gestroi oleh cendawan entomopatogen 10

20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 6 Waktu hari M o rt a lit a s Bb-Sl Bb-Lo Bb-Tn Bb-Co Bb-Cr Mb-Ps Ma-Rl As-Co As-Cr 20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 6 Waktu hari M o rt a lit a s My-Tn Vl-Rl Pa-Rl Fu-Sl Fu-Rl Pe-Co Pe-Cr kontrol Tanada dan Kaya 1993 biasanya cendawan menyebabkan mortalitas dengan satu atau lebih cara seperti: defisiensi nutrisi, menyerang dan merusak jaringan, dan melepaskan toksin. Beberapa di antaranya bersifat virulen dan membunuh serangga dalam waktu yang singkat dan yang lainnya menghasilkan infeksi kronik yang lama. Gambar 4.4. Laju mortalitas rayap

C. gestroi oleh cendawan entomopatogen 10

7 konidiaml dari berbagai inang 6 hari setelah inokulasi kontrol 11,25. Keterangan: Bb-Sl = B. bassiana dari ulat grayak, Bb-Lo = B. bassiana dari walang sangit, Bb-Tn = B. .bassiana dari tanah, Bb-Co = B. bassiana dari rayap tanah, Bb-Cr = B. bassiana dari ulat krop kubis, Mb-Ps = M. brunneum dari pasir, Ma-Rl = M. anisopliae dari penghisap polong, As-Co = A. flavus dari rayap tanah, As-Cr = A..flavus dari ulat krop kubis, My-Tn = M. roridum dari tanah, Vl-Rl = V. lecanii dari penghisap polong, Pa-Rl = P. fumosoroseus dari penghisap polong, Fu-Sl = F. oxysporum dari ulat grayak, Fu-Rl = Fusarium solan dari penghisap polong, Pe-Co = P. citrinum dari rayap tanah, Pe-Cr = P. citrinum dari ulat krop kubis, Isolat cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang umumnya bersifat patogen terhadap rayap, dan dapat menyebabkan mortalitas lebih dari 60. Yoshimura dan Takahashi 1998, menjelaskan bahwa penggunaan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap telah 25 tahun lebih menjadi target penelitian dan banyak spesies cendawan telah diuji tingkat patogenisitasnya terhadap rayap. Setelah tahun 1960-an banyak peneliti memulai investigasi patogenisitas cendawan terhadap rayap menggunakan A. flavus, Absidia coerulea Bainier, B. bassiana, Entomophthora sp. M. anisopliae, Conidiobolus coronatus dan Penicillium sp. Setiap spesies cendawan entomopatogen mempunyai sifat dan kemampuan spesifik untuk tumbuh dan berkembang pada rayap. Perbedaan ini juga terlihat pada karakterisasi fisiologisnya secara in vivo dan in vitro terutama pada kemampuan berkecambah, laju pertumbuhan koloni dan konidiogenesis Tabel 4.2. Diduga setiap spesies juga menghasilkan jenis metabolit sekunder toxin yang bervariasi sehingga mempunyai daya toksisitas yang berbeda satu sama lainnya. Boucias dan Pendland 1998 mengemukakan, cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang dan dapat tumbuh ke bahagian internal inang hemocoel dan mengkonsumsinya sehingga nutrient di dalam hemolymph habis oleh pertumbuhan cendawan yang begitu cepat. Di samping itu cendawan dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan zat beracun yang mengganggu perkembangan inang secara normal. Beberapa di antara zat beracun toxin yang dihasilkan cendawan yang dapat membunuh serangga adalah: 1 Beauvericin oleh B. bassiana, Paecilomyces dan Fusarium, 2 Bassianolide oleh B. bassiana, 3 Cyclosporin A oleh B. bassiana, Verticillium, Fusarium dan Tolypocladium, 4 Oosporein oleh B. bassiana , 5 asam Oxalic oleh B. brongniartii, 6 Destruxins oleh M. anisopliae dan Aspergillus ochraceus, 7 Cytochalasins oleh M. anisopliae, 8 Swainsonine oleh M. anisopliae, 9 Aflatoxins oleh Aspergillus, 10 Asam kojic oleh A. flavus dan 11 Restrictocin oleh Aspergillus fumigatus. Selanjutnya dinyatakan bahwa penempelan mungkin melibatkan kekuatan electrostatik dan interaksi molekul, hemagglutins, glukosa, dan N-acetylglucosamine merupakan substansi yang ditemukan pada permukaan spora, spora berkecambah dengan cepat tergantung pada kelembaban lingkungan, temperatur, kondisi cahaya yang kurang serta nutrisi lingkungan. Penetrasi terutama tergantung pada sifat kutikula serangga ketebalan, sclerotization, dan kehadiran zat anti cendawan dan substansi nutrisi. Setelah berkecambah hifa masuk ke dalam integumen serangga dan terus ke hemocoel, dan menghasilkan tubuh hifa hyphal bodies, yang pada hakekatnya berupa blastospores yang berkembang dengan tunas budding. Menurut Scholte et al. 2004, siklus cendawan entomopatogen hingga menyebabkan inangnya mati adalah sebagai berikut: konidia menempel pada kutikula kemudian berkecambah dan menembus kutikula. Kemudian di dalam hemocoel miselia tumbuh terus menerus pada inang membentuk tubuh hifa blastospores. Kematian serangga sering disebabkan oleh kombinasi dari aksi toksin, terhalangnya sirkulasi darah, komsumsi nutrisi atau penyerangan organ dari serangga. Virulensi antar isolat juga menunjukkan perbedaan, seperti pada 5 isolat cendawan B. bassiana yang berasal dari sumber inang yang berbeda, isolat walang sangit Bb-Lo paling virulen dibanding isolat B. bassiana yang lainnya. Dua isolat cendawan A. flavus yang juga berasal dari inang berbeda, isolat rayap tanah As-Co lebih virulen dibanding isolat ulat krob kubis As-Cr. Diperkirakan sifat virulensi yang berbeda ini dipengaruhi oleh kondisi morfologi dan fisiologi serangga inang asal isolat dan lingkungan asal isolat yang berbeda. Menurut Tanada dan Kaya 1993, virulensi adalah kemampuan penyakit yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme, dalam hal ini adalah kemampuan suatu organisme untuk menyerang dan menyebabkan luka pada inang, yang berhubungan dengan kesanggupan suatu mikroorganisme untuk mengatasi mekanisme pertahanan inang. Suatu patogen mungkin bersifat sangat virulen sebab rendahnya ketahanan atau tingginya kerentanan dari inang, dan sebaliknya patogen dapat mempunyai virulensi yang rendah sebab tingginya ketahanan atau rendahnya kerentanan dari inang. Patogenisitas secara dekat merupakan sinonim terhadap virulensi yaitu berkenaan dengan kemampuan menghasilkan penyakit oleh mikroorganisme. Perbedaannya adalah bahwa patogenisitas diaplikasikan terhadap kelompok atau spesies dari organisme; sedangkan, virulensi digunakan pengertian tingkat dari patogenisitas di dalam kelompok atau spesies. Patogenisitas kadang-kadang dipandang sebagai kemampuan penetapan secara genetika untuk menghasilkan penyakit, dan virulensi tidak sebagai hasil secara genetika. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa patogenisitas B. bassiana adalah tinggi untuk isolat L. oratorius Bb-Lo, tetapi virulensinya berbeda tergantung pada kondisi, seperti metode pembiakan, penyimpanan, formulasi, dan faktor lingkungan. Sebagai contoh di bawah kondisi nutrisi tertentu, virulensi dari patogen lebih tinggi dibanding pada nutrisi lainnya. B. bassiana mempunyai banyak strains, yang pada suatu waktu dipertimbangkan untuk berbeda spesies sebab berbeda karakteristik morfologinya. Strains akan bervariasi virulensinya dan tergantung pada kerentanan spesies serangga sasaran. Perbedaan mortalitas rayap sebagai akibat perbedaan tingkat virulensi disebabkan oleh asal dan kondisi sumber inang yang berbeda pula, hal ini menyebabkan perbedaannya dalam karakter menyerang rayap. Disamping juga tergantung pada lingkungan pada daerah asal, karakter dan struktur dari konidia juga berakibat terhadap perkecambahan. Perkecambahan yang sukses dan berpenetrasi pada inang tergantung pada total persentase perkecambahan, lamanya waktu berkecambah, cara dari perkecambahan, agresivitas cendawan, dan kerentanan inang Samson et al. 1988 dalam Tanada dan Kaya 1993. Spesies cendawan mempunyai banyak strains yang berbeda virulensinya. Pada umumnya, strains dari spesies yang diisolasi dari inang yang spesifik lebih virulen untuk inang yang sama dibandingkan isolat dari inang yang lainnya, dan suksesi penularan di dalam suatu inang dapat juga menghasilkan peningkatan virulensi atau menghasilkan strain yang lebih virulent. Pernyataan ini dipertegas oleh hasil penelitian ini yaitu pada kasus perbedaan virulensi antar isolat A. flavus, yang berasal dari serangga inang rayap tanah As-Co lebih virulen dibandingkan yang berasal dari serangga inang ulat krop kubis As-Cr terhadap mortalitas rayap C. gestroi. Namun tidak demikian pada kasus perbedaan virulensi antar isolat B. bassiana, isolat walang sangit Bb-Lo menunjukkan tingkat virulensi yang lebih tinggi dibanding isolat dari rayap tanah Bb-Co, ulat krop kubis Bb-Cr, ulat grayak Bb-Sl dan tanah Bb-Tn. Pada kasus seperti diterangkan di atas, tingkat virulensi ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh asal isolat yang secara umum ditentukan oleh faktor eksternal lingkungan, akan tetapi juga oleh spesies cendawan yang secara umum lebih dipengaruhi oleh sifat internal, dengan pengertian bahwa setiap spesies cendawan entomopatogen masing-masingnya mempunyai spesies inang yang spesifik. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Trizelia 2005, bahwa pada spesies cendawan B. bassiana, isolat yang virulen terhadap serangga hama tidak selalu berasal dari hama yang sama. Hasil uji virulensi dari 13 isolat B. bassiana menunjukkan bahwa isolat B. bassiana yang sangat virulen terhadap ulat krop kubis C. pavonana dari Cibodas berasal dari serangga dan daerah lain yang bukan serangga inang uji yaitu berasal dari inang L. oratorius dari Cianjur. Mortalitas rayap C. gestroi yang disebabkan cendawan entomopatogen M. anisopliae dan F. oxysporum lebih cepat dibandingkan yang disebabkan oleh spesies lainnya yaitu dapat menyebabkan mortalitas rayap 100 dalam periode waktu yang lebih singkat. Hal ini diperkirakan spesies cendawan ini disamping kemampuannya mendegradasi inang, juga dengan sangat cepat menyebarkan metabolit sekundernya yang bersifat racun bagi rayap sehingga terjadi ketidak seimbangan fungsi organ tubuh. Agens hayati penyebab penyakit ”green muscardine” M. anisopliae merupakan spesies patogen yang secara alami menginfeksi lebih dari 200 jenis serangga, termasuk rayap Tanada dan Kaya 1993 dalam Strack 2003. Ferron 1981 di dalam Scholte et al. 2004, menyatakan bahwa di dalam studi histopatologi pada jaringan elaterid yang diinfeksi M. anisopliae memperlihatkan bahwa toksin destruxin membunuh serangga inang dengan merangsang atau memacu terjadinya kemerosotan jaringan serangga inang sehingga kehilangan keutuhan struktural membran dan kemudian terjadi dehidrasi sel. Dalam hal ini penyumbatan spirakel dimungkinkan terjadi sehingga dapat menyebabkan kematian sebelum serangan pada hemocoel. Menurut MacLeod 1963 dalam Tanada dan Kaya 1993, periode dari infeksi sampai pada kematian serangga dapat dalam waktu yang singkat 3 hari dan selama-lamanya 12 hari, dan kebanyakan terjadi dalam rentangan 5 - 8 hari. Periode dapat bervariasi dan juga tergantung pada ukuran dari inang. Kebanyakan serangga mati setelah sore hari antara 1500 dan 1900 jam. Virulensi dan patogenisitas dari cendawan entomopatogen dapat berasosiasi dengan produksi enzim collagenolytic dan mycotoxins. Spesies cendawan M. anisopliae telah sangat populer keefektifannya di dalam pengendalian rayap, bahkan sampai saat sekarang telah banyak biopestisida yang berbasiskan konidia dari cendawan M. anisopliae diedarkan secara komersil. Namun spesies cendawan Fusarium spp. masih diragukan dalam penggunaan sebagai biopestisida walaupun mempunyai daya tinggi dalam membunuh serangga hama, hal ini sehubungan dengan sifatnya yang juga sebagai patogen pada tanaman. Teetor-Barsch dan Roberts 1993 menyatakan cendawan Fusarium diketahui kelimpahannya di alam dan juga keragaman tempat ia berasosiasi di antaranya pada tanaman hidup dan yang telah mati serta pada banyak hewan. Cendawan ini terutama ditemukan berasosiasi dengan serangga. Perhatian khusus diberikan terhadap rentangan inang, teristimewa antara inang tanaman dan serangga, dan memungkinkan potensi cendawan ini untuk mengendalikan hama. Beberapa jenis Fusarium spp. yang bersifat entomopatogen bersifat lemah dan sebagai patogen fakultatif khususnya pada ordo Lepidoptera dan Coleoptera. Cendawan akan mengkolonisasi inangnya yang mati sebagai sapropit. Pada segolongan kecil kasus tingkat patogenisitas terhadap tanaman dan serangga oleh satu isolat juga ditemukan. Tingkat potensi isolat Fusarium yang menyebabkan mortalitas tinggi terhadap serangga juga memperlihatkan spesifikasi inang yang tinggi dan tidak berbahaya terhadap jenis tanaman. Periode waktu kematian rayap oleh cendawan entomopatogen secara umum tidak menunjukkan tanda dan gejala yang nyata pada awal tingkatan infeksi. Hanya setelah infeksi menyebar ke dalam tubuh, rayap menjadi kurang aktif atau menunjukkan kegelisahan. Pada tahapan akhir infeksi, rayap kehilangan tenaga gerak dan diam ditempat lalu kemudian mati, pada tahapan paling ahir dari proses infeksi, kadang-kadang rayap dapat berganti warna menjadi gelap dan tidak dikolonisasi oleh miselia seperti pada kasus rayap yang diinfeksi oleh cendawan M. anisopliae . Kadang-kadang rayap yang telah mati menjadi keras dan 3 - 4 hari setelahnya, rayap berubah warna sesuai warna konidia yang dihasilkan, rayap mati diselimuti warna konidia putih mengindikasikan terserang oleh B. bassiana. Sporulasi in Vivo Pada penelitian ini, sporulasi cendawan pada permukaan tubuh rayap in vivo tidak semua berkorelasi dengan mortalitas namun spesies cendawan yang menunjukkan tingkat patogenisitas yang tinggi seperti A. flavus dari inang rayap tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir dan B. bassiana dari walang sangit juga mampu bersporulasi yang tinggi secara in vivo 78,25 – 97,25 kecuali M. anisopliae dan M. roridum dari tanah. Dalam hal ini M. roridum menunjukan kemampuan bersporulasi in vivo paling rendah Gambar 4.5. Diperkirakan hal ini juga dipengaruhi oleh spesies cendawan, sumber isolat dan faktor lingkungan; cendawan dapat tumbuh pada kondisi kelembaban yang tinggi namun tidak semua dapat bersporulasi dengan baik dan terlihat dengan jelas. Menurut Prior dan Perry 1980 di dalam Butt et al. 2001 dan Tanada dan Kaya 1993, pertama kali mikroorganisme ditemukan sebagai penyebab penyakit pada serangga adalah cendawan sebab pertumbuhannya secara makroskopis nampak dengan nyata pada permukaan serangga inang. Namun beberapa cendawan entomopatogen bentuk pertumbuhannya tipis atau jarang dan tidak nyata karena struktur eksternalnya yang sangat kecil dan sulit dideteksi oleh peneliti. Pertumbuhan dan perkembangan cendawan terutama dibatasi oleh kondisi lingkungan eksternal, kususnya kelembaban yang tinggi atau kelembaban dan temperatur yang memadai untuk bersporulasi dan perkecambahan spora. Rombach 1988 menyatakan bahwa banyak spesies cendawan dapat ditemukan tumbuh pada serangga mati, namun kebanyakan merupakan cendawan saprofit yang menyerang setelah serangga mati. Akan tetapi hanya spesies entomopatogen yang dapat secara aktif menyerang serangga hidup, membunuh inang dan bersporulasi pada inang yang telah mati. Secara keseluruhan lebih dari 700 spesies cendawan dari perkiraan 90 genera adalah merupakan patogen terhadap serangga. Spesies cendawan entomopatogen tersebut ditemukan pada 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Bb -S l Bb -L o Bb -T n Bb -Co Bb -Cr Mb -P s Ma -R l As -C o As- C r My -T n Vl -R l Pa -R l Fu -Sl Fu -R l Pe -C o Pe -C r Ko n tr o l Isolat cendawan entomopatogen M o rt alit as d a n s p or u las i in viv o Mort alit as Sporulasi klass Ascomycotina Cordyceps, Hypocrella dan Torrubiella, Zygomycotina Entomophthorales dan Deuteromycotina kebanyakan dari klass Hyphomycetes. Gambar 4.5. Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap in vivo dan mortalitas rayap

C. gestroi 6 hari setelah diinokulasi dengan suspensi cendawan entomopatogen 10