Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal

(1)

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara tropik dengan iklim dan cuaca yang hangat sepanjang tahun merupakan tempat hidup yang sesuai bagi berbagai organisme perusak kayu seperti rayap, cendawan maupun serangga lainnya dengan keragaman yang tinggi. Diperkirakan hampir 80 – 85% dari luas daratan di Indonesia merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan rayap (Nandika 1999).

Hingga saat ini di dunia terdapat lebih dari 2300 spesies rayap yang dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok ekologi yang berbeda: kayu lembab, kayu kering, tanah (subterranean), arboreal/mound builder dan pohon. Kurang 15% dari keragaman spesies rayap tersebut berada pada tata ruang yang dikelola oleh manusia, dan sekitar 150 spesies diketahui menyerang struktur berbahan baku kayu. Dari sekian banyak spesies rayap 10% atau 200 spesies lebih ditemukan di Indonesia, dan sekitar 20 spesies berperan sebagai hama perusak kayu dan tanaman (Tarumingkeng 2001; Nandika et al. 2003; Yusuf 2004; Lewis 2006).

Diperkirakan berbagai spesies rayap perusak kayu dan bangunan akan terus menjadi bagian integral dari ekosistem Indonesia. Meluasnya pembangunan gedung dan pemukiman ke seluruh pelosok daerah cenderung meningkatkan integrasi antara koloni rayap dengan bangunan, yang berarti ancaman bahaya serangan rayap terhadap kayu dan bangunan di Indonesia semakin tinggi.

Di Indonesia, rayap tanah Coptotermes spp, merupakan spesies rayap perusak kayu bangunan yang paling banyak menyebabkan kerugian. Kerusakan yang diakibatkan oleh serangan spesies rayap ini paling mencolok dibandingkan dengan kerusakan oleh serangan organisme perusak yang lain, dan keadaan ini diperburuk dengan penggunaan spesies-spesies kayu yang keawetannya rendah. Oleh karena itu pengendalian rayap tanah sangat diperlukan untuk mempertahankan masa pakai kayu pada suatu bangunan.

Sampai saat ini berbagai teknologi pengendalian rayap telah dicoba, antara lain adalah: 1) Penggunaan termitisida yang diaplikasikan melalui tanah atau dengan cara impregnasi ke dalam kayu (chemical barrier), 2) Menggunakan penghalang fisik (physical barrier) yaitu untuk mencegah penetrasi rayap pada


(2)

bangunan dan 3) Teknologi pengumpanan (baiting), untuk mengeliminasi koloni rayap.

Pemanfaatan bahan kimia seperti organochlorine sangat efektif untuk pengendalian rayap namun membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Persistensinya yang bertahan lama di lingkungan menyebabkan jenis pestisida ini masuk ke dalam rantai makanan manusia. Sebagai alternatif lain penggunaan organophosphates dan synthetic pyrethroids selain efektif dianggap mempunyai resiko rendah terhadap mammalia dan lingkungan. Di samping penggunaan penghalang fisik seperti penggunaan granit, pasir, koral dan termite mesh untuk pengendalian rayap, perkembangan termitisida saat ini telah mengarah pada penggunaan bahan kimia dengan reaksi lambat seperti hexaflumuron dan bistrifluron (Sornnuwat 1996; Tarumingkeng 2000; Kubota et al. 2007).

Pengendalian rayap secara biologi menggunakan agens hayati dari golongan cendawan, nematoda, virus dan bakteri entomopatogen merupakan alternatif lain pengendalian rayap tanah (Pearce 1997). Penggunaan agens hayati tersebut untuk pengendalian rayap merupakan suatu wacana baru yang belum digunakan di Indonesia (Yusuf et al. 2005). Namun dari beberapa publikasi di negara-negara maju seperti Jepang, Australia, Amerika Serikat dan Perancis, penggunaan agens hayati dari golongan cendawan entomopatogen tampak lebih berhasil untuk pengendalian rayap.

Pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hayati rayap dengan proses atau metode penularan secara langsung maupun tidak langsung, merupakan suatu pilihan teknologi yang tepat dan menarik dikembangkan. Selain mempunyai arti strategis karena dapat memberikan nilai tambah tinggi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pengendalian rayap secara hayati, juga tidak berbahaya bagi lingkungan maupun pemakainya. Studi pemakaian cendawan entomopatogen untuk pengendalian rayap tanah spesies Coptotermes spp. telah dilakukan (Suzuki 1991; Jones et al. 1996; Delate et al. 1995). Cendawan Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin dan Beauveria bassiana (Bals.) Vuillemin yang termasuk kelas Hyphomycetes merupakan spesies yang paling cocok untuk pengendalian rayap (Khan et al. 1991; Suzuki 1991; Milner, et al. 1996). Temperatur optimum untuk pertumbuhan cendawan


(3)

M. anisopliae adalah: 25-30 0C dengan kelembaban 70-95%, dengan demikian kondisi Indonesia merupakan habitat yang sangat cocok.

Pada penelitian ini dipelajari cendawan entomopatogen yang diisolasi dari beberapa sumber inokulum yang terdapat di alam dan dikaji potensinya sebagai bahan pengendalian rayap yang ramah lingkungan.

Perumusan Masalah

Kerusakan kayu bangunan yang diakibatkan oleh rayap di Indonesia sudah sangat besar, apalagi kayu-kayu bangunan pada masa kini hanya ditunjang oleh kayu-kayu yang mempunyai kualitas awet rendah. Bahan kimia yang digunakan untuk mengawetkan kayu kebanyakan berasal dari bahan kimia yang sangat berbahaya bukan hanya terhadap penghuninya melainkan juga terhadap lingkungan. Penggunaan mikrob untuk menekan laju perkembangan rayap adalah salah satu cara pengendalian yang sangat ideal agar keseimbangan lingkungan dapat tercapai dan tidak membahayakan terhadap pemakainya.

Cendawan yang bersifat entomopatogen banyak ditemukan pada berbagai spesies hama tanaman yang telah mati di lapangan, diduga cendawan-cendawan tersebut mempunyai peranan besar atas kematian hama tersebut. Apabila cendawan dapat diisolasi dari tubuh serangga tersebut, maka hal ini akan membuka wacana baru dalam dunia pengawetan kayu, sehingga perkembangan rayap dapat dikendalikan dengan penggunaan cendawan entomopatogen.

Tujuan dan Kegunaan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman dan tingkat keefektifan masing-masing spesies atau isolat cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah Coptotermes spp.. Selain hal ini juga bertujuan untuk mengetahui metode penginfeksian serta penularan cendawan di dalam koloni rayap tanah.

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar maupun sumber informasi bagi pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. dengan menggunakan beberapa spesies cendawan entomopatogen yang efektif dengan metode infeksi dan penularan yang sesuai. Sehingga teknologi proses pemanfaatan mikrob cendawan untuk pembuatan bahan pengendalian rayap diharapkan dapat mendukung industri pestisida. Di samping itu sejalan dengan perhatian dan kesadaran masyarakat akan


(4)

masalah pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran akibat penggunaan bahan kimia anti rayap yang terus meningkat. Dengan demikian penelitian ini dapat mendukung perkembangan dan daya saing industri pengendalian rayap di masa mendatang. Secara umum penelitian ini terkait dengan pendayagunaan sumberdaya alam hayati yang lebih mengefisienkan pemanfaatan mikrob.

Hasil yang Diharapkan Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan:

1. Informasi tentang keragaman spesies atau isolat cendawan entomopatogen yang efektif dimanfaatkan sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. 2. Tingkat keefektifan cendawan dan persentase vektor efektif untuk

pengendalian koloni rayap tanah Coptotermes spp.

3. Menemukan metode yang cocok untuk pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di laboratorium.

4. Langkah awal untuk mencapai paket teknologi pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di Indonesia


(5)

Rayap

Indonesia merupakan wilayah sebaran rayap yang penting di dunia, baik ditinjau dari keragaman jenis serangga tersebut yang mencapai tidak kurang dari 200 jenis atau kurang lebih 10% dari keragaman jenis rayap di dunia, maupun ditinjau dari luasnya sebaran geografis dari Aceh sampai Papua. Kondisi iklim dan tanah serta keragaman jenis tumbuhan di Indonesia yang tinggi sangat mendukung kehidupan rayap, dan 80% daratan Indonesia merupakan habitat yang baik bagi kehidupan berbagai jenis serangga ini (Nandika et al. 2003). Beberapa faktor dapat menyebabkan rayap menyerang bangunan, antara lain kayu yang tertimbun tanah pada waktu pembangunan, ada celah pada pondasi tembok, sistem ventilasi kurang baik, kayu yang berhubungan langsung dengan tanah dan kondisi biofisik tapak bangunan itu sendiri yang menguntungkan kehidupan rayap.

Menurut Lewis (2006) perkiraan kerugian yang ditimbulkan oleh rayap secara global sulit ditemukan pada referensi tetapi pasti mencapai milyaran dollar Amerika setiap tahun. Di Indonesia, pada tahun 2000 kerugian ekonomi yang disebabkan oleh serangan rayap pada bangunan diperkirakan mencapai 200 – 300 juta dollar Amerika (Yusuf 2004).

Rayap merupakan serangga sosial yang tergolong ke dalam ordo Isoptera yang hidup dalam satu koloni dengan organisasi individu yang secara morfologi dibedakan menjadi bentuk dan kasta yang berlainan. Kasta yang terdapat di dalam koloni rayap meliputi kasta pekerja, kasta prajurit dan kasta reproduktif, masing-masing kasta melakukan fungsi yang berbeda satu dengan lainnya (Pearce 1997).

Kasta pekerja merupakan anggota yang sangat penting dalam koloni rayap, tidak kurang dari 80 – 95% populasi dalam koloni rayap merupakan individu-individu kasta pekerja. Kasta pekerja umumnya berwarna pucat dengan kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga nampak menyerupai nimfa. Kasta prajurit berfungsi melindungi koloni terhadap gangguan dari luar, khususnya semut dan vertebrata predator. Kasta prajurit mampu menyerang musuhnya


(6)

dengan mandibel yang dapat menusuk, mengiris dan menjepit. Biasanya gigitan kasta prajurit pada tubuh musuhnya sukar dilepaskan sampai prajurit itu mati sekalipun (Nandika et al. 2003)

Kasta reproduktif terdiri dari individu-individu seksual yaitu betina (ratu) yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Kasta ini dibedakan menjadi kasta reproduktif primer dan kasta reproduktif suplementer atau neoten. Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang bersayap dan merupakan pendiri koloni. Menurut Richard dan Davies (1996) neoten muncul segera setelah kasta reproduktif primer mati atau hilang setelah pemisahan koloni. Neoten dapat terbentuk beberapa kali dalam jumlah yang besar sesuai dengan perkembangan koloni. Selanjutnya, neoten menggantikan fungsi kasta reproduktif primer untuk perkembangan koloni.

Krishna dan Weesner (1969) menyatakan rayap adalah serangga sosial yang dapat diklasifikasikan ke dalam 6 famili dan 15 sub famili. Famili tersebut adalah: Mastotermitidae, Kalotermitidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae dan Termitidae. Rayap tanah genus Coptotermes termasuk ke dalam sub famili Coptotermitinae famili Rhinotermitidae. Menurut Tambunan dan Nandika (1987), Coptotermes spp. merupakan salah satu rayap tanah paling luas serangannya di Indonesia, dan diklasifikasikan sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Sub-klas : Pterigota

Ordo : Isoptera

Famili : Rhinotermitidae Sub-famili : Coptotermitinae Genus : Coptotermes

Thapa (1981) menyatakan genus Coptotermes memiliki kepala bewarna kuning, antena, labrum dan pronotum kuning pucat, bentuk kepala bulat ukuran panjang sedikit lebih besar dari lebarnya, memiliki fontanel yang lebih lebar. Antena rata-rata terdiri dari 15 segmen; segmen kedua dan segmen ke empat sama panjangnya. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di ujungnya; sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala


(7)

tanpa mandibel 1,56 mm – 1,68 mm. Lebar kepala 1,40 mm – 1,44 mm. Bagian abdomen yang bewarna putih kekuning-kuningan ditutupi rambut menyerupai duri. Suratmo (1974) menyatakan panjang badan kasta reproduktif 7,5 mm – 8,0 mm, kasta pekerja 4,5 mm – 5,0 mm dan prajurit 5,0 mm – 5,3 mm.

Tarumingkeng (2004) menyatakan, di Indonesia jenis Coptotermes yang telah teridentifikasi adalah a). Coptotermes curvignathus Holmgren merupakan jenis terbesar dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 14 -16, panjang kepala prajurit (termasuk mandibel) 2,4 - 2,6 mm. b). Coptotermes travians Holmgren dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 13 - 15; panjang kepala prajurit 1,8 - 2,1 mm mandibel relatif pendek, kira-kira sepanjang setengah panjang kepala c). Coptotermes havilandi Holmgren (C. javanicus Kemner) dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 15 - 18; panjang kepala prajurit 2,0 - 2,2. Mandibel lebih panjang dari pada C. travians d). Coptotermes kalshoveni Kemner dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 13 - 14 panjang kepala prajurit 1,6 - 1,7 mm. Jenis ini merupakan yang terkecil di antara genus Coptotermes.

Pengendalian Rayap

Pengendalian rayap tanah di Indonesia telah banyak dilakukan dengan cara mengimpregnasikan bahan pengawet (termitisida) ke dalam kayu, melakukan penyemprotan ke dalam tanah (soil treatment), sistim pengumpanan dan kontak langsung. Yusuf (2001b), menyatakan bahwa sampai saat ini upaya pengendalian rayap yang populer di Indonesia adalah melalui penggunaan insektisida, baik metode perlakuan kayu maupun perlakuan tanah (soil treatment); dengan cara tersebut akan terbentuk rintangan kimiawi (chemical barrier) baik di kayu maupun tanah sekeliling bangunan.

Menurut Pearce (1997), metode tradisional meliputi pencelupan kayu pada aspal batu bara, petrol, creosote atau pentachlorophenol, juga dapat memberikan perlindungan pada kayu untuk beberapa tahun. Selain hal tersebut membakar pada bahagian ujung kayu yang kontak dengan tanah atau melapisi kayu dengan minyak mesin atau diesel juga dapat memberikan perlindungan jangka pendek.


(8)

Garam metal dan oksida, seperti merkuri klorida, copper sulphate, merkuri, zinc oksida dapat efektif untuk 3-5 tahun. Chlorpyrifos, permethrin, bifenthrin, cypermethrin dan deltamethrin juga efektif, tetapi lebih mahal dan kegunaannya dibatasi untuk bangunan yang bernilai tinggi.

Pearce (1997) menyatakan bahwa, teknik pengumpanan lebih meng-untungkan karena tanah tidak lagi terkontaminasi oleh bahan kimia, dan dapat meringankan pekerjaan dari perlakuan yang intensif. Caranya yaitu menempatkan umpan yang tidak beracun dekat koloni rayap dan kemudian mengulangi penempatan umpan yang mengandung racun. Keefektifan umpan tergantung pada perilaku rayap, yang penting rayap harus dapat menemukan umpan dan dengan reaksi racun yang lambat rayap dapat menyebarkan ke koloninya. Hal tersebut dapat terlaksana jika umpan lebih menarik dari pada makanan di sekeli-lingnya. Gula, madu, penambahan jamur pelapuk, asam amino, sumber nitrogen bahkan feromon dapat meningkatkan laju konsumsi.

Yusuf (2001a), melakukan penelitian pengendalian terhadap rayap tanah Coptotermes sp. dengan menggunakan chlorpenapyr pada berbagai konsentrasi dengan sistem pengumpanan, hasil penelitiannya menunjukan bahwa waktu aplikasi dan konsentrasi perlakuan sangat mempengaruhi mortalitas yang terjadi. Chlorpenapyr juga dapat diaplikasikan dengan metode duster (Yusuf, 2001b).

Perlakuan pada kayu yang juga penting adalah fumigasi, baik dengan sulphuryl fluoride atau methyl bromides. Perlindungan museum, perpustakaan dan tempat penyimpanan dokumen cocok menggunakan cara fumigasi ini terutama untuk serangan rayap kayu kering. Selain ini juga digunakan electroguns yang mengandalkan gas galleries. Metode lebih baru yang sedang dicobakan adalah membakar propane (gas metan) dekat kayu yang terinfeksi rayap dengan menaikan suhu sampai 66 oC; cara ini bermanfaat untuk perlakuan khusus pada rayap kayu kering (Pearce 1997).

Cara pengendalian lainnya, seperti dengan menggunakan nematoda entomopatogen Steinernema carpocapsae juga dapat dilakukan (Bakti 2004). Cates (2007) menyatakan bahwa, penggendalian serangga dapat juga menggunakan agens hayati lain, termasuk berbagai spesies cendawan, bacteria, nematoda dan virus.


(9)

Cendawan Entomopatogen

Cendawan adalah organisme multi seluler yang berfilamen dan memiliki khitin, khitosan, glukan dan mannan dalam dinding selnya. Klasifikasinya didasarkan pada produksi konidia atau spora, struktur morfologi, alat reproduksi, ciri-ciri koloni dan sifat hifanya (Lay & Hastowo 1992).

Cendawan entomopatogen pertama kali dilaporkan lebih dari 2000 tahun yang lalu, teridentifikasi di China pada cendawan Cordyceps (Ascomycota) yang menginfeksi larva Lepidoptera (Boucias & Pendland 1998). Carruthers dan Hurar 1990 dalam Oliveira et al. (2003) menyatakan bahwa cendawan entomopatogen merupakan cendawan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengendalian hayati penting untuk banyak serangga hama. Pengendalian hayati lebih berhasil bila dilengkapi dengan pemanfaatan cendawan entomopatogen.

Keragaman antar jenis cendawan entomopatogen sangat tinggi. Menurut klasifikasi yang dikemukakan oleh Ainsworth 1963 dalam Butt et al. (2001), cendawan terdiri dari dua Divisi yaitu Myxomycota dan Eumycota. Cendawan entomopatogen ditemukan pada Divisi Eumycota yang terdiri dari sub-divisi: Mastigomycotina, Zygomycotina, Ascomycotina, Basidiomycotina dan Deuteromycotina. Menurut Tanada dan Kaya (1993) Kebanyakan cendawan entomopatogen ditemukan pada sub-divisi Zygomycotina, klas Zygomycetes, ordo Entomophthorales; sub-divisi Ascomycotina, klas Pyrenomycetes, ordo Sphaeriales, klas Laboulbeniomycetes, ordo Laboulbeniales; dan pada sub-divisi Deuteromycotina, klas Hyphomycetes, ordo Moniliales.

Beberapa genus cendawan entomopatogen yang tergolong ke dalam sub-divisi Deuteromycotina, klas Hyphomycetes, ordo Moniliales dan famili Moniliaceae, misalnya: Aspergilus, Beauveria, Fusarium, Metarhizium, Paecilomyces dan Verticilium (Boucias & Pendland 1998).

Keragaman intraspesies pada cendawan entomopatogen umum terlihat pada perbedaan virulensinya (Hajek & Leger 1994). Hal-hal yang mempengaruhi perbedaan keragaman intraspesies di antaranya adalah sumber isolat, inang dan faktor daerah geografis asal isolat (Varela & Morales 1995; Beretta et al. 1998). Hal ini akan berakibat pada keragaman karakter di dalam spesies baik secara fisiologis maupun genetik. Secara umum dikemukakan bahwa strain dari spesies


(10)

cendawan patogen yang diisolasi dari satu jenis inang lebih virulen untuk inang tersebut dibandingkan dengan strain yang diisolasi dari inang yang lain. Seperti yang dikemukakan oleh Boucias dan Pendland (1998), cendawan B. bassiana yang diisolasi dari lingkungan koloni rayap lebih tinggi virulensinya jika diinfeksikan terhadap rayap.

Boucias dan Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang dan dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya sehingga nutrisi di dalam hemolymph habis oleh pertumbuhan cendawan yang begitu cepat, sehingga menyebabkan inang akan mati. Di samping itu cendawan dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan zat beracun yang mengganggu perkembangan inang secara normal. Beberapa zat beracun (toxin) yang dihasilkan cendawan yang dapat membunuh serangga adalah: beauvericin oleh B. bassiana, Paecilomyces, Fusarium dan bassianolide oleh B. bassiana, cyclosporin A oleh B. bassiana, Verticillium, Fusarium, Tolypocladium dan oosporein oleh B. bassiana, asam oksalat oleh Beauveria brongniartii, destruxins oleh M. anisopliae dan Aspergillus ochraceus, cytochalasins oleh M. anisopliae, swainsonine oleh M. anisopliae, aflatoxins oleh Aspergillus, asam kojic oleh Aspergilus flavus dan restrictocin oleh Aspergillus fumigatus.

Ferron 1981 di dalam Scholte et al. (2004), menyatakan bahwa di dalam studi histopathological pada jaringan elaterid yang diinfeksi M. anisopliae memperlihatkan bahwa toxin (destruxin) membunuh serangga inang dengan merangsang atau memacu terjadinya kemerosotan jaringan serangga inang. Hal ini mengakibatkan keutuhan struktural membran hilang, kemudian terjadi dehidrasi sel akibat kehilangan cairan. Dalam hal ini memungkinkan terjadinya penyumbatan spiracles dan dapat menyebabkan kematian sebelum penyerbuan pada hemocoel terlihat nyata dan pembentukan tubuh hifa masih sedikit.

Kemampuan patogen untuk bisa menimbulkan penyakit ditentukan oleh berbagai faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan. Dari segi patogen, dosis dan cara aplikasi akan mempengaruhi mortalitas serangga. Dari segi inang, berbagai faktor fisiologi dan morfologi inang mempengaruhi kerentanan serangga terhadap cendawan entomopatogen, seperti kerapatan populasi, perilaku, umur, nutrisi,


(11)

genetika dan perlakuan. Salah satu faktor yang berperan penting dalam keberhasilan penggunaan cendawan entomopatogen adalah stadia perkembangan serangga karena tidak seluruh stadia dalam perkembangan serangga rentan terhadap infeksi cendawan. Dari segi lingkungan, berbagai faktor lingkungan seperti radiasi matahari, suhu, kelembaban relatif, curah hujan dan tanah sangat mempengaruhi efikasi cendawan entomopatogen terhadap serangga hama. Semua faktor lingkungan saling berinteraksi, dan interaksi yang komplek dan dinamik ini menentukan efikasi cendawan (Inglis et al. 2001).

Di antara cendawan entomopatogen yang dimanfaatkan untuk mengendalikan rayap Coptotermes sp., Reticulitermes flavipes atau Odontotermes adalah M. anisopliae dan B. bassiana. Kedua jenis cendawan ini telah diuji keefektifannya oleh Zoberi 1995 dalam Bayon et al. (2000) di laboratorium dengan sistem pengumpanan dan kontak secara langsung. Percobaan ini mengkontaminasi rayap R. flavipes dengan M. anisopliae yaitu menempatkan konidia cendawan pada rayap pekerja. Hal ini menghasilkan 100% mortalitas dalam waktu 5 hari, dan 12 hari pada metode pengumpanan. Penelitian lainnya yaitu dengan cara pemindahan rayap kasta pekerja yang terkontaminasi sebagai vektor penyakit cendawan ke rayap yang sehat di dalam cawan petri. Dengan cara ini rayap yang sehat mati setelah 8 hari.

Dengan metode pengumpanan selembar kertas saring, Suzuki (1991) membuktikan keefektifan patogen M. anisopliae terhadap Coptotermes formosanus dan Reticulitermes speratus dengan hasil LT50 11 hari. Selain hal ini, kertas terkontaminasi spora M. anisopliae juga berperan penting untuk laju mortalitas rayap Cryptotermes brevis (Nash & Moein 1997 dalam Bayon et al. 2000). Milner et al. (1996) menyatakan spesies cendawan M. anisopliae dan B. bassiana tidak bersifat patogen terhadap mamalia dan spesifik terhadap rayap.

Saat ini M. anisopliae telah secara komersil dikembangkan ke dalam suatu produk yang disebut dengan Bio-BlastTM, termitisida hayati yang telah di daftar oleh US EPA pada tahun 1994 (Rath & Tidbury 1996; Krueger et al. 1995 dalam Bayon et al. 2000) untuk diaplikasikan di atas tanah. Cloyd (2003) menyatakan pada uji laboratorium, kematian rayap dapat terjadi pada hari ke 4 – 10,


(12)

tergantung pada temperatur. Viabilitas cendawan menurun pada temperatur tinggi dan virulensi cendawan menurun pada temperatur rendah.

Maniania et al. (2002) telah melakukan studi di lapangan selama dua musim untuk menilai kemanjuran cendawan entomopatogen M. anisopliae. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa formulasi granular dapat bermanfaat sebagai pengendalian rayap di ekosistem pertanian jagung.


(13)

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengawetan Kayu UPT Balai Litbang Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor (IPB), sejak Februari 2004 sampai dengan Desember 2005. Secara umum tahapan prosedur pelaksanaan diringkas pada Bab ini dan secara rinci dibahas pada bab-bab berikutnya.

Tahap Persiapan

Spesies Rayap yang Digunakan

Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit rayap tanah spesies Coptotermes gestroi Wasmann (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Balai Litbang Biomaterial LIPI Cibinong, dan spesies Coptotermes curvignathus Holmgren yang dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB.

Sumber Isolat

Isolat cendawan entomopatogen diperoleh dari serangga hama tanaman (inang) terinfeksi yaitu ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak (Spodoptera litura F.), penghisap polong kedele (Riptortus linearis L.), walang sangit (Leptocorisa oratorius F), rayap tanah (C. curvignathus), tanah dan pasir.

Isolat yang berasal dari tanah dan pasir terlebih dahulu dilakukan teknik perangkap (trapping technique) terhadap cendawan entomopatogen menggunakan hama gudang Tenebrio molitor (Keller & Zimmermann 1989). Masing-masing tanah dan pasir ditempatkan di dalam cawan petri berdiameter 15 cm, kemudian di tempatkan ke dalamnya 20 ekor hama gudang T. molitor dan diinkubasi pada suhu ruangan selama 2 minggu. T. molitor yang mati dan dikolonisasi oleh cendawan entomopatogen diambil dan biarkan bersporulasi di dalam cawan petri yang diberi alas kertas tisu lembab.


(14)

Prosedur Isolasi

Dalam tabung reaksi, sumber isolat cendawan entomopatogen ditambah air steril yang mengandung 0,05% triton X-100 dan diaduk selama 5 menit sehingga terbentuk suspensi konidia. Suspensi konidia tersebut diambil 0,5 ml, kemudian ditambahkan dengan 4,5 ml akuades steril di dalam tabung reaksi. Suspensi sebanyak 0,1 ml diinokulasikan pada media Saboraud Dextrose Agar with Yeast extract (SDAY) di dalam cawan petri. Komposisi media SDAY adalah dekstrosa 10 g, pepton 2,5 g, ekstrak khamir 2,5 g, agar-agar 20 g dalam akuades 1 liter yang mengandung 250 ppm chloramphenicol (Samuels et al. 2002), dan diinkubasi pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 4-6 hari. Koloni yang membesar dengan bentuk berbeda atau warna berbeda pada media biakan, diambil dan masing-masing koloni tersebut diinokulasi secara terpisah pada media SDAY baru. Kultur murni didapatkan dengan suksesi inokulasi suatu koloni pada media SDAY. Kemudian stok kultur isolat disimpan pada suhu 4 0C sampai waktu penggunaan (Sudiyani et al. 2002).

Prosedur Identifikasi

Identifikasi dilakukan secara visual terhadap pertumbuhan koloni isolat pada media SDAY dalam cawan petri. Untuk pengamatan mikroskopik terlebih dahulu isolat tersebut ditumbuhkan pada kaca objek cekung dengan metode slide culture (Becnel 1997). Identifikasi cendawan mengacu pada prosedur yang diurai oleh Barneet dan Hunter (1972), Domsch et al. (1980), Singh et al. (1991) dan Ellis (1993), yaitu dengan melihat ciri morfologi khas yang dimiliki oleh masing-masing cendawan.

Persiapan Suspensi Konidia

Sebelum digunakan, isolat hasil isolasi dibiakan kembali pada media SDAY di cawan petri berdiameter 9 cm dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 24 0

C dan kelembaban relatif 95% selama 3 minggu. Kemudian disiapkan suspensi menggunakan air steril yang telah mengandung 0,05% Triton X-100 dengan kerapatan sebagai berikut: a) 107 konidia/ml untuk uji tapis (screening), b) 105


(15)

konidia/ml, 5.105 konidia/ml, 106 konidia/ml, 5.106 konidia/ml dan 107 konidia/ml untuk uji keefektifan (bioassay) terhadap rayap, c) LC95 dari cendawan terseleksi pada uji keefektifan untuk uji metode kontak dan umpan.

Uji Tapis dan Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomopatogen Terhadap Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann

Suspensi konidia dari masing-masing isolat disiapkan seperti diterangkan sebelumnya. Pada setiap unit percobaan sebanyak 20 ekor rayap pekerja dan 2 ekor prajurit C. gestroi dicelupkan ke dalam suspensi konidia selama 4 detik sesuai perlakuan dan langsung ditempatkan pada cawan petri Ø 9 cm yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan rayap. Seluruh unit percobaan dipelihara pada kondisi gelap pada suhu ruangan dan mortalitas rayap dihitung setiap hari selama 6 hari setelah inokulasi.

Metode Kontak dan Umpan

Kontak (Contact method)

Suspensi konidia cendawan disiapkan seperti diterangkan sebelumnya. Pada setiap unit percobaan 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor prajurit dicelupkan ke dalam LC95 suspensi cendawan Metarhizium brunneum Petch, kemudian ditempatkan pada cawan petri Ø 9 cm yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan. Nilai LC95 diketahui dari percobaan sebelumnya (uji keefektifan).

Umpan (Baiting method)

Suspensi konidia cendawan disiapkan seperti diterangkan sebelumnya. Kertas saring bewarna biru yang diwarnai dengan Nile blue A 0,05% kemudian diinokulasi dengan LC95 cendawan M. brunneum, dikering anginkan dan ditempatkan di dalam cawan petri Ø 9 cm. Sejumlah 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor prajurit untuk setiap ulangan dipelihara di dalamnya.


(16)

Uji Aplikasi dengan Penularan di Laboratorium

Uji Penularan di dalam koloni rayap tanah C. gestroi

Dalam percobaan ini sebagian populasi rayap (vektor) diinokulasi dengan cendawan pada konsentrasi LC95. Persentase populasi vektor yang digunakan adalah 10%, 20%, 30%, 40%, 50% terhadap populasi total. Populasi total yang digunakan adalah 20 ekor rayap pekerja dan dua ekor rayap prajurit. Cendawan entomopatogen yang digunakan adalah isolat yang menunjukkan patogenisitas tinggi pada uji tapis. Vektor dipelihara bersama-sama dengan rayap sehat pada unit percobaan (cawan petri Ø 9 cm) yang telah dialasi kertas saring sebagai sumber makanan. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai 2 minggu.

Uji Penularan di dalam koloni rayap tanah C. curvignathus

Pada penelitian ini digunakan spesies cendawan entomopatogen dan proporsi vektor (%) terseleksi pada uji penularan koloni rayap tanah C. gestroi. Rayap tanah C. curvignathus sebanyak 100 ekor pekerja dan 10 ekor prajurit ditempatkan ke dalam setiap unit percobaan (tabung glas Ø 7,5 cm dengan tinggi 10 cm) yang telah di beri kayu pinus (2 cm x 1 cm x 1 cm) sebagai sumber makanan dan 20 mg tanah (Falah 2005). Unit-unit percobaan tersebut dipelihara pada suhu ruangan dengan kondisi gelap selama 2 minggu. Pengamatan hanya dilakukan di akhir penelitian. Bagan alur penelitian ini disajikan pada Gambar 3.1


(17)

III

Koleksi Lab. Peremajaan

Pemeliharaan Rayap Koleksi

Cendawan

Nile blue 0,05%

Perbanyakan Diisolasi dari Inang

I

Isolat murni

Pemurnian

Suspensi (107 konidium/ml )

Variabel: Mortalitasi, Sporulasi Rayap uji Variabel: Identifikasi Rayap Vektor: 10% 20% 30% 40% 50%

Keragaman isolat (spesies)

Isolat (spesies) terpilih

Variabel: Mortalitas

Lethal Time & Metode terpilih

Variabel: Mortalitas

Spesies cendawan entomopatogen dengan LC, metode dan % vektor efektif untuk pengendalian rayap tanah

C. gestroi dan C curvignathus di Laboratorium

III

II

Keterangan:

1. Keragaman spesies atau isolat cendawan entomopatogen yang digunakan:

diisolasi dari sumber inang di alam dan koleksi Laboratorium Patologi Serangga Departemen HPT Fak. Pertanian IPB

2. I, II & III: Tahapan penelitian ke I, II & III

3. Vektor: Rayap terkontaminasi cendawan entomopatogen

Gambar 3.1. Diagram cakupan penelitian proses pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai patogen untuk pengendalian rayap tanah

C. gestroi dan C. curvignathus di laboratorium

Variabel: Karakterisasi fisiologi cendawan

Variabel: Mortalitas Metode:

Kontak dan umpan Kerapatan

0, 10 5, 5.10 5, 15.106,

107konidium/ml

Lethal Concentration


(18)

Analisis Data

Untuk setiap tahapan penelitian, data hasil penelitian dianalisis berdasarkan rancangan penelitian sebagai berikut:

1. Tahap penelitian I, data hasil penelitian variabel mortalitas rayap C. gestroi dan sporulasi in vivo dengan perlakuan 16 isolat cendawan entomopatogen, karakterisasi fisiologis cendawan (viabilitas, diameter koloni dan sporulasi in vitro) spesies cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch., Beauveria bassiana (Bals) Vuill., Fusarium oxysporum Link., Aspergillus flavus Link., Myrothecium roridum Tode EXFR dan kontrol dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (Steel & Torrie 1993).

2. Tahap penelitian II, untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing spesies cendawan (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus) dengan tingkatan kerapatan konidia (105, 5.105,

106, 5.106, 107 konidia/ml dan kontrol) terhadap mortalitas rayap C. gestroi, lethal concentrations (LC) untuk uji keefektifan berbagai spesies cendawan dan lethal time (LT) pada uji metode kontak dan umpan adalah bersasarkan analisis probit (Finney 1971).

3. Tahap penelitian III, untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing spesies cendawan (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum ) dengan proporsi vektor (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan kontrol) terhadap mortalitas rayap C. gestroi pada uji aplikasi dengan metode penularan di laboratorium dianalisis berdasarkan analisis regresi (Mattjik & Sumertajaya, 2000) sedangkan terhadap mortalitas rayap C. curvignathus dengan perlakuan proporsi vektor 10% yang diinokulasi dengan LC95 M. brunneum dan kontrol di analisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (Steel & Torrie 1993).


(19)

ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN

ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM

DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH

COPTOTERMES GESTROI

WASMANN

Abstrak

Cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau inokulum di alam yaitu dari ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak (Spodoptera litura

F.), walang sangit (Leptocorisa oratorius F.), penghisap polong (Riptortus linearis L.), rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren.), tanah dan pasir telah diisolasi dan identifikasi untuk menentukan patogenisitasnya terhadap rayap

tanah Coptotermes gestroi Wasmann, kemudian masing-masing isolat

ditempatkan pada suhu 4 0C. Sebelum digunakan, semua isolat dikulturkan

kembali pada media agar Sabouraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) dan data yang diperoleh dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji sidik ragam. Perbedaan antara isolat diuji lanjut menggunakan Duncan's Multiple Range Test. Hasil isolasi mengindikasikan keragaman spesies cendawan lebih tinggi pada inang yang berasal dari hama tanaman terinfeksi dibandingkan dari sumber inokulum yang berasal dari tanah dan pasir, setelah diidentifikasi beberapa spesies cendawan yang ditemukan adalah: Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok, Metarhizium brunneum Petch, Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith,

Penicillium citrinum Thom. Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link., Myrothecium roridum Tode ExFR, Fusariumoxysporum Link., dan

Fusarium solani Link., spesies B. bassiana paling dominan. Uji patogenisitas mengindikasikan bahwa umumnya isolat bersifat patogen terhadap rayap dan dapat menyebabkan mortalitas lebih dari 60% setelah 6 hari inokulasi. Mortalitas rayap tertinggi disebabkan oleh M. anisopliae dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari inang walang sangit, F.oxysporum dari inang ulat grayak, dan A.flavus dari inang rayap tanah yaitu dapat menyebabkan mortalitas rayap 100%, dan diikuti oleh kemampuan bersporulasi secara in vivo yang cukup tinggi (76,25% - 96,25%) kecuali spesies

M. anisopliae dan M. roridum. Kemudian isolat-isolat terseleksi disiapkan untuk dipelajari karakterisasi fisiologisnya, hasilnya mengindikasikan: kemampuan berkecambah tertinggi oleh M. brunneum dari pasir, diameter koloni tertinggi oleh F. oxysporum dari inang ulat grayak dan kemampuan bersporulasi secara in vitro tertinggi oleh B. bassiana dari inang walang sangit.

Kata kunci: Bio-kontrol, uji tapis, cendawan entomopatogen, patogenisitas, karakter fisiologis, C. gestroi


(20)

Pendahuluan

Cendawan entomopatogen termasuk genera cendawan yang berasosiasi dengan serangga dan beberapa spesies arthropoda lainnya (seperti laba-laba dan kutu) dengan berbagai cara, yaitu sebagai saprofit, kommensalistik, parasit atau patogen (Boucias & Pendland 1998). Di pertanian dan perkebunan di Indonesia juga banyak ditemukan serangga terinfeksi oleh cendawan entomopatogen. Diharapkan cendawan tersebut dapat diisolasi dan dibiakkan pada media sintetik untuk dimanfaatkan sebagai agens pengendalian rayap secara hayati. Untuk tujuan ini diperlukan koleksi dan uji tapis cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam untuk mengetahui tingkat keragaman spesies dan keefektifannya terhadap rayap. Menurut Keller dan Zimmermann (1989), cendawan entomopatogen hanya dapat menginfeksi satu atau beberapa jenis serangga saja, karena jenis serangga secara umum jarang ditemukan mempunyai tingkat kerentanan yang serupa.

Di samping hal tersebut juga perlu dipelajari kemampuan cendawan bersporulasi secara in vivo dan in vitro serta informasi tentang karakter fisiologis lainnya. Hal ini penting dilakukan karena cendawan entomopatogen bersifat spesifik dalam hubungannya dengan inang dan potensinya untuk dapat diperbanyak secara massal, serta dapat tersebar luas setelah bersporulasi pada

inang sasaran di dalam koloni. Menurut Behle et al. (1999), cendawan

entomopatogen mempunyai keuntungan-keuntungan dibanding migro organisme patogen lainnya diantaranya: cendawan cenderung mempunyai sebaran inang yang lebih luas, beberapa cendawan entomopatogen menghasilkan spora yang toleran terhadap proses pengawetan lewat pengeringan dan menghasilkan stabilitas yang bagus dalam masa penyimpanan.

Pada penelitian pendahuluan, penggunaan cendawan entomopatogen yang diperoleh dari hama tanaman dengan kerapatan konidia 108 konidia/ml dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah inokulasi. Pada penelitian berikut, dicoba penggunaan cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau inokulum di alam yang meliputi isolasi, identifikasi, dan uji tapis cendawan


(21)

dengan tujuan untuk mendapatkan isolat cendawan entomopatogen yang efektif dimanfaatkan sebagai pengendali rayap C. gestroi.

Bahan dan Metode

Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pengawetan Kayu UPT Balai Litbang Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB).

Jenis Rayap yang Digunakan

Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan kasta prajurit spesies rayap tanah C. gestroi (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Balai Litbang Biomaterial LIPI Cibinong selama 2 tahun.

Persiapan Isolat Cendawan

Sumber isolat cendawan entomopatogen dikoleksi dan diisolasi dari hama tanaman terinfeksi, tanah dan pasir mengacu pada Bab III.

Prosedur Isolasi

Prosedur isolasi telah dijelaskan pada Bab III.

Prosedur Identifikasi

Prosedur identifikasi telah dijelaskan pada Bab III.

Prosedur Perbanyakan

Perbanyakan dilakukan pada media SDAY dengan cara menginokulasikan konidia kultur murni cendawan di dalam cawan petri. Biakan diinkubasikan selama 3 minggu dalam inkubator dengan suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95%. Untuk menjaga tingkat virulensinya sebelum perlakuan cendawan diremajakan dengan cara menginfeksikan ke serangga sasaran (rayap). Rayap


(22)

yang terinfeksi cendawan dibiarkan selama 2 minggu sampai bersporulasi (Ansari

et al. 2004), kemudian cendawan dari tubuh rayap diisolasi lagi sampai didapatkan lagi kultur murni. Kultur murni tersebut dibiarkan bersporulasi sempurna kurang lebih 3 minggu sehingga siap digunakan sebagai bahan uji. Pada percobaan ini cendawan yang digunakan untuk pengujian adalah pada perbanyakan kedua (F2). Keberhasilan peremajaan ditentukan oleh berhasilnya cendawan menginfeksi dan bersporulasi pada tubuh rayap.

Penyediaan Suspensi Konidia

Suspensi konidia disiapkan dengan menambahkan 2 ml akuades steril yang telah mengandung 0,05% Triton X-100 ke dalam cawan petri berisi biakan cendawan yang telah berumur 3 minggu. Cawan digoyang-goyang, kemudian dengan bantuan kuas kecil steril konidia dapat terlepas. Konidia tersebut disaring dengan kain kasa dan dilakukan 4 kali pengenceran, selanjutnya dilakukan pengenceran dengan air sampai diperoleh konsentrasi yang diinginkan dengan kerapatan sebagai berikut: a). 107 konidia/ml untuk uji patogenisitas dan uji sporulasi in vivo, b). 106 konidia/ml untuk uji daya kecambah dan diameter koloni, c). 105 konidia/ml untuk uji sporulasi in vitro. Konidia dihitung dengan menggunakan haemocytometer.

Uji Patogenisitas

Suspensi konidia masing-masing isolat disiapkan seperti diterangkan di atas. Sebanyak 80 ekor kasta pekerja dan delapan ekor kasta prajurit rayap C. gestroi dicelupkan kedalam 0,50 ml suspensi konidia yang telah diaduk. Kontrol hanya dicelupkan dalam larutan 0,05% Triton X-100. Kertas saring Whatman no. 40 ditempatkan kedalam cawan petri sebagai sumber makanan kemudian rayap (20 ekor pekerja dan dua ekor prajurit) yang telah diinokulasi cendawan ditempatkan ke dalamnya. Semua perlakuan dipelihara pada ruangan dengan kondisi gelap dan mortalitas dihitung setiap hari selama satu minggu. Rayap yang mati diinkubasi pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 5-7 hari untuk melihat sporulasi cendawan pada tubuh rayap yang telah mati. Percobaan diulang 4 kali.


(23)

Sporulasi in Vivo

Cendawan yang menyerang serangga akan bersporulasi yaitu miselianya tumbuh di permukaan tubuh rayap yang mati. Data untuk pengujian sporulasi in vivo diambil dari data rayap yang mati pada uji patogenisitas yang diinkubasi pada suhu 24 0C dan RH 95% selama 5-7 hari. Setiap perlakuan diulang 4 kali. Persentasi sporulasi dihitung dengan rumus:

Sporulasi = Rayap terkolonisasi X 100% Jumlah rayap perlakuan

Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen in Vitro

Evaluasi daya kecambah konidia

Pengamatan daya kecambah konidia menggunakan metode yang dilakukan oleh Junianto dan Sukamto 1995 dalam Trizelia (2005). Media SDAY (Ø 0,5 cm tebal 1-2 mm) yang telah ditetesi suspensi konidia berkerapatan 106 konidia/ml diletakkan di atas objek gelas steril, kemudian dimasukkan kedalam cawan petri dan diinkubasi pada suhu 24 0C selama 12 - 24 jam. Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Persentase konidia yang berkecambah dihitung dari 100 konidia. Konidia

dinyatakan telah berkecambah apabila tabung kecambah (germ tubes) telah

muncul lebih panjang dari diameter konidia.

Diameter koloni

Media SDAY yang telah ditumbuhi miselia masing-masing isolat berumur 5 hari dengan dimeter 0,8 cm ditumbuhkan pada media SDAY baru di dalam cawan petri dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 24 0C. Diameter koloni dari masing-masing isolat diukur setelah hari ke 15.

Sporulasi in vitro

Untuk menghitung sporulasi masing-masing isolat pada media SDAY, disiapkan kerapatan suspensi konidia cendawan 105 konidia/ml. Suspensi konidia masing-masing isolat sebanyak 0,1 ml dikulturkan pada media SDAY dalam


(24)

cawan petri (Ø 9 cm), dan diinkubasi selama 15 hari pada suhu 24 0C. Kemudian biakan cendawan dimasukkan ke dalam wadah erlenmeyer dan ditambahkan 40 ml aquades steril, dikocok dengan vortex selama 5 menit, disaring dan dilakukan pengenceran sampai 4 kali. Kerapatan konidia dihitung menggunakan

haemocytometer dan rata-rata konidia untuk setiap cawan petri dibandingkan antar isolat.

Analisis Data

Data mortalitas, sporulasi in vivo dan karakterisasi fisiologis in vitro di analisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (Completely Randomize Design) satu faktor (keragaman isolat atau spesies cendawan entomopatogen yang terdiri dari 16 isolat untuk uji mortalitas dan sporulasi in vivo, 6 spesies untuk uji karakterisasi fisiologis in vitro) dengan 4 x ulangan menggunakan analisis ragam (ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple Range Test. Bentuk umum dari persamaannya adalah sebagai berikut:

Dimana: i = 1,2,....17, t dan j= 1, 2, ....4, r

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum

i = pengaruh perlakuan ke-i

ij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Hasil dan Pembahasan

Isolasi dan Identifikasi

Hasil isolasi cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam (Gambar 4.1) mengindikasikan keragaman spesies cendawan entomopatogen lebih tinggi pada inang yang berasal dari hama tanaman (ulat krop kubis, ulat grayak, penghisap polong, walang sangit dan rayap tanah sebanyak 81%) dibandingkan dengan yang berasal dari tanah (13%) dan pasir (6%). Berdasarkan hasil ini, untuk mendapatkan keragaman spesies cendawan


(25)

entomopatogen lebih mudah dilakukan dengan cara mengisolasi dari serangga inang yang terinfeksi di alam dibandingkan dengan mengisolasi dari sumber lainnya (tanah dan pasir). Diperkirakan spesies cendawan yang ada pada inang yang berasal dari hama tanaman umumnya bersifat sebagai cendawan

entomopatogen. Menurut MacLeod dan Muller-Kogler 1973 dalam Butt et al.

(2001), serangga inang dari cendawan entomopatogen dijumpai pada lebih dari 32 famili yang tersebar pada ordo Hemiptera, Homoptera, Diptera, Lepidoptera, Coleoptera, Orthoptera, dan Hymenoptera. Beberapa spesies mempunyai rentangan inang yang luas, dan yang lainnya terbatas pada satu spesies atau terbatas pada kelompok spesies tertentu saja.

Gambar 4.1. Persentase isolat cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam.

Cendawan entomopatogen dari sumber inokulum tanah dan pasir mempunyai keragaman spesies yang lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena cendawan entomopatogen selain hidup sebagai patogen obligat juga banyak yang hidup sebagai patogen fakultatif yaitu disamping dapat meneruskan siklus hidupnya sebagai patogen pada serangga inang juga mampu bertahan hidup sebagai sapropit pada berbagai media di alam. Tanada dan Kaya (1993) menyatakan bahwa beberapa cendawan entomopatogen hidup sebagai patogen obligat yang siklus hidupnya selalu pada serangga inang namun kebanyakan cendawan entomopatogen juga sebagai patogen fakultatif dan mampu hidup tanpa inang dan melanjutkan siklus hidupnya sebagai sapropit

Menurut Keller dan Zimmermann (1989) cendawan entomopatogen juga dapat dikoleksi dari tanah dengan menggunakan serangga umpan. Metode ini terbukti sangat bermanfaat untuk mendeteksi cendawan entomopatogen

Serangga Hama

81%

Tanah 13%

Pasir 6%


(26)

khususnya untuk mempelajari sejarah penyebarannya. Walaupun tanah merupakan habitat yang sangat menguntungkan untuk interaksi serangga dan cendawan entomopatogen, hanya sedikit spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan pada tanah. Beberapa spesies cendawan penting yang ditemukan pada

tanah tercatat sebagai genera: Conidiobolus, Beauveria, Metarhizium dan

Paecilomyces.

Lebih lanjut dinyatakan keberhasilan cendawan entomopatogen di dalam tanah telah berkembang dengan melakukan adaptasi khusus, dimana siklus kehidupan cendawan entomopatogen terdiri dari fase parasit dan sapropit. Bila serangga terinfeksi cendawan mati dan secara umum siklus hidup cendawan akan berahir bila fase vegetatif atau organ reproduksi seksual terbentuk di luar inang. Namun fase kehidupan selanjutnya sebagai sapropit akan mengkolonisasi inang mati dan untuk sementara waktu berhenti pada pembentukan pseudosclerotium; tingkatan dormansi yang memungkinkan cendawan bertahan pada kondisi yang tidak menguntungkan. Jika faktor eksternal telah menguntungkan, hifa akan muncul lewat kutikula serangga.

Beberapa spesies cendawan seperti Paecilomyces spp., B. bassiana, B. brongniartii atau Cordyceps spp. memproduksi untaian hifa, synnemata atau

stromata di luar serangga inang. Elemen-elemen hifa ini sebagai adaptasi morfologi terhadap kondisi tanah yang memungkinkannya menginfeksi inang baru.

Hasil isolasi cendawan entomopatogen dari masing-masing inang atau sumber inokulum di alam dikoleksi untuk selanjutnya diidentifikasi berdasarkan warna, pertumbuhan secara in vivo dan in vitro serta bentuk organ seksual masing-masing spesies. Berdasarkan hasil identifikasi pada penelitian ini ditemukan 16 isolat (10 spesies) (Gambar 4.2 dan Table 4.1).

Keragaman antar spesies cendawan entomopatogen sangat luas sekali. Cendawan terdiri dari dua Divisi yaitu Myxomycota dan Eumycota. Cendawan entomopatogen ditemukan pada Divisi Eumycota yang terdiri dari sub-divisi: Mastigomycotina, Zygomycotina, Ascomycotina, Basidiomycotina dan Deuteromycotina. Umumnya mikroorganisme ini ada pada semua habitat tingkat perkembangan serangga (Ainsworth 1973 dalam Butt et al. 2001). Boucias dan


(27)

Pendland (1998) menyatakan beberapa genus cendawan entomopatogen yang tergolong ke dalam divisi Eumycota, sub-divisi Deuteromycota, klas Hyphomycetes dan ordo Moniliales adalah: Aspergilus, Beauveria, Fusarium, Metarhizium, Paecilomyces dan Verticilium.

B. bassiana M. anisopliae M. brunneum M. roridum

F. solani F. oxysporum V. lecanii A. flavus

P. fumosoroseus P. citrinum

Gambar 4.2. Koloni cendawan entomopatogen dari konidia tunggal ber-umur 3 minggu pada media SDAY kecuali F. oxysporum (13 hari)

Spesies B. bassiana adalah spesies cendawan entomopatogen yang paling dominan ditemukan. Menurut Scholte et al. (2004), cendawan entomopatogen B. bassiana mempunyai sebaran inang yang luas dan mudah diperbanyak secara

in vitro pada media sintetik, penyebarannya hampir di semua lokasi di dunia dan mempunyai spesies serangga inang lebih banyak dibandingkan spesies cendawan entomopatogen lainnya; kebanyakan inangnya berasal dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, Hemiptera, Diptera dan Hymenoptera.

Spesies B. bassiana menunjukkan pertumbuhan yang tidak cepat tetapi dengan mudah tumbuh pada media SDAY, permukaan biakan rata seperti tepung


(28)

dan bewarna putih, cendawan ini menginfeksi rayap dengan penyebaran yang tidak teratur, kemudian mengalami penyempurnaan yang tidak menyebar rata. Setelah kematian inang konidiofora tumbuh keluar dari tubuh rayap dan diiringi dengan munculnya konidia.

Barron (1968) menjelaskan tentang deskripsi dari B. bassiana sebagai berikut: konidiofora tidak begitu jelas; sel sporogenous sympodulae, muncul langsung dari hipa vegetatif, sederhana, hyaline - sub hyaline, secara berulang menghasilkan kuntum konidia berkelompok atau zigzag, terdiri dari satu sel basal

yang sering mengembung, dan menghasilkan sympodulospores pada suksessi

acropetal; muncul spora pada ujung, seperti rachis, kadang-kadang berliku; spora sangat kecil, bundar atau oval, hyaline - sub hyaline (Gambar 4.3)

Tabel 4.1 Cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang atau sumber inokulum di alam

No. Isolat Inang atau sumber inokulum Stadia

inang

Spesies cendawan Geografi asal

(tahun) 1. 2. 3. Bb-Cr As-Cr Pe-Cr

Ulat krop kubis

(Crocidolomia pavonana F.)

(Lepidoptera: Pyralidae)

Larva

Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.

Aspergillus flavus Link.

Penicillium citrinum Thom.

Cibodas (2004) 4. 5. Bb-Sl Fu-Sl Ulat grayak

(Spodoptera litura F.}

(Lepidoptera: Noctuidae)

Larva B. bassiana

Fusarium oxysporum Link.

Cibodas (2004) 6. 7. 8. 9. Ma-Rl Ve-Rl Pa-Rl Fu-Rl Penghisap polong

(Riptortus linearis L.)

(Hemiptera: Alydidae) Penghisap polong Penghisap polong

Imago Metarhizium anisopliae

(Metsch.) Sorok Verticilium lecanii (Zimmermann)

Paecilomycesfumosoroseus

(Wize) Brown and Smith

Fusarium solani Link.

Probolinggo (2003)

10. Bb-Lo Walang sangit

(Leptocorisa oratorius F) (Hemiptera: Coreidae)

Imago B. bassiana Probolinggo

(2003) 11. 12. 13. Bb-Co As-Co Pe-Co Rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) (Isoptera: Rhinotermitidae)

Larva B. bassiana

A. flavus P. citrinum Bogor (2004) 14. 15. Bb-Tn My-Tn Tanah

Tanah - -

B. bassiana

Myrothecium roridum Tode

EXFR.

Bogor (2004) Cibodas (2004)


(29)

Isolat lainnya yang diisolasi dari inang atau sumber inokulum di alam seperti terlihat pada Tabel 4.1. juga diidentifikasi berdasarkan bentuk organ

seksual, warna massa konidia secara in vitro dan in vivo, dan tipe

pertumbuhannya (Deskripsi selengkapnya pada Lampiran 1).

Gambar 4.3. Cendawan B. bassiana pada media SDAY dengan perbesaran 1000 x

Patogenisitas dan Virulensi

Tingkat patogenisitas antar spesies cendawan entomopatogen dan tingkat virulensi antar isolat di dalam satu spesies cendawan yang ditemukan pada penelitian ini umumnya berbeda nyata pada uji DUNCAN pada tingkat keragaman 5%. Spesies cendawan M. anisopliae dari inang penghisap polong,

M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari inang walang sangit, F. oxysporum dari ulat grayak, dan A. flavus dari rayap tanah dapat menyebabkan mortalitas 100% setelah 6 hari inokulasi (Gambar 4.4). Hal ini berarti beberapa isolat cendawan entomopatogen bersifat sangat patogen dan berpotensi dijadikan sebagai agens hayati untuk pengendalian rayap tanah

C. gestroi.

Perbedaan tingkat patogenisitas antar spesies dan perbedaan virulensi antar isolat cendawan entomopatogen diperkirakan disebabkan oleh perbedaan sifat dasar internal (genetik) antar spesies dan perbedaan sumber inang asal isolat. Selain hal ini juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan sebagai faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan cendawan tumbuh dan berkembang serta melumpuhkan mekanisme pertahanan serangga inang. Menurut


(30)

0 20 40 60 80 100

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (hari) M o rt a lit a s ( % ) Bb-Sl Bb-Lo Bb-Tn Bb-Co Bb-Cr Mb-Ps Ma-Rl As-Co As-Cr

0

20

40

60

80

100

0

1

2

3

4

5

6

Waktu (hari)

M

o

rt

a

lit

a

s

(

%

)

My-TnVl-Rl

Pa-Rl Fu-Sl Fu-Rl Pe-Co Pe-Cr kontrol

Tanada dan Kaya (1993) biasanya cendawan menyebabkan mortalitas dengan satu atau lebih cara seperti: defisiensi nutrisi, menyerang dan merusak jaringan, dan melepaskan toksin. Beberapa di antaranya bersifat virulen dan membunuh serangga dalam waktu yang singkat dan yang lainnya menghasilkan infeksi kronik yang lama.

Gambar 4.4. Laju mortalitas rayap C. gestroi oleh cendawan entomopatogen (107 konidia/ml) dari berbagai inang 6 hari setelah inokulasi (kontrol 11,25%).

Keterangan:

Bb-Sl = B. bassiana dari ulat grayak, Bb-Lo = B. bassiana dari walang sangit, Bb-Tn = B. .bassiana dari tanah, Bb-Co= B. bassiana dari rayap tanah, Bb-Cr = B. bassiana dari ulat krop kubis, Mb-Ps = M. brunneum dari pasir, Ma-Rl = M. anisopliae

dari penghisap polong, As-Co = A. flavus dari rayap tanah, As-Cr = A..flavus dari ulat krop kubis, My-Tn = M. roridum dari tanah, Vl-Rl = V. lecanii dari penghisap polong, Pa-Rl = P. fumosoroseus dari penghisap polong, Fu-Sl = F. oxysporum dari ulat grayak, Fu-Rl = Fusarium solan dari penghisap polong, Pe-Co = P. citrinum dari rayap tanah, Pe-Cr = P. citrinum dari ulat krop kubis,


(31)

Isolat cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang umumnya bersifat patogen terhadap rayap, dan dapat menyebabkan mortalitas lebih dari 60%. Yoshimura dan Takahashi (1998), menjelaskan bahwa penggunaan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap telah 25 tahun lebih menjadi target penelitian dan banyak spesies cendawan telah diuji tingkat patogenisitasnya terhadap rayap. Setelah tahun 1960-an banyak peneliti memulai investigasi patogenisitas cendawan terhadap rayap menggunakan A. flavus,

Absidia coerulea Bainier, B. bassiana, Entomophthora sp. M. anisopliae, Conidiobolus coronatus dan Penicillium sp.

Setiap spesies cendawan entomopatogen mempunyai sifat dan kemampuan spesifik untuk tumbuh dan berkembang pada rayap. Perbedaan ini juga terlihat pada karakterisasi fisiologisnya secara in vivo dan in vitro terutama pada kemampuan berkecambah, laju pertumbuhan koloni dan konidiogenesis (Tabel 4.2). Diduga setiap spesies juga menghasilkan jenis metabolit sekunder (toxin) yang bervariasi sehingga mempunyai daya toksisitas yang berbeda satu sama lainnya.

Boucias dan Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang dan dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya sehingga nutrient di dalam hemolymph habis oleh pertumbuhan cendawan yang begitu cepat. Di samping itu cendawan dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan zat beracun yang mengganggu perkembangan inang secara normal. Beberapa di antara zat beracun (toxin) yang dihasilkan cendawan

yang dapat membunuh serangga adalah: 1) Beauvericin oleh B. bassiana,

Paecilomyces dan Fusarium, 2) Bassianolide oleh B. bassiana, 3) Cyclosporin A oleh B. bassiana, Verticillium, Fusarium dan Tolypocladium, 4) Oosporein oleh

B. bassiana, 5) asam Oxalic oleh B. brongniartii, 6) Destruxins oleh M. anisopliae dan Aspergillus ochraceus, 7) Cytochalasins oleh M. anisopliae, 8) Swainsonine oleh M. anisopliae, 9) Aflatoxins oleh Aspergillus, 10) Asam kojic oleh A. flavus dan 11) Restrictocin oleh Aspergillus fumigatus.

Selanjutnya dinyatakan bahwa penempelan mungkin melibatkan kekuatan


(32)

N-acetylglucosamine merupakan substansi yang ditemukan pada permukaan spora, spora berkecambah dengan cepat tergantung pada kelembaban lingkungan, temperatur, kondisi cahaya yang kurang serta nutrisi lingkungan. Penetrasi terutama tergantung pada sifat kutikula serangga (ketebalan, sclerotization, dan kehadiran zat anti cendawan) dan substansi nutrisi. Setelah berkecambah hifa masuk ke dalam integumen serangga dan terus ke hemocoel, dan menghasilkan tubuh hifa (hyphal bodies), yang pada hakekatnya berupa blastospores yang berkembang dengan tunas (budding).

Menurut Scholte et al. (2004), siklus cendawan entomopatogen hingga menyebabkan inangnya mati adalah sebagai berikut: konidia menempel pada kutikula kemudian berkecambah dan menembus kutikula. Kemudian di dalam hemocoel miselia tumbuh terus menerus pada inang membentuk tubuh hifa (blastospores). Kematian serangga sering disebabkan oleh kombinasi dari aksi toksin, terhalangnya sirkulasi darah, komsumsi nutrisi atau penyerangan organ dari serangga.

Virulensi antar isolat juga menunjukkan perbedaan, seperti pada 5 isolat cendawan B. bassiana yang berasal dari sumber inang yang berbeda, isolat walang sangit (Bb-Lo) paling virulen dibanding isolat B. bassiana yang lainnya. Dua isolat cendawan A. flavus yang juga berasal dari inang berbeda, isolat rayap tanah (As-Co) lebih virulen dibanding isolat ulat krob kubis (As-Cr). Diperkirakan sifat virulensi yang berbeda ini dipengaruhi oleh kondisi morfologi dan fisiologi serangga inang asal isolat dan lingkungan asal isolat yang berbeda.

Menurut Tanada dan Kaya (1993), virulensi adalah kemampuan penyakit yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme, dalam hal ini adalah kemampuan suatu organisme untuk menyerang dan menyebabkan luka pada inang, yang berhubungan dengan kesanggupan suatu mikroorganisme untuk mengatasi mekanisme pertahanan inang. Suatu patogen mungkin bersifat sangat virulen sebab rendahnya ketahanan atau tingginya kerentanan dari inang, dan sebaliknya patogen dapat mempunyai virulensi yang rendah sebab tingginya ketahanan atau rendahnya kerentanan dari inang.

Patogenisitas secara dekat merupakan sinonim terhadap virulensi yaitu berkenaan dengan kemampuan menghasilkan penyakit oleh mikroorganisme.


(33)

Perbedaannya adalah bahwa patogenisitas diaplikasikan terhadap kelompok atau spesies dari organisme; sedangkan, virulensi digunakan pengertian tingkat dari patogenisitas di dalam kelompok atau spesies. Patogenisitas kadang-kadang dipandang sebagai kemampuan penetapan secara genetika untuk menghasilkan penyakit, dan virulensi tidak sebagai hasil secara genetika. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa patogenisitas B. bassiana adalah tinggi untuk isolat

L. oratorius (Bb-Lo), tetapi virulensinya berbeda tergantung pada kondisi, seperti metode pembiakan, penyimpanan, formulasi, dan faktor lingkungan. Sebagai contoh di bawah kondisi nutrisi tertentu, virulensi dari patogen lebih tinggi dibanding pada nutrisi lainnya. B. bassiana mempunyai banyak strains, yang pada suatu waktu dipertimbangkan untuk berbeda spesies sebab berbeda karakteristik morfologinya. Strains akan bervariasi virulensinya dan tergantung pada kerentanan spesies serangga sasaran.

Perbedaan mortalitas rayap sebagai akibat perbedaan tingkat virulensi disebabkan oleh asal dan kondisi sumber inang yang berbeda pula, hal ini menyebabkan perbedaannya dalam karakter menyerang rayap. Disamping juga tergantung pada lingkungan pada daerah asal, karakter dan struktur dari konidia juga berakibat terhadap perkecambahan. Perkecambahan yang sukses dan berpenetrasi pada inang tergantung pada total persentase perkecambahan, lamanya waktu berkecambah, cara dari perkecambahan, agresivitas cendawan, dan kerentanan inang (Samson et al. 1988 dalam Tanada dan Kaya 1993).

Spesies cendawan mempunyai banyak strains yang berbeda virulensinya. Pada umumnya, strains dari spesies yang diisolasi dari inang yang spesifik lebih virulen untuk inang yang sama dibandingkan isolat dari inang yang lainnya, dan suksesi penularan di dalam suatu inang dapat juga menghasilkan peningkatan virulensi atau menghasilkan strain yang lebih virulent. Pernyataan ini dipertegas oleh hasil penelitian ini yaitu pada kasus perbedaan virulensi antar isolat

A. flavus, yang berasal dari serangga inang rayap tanah (As-Co) lebih virulen dibandingkan yang berasal dari serangga inang ulat krop kubis (As-Cr) terhadap

mortalitas rayap C. gestroi. Namun tidak demikian pada kasus perbedaan


(34)

tingkat virulensi yang lebih tinggi dibanding isolat dari rayap tanah (Bb-Co), ulat krop kubis (Bb-Cr), ulat grayak (Bb-Sl) dan tanah (Bb-Tn).

Pada kasus seperti diterangkan di atas, tingkat virulensi ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh asal isolat yang secara umum ditentukan oleh faktor eksternal (lingkungan), akan tetapi juga oleh spesies cendawan yang secara umum lebih dipengaruhi oleh sifat internal, dengan pengertian bahwa setiap spesies cendawan entomopatogen masing-masingnya mempunyai spesies inang yang spesifik. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Trizelia (2005), bahwa pada spesies cendawan B. bassiana, isolat yang virulen terhadap serangga hama tidak selalu berasal dari hama yang sama. Hasil uji virulensi dari 13 isolat B. bassiana

menunjukkan bahwa isolat B. bassiana yang sangat virulen terhadap ulat krop kubis C. pavonana dari Cibodas berasal dari serangga dan daerah lain yang bukan serangga inang uji yaitu berasal dari inang L. oratorius dari Cianjur.

Mortalitas rayap C. gestroi yang disebabkan cendawan entomopatogen

M. anisopliae dan F. oxysporum lebih cepat dibandingkan yang disebabkan oleh spesies lainnya yaitu dapat menyebabkan mortalitas rayap 100% dalam periode waktu yang lebih singkat. Hal ini diperkirakan spesies cendawan ini disamping kemampuannya mendegradasi inang, juga dengan sangat cepat menyebarkan metabolit sekundernya yang bersifat racun bagi rayap sehingga terjadi ketidak

seimbangan fungsi organ tubuh. Agens hayati penyebab penyakit ”green

muscardine” M. anisopliae merupakan spesies patogen yang secara alami menginfeksi lebih dari 200 jenis serangga, termasuk rayap (Tanada dan Kaya 1993 dalam Strack 2003).

Ferron 1981 di dalam Scholte et al. (2004), menyatakan bahwa di dalam studi histopatologi pada jaringan elaterid yang diinfeksi M. anisopliae

memperlihatkan bahwa toksin (destruxin) membunuh serangga inang dengan

merangsang atau memacu terjadinya kemerosotan jaringan serangga inang sehingga kehilangan keutuhan struktural membran dan kemudian terjadi dehidrasi sel. Dalam hal ini penyumbatan spirakel dimungkinkan terjadi sehingga dapat menyebabkan kematian sebelum serangan pada hemocoel.

Menurut MacLeod 1963 dalam Tanada dan Kaya (1993), periode dari infeksi sampai pada kematian serangga dapat dalam waktu yang singkat 3 hari


(35)

dan selama-lamanya 12 hari, dan kebanyakan terjadi dalam rentangan 5 - 8 hari. Periode dapat bervariasi dan juga tergantung pada ukuran dari inang. Kebanyakan serangga mati setelah sore hari antara 1500 dan 1900 jam. Virulensi dan patogenisitas dari cendawan entomopatogen dapat berasosiasi dengan produksi enzim collagenolytic dan mycotoxins.

Spesies cendawan M. anisopliae telah sangat populer keefektifannya di dalam pengendalian rayap, bahkan sampai saat sekarang telah banyak biopestisida yang berbasiskan konidia dari cendawan M. anisopliae diedarkan secara komersil. Namun spesies cendawan Fusarium spp. masih diragukan dalam penggunaan sebagai biopestisida walaupun mempunyai daya tinggi dalam membunuh serangga hama, hal ini sehubungan dengan sifatnya yang juga sebagai patogen pada tanaman.

Teetor-Barsch dan Roberts (1993) menyatakan cendawan Fusarium

diketahui kelimpahannya di alam dan juga keragaman tempat ia berasosiasi di antaranya pada tanaman hidup dan yang telah mati serta pada banyak hewan. Cendawan ini terutama ditemukan berasosiasi dengan serangga. Perhatian khusus diberikan terhadap rentangan inang, teristimewa antara inang tanaman dan serangga, dan memungkinkan potensi cendawan ini untuk mengendalikan hama. Beberapa jenis Fusarium spp. yang bersifat entomopatogen bersifat lemah dan sebagai patogen fakultatif khususnya pada ordo Lepidoptera dan Coleoptera. Cendawan akan mengkolonisasi inangnya yang mati sebagai sapropit. Pada segolongan kecil kasus tingkat patogenisitas terhadap tanaman dan serangga oleh satu isolat juga ditemukan. Tingkat potensi isolat Fusarium yang menyebabkan mortalitas tinggi terhadap serangga juga memperlihatkan spesifikasi inang yang tinggi dan tidak berbahaya terhadap jenis tanaman.

Periode waktu kematian rayap oleh cendawan entomopatogen secara umum tidak menunjukkan tanda dan gejala yang nyata pada awal tingkatan infeksi. Hanya setelah infeksi menyebar ke dalam tubuh, rayap menjadi kurang aktif atau menunjukkan kegelisahan. Pada tahapan akhir infeksi, rayap kehilangan tenaga gerak dan diam ditempat lalu kemudian mati, pada tahapan paling ahir dari proses infeksi, kadang-kadang rayap dapat berganti warna menjadi gelap dan tidak dikolonisasi oleh miselia seperti pada kasus rayap yang diinfeksi oleh cendawan


(36)

M. anisopliae. Kadang-kadang rayap yang telah mati menjadi keras dan 3 - 4 hari setelahnya, rayap berubah warna sesuai warna konidia yang dihasilkan, rayap mati diselimuti warna konidia putih mengindikasikan terserang oleh B. bassiana.

Sporulasi in Vivo

Pada penelitian ini, sporulasi cendawan pada permukaan tubuh rayap (in vivo) tidak semua berkorelasi dengan mortalitas namun spesies cendawan yang menunjukkan tingkat patogenisitas yang tinggi seperti A. flavus dari inang rayap tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir dan B. bassiana

dari walang sangit juga mampu bersporulasi yang tinggi secara in vivo ( 78,25% – 97,25%) kecuali M. anisopliae dan M. roridum dari tanah. Dalam hal ini

M. roridum menunjukan kemampuan bersporulasi in vivo paling rendah (Gambar 4.5). Diperkirakan hal ini juga dipengaruhi oleh spesies cendawan, sumber isolat dan faktor lingkungan; cendawan dapat tumbuh pada kondisi kelembaban yang tinggi namun tidak semua dapat bersporulasi dengan baik dan terlihat dengan jelas.

Menurut Prior dan Perry 1980 di dalam Butt et al. (2001) dan Tanada dan Kaya (1993), pertama kali mikroorganisme ditemukan sebagai penyebab penyakit pada serangga adalah cendawan sebab pertumbuhannya secara makroskopis nampak dengan nyata pada permukaan serangga inang. Namun beberapa cendawan entomopatogen bentuk pertumbuhannya tipis atau jarang dan tidak nyata karena struktur eksternalnya yang sangat kecil dan sulit dideteksi oleh peneliti. Pertumbuhan dan perkembangan cendawan terutama dibatasi oleh kondisi lingkungan eksternal, kususnya kelembaban yang tinggi atau kelembaban dan temperatur yang memadai untuk bersporulasi dan perkecambahan spora.

Rombach (1988) menyatakan bahwa banyak spesies cendawan dapat ditemukan tumbuh pada serangga mati, namun kebanyakan merupakan cendawan saprofit yang menyerang setelah serangga mati. Akan tetapi hanya spesies entomopatogen yang dapat secara aktif menyerang serangga hidup, membunuh inang dan bersporulasi pada inang yang telah mati. Secara keseluruhan lebih dari 700 spesies cendawan dari perkiraan 90 genera adalah merupakan patogen terhadap serangga. Spesies cendawan entomopatogen tersebut ditemukan pada


(37)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Bb -S l Bb -L o Bb -T n Bb -Co Bb -Cr Mb -P s Ma -R l As -C o As-C r My -T n Vl -R l Pa -R l Fu -S l Fu -R l Pe -C o Pe -C r Ko n tr o l

Isolat cendawan entomopatogen

M o rt alit as d a n s p or u las i in viv o ( % )

Mort alit as (%) Sporulasi (%) klass Ascomycotina (Cordyceps, Hypocrella dan Torrubiella), Zygomycotina (Entomophthorales) dan Deuteromycotina (kebanyakan dari klass Hyphomycetes).

Gambar 4.5. Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap (in vivo) dan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah diinokulasi dengan suspensi cendawan entomopatogen (107 konidia/ml).

Di samping virulensi, kemampuan bersporulasi pada inang (in vivo)

menjadi sangat penting bila untuk tujuan penularan di dalam koloni karena cendawan yang mampu bersporulasi pada inang dengan baik akan dapat membentuk infective propagul baru dan dapat tersebar luas ke seluruh individu di dalam koloni. Goettel dan Inglis 1997 dalam Scholte et al. (2004) menyatakan bahwa setelah inang mati, hifa biasanya muncul dari bangkai serangga dan di bawah kondisi abiotik yang menguntungkan, konidia dapat dihasilkan pada tubuh bahagian luar inang, ini kemudian akan tersebar oleh angin atau air.

Menurut Yoshimura et al. (1992), pertumbuhan hifa dari tubuh rayap

setelah diamati sampai mati tidak nyata, namun dua sampai 3 hari setelah kematian banyak hifa yang tumbuh ke luar, kira-kira 2 - 10 hari setelah kematian Keterangan:

Bb-Sl = B. bassiana dari ulat grayak, Bb-Lo = B. bassiana dari walang sangit, Bb-Tn = B. .bassiana dari tanah, Bb-Co= B. bassiana dari rayap tanah, Bb-Cr = B. bassiana dari ulat krop kubis, Mb-Ps = Metarhizium brunneum dari pasir, Ma-Rl = M. anisopliae dari penghisap polong, As-Co = A. flavus dari rayap tanah, As-Cr = A..flavus dari ulat krop kubis, My-Tn =

Myrothecium roridum dari tanah, Vl-Rl = V. lecanii dari penghisap polong, Pa-Rl = P. fumosoroseus dari penghisap polong, Fu-Sl = F. oxysporum dari ulat grayak, Fu-Rl = Fusarium solan dari penghisap polong, Pe-Co = P. citrinum dari rayap tanah, Pe-Cr = P. citrinum dari ulat krop kubis,


(38)

dibutuhkan untuk pembentukan konidia baru. Pada kasus cendawan C. coronatus, banyak konidia terlihat setelah 2 hari pada rayap yang telah di ekspose selama 6 jam.

M. roridum F. oxysporum P. fumosoroseus

M. brunneum B. bassiana A. flavus

Gambar 4.6. Sporulasi in vivo beberapa spesies cendawan entomopatogen pada tubuh rayap 9 hari setelah diinokulasi

Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen Terseleksi pada Media SDAY (in vitro): Daya Kecambah, Diameter Koloni dan Sporulasi

Karakter fisiologi adalah kemampuan cendawan untuk tumbuh dan berkembang pada media sintetik atau inang, dalam hal ini yang diamati antara lain adalah: daya kecambah, diameter koloni dan kemampuan berseporulasi. Di samping patogenisitas, karakterisasi fisiologi cendawan secara in vitro akan menjadi penting bila cendawan tersebut diperbanyak secara massal untuk tujuan bio-termitisida komersil.

Umumnya cendawan entomopatogen yang mempunyai tingkat patogenisitas tinggi dapat direkomendasikan pada penelitian selanjutnya, walaupun dari hasil


(39)

analisis statistik ada perbedaan diameter koloni, daya berkecambah dan jumlah konidia dari masing-masing spesies atau isolat cendawan entomopatogen.

Tabel 4.2. Karakterisasi fisiologi beberapa spesies cendawan entomopatogen terseleksi: diameter koloni, daya kecambah konidia dan sporulasi.

Isolat

Inang atau sumber inokulum

Diameter koloni (cm)

Daya kecambah konidia (%)

Sporulasi (konidia/

cawan petri x 107)

M. anisopliae Penghisap polong 5,47 ± 0,26 b 27,20 ± 13,67 c 6,18 ± 2,70 c

M. roridum Tanah 4,72 ± 0,78 c 92,50 ± 6,02 ab 285,33 ± 102,25 b

M. brunneum Pasir 5,25 ± 0,17 bc 97,20 ± 1,70 a 223,66 ± 45,98 bc

B. bassiana Walang sangit 4,67 ± 0,69 c 82,50 ± 7,76 b 1470,33 ± 291,34 a

F. oxysporum. Ulat grayak 9,00 ± 00 a 95,70 ± 1,70 a 10,08 ± 1,25 c

A. flavus Rayap tanah 8,32 ± 0,25 a 95,20 ± 4,27 a 19,8 ± 5,78 c

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%.

Diameter koloni (cm)

Diameter koloni dari masing-masing spesies setelah dua minggu berkisar antara 4,4 cm – 9,0 cm, tertinggi diperoleh pada F. oxysporum (9 cm) dan kemudian diikuti oleh A. flavus (8,3 cm). Analisis statistik memperlihatkan kedua spesies cendawan ini tidak berbeda nyata, cendawan yang menunjukkan pertumbuhan koloni yang lebih cepat ini menunjukkan pertumbuhan yang lebih tipis dipermukaan media kultur SDAY. Hal ini ternyata berkaitan dengan jumlah konidia yang dihasilkan juga tidak berbeda nyata dan menghasilkan jumlah konidia lebih sedikit.

Olsson (1997) mendefinisikan koloni cendawan adalah suatu kelompok hifa yang berasal dari satu spora atau satu individu atau yang berasal dari satu sumber miselia. Berdasarkan pernyataan ini, pertumbuhan koloni diawali oleh perkecambahan dan pertumbuhan miselia, cepatnya pertumbuhan miselia akan menyebabkan nutrisi yang diperoleh dari media tumbuh akan dimanfaatkan terlebih dahulu untuk pertumbuhan miselia sehingga diperkirakan pembentukan konidia akan dapat terhambat.

Daya kecambah konidia (%)

Daya kecambah cendawan entomopatogen dari masing-masing spesies cendawan lebih dari 80% kecuali M. anisopliae (27,2%) setelah 12 - 24 jam


(40)

inkubasi. Hasil penelitian menunjukan secara umum semua isolat terseleksi tergolong mempunyai daya kecambah tinggi, hal ini akan sangat menguntungkan didalam keberhasilan cendawan menginfeksi inangnya, karena keberhasilan cendawan untuk dapat menyerang inang terutama sangat ditentukan oleh kemampuan cendawan menempel dan berkecambah pada kutikula serangga. Boucias dan Pendland (1998), mengemukakan cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang serta dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel).

Menurut Leland 2001; Jenkins et al. 1998; Kassa 2003 dalam Trizelia (2005) evaluasi daya kecambah konidia cendawan entomopatogen perlu dilakukan terutama apabila cendawan tersebut akan dikembangkan sebagai bioinsektisida. Daya kecambah konidia merupakan salah satu kriteria dalam pemilihan isolat; cendawan yang memiliki daya kecambah konidia di atas 80% telah memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam pemilihan isolat yang akan digunakan, kecepatan perkecambahan juga harus diperhitungkan. Isolat yang berkecambah lebih cepat lebih berpotensi untuk menimbulkan infeksi, karena isolat ini dapat terhindar dari pengaruh kekeringan, pengaruh dari mikroorganisme lain dan terlepas dari kutikula serangga pada waktu ekdisis.

Kemampuan konidia untuk berkecambah merupakan suatu faktor penting untuk berhasilnya melakukan penetrasi pada inang, namun hal ini akan sangat tergantung pada faktor lingkungan asal spesies atau isolat dan sifat genetik masing-masing spesies cendawan. Hal ini biasanya ditunjukkan oleh perbedaan viabilitas antar isolat di dalam spesies yang sama, pada penelitian ini terlihat bahwa daya kecambah M. anisopliae berbeda sangat nyata dengan M.brunneum

(Tabel 4.2). Menurut Ekesi et al. (2003) viabilitas 4 isolat M. anisopliae yang berasal dari Kenya dan Congo berkisar antara 85 – 90%.

Viabilitas antar spesies cendawan M. brunneum, F. oxysporum dan A. flavus

tidak berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan tingkat patogenisitas yang tidak berbeda (Gambar 4.4). Adanya keterkaitan antara tingkat patogenisitas dengan kemampuan berkecambah merupakan salah satu hal yang sangat menunjang di dalam adanya kemungkinan spesies cendawan ini untuk


(41)

dikembangkan ke penelitian yang lebih mendalam sehingga berpotensi sebagai biopestisida.

Sporulasi (konidia / cawan petri).

Sporulasi adalah kemampuan cendawan entomopatogen untuk menghasilkan konidia pada media sintetik atau inang. Untuk dapat melakukan proses infeksi dan menurunkan generasi berikutnya dengan cepat akan sangat tergantung pada kemampuan cendawan menghasilkan konidia. Pada penelitian ini setelah 2 minggu, B. bassiana menghasilkan jumlah konidia tertinggi (1,47 x 1010 konidia / cawan petri). Hasil ini berbeda nyata dengan jumlah konidia yang dihasilkan oleh spesies cendawan lainnya. Kemudian diikuti oleh M. brunneum,

A. flavus, F. oxysporum dan M. anisopliae (Tabel 4.2).

Spesies cendawan B. bassiana, menunjukkan laju pertumbuhan koloni yang lambat namun memperlihatkan pertumbuhan koloni yang lebih tebal, diperkirakan hal ini salah satu faktor penentu spesies cendawan ini dapat menghasilkan jumlah konidia lebih banyak dibandingkan spesies cendawan yang diujikan, yang bearti ada korelasi dengan karakter fenotip cendawan disamping juga ditentukan oleh faktor genetik. Hasil penelitian ini menunjang penelitian yang dilakukan oleh Trizelia (2005), 13 isolat B. bassiana dapat menghasilkan jumlah konidia antara 1,27 X 1010 – 1,79 X 1010 konidia / cawan petri. Hasil ini juga memperlihatkan perbedaan nyata antar isolat dan tertinggi ditemukan pada isolat yang berasal dari inang C. pavonana (1,79 X 1010 konidia/cawan petri)

Kemampuan cendawan menghasilkan jumlah konidia yang banyak, merupakan salah satu faktor yang menguntungkan di dalam pemanfaatannya sebagai agens pengendalian hayati, karena konidia sangat penting untuk infeksi dan penyebaran cendawan. Sun et al. 2003 dalam Trizelia (2005) menyatakan bahwa Isolat B. bassiana yang lebih cepat bersporulasi dengan total sporulasi

yang tinggi menghasilkan epizootik yang lebih baik dalam koloni rayap C.

formosanus.

Karakter fisiologis (diameter koloni, viabilitas dan kemampuan bersporulasi) cendawan entomopatogen menunjukan keragaman antar spesies yang diuji. Selain faktor-faktor penentu yang telah diuraikan di atas, faktor media


(42)

tumbuh diperkirakan juga menjadi salah satu faktor penentu pertumbuhan secara fisiologis. Pada penelitian ini media yang digunakan adalah SDAY dengan komposisi dekstrosa 10 g, pepton 2,5 g, ekstrak khamir 2,5 g, agar 20 g dalam akuades 1 liter yang mengandung 250 ppm chloromphenicol (Samuels et al.

2002). Dalam hal ini masing-masing spesies cendawan entomopatogen memungkinkan dapat tumbuh lebih baik pada media yang lebih spesifik.

Kesimpulan

Hasil isolasi menunjukkan keragaman spesies yang didapatkan dari sumber inokulum di alam. Tertinggi ditemukan pada inang yang berasal dari serangga terinfeksi dibanding dari sumber tanah dan pasir. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang atau sumber inokulum di alam adalah B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum, P. fumosoroseus, P. citrinum, M. roridum, V. lecanii, F. oxysporum, F. solanii dan A. flavus. Hasil uji patogenisitas menunjukkan pada umumnya cendawan bersifat patogen terhadap rayap C. gestroi.

Cendawan entomopatogen yang ditemukan umumnya dapat dimanfaatkan sebagai agens pengendalian hayati rayap C. gestroi, khususnya: M. anisopliae

dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah,

B. bassiana dari walang sangit, F. oxysporum dari ulat grayak dan A. flavus dari rayap tanah; pada penggunaan kerapatan konidia cendawan 107 konidia/ml dapat membunuh rayap C.gestroi 100% setelah 6 hari inokulasi.

Kemampuan bersporulasi in vivo antar spesies umumnya tidak berkorelasi dengan mortalitas, namun spesies cendawan yang menunjukkan tingkat patogenisitas yang tinggi seperti A. flavus dari inang rayap tanah, F. oxysporum

dari ulat grayak, M. brunneum dari pasirdan B. bassiana dari walang sangit juga menghasilkan kemampuan bersporulasi secara in vivo tinggi (78,25% – 97,25%).

M. roridum mempunyai kemampuan bersporulasi secara in vivo paling rendah (10%).

Cendawan entomopatogen terseleksi jika ditumbuhkan pada media SDAY memperlihatkan daya kecambah konidia lebih dari 80% kecuali M. anisopliae.


(1)

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR TABEL... .... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

BAB I. PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah... 3

Tujuan dan Kegunaan Khusus……... 3

Hasil yang Diharapkan... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 5

Rayap... 5

Pengendalian Rayap... 7

Cendawan Entomopatogen... 9

BAB III. BAHAN DAN METODE... 13

Tahap Persiapan... 13

Uji Tapis dan Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomo- patogen Terhadap Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann 15 Metode Kontak dan Umpan………...………..…... 15

Uji Aplikasi dengan Penularan di Laboratorium... 16

Analisis Data... 18

BAB IV. ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN... 19

Abstrak... 19

Pendahuluan... 20

Bahan dan Metode... 21

Hasil dan Pembahasan... 24

Isolasi dan Identifikasi... 24

Patogenisitas dan Virulensi... 29

Sporulasi in Vivo... 36

Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen Terseleksi pada Media SDAY (in vitro): Daya Kecambah, Diameter Koloni dan Sporulasi... 38


(2)

BAB V. KEEFEKTIFAN BEBERAPA SPESIES CENDAWAN ENTOMO- PATOGEN TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES

GESTROI WASMANN DENGAN METODE KONTAK DAN

UMPAN ... 44

Abstrak... 44

Pendahuluan... 44

Bahan dan Metode... 46

Hasil dan Pembahasan... 49

Uji Patogenisitas... 49

Uji Metode Kontak dan Umpan di Laboratorium... 57

Kesimpulan... 60

BAB VI APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RA- YAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM. 61 Abstrak... 61

Pendahuluan... 61

Bahan dan Metode... 63

Hasil dan Pembahasan... 66

Penularan Cendawan Entomopatogen Antar Individu di Dalam Suatu Koloni Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann... 66

Penularan Cendawan Entomopatogen M. brunneum Antar Individu Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Holmgren)……… 75

Kesimpulan... 78

BAB VII. PEMBAHASAN UMUM... 79

BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN... 88

Kesimpulan... 88

Saran... 89

DAFTAR PUSTAKA... 90


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel halaman 4.1. Cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang

atau sumber inokulum di alam... 28 4.2 Karakterisasi fisiologi beberapa spesies cendawan entomopatogen

terseleksi: diameter koloni, daya kecambah konidia dan sporulasi... 39 5.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum lainnya di Pulau Jawa, dan digunakan

dalam penelitian... 47

5.2. Lethal Concentration (LC) beberapa spesies cendawan

entomopatogen terhadap rayap tanah C. gestroi... 53 5.3. Lethal Time (LT) cendawan entomopatogen M. brunneum dengan

metode kontak dan pengumpanan... 59 6.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai

inang atau sumber inokulum di alam... 63 6.2. Penurunan berat contoh uji oleh serangan rayap C. curvignathus

pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

3.1. Diagram cakupan penelitian proses pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai patogen untuk pengendalian rayap tanah

Coptotermes gestroi dan Coptotermes curvignathus di laboratorium. 17 4.1. Persentase isolat cendawan entomopatogen yang berhasil

diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam... 25 4.2. Koloni cendawan entomopatogen dari konidia tunggal berumur

3 minggu pada media SDAY kecuali F. Oxysporum (13 hari)... 27 4.3. Cendawan B. bassiana pada media SDAY dengan

perbesaran 1000 x... 29 4.4. Laju mortalitas rayap C. gestroi oleh cendawan entomopatogen

(107 konidia/ml) dari berbagai inang 6 hari setelah inokulasi

(kontrol 11,25%)... 30 4.5. Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap (in vivo) dan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah diinokulasi dengan

suspensi cendawan entomopatogen (107 konidia/ml)... 37 4.6. Sporulasi in vivo beberapa spesies cendawan entomopatogen pada tubuh rayap 9 hari setelah diinokulasi... 38 5.1. Laju mortalitas rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann setelah 6 hari diinokulasi dengan berbagai tingkatan kerapatan konidia (107, 5.106, 106, 5.105, 105 konidia/ml) beberapa spesies cendawan entomopatogen... 51 5.2. Rayap tanah C. gestroi yang dikolonisasi oleh

B. bassiana (A) dan M. brunneum (B)... 54 5.3. Mortalitas rayap tanah C. gestroi oleh cendawan entomopatogen

M. brunneum pada perlakuan metode aplikasi kontak dan pengum- panan (7 hari setelah aplikasi)... 57 6.1. Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi (hari) yang diperlakukan

dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan variasi tingkatan proporsi vektor (10, 20, 30, 40 dan 50%) setelah 15 hari inokulasi (kontrol 5%)... 67


(5)

Gambar halaman

6.2 Penularan cendawan entomopatogen dari rayap yang terkonta- minasi (vektor) terhadap individu rayap sehat di dalam unit

percobaan……….… 68

6.3 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies

cendawan entomopatogen (5 hari setelah inokulasi)... 71 6.4 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan

proporsi.vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies

cendawan entomopatogen (15 hari setelah inokulasi)... 73 6.5. Rayap C. gestroi dikolonisasi oleh F. oxysporum ... 73 6.6. Mortalitas rayap C. curvignathus dan penurunan berat contoh

uji pada perlakuan 10 % vektor diinokulasi dengan cendawan

entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan ... 76 6.7. Tingkat serangan contoh uji oleh rayap C. curvignathus pada

perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan……… 78

7.1. Potensi cendawan entomopatogen yang diisolasi dari sumber inokulum di alam sebagai agens pengendalian hayati rayap tanah


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman 1. Koloni dan Deskripsi Mikroskopik Cendawan Entomopatogen pada

Media Saboraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) yang