Tahun XXIV, N0. 80 Edisi Januari - April 2013 90
maka dengan ‗semena-mena‘ karya tersebut dilabeli lokalitas. Karya-karya yang mampu mengeksplorasi aspek tradisional? dengan baik tentulah dapat dikatakan
sebagai karya lokalitas, lokalitas-daerah. Namun, yang perlu dicermati adalah, karya-karya yang mengangkat tradisional? belum tentu mampu tampil dengan
baik, belum tentu menampilkan ke-daerah-annya dengan baik, belum tentu mampu menampilkan lokalitas, belum tentu adalah karya lokalitas.
Ketiga, tradisionalitas yang kerapkali disebut lokalitas dalam sastra kerapkali dikatakan sebagai karya yang mengangkat kearifan lokal. Padahal, faktanya, karya-
karya tradisionalitas justru menampilkan betapa tidak arif-nya tradisionalitas lokalitas yang ada di daerah mereka.
Dari paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa tidak semua karya sastra yang menggunakan seting lokal dan bercerita tentang permasalahan kelokalan otomatis
termasuk karya sastra yang berwarna lokal atau ber-lokalitas. Guna menentukan karya sastra tersebut berwarna lokal atau ber-lokalitas adalah pada cara
‖penggarapan‖ karya, sehingga ‖kelokalan‖ tersebut tidak hanya menjadi tempelan dalam karya sastra, tetapi merupakan bagian yang utuh dari karya sastra tersebut.
Permasalahan inilah yang sering tidak dipahami oleh para penulis pemula. Sekedar contoh pernah terjadi di Bali saat diadakan Lomba Menulis Novel berwarna lokal
Bali, sebagian naskah yang dikirim hanyalah cerita dengan seting Bali, yang nafas kelokalannya tidak hadir dalam keseluruhan cerita. Dewan juri juga mengatakan,
seting Bali-nya hanya terkesan sebagai tempelan, karena kisah-kisah tersebut bisa saja diganti dengan seting daerah lain tanpa mengubah makna cerita. Maka dalam
sayembara tersebut diputuskan tidak ada juara I-nya, juara hanya ada dimulai dari Juara II. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih belum ada pengirim naskah
yang layak dinobatkan sebagai ‖Juara‖, walaupun ada yang meraih angka tertinggi dari keseluruhan peserta yang ada.
3. Lokalisme vs Globalisme
Istilah globalisme penyejagatan dalam konsep kultural mulai diperkenalkan pada tahun 1960-an oleh Marshall McLuhan dalam Harmantyo, 2006 melalui istilah
global village. Hasil observasinya menunjukkan bahwa perkembangan teknologi komunikasi berdampak pada kehidupan sosial budaya masyarakat pedesaan.
Teknologi komunikasi mampu mempersingkat waktu dan memperpendek jarak interaksi penduduk dalam melakukan aktiftitas ekonomi, sosial budaya, politik pada
tataran global. Sekadar contoh, masyarakat di pedesaan saat ini sudah terbiasa dengan minuman coca cola yang pada awalnya hanya dinikmati oleh masyarakat
kota besar. Adapun istilah globalisme sendiri kali pertama digunakan pada tahun 1985 oleh Theodore Levitte http:id.wikipedia.org. Dengan kata lain bahwa
Tahun XXIV, N0. 80 Edisi Januari - April 2013 91
globalisme bisa diartikan sebagai weternisasi dunia, atau suatu paham yang mengatakan bahwa dimana suatu negara seolah-olah tidak ada batasan lagi untuk
menjalin suatu hubungan diplomatik disegala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, sosial, maupun budaya.
Globalisme sebagai suatu faham menyebar melalui proses globalisasi. Adapun globalisasi sendiri telah banyak diberi pengertian. Schole dalam
http:id.wikipedia.org menyebutkan beberapa definisi globalisasi. Tiga di antaranya adalah, pertama: globalisasi dimaknai sebagai meningkatnya hubungan
internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
Kedua, globalisasi diartikan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman
seluruh dunia. Ketiga, globalisasi dimaknai sebagai salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga
mengglobal. Berdasarkan definisi di atas bisa dilihat bahwa dengan adanya globalisasi, akan
terjadi penyebaran pikiran dan budaya Barat ke seluruh dunia. Memang globalisasi telah menjadi realita harian yang tidak dapat dihindari. Prosesnya berlangsung
sangat cepat dan kompleks, dengan jangkauan yang luas, tanpa dapat dihentikan meresapi seluruh bidang kehidupan manusia: ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Dalam bidang budaya, globalisasi telah ‖memaksakan‖ homogenitas budaya melalui cara produksi, konsumsi, dan peri kehidupan modern, yakni budaya Barat.
Akibatnya, identitas bangsa, budaya, etnis, dan agama terancam oleh bentuk—yang dicurigai sebagai—im-perialisme budaya tersebut Fu Lan, 2003.
Dalam gempuran gelombang globalisasi, salah satu isu yang cenderung terus
menguat ialah lokalisme. Orang kemudian merasa betapa pentingnya sebuah
identitas ke-lokal-an sebagai modal ketika berinteraksi dalam lingkup sosial bahkan pergaulan global. Tumbuh kesadaran di masyarakat akan perlunya khasanah lokal
dieksplorasi kembali sebagai sebuah struktur nilai lama tentu melalui proses seleksi untuk dikreasikan dan diaktualisasikan menjadi sebuah konstruksi nilai lokal yang
disesuaikan dengan ―kebaruan‖ atau perkembangan di masyarakat, itu yang kemudian disebut sebagai kebudayaan lokal.
Beragam peristiwa yang mengedepankankan kebudayaan lokal, merupakan bagian dari bangkitnya kesadaran membangun kembali rekonstruksi, menata
kembali restorasi dan menguatkan kembali revitalisasi lokalisme sebagai sebuah konstruksi budaya dalam menghadapi masa ―Orde Sosial‖, sekaligus sebagai reaksi
kritis membendung pengaruh negatif penyejagatan yang cenderung eksploitatif
Tahun XXIV, N0. 80 Edisi Januari - April 2013 92
secara ekonomi-kebudayaan dan seringkali membawa dampak berupa ―Paradoks Global‖ berupa ketidakadilan ekonomi-kebudayaan dan kemiskinan global.
Berdasarkan paparan di atas, akan menjadi sangat ideal apabila memasukkan nilai-nilai lokal dalam karya sastra sekaligus juga ‖mengusung‖ kearifan lokal ke
dalam karya sastra tersebut. Menurut John Haba 2008:7-8 kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan
budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan merupakan elemen penting untuk memperkuat kohesi sosial di antara warga masyarakat. Secara umum,
kearifan lokal memiliki ciri dan fungsi berikut ini: 1 sebagai penanda identitas sebuah komunitas; 2 sebagai elemen perekat kohesi sosial; 3 sebagai unsur
budaya yang tumbuh dari bawah, eksis dan berkembang dalam masyarakat; bukan unsur budaya yang dipaksakan dari atas; 4 berfungsi memberikan warna
kebersamaan bagi sebuah komunitas; 5 dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground;
6 mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau
perusakan solidaritas kelompok sebagai komunitas yang utuh dan terintegrasi. Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa kearifan lokal adalah seluruh gagasan,
nilai, pengetahuan, aktivitas, dan benda-benda budaya yang spesifik dan dibanggakan yang menjadi identitas dan jati diri suatu komunitas atau kelompok
etnis tertentu Muhyidin, 2010. Jadi, sekurang-kurangnya ada 2 istilah kunci untuk
bisa disebut sebagai kearifan lokal: ‖dibanggakan‖ dan ‖identitas dan jati diri‖. Kini,
bagaimanakah dengan karya sastra Indonesia yang memiliki warna lokal yang kental, apakah juga sudah mencerminkan dua kata kunci di atas ataukah justru sebagai
bentuk kritikan terhadap budaya-budaya lokal yang perlu segera mendapat ‖revisi‖ sesuai dengan tuntutan zaman?
4. Lokalitas Sastra Indonesia