yang biasanya juga dimuat sebagai cerita sambung
dalam majalah bahasa Jawa. Hal tersebut sekurang-kurangnya bisa dibaca dalam Mingguan Jaya Baya dan Panyebar Semangat yang hingga saat ini masih terbit
dengan rutin. Karya-karya sastra seperti itulah yang dinamakan sastra lokal. Jadi
sastra lokal bisa dimaknai sebagai karya sastra yang berkaitan segala macam persoalan kehidupan dari suatu daerah dan diungkapkan dengan bahasa daerah
tempat kisahan tersebut berlangsung. Dengan demikian, sastra lokal tidak masuk dalam kategori sastra Indonesia, karena sastra Indonesia merupakan karya sastra
yang untuk kali pertama ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia bukan karya sastra hasil terjemahan ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam karya sastra Indonesia, atau karya sastra berbahasa Indonesia, sering sekali ditemukan kisahan yang berlatar suatu daerah tertentu lengkap dengan pola
kehidupan dan budaya serta istilah-istilah yang khas daerah tersebut. Misalnya karya sastra Indonesia yang memiliki cerita berlatar daerah Jawa Tengah,
mengisahkan tentang problematika kehidupan orang-orang Jawa Tengah, lengkap dengan istilah-istilah khas Jawa Tengah. Karya sastra seperti itu bukan sebagai
sastra lokal, tetapi sastra Indonesia ber-‖warna lokal‖ Jawa Tengah. Menurut
Tahun XXIV, N0. 80 Edisi Januari - April 2013 88
Rampan 1999 warna lokal dimaknai sebagai penggambaran corak atau ciri khas
suatu daerah tertentu serta pemakaian istilah khas suatu daerah yang bersangkutan, dengan tujuan kisahan menjadi lebih menarik dan keasliannya tampak. Sikap dan
lingkungan tokoh juga ikut mendukung corak setempat. Istilah warna lokal sebenarnya merupakan istilah terjemahan dari bahasa Inggris
‟local colour‟ atau dalam bahasa Perancis ‟couleur locale‟. Dalam bahasa Indonesia,
istilah ‖warna lokal‖ sering juga disejajarkan maknanya dengan ‖lokalitas‖. Menurut
Mahayana 2007 lokalitas dalam sastra Indonesia mengasumsikan adanya ruang kultural yang menjiwai karya sastra. Meski begitu, lokalitas dalam sastra bukanlah
sekadar ruang space, locus, tempat place atau wilayah geografi yang dibatasi atau berbatasan dengan wilayah lain yang secara fisikal dapat diukur, melainkan
ruang dalam ranah budaya. Lokalitas dalam sastra teks mestinya diperlakukan bukan sekadar latar an sich, melainkan sebuah wilayah kultural yang membawa
pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-kultural yang mendekam di belakang teks. Di sana lokalitas bukan abstraksi tentang ruang atau wilayah dalam
teks yang beku, melainkan ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial, bahkan juga ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya dan
dinamika kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan berkebudayaan. Maka, dalam tulisan ini, lokalitas dimaknai sama
atau bersinonim dengan warna lokal yang penggunaannya bisa saling menggantikan.
Dalam paparan Mahayana di atas, telah disebutkan bahwa dalam lokalitas sebaiknya juga ada unsur ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-
tokohnya dan dinamika kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan berkebudayaan. Hal ini bisa dimaknai bahwa dalam
lokalitas bisa ada unsur ideologinya, bisa juga tidak. Nah..., lokalitas yang
mengandung ideologi itulah yang dinamakan ‖lokalisme‖. Ideologi bisa dimaknai
sebagai ‖cara melihat dunia‖ Santoso, 2009:43. Maka lokalisme dalam karya sastra bisa dimaknai sebagai karya sastra yang di dalamnya mengungkapkan bagaimana
subjek-subjek yang ada dalam suatu masyarakat memandang dunia ini dan mengkontruksinya sebagai sesuatu yang dipandang bermakna dalam kehidupan
bersama. Atau dengan kata lain bisa juga dikatakan sebagai sebuah karya sastra yang di dalamnya terdapat suatu konstruksi budaya berdasarkan nilai-nilainorma-
norma yang dipegang teguh oleh suatu masyarakat, lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Dari paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa lokalisme merupakan bagian dari lokalitas, karena tidak setiap lokalitas mengandung lokalisme, tetapi lokalisme selalu
Tahun XXIV, N0. 80 Edisi Januari - April 2013 89
ada dalam karya sastra yang ber-‖lokalitas‖. Hubungan-hubungan konsep tersebut, apabila ditampilkan dalam bagan, akan tampak seperti dalam bagan di bawah ini.
Bagan 1: Hubungan antara Sastra Lokal, Warna Lokal, Lokalitas, dan Lokalisme
Sejalan dengan pandangan Mahayana di atas, Arnas 2011 mengungkapkan bahwa sampai saat ini memang masih ada beberapa persepsi tentang lokalitas yang
kiranya perlu untuk ditinjau kembali. Pertama, selama ini lokalitas terlanjur melekat pada simbol-simbol kedaerahan.
Ketika ada cerita-cerita yang mampu menggunakan dan atau menggali nama tempat, dialek, tradisi, mitos, hikayat, sejarah, dan kearifan lokal, maka ia akan
terkodifikasi ke dalam ranah lokalitas. Padahal, belum tentu karya-karya yang memakai simbolunsur kedaerahan tadi mampu mengeksplorasi unsur-unsur cerita
dengan optimal. Inilah yang menyebabkan ‗lokalitas‘ yang dipersepsikan pada karya tersebut tak lebih sebagai tempelan semata. Artinya, menggarap tema-tema daerah,
tidaklah otomatis membuat karya tersebut disebuat sebagai karya—yang mengandung unsur—lokalitas.
Kedua, lokalitas kerap disamakan dengan tradisionalitas. Ketika karya sastra mengangkat budaya lokal, perihal kearifan lokal, hikayat, mitos, dan sejenisnya,
Karya Sastra di Indonesia
Sastra Lokal Sastra Indonesia
Tidak Bermuatan L
o k
a l
i t
a s
W a
r n
a L
o k
a l
Bermuatan
L o
k a
l i
t a
s
Warna Lokal
Tidak bermuatan L
o k
a l
i s
m e
Bermuatan
L o
k a
l i
s m
e
Tahun XXIV, N0. 80 Edisi Januari - April 2013 90
maka dengan ‗semena-mena‘ karya tersebut dilabeli lokalitas. Karya-karya yang mampu mengeksplorasi aspek tradisional? dengan baik tentulah dapat dikatakan
sebagai karya lokalitas, lokalitas-daerah. Namun, yang perlu dicermati adalah, karya-karya yang mengangkat tradisional? belum tentu mampu tampil dengan
baik, belum tentu menampilkan ke-daerah-annya dengan baik, belum tentu mampu menampilkan lokalitas, belum tentu adalah karya lokalitas.
Ketiga, tradisionalitas yang kerapkali disebut lokalitas dalam sastra kerapkali dikatakan sebagai karya yang mengangkat kearifan lokal. Padahal, faktanya, karya-
karya tradisionalitas justru menampilkan betapa tidak arif-nya tradisionalitas lokalitas yang ada di daerah mereka.
Dari paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa tidak semua karya sastra yang menggunakan seting lokal dan bercerita tentang permasalahan kelokalan otomatis
termasuk karya sastra yang berwarna lokal atau ber-lokalitas. Guna menentukan karya sastra tersebut berwarna lokal atau ber-lokalitas adalah pada cara
‖penggarapan‖ karya, sehingga ‖kelokalan‖ tersebut tidak hanya menjadi tempelan dalam karya sastra, tetapi merupakan bagian yang utuh dari karya sastra tersebut.
Permasalahan inilah yang sering tidak dipahami oleh para penulis pemula. Sekedar contoh pernah terjadi di Bali saat diadakan Lomba Menulis Novel berwarna lokal
Bali, sebagian naskah yang dikirim hanyalah cerita dengan seting Bali, yang nafas kelokalannya tidak hadir dalam keseluruhan cerita. Dewan juri juga mengatakan,
seting Bali-nya hanya terkesan sebagai tempelan, karena kisah-kisah tersebut bisa saja diganti dengan seting daerah lain tanpa mengubah makna cerita. Maka dalam
sayembara tersebut diputuskan tidak ada juara I-nya, juara hanya ada dimulai dari Juara II. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih belum ada pengirim naskah
yang layak dinobatkan sebagai ‖Juara‖, walaupun ada yang meraih angka tertinggi dari keseluruhan peserta yang ada.
3. Lokalisme vs Globalisme