Kasus Pertama Kasus kedua

, Dalam hal pembedaan penyuguhan makanan dan minuman, lewat peralatan makan dan minum saat perkawinan dan kematian sudah lebih berbeda. Apabila undangan adalah orang yang memiliki kedudukan tinggi misalnya pemerintah, dosen, pendeta yang kemudian diperlakukan sama seperti bangsawan dalam ritual atau upacara tersebut. Diperlakukan sama karena adanya penghargaan terhadap tamu. Walaupun ada beberapa kasus, dimana ada pembedaan dalam ritual kematian dan pernikahan. Misalnya kepada sopir, diberikan peralatan makan dan minum yang kecil, sementara bosnya diberikan yang besar layaknya bangsawan. Hal ini dikarenakan mindset orang Sumba, masih terkungkung dalam budaya lama, di mana yang memiliki pekerjaan bagus itu layaknya maramba dan yang sopir biasanya di bawah maramba. Pemikiran yang terpolakan seperti itu mempengaruhi mereka dalam menerima tamu. Namun secara keseluruhan, sudah banyak pergeseran dalam hal penyuguhan peralatan makan dan minum ini. Bapak Umbu Manggana mengatakan sekarang cara penyuguhan makan sudah lebih modern. Terlepas dari beberapa contoh yang dialami di kampung tertentu di mana upacara adat dilakukan. Hal di atas dapat dipertegas dengan adanya beberapa kasus yang sering terjadi di Sumba Timur. Walaupun tidak bisa dipredikisi berapa kali kasus yang sama, yang terjadi disetiap tahunnya. Namun penulis berhasil menguak informasi untuk mendapatkan data yang valid untuk keperluan peneliti. Diantaranya:

1. Kasus Pertama

Seorang nara sumber berinisial RN adalah seorang perempuan berasal dari kelompok bangsawan. Ia adalah hasil dari pernikahan bapak UT dan ibu MSE. Bapak bangsawan dan ibu dari golongan bawah. RN akhirnya menikah dengan seorang laki-laki, berinisial DB dari keturunan golongan bawah bapaknya SB dan ibunya NY. RN adalah anak dari keluarga yang berada, bapaknya , memiliki jabatan penting dalam pemerintahan dengan golongan 4a dan ibunya seorang guru dengan golongan 3a. Dilihat dari gaji perbulan yang diperoleh dan asset peninggalan nenek moyang lainnya, bisa dikategorikan kaya. RN dan DB, sebelumnya bertemu di SLTA, dan kemudian hubungan mereka barulah resmi pacaran saat kuliah. RN, berkuliah di Semarang dan DB di Bandung. Ketika menikah tidak ada kendala yang hadir karena sang suami DB, sudah memiliki jabatan yang strategis di pemerintahan, belum lagi ditambah dengan kedudukan bapaknya yang juga pejabat pemerintahan. Saat diadakan wawancara RN mengatakan, 28 “status atau gelar itu ditentukan dari mampunya saya menghidupi keluarga, anak dan saudara-saudara dari kampung suami, bapak, atau mama saya maupun mertua saya. Suami saya dari golongan mana juga tidak masalah. Sekarang sudah tidak jaman lagi, nona. Yang penting suami kerja bagus, orang tua mana juga setuju. Sekarang banyak koq yang seperti itu. Saya punya banyak hewan, yang mampu mengangkat nama saya ketika saya memotong hewan dalam upacara-upacara adat seperti kematian. Saya tetap Rambu dan anak-anak saya pun tetap saya menggunakan gelar tersebut. Orang-orang sekitar juga memanggil saya mama Rambu. Suami saya juga bapa Umbu. Apalagi orang-orang dari kampung, pasti juga panggil Rambu Kecil karena mama saya Rambu besar jadi saya dipanggil Rambu Kecil.” . 3 4 6 ,

2. Kasus kedua

Nara sumber yang kedua berinisial ME. ME, berasal dari golongan bawah. Beliau berada disalah satu daerah dekat kota. Sejak 20 tahun yang lalu, beliau memilik profesi sebagai pengembala hewan. Awalnya beliau hanya memiliki 1 ekor kerbau, dan 2 ekor kambing. Salah satu orang Sumba Barat Daya dari kota memintanya mengurus hewan peliharaan mereka. 4 ekor saspi, 3 jantan 1 betina. 3 ekor kuda. Selanjutnya orang China, bahkan beberapa orang dari kota meminta bantuannya untuk memelihara hewan mereka. Dengan pertimbangan di kota, peraturannya ketat. Selain itu pula karena kurangnya tempat untuk memelihara hewan-hewan tersebut di kawasan tempat tinggal para pemiliknya. Mereka memiliki perjanjian setiap hewan tersebut beranak, 2-3 ekor anak hewan diberikan kepada ME, apabila hewan yang lahir 7 ekor lebih. Dengan jangka waktu 20 tahun kita bisa bayangkan berapa jumlah hewannya. Bahkan mampu membeli 1 bemo kendaraan umum yang mengangkut penumpang. Ketika diadakan wawancara beliau mengatakan, 29 “saya memang berasal dari golongan bawah. Sebenarnya saya juga tidak terlalu tahu tentang tuan atau bangsawan yang harus dilayani oleh saya. Karena bapak dan mama saya dahulu sudah tidak tinggal di kampung asal. Mereka berkebun, tanam ubi, pelihara ayam, babi sendiri. Saat bapa meninggal saya yang ambil alih ini hewan dan tanah.” Orang kampung sekitar sering datang pinjam uang, pinjam hewan untuk mereka gunakan. Untuk menikah atau kematian. Saya juga sering diundang. Kalau undang orang Sumba itukan pasti minta bawah hewan. . 3 4 6 , Nona bisa lihat sendiri juga banyak juga orang di rumah saya. Banyak orang yang ikut saya juga. Mereka yang dari kampung kadang panggil saya Umbu bos.

3. Kasus ketiga