Teori Partisipasi TINJAUAN PUSTAKA

korporatisme Negara Negara dalam Negara yang mempunyai kekuatan besar untuk mengendalikan daerah secara terpusat. Padahal, menurut skema desentralisasi Depdagri mestinya menjadi mediator yang baik antara pusat dan daerah. Kedua, dalam konteks struktur-struktur politik yang masih birokratis akuntabilitas vertikal justru akan membuat Kepala Daerah kurang akuntabel dan responsif kepada masyarakat melainkan akan lebih loyal tunduk pada kekuasaan di atasanya. Dalam praktik bisa jadi Kepala Daerah akan menghindar dari desakan rakyat dn akuntabilitas publik sebab sudah merasa cukup menyampaikan pertanggungjawaban kepada pusat. Loyalitas vertikal dengan mudah akan dijadikan Kepala Daerah sebagai tameng atas tuntutan publik. Oleh karena itu tidak akan mungkin terjadi sebuah implikasi hukum penolakan LKPJ Kepala Daerah yang dilakukan baik oleh DPRD maupun masyarakat. Sebab meskipun DPRD berhak memberikan putusan terhadap LKPJ Kepala Daerah, namun putusan DPRD itu hanya bersifat rekomendasi yang implikasinya hanya berupa masukkan kepada Kepala Daerah. Semetara akuntabilitas publik Kepala Daerah kepada masyarakat melalui ILPPD hanyalah sebatas menginformasikan saja, masyarakat ternyata tidak memiliki mekanisme untuk menyatakan menerima atau menolak. Jika kemudian terjadi kasus penolakan terhadap LKPJ Kepala Daerah, maka secara yuridis penolakan tersebut tidak akan implikasi hukum terhadap Kepala Daerah. Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatan atau dituntut di muka pengadilan karena ditolaknya LKPJ, atau dinyatakan tidak boleh mencalonkan diri kembali pada pemilihan Kepala Daerah selanjutnya. Artinya, meskipun LKPJ Kepala Daerah ini mendapat kecaman dan penolakkan Kepala Daerah tetap bisa melenggang untuk mencalonkan diri kembali pada pemilihan selanjtunya. http:www.google.co.id accessed 12 januari 2011

2.5 Teori Partisipasi

“Partisipasi dapat diartikan sebagai ikut serta, berperan serta dalam suatu kegiatan, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan peraturan daerah dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik”Sirajuddin, dkk 2011: 171. Sherry Arnstei dalam Sirajuddin, dkk 2011: 173, membuat skema 8 delapan tingkat partisipasi rakyat dalam memutuskan kebijakan, sebagai berikut: Tabel 2.1 Bagan Delapan Tingkat Partisipasi Masyarakat Sherry Arnstein Sumber: Sherry Arnstein dalam Sirajuddin, dkk. 2011: 173 Penjelasan Tabel Partisipasi Masyarakat Menurut Sherry Arnstein : 1. Kontrol Warga Negara citizen control Tingkat tertinggi atau pertama adalah control warga Negara citizen control. Pada tahap ini partisipasi sudah mencapai tataran dimana publik berwenang memutuskan, melaksanakan dan mengawasi pengelolaan sumber daya. 2. Delegasi Kewenangan Delegated Power Pada tingkatan ini kewenangan masyarakat lebih besar daripada penyelenggaraan Negara dalam merumuskan kebijakan. 5. Konsultasi Consultation 6. Penginformasian Informing 7. Terapi Therapy 8. Manipulasi Manipulation 4. Peredaman Placation 3.Kemitraan Partnership 1. Kendali Masyarakat citizen control 2. Delegasi Kekuasaan Delegated Power 3. Kemitraan Partnership Pada tingkatan ini ada keseimbangan kekuatan relatif antara masyarakat dan pemegang kekuasaan untuk merencanakan dan mengambil dan mengambil keputusan bersama-sama. Dari ketiga tahapan ini mengakui eksistensi hak rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan. 4. Tingkat keempat sampai keenam mengindikasikan partisipasi semu. Pada tingkatan ini terdiri dari peredaman placation, konsultasi, dan informasi informing. Pada tingkat peredaman rakyat sudah memiliki pengaruh terhadap kebijakan tetapi apabila akhirnya terjadi voting pengambilan keputusan akan tampak sejatinya keputusan ada di tangan lembaga negara, sedangkan kontrol dari rakyat tidak amat menentukan. Pada tingkat konsultasi, rakyat sudah berpartisipasi dalam membuat peraturan perundang-undangan. Sementara di tingkat informasi rakyat sekedar diberi tahu akan adanya peraturan, tidak peduli apakah rakyat memahami pemberitahuan itu apalagi memberikan pilihan guna melakukan negosiasi atas kebijakan itu. 5. Tingkat ketujuh sampai kedelapan, terapi Therapy dan manipulasi Manipulation Pada tingkat ketujuh dan kedelapan, terapi dan manipulasi menunjukkan ketiadaan partisipasi. Pada tingkat terapi, masyarakat korban kebijakan dianjurkan mengadu kepada pihak yang berwenang tetapi tidak jelas pengaduan tersebut ditindak lanjuti atau tidak. Pada tingkat manipulasi, lembaga Negara melakukan “pembinaan” terhadap kelompok-kelompok masyarakat untuk seolah-olah berpartisipasi padahal sejatinya yang terjadi adalah kooptasi dan represi penguasa. Irfan Islamy dalam Sirajuddin, dkk. 2011: 175 menyatakan : Paling tidak ada 8 delapan manfaat yang akan dicapai jika melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, yaitu pertama, masyarakat akan semakin siap untuk menerima dan melaksanakan gagasan pembangunan; kedua, hubungan masyarakat, pemerintah, dan legislatif akan semakin baik; ketiga, masyarakat mempunyai komitmen yang tinggi terhadap institusi; keempat, masyarakat akan mempunyai kepercayaan yang lebih besar kepada pemerintah dan legislatif serta bersedia bekerjasama dalam menangani tugas dan urusan publik. Kelima, bila masyarakat telah memiliki kepercayaan, dan menerima ide-ide pembangunan, maka mereka akan merasa ikut memiliki tanggungjawab untuk turut serta mewujudkan ide-ide tersebut; keenam, mutu atau kualitas keputusan atau kebijakan yang diambil akan semakin baik karena masyarakat turut serta memberikan masukan; ketujuh, akan memperlancar komunikasi dari bawah keatas atau dari atas kebawah; kedelapan, dapat memperlancar kerjasama terutama untuk mengatasi masalah yang kompleks dan rumit.

2.6 Teori Good Local Governance