Larangan Pemilikan HM Oleh WNI keturunan Tionghoa.

68 - Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 12 Tahun 1954 tentang Tanda yang sah bagi milik perseorangan turun-temurun atas tanah erfelijk individucol beziterecht . - Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1960 tentang Jumlah tetempuh uang wajib untuk tanah yang diberikan dengan Hak Bangunan dan Hak Milik. - Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1960 jo Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2 Tahun 1962 sepanjang mengenai Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Formasi Dinas Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta. - Surat Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2D. Pem.DUPPenyerahan: tanggal 6-1-1951.

b. Larangan Pemilikan HM Oleh WNI keturunan Tionghoa.

Meskipun kenyataannya di DIY telah mencabut peraturan-peraturan pertanahan yang digunakan sebelum UUPA dan telah memberlakukan UUPA sepenuhnya sejak tahun 1984 berdasarkan Keppres No. 33 Tahun 1984 dan Perda DIY No. 3 Tahun 1984. Tetapi sampai saat ini “Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898A1975 hal: Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi” tidak ikut dicabut, dan masih berlaku di DIY. Isi aturan dari Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898A1975 tersebut berbunyi: Guna Penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah Istimewa Yogytakarta kepada seorang WNI non Pribumi, dengan ini diminta : Apabila ada seorang WNI non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah 69 Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan suatu hak. Dampak dari masih diberlakukannya aturan penyeragaman policy hak atas tanah kepada WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut, berdampak semua WNI keturunan Tionghoa yang ada di DIY yang ingin membeli atau memiliki tanah dengan hak milik tidak diperbolehkan. Biasanya bagi mereka WNI keturunan Tionghoa ini hanyalah diberikan hak guna usaha HGU atau hak guna bangunan HGB atas tanah saja. Larangan tersebut didasarkan pada perbandingkan tingkat ekonomi golongan non pribumi WNI keturunan Tionghoa yang lebih tinggi dari pada golongan pribumi, maka kebijaksanaan Gubernur DIY ini dipahami, yakni agar kepentingan rakyat kecil tidak semakin terdesak oleh kelompok menengah keatas. Terlebih lagi bila diingat wilayah DIY yang relatif sempit, bila penguasaan dan penggunaan tanah dengan hak milik oleh golongan non pribumi WNI keturunan Tionghoa diperkenankan, dikhawatirkan akan melahirkan petani-petani berdasi, sedang rakyat kelas bawah akan menjadi buruh-buruh kecil. 2 Bahwa dengan masih diberlakukannya larangan kepemilikan hak milik atas tanah yang hanya diberlakukan kepada WNI keturunan Tionghoa, hal ini mengurangi hak yang dimiliki warga negara. Karena pada dasarnya setiap warga negara baik warga negara pribumi atau pun WNI keturunan Tionghoa berhak memiliki hak milik untuk dimilikinya, termasuk pula hak milik atas tanah di Indonesia. Selain melihat larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa dari sisi pengaturannya, maka penulis juga melihat dari beberapa nara sumber yang meliputi Instansi BPN Propinsi DIY, Kantor Notaris PPAT, Dosen Pengajar Hukum Agraria. Penulis memilih nara sumber tersebut diatas, dikarenakan penulis mengalami kesulitan dalam pencarian untuk memperoleh data yang berhubungan dengan 2 Ibid. 70 penulisan skipsi ini, karena tidak semua nara sumber mau memberikan keterangan terkait larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut. Dan juga menurut pendapat penulis bahwa nara sumber yang dipergunakan tersebut berkompeten dan memahami terkait dengan larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut. Beberapa dari nara sumber tersebut yaitu, meliputi: 1. Bpk Suhartono. 3 Beliau adalah petugas kantor BPN DIY yang jabatannya adalah sebagai KASI PENDAFTARAN, PERALIHAN, PEMBEBANAN HAK PPAT. Beliau membenarkan adanya aturan larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut yang diatur dalam Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898A1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi. Dasar munculnya larangan aturan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut sangatlah politis. Tetapi tidak jelaskan secara mendalam terkait dengan dasar alasan larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut. Karena mungkin karena kesejarahan tanah di DIY adalah tanah Kraton, atau mungkin karena policynya kebijakan Gubernur atau Pemerintah Daerah pada jaman dulu adalah semi-semi Kraton. BPN juga menyatakan tidak mau mendesak kepada Pemerintah Daerah DIY, karena secara fungsional BPN hanya sebagai pelaksana dari Perintah Daerah DIY. Jika BPN mendesak atau tidak setuju kepada Pemerintah Daerah terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan, takutnya tidak perlu ada kantor BPN di DIY. Kebijakan larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut memang agak ada kesenjangan dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia. Alasan diberlakukan kebijakan tersebut karena Pemerintah Daerah DIY 3 Wawancara pada tanggal 16 Juni 2011. 71 takut tanah di DIY dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa, dikarenakan WNI keturunan Tionghoa pandai melihat wilayah untuk dijadikan peluang. Karena itu oleh pemerintah daerah DIY agar tidak terjadi kesenjangan di DIY maka pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut dilarang dan hanya diberikan HGB saja. Bagi WNI keturunan Tionghoa bukan hanya kesulitan untuk memiliki HM atas tanah di DIY, tetapi memang belum boleh memiliki HM atas tanah di DIY. Pemerintah Daerah dapat memberikan hak atas tanah dengan “kekancingan”, yang policy tersebut merupakan wewenang dari Kraton. Larangan pemilikan HM tersebut berlaku di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi 4 Kabupaten dan 1 Kotamadya tanpa ada terkecuali, diantaranya: Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Tugas dari BPN adalah mengamankan kebijakan yang sudah ada, karena kebijak tersebut sudah ada sebelum berlakunya UUPA di DIY. Sedangkan dengan berlakunya UUPA di DIY juga tidak serta merta menghapuskan kebijakan tersebut. Walaupun dalam aturannya, segala aturan yang bertentangan dengan UUPA tidak berlaku. Dahulu sudah ada yang menuntut terkait larangan pemilikan HM atas tanah di DIY ini, dan yang menuntut adalah anggota DPRD DIY yang berwarga negara keturunan Tionghoa dan telah beragama islam yaitu bpk. Budi Setya Nugraha. Tetapi tuntutan tersebut tetap saja tidak membuahkan hasil. Dengan berlakunya UUPA di DIY secara implisit bahwa Kantor BPN acuannya adalah UUPA, hanya saja yang belum diatur seperti Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898A1975 dijadikan aturan agar bisa masuk dalam UUPA tetapi belum, karena UUPA juga banyak yang peraturan pelaksanaannya belum ada. BPN bukan diskriminasi tetapi karena memang BPN disini hanya melakukan aturan atau kebijakan yang telah ada sebelumnya. 72 Tata cara perolehan hak milik atas tanah bagi warga negara Indonesia asli pribumi tidak ada masalah, tetapi bagi WNI keturunan Tionghoa tetap tidak dapat memiliki hak milik atas tanah di DIY. Jika ada WNI keturunan Tionghoa membeli tanah hak milik yaitu prosesnya dengan penurunan hak menjadi HGB. Jika WNI keturunan Tionghoa ketahuan memiliki tanah hak milik akan dilakukan penurunan hak menjadi HGB, kalau HM atas tanah tersebut tidak mau turunkan hak menjadi HGB dapat dilakukan peralihan ke warga negara Indonesia asli pribumi asli atau dengan kata lain dengan balik nama ke warga negara asli pribumi. BPN juga tidak menghendaki adanya larangan pemilikan HM tersebut. karena jika ada yang protes terkait larangan tersebut dapat melakukan Judicial Review, jika aturan larangan tersebut dicabut maka BPN akan melaksanakan aturan dan kebijakan yang ada. Dalam masalah pelayanan permohonan hak atas tanah tidak ada pembedaan baik warga negara Indonesia pribumi ataupun WNI keturunan Tionghoa, Jika ada yang ingin memberikan uang tambahan itu adalah hak dari masing-masing orang yang memohonkan. Dan apabila ada WNI keturunan Tionghoa memberikan uang tambahan kepada BPN tetap tidak dapat merubah keputusan pemohonan hak atas tanah yang dari HGB menjadi HM. Perbedaan dari HM dengan HGB adalah kalau HGB ada jangka waktunya. Jangka waktunya tergantung disurat keputusannya, setelah habis jangka waktunya harus memperpanjang. Sekarang tidak terlalu siknifikan karena begitu ada perpanjangan tidak harus membayar uang pemasukan lagi, berbeda kalau dahulu harus membayar uang pemasukan lagi. Yang harus dibayarkan adalah hanya terkait dengan permohonan yang diajukan. Pada prinsipnya perbedaan perlakuan warga negara Indonesia asli pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa tidak secara signifikan mengurang martabat, hanya masalah terkait dengan larangan pemilikan HM tersebut belum ada titik temunya. Dengan muncul dan berlakunya UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang barupun, tidak menghapuskan dan tetap 73 saja kebijakan terkait larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut masih berlaku di DIY, padahal tidak ada pernyebutan atau perbedaan baik dari hak dan kewajiban warga negara pribumi ataupun WNI keturunan Tionghoa. Prinsip BPN hanyalah melaksanakan kebijakan yang telah ada. Kalau kebijakan tersebut masih berlaku BPN tidak dapat menghilangkan kebijakan tersebut. 2. Bpk Raminudin. 4 Beliau adalah asisten Notaris PPAT yang bekerja di Kantor Notaris PPAT Retno Merdeka Wati, SH, MM. , Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Khusus di DIY untuk WNI keturunan Tionghoa harus dengan HGB tidak boleh dengan HM. Hal ini didasarkan karena adanya instruksi Gubernur Kepala Daerah DIY tahun 1975, yang wujudnya “Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898A1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi”, yang aturan tersebut bukan Undang-Undang bukan Peraturan Daerah hanyalah instruksi. Surat Edaran Gubernur tersebut berlaku diseluruh Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Dalam prakteknya di DIY WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki tanah dengan HM atau dapat mengajukan tanah dengan HM, tetapi harus mempunyai surat kekancingan dari keraton. Surat kekancingan itu semacam silsilah, bahwa seseorang boleh miliki tanah dengan status HM tetapi harus ada keturunan dari keluarga keraton. Dengan surat kekancingan itu seseorang barulah boleh memiliki tanah dengan HM. Kalau WNI keturunan Tionghoa yang tidak memliki surat kekancingan dari keraton, maka tidak dapat mempunyai tanah dengan status HM. WNI keturunan Tionghoa memang tidak dapat memiliki tanah dengan HM, tetapi tidak dipungkiri bahwa sering ada kecolongan-kecolongan WNI keturunan 4 Wawancara pada tanggal 7 Oktober 2011 74 Tionghoa dapat memiliki tanah dengan status HM dengan menggunakan nama indonesia asalkan tidak ketahuan oleh BPN. Bahwa adanya kecolongan-kecolongan WNI keturunan Tionghoa bisa memiliki HM tersebut tidak resmi. Tetapi kecolongan- kecolongan tersebut tidak semua dilakukan di DIY, karena biasanya BPN kota Yogyakarta lebih cermat dan lebih mencurigai. Setelah pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, tetap saja tidak mencabut larangan kepemilikan tanah dengan HM oleh WNI keturunan Tionghoa. Pernah juga dipertanyakan dalam sosialisasi UU kewarganegaraan yang baru tersebut terkait bagaimana WNI keturunan Tionghoa yang ada di DIY dengan terbitnya UU Kewarganegaraan yang baru ini apa sudah bisa memiliki tanah dengan status HM. Tetapi jawaban waktu itu bahwa masalah larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa itu terkait dengan politis. Jadi meskipun menurut UU kewarganegaraan yang baru di Indonesia tidak ada perbedaan hak dan kewajiban dan penyebutan warga negara, tetapi di DIY masih tetap saja memberlakukan larangan pemilikan HM atas tanah yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa. Surat Edaran Gubernur DIY itu bukan dari Mendagri, bukan Perda, bukan juga Kepres. Seharusnya kalau menurut undang-undang tidak membedakan apapun. Undang-Undang itu kalah dengan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut. Pernah ada gugatan di pengadilan dan gugatan tersebut tatap kalah, contohnya seperti di Bantul pernah ada WNI keturunan Tionghoa membeli tanah dengan status HM ketahuan kalau dia non pribumi, dan status HM atas tanahnya diturunkan menjadi status HGB. Alasan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut diberlakukan di DIY juga tidak ada pertimbangannya didalam Surat Edaran Gubernur tersebut. WNI keturunan Tionghoa tidak pernah ada yang mengajukan permohonan hak atas tanah dari HGB ditingkatkan menjadi HM. Karena WNI keturunan Tionghoa sudah tahu bahwa semua WNI keturunan Tionghoa tidak boleh memiliki tanah di DIY dengan status HM. 75 Dalam prakteknya ada saja Notaris PPAT di DIY yang membantu menguruskannya agar supaya WNI keturuanan Tionghoa dapat memiliki tanah dengan status HM, asalkan WNI keturunan Tionghoa tersebut sudah tidak menggunakan nama Tionghoa atau fisiknya samar-samar tidak terlihat seperti WNI keturunan Tionghoa. Sewaktu ada WNI keturunan Tionghoa meminta tolong untuk dibantu pengurusannya agar memperoleh HM atas tanah, maka Notaris PPAT akan beralasan beralibi bahwa Notaris PPAT tidak mengetahui kalau dia adalah WNI keturunan Tionghoa. Karena tidak bisa menilai orang dari fisik, karena orang Kalimantan batak juga berkulit putih dan bermata sipit seperti WNI keturunan Tionghoa pada umumnya. Notaris PPAT juga tidak berkewenangan untuk membuktikan orang tersebut adalah WNI keturunan Tionghoa atau bukan. Karena yang menyelidiki orang tersebut untuk membuktikan apakah dia WNI keturunan Tionghoa atau bukan kewenangan dari BPN yang mencurigainya. Adapun kemungkinan bahwa WNI keturunan Tionghoa agar dapat memperoleh tanah dengan status HM dengan cara meminjam atau menggunakan nama dari WNI pribumi asli. Selain itu dapat pula merubah nama di KTP identitas dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia seperti nama WNI pribumi, dan merubah agama menjadi agama islam agar lolos dan tidak dicurigai. Karena kalau misalkan dalam KTP beragama budha sudah tentu dicurigai dan tidak dapat mendapatkan status tanah dengan HM. BPN juga tidak mau diberi uang suap agar WNI keturunan Tionghoa bisa mendapatkan HM atas tanah. Jika ada kecurigaan supaya tidak dipanggil yaitu ditutupin dengan cara meminjam menggunakan nama WNI pribumi atau identitas KTP menggunakan nama Indonesia dan merubah agama menjadi agama islam. Tetapi kalau WNI keturunan Tionghoa masih tetap menggunakan nama Tionghoa jelas Notaris PPAT tidak berani, karena sama saja tidak akan mendapatkan status tanah 76 dengan HM. Tetapi jika warga negara suku Tionghoa sudah terlanjut memiliki tanah dengan status HM, maka status tanahnya akan diturunkan menjadi HGB. Hal-hal tersebut merupakan terobosan-terobosan untuk menerobos Surat Edaran Gubernur DIY tersebut, tetapi bukan berarti tanpa akibat atau resiko. Akibat atau resiko yang akan dihadapi oleh WNI keturunan Tionghoa yaitu, jika oleh WNI keturunan Tionghoa tanah tersebut digunakan untuk jaminan utang dibank dan dipasangkan hak tanggungan oleh bank akan ketahuan mengapa WNI keturunan tionghoa bisa memiliki tanah dengan HM di DIY, dan jika dilaporkan ke BPN maka status tanah HM tersebut akan diturunkan menjadi HGB. Terkait jika terjadi perkawinan campuran antara WNI pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa bisa saja salah satu dari mereka dapat memiliki HM atas tanah tetapi jika diwariskan keanaknya akan ketahuan bahwa ada keturunan dari WNI keturunan Tionghoa. Karena surat keterangan waris di DIY berbeda antara WNI pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa, kalau WNI keturunan Tionghoa yang membuat surat keterangan warisnya adalah Notaris, sedangkan kalau WNI Pribumi yang membuat surat keterangan warisnya Lurah Camat. Bahwa Surat Edaran Gubernur DIY tersebut bersifat politis yang subyektif bukan bersifat objektif. Bagi mereka keturunan arab dan keturunan india tidak tahu dapat memiliki tanah dengan status HM di DIY atau tidak. Tetapi bagi WNA yang ingin berdomisi di DIY hanya akan diberikan Hak Pakai HP atas tanah saja, tidak dapat dengan hak atas tanah yang lain. Memang dalam prakteknya WNI keturunan Tionghoa tidak dapat memiliki tanah dengan HM di DIY, tetapi jika ada yang menerobos instruksi Surat Edaran Gubernur tersebut ada saja. Terkait dengan larangan kepemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut bukan rahasia umum lagi. Jika ada WNI keturunan Tionghoa ingin membeli tanah dengan status HM, beliau mau saja menolong pengurusannya. Tetapi jika ketahuan oleh BPN itu diluar tanggung jawab Notaris PPAT yang menguruskan permohonan perolehan HM atas 77 tanahnya. Karena jika ketahuan maka resikonya oleh BPN status tanah HM nya tersebut langsung akan diturunkan menjadi status HGB, meskipun tidak ada sanksi atau tindakan adminsitratif dari pemerintah daerah ataupun BPN. Kalau WNI keturunan Tionghoa tidak mau diproseskan penurunan hak atas tanahnya dari HM menjadi HGB, maka oleh BPN tidak diproses tidak diperbolehkan. Tetapi kalau tanah tersebut oleh WNI keturunan Tionghoa mau dijual malah diperbolehkan, asalkan dijual kepada WNI pribumi dan status tanahnya tersebut akan menjadi HM. Tetapi jika tanah tersebut dijual kembali kepada WNI keturunan Tionghoa lagi, tetap tidak akan mendapatkan status HM melainkan yang didapatkan hanya status HGB saja. Perbedaan antara HM dengan HGB adalah kalau hak milik tidak terbatas jangka waktunya, sedangkan kalau HGB terbatas jangka waktunya. Batas jangka waktu perpanjangan HGB berbeda-beda, kalau berasal dari penurunan hak jangka waktunya bisa 30 tiga puluh tahun, tetapi kalau berasal dari pelepasan hak atau permohonan hak itu 20 dua puluh tahun dan jika jangka waktunya habis bisa diperpanjang lagi. 3. Bpk Nanang Bagus. 5 Beliau adalah asisten Notaris PPAT di kantor Diah Emilia Sari, SH yang berkantor di daerah Sleman, Daerah Istiemwa Yogyakarta. Bahwa memang benar di DIY ada larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa. Larangan tersebut merupakan aturan dari Sultan, yang aturan larangan kepemilikan HM tersebut berlaku sejak dari tahun 1975. WNI keturunan Tionghoa yang memiliki tanah dengan status HM di DIY harus dilimpahkan kepada yang berkewarganegaraan indonesia asli pribumi, atau dapat pula menggunakan atau meminjam nama kerabat atau orang yang berkewarganegaraan Indonesia asli pribumi. 5 Wawancara pada tanggal 7 Oktober 2011. 78 Bagi WNI keturunan Tionghoa yang tinggal dan memiliki rumah atau tanah di DIY tidak ada yang dapat memiliki tanah dengan status HM, melainkan status hak atas tanah yang diperoleh hanyalah HGB saja. Aturan larangan kepemilikan tanah dengan status HM yang diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut berlaku diseluruh DIY, termasuk Kabupaten Sleman, kabupaten Bantul, kabupaten Gunung Kidul, kabupaten Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta. Belum ada WNI keturunan Tionghoa yang memiliki HM atas tanah di DIY, karena Notaris PPAT di DIY tidak berani mengeluarkan atau menguruskannya agar WNI keturunan Tionghoa dapat memperoleh HM atas tanah. Satu-satunya cara agar WNI keturunan Tionghoa mendapatkan tanah dengan status HM yaitu dengan meminjam nama atau mengatas namakan tanah tersebut kepada orang yang berkewarganegaraan WNI asli pribumi, tetapi yang membeli tanah tersebut tetap WNI keturunan Tionghoa. Tetapi menurut beliau jika ingin menggunakan atau meminjam nama dari WNI asli pribumi haruslah WNI asli DIY atau yang telah memiliki KTP di DIY, tidak bisa mengunakan nama dari WNI asli pribumi dari propinsi lain meskipun mereka sama-sama WNI asli pribumi. Jikapun Notaris PPAT diberikan uang tambah untuk membantu WNI keturunan Tionghoa dalam pengurusannya agar dapat memperoleh status tanah dengan HM, hal tersebut tetap tidak bisa karena adanya aturan larangan tersebut. Karena jika Notaris PPAT mengeluarkan atau membantu WNI keturunan Tionghoa dalam pengurusan perolehan HM atas tanah, hal tersebut melanggar jabatan kode etik notaris PPAT. 4. Ibu Endah Cahyowati 6 Beliau adalah Dosen Fakultas Hukum Pengajar mata kuliah Hukum Agraria di Universitas Katholik Atma Jaya Yogyakarta. 6 Wawancara pada tanggal 12 Oktober 2011. 79 Memang hangat dibicarakan skala nasional terkait pengaturan tanah di DIY, selain ketentuan terkait dengan penetapan Kepala Daerahnya. Pertama-tama untuk mengetahui kaitannya dengan pengaturan pertanahan di DIY maka harus dilihat dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang disempurnakan dengan UU No. 19 Tahun 1950 dan disempurnakan lagi dengan UU No. 9 Tahun 1955. Salah satu pasalnya yaitu Pasal 4 ayat 1 yang pada mengatur bahwa DIY diberi wewenang untuk mengatur masalah tanah. Di DIY yang menarik terkait dengan berlakunya UUPA di DIY, bahwa di DIY ada tanah Kraton tanah Raja dan tanah DIY tanah Negara. Terkait dengan tanah Kraton tersebut berarti bicara secara khusus yang terdiri dari tanah Sultan Ground tanah Sultan dan tanah Paku Alaman Ground tanah Paku Alaman. Sedangkan untuk tanah di DIY berbicara secara nasional. Tanah di DIY ini harus dilihat dari sejarah, yang dilihat dari beberapa aspek yaitu: yuridis, historis, sosiologis, filosofis. Jika membicarakan tanah di DIY, itu berarti membicarakan tanah skala nasional. Sedangkan jika membicarakan tanah keraton sudah khusus tanah Sultan Ground tanah Sultan dan tanah Paku Alaman Ground tanah Paku Alaman. Untuk tanah-tanah adat masih berlaku ketentuan peraturan-peraturan daerah, terutama di daerah 4 empat Kabupaten dan 1 satu Kota. Karena DIY ini memliki 4 empat Kabupaten yaitu: Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, sedangkan 1 satu Kota yaitu: Yogyakarta. Pada waktu sebelum berlakunya UUPA, bahwa tanah-tanah keraton diatur dengan Rijksblad Kasultanan untuk Sultan Ground dan Rijksblad Paku Alaman untuk Paku Alaman Ground. Sebelum UUPA ini berlaku di DIY, tanah-tanah dikota Yogyakarta masih diatur dengan Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman. Membicarakan tanah di DIY harus dibedakan, pertama berangkat dari dasar pembentukan DIY yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY. 80 Salah satu pasalnya, yaitu pasal 4 ayat 1 itu menyatakan yang intinya bahwa DIY diberi wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri menyangkut beberapa bidang hal, salah satunya adalah bidang hukum pertanahan. Sebelum berlakunya UUPA dikenal tanah Raja Keraton disebut tanah Kasultanan Sultan Ground dan tanah Paku Alaman Paku Alaman Ground. Hal tersebut dikarenakan raja di DIY ada 2 dua Kasultanan dan paku Alaman, pasti rajanya dari Kasultanan dan wakilnya dari Paku Alaman. Sebelum berlakunya UUPA tanah-tanah yang berada di DIY 4 Kabupaten dan 1 Kota itu mengikuti ketentuan Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman, tetapi khusus untuk tanah-tanah bekas hak barat dahulu mengikuti ketentuan hukum tanah barat. Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX almarhum berlakunya UUPA, di DIY ini belum berlaku sepenuhnya. Yang tunduk pada ketentuan UUPA pada saat itu adalah hanya tanah-tanah bekas hak barat melalui ketentuan konversi di UUPA diktum ke II UUPA menjadi tanah negara, dengan batas waktu sampai 24 september 1980 harus sudah berakhir untuk dikonversi. Sedangkan tanah-tanah Keraton Raja masih diatur dengan Rijksblad hingga tahun 1984 belum tunduk atau belum berlaku sepenuhnya UUPA. Dengan adanya “Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898A1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi”, dengan Gubernur saat itu adalah Paku Alam ke VIII almarhum, di mana intinya berupa aturan bahwa “untuk WNI keturunan Tionghoa belum bisa diberikan status HM atas tanah di DIY”. Adanya instruksi Gubernur tersebut tidak salah karena sejak berlakunya UUPA di Indonesia, di DIY memang belum memberlakukan sepenuhnya UUPA. Pada tahun 1975 masih belum berlaku sepenuhnya, jadi instruksi Gubernur masih juga berlaku, maka WNI keturunan Tionghoa belum bisa diberikan HM atas tanah di DIY. 81 Alasan utama masih berlakunya Instruksi Gubernur yang melarang pemilikan tanah dengan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut, karena terkait dengan keadaan ekonomi rakyat pribumi. Raja lebih mengutamakan rakyat pribumi dulu untuk kesehjahteraannya. Selain itu juga dikarenakan penjajahan Belanda cukup lama, DIY yang merupakan tanah Raja ini adalah satu-satunya tanah yang tidak diserahkan kepada pemerintah Belanda pada saat penjajahan. Berbeda dengan Surakarta yang awalnya meskipun sama-sama tanah Raja, tetapi sebagian tanahnya diserahkan kepada Pemerintah Belanda, maka sekarang tanah di Surakarta telah menjadi tanah Negara. Berbeda dengan DIY karena pada waktu itu tidak diserahkan kepada Pemerintah Belanda. Kemudian pada tahun 1984, tepatnya 1 april 1984 keluar Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan berlaku sepenuhnya UUPA di DIY ini berarti peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Tetapi pada kenyataanya sampai sekarang di DIY masih berlangsung, karena Instruksi Gubernur tersebut masih berlaku dan belum dicabut secara tegas. Bicara tentang UUPA, bahwa mulai dari pasal 2 UUPA tentang hak menguasai negara, dihubungkan dengan asas nasionalitas. Pada saat berlakunya UUPA itu, semua warga negara indonesia menyebut WNI sudah barang tentu itu adalah pengertian WNI dalam arti tunggal. Tidak membedakan WNI asli pribumi atau WNI keturunan Tionghoa. Tetapi DIY tidak lepas dari sejarah mengapa masih berlaku aturan seperti ini. Bahwa harus melihat dari unsur politis tetapi dalam arti historisnya, bukan politis dalam arti perkembangan sekarang yang ada rekayasa untuk kemenangan siapa yang berkuasa. Bicara tanah di DIY harus dilihat dari beberapa aspek, diantaranya: 1. Aspek politis dalam arti yang positif karena harus dikaitkan dengan melihat sejarahnya. 82 2. Aspek yuridis, tanah keraton khusus merupakan kepemilikan Raja yang diatur didalam naungan aturan Rijksblad-Rijksblad . 3. Aspek sosiologis, kalau masyarakat boleh menggunakan tanah di DIY maka salah satu syaratnya itu adalah harus ada perjanjian. Masyarakat juga mengakui bahwa tanah di DIY adalah milik Raja, tetapi bahwa masyarakat boleh menggunakan tanah di DIY, dalam aturan internal keraton masyarakat yang ingin menggunakan harus mendapatkan ijin dari Raja dan tergantung tanah mana yang digunakan. Jika tanah yang digunakan Sultan Ground harus mendapatkan ijin dari Sultan, tetapi jika tanah yang digunakan Paku Alaman Ground harus mendapatkan ijin dari Paku Alam. 4. Aspek filosofis, tanah keraton itu juga digunakan untuk kepentingan umum atau kepentingan pembangunan. Untuk proses administratif yuridis dan sosiologisnya sama yaitu harus mendapatkan ijin dari Raja. Seperti contohnya Kampus UGM sebenarnya tanah Kasultananan, tetapi tidak diberikan jangka waktu oleh Sultan. Tanah Kasultanan itu tidak hanya ada di kota Yogyakarta saja, ini ada juga di kabupaten-kabupaten. Juga dapat digunakan oleh masyarakat dengan status diberikan hak pakai, hak sewa dan intinya harus mendapatkan ijin. Sekalipun sudah diberikan ijin untuk didirikan tempat tinggal, maka sebenernya tidak boleh dengan bangunan permanen. Karena takutnya keraton akan menggunakan menggembangkan tanah tersebut. Sejak Keppres 33 Tahun 1984 yang memberlakukan sepenuhnya UUPA di DIY diberlakukan, jika dipersandingkan dengan UUPA seharusnya insturksi Gubernur tersebut sebenarnya sudah tidak berlaku. Tetapi sampai sekarang pun belum bisa diberikan tanah dengan status HM bagi WNI suku Tionghoa. Dalam Pasal 9 UUPA yang menganut asas nasionalitas, Pasal 9 ayat 1 menyatakan: semua wa rga negara indonesia dapat mempunyai hubungan yang penuh dengan bumi, air, dan ruang angkasa . Kemudian dalam pasal 9 ayat 2 83 menyatakan: tiap-tiap wa rga negara indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun kelua rganya. Penyebutan WNI dalam UUPA ini adalah WNI Tunggal, sehingga tidak membedakan dalam WNI keturunan Tionghoa atau WNI asli Pribumi, tetapi tetap saja tidak diperbolehkan WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY. Tetapi kenyataannya banyak WNI keturunan Tionghoa yang menggunakan pinjam nama WNI asli pribumi agar dapat memiliki tanah dengan status HM di DIY. Selain itu juga ada WNI keturunan Tionghoa yang menguruskan ke Notaris PPAT untuk melegalkan perjanjian tersebut. Yang dibelakang perjanjian itu ada perjanjian antara WNI keturunan Tionghoa dengan WNI asli pribumi, bahwa ada peminjaman nama dari WNI asli pribumi untuk mendapatkan tanah dengan status HM. Tetapi jika dilanjutkan berbahaya untuk aspek yuridisnya, karena orang yang dipinjam namanya itu belum tentu mempunyai itikat baik, dan bagaimanapun juga hal tersebut tetap saja jelas tidak diperbolehkan karena merupakan pelanggaran, meskipun perjanjian itu diatas sertifikat boleh dilakukan. Sejak berlakunya UUPA, jika dibaca dalam peraturan pelaksanaanya UUPA yaitu UU No. 56 Prp. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Kemudian ada batas penetapan maksimum dan minimumnya, tetapi itu diatur hanya untuk 1 satu keluarga tidak mencakup badan hukum. UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ini diatur lebih lanjut dengan PP No. 224 Tahun 1961. Kemudian dalam UUPA diktum 4 A menyebutkan; tanah Swapraja dan tanah bekas Swapraja itu sejak berlakunya UUPA menjadi tanah negara. Kemudian diktum B menyebutkan; ketentuan sebagaiman dimaksud dalam ketentuan diktum A akan diatur lebih lanjut dalam PP. PP yang dimaksudkan adalah PP No. 224 Tahun 1961. Sekarang jika dilihat dalam ketentuan PP No. 224 Tahun 1961 itu ada obyek landerform, itukan tanah negara, tanah bekas-bekas swapraja, tanah-tanah yang melebihi batas maksimum, tanah-tanah yang melanggar larangan tanah adat. Tetapi tanah swapraja belum diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961 tersebut. Yang dimaksud 84 dalam diktum 4 B UUPA terkait dengan PP No. 224 Tahun 1961, tetapi isinya tidak menyinggung tanah swapraja ini diatur dengan PP itu. Ini yang menimbulkan pertanyaan terkait bagaimana kedudukan tanah swapraja di DIY. Kalau bicara tanah swapraja di DIY itu kembali ke histori atau kesejarah tadi, oleh karena itu terlihat seperti berputar-putar terkait pengaturan tanah swapraja di DIY. Kalau bicara tanah Swapraja di DIY yang ada di kota Yogyakarta dan sebagian di 4 kabupaten wilayah DIY kembali harus melihat ke histori atau sejarah. Selain itu terdapat pula tanah-tanah bekas hak barat dan tanah-tanah bekas hak adat yang telah dikonversi menurut ketentuan dalam UUPA. Sumber dari pengaturan tanah swapraja di DIY sebenarnya bersumber dari sejarah, bukan berasal dari tanah Negara. Tanah di DIY sejarah otentiknya ada perjanjian Giyanti bahwa tanah di DIY adalah tanah Raja. Dari keempat nara sumber diatas tersebut mengatakan bahwa memang WNI keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM, yang biasanya hanya diberikan status tanah dengan HGB. Larangan tersebut merupakan aturan dari Sultan yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY, dan berlaku di seluruh wilayah DIY 4 Kabupaten dan 1 Kota. Keempat nara sumber juga mengatakan bahwa WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki HM atas tanah di DIY dengan cara meminjam nama balik nama ke kerabat atau orang yang berwarga negara indonesia asli pribumi. Akan tetapi menurut ibu Endah Cahyowati minjaman nama balik nama ke kerabat atau orang yang berwarga negara indonesia asli pribumi tersebut tidak menjamin kepastian hukum meskipun perjanjian tersebut dilakukan dihadapan Notaris PPAT, karena hal pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut sebenar tetap dilarang oleh hukum dan tidak menjamin orang yang dipinjam namanya tersebut memiliki itikat baik atau buruk. Menurut bpk Suhartono dan ibu Endah Cahyowati bahwa larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY bersifat politis yang harus 85 melihat sejarah DIY jaman dulu, tetapi menurut bapak Raminudin larangan tersebut memang bersifat politis yang subyektif bukan obyektif. Kesamaan lainnya menurut bpk Suhartono dan ibu Endah Cahyowati adalah terkait dengan alasan diberlakukan kebijakan larangan pemilikan HM tersebut atas dasar karena terkait dengan keadaan tingkat ekonomi antara rakyat pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa, yang WNI keturunan Tionghoa dianggap lebih dalam materi kekayaan, karena itu takut tanah di DIY dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa. Oleh karena itu Sultan Raja lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat pribumi dulu, dan agar tidak terjadi kesenjangan sosial. Bahwa menurut bpk Suhartono dan bpk Raminudin meskipun telah muncul dan diberlakukan UU Kewarganeraan Indonesia yang baru UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, tetap saja larangan pemilikan HM atas tanah di DIY yang berlaku bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut masih diberlakukan. Meskipun pada dasarnya tidak ada pembedaan atau penyebutan antara WNI asli pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa, karena mereka sama-sama telah dianggap sebagai warga negara Indonesia. Kesamaan lainnya menurut bpk Suhartono dan bpk Raminudin adalah terkait dengan bahwa jika ada WNI keturunan Tionghoa yang memiliki HM atas tanah di DIY, maka HM atas tanah tersebut akan diturunkan statusnya menjadi HGB. Selain ada persamaan antara pendapat nara sumber, juga terdapat perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh nara sumber, yaitu antara bpk Raminudin dengan bpk Nanang Bagus yang sama-sama berprofesi sebagai Notaris PPAT. Bahwa menurut bpk Raminudin sering terjadi kecolongan-kecolongan WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki HM atas tanah di DIY, dan banyak Notaris PPAT yang banyak menolong WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY. Sedangkan menurut bpk Nanang Bagus tidak pernah ada kecolongan WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY, karena Notaris PPAT tidak akan berani menolong WNI keturunan Tionghoa untuk dapat memiliki tanah dengan HM di DIY, 86 jika ketahuan ijin praktek Notaris PPAT akan dicabut karena hal tersebut melanggar kode etik.

2. Pemilikan Hak Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa di Daerah