Pertanggungjawaban Kepala Daerah TINJAUAN PUSTAKA

Daerah yang dibentuk berdasarkan asas dekonsentrasi dan desentralisasi adalah provinsi, sedangkan daerah kabupaten dan daerah kota dibentuk berdasarkan asas desentralisasi. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

2.4 Pertanggungjawaban Kepala Daerah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung yang berati perbuatan atau sesuatu yang dipertanggungjawabkan kalau ada sesuatau hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya. Ridwan HR, 2006; 334 menjelaskan dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban pada kamus hukum, yakni: Liabillity, the state of being liable merupakan istilah hukum yang luas a broad legal term yang didalamnya antara lain mengandung makna ‘it has been reffered to as of the most comprehensive of hazard of responsibility, absolute, contingent, or likely. It has been defined to mean: all character of debts or obligations’ liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif , meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum in recht, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum. Responsibility, berarti ‘the state of being answerable for an obligation and includes judgment, skill, ability,and capacity’ hal dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban , dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan,dan kecakapan. Istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik atau pemerintahan in bestuurverband. Sejalan dengan itu, dalam buku yang sama Ridwan HR. juga menegaskan tentang aspek teoritis tentang pertanggungjawaban hukum pemerintah yeng bersumber pada konsep dalam huku perdata yang secara yuridis formal terdapat pada Pasal 1365, 1366, 1367 KUH Perdata. Dalam perspektif ilmu hukum, prinsip “bahwa setiap tindakan onrechtmatige subjek hukum yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain mengharuskan adanya pertanggungjawaban bagi subjek hukum yang bersangkutan, tidak peduli apakah seseorang, badan hukum, maupun pemerintah”. Dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, teknis pertanggungjawaban yang dilakukan Pemerintah daerah kepada DPRD. Hakikat dari bentuk pertanggungjawaban tersebut adalah untuk mengukur kinerja pemerintah daerah dalam suatu periode pemerintahan tertentu. Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pertanggungjawaban yang dilakukan meliputi : 1. Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran, yakni pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang didasarkan pada penilaian program strategis yang dilaksanakan. 2. Pertanggungjawaban akhir masa jabatan, yakni pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan seorang Kepala Daerah yang menentukan apakah seseorang dapat dicalonkan kembali atau tidak sebagai Kepala Daerah. 3. Pertanggungjawaban hal tertentu, ini berkaitan apabila terjadi dugaan pidana yang dilakukan Kepala Daerah sehingga menyebabkan terkikisnya kepercayaan publik secara luas. Dugaan atas pidana yang dilakukan Kepala Daerah meliputi tindakan kriminal murni atau dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Kepala Daerah waib melaporkan penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Laporan dimaksud dalam bentuk LPPD, LKPJ, dan Informasi LPPD. Bagi pemerintah dapat dijadikan salah satu bahan evaluasi untuk keperluan pembinaan terhadap Pemerintah Daerah. Sebagai kepala daerah hasil pilihan rakyat, maka kepala daerah tersebut berkewajiban pula untuk menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintah daerah yang telah dilaksanakan kepada masyarakat sebagai perwujudan adanya transparansi dan akuntabilitas kepala daerah terhadap masyarakat. Kepala daerah bertanggungjawab kepada rakyat, untuk itulah ketika membuat LKPJ Kepala Daerah berkewajiban membuat ILPPD Informasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Sementara akuntabilitas keuangannya akan diperiksa oleh BPK. Kalau BPK setuju, maka akan memberikan catatan tersebut ke DPRD, dan selanjutnya kalau DPRD setuju baru dibuat Peraturan Daerah terkait dengan LKPJ tersebut. Ini merupakan alur pertanggungjawaban dan sekaligus mekanisme hubungan Kepala Daerah dengan Lembaga Perwakilan yang ada di daerah, dalam hal ini DPRD. Kepala Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 bertanggungjawab keatas Gubernur bertanggungjawab ke Presiden melalui Mendagri, Bupati atau Walikota bertanggungjawab ke Mendagri melalui Gubernur. Kepala Daerah cukup memberikan LKPJ kepada DPRD dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Menurut Sutoro Eko, 2009 : Model akuntabilitas semacam ini, akan menimbulkan dampak buruk; pertama, Depdagri dibuat menjadi organ dan instrument korporatisme Negara Negara dalam Negara yang mempunyai kekuatan besar untuk mengendalikan daerah secara terpusat. Padahal, menurut skema desentralisasi Depdagri mestinya menjadi mediator yang baik antara pusat dan daerah. Kedua, dalam konteks struktur-struktur politik yang masih birokratis akuntabilitas vertikal justru akan membuat Kepala Daerah kurang akuntabel dan responsif kepada masyarakat melainkan akan lebih loyal tunduk pada kekuasaan di atasanya. Dalam praktik bisa jadi Kepala Daerah akan menghindar dari desakan rakyat dn akuntabilitas publik sebab sudah merasa cukup menyampaikan pertanggungjawaban kepada pusat. Loyalitas vertikal dengan mudah akan dijadikan Kepala Daerah sebagai tameng atas tuntutan publik. Oleh karena itu tidak akan mungkin terjadi sebuah implikasi hukum penolakan LKPJ Kepala Daerah yang dilakukan baik oleh DPRD maupun masyarakat. Sebab meskipun DPRD berhak memberikan putusan terhadap LKPJ Kepala Daerah, namun putusan DPRD itu hanya bersifat rekomendasi yang implikasinya hanya berupa masukkan kepada Kepala Daerah. Semetara akuntabilitas publik Kepala Daerah kepada masyarakat melalui ILPPD hanyalah sebatas menginformasikan saja, masyarakat ternyata tidak memiliki mekanisme untuk menyatakan menerima atau menolak. Jika kemudian terjadi kasus penolakan terhadap LKPJ Kepala Daerah, maka secara yuridis penolakan tersebut tidak akan implikasi hukum terhadap Kepala Daerah. Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatan atau dituntut di muka pengadilan karena ditolaknya LKPJ, atau dinyatakan tidak boleh mencalonkan diri kembali pada pemilihan Kepala Daerah selanjutnya. Artinya, meskipun LKPJ Kepala Daerah ini mendapat kecaman dan penolakkan Kepala Daerah tetap bisa melenggang untuk mencalonkan diri kembali pada pemilihan selanjtunya. http:www.google.co.id accessed 12 januari 2011

2.5 Teori Partisipasi