EKSPLOITASI ANAK PADA KELUARGA MISKIN (Studi Pekerja Anak Jalanan di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung)

(1)

ABSTRACT

THE EXPLOITATION OF CHILDREN IN POOR FAMILY (The study of workers a street kid in Tanjung Karang Central Bandar

Lampung) By

Jessy Roby Pranata

The exploitation of children, is action that places let, do, sent do, or participate in conducting economic exploitation or sexual against children. This research aimed at described the background the occurrence of child exploitation by poor families especially workers a street kid in Tanjung Karang Central and form and the impact of the exploitation of experienced by children workers.

Type this research is descriptive with a qualitative approach. A method of collecting data done by means of an interview, deep and observation while engineering analysis of data done by means of the reduction of data, presentation of data, and the withdrawal of the conclusion. In this research informant who is interviewed is 4 children workers on the street, parents child labor, 3 and two members of the society that has enough informansi required in research.

The results show that the child labor in tanjung karang central work an average of 6 to 8 hours a day. They work, because the impulse economy of a family as well as a social environment that supports children to work. In one day they are able to raise money as much as Rp. 30,000 to Rp. 50.000. Child labor that was originally only help the family now in fact become the backbone of the family in meet the needs of the economy. In addition to the background on a like by economy of a family which is under the poverty line, the exploitation of children also in the background on a like by low-self motivation for the future of children, families and the influence of a social environment that supports children under age to work on the street....


(2)

EKSPLOITASI ANAK PADA KELUARGA MISKIN

(Studi Pekerja Anak Jalanan di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung)

JESSY ROBY PRANATA* DAN I GEDE SIDEMEN** * Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP Unila, Angkatan 2009

Email: jezz_natic@ymail.com, HP: 08982274448 ** Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Unila

HP. 08127919505 ABSTRAK

Eksploitasi anak merupakan tindakan yang menempatkan, membiarkan,

melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap anak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan latar belakang terjadinya eksploitasi anak oleh keluarga miskin khususnya pekerja anak jalanan di Tanjung Karang Pusat serta bentuk dan dampak eksploitasi yang

dialami pekerja anak.

Tipe penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi, sedangkan teknik analisis data dilakukan dengan cara reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dalam penelitian ini informan yang diwawancarai adalah 4 pekerja anak di jalanan, 3 orangtua pekerja anak, dan 2 anggota masyarakat sekitar yang memiliki cukup informansi yang dibutuhkan dalam penelitian.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pekerja anak di Tanjung Karang Pusat bekerja rata-rata 6-8 jam per hari. Mereka bekerja karena dorongan ekonomi keluarga, serta lingkungan sosial yang mendukung anak-anak untuk bekerja. Dalam sehari mereka mampu mengumpulkan uang sebanyak Rp. 30.000 sampai Rp. 50.000. pekerja anak yang awalnya hanya membantu perekonomian keluarga kini justru menjadi tulang punggung keluarga dalam memenuhi kebutuhan

ekonomi. Selain dilatarbelakangi oleh ekonomi keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan, eksploitasi anak juga dilatarbelakangi oleh rendahnya motivasi keluarga terhadap masa depan anak, dan pengaruh lingkungan sosial yang

mendukung anak-anak di bawah umur untuk bekerja di jalanan. Kata kunci: pekerja anak, eksploitasi anak, garis kemiskinan.


(3)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa sehingga berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan

diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan (Penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Anak dalam keluarga merupakan pembawa bahagia, karena anak memberikan arti bagi orangtuanya. Arti di sini mengandung maksud memberikan isi, nilai,

kepuasan, kebanggaan, dan rasa menyempurnakan diri yang disebabkan

keberhasilan orangtuanya yang telah memiliki keturunan, yang akan melanjutkan semua cita-cita, harapan, dan eksistensi hidupnya (http://www.library.upnvj.ac. id/pdf/2s1hukum/206712019/bab2.pdf).

Dalam konteks sosial, anak memiliki posisi strategis sebagai generasi penerus bangsa maupun kelangsungan hidup manusia. Posisi ini semestinya menjadi


(4)

2

kesadaran semua pihak untuk memberikan perlindungan, menjaga kehormatan, martabat dan harga diri anak dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi, baik di bidang ekonomi, hukum, politik, sosial, dan budaya.

Dari pendapat di atas dapat kita pahami bahwa seorang anak sudah seharusnya menjadi tanggungjawab orangtuanya. Tanggungjawab orangtua meliputi jaminan makanan, pendidikan, lingkungan, dan pembentukan kepribadian anak supaya dapat diterima di dalam masyarakat.

Hak asasi adalah hak–hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kodratnya. Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak kemerdekaan atau kebebasan, hak milik, dan hak–hak dasar lain yang melekat pada diri pribadi manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain. Hak asasi manusia hakikatnya semata-mata bukan dari manusia sendiri tetapi dari Tuhan Yang Maha Esa yang dibawa sejak lahir. Hak–hak asasi ini menjadi dasar hak–hak dan

kewajiban –kewajiban yang lain (http://pemahamantentanghakasasimanusia. blogspot.com/).

Jadi seorang anak telah memiliki haknya sejak ia lahir, bahkan sejak dalam kandungan ia sudah memiliki hak untuk hidup. Dari pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa sebenarnya sudah selayaknya orangtua memberikan hak kepada anak-anaknya sebagai seorang anak, yaitu mendapatkan pendidikan dan

menikmati masa kecilnya dengan bermain, bukan dengan memaksa anaknya untuk bekerja seperti yang menimpa sebagian anak miskin di Indonesia.


(5)

3

Dalam ketentuan Pasal 56 Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diatur mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orangtuanya,

dibesarkan, dan diasuh oleh orangtuanya sendiri. Dalam hal ini jika orangtua tidak mampu membesarkan dan merawat anaknya dengan baik dan sesuai dengan undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain.

Saat ini fenomena yang terjadi di masyarakat adalah terjadinya eksploitasi terhadap anak, yang disebabkan oleh faktor tekanan ekonomi atau untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibat dari faktor tekanan ekonomi, tidak sedikit orangtua yang terpaksa memperkerjakan anak-anaknya pada waktu yang seharusnya duduk di bangku sekolah dan menikmati masa kecilnya dengan bermain. Realitas yang ada menunjukkan banyak anak miskin yang berusia sekolah justru dipaksa untuk bekerja.

Menurut Bellamy (dalam Hardius dan Narchrowi, 2004) jika anak-anak bekerja di usia dini (yang biasanya berasal dari keluarga miskin dengan pendidikan yang terabaikan), sesungguhnya akan melestarikan kemiskinan, karena anak yang bekerja umumnya akan tumbuh menjadi orang dewasa yang terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih dan dengan upah yang sangat buruk.

Kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan sangat kontradiktif dengan apa yang diamanatkan dalam penjelasan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang memerintahkan untuk melindungi anak, sekaligus menjamin hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan


(6)

4

dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang bekualitas.

Indonesia, merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konfensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Anak (melalui Keputusan Presiden No. 36/0 tanggal 25 Agustus 1990). Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, berarti secara hukum, negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak, baik hak sipil, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Anak PBB, meliputi:

1. Nondiskriminasi.

2. Kepentingan yang terbaik bagi anak.

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan. 4. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Keberadaan pekerja anak ditinjau dari sisi perundang-undangan yang dimiliki Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menunjukkan Indonesia masih belum tegas melarang anak-anak bekerja. Kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang masih rendah merupakan penyebab dari tindakan eksploitasi anak dan dibutuhkannya tenaga anak-anak untuk memperoleh


(7)

5

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), pengertian eksploitasi adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri, penghisapan, atau pemerasan atas diri orang lain yang merupakan tindakan tidak terpuji. Adapun yang dimaksud dengan eksploitasi anak oleh orangtua atau pihak lainnya, yaitu menempatkan,

membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turutserta melakukan eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap anak (Pasal 66 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlundungan Anak).

Sekalipun kemiskinan merupakan faktor utama anak-anak terjun ke dunia kerja, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua orang miskin membiarkan anak-anaknya terjun ke dunia kerja. Berarti, ada faktor lain, baik faktor sosial, budaya, demografi, atau psikososial yang ikut mempengaruhi anak-anak terjun ke dunia kerja (Hardius dan Narchrowi, 2004).

Hasil survei pekerja anak Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa pekerja anak di Indonesia berjumlah 4,1 juta atau 6,9% dari 58,7 juta anak yang berusia 5-17 tahun. Faktor utama yang menyebabkan anak terpaksa bekerja adalah karena kemiskinan struktural. Dalam keluarga miskin, anak-anak

umumnya bekerja demi meningkatkan pendapatan keluarga. Sebagai tenaga kerja keluarga, anak-anak tersebut biasanya tidak mendapatkan upah karena mereka telah diberi makan. Sebagai buruh, anak-anak tersebut seringkali mendapatkan upah yang tidak layak.


(8)

6

Masalah eksploitasi terhadap pekerja anak bukan hanya soal upah, melainkan soal jam kerja yang panjang, resiko kecelakaan, gangguan kesehatan, dan menjadi obyek pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa. Dalam beberapa kajian, mayoritas pekerja anak bekerja lebih dari 7 jam per hari. Padahal berdasarkan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, anak yang berusia kurang dari 12 tahun tidak boleh bekerja, usia 13-14 tahun hanya boleh bekerja 3 jam per hari, dan usia 15-17 tahun boleh bekerja 8 jam per hari tetapi dalam kondisi yang tidak membahayakan fisik dan mental. Kenyataan di

lapangan, sebagian besar pekerja anak yang berusia 13-14 tahun bekerja rata-rata selama 6-7 jam per hari (http://sosbud.kompasiana.com).

Tabel 1.1 menunjukkan proporsi anak berumur 10-17 tahun yang bekerja terhadap total anak berumur 10-17 tahun. Provinsi Papua memiliki proporsi anak bekerja paling tinggi, yaitu 35,18 persen. Artinya satu diantara tiga anak-anak berusia 10-17 tahun di Provinsi Papua masuk dalam kategori anak bekerja. Di Pulau Jawa, banyaknya anak bekerja adalah sebagai dampak dari besarnya populasi pulau yang didiami oleh 57,5 persen total populasi Indonesia. Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing proporsi anak bekerja adalah 7,89 dan 7,94 persen. Pada Tabel 1.1, rasio jenis kelamin anak bekerja 10-17 tahun tertinggi adalah di Provinsi Lampung, dengan rasionya adalah 311. Artinya di Provinsi Lampung, perbandingan anak laki-laki bekerja terhadap perempuan adalah 311 anak laki-laki bekerja dibanding 100 anak perempuan bekerja.


(9)

7

Tabel 1.1 Jumlah, Persentase, Rasio Jenis Kelamin dan Proporsi Anak 10-17 Tahun yang Bekerja menurut Provinsi 2010

provinsi Anak bekerja (000) Persentase anak bekerja

RJK Proposisi anak bekerja

L P L+P L P

Aceh 22,1 11,9 34,0 64,85 53,15 185 4,47

Sumatra Utara 173,0 118,1 291,1 59,44 40,56 147 13,88 Sumatra Barat 48,3 21,7 70,0 68,96 31,04 222 8,42

Riau 35,1 17,9 53,0 66,26 33,74 196 5,76

Jambi 24,4 10,9 35,3 69,13 30.87 224 8,00

Sumatra Selatan 70,2 34,1 104,2 67,32 32,86 206 8,50

Bengkulu 14,9 7,6 22,5 66,25 33,75 196 8,11

Lampung 97,7 31,4 129,1 75,65 24,35 311 11,52

Bangka-Beliung 13,5 7,5 21,1 64,28 35,72 180 12,41 Kepulauan Riau 4,6 1,8 6,4 72,66 27,34 266 3,15 DKI Jakarta 31,8 61,8 93,6 33,97 66,03 51 8,31 Jawa Barat 189,1 165,2 354,3 53,37 46,63 114 5,09 Jawa Tengah 222,2 160,6 382,8 58,04 41,96 138 7,89

DIY 18,4 18,6 37,2 49,75 50,25 99 8,40

Jawa Timur 248,3 157,8 406,1 61,14 38,86 175 7,94

Banten 44,0 49,4 93,4 47,09 52,91 89 5,75

Bali 42,7 44,4 87,1 48,99 51,,01 96 16,56

Nusa Tenggara Barat 60,4 42,0 102,4 58,94 41,06 144 14,90 Nusa Tenggara Timur 57,5 35,7 93,2 61,72 38,28 161 11,26 Kalimantan Barat 44,9 32,6 77,5 57,93 42,07 38 10,71 Kalimantan Tengah 21,9 12,1 34,0 64,35 35,65 180 9,55 Kalimantan Selatan 38,1 29,0 67,1 56,74 43,26 131 12,15 Kalimantan Timur 20,2 11,4 31,6 63,93 36,07 177 5,95 Sulawesi Utara 15,5 6,4 21,9 70,72 29,28 242 6,49 Sulawesi Tengah 38,7 1,2 53,9 71,82 28,18 255 12,82 Sulawesi Selatan 133,3 57,7 191,0 69,81 30,19 231 14,35 Sulawesi Tenggara 48,2 27,2 75,4 63,92 36,08 177 19,00

Gorontalo 13,9 5,4 19,3 72,08 27,92 258 10,94

Sulawesi Barat 23,2 11,9 35,1 65,99 34,01 194 17,17

Maluku 12,5 7,5 20,0 62,47 37,53 166 7,30

Maluku Utara 9,7 4,9 14,6 66,33 33,67 197 8,02 Papua Barat 6,0 5,3 11,3 53,19 46,81 114 8,67

Papua 102,6 88,4 191,0 53,72 46,28 116 35,18

Indonesia 1.947,0 1.313,7 3.260,7 59,71 40,29 148 8,96 Sumber: BPS, 2010


(10)

8

Tabel 1.2 Anak 10-17 Tahun yang Bekerja menurut Jenis Kelamin, Status Pekerjaan Utama dan Sektor, di Indonesia 2010

Jenis kelamin

Status dalam Pekerjaan Pertanian Industri Jasa Total

Laki-laki Berusaha 4,32 10,86 17,00 8,31

Buruh/karyawan/pegawai 6,17 41,83 29,39 17,36

Pekerja bebas 9,49 23,95 8,02 11,55

Pekerja keluarga/tak dibayar

80,01 23,36 45,59 62,76

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Perempuan Berusaha 1,46 13,28 8,38 6,83

Buruh/karyawan/pegawai 4,61 46,60 44,21 30,48

Pekerja bebas 5,89 9,45 1,99 4,84

Pekerja keluarga/tak dibayar

87,95 30,66 45,52 57,85

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Laki-laki+ Perempuan

Berusaha 3,51 11,92 12,0 7,71

Buruh/karyawan/pegawai 5,73 43,91 37,85 22,66

Pekerja bebas 8,49 17,62 4,58 8,84

Pekerja keluarga/tak dibayar

82,28 26,55 45,49 60,78

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS, 2010

Tingginya persentase pekerja anak tak dibayar jika dilihat menurut sektor menjadi lebih menarik. Pada tiga kelompok lapangan usaha, yaitu pertanian, indutri, dan jasa terjadi pola yang berbeda. Pada sektor pertanian, 82,28 persen anak yang bekerja di sektor ini adalah pekerja tak dibayar. Artinya hanya 17,72 persen anak yang bekerja di sektor pertanian yang mendapatkan penghasilan, yaitu mereka yang bekerja dengan status sebagai buruh dibayar (pekerja bebas dan buruh/ karyawan/ pegawai) maupun sebagai pengusaha.

Pada kelompok sektor industri, hampir separuh anak berstatus sebagai

buruh/karyawan/pegawai (43,91 persen). Informasi berikutnya adalah bahwa satu atau lebih diantara empat anak yang bekerja di sektor industri adalah pekerja tidak dibayar (26,55 persen).


(11)

9

Pada kelompok sektor jasa, pekerja anak berstatus sebagai buruh lebih dari sepertiga, yaitu 37,85 persen. Hampir separuh anak yang bekerja di sektor jasa adalah pekerja yang tidak mendapatkan manfaat ekonomi secara langsung dari apa yang dilakukannya. Selain itu masih ada 4,58 persen pekerja anak di sektor jasa yang mempunyai majikan lebih dari satu orang, atau bekerja pada beberapa orang dalam satu bulan (pekerja bebas).

Tabel 1.3 Data Ketenagakerjaan Provinsi Lampung 2010

Penduduk dan Tenaga Kerja 2009 2010 Keterangan

Penduduk usia kerja 15-19 tahun 770,363 776,561 Orang Angkatan kerja usia 15-19 tahun 301,025 306,499 Orang Penduduk usia 10-17 tahun 1,239,739 1,120,875 Orang Penduduk yang bekerja usia 10-17 tahun 158,034 129,139 Orang Sumber: http://disnakertrans

Data yang dihimpun di atas menunjukkan bahwa terdapat pekerja anak di Provinsi Lampung. Tahun 2009 penduduk usia kerja berjumlah 770,363 orang dan

meningkat di tahun 2010 menjadi 776,561. Dalam periode 2009-2010 penduduk usia kerja meningkat sebesar 6198 orang. Sedangkan angkatan kerja usia 15-19 tahun dalam periode 2009-2010 meningkat dari 301,025 menjadi 306,499 orang. Jumlah penduduk usia 10-17 tahun di Provinsi Lampung pada tahun 2010 sebesar 1.120,875 orang dan yang masuk dalam angkatan kerja sebesar 129.139 orang. Artinya hampir 10% dari total jumlah anak di Provinsi Lampung masuk dalam angkatan kerja tau pekerja anak (http://disnakertrans).


(12)

10

Dalam buku Pekerja Anak di Indonesia (Hardius dan Nachriwi, 2004)

dikemukakan bahwa Unicef telah menetapkan beberapa kriteria pekerja anak yang ekspoitatif, yaitu bila menyangkut:

1. Kerja penuh waktu (full time) pada umur yang terlalu dini. 2. Terlalu banyak waktu yang digunakan untuk bekerja.

3. Pekerjaan yang menimbulkan tekanan fisik, sosial, dan psikologis yang tak patut terjadi.

4. Upah yang tidak mencukupi.

5. Tanggungjawab yang terlalu banyak.

6. Pekerjaan yang mengahambat akses pada pendidikan.

7. Pekerjaan yang mengurangi martabat dan harga diri anak, seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual.

8. Pekerjaan yang merusak perkembangan sosial serta psikologis yang penuh. Untuk mencegah terjadinya eksploitasi terhadap pekerja anak, Indonesia

mempunyai perangkat hukum, yaitu Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-12/M/BW/1997, yang antara lain memuat peraturan mengenai tugas-tugas yang tidak dapat ditolerir untuk diberikan kepada pekerja anak, yaitu:

1. Mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan pertambangan dan penggalian.

2. Segala jenis pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan api (termasuk pengelasan).

3. Segala jenis pekerjaan yang mengharuskan menyelam ke dalam laut. 4. Segala jenis pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan peralatan

berat, listrik, dan alat potong.

5. Mengangkat dan membawa barang-barang berat. 6. Pekerjaan konstruksi dan penghancuran (dekonstruksi).

7. Segala jenis pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan bahan-bahan kimia/substansi yang berbahaya.


(13)

11

8. Segala jenis pekerjaan yang behubungan dengan produksi dan penjualan minuman keras.

Di samping itu, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-12/M/BW/1997 juga memberi petunjuk mengenai tempat-tempat yang tidak boleh menggunakan tenaga anak-anak, yaitu:

1. Pertambangan (baik di permukaan maupun di dalam tanah).

2. Jemal dan kapal.

3. Perusahaan-perusahaan yang mengoperasikan fasilitas peleburan logam. 4. Industru tekstil.

5. Perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan kimia berbahaya untuk produk-produknya.

6. Gudang pembekuan.

7. Industri hiburan dan seks komersial.

Akan tetapi, sekalipun berbagai peraturan telah ditetapkan untuk melindungi anak, pada kenyataanya tidak sedikit orangtua pada keluarga miskin yang masih

memperlakukan anak-anak dengan buruk, seperti praktik eksploitasi,

menempatkan anak-anak pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi fisik anak-anak, dan bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya (Hardius dan Narchrowi, 2004).

Dari keadaan tersebut, terlihat bahwa pendekatan hukum masih belum efektif untuk melindungi anak. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah, selain diharapkan dapat memenuhi hak-hak anak, juga secara bertahap ditujukan agar dapat mengurangi anak-anak yang masuk ke dalam pasar kerja adalah program Wajib Belajar (Wajar). Akan terapi, setelah sekian lama berlangsung ternyata


(14)

12

anak-anak yang terjun ke dunia kerja masih relatif banyak. Hal ini disebabkan karena pekerja anak biasanya datang dari kelompok masyarakat yang

perekonomiannya masih tertinggal. Keluarga demikian tidak mungkin atau kesulitan untuk melakukan investasi, baik yang berbentuk modal maupun investasi sosial. Anak-anak terpaksa berhenti pada tingkatan pendidikan rendah atau tidak mengecap pendidikan samasekali.

Namun demikian, berbagai kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah tersebut belum sepenuhnya dapat diimplementasikan. Hal tersebut terlihat dari fenomena yang menjadi pemandangan sehari-hari para pengguna jalan, terutama di perlintasan lampu lalu lintas (traffick light), yaitu realitas anak jalanan yang dieksploitasi, baik oleh orangtuanya maupun oleh pihak lain untuk berprofesi sebagai pengamen, pengemis, dan berjualan koran pada jam sekolah, bahkan pada waktu yang seharusnya seorang anak beristirahat. Pada kasus lain yang lebih ekstrim, ada pula eksploitasi terhadap anak yang diperkerjakan sebagai buruh kasar bahkan pekerja seks komersial.

Kondisi tersebut sangat kontradiktif dengan apa yang diamanatkan dalam penjelasan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang

memerintahkan untuk melindungi anak, sekaligus menjamin hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berahlak mulia, dan sejahtera.


(15)

13

B. Rumusan Masalah

Mengingat masa anak-anak merupakan proses pertumbuhan, baik fisik maupun mental, maka idealnya anak-anak harus terhindar dari berbagai prilaku yang menggangu pertumbuhan tersebut. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban mengenai bentuk dan dampak ekspoitasi anak di Kota Bandar Lampung. Secara spesifik, masalah yang ingin dijawab adalah: 1. Apa saja latarbelakang eksploitasi anak yang ada di Kecamatan Tanjung

Karang Pusat Kota Bandar lampung?

2. Bagaimana dampak fisik dan prilaku yang ditimbulkan bagi anak yang dieksploitasi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai bentuk dan dampak eksploitasi anak yang terjadi di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota Bandar Lampung. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah:

1. Untuk mengetahui latarbelakang eksploitasi anak yang terjadi di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota Bandar Lampung.

2. Untuk mengetahui dampak fisik dan perilaku yang ditimbulkan bagi anak yang dieksploitasi.

D. Kegunaan Penelitian


(16)

14

1. Untuk pengembangan akademik, diharapkan dapat dijadikan bahan

pemikiran untuk penelitian bahan informasi bagi mahasiswa Sosiologi yang ingin mengadakan penelitian yang sama di masa yang akan datang.

2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dan pemerhati anak mengenai bentuk dan dampak eksploitasi anak yang ada di Kecamatan Tanjung Karang Pusat.


(17)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Eksploitasi Anak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), pengertian eksploitasi adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri, penghisapan, pemerasan atas diri orang lain yang merupakan tindakan tidak terpuji. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 Tahun dan belum menikah, sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Menurut undang-undang tersebut, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18 tahun, belum menikah, dan termasuk anak yang masih di dalam kandungan (berarti segala kepentingan yang mengupayakan perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak berada di dalam kandungan hingga berusia 18). Adapun usaha perlindungan anak harus diterapkan sebaik mungkin, karena perlindungan anak merupakan cerminan dari adanya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam suatu masyarakat. Memperhatikan dan menanggulangi masalah perlindungan anak merupakan suatu kewajiban bersama-sama oleh setiap anggota


(18)

16

masyarakat dan pemerintah apabila ingin berhasil melakukan pembangunan nasional dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Adapun yang dimaksud dengan eksploitasi anak oleh orangtua atau pihak

lainnya, yaitu menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turutserta melakukan eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap anak (Pasal 66 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlundungan Anak). Dengan demikian, jelaslah bahwa eksploitasi anak merupakan tindakan tidak terpuji, karena tindakan eksploitasi anak telah merampas hak-hak anak, seperti mendapatkan kasih sayang dari orangtua, pendidikan yang layak, dan sarana bermain yang sesuai dengan usianya. Selain itu, ekspoitasi pada anak dapat berdampak pada gangguan fisik maupun psikologis anak. Gangguan pada anak juga dapat berdampak panjang pada masa depan anak yang kurang dapat membedakan antara yang benar dan yang salah karena rendahnya tingkat pendidikan anak yang dieksploitasi.

B. Bentuk-Bentuk Eksploitasi Anak

1. Eksploitasi Fisik

Eksploitasi fisik adalah penyalahgunaan tenaga anak untuk dipekerjakan demi keuntungan orangtuanya atau orang lain seperti menyuruh anak bekerja dan menjuruskan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya belum dijalaninya (iin-green.web.id/2010/05/08/definisi-kekerasan-terhadap- anak/). Dalam hal ini, anak-anak dipaksa bekerja menggunakan segenap tenaganya dan juga mengancam jiwanya. Tekanan fisik yang berat dapat menghambat perawakan atau fisik anak-anak hingga 30% karena mereka mengeluarkan cadangan stamina yang harus


(19)

17

bertahan hingga dewasa. Oleh sebab itu, anak-anak sering mengalami cedera fisik yang bisa diakibatkan oleh pukulan, cambukan, luka bakar, lecet dan goresan, atau memar dengan berbagai tingkat penyembuhan, fraktur, luka pada mulut , bibir, rahang, dan mata.

2. Eksploitasi Sosial

Eksploitasi sosial adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan emosional anak. Hal ini dapat berupa kata-kata yang mengancam atau menakut-nakuti anak, penghinaan anak, penolakan anak, menarik diri atau menghindari anak, tidak memperdulikan perasaan anak, perilaku negatif pada anak, mengeluarkan kata-kata yang tidak baik untuk perkembangan emosi anak, memberikan hukuman yang ekstrim pada anak seperti memasukkan anak pada kamar gelap, mengurung anak di kamar mandi, dan mengikat anak. Pada sektor jasa, terutama hotel dan hiburan, anak-anak direkrut berdasarkan penampilan, dan berkemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Mereka harus melayani para pelanggan yang kebanyakan orang dewasa, sehingga berpeluang untuk mengalami tekanan batin karena mengalami rayuan-rayuan seksual. 3. Eksploitasi Seksual

Eksploitasi seksual adalah keterliban anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminya. Eksploitasi seksual dapat berupa perlakuan tidak senonoh dari orang lain, kegiatan yang menjurus pada pornografi, perkataan-perkataan porno,

membuat anak malu, menelanjangi anak, prostitusi anak, menggunakan anak untuk produk pornografidan melibatkan anak dalam bisnis prostitusi. Eksploitasi


(20)

18

seksual dapat menularkan penyakit HIV/AIDS atau penyakit seksual lainnya kepada anak-anak karena anak-anak biasanya “dijual” untuk pertama kalinya saat masih perawan. Bukan hanya itu, Ayom (dalam narchrowi, 2004) juga

menyebutkan anak-anak pelacur rentan terhadap penggunaan obat-obatan terlarang, sedangkan Bellamy (dalam Narchrowi, 2004) menyebutkan dampak secara umum, yaitu merusak fisik dan psikososial.

C. Dampak Eksploitasi terhadap Anak

Dampak eksploitasi anak yang dapat terjadi adalah secara umum adalah: 1. Anak berbohong, ketakutan, kurang dapat mengenal cinta atau kasih

sayang, dan sulit percaya kepada oranglain.

2. Harga diri anak rendah dan menunjukkan perilaku yang destruktif.

3. Mengalami gangguan dalam perkembangan psikologis dan interaksi sosial. 4. Pada anak yang lebih besar anak melakukan kekerasan pada temannya,

dan anak yang lebih kecil.

5. Kesulitan untuk membina hubungan dengan orang lain.

6. Kecemasan berat, panik, dan depresi (anak mengalami sakit fisik dan bermasalah di sekolah).

7. Harga diri anak rendah.

8. Abnormalitas atau distorsi mengenai pandangan terhadap seks. 9. Gangguan personality.

10. Kesulitan dalam membina hubungan dengan orang lain dalam hal seksualitas.


(21)

19

11.Mempunyai tendensi untuk prostitusi.

12. Mengalami masalah yang serius pada usia dewasa. (http://www.perfspot.com/blogs/blog.asp?BlogId=121153). D. Faktor Timbulnya Eksploitasi Anak

1. Kemiskinan

Pendapat para ahli ilmu sosial tentang masalah kemiskinan, khususnya perihal sebab mengapa munculnya kemiskinan dalam suatu masyarakat berbeda beda. Sekelompok ahli ilmu sosial melihat munculnya kemiskinan dalam satu

masyarakat berkaitan dengan budaya yang hidup dalam suatu masyarakat. Dalam konteks pandangan seperti ini maka kemiskinan sering dikaitkan dengan

rendahnya etos kerja anggota masyarakat, atau dengan bahasa yang lebih populer sebab-sebab kemiskinan terkait dengan rajin atau tidaknya seseorang dalam bekerja/mengolah sumber-sumber alam yang tersedia. Apabila orang rajin bekerja, dapat dipastikan orang tersebut akan hidup dengan kecukupan. Disamping rajin, orang itu memiliki sifat hemat. Manusia yang memiliki etos

kerja tinggi dan sifat hemat pasti akan hidup lebih dari kecukupan (Loekman,

1997).

Kemiskinan terjadi karena kemampuan masyarakat pelaku ekonomi tidak sama, sehingga terdapat masyarakat yang tidak dapat ikutserta dalam proses

pembangunan atau menikmati hasil-hasil pembangunan (Soegijoko, 1997). Menurut Korten (dalam Abdulsyani, 2007), terdapat dua kebutuhkan pokok yang sulit untuk dipenuhi oleh kaum miskin, yaitu:


(22)

20

a. Banyak diantara orang miskin tidak mempunyai kekayaan produktif selain kekuatan jasmani mereka. Berkembang dan terpeliharanya kekayaan

tergantung pada semakin baiknya kesempatan untuk memperoleh pelayanan umum, seperti pendidikan, perawatan kesehatan, dan penyediaan air bersih yang pada umumnya tidak tersedia bagi mereka yang justru paling

membutuhkan.

b. Peningkatan pendapatan kaum miskin itu mungkin tidak akan memperbaiki taraf hidup mereka apabila barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pendapatan mereka tidak tersedia.

Kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang, keluarga, atau anggota masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar sebagaimana anggota masyarakat lain pada umumnya (Abdulsyani, 2007). Menurut Emil Salim (dalam Abdulsyani, 2007), kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Mereka dikatakan berada di bawah garis

kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok, seperti pangan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Kondisi orang miskin umumnya ditandai oleh, rumah mereka yang reot dan dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan rumahtangga yang sangat minim, tidak memiliki MCK sendiri dan ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang tutup lubang. Pendapatan mereka tidak menentu dan dalam jumlah yang sangat tidak memadai. Dengan pendapatan yang kecil dan


(23)

21

tidak menentu maka keluarga miskin menghabiskan apa yang mereka peroleh pada hari itu juga.

Kemiskinan juga diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara diri sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun. Kemiskinan dapat diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan seseorang atau rumahtangga dengan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minimumnya. Dari sisi ini kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif (Abdulsyani, 2007).

Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya lebih rendah daripada garis kemiskinan absolut yang ditetapkan, atau dengan kata lain jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut tersebut. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin dan tidak miskin, atau sering disebut dengan garis kemiskinan. Garis Kemiskinan adalah kemampuan seseorang atau keluarga memenuhi kebutuhan hidup standar pada suatu waktu dan lokasi tertentu untuk melangsungkan hidupnya. Standar hidup dimaksud mencerminkan tingkat kebutuhan minimal untuk memenuhi pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, dan kesehatan.

Sementara itu, kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, yakni antara kelompok yang mungkin tidak miskin (karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari garis kemiskinan)


(24)

22

dan kelompok masyarakat yang lebih kaya. Dengan kata lain, walaupun tingkat pendapatan sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya, maka orang atau

rumahtangga tersebut masih dikatagorikan dalam keadaan miskin. Faktor-faktor penyebab kemiskinan:

1. Rendahnya taraf pendidikan. Taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki.

2. Rendahnya derajat kesehatan. Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir, dan prakarsa. 3. Terbatasnya lapangan kerja. Kemiskinan karena kondisi pendidikan yang

diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutus lingkaran kemiskinan tersebut.

4. Kondisi keterisolasian. Banyak penduduk miskin, secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan, dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya (http://www.scribd.com/doc/14597304/ TEORI-KEMISKINAN ).

Menurut Suparlan (1985) kemiskinan ditinjau dari sudut sosiologis memiliki beberapa pola, yaitu:


(25)

23

1. Kemiskinan Individu

Kemiskinan individu terjadi karena adanya kekurangan-kekurangan yang dipandang oleh seseorang mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk mengatasi dirinya dari lembah kemiskinan.

2. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif merupakan pengertian yang disebut dengan social

economics status atau disingkat dengan SES (biasanya untuk keluarga atau

rumahtangga). Dalam kaitan ini diadakan perbandingan antara kekayaan materil dari keluarga atau rukun tetangga di dalam suatu komunitas teritorial. 3. Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial ekonomi yang sedemikian rupa sehingga masyarakat menjadi bagiannya dan lambat laun mengalami kemiskinan karena struktur ekonomi yang rendah. 4. Kemiskinan Budaya

Kemiskinan budaya adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah lingkungan alam yang mengandung banyak bahan yang bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki taraf hidup. Adapun istilah budaya kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin yang dipandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakannya perbaikan.


(26)

24

Krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan banyak keluarga mengalami kemiskinan dan kesulitan ekonomi. Kemiskinan yang dialami keluarga berdampak negatif pada anak-anaknya dengan disuruhnya anak-anaknya ikut bekerja untuk membantu mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarga dan diri anak itu sendiri. Akibat dari kemiskinan tersebut maka mendorong terjadinya eksploitasi tarhadap anak-anak. Berdasarkan data statistik dan berbagai sumber, di Indonesia terdapat sekitar 40.000-70.000 anak yang menjadi korban eksploitasi (http://www. kalimantan-news.com/berita.php?idb=10446).Keterlibatan anak-anak untuk bekerja dipengaruhi oleh adanya faktor kemiskinan. Bagi keluarga miskin sekecil apapun penghasilan anak–anak yang bekerja ternyata mampu menyokong

kelangsungan hidup keluarga. Artinya kontribusi ekonomi yang diberikan oleh anak dianggap penting bagi penghasilan orangtua dan akan terjadi penurunan pendapatan orangtua apabila anak-anak mereka berhenti bekerja. Jelas bahwa kemiskinan merupakan persoalan yang paling buruk dan kronis bagi manusia dalam kehidupan masyarakat yang kini semakin bertambah kompleks. Ketidak mampuan orangtua memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari memaksa mereka mempekerjakan anaknya untuk membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.

2. Pengaruh Lingkungan Sosial

Dalam konteks lingkungan social di masyarakat Indonesia, anak yang bekerja dianggap sebagai wahana positif untuk memperkenalkan disiplin serta

menanamkan etos kerja pada anak. Hal ini sudah menjadi bagian dari budaya dan tata kehidupan keluarga Indonesia. Banyak orang merasa bahwa bekerja


(27)

25

merupakan hal positif bagi perkembangan anak sehingga sejak dini anak diikutsertakan dalam proses kerja.

Pada beberapa komunitas tertentu, sejak kecil anak-anak sudah dididik untuk bekerja, misalnya di sektor pertanian, perikanan, industri kerajinan, nelayan, dan lain-lain. Namun, pekerjaan yang dilakukan tidaklah berbahaya bagi kondisi kesehatan anak secara fisik, mental, dan sosial sehingga tidak melanggar hak mereka sebagai anak. Proses ini seakan menjadi wadah bagi anak untuk belajar bekerja. Sayangnya dalam perkembangan selanjutnya, proses belajar bekerja tidak lagi berkembang sebagaimana mestinya. Berbagai faktor menyebabkan anak terpaksa bekerja dalam situasi dan kondisi kerja yang tidak layak dan berbahaya bagi perkembangannya.

Kelangkaan fasilitas pendidikan, rendahnya kualitas pendidikan dasar, rendahnya kesadaran masyarakat (khususnya orangtua) terhadap pentingnya pendidikan, kurikulum pendidikan yang kurang akomodatif terhadap tantangan kerja dimasa depan, dan mahalnya biaya pendidikan menyebabkan pendidikan dipandang sebagai suatu hal yang elit dan mewah terutama di kalangan masyarakat miskin. Kondisi ini mendorong anak untuk memasuki dunia kerja. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang bekerja sebagian besar berpendidikan rendah (http://www.google.co.id/url?faktorterjadinyaeksploitasianak).

3. Motivasi Pekerja Anak dan Keluarga

Kini masa kanak-kanak yang seharusnya adalah masa yang dipergunakan untuk sekolah guna menuntut ilmu yang akan menjadi bekal hidupnya dikemudian hari dan masa dimana melewati umur untuk mulai belajar mengenal dan memahami


(28)

26

segala hal tentang kehidupan. Kehidupan yg dilewati dengan penuh keceriaan, kepolosan, tanpa beban berat dan masalah yang biasa membelit orang dewasa harus di ganti dengan kehilangan masa kecilnya dan kehilangan hak untuk belajar, bermain dan bersosialisasi dengan teman seumurannya dan kasih sayang dari orang tua dikarenakan faktor ekonomi atau kemiskinan sehingga mereka memiliki tanggung jawab mencari penghasilan tambahan buat keluarga dengan cara harus bekerja atau diharuskan bekerja. Usia yang belum sepantasnya memiliki tanggung jawab untuk bekerja dan memberikan kontribusi berupa uang kepada keluarga harus dilakukan anak.

Menurut Bagong (1999) kemiskinan secara ekonomi telah banyak menciptakan terjadinya pekerja anak. Orangtua termotivasi memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada titik inilah munculnya

kecenderungan, sebab anak-anak bisa berubah peran dari “sekadar membantu” menjadi pencari nafkah utama. Selain itu, kemiskinan yang lekat dengan golongan lapisan bawah oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dijadikan sebagai sebuah alasan pembenaran terhadap praktek-praktek mempekerjakan anak dalam usaha untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.

Hal lain yang dapat mempengaruhi anak bekerja selain faktor ekonomi adalah keluarga itu sendiri, dimana keluarga yang merupakan unit ekonomi atau konsumsi dipengaruhi oleh kondisi eksternal maupun internal termasuk dalam menentukan besarnya tenaga kerja yang dicurahkan untuk bekerja. Keadaan internal keluarga (besarnya tanggungan, tenaga yang dimiliki, pendapatan kepala keluarga, kebutuhan konsumsi dan lain-lain), merupakan faktor yang


(29)

27

mempengaruhi keterlibatan anggota keluarga ke dalam usaha mencari nafkah, dengan demikian faktor penyebab anak ikut bekerja juga ditentukan oleh keadaan rumah tangganya (Prijono, 1997).

E. Pengertian Pekerja Anak

Pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orangtuanya atau untuk orang lain yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Tjandraningsih, 1995). Kertonegoro (1997), pekerja anak merupakan tenaga kerja yang dilakukan anak dibawah umur 15 tahun. Pengertian anak menurut Putranto (dalam Bagong, 1999), menyebutkan bahwa pekerja anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 tahun selain membantu keluarga, pada komunitas tertentu misalnya pada sektor pertanian, perikanan, dan industri kerajinan yang dari sejak kecil mereka sudah dididik untuk bekerja. Menurut Manurung (1998), Pekerja anak adalah mereka yang berusia 10-14 tahun dan sedang bekerja paling sedikit satu jam secara kontinyu dalam seminggu.

F. Karakteristik Pekerja Anak

Anak bekerja demi meningkatkan penghasilan keluarga atau rumahtangganya secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan kerja yang diterapkan pada pekerja anak ada bermacam-macam bentuk, yaitu buruh, magang, dan tenaga keluarga. Sebagai buruh, anak-anak diberi imbalan atau upah. Untuk pekerjaannya sebagai magang, dan tenaga kelurga, mereka ada yang dibayar dan ada yang tidak dibayar (Tjandraningsih, 1995). Menurut Hardus dan Nachrowi (2004), jika ditinjau dari pendidikan pekerja anak, pekerja anak baik disektor garmen maupun


(30)

28

rotan atau kayu adalah anak-anak yang minimal menduduki bangku sekolah dasar (SD), ataupun tamatan SD. Namun karena pekerjaan inilah yang menyebabkan anak-anak yang masih duduk di bangku SD sebagian harus drop-out dari

sekolahnya dikarenakan waktu mereka sebagian besar dihabiskan untuk bekerja. Menurut Tjandraningsih (1995), sebagian besar pekerja anak disektor industri manufaktur hanya mempunyai pendidikan rendah. Dari segi pendidikan, anak-anak yang bekerja disinyalir cenderung mudah putus sekolah, baik putus sekolah lantaran bekerja terlebih dahulu atau putus sekolah dahulu baru kemudian bekerja (Bagong, 1999). Menurut White & Tjandraningsih (1999), di sektor industri formal, pekerja anak umumnya berada dalam kondisi jam kerja yang panjang, berupah rendah, menghadapi resiko kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan, atau menjadi sasaran pelecehan dan sewenang-wenang orang dewasa. Secara umum karakteristik tenaga kerja anak tidak jauh berbeda, kecuali dari segi usia, dengan karakteristik tenaga kerja dewasa perempuan, bahkan tenaga kerja laki-laki (Tjandraningsih & Haryadi, 1995).

G. Motivasi Kerja Pekerja Anak

Motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Akan halnya pekerja anak, berarti motivasi kerja pekerja anak adalah segala sesuatu yang mendorong atau menimbulkan semangat kerja pada pekerja anak. Motivasi itu baik berasal dari dalam diri pekerja anak maupun dari orangtua (Anoraga, 2001).


(31)

29

H. Kerangka Pikir

Orangtua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu (merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah) yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orangtua memiliki tanggungjawab untuk mendidik, mengasuh, dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang akan

menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Jika dalam hal ini orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan dan hak-hak anak maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Meskipun telah banyak kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan, namun belum sepenuhnya dapat dirasakan, khususnya bagi anak-anak keluarga miskin yang di ekspoitasi. Hal tersebut dapat terlihat di sekitar kita, yaitu anak-anak yang mengamen di lampu lalu lintas (traffick light), mengemis, berjualan koran, dan lain-lain. Eksploitasi dapat berdampak buruk bagi perkembangan fisik dan mental anak.

Alasan orangtua yang memaksa anaknya bekerja untuk memperoleh penghasilan lebih banyak guna memahami kebutuhan ekonomi sehari-hari dari pekerjaan anak itu sendiri, dikarenakan perkembangan zaman yang semakin maju serta tingkat kebutuhan hidup yang selalu meningkat. Fenomena eksploitasi anak seperti ini sering dijumpai pada penduduk perkotaan yang masuk katagori miskin, sehingga pada penduduk perkotaan yang miskin, potensi akan terjadinya ekspoitasi anak menjadi semakin besar.


(32)

30

Anak-anak yang telah dieksploitasi oleh keluarganya cendrung mengalami pendewasaan mental secara dini, karena pada usia yang seharusnya bermain dan bersenang-senang dengan teman sebayanya, justru mereka harus bekerja, bahkan pada waktu mereka harus istirahat. Selain itu juga, eksploitasi anak dapat

berdampak panjang dalam kehidupan anak, seperti sulitnya membaur dengan masyarakat dan sulit membedakan antara yang benar dan yang salah.


(33)

31

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti merupakan instrumen kunci, serta hasil penelitiannya lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2010).

Pada pendekatan penelitian kualitatif, data yang dikumpulkan umumnya berbentuk kalimat, gambar-gambar, dan penjelasan tentang data hasil penelitian. Kalaupun ada angka-angka, sifatnya hanya sebagai penunjang. Data yang

dimaksud meliputi keterangan hasil wawancara, catatan data lapangan, dokumen pribadi, dan termasuk di dalamnya deskripsi mengenai tata situasi.

B. Fokus Penelitian

Masalah dalam penelitian kualitatif dinamakan fokus. Penetapan fokus penelitian kualitatif sangat penting karena digunakan untuk membatasi studi dan untuk mengarahkan pelaksanaan pengamatan. Fokus dalam penelitian kualitatif bersifat tentatif, artinya dapat berubah sesuai dengan situasi dan latar penelitian.


(34)

32

Dalam penelitian ini difokuskan pada eksploitasi anak pada keluarga miskin. Aspek yang diamati dalam penelitian ini yaitu:

a. Faktor yang menyebabkan orangtua mempekerjakan anaknya. b. Karakteristik rumahtangga orangtua.

c. Motivasi orangtua terhadap masa depan anak.

d. Faktor lingkungan sosial dan pergaulan anak dengan teman sebaya. e. Alokasi waktu kerja dan pendapatan anak.

f. Bentuk kekerasan yang dialami anak saat bekerja.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Tanjungkarang Pusat Kota Bandar Lampung. Alasan memilih lokasi penelitian ini adalah karena Kecamatan Tanjungkarang Pusat merupakan pusat perekonomian di Kota Bandar Lampung dan masih kerap dijumpai fenomena eksploitasi anak pada keluarga miskin yang memaksa anak-anaknya ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan cara bekerja.

D. Tehnik Penentuan Informan

Menurut Imam Suprayogo dan Tabroni (dikutip dari Romandang Manalu, 2010), dalam penelitian kualitatif posisi narasumber sangat penting, bukan sekedar memberikan respon, melainkan pemilik informasi, karena itu disebut informan (orang yang memberikan informasi, sumber data, atau sumber informasi) atau disebut juga subyek yang diteliti. Ia bukan saja sebagai sumber data, melainkan juga sebagai aktor atau pelaku yang ikut menentukan berhasil tidaknya sebuah


(35)

33

penelitian berdasarkan informasi yang ia berikan. Bisa saja seseorang informan menyembunyikan informasi penting yang dimiliki atau dengan alasan tertentu tidak mau bekerjasama dengan peneliti. Karena itu peneliti dan informan semestinya memiliki kedudukan yang sama dan peneliti harus pandai menggali data dengan cara membangun kepercayaan, keakraban, dan kerjasama dengan subyek yang diteliti disamping tetap kritis dan analitis.

Agar memperoleh informasi yang lebih terbukti, terdapat beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan informan, diantaranya:

a. Subyek adalah orang yang sudah lama dan intensif terlibat dalam kegiatan atau aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian peneliti.

b. Subyek masih terkait secara penuh dan aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi sasaran atau perhatian peneliti.

c. Subyek mempunyai cukup banyak informasi, banyak waktu, dan kesempatan untuk dimintai keterangan.

Kriteria yang digunakan untuk memilih informan dalam penelitian ini adalah: a. Pekerja anak di bawah umur 18 tahun.

b. Orangtua yang mengeksploitasi anaknya untuk bekerja.

Secara rinci, informan dalam penelitian ini adalah para orangtua dan anak-anak yang menjadi korban eksploitasi oleh keluarga miskin di Kecamatan


(36)

34

E. Jenis dan Sumber Data

a. Data primer, merupakan data yang diperoleh langsung dengan cara menggali dari sumber informasi (informan) dan dari pendataan lapangan yang relevan dengan masalah yang sedang diteliti.

b. Data sekunder, merupakan data yang digunakan untuk mendukung dan mencari fakta yang sebenarnya dari hasil wawancara mendalam yang telah dilakukan maupun mengecek kembali data yang sudah ada sebelumnya. Data tersebut bersumber dari dokumentasi dan arsip-arsip.

F. Pelaksanaan Penelitian

Sebelum melaksanakan penelitian, terlebih dahulu dilakukan pendataan para informan, maksudnya agar peneliti lebih dekat dan memahami tentang kehidupan anak-anak yang dieksploitasi dan diharapkan informan merasa lebih akrab lagi dengan peneliti sehingga dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti secara lebih luas dan jelas pada saat wawancara.

Pelaksanaan penelitian ini membutuhkan waktu karena untuk memperoleh data yang lengkap, tidak secara langsung pada saat wawancara pertama kali. Peneliti harus mendatangi informan selama beberapa kali serta memperhatikan dan mengamati bentuk eksploitasi seperti apa yang dialami oleh anak-anak yang dieksploitasi dalam keluarga miskin tersebut. Dalam penelitian ini antara peneliti dengan informan harus saling menumbuhkan rasa kepercayaan agar informan dapat terbuka dalam memberikan informasi yang dibutuhkan. Tidak mudah mengamati bentuk eksploitasi terhadap anak sehingga dibutuhkan waktu dan


(37)

35

pendekatan yang intens antara peneliti dengan anak yang dieksploitasi atau orangtua anak tersebut.

G. Teknik Pengumpulan data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut: a. Wawancara (Indepeth Interview)

Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Wawancara ini dilakukan dengan pedoman wawancara yang diajukan kepada informan. Adapun tujuan dari wawancara adalah mendapatkan

jawaban yang lebih jelas, dan bagaimana bentuk-bentuk dan dampak eksploitasi anak pada keluarga miskin.

b. Observasi (pengamatan)

Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap obyek penelitian untuk mendapatkan data atau gambaran yang jelas sehubungan dengan masalah yang diteliti. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara langsung bentuk-bentuk eksploitasi pada anak-anak di Kecamatan

Tanjungkarang Pusat Kota Bandar Lampung. c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan menggunakan cara atau berdasarkan catatan-catatan yang terdokumentasi (otentik), baik berupa data statistik, arsip, gambar-gambar, buku-buku, kumpulan peraturan, dan perundangan-undangan.


(38)

36

H. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

M. Nazir (1983) mengartikan pengolahan data sebagai kegiatan

mengelompokkan, membuat ukuran, dan mengikat data sehingga mudah untuk dibaca. Analisa data adalah proses mencari serta menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lainnya, sehingga mudah dipahami dan semuanya dapat diinformasikan kepada orang lain. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa kulitatif. Analisa kualitatif digunakan untuk menjelaskan, mendeskripsikan, serta menafsirkan hasil

penelitian dengan susunan kata dan kalimat sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti. Data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam diolah dan dianalisa secara kualitatif dengan proses reduksi dan interprestasi. Proses analisa data kualitatif menurut Millies dan Huberman (1992) akan melalui proses sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan data, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan dapat ditarik dan diverivikasi. Pada tahap reduksi data, peneliti dengan seksama memilah dan memilih data mana yang dijadikan sandaran utama sebelum disajikan dalam penelitian ini.


(39)

37

Penyajian data diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang lebih baik merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid untuk melihat gambaran keseluruhan dari penelitian ini. Maka, secara teknis data yang telah diorganisir kedalam matriks disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajian data dilakukan dengan mendeskripsikan hasil temuan dari kegiatan wawancara terhadap informan serta menghadirkan dokumen sebagai penunjang data.

3. Verifikasi dan Penarikan Kesimpulan

Setelah data disajikan, maka dilakukan verifikasi dan penarikan kesimpulan. Untuk itu diusahakan mencari pola, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, dan sebagainya. Jadi dari data tersebut berusaha diambil kesimpulan. Sementara itu verifikasi dilakukan berdasarkan pada reduksi data dan penyajian data yang merupakan jawaban atas masalah yang dikaji dalam penelitian.

Komponen-komponen di atas saling interaktif, saling mempengaruhi, dan terkait. Pertama-tama dilakukan penelitian di lapangan dengan mengadakan wawancara atau observasi yang disebut tahap pengumpulan data. Karena data yang

dikumpulkan berjumlah banyak maka diadakan reduksi data. Setelah direduksi, kemudian dibuat sajian data. Setelah data dari lapangan terkumpul dengan menggunakan metode pengumpulan data di atas, maka peneliti selanjutnya mengolah dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis secara


(40)

deskriptif-38

kualitatif merupakan suatu teknik yang menggambarkan dan menginterpretasikan

arti dari data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga diperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya.


(41)

39

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kecamatan Tanjung Karang Pusat sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Tanjung Karang Barat dengan pusat pemerintahannya berkedudukan di Bambu Kuning (Kampung Kaliawi). Berdasarkan PP No. 3 Tahun 1982 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya DATI II Tanjung Karang-Teluk Betung, Kecamatan Tanjung Karang Pusat berdiri sendiri dengan pusat pemerintahannya di Tanjung Karang yang terdiri dari 10 kelurahan, yaitu Tanjung Karang, Kaliawi, Pasir Gintung, Gunung Sari, Penengahan, Pelita, Gotong Royong, Enggal, Kelapa Tiga, dan Durian Payung. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH TK I Lampung No. 6/185.BIII/NK/1998 tentang Pemekaran Kelurahan di Wilayah Kota Bandar Lampung maka Kecamatan Tanjung Karang Pusat

bertambah 1 kelurahan, yaitu Kelurahan Palapa yang merupakan pemekaran dari Kelurahan Durian Payung dan sampai saat ini Kelurahan Palapa dijadikan sebagai pusat Pemerintahan Kecamatan Tanjung Karang Pusat.

Dari sejak terbentuknya tahun 1982 sampai saat ini, Kecamatan Tanjung Karang Pusat telah mengalami sebelas kali pergantian Camat, yaitu:

1. Januari 1982 s/d Oktober 1987 : Drs. Helmi Masri. 2. Oktober 1987 s/d Agustus 1989 : Drs. Abdi Kirom. 3. Agustus 1989 s/d Januari 1994 : Drs. Zulkifli Husin. 4. Januari 1994 s/d September 1998 : Darwin Djafri, SH.


(42)

40

5. September 1998 s/d November 2000 : Drs. Somad Raku. 6. November 2000 s/d Desember 2003 : Sam’un, SH. 7. Desember 2003 s/d Agustus 2005 : Drs. Pamuji AR. 8. Agustus 2005 s/d Mei 2006 : Drs. Emil Riady. 9. Mei 2006 s/d Juli 2009 : Dra. Bayana, M.Si. 10.Juli 2009 s/d Maret 2011 : Mukafie Siradj, SH. 11.Maret 2011 sampai sekarang : Dra. Maryamah. A. Letak Geografis dan Batas Wilayah

Secara geografis Kecamatan Tanjung Karang Pusat terletak pada 5° 24’25’’ sampai 5° 24’27’’ LS dan 105° 15’75’’ BT, dengan batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kedaton.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Teluk Betung Utara. 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Karang Timur. 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Karang Barat. Tabel 1. Luas Wilayah, Jumlah LK dan RT di Wilayah Kecamatan Tanjung

Karang Pusat Tahun 2012.

No Kelurahan Luas (Ha) Jumlah LK Jumlah RT

1 Tanjungkarang 28 3 17

2 Kaliawi 72 3 41

3 Palapa 33 2 19

4 Durian Payung 109 2 24

5 Penengahan 52 3 21

6 Gunung Sari 21 2 16

7 Enggal 74 2 23

8 Pelita 30 2 18

9 Gotong Royong 42 2 17

10 Pasir Gintung 30 2 20

11 Kelapa Tiga 167 3 37

Jumlah 658 26 256


(43)

41

Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa Kecamatan Tanjung Karang Pusat memiliki luas 658 Ha yang terdiri dari 11 kelurahan, 26 Lingkungan (LK), dan 256 Rukun Tetangga (RT), di mana kelurahan terluas adalah Kelurahan Kelapa Tiga (dengan luas 167 Ha atau 52,4% dari total luas wilayah Kecamatan Tanjung Karang Pusat). Kelurahan yang memiliki luas terkecil adalah Kelurahan Gunung Sari (dengan luas 21 Ha atau 3,2% dari total Luas Kecamatan Tanjung Karang Pusat).

B. Tata Guna Lahan

Penggunaan lahan di Kecamatan Tanjung Karang Pusat terlihat pada tabel berikut: Tabel 2. Penggunaan Lahan/Tanah di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Tahun

2012

No Jenis Penggunaan Lahan/Tanah Luas (Ha)

1 Perkampungan 436

2 Jasa-jasa 103

3 Lainnya 78

4 Tanah Kosong (Tidak diperuntukkan) 41

Jumlah 658

Sumber: Monografi Kecamatan Tanjung Karang Pusat

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa sebagia besar lahan/tanah di Kecamatan Tanjung Karang Pusat dipergunakan sebagai tempat pemukiman penduduk (sebesar 66,3% dari total wilayah), selain itu terdapat pula wilayah untuk jasa-jasa, lainnya, dan tanah kosong yang memang sengaja tidak

diperuntukkan/digunakan. Penempatan tanah kosong yang terdapat di Kecamatan Tanjung Karang Pusat dimaksud untuk lokasi resapan air untuk menghindari terjadinya banjir.


(44)

42

C. Kondisi Topografi

Kecamatan Tanjung Karang Pusat terletak pada kemiringan lereng 0-20% dan ketinggian 100 sampai 500 meter di atas permukaan laut dengan topografi yang terdiri dari dataran dan daerah perbukitan, yaitu Kelurahan Durian Payung dan Kelurahan Gunung Sari. Dataran Kecamatan Tanjung Karang Pusat juga dialiri oleh sungai Way Awi, Way Simpur, dan Way Penengahan yang mengalir di Kelurahan Kepala Tiga, Kaliawi, Pasir Gintung, dan Kelurahan Penengahan.

D. Demografis

Kecamatan Tanjung Karang Pusat merupakan salah satu kecamatan yang padat penduduk. Dari hasil pendataan akhir tahun 2008, jumlah penduduk di kecamatan Tanjung Karang Pusat tercatat sebanyak 72.386 jiwa dan tahun 2010 jumlah penduduk meningkat menjadi 81.984 jiwa. dengan kepadatan rata-rata 111

jiwa/Ha. Data peningkatan jumlah penduduk Kecamatan Tanjung Karang tersebut terlihat pada tabel berikut:

Tabel 3: Jumlah Penduduk Tiap Kelurahan Di Kecamatan Tanjung Karang Pusat menurut Jenis Kelamin Tahun 2010

No Kelurahan Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Kaliawi 6.916 6.586 13.502

2 Enggal 2.787 2.883 5.670

3 Pasir Gintung 3.113 3.003 6.116

4 Durian Payung 4.705 5.373 10.078

5 Pelita 1.950 1.993 3.943

6 Gunung Sari 1.371 1.353 2.724

7 Gotong Royong 2.502 2.506 5.008

8 Palapa 1.788 2.013 3.801

9 Kelapa Tiga 5.750 5.524 11.274

10 Tanjung Karang 1.713 1.880 3.593

11 Penengahan 3.341 3.336 6.677

Jumlah 35.936 36.450 72.386

Sumber: Data Monografi Kecamatan Tanjung Karang Pusat

Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa penduduk Kecamatan Tanjung Karang Pusat tahun 2008 berjumlah 72.386 jiwa, dengan angka sex ratio sebesar


(45)

43

98, yang berarti dalam 100 penduduk berjenis kelamin perempuan terdapat 98 penduduk berjenis kelamin laki-laki.

Tabel 4: Jumlah Penduduk Tiap Kelurahan Di Kecamatan Tanjung Karang Pusat menurut Jenis Kelamin Tahun 2012

No Kelurahan Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Kaliawi 7.309 7.204 14.513

2 Enggal 3.913 2.981 6.894

3 Pasir Gintung 3.479 3.553 7.032

4 Durian Payung 4.430 4.430 8.860

5 Pelita 2.614 2.664 5.278

6 Gunung Sari 1.288 1.353 2.641

7 Gotong Royong 2.557 2.441 4.998

8 Palapa 2.729 2.901 5.630

9 Kelapa Tiga 6.476 6.604 13.080

10 Tanjung Karang 2.503 2.827 5.330

11 Penengahan 3.869 3.859 7.728

Jumlah 41.167 40.817 81.984

Sumber: Data Monografi Kecamatan Tanjung Karang Pusat

Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa penduduk Kecamatan Tanjung Karang Pusat pada tahun 2010 berjumlah 81.984 jiwa, dengan angka seks ratio sebesar 101, yang berarti dalam 100 penduduk berjenis kelamin perempuan terdapat 101 penduduk berjenis kelamin laki-laki.

Kelurahan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Kelurahan Kaliawi (sebesar 14.513 jiwa), sedangkan kelurahan dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kelurahan Gunung Sari (2.641 jiwa).

Berdasarkan kedua tabel tersebut (4 dan 5), dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Kecamatan Tanjung Karang Pusat mengalami peningkatan dari tahun 2008 (72.386 jiwa) sampai tahun 2010 (81.984 jiwa), yaitu sebesar 9.598 jiwa. Dengan perbandingan kedua tabel tersebut, terlihat bahwa Kelurahan Kaliawi tetap menjadi kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak dari tahun 2008 -


(46)

44

2010, dan Kelurahan Gunung Sari juga masih sebagai kelurahan dengan jumlah penduduk terkecil.

Kelurahan yang mengalami peningkatan jumlah penduduk (2008-2010) adalah Kaliawi (sebesar 1011 jiwa), Enggal (sebesar 1224 jiwa), Pasir Gintung (sebesar 916 jiwa), Pelita (sebesar 1335 jiwa), Palapa (sebesar 1829 jiwa), Kelapa Tiga (sebesar 1806 jiwa), Tanjung Karang (sebesar 1737 jiwa), dan Penengahan (sebesar 1051 jiwa), sedangkan kelurahan yang mengalami penurunan jumlah penduduk (2008-2010) adalah Durian Payung (sebesar 1218 jiwa), Gunung Sari (sebesar 83 jiwa), dan Gotong Royong (sebesar 10 jiwa).

Berdasarkan pertumbuhan jumlah penduduk Kecamatan Tanjung Karang Pusat tahun 2008 sampai tahun 2010, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di Kecamatan Tanjung Karang Pusat naik sebesar 11,7 % per 2 tahun atau terjadi peningkatan sekitar 5,85 % tiap tahunnya.

E. Sosial Budaya

Sosial budaya merupakan salah satu bentuk tatanan sosial dari masalalu yang diwarisi secara turun temurun dan tetap berjalan hingga sekarang. Sosial budaya di Kelurahan Kecamatan Tanjung Karang Pusat yang dijelaskan berikut ini meliputi pendidikan, agama, kesejahteraan sosial, kesehatan, dan pariwisata. 1. Pendidikan

Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan

kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut, peranan pendidikan amatlah strategis. Selain menjadi pusat pemerintahan dan pusat perekonomian, Kecamatan Tanjung Karang Pusat juga merupakan salah satu pusat kegiatan pendidikan.


(47)

45

Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa terdapat 76 sekolah dengan beragam jenis dan tingkatan di Kecamatan Tanjung Karang Pusat, dengan Sekolah Dasar (SD) yang paling dominan, yaitu sebanyak 29 sekolah. Dengan jumlah sekolah yang terbilang banyak tersebut, dapat dipastikan bahwa Kecamatan Tanjung Karang Pusat merupakan salah satu pusat pendidikan di Kota Bandar Lampung. Tabel 5. Nama Sekolah, Jumlah Sekolah, Jumlah Murid, dan Jumlah Guru di

Kecamatan Tanjung Karang Pusat Tahun 2012

No Nama Sekolah Jumlah

Sekolah

Jumlah Murid (orang)

Jumlah Guru (orang)

1 TK 12 1.225 86

2 SD Negri 21 9.990 334

3 SD Swasta Umum 5 650 60

4 SD Swasta Islam 1 95 5

5 SD Swasta Katolik 2 360 68

6 SMP Negri 5 4.105 304

7 SMP Swasta Umum 6 3.100 293

8 SMP Swasta Islam 5 600 73

9 SMP Swasta Katolik 2 500 55

10 SMU Negri 3 2.960 102

11 SMU Swasta Umum 7 1.810 165

12 SMU Swasta Katolik 3 950 63

13 SMK Negri 1 120 25

14 SMK swasta 1 160 20

15 Akademik Swasta 1 420 25

16 Perguruan Tinggi Swasta 1 500 20

Jumlah 76 27.545 1.698

Sumber: Data Monografi Kecamatan Tanjung Karang Pusat

Berdasarkan tabel 6, diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Tanjung Karang Pusat sangat bervariasi. Tingkat pendidikan yang mayoritas dimiliki oleh penduduk adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Data tingkat pendidikan penduduk tersebut termasuk yang masih aktif mengikuti kegiatan belajar mengajar, kecuali penduduk buta huruf yang memang tidak mengenyam pendidikan.


(48)

46

Tabel 6. Komposisi Penduduk Kecamatan Tanjung Karang Pusat Menurut Tingkat Pendidikan tahun 2012

No Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Sarjana 4.491

2 Sarjana Muda 3.421

3 SLTA 25.980

4 SLTP 16.389

5 SD 16.651

6 TK 5.504

7 Belum Sekolah 9.219

8 Buta Huruf 329

Jumlah 81.984

Sumber: Data Monografi Kecamatan Tanjung Karang Pusat

2. Agama

Sama dengan daerah lain, penduduk Kecamatan Tanjung Karang Pusat menganut beragam agama, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 7. Agama dan Jumlah Penganutnya di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Tahun 2012

No Agama Jumlah penganut 1 Islam 71.386

2 Katolik 3.613 3 Protestan 2.907 4 Hindu 2.744 5 Budha 1.334 Jumlah 81.984

Sumber: Monografi Kecamatan Tanjung Karang Pusat

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa penduduk Kecamatan Tanjung Karang Pusat memiliki keyakinan yang bervariasi, namun keyakinan yang dianut oleh mayoritas penduduk Kecamatan Tanjung Karang Pusat adalah agama Islam dengan jumlah 71.386 jiwa atau sebesar 87,15%, dan pemeluk agama minoritas adalah agama Budha dengan jumlah penganut sebanyak 1.334 jiwa atau 1.6%. Perbedaan keyakinan penduduk dalam memeluk agama di Kecamatan Tanjung Karang Pusat tidak mengakibatkan perselisiahan antara penganut agama. Adanya


(49)

47

sifat saling menghargai dan selalu hidup berdampingan antara penganut agama sehingga menjadikan hubungan masyarakat yang rukun dan tentram.

Tabel 8. Jumlah Rumah Ibadah di Kelurahan Kecamatan Tanjung Karang Pusat Tahun 2012

No Tempat Ibadah Jumlah

1 Masjid 46

2 Gereja 2

3 Kelenteng/Vihara 3

Jumlah 51

Sumber: Monografi Kecamatan Tanjung Karang Pusat

Berdasarkan tabel tersebut, terlihat jumlah masjid sebagai tempat ibadah pemeluk agama Islam sangat dominan, hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang

menganut agama Islam adalah penganut yang terbesar di Kecamatan Tanjung Karang Pusat, yaitu sebesar 87,1% dari total penduduk. Keberadaan tempat ibadah agama yang saling berdampingan tidak mengakibatkan perselisihan antar pemeluk umat beragama yang ada di Kecamatan Tanjung Karang Pusat karena tingginya rasa toleransi beragama pada masing-masing penduduk.

3. Kesejahteraan Sosial

Dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan, khususnya di bidang kependudukan, selain pertumbuhan penduduk yang harus dikendalikan, juga terus ditingkatkan pembinaannya untuk mewujudkan keluarga yang ideal dan sejahtera. Di Kecamatan Tanjung Karang Pusat peningkatan kesejahteraan keluarga

dilakukan melalui pelaksanaan program pemberdayaan dan partisipasi masyarakat melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

- Program Keluarga Berencana - Program Bantuan Raskin - Program kegiatan PKK


(50)

48

Program yang dijalankan di Kecamatan Tanjung Karang Pusat bertujuan untuk menunjang pembangunan dibidang kependudukan supaya penduduk lebih sejahtera.

4. Pariwisata

Sektor ekonomi, seni, dan olahraga di wilayah Kecamatan Tanjung Karang Pusat cukup berpotensi menunjang kegiatan kepariwisataan Kota Bandar Lampung. Hal ini banyak didukung oleh sarana pariwisata di wilayah Kecamatan Tanjung Karang Pusat seperti hotel, rumah makan, dan sarana olahraga.

Tabel 9. Sarana Pariwisata di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Tahun 2012 No Jenis Prasarana Jumlah

1 Sarana seni 7

2 Hotel melati 24

3 Rumah makan/restoran 667

4 Pasar moderen 6

5 Pasar tradisional 5

Jumlah 709

Sumber: Monografi Kecamatan Tanjung Karang Pusat

Berdasarkan tabel di atas, Kecamatan Tanjung Karang Pusat memiliki 5 macam sarana pariwisata, yaitu pasar tradisional, pasar modern, sarana kesenian, hotel, dan rumah makan atau restoran. Rumah makan memiliki jumlah terbayak yaitu sebanyak 667 yang tersebar di Tanjung Karang Pusat. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pariwisata dibidang kuliner sangat berpotensi menarik minat para pelancong baik dari dalam maupun luar Kota Bandar Lampung. Dengan besarnya potensi pariwisata dibidang kuliner, tentu akan menunjang potensi pariwisata disektor yang lainnya.

F. Perekonomian

Kecamatan Tanjung Karang Pusat merupakan jantung Kota Bandar Lampung. Selain merupakan pusat perdagangan umum dan jasa umum, Kecamatan Tanjung


(51)

49

Karang Pusat juga merupakan pusat kegiatan perekonomian yang secara ekonomis menguntungkan bagi pertumbuhan Kota Bandar Lampung.

Letaknya yang strategis di pusat kota menjadikan daerah ini sebagai salah satu pusat kegiatan perekonomian yang didukung dengan banyaknya pasar, yaitu Pasar Induk Tamin, Pasar Pasir Gintung, Pasar Bambu Kuning, Pasar Bawah, Pasar Baru, serta pusat-pusat pertokoan/mall dan supermarket, seperti Central Plaza, Ramayana, Lotus, Simpur Centre, Gelael, dan Mall Kartini.

Tabel 10: Pasar Tradisional menurut Lokasi di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Tahun 2010

No Nama Pasar Lokasi (Kelurahan)

1 Pasar Induk Tamin Kelapa Tiga

2 Pasar Baru Kelapa Tiga

3 Pasar Bambu Kuning Kelapa Tiga

4 Pasar Bawah Gunung Sari

5 Pasar Pasir Gintung Pasir Gintung Sumber: Monografi Kecamatan Tanjung Karang Pusat

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa Kecamatan Tanjung Karang Pusat memiliki 5 pasar tradisional, yang mana sebagian besar terletak

di Kelurahan Kelapa Tiga.

Berdasarkan tabel 11, terlihat bahwa selain memiliki pasar tradisional, Kecamatan Tanjung Karang Pusat juga memiliki 6 pasar modern, di mana kelurahan yang memiliki pasar modern paling banyak adalah Kelurahan Enggal.

Banyaknya jumlah pasar yang terdapat di Kecamatan Tanjung Karang Pusat (baik pasar tradisional maupun pasar modern), secara tidak langsung memberikan lapangan pekerjaan dan dapat menyerap tenaga kerja penduduk setempat.


(52)

50

Tabel 11: Pasar Modern/Swalayan/Mall menurut Lokasi di Kecamatan Tanjung Karang Pusat tahun 2010

No Nama Pasar Lokasi (Kelurahan)

1 Mall Kartini/Centre Point Durian Payung 2 Matahari/Central Plaza Palapa

3 Ramayana Gunung Sari

4 Alfa “Lotus” Enggal

5 Gelael Enggal

6 Simpur Centre Tanjung Karang

Sumber: Monografi Kecamatan Tanjung Karang Pusat

Dilihat dari matapencahariannya, sebagian besar penduduk Kecamatan Tanjungkarang Pusat berprofesi sebagai buruh, pedagang, dan PNS.

Tabel 12. Jenis Pekerjaan Penduduk Kecamatan Tanjung Karang Pusat Jenis Pekerjaan Banyak pekerja

PNS 8.064

TNI/POLRI 998

Wiraswasta/pedagang 14.391

Tani 504

Tukang 4.394

Pensiunan 4.251

Buruh 17.821

Lain-lain 31.671

Jumlah 81.984

Sumber: Monografi Kecamatan Tanjung Karang Pusat Tahun 2012

Berdasarkan tabel 12, penduduk di Kecamatan Tanjung Karang Pusat memiliki jenis pekerjaan yang bermacam-macam. Meskipun Kecamatan Tanjung Karang Pusat merupakan Pusat Pemerintahan di Kota Bandar Lampung, namun sebagian besar penduduk bekerja di sektor wiraswasta/pedagang, buruh, dan pekerjaan lain-lain (pekerjaan lain-lain-lain-lain di sini merupakan pekerjaan home indusry, baik yang berskala kecil maupun berskala besar).

G. Pemerintahan

Dalam Surat Keputusan Walikota Bandar Lampung No. 28 Tahun 2001, disebutkan bahwa pemerintah kecamatan mempunyai tugas pokok untuk


(53)

51

mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Kota Bandar Lampung, serta membina kehidupan kemasyarakatan kecamatan agar tercipta keamanan dan kestabilan ekonomi di Kota Bandar Lampung. Dalam rangka meningkatkan kegiatan di bidang pemerintahan, Kecamatan Tanjung Karang Pusat dipimpin oleh seorang Camat yang dibantu oleh Sekcam, Kasi, dan Lurah. Tabel 13. Nama Pejabat Kecamatan Tanjung Karang Pusat Tahun 2012

No Nama Pejabat NIP Gol Jabatan

1 Dra. Maryamah 196706201993032005 III/d Camat 2 Slamet, SH. 195702121980031014 III/d Sekretaris

Kecamatan 3 M. Saleh 195608051984031007 III/d Plt. Kasi

Pembangunan 4 A.Rozali, S.Sos. 195809301979061001 III/d Kasi Kessos 5 Yulyanko 196002071982061002 III/d Trantib 6 Tamrin, SH. 196305171985031009 III/c Plt. Kasi

Pemerintahan 7 Rika Silva Rina, BA. 19660111986032003 III/d Kasi Pelayanan

Umum Sumber: Monografi Kecamatan Tanjung Karang Pusat

H. Potensi

1. Pusat Pertumbuhan Ekonomi

Kegiatan ekonomi di Kecamatan Tanjungkarang Pusat mengalami pertumbuhan yang terus meningkat. Hal ini dapat dilihat dari makin bertambahnya jumlah pertokoan, mall, dan supermarket yang dapat memberikan kontribusi terhadap PAD Kota Bandar Lampung, khususnya sektor pajak dan retribusi daerah yang didapat dari sektor parkir, PBB, PPI, dan Bea SITU. Laju pertumbuhan ekonomi tersebut dapat meningkatkan lapangan usaha dan menyerap tenaga kerja.

2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan kewajiban bagi seluruh penduduk di Indonesia. Begitu juga dengan Kecamatan Tanjung Karang Pusat yang


(54)

52

Tabel 14. Realisasi Penerimaan PBB di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Tahun 2008

No Kelurahan Ketetapan (Rp) Realisasi (Rp)

1 Kaliawi 231.943.369 111.942.612

2 Enggal 564.504.285 443.188.554

3 Pasir Gintung 112.705.603 67.476.048

4 Durian Payung 342.688.315 222.409.609

5 Pelita 285.802.936 181.042.591

6 Gunung Sari 229.071.738 180.869.982

7 Gotong Royong 272.008.038 194.576.024

8 Palapa 304.990.777 295.665.496

9 Kelapa Tiga 200.843.396 112.311.849

10 Tanjungkarang 363.748.266 294.769.522

11 Penengahan 58.818.856 34.758.454

Jumlah 3.003.125.606 2.139.010.741

Sumber: Kolektor PBB Tk. Pusat

Pendapatan daerah Kecamatan Tanjung Karang Pusat yang memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap PAD Kota Bandar Lampung sebagian diperoleh dari penerimaan PBB yang semakin tahun semakin meningkat. Hal ini dikarenakan nilai jual objek pajak yang terus meningkat sehingga dapat

memberikan pendapatan bagi Kota Bandar Lampung. I. Permasalahan

Selain sebagai pusat pemerintahan, Kecamatan Tanjung Karang Pusat juga ditetapkan sebagi pusat perekonomian di Kota Bandar Lampung. Dengan

dijadikannya pusat perekonomian, Kecamatan Tanjung Karanag Pusat tentu tidak lepas dari berbagai masalah yang dihadapi, terutama dari faktor aktifitas

manusianya, antara lain: 1. Kemacetan Lalu Lintas

Kemacetan lalulintas, khususnya pada jam-jam sibuk kerapkali terjadi, terutama pada ruas Jalan Kartini, Jalan Teuku Umar, Jalan Imam Bonjol, dan Jalan Cut


(55)

53

rendahnya tingkat disiplin pengemudi dan pengguna jalan, dan kurangnya jalan-jalan alternatif yang dapat secara langsung memudahkan pengguna kendaraan.

2. Anak Jalanan (Anjal)

Permasalahan sosial yang cukup problematik di Kota Bandar Lampung adalah keberadaan anak jalanan, khususnya di perempatan jalan dan trafic light, dirasakan sangat mengganggu keamanan dan ketertiban para pengguna jalan. Penertiban yang dilakukan oleh aparat Satpol-PP dirasa tidak membuat rasa jera terhadap anak jalanan, karena anak jalanan terus kembali ke perempatan jalan atau trafic light.

3. Pedagang Kaki Lima

Keberadaan pedagang kaki lima pada ruas-ruas jalan di pusat kota juga dirasakan sebagai suatu yang problematik. Ditinjau dari sudut ekonomi, ratusan bahkan ribuan pedagang kaki lima di satu sisi dapat menyerap tenaga kerja dan menggerakkan roda ekonomi, disisi yang lain, kondisi ini juga mengakibatkan lahan parkir menjadi berkurang dan para pedagang/pemilik toko merasa dirugian karena tokonya ditutupi oleh tenda para pedagang kaki lima.

4. Kebersihan

Masih rendahnya tingkat kesadaran dan tanggungjawab masyarakat terhadap kebersihan dan sulitnya mencari lahan untuk Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) menyebabkan sebagian wilayah Kecamatan Tanjung Karang Pusat terlihat kurang bersih.


(56)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Anak-anak keluarga miskin mengambil keputusan untuk terjun ke dunia kerja dengan alasan membantu perekonomian keluarga yang serba sulit. Dalam sehari, pekerja anak bekerja dengan waktu yang panjang, yaitu antara 6-12 jam per hari.

2. Keluarga pekerja anak mengetahui anaknya bekerja dan mereka membiarkan, hal

tersebut akan melanggengkan pekerja anak untuk terus bekerja selama orangtuanya tidak marah atau melarang.

3. Pekerja anak di jalanan rentan tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok anak punk, dan oknum petugas Satpol-PP seperti, dihina, dipukul, bahkan ada yang patah kaki akibat diinjak oleh oknum Satpol-PP. Oleh sebab itu, pekerja anak cenderung melakukan tindakan menyimpang seperti, merokok, ngelem, dan berbocara kasar/jorok.

Saran

1. Pemerintah Kota Bandar Lampung sebaiknya segera menetapkan kebijakan-kebijakan terkait dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan segera

mengefektifkan Perda No 3 Tahun 2010 yang berisikan tentang larangan memberikan uang kepada Anjal dan pengemis.

2. Diberikannya sanksi tegas terhadap keluarga atau siapapun yang membiarkan, bahkan memerintahkan anak di bawah umur untuk bekerja di sektor apapun.


(57)

3. Masyarakat sebaiknya lebih memahami kebijakan-kebijakan mengenai perlindungan anak yang telah dibuat pemerintah. Dengan memahami kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan masyarakat akan lebih cerdas dan ikut serta memberikan solusi terhadap permasalahan eksploitasi anak.

4. Penelitian ini tentunya masih jauh dari sempurna karena masih banyak kekurangan dalam menganalisa data, pengumpulan informasi dari informan, dan waktu yang terbatas. Diharapkan dapat menjadi bahan refrensi bagi kajian ilmu sosiologi keluarga, pemerhati wanita dan perlindungan anak agar penelitian selanjutnya agar dapat disempurnakan.


(1)

53

rendahnya tingkat disiplin pengemudi dan pengguna jalan, dan kurangnya

jalan-jalan alternatif yang dapat secara langsung memudahkan pengguna kendaraan.

2. Anak Jalanan (Anjal)

Permasalahan sosial yang cukup problematik di Kota Bandar Lampung adalah

keberadaan anak jalanan, khususnya di perempatan jalan dan trafic light,

dirasakan sangat mengganggu keamanan dan ketertiban para pengguna jalan.

Penertiban yang dilakukan oleh aparat Satpol-PP dirasa tidak membuat rasa jera

terhadap anak jalanan, karena anak jalanan terus kembali ke perempatan jalan atau

trafic light.

3. Pedagang Kaki Lima

Keberadaan pedagang kaki lima pada ruas-ruas jalan di pusat kota juga dirasakan

sebagai suatu yang problematik. Ditinjau dari sudut ekonomi, ratusan bahkan

ribuan pedagang kaki lima di satu sisi dapat menyerap tenaga kerja dan

menggerakkan roda ekonomi, disisi yang lain, kondisi ini juga mengakibatkan

lahan parkir menjadi berkurang dan para pedagang/pemilik toko merasa dirugian

karena tokonya ditutupi oleh tenda para pedagang kaki lima.

4. Kebersihan

Masih rendahnya tingkat kesadaran dan tanggungjawab masyarakat terhadap

kebersihan dan sulitnya mencari lahan untuk Tempat Penampungan Sampah

Sementara (TPS) menyebabkan sebagian wilayah Kecamatan Tanjung Karang


(2)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Anak-anak keluarga miskin mengambil keputusan untuk terjun ke dunia kerja dengan

alasan membantu perekonomian keluarga yang serba sulit. Dalam sehari, pekerja anak

bekerja dengan waktu yang panjang, yaitu antara 6-12 jam per hari.

2. Keluarga pekerja anak mengetahui anaknya bekerja dan mereka membiarkan, hal

tersebut akan melanggengkan pekerja anak untuk terus bekerja selama orangtuanya tidak

marah atau melarang.

3. Pekerja anak di jalanan rentan tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok anak

punk, dan oknum petugas Satpol-PP seperti, dihina, dipukul, bahkan ada yang patah kaki

akibat diinjak oleh oknum Satpol-PP. Oleh sebab itu, pekerja anak cenderung melakukan

tindakan menyimpang seperti, merokok, ngelem, dan berbocara kasar/jorok.

Saran

1. Pemerintah Kota Bandar Lampung sebaiknya segera menetapkan kebijakan-kebijakan

terkait dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan segera

mengefektifkan Perda No 3 Tahun 2010 yang berisikan tentang larangan memberikan

uang kepada Anjal dan pengemis.

2. Diberikannya sanksi tegas terhadap keluarga atau siapapun yang membiarkan, bahkan


(3)

3. Masyarakat sebaiknya lebih memahami kebijakan-kebijakan mengenai perlindungan

anak yang telah dibuat pemerintah. Dengan memahami kebijakan-kebijakan tersebut

diharapkan masyarakat akan lebih cerdas dan ikut serta memberikan solusi terhadap

permasalahan eksploitasi anak.

4. Penelitian ini tentunya masih jauh dari sempurna karena masih banyak kekurangan

dalam menganalisa data, pengumpulan informasi dari informan, dan waktu yang terbatas.

Diharapkan dapat menjadi bahan refrensi bagi kajian ilmu sosiologi keluarga, pemerhati


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 2007. Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Anoraga, P. 2001. Psikologi Kerja. Rineka Cipta. Jakarta.

Bagong, S. 1999. Analisis Situasi Pekerja Anak dan Permasalahan Pendidikan Dasar Di Jawa Timur. Universitas Airlangga Press. Surabaya.

Hardius Usman dan Nachorowi Djajal Nachorowi. 2004. Pekerjaan Anak Di Indonesia. Grasindo. Jakarta.

Haryadi, D., Tjandraningsih, I. 1995. Buruh Anak & Dinamika Industri Kecil. Yayasan Akatiga. Bandung.

Kartonegoro, S. 1997. Penduduk, Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja Trend Global Menuju Abad 21. CV. Intermedia. Jakarta.

Manalu, Rumondang. 2010. “Peranan Orang Tua Dalam Meningkatkan Kualitas Belajar

Anak”. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Lampung. Bandar

Lampung.

Manurung, D. 1998. Keadaan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pekerja Anak Di Indonesia (Analisis Data Sakernas 1994). CV. Intermedia. Jakarta

Millies, Mathew dan M. Huberman. 1992. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Putra. Bandung.

Nasir, Moh. 1983. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soetrisno, Loekman, 1997. Kemiskinan Perempuan dan Pemberdayaan. Kanisius. Yogyakarta.


(5)

Soegijoko, Budi Tjahjati S. dan BS Kusbiantoro, 1997. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Gramedia. Bandung.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta. Bandung

Suparlan, Parsudi. 1994. Kemiskinan Di Kota. Sinar Harapan. Jakarta.

Tjandraningsih, I. 1995. Pemberdayaan Pekerja Anak. Yayasan Akatiga. Bandung.

Tjiptoherijanto, Prijono. 1997. Migrasi, Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia. UI Press. Jakarta.

White dan Tjandraningsih, I. 1998. Child Workers in Indonesia: Yayasan Akatiga. Bandung.

Anonim. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Anonim. 2011. Profil Anak Indonesia . KPP dan PA. Jakarta.

Sumber lain:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 4 tahun1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. (http://www.scribd.com/doc/14597304/TEORI -KEMISKINAN) diakses 17 Desember 2012

Kompasiana.com. 2012. Pekerja Anak dan Kemiskinan. http://sosbud.kompasiana.com /2012/10/02/pekerja-anak-dan-kemiskinan/ diakses 24 November 2012

Farassnia. 2011. Pemahaman Tentang Hak Asasi Manusia http://

pemahamantentanghakasasimanusia.blogspot.com/ diakses 24 November 2012

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hukum/206712019/bab2.pdf). Diakses 17 Desember 2012.

Ikram. 2011. Pekerja Anak Di Sektor Perkebunan Di Tulang Bawang.

http://ikram61.wordpress.com/2011/05/26/pekerja-anak-di-sektor-perkebunan-di-tulang-bawang/ diakses 20 Desember 2012

Herlina,Sri.2010. Definisi Kekerasan Terhadap Anak. iin-green.web.id /2010/05/08/definisi-kekerasan-terhadap-anak/ diakses 17 Desember 2012


(6)

Lidya. 2011 (http://www.perfspot.com/blogs/blog.asp?BlogId=121153). Diakses 1Desember 2012

Kalimantan News.com. 2011 (http://www. kalimantan-news.com/ berita.php? idb=10446). Diakses 24 November 2012

Salim, Leonardo. Faktor Terjadinya Eksploitasi Anak.(http://www.google.co.id

/url?sa=t&rct=j&q=faktor+terjadinya+eksploitasi+anak). Diakses 10Desember 2012

Anonim. 2011. Disnakertrans Lampung.http://disnakertrans.lampungprov.go.id /profil-2/data-tenaga-kerja/ diakses 6 Januari 2013