86
jika ketahuan ijin praktek Notaris PPAT akan dicabut karena hal tersebut melanggar kode etik.
2. Pemilikan Hak Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa di Daerah
Istimewa Yogyakarta Dengan Adanya Larangan Pemilikan Hak Milik.
Selain mencari fakta terkait dengan pengaturan pertanahan di DIY, yang terdapat adanya larangan pemilikan hak milik atas tanah bagi WNI keturunan
Tionghoa. Bahwa untuk mengetahui fakta yang terjadi dilapangan penulis juga melakukan penelitian terhadap beberapa WNI keturunan Tionghoa yang berdomisili
di DIY dan khususnya yang mengetahui atau mengalami hubungan terkait dengan masalah larangan pemilikan HM atas tanah tersebut.
Beberapa WNI keturunan Tionghoa yang berhasil diwawancara yang mengetahui atau mengalami terkait dengan masalah larangan kepemilikan HM atas
tanah tersebut, diantaranya:
1. Bpk Budi Santoso
7
Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang sejak tahun dari tahun 2005 tinggal dan berdomisili di DIY, yang sebelumnya tinggal dan berdomomisi di
Surabaya. Beliau tinggal dan memiliki rumah di jalan Kaliurang Yogyakarta, kabupaten Sleman dengan status tanahnya HM.
Bahwa awalnya rumah tersebut dikontrak oleh ayahnya yang bernama Sapto Margono yang juga sebagai warga negara suku Tionghoa yang tanahnya berstatus
HGB. Tetapi tidak lama setelah pindah ke DIY, rumah tersebut dibeli dengan menggunakan atas nama ayahnya.
Status tanah dari rumah tersebut yang awalnya HGB dirubah menjadi berstatus HM. Diperolehnya status HM tersebut dikarenakan Sapto Margono wajah
7
Wawancara pada tanggal 31 Oktober 2010
87
dan perawakannya mirip dengan WNI asli pribumi, yang sebenarnya adalah WNI keturunan Tionghoa.
Setelah Sapto Margono meninggal rumah tersebut diwariskan keanaknya yang bernama Budi Santoso. Tetapi pada saat mau dibalik nama atas nama Budi Santoso,
Notaris PPAT mengatakan jika ketahuan oleh BPN bahwa tanah tersebut dimiliki oleh WNI keturunan Tionghoa maka status HM atas tanahnya akan diturunkan
statusnya menjadi HGB. Apalagi Budi Santoso wajah dan perawakannya sangat jelas sebagai WNI keturunan Tionghoa, tidak seperti perawakan ayahnya yang mirip
dengan WNI asli pribumi. Notaris PPAT menawarkan akan membantu dan dengan diberikan uang tambahan untuk menguruskan agar tanahnya tetap berstatus HM. Budi
Santoso menyerahkan semuanya kepada Notaris PPAT pada saat pengurusan hak atas tanah tersebut ke BPN.
Beruntung saja namanya telah menggunakan nama Indonesia, karena jika masih menggunakan dengan nama Tionghoa sudah pasti akan dicurigai dan tidak
dapat memiliki tanah dengan status HM, yang status tanahnya akan diturunkan menjadi HGB.
2. Bpk Bambang Riyanto
8
Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang telah 20 tahun tinggal dan berdomisili di DIY, tepatnya di jalan Magelang, Sleman.
Memang benar bahwa di DIY ada larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa. Larangan tersebut amanat Sultan sebagai Gubernur DIY kepala
daerah, yang berlaku sejak Sultan Hamengku Buwono IX. Memiliki beberapa rumah di DIY dengan status tanah yang berbeda-beda, ada
yang statusnya HM dan adapula yang statusnya HGB. Baru mengetahui terkait dengan adanya larangan HM tersebut sejak membeli
tanah untuk rumah di DIY. karena pada saat membeli tanah untuk dibangun rumah
8
Wawancara, 19 Februari 2012.
88
pemborongnya tidak mengatakan bahwa tanah yang dibeli tersebut statusnya akan turun menjadi HGB, padahal tanah tersebut status awalnya adalah HM. Penurunan
dari HM menjadi HGB tersebut dikarenakan dimiliki oleh WNI keturunan Tionghoa, sedangkan jika WNI asli Pribumi yang membeli tanah perumahan tersebut status
tanahnya tersebut tetap dengan HM. Selain itu beliau juga memiliki tanah di DIY dengan status HM, karena
dibantu pengurusannya oleh Notaris PPAT dan dengan membayar memberikan uang tambahan agar tanahnya mendapatkan status HM bukan dengan status HGB.
Kendalanya jika warga negara suku Tionghoa membeli tanah dengan status HM ialah sertifikat tanahnya tersebut tidak dapat digadaikan ke bank, hal tersebut
oleh bank akan dipertanyakan dikarenakan WNI keturunan Tionghoa mengapa bisa memiliki atau mendapatkan tanah dengan status HM di DIY. Karena pada dasarnya
bank di DIY memahami benar adanya larangan bagi WNI keturunan Tionghoa memiliki tanah dengan status HM. Dan jika diketahui oleh Pemerintah Daerah atau
BPN bahwa ada WNI keturunan Tionghoa yang dapat memiliki tanah dengan status HM, status tanahnya tersebut akan diturunkan statusnya menjadi HGB.
Beliau tidak takut status HM atas tanahnya jika oleh Pemerintah atau BPN diturunkan menjadi status HGB. Karena baik tanah yang statusnya HM ataupun HGB
yang dimilikinya itu, untuk nilai beli atau nilai jual dari harga tanahnya tetap sama. Yang membedakan adalah tanah dengan status HM yang dimiliki oleh WNI
keturunan Tionghoa tidak dapat digadaikan dibank. Selain itu juga tanah yang berstatus HM tidak perlu melakukan permohonan perpanjangan hak atas tanah,
berbeda dengan tanah yang berstatus HGB maka pemegang hak atas tanah tersebut setelah jangka waktu tertentu harus melakukan permohonan perpanjangan hak atas
tanahnya. Dan dalam melakukan permohonan perpanjangan akan dikenakan biaya permohonan perpanjangan hak atas tanah tersebut.
Beliau tidak pernah melakukan permohonan hak atas tanahnya dari HGB menjadi HM, karena harga jualnya tetap sama dengan harga jual tanah dengan yang
berstatus HM.
89
Tanah yang statusnya HGB yang dimiliki WNI keturunan Tionghoa jika dibeli oleh WNI asli pribumi status tanahnya dapat ditingkatkan menjadi HM
kembali, sedangkan Jika tanah tersebut dibeli oleh WNI keturunan Tionghoa status tanahnya tersebut tetap berstatus HGB.
WNI keturunan Tionghoa yang memiliki tanah dengan status HM di DIY dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena hal tersebut merupakan pelanggaran
hukum. Dan jika ada WNI keturunan Tionghoa yang tidak tahu adanya aturan larangan ini dan ingin membeli tanah di DIY pasti kaget, karena tanah yang dibeli
dari yang awalnya berstatus HM akan turun statusnya menjadi HGB. Apalagi jika WNI keturunan Tionghoa masih menggunakan nama Tionghoa sudah pasti status
tanah yang akan diberikan hanyalah HGB, tidak mungkin diberikan dengan status HM.
Hal ini dapat dikatakan diskriminasi bagi WNI keturunan Tionghoa, meskipun pada dasarnya DIY dianggap memiliki keistimewaan dibandingkan dengan daerah
yang lainnya.
3. Bpk Oey Meng Hoi
9
Beliau adalah warga negara suku Tionghoa yang dahulu tinggal dan berdomisili di Salatiga, sekarang tinggal dan berdomisili di DIY.
Beliau WNI keturunan Tionghoa yang telah miliki Kartu Tanda Penduduk KTP dan memiliki Surat Keterangan Berkewarganegaraan Republik Indonesia
SKBRI, meskipun masih menggunakan nama Tionghoa dan tidak menggunakan nama Indonesia seperti orang warga negara Indonesia pada umumnya. Tetapi
menurut hukum, beliau telah dianggap sebagai warga negara Indonesia. Pada waktu awal pindah ke DIY berniat untuk membeli sebuah rumah. Tetapi
pada saat menanyakan kepada beberapa agen property terkait dengan status kepemilikan tanahnya, agen property tersebut mengatakan bahwa khusus bagi WNI
9
Wawancara pada tanggal 30 Maret 2010.
90
keturunan Tionghoa tidak dapat diberikan tanah dengan status HM dan hanya dapat diberikan status HGB saja. Berbeda dengan WNI asli pribumi yang jika membeli
rumah statusnya langsung mendapatkan status dengan HM. Alasan dari beberapa agen property tersebut adalah karena adanya aturan
kebijakan dari Sultan yang berlaku sejak tahun 1975, yang yang sampai sekarang belum dicabut. Oleh karena itu menurut agen property tersebut bagi setiap WNI
keturunan Tionghoa yang ingin membeli tanah atau rumah di DIY hanya dapat diberikan status HGB tidak dapat dengan status HM.
Agen property tersebut mengatakan jika WNI keturunan Tionghoa ingin membeli tanah rumah dengan status HM dapat dengan menggunakan nama pinjam
nama dari WNI asli pribumi.
4. Ibu Imelda
10
Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang berasal dari Semarang, sejak tahun 2005 bersama dengan suaminya yang juga sama-sama sebagai WNI keturunan
Tionghoa memilih untuk menetap dan berdomisili di DIY. Kemudian memutuskan untuk membeli rumah tempat tinggal yang terletak di
Kabupaten Bantul. Beliau membeli rumah milik WNI asli pribumi, dengan status HM. Tetapi pada saat melakukan pengurusan jual beli rumah tersebut di Notaris
PPAT, status tanahnya yang awalnya berstatus HM turun statusnya menjadi HGB. Menurut keterangan dari Notaris PPAT bahwa bagi WNI keturunan
Tionghoa yang ingin membeli memiliki tanah dengan status HM tidak diperbolehkan, melainkan status tanah yang dapat diperoleh hanyalah HGB saja.
Larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut diatur dalam Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898A1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak
atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi.
10
13 Wawancara pada tangga 13 November 2010.
91
Beliau tidak mengurus atau mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanah dari status HGB menjadi status HM, bahwa hasilnya akan sama saja yang
diperoleh, status tanahnya yang diperoleh tetap hanyalah HGB saja jika mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanah menjadi HM.
5. Bpk Antony Lee
11
Dalam harian kompas 8 September 2009; surat pembaca harian kompas : status hak milik tanah bagi WNI pribumi dan keturunan
– Antony Lee, Perum Jangkang C 60, Nogotirto, Sleman, Yogyakarta. Bahwa pada Juli 2009, saat
mengurus jual beli tanah seluas 126 m² pada seorang Notaris di Sleman, Yogyakarta, keIndonesiaan saya kembali dipertanyakan. Notaris mengatakan, karena ada embel-
embel “Lee” status yang semula Hak Milik harus diturunkan menjadi Hak Guna Bangunan. Alasannya, ada Instruksi dan Surat Edaran Gubernur DIY 1975 yang
hingga kini belum dicabut. Intinya, warga negara keturunan belum diperkenankan memiliki hak milik, bila dipaksakan mengajukan hak milik, Badan Pertanahan
Nasional akan menolak menerbitkan Sertifikat. Saya berdalil, pada tahun 1984 Daerah Istimewa Yogyakarta sudah menerapkan penuh UU Pokok Agraria tahun
1960. Ditambah lagi, sejak tahun 2006 disahkan UU Kewarganegaraan yang tidak lagi mengenal istilah Pribumi dan non Pribumi. Akhirnya saya menuruti Notaris itu,
dengan mengeluarkan uang tambahan, yang disebutnya perlu adanya pajak dan biaya tambahan pengurusan. Saya tidak bermaksud mengutak-atik kearifan lokal ini.
Namun, saya tergelitik pertanyaan, apakah Undang-Undang dikalahkan dengan Instruksi? Lepas dari itu, rasa sakit yang lebih mendera, hati saya kembali bertanya,
sudah sepenuhnya Indonesia-kah saya?
Dari kelima nara sumber diatas tersebut mengatakan bahwa memang WNI keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM dan hanya
11
http:www.scribd.comdoc33264088Aturan-UU-Diskriminatif, Kompas 8 September 2009, Surat Pembaca : Status Hak Milik Tanah Bagi WNI Pribumi dan Keturunan; Antony Lee.
92
diberikan status tanah dengan HGB saja, yang larangan pemilikan HM tersebut merupakan kebijakan dari Sultan Raja.
Menurut bpk Budi Santoso dan bpk Bambang Riyanto mengakui bahwa dapat memiliki tanah dengan status HM di DIY karena dibantu pengurusannya oleh Notaris
PPAT dengan memberikan uang tambahan. Kesamaan lainnya antara bpk Budi Santoso dengan bpk Bambang Riyanto
adalah mereka sama-sama dapat memiliki HM atas tanah di DIY karena telah menggunakan nama indonesia dalam identitasnya tidak menggunakan nama
Tionghoa, karena jika masih menggunakan nama Tionghoa meskipun dibantu pengurusannya oleh Notaris PPAT untuk mendapatkan tanah dengan status HM di
DIY tetap tidak bisa. Bahwa menurut bpk Bambang Riyanto, ibu Imelda dan bpk Antony Lee
mengakui membeli tanah HM WNI asli pribumi tetapi pada saat pengurusan jual beli di Notaris PPAT untuk balik nama, status tanah yang awalnya berstatus HM
berubah diturunkan menjadi status HGB. Hal ini dikarenakan menurut Notaris PPAT bagi WNI keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah dengan status HM di
DIY. Bahwa kesamaan lainnya antara bpk Bambang Riyanto dengan ibu Imelda
adalah meskipun mereka membeli tanah dari WNI asli pribumi yang awalnya berstatus HM dan diturunkan menjadi HGB, mereka sama-sama tidak mau
mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanahnya dari HGB menjadi HM dengan alasan bahwa tetap saja status tanahnya tidak akan berubah menjadi HM
karena mereka adalah WNI keturunan Tionghoa. Selain terdapat persamaan antara pendapat nara sumber, juga terdapat
perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh nara sumber, yaitu antara bpk Budi Santoso dengan bpk Oey Meng Hoi. Bahwa bpk Budi Santoso mengakui ayahnya
yang bernama bpk Sapto Margono yang juga WNI keturunan Tionghoa awalnya dapat membeli tanah di DIY dengan status HM karena nama, wajah, dan
perawakannya mirip dengan WNI asli pribumi. Sedangkan bpk Oey Meng hoi yang
93
sama-sama WNI keturunan Tionghoa mengakui bahwa tidak dapat membeli tanah dengan status HM di DIY dikarenakan masih menggunakan nama Tionghoa, selain
itu wajah dan perawakannya sangat jelas sebagai WNI keturunan Tionghoa.
B. ANALISIS.
1. Analisis Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah