Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes Spp dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal

(1)

ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL

DESYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bawah disertasi Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2007

Desyanti


(3)

ABSTRAK

DESYANTI. Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal. Dibimbing oleh YUSUF SUDO HADI, SULAEMAN YUSUF dan TEGUH SANTOSO

Rayap tanah Coptotermes spp. adalah salah satu dari banyak hama yang menyebabkan kerusakan serius pada produk hasil kayu khususnya sebagai material bangunan. Beberapa metode pengendalian rayap telah berhasil dilaksanakan di Indonesia, di antaranya penggunaan termitisida yang diaplikasikan melalui tanah, impregnasi ke dalam kayu dan metode pengumpanan serta penghalang fisik. Namun pengendalian hayati menggunakan cendawan entomopatogen belum banyak dilakukan di Indonesia.

Cendawan diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam seperti ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak (Spodoptera litura F.), walang sangit (Leptocorisa oratorius F.), penghisap polong kedele (Riptortus linearis L.), rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren.), tanah dan pasir. Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch, Myrothecium roridum Tode EXFR., Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith, Penicillium citrinum Thom., Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link., Fusarium oxysporum Link, dan Fusarium solani Link telah ditemukan dari berbagai sumber inokulum di alam. B. bassiana merupakan spesies yang paling dominan ditemukan.

Uji tapis mengindikasikan bahwa cendawan yang ditemukan umumnya bersifat patogen terhadap rayap dan dapat menyebabkan mortalitas rayap Coptotermes gestroi Wasmann lebih dari 60% setelah 6 hari diinokulasi. Bahkan M. anisopliae dari inang penghisap polong kedele, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari walang sangit, F. oxysporum dari ulat grayak dan A. flavus dari inang rayap tanah dapat membunuh rayap 100% setelah 6 hari inokulasi. Berkenaan dengan kerapatan konidia, hasil penelitian memperlihatkan bahwa semakin tinggi kerapatan konidia menyebabkan mortalitas rayap lebih tinggi. Nilai lethal concentration (LC) dari masing-masing spesies berbeda. Dalam hal ini M. brunneum dari pasir memiliki LC50 terendah, yaitu 1,8 x 105 konidia/ml. Aplikasi dengan metode kontak menyebabkan mortalitas dalam waktu yang lebih singkat (LT50 = 2,01 hari) dibandingkan dengan metode pengumpanan (LT50 = 4,83 hari).

Uji penularan patogen di laboratorium terhadap rayap C. gestroi, mengindikasikan korelasi antara mortalitas dengan proporsi vektor: mortalitas rayap meningkat dengan meningkatnya proporsi vektor. Pada penggunaan proporsi vektor 10%, mortalitas yang disebabkan oleh B. bassiana, M.anisopliae dan M. brunneum pada LC95 tidak berbeda nyata (>90%). Pada uji terhadap rayap tanah C. curvignathus, spesies cendawan M. brunneum hanya menyebabkan 60% mortalitas (mortalitas rayap pada kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11,27% (kontrol 47,82%) 15 hari setelah inokulasi. Sebagai kesimpulan penelitian ini, rayap yang diperlakukan (vector) dapat menyebarkan penyakit yang disebabkan cendawan terhadap individu rayap sehat lainnya.

Key words: bio-kontrol, uji tapis, LC, LT, penularan, Coptotermes gestroi, Coptotermes curvignathus.


(4)

iv

ABSTRACT

DESYANTI. Study on Bio-control of Subterranean Termites Coptotermes

spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) using indigenous Isolates of Entomopathogenic Fungi. Under the Direction of YUSUF SUDO HADI, SULAEMAN YUSUF and TEGUH SANTOSO

Subterranean termite Coptotermes spp.is one of the important pests causing serious damage of wood product especially as building material. Some methods for termite control currently practiced in Indonesia are the use of termiticides as soil treatment, impregnation in to the wood, baiting and physical barrier. The use of bio-control agent such entomopathogenic fungi is only at the beginning stage.

The fungi were isolated from various hosts in nature such as cabbage heart caterpillar (Crocidolomia pavonana F.), army worm (Spodoptera litura F.), rice bug (Leptocorisa oratorius F.), pod-sucking bug (Riptortus liniaris L.), subterranean termite (Coptotermes curvignathus Holmgren.), soil and sand. Beauveria bassiana (Bals.) Vuill, Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok, Metarhizium brunneum Petch, Myrothecium roridum Tode EXFR, Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown and Smith, Penicillium citrinum Thom., Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and Fusarium solani Link have been found from various hosts. B. bassiana was the most commonly fungus species found.

The screening test indicated that the fungi are generally pathogenic to termite Coptotermes gestroi Wasmann and could cause termite mortality more

than 60% within 6 days. M. anisopliae from infected pod-sucking bug, M. brunneum from sand, M. roridum from soil, B. bassiana from infected rice

bug, F. oxysporum from infected army worm and A. flavus from infected subterranean termite could kill 100% termites within 6 days. Regarding the density of conidia, the result revealed that the higher level of density of conidia caused higher mortality of termite. The value of lethal concentration (LC) of each species are different. In this case M. brunneum from sand had the lowest LC50, i.e. 1.8 x 105 conidia/ml. For application purpose, the contact method caused mortality in few days (LT50 2.01 days) as compared with baiting method (LT50 4,83 days).

Transmission tests of pathogen indicated that on C. gestroi in the laboratory, there was correlation between termite mortality with vector proportion, the mortality of termite increased as vector proportion increased. By using 10% termite vector, mortality caused by B. bassiana, M.anisopliae and M. brunneum at LC95, termite mortality was not significantly different (>90%). Against subterranean termites of C. curvignathus, fungi M. brunneum only caused 60% mortality of termites within 15 days after application, while termite mortality in control was observed as 13.25% and specimens weight loss 11,27% (control 47,82%). It is concluded that in this study, treated termites (vector) could transmit the fungal disease to other healthy ones.

Key words: bio-control, screening, LC, LT, Coptotermes gestroi, Coptotermes curvignathus.


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(6)

vi

KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH

COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE)

DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN

ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL

DESYANTI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Dr.Ir. Idham Sakti Harahap, MSi. Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Dodi Nandika, MS


(8)

viii

Judul Disertasi : Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp.

(Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal

Nama : Desyanti

NIM : E 061020081

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir Yusuf Sudo Hadi, M.Agr. Ketua

Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr. Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul ” Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal” dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan penghargaan dan terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr. Bapak Dr. Sulaeman Yusuf. M. Agr. dan Bapak Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA selaku

pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, kritik, saran dan fasilitas sarana maupun prasarana selama penulisan rancangan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi hingga selesai. Semoga amal kebaikan yang disertai keikhlasan dari Bapak akan senantiasa dilimpahkan rahmat dan karunia Allah SWT, Amin. Ucapan yang sama juga penulis ucapkan ke pada Bapak Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, MSi, Bapak Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS dan Ibu Dr. Yanni Sudiyani, MAgr. yang telah berkenan sebagai penguji luar komisi, terima kasih atas saran dan masukannya pada penyempurnaan disertasi ini.

Seterusnya penulis juga mengucapkan terima kasih Kepada Bapak Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Bapak Koordinator KOPERTIS wilayah X dan Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB, dan ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan dan seluruh staf pengajar, pengelola BPPS Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, atas kesempatan dan dukungan dana yang telah diberikan hingga penyelesaian studi yang penulis jalankan dapat terlaksana dengan baik.

Kepada Bapak Dr. Ir. Edi Suhaimi Bakar M.Agr, Ibu Dr. Yanni Sudiyani M.Agr., Didi Tarmadi S.Hut. diucapkan terima kasih atas pengarahan awal tentang materi penelitian, dan bantuan diawal penelitian sehingga dapat menapaki keberhasilan di dalam pelaksanaan penelitian ini.

Kepada orang tua (Alm) terima kasih atas kasih sayang, motifasi untuk selalu mementingkan pendidikan yang senantiasa diberikan didalam menjalani kehidupan ini, doa, dan dorongan moril maupun material yang telah diberikan pada ananda dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan yang tiada berahir sampai ahir hayat. Selanjutnya kepada Ibu dan Ayah mertua, teristimewa buat Suami tercinta yang senantiasa memberi semangat serta telah dengan ikhlas mendampingi dengan suka maupun duka selama menjalani studi, seterusnya buat Adik-adikku, keponakan, keluargaku di Padang dan Solo, kakak dan adik Ipar serta semua keluarga di Jakarta, terimakasih atas semua bantuannya moril maupun material.

Kepada Teman-temanku di program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Laboran di Laboratorium Kayu Solid, Keteknikan Kayu, Panel-panel Kayu dan Kimia Kayu Fakultas Kehutanan, Teman-teman serta adik-adik di Laboratorium Patologi Serangga, Teman-teman dan Laboran di Laboratorium Biologi Hasil Hutan PSIH IPB, serta teman-teman yang tidak bisa penulis sebut satu persatu di


(10)

x

sini juga diucapkan terimakasih atas bantuannya dan kebersamaan selama penulis mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal kebaikan kepada semuanya dengan balasan kebaikan yang tidak terhingga. Akhir kata, semoga karya tulisan ini bermanfaat untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan khususnya di bidang Teknologi Hasil Hutan dan Patologi Serangga.


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Bonai Kec. Lintau Buo, Kab. Tanah Datar Sumatera Barat 17 Desember 1964, anak pertama dari 3 bersaudara dari Bunda Rahma (almarhuma) dan Bapak Kaliman (almarhum). Beliau telah memberikan bekal pendidikan yang baik sehingga penulis dapat meraih pendidikan ini dan hidup mandiri. Pendidikan dari Taman kanak-kanak sampai dengan SMA penulis selesaikan di Lintau, kemudian tahun 1984 penulis melanjutkan ke Fakultas Pertanian Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat dan pada tahun 1991 sampai dengan 1997 penulis bekerja sebagai asisten dosen pada Fakultas yang sama. Pada tahun 1997 penulis diberi kesempatan melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan memperoleh Magister of Science pada tahun 2000, kemudian pada tahun 2002 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi yang sama Sekolah Pascasarjana IPB dan menyelesaikannya pada tahun 2007. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dari tahun 2000 sampai sekarang.

Selama menjalankan pendidikan Strata 3 di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis telah menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) dan JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science. Penulis juga telah mengikuti Seminar Nasional yaitu pada Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) VI di Bukittinggi 1-3 Agustus 2003, MAPEKI VII di Makasar 5-7 Agustus 2004 dan MAPEKI IX di Banjarmasin 11-13 Agustus 2006 (masing-masing makalah dipublikasi pada Proceeding MAPEKI VI, VII dan IX), Simposium Internasional yaitu The 6th International Wood Science Symposium (IWSS), Bali, August 29-31, 2005 (makalah dipublikasi pada proceeding IWSS 6), publikasi pada proceeding Pacific Rim Termite Research Group (TRG 2), Bangkok, March 2005, Konferensi Internasional The 1st International Conference of Crop Security (ICCS), Malang, September, 20th – 22nd, 2005 (makalah dipublikasi pada proceeding ICCS 1), dan publikasi pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology) sedang dalam peroses. Makalah pada MAPEKI ke 7, IWSS ke 6, TRG 2, ICCS ke 1 dan pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis adalah merupakan bahagian dari disertasi penulis.


(12)

xii

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR TABEL... .... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

BAB I. PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah... 3

Tujuan dan Kegunaan Khusus……... 3

Hasil yang Diharapkan... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 5

Rayap... 5

Pengendalian Rayap... 7

Cendawan Entomopatogen... 9

BAB III. BAHAN DAN METODE... 13

Tahap Persiapan... 13

Uji Tapis dan Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomo- patogen Terhadap Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann 15 Metode Kontak dan Umpan………...………..…... 15

Uji Aplikasi dengan Penularan di Laboratorium... 16

Analisis Data... 18

BAB IV. ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN... 19

Abstrak... 19

Pendahuluan... 20

Bahan dan Metode... 21

Hasil dan Pembahasan... 24

Isolasi dan Identifikasi... 24

Patogenisitas dan Virulensi... 29

Sporulasi in Vivo... 36

Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen Terseleksi pada Media SDAY (in vitro): Daya Kecambah, Diameter Koloni dan Sporulasi... 38


(13)

BAB V. KEEFEKTIFAN BEBERAPA SPESIES CENDAWAN ENTOMO- PATOGEN TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN DENGAN METODE KONTAK DAN

UMPAN ... 44

Abstrak... 44

Pendahuluan... 44

Bahan dan Metode... 46

Hasil dan Pembahasan... 49

Uji Patogenisitas... 49

Uji Metode Kontak dan Umpan di Laboratorium... 57

Kesimpulan... 60

BAB VI APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RA- YAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM. 61 Abstrak... 61

Pendahuluan... 61

Bahan dan Metode... 63

Hasil dan Pembahasan... 66

Penularan Cendawan Entomopatogen Antar Individu di Dalam Suatu Koloni Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann... 66

Penularan Cendawan Entomopatogen M. brunneum Antar Individu Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Holmgren)……… 75

Kesimpulan... 78

BAB VII. PEMBAHASAN UMUM... 79

BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN... 88

Kesimpulan... 88

Saran... 89

DAFTAR PUSTAKA... 90


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel halaman 4.1. Cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang

atau sumber inokulum di alam... 28 4.2 Karakterisasi fisiologi beberapa spesies cendawan entomopatogen

terseleksi: diameter koloni, daya kecambah konidia dan sporulasi... 39 5.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum lainnya di Pulau Jawa, dan digunakan

dalam penelitian... 47 5.2. Lethal Concentration (LC) beberapa spesies cendawan

entomopatogen terhadap rayap tanah C. gestroi... 53 5.3. Lethal Time (LT) cendawan entomopatogen M. brunneum dengan

metode kontak dan pengumpanan... 59 6.1. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai

inang atau sumber inokulum di alam... 63 6.2. Penurunan berat contoh uji oleh serangan rayap C. curvignathus

pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

3.1. Diagram cakupan penelitian proses pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai patogen untuk pengendalian rayap tanah

Coptotermes gestroi dan Coptotermes curvignathus di laboratorium. 17 4.1. Persentase isolat cendawan entomopatogen yang berhasil

diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam... 25 4.2. Koloni cendawan entomopatogen dari konidia tunggal berumur

3 minggu pada media SDAY kecuali F. Oxysporum (13 hari)... 27 4.3. Cendawan B. bassiana pada media SDAY dengan

perbesaran 1000 x... 29 4.4. Laju mortalitas rayap C. gestroi oleh cendawan entomopatogen

(107 konidia/ml) dari berbagai inang 6 hari setelah inokulasi

(kontrol 11,25%)... 30 4.5. Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap (in vivo) dan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah diinokulasi dengan

suspensi cendawan entomopatogen (107 konidia/ml)... 37 4.6. Sporulasi in vivo beberapa spesies cendawan entomopatogen pada tubuh rayap 9 hari setelah diinokulasi... 38 5.1. Laju mortalitas rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann setelah 6 hari diinokulasi dengan berbagai tingkatan kerapatan konidia (107, 5.106, 106, 5.105, 105 konidia/ml) beberapa spesies cendawan entomopatogen... 51 5.2. Rayap tanah C. gestroi yang dikolonisasi oleh

B. bassiana (A) dan M. brunneum (B)... 54 5.3. Mortalitas rayap tanah C. gestroi oleh cendawan entomopatogen

M. brunneum pada perlakuan metode aplikasi kontak dan pengum- panan (7 hari setelah aplikasi)... 57 6.1. Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi (hari) yang diperlakukan

dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan variasi tingkatan proporsi vektor (10, 20, 30, 40 dan 50%) setelah 15 hari inokulasi (kontrol 5%)... 67


(16)

xvi

Gambar halaman

6.2 Penularan cendawan entomopatogen dari rayap yang terkonta- minasi (vektor) terhadap individu rayap sehat di dalam unit

percobaan……….… 68

6.3 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies

cendawan entomopatogen (5 hari setelah inokulasi)... 71 6.4 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan

proporsi.vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies

cendawan entomopatogen (15 hari setelah inokulasi)... 73 6.5. Rayap C. gestroi dikolonisasi oleh F. oxysporum ... 73 6.6. Mortalitas rayap C. curvignathus dan penurunan berat contoh

uji pada perlakuan 10 % vektor diinokulasi dengan cendawan

entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan ... 76 6.7. Tingkat serangan contoh uji oleh rayap C. curvignathus pada

perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan……… 78

7.1. Potensi cendawan entomopatogen yang diisolasi dari sumber inokulum di alam sebagai agens pengendalian hayati rayap tanah


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman 1. Koloni dan Deskripsi Mikroskopik Cendawan Entomopatogen pada

Media Saboraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) yang


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara tropik dengan iklim dan cuaca yang hangat sepanjang tahun merupakan tempat hidup yang sesuai bagi berbagai organisme perusak kayu seperti rayap, cendawan maupun serangga lainnya dengan keragaman yang tinggi. Diperkirakan hampir 80 – 85% dari luas daratan di Indonesia merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan rayap (Nandika 1999).

Hingga saat ini di dunia terdapat lebih dari 2300 spesies rayap yang dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok ekologi yang berbeda: kayu lembab, kayu kering, tanah (subterranean), arboreal/mound builder dan pohon. Kurang 15% dari keragaman spesies rayap tersebut berada pada tata ruang yang dikelola oleh manusia, dan sekitar 150 spesies diketahui menyerang struktur berbahan baku kayu. Dari sekian banyak spesies rayap 10% atau 200 spesies lebih ditemukan di Indonesia, dan sekitar 20 spesies berperan sebagai hama perusak kayu dan tanaman (Tarumingkeng 2001; Nandika et al. 2003; Yusuf 2004; Lewis 2006).

Diperkirakan berbagai spesies rayap perusak kayu dan bangunan akan terus menjadi bagian integral dari ekosistem Indonesia. Meluasnya pembangunan gedung dan pemukiman ke seluruh pelosok daerah cenderung meningkatkan integrasi antara koloni rayap dengan bangunan, yang berarti ancaman bahaya serangan rayap terhadap kayu dan bangunan di Indonesia semakin tinggi.

Di Indonesia, rayap tanah Coptotermes spp, merupakan spesies rayap perusak kayu bangunan yang paling banyak menyebabkan kerugian. Kerusakan yang diakibatkan oleh serangan spesies rayap ini paling mencolok dibandingkan dengan kerusakan oleh serangan organisme perusak yang lain, dan keadaan ini diperburuk dengan penggunaan spesies-spesies kayu yang keawetannya rendah. Oleh karena itu pengendalian rayap tanah sangat diperlukan untuk mempertahankan masa pakai kayu pada suatu bangunan.

Sampai saat ini berbagai teknologi pengendalian rayap telah dicoba, antara lain adalah: 1) Penggunaan termitisida yang diaplikasikan melalui tanah atau dengan cara impregnasi ke dalam kayu (chemical barrier), 2) Menggunakan penghalang fisik (physical barrier) yaitu untuk mencegah penetrasi rayap pada


(19)

bangunan dan 3) Teknologi pengumpanan (baiting), untuk mengeliminasi koloni rayap.

Pemanfaatan bahan kimia seperti organochlorine sangat efektif untuk pengendalian rayap namun membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Persistensinya yang bertahan lama di lingkungan menyebabkan jenis pestisida ini masuk ke dalam rantai makanan manusia. Sebagai alternatif lain penggunaan organophosphates dan synthetic pyrethroids selain efektif dianggap mempunyai resiko rendah terhadap mammalia dan lingkungan. Di samping penggunaan penghalang fisik seperti penggunaan granit, pasir, koral dan termite mesh untuk pengendalian rayap, perkembangan termitisida saat ini telah mengarah pada penggunaan bahan kimia dengan reaksi lambat seperti hexaflumuron dan bistrifluron (Sornnuwat 1996; Tarumingkeng 2000; Kubota et al. 2007).

Pengendalian rayap secara biologi menggunakan agens hayati dari golongan cendawan, nematoda, virus dan bakteri entomopatogen merupakan alternatif lain pengendalian rayap tanah (Pearce 1997). Penggunaan agens hayati tersebut untuk pengendalian rayap merupakan suatu wacana baru yang belum digunakan di Indonesia (Yusuf et al. 2005). Namun dari beberapa publikasi di negara-negara maju seperti Jepang, Australia, Amerika Serikat dan Perancis, penggunaan agens hayati dari golongan cendawan entomopatogen tampak lebih berhasil untuk pengendalian rayap.

Pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hayati rayap dengan proses atau metode penularan secara langsung maupun tidak langsung, merupakan suatu pilihan teknologi yang tepat dan menarik dikembangkan. Selain mempunyai arti strategis karena dapat memberikan nilai tambah tinggi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pengendalian rayap secara hayati, juga tidak berbahaya bagi lingkungan maupun pemakainya. Studi pemakaian cendawan entomopatogen untuk pengendalian rayap tanah spesies Coptotermes spp. telah dilakukan (Suzuki 1991; Jones et al. 1996; Delate et al. 1995). Cendawan Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin dan Beauveria bassiana (Bals.) Vuillemin yang termasuk kelas Hyphomycetes merupakan spesies yang paling cocok untuk pengendalian rayap (Khan et al. 1991; Suzuki 1991; Milner, et al. 1996). Temperatur optimum untuk pertumbuhan cendawan


(20)

3

M. anisopliae adalah: 25-30 0C dengan kelembaban 70-95%, dengan demikian kondisi Indonesia merupakan habitat yang sangat cocok.

Pada penelitian ini dipelajari cendawan entomopatogen yang diisolasi dari beberapa sumber inokulum yang terdapat di alam dan dikaji potensinya sebagai bahan pengendalian rayap yang ramah lingkungan.

Perumusan Masalah

Kerusakan kayu bangunan yang diakibatkan oleh rayap di Indonesia sudah sangat besar, apalagi kayu-kayu bangunan pada masa kini hanya ditunjang oleh kayu-kayu yang mempunyai kualitas awet rendah. Bahan kimia yang digunakan untuk mengawetkan kayu kebanyakan berasal dari bahan kimia yang sangat berbahaya bukan hanya terhadap penghuninya melainkan juga terhadap lingkungan. Penggunaan mikrob untuk menekan laju perkembangan rayap adalah salah satu cara pengendalian yang sangat ideal agar keseimbangan lingkungan dapat tercapai dan tidak membahayakan terhadap pemakainya.

Cendawan yang bersifat entomopatogen banyak ditemukan pada berbagai spesies hama tanaman yang telah mati di lapangan, diduga cendawan-cendawan tersebut mempunyai peranan besar atas kematian hama tersebut. Apabila cendawan dapat diisolasi dari tubuh serangga tersebut, maka hal ini akan membuka wacana baru dalam dunia pengawetan kayu, sehingga perkembangan rayap dapat dikendalikan dengan penggunaan cendawan entomopatogen.

Tujuan dan Kegunaan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman dan tingkat keefektifan masing-masing spesies atau isolat cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah Coptotermes spp.. Selain hal ini juga bertujuan untuk mengetahui metode penginfeksian serta penularan cendawan di dalam koloni rayap tanah.

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar maupun sumber informasi bagi pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. dengan menggunakan beberapa spesies cendawan entomopatogen yang efektif dengan metode infeksi dan penularan yang sesuai. Sehingga teknologi proses pemanfaatan mikrob cendawan untuk pembuatan bahan pengendalian rayap diharapkan dapat mendukung industri pestisida. Di samping itu sejalan dengan perhatian dan kesadaran masyarakat akan


(21)

masalah pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran akibat penggunaan bahan kimia anti rayap yang terus meningkat. Dengan demikian penelitian ini dapat mendukung perkembangan dan daya saing industri pengendalian rayap di masa mendatang. Secara umum penelitian ini terkait dengan pendayagunaan sumberdaya alam hayati yang lebih mengefisienkan pemanfaatan mikrob.

Hasil yang Diharapkan

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan:

1. Informasi tentang keragaman spesies atau isolat cendawan entomopatogen yang efektif dimanfaatkan sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. 2. Tingkat keefektifan cendawan dan persentase vektor efektif untuk

pengendalian koloni rayap tanah Coptotermes spp.

3. Menemukan metode yang cocok untuk pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di laboratorium.

4. Langkah awal untuk mencapai paket teknologi pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di Indonesia


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Rayap

Indonesia merupakan wilayah sebaran rayap yang penting di dunia, baik ditinjau dari keragaman jenis serangga tersebut yang mencapai tidak kurang dari 200 jenis atau kurang lebih 10% dari keragaman jenis rayap di dunia, maupun ditinjau dari luasnya sebaran geografis dari Aceh sampai Papua. Kondisi iklim dan tanah serta keragaman jenis tumbuhan di Indonesia yang tinggi sangat mendukung kehidupan rayap, dan 80% daratan Indonesia merupakan habitat yang baik bagi kehidupan berbagai jenis serangga ini (Nandika et al. 2003). Beberapa faktor dapat menyebabkan rayap menyerang bangunan, antara lain kayu yang tertimbun tanah pada waktu pembangunan, ada celah pada pondasi tembok, sistem ventilasi kurang baik, kayu yang berhubungan langsung dengan tanah dan kondisi biofisik tapak bangunan itu sendiri yang menguntungkan kehidupan rayap.

Menurut Lewis (2006) perkiraan kerugian yang ditimbulkan oleh rayap secara global sulit ditemukan pada referensi tetapi pasti mencapai milyaran dollar Amerika setiap tahun. Di Indonesia, pada tahun 2000 kerugian ekonomi yang disebabkan oleh serangan rayap pada bangunan diperkirakan mencapai 200 – 300 juta dollar Amerika (Yusuf 2004).

Rayap merupakan serangga sosial yang tergolong ke dalam ordo Isoptera yang hidup dalam satu koloni dengan organisasi individu yang secara morfologi dibedakan menjadi bentuk dan kasta yang berlainan. Kasta yang terdapat di dalam koloni rayap meliputi kasta pekerja, kasta prajurit dan kasta reproduktif, masing-masing kasta melakukan fungsi yang berbeda satu dengan lainnya (Pearce 1997).

Kasta pekerja merupakan anggota yang sangat penting dalam koloni rayap, tidak kurang dari 80 – 95% populasi dalam koloni rayap merupakan individu-individu kasta pekerja. Kasta pekerja umumnya berwarna pucat dengan kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga nampak menyerupai nimfa. Kasta prajurit berfungsi melindungi koloni terhadap gangguan dari luar, khususnya semut dan vertebrata predator. Kasta prajurit mampu menyerang musuhnya


(23)

dengan mandibel yang dapat menusuk, mengiris dan menjepit. Biasanya gigitan kasta prajurit pada tubuh musuhnya sukar dilepaskan sampai prajurit itu mati sekalipun (Nandika et al. 2003)

Kasta reproduktif terdiri dari individu-individu seksual yaitu betina (ratu) yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Kasta ini dibedakan menjadi kasta reproduktif primer dan kasta reproduktif suplementer atau neoten. Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang bersayap dan merupakan pendiri koloni. Menurut Richard dan Davies (1996) neoten muncul segera setelah kasta reproduktif primer mati atau hilang setelah pemisahan koloni. Neoten dapat terbentuk beberapa kali dalam jumlah yang besar sesuai dengan perkembangan koloni. Selanjutnya, neoten menggantikan fungsi kasta reproduktif primer untuk perkembangan koloni.

Krishna dan Weesner (1969) menyatakan rayap adalah serangga sosial yang dapat diklasifikasikan ke dalam 6 famili dan 15 sub famili. Famili tersebut adalah: Mastotermitidae, Kalotermitidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae dan Termitidae. Rayap tanah genus Coptotermes termasuk ke dalam sub famili Coptotermitinae famili Rhinotermitidae. Menurut Tambunan dan Nandika (1987), Coptotermes spp. merupakan salah satu rayap tanah paling luas serangannya di Indonesia, dan diklasifikasikan sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Sub-klas : Pterigota

Ordo : Isoptera

Famili : Rhinotermitidae Sub-famili : Coptotermitinae Genus : Coptotermes

Thapa (1981) menyatakan genus Coptotermes memiliki kepala bewarna kuning, antena, labrum dan pronotum kuning pucat, bentuk kepala bulat ukuran panjang sedikit lebih besar dari lebarnya, memiliki fontanel yang lebih lebar. Antena rata-rata terdiri dari 15 segmen; segmen kedua dan segmen ke empat sama panjangnya. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di ujungnya; sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala


(24)

7

tanpa mandibel 1,56 mm – 1,68 mm. Lebar kepala 1,40 mm – 1,44 mm. Bagian abdomen yang bewarna putih kekuning-kuningan ditutupi rambut menyerupai duri. Suratmo (1974) menyatakan panjang badan kasta reproduktif 7,5 mm – 8,0 mm, kasta pekerja 4,5 mm – 5,0 mm dan prajurit 5,0 mm – 5,3 mm.

Tarumingkeng (2004) menyatakan, di Indonesia jenis Coptotermes yang telah teridentifikasi adalah a). Coptotermes curvignathus Holmgren merupakan jenis terbesar dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 14 -16, panjang kepala prajurit (termasuk mandibel) 2,4 - 2,6 mm. b). Coptotermes travians Holmgren dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 13 - 15; panjang kepala prajurit 1,8 - 2,1 mm mandibel relatif pendek, kira-kira sepanjang setengah panjang kepala c). Coptotermes havilandi Holmgren (C. javanicus Kemner) dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 15 - 18; panjang kepala prajurit 2,0 - 2,2. Mandibel lebih panjang dari pada C. travians d). Coptotermes kalshoveni Kemner dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 13 - 14 panjang kepala prajurit 1,6 - 1,7 mm. Jenis ini merupakan yang terkecil di antara genus Coptotermes.

Pengendalian Rayap

Pengendalian rayap tanah di Indonesia telah banyak dilakukan dengan cara mengimpregnasikan bahan pengawet (termitisida) ke dalam kayu, melakukan penyemprotan ke dalam tanah (soil treatment), sistim pengumpanan dan kontak langsung. Yusuf (2001b), menyatakan bahwa sampai saat ini upaya pengendalian rayap yang populer di Indonesia adalah melalui penggunaan insektisida, baik metode perlakuan kayu maupun perlakuan tanah (soil treatment); dengan cara tersebut akan terbentuk rintangan kimiawi (chemical barrier) baik di kayu maupun tanah sekeliling bangunan.

Menurut Pearce (1997), metode tradisional meliputi pencelupan kayu pada aspal batu bara, petrol, creosote atau pentachlorophenol, juga dapat memberikan perlindungan pada kayu untuk beberapa tahun. Selain hal tersebut membakar pada bahagian ujung kayu yang kontak dengan tanah atau melapisi kayu dengan minyak mesin atau diesel juga dapat memberikan perlindungan jangka pendek.


(25)

Garam metal dan oksida, seperti merkuriklorida, copper sulphate, merkuri, zinc oksida dapat efektif untuk 3-5 tahun. Chlorpyrifos, permethrin, bifenthrin, cypermethrin dan deltamethrin juga efektif, tetapi lebih mahal dan kegunaannya dibatasi untuk bangunan yang bernilai tinggi.

Pearce (1997) menyatakan bahwa, teknik pengumpanan lebih meng-untungkan karena tanah tidak lagi terkontaminasi oleh bahan kimia, dan dapat meringankan pekerjaan dari perlakuan yang intensif. Caranya yaitu menempatkan umpan yang tidak beracun dekat koloni rayap dan kemudian mengulangi penempatan umpan yang mengandung racun. Keefektifan umpan tergantung pada perilaku rayap, yang penting rayap harus dapat menemukan umpan dan dengan reaksi racun yang lambat rayap dapat menyebarkan ke koloninya. Hal tersebut dapat terlaksana jika umpan lebih menarik dari pada makanan di sekeli-lingnya. Gula, madu, penambahan jamur pelapuk, asam amino, sumber nitrogen bahkan feromon dapat meningkatkan laju konsumsi.

Yusuf (2001a), melakukan penelitian pengendalian terhadap rayap tanah Coptotermes sp. dengan menggunakan chlorpenapyr pada berbagai konsentrasi dengan sistem pengumpanan, hasil penelitiannya menunjukan bahwa waktu aplikasi dan konsentrasi perlakuan sangat mempengaruhi mortalitas yang terjadi. Chlorpenapyr juga dapat diaplikasikan dengan metode duster (Yusuf, 2001b).

Perlakuan pada kayu yang juga penting adalah fumigasi, baik dengan sulphuryl fluoride atau methyl bromides. Perlindungan museum, perpustakaan dan tempat penyimpanan dokumen cocok menggunakan cara fumigasi ini terutama untuk serangan rayap kayu kering. Selain ini juga digunakan electroguns yang mengandalkan gas galleries. Metode lebih baru yang sedang dicobakan adalah membakar propane (gas metan) dekat kayu yang terinfeksi rayap dengan menaikan suhu sampai 66 oC; cara ini bermanfaat untuk perlakuan khusus pada rayap kayu kering (Pearce 1997).

Cara pengendalian lainnya, seperti dengan menggunakan nematoda entomopatogen Steinernema carpocapsae juga dapat dilakukan (Bakti 2004). Cates (2007) menyatakan bahwa, penggendalian serangga dapat juga menggunakan agens hayati lain, termasuk berbagai spesies cendawan, bacteria, nematoda dan virus.


(26)

9

Cendawan Entomopatogen

Cendawan adalah organisme multi seluler yang berfilamen dan memiliki khitin, khitosan, glukan dan mannan dalam dinding selnya. Klasifikasinya didasarkan pada produksi konidia atau spora, struktur morfologi, alat reproduksi, ciri-ciri koloni dan sifat hifanya (Lay & Hastowo 1992).

Cendawan entomopatogen pertama kali dilaporkan lebih dari 2000 tahun yang lalu, teridentifikasi di China pada cendawan Cordyceps (Ascomycota) yang menginfeksi larva Lepidoptera (Boucias & Pendland 1998). Carruthers dan Hurar 1990 dalam Oliveira et al. (2003) menyatakan bahwa cendawan entomopatogen merupakan cendawan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengendalian hayati penting untuk banyak serangga hama. Pengendalian hayati lebih berhasil bila dilengkapi dengan pemanfaatan cendawan entomopatogen.

Keragaman antar jenis cendawan entomopatogen sangat tinggi. Menurut klasifikasi yang dikemukakan oleh Ainsworth 1963 dalam Butt et al. (2001), cendawan terdiri dari dua Divisi yaitu Myxomycota dan Eumycota. Cendawan entomopatogen ditemukan pada Divisi Eumycota yang terdiri dari sub-divisi: Mastigomycotina, Zygomycotina, Ascomycotina, Basidiomycotina dan Deuteromycotina. Menurut Tanada dan Kaya (1993) Kebanyakan cendawan entomopatogen ditemukan pada sub-divisi Zygomycotina, klas Zygomycetes, ordo Entomophthorales; sub-divisi Ascomycotina, klas Pyrenomycetes, ordo Sphaeriales, klas Laboulbeniomycetes, ordo Laboulbeniales; dan pada sub-divisi Deuteromycotina, klas Hyphomycetes, ordo Moniliales.

Beberapa genus cendawan entomopatogen yang tergolong ke dalam sub-divisi Deuteromycotina, klas Hyphomycetes, ordo Moniliales dan famili Moniliaceae, misalnya: Aspergilus, Beauveria, Fusarium, Metarhizium, Paecilomyces dan Verticilium (Boucias & Pendland 1998).

Keragaman intraspesies pada cendawan entomopatogen umum terlihat pada perbedaan virulensinya (Hajek & Leger 1994). Hal-hal yang mempengaruhi perbedaan keragaman intraspesies di antaranya adalah sumber isolat, inang dan faktor daerah geografis asal isolat (Varela & Morales 1995; Beretta et al. 1998). Hal ini akan berakibat pada keragaman karakter di dalam spesies baik secara fisiologis maupun genetik. Secara umum dikemukakan bahwa strain dari spesies


(27)

cendawan patogen yang diisolasi dari satu jenis inang lebih virulen untuk inang tersebut dibandingkan dengan strain yang diisolasi dari inang yang lain. Seperti yang dikemukakan oleh Boucias dan Pendland (1998), cendawan B. bassiana yang diisolasi dari lingkungan koloni rayap lebih tinggi virulensinya jika diinfeksikan terhadap rayap.

Boucias dan Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang dan dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya sehingga nutrisi di dalam hemolymph habis oleh pertumbuhan cendawan yang begitu cepat, sehingga menyebabkan inang akan mati. Di samping itu cendawan dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan zat beracun yang mengganggu perkembangan inang secara normal. Beberapa zat beracun (toxin) yang dihasilkan cendawan yang dapat membunuh serangga adalah: beauvericin oleh B. bassiana, Paecilomyces, Fusarium dan bassianolide oleh B. bassiana, cyclosporin A oleh B. bassiana, Verticillium, Fusarium, Tolypocladium dan oosporein oleh B. bassiana, asam oksalat oleh Beauveria brongniartii, destruxins oleh M. anisopliae dan Aspergillus ochraceus, cytochalasins oleh M. anisopliae, swainsonine oleh M. anisopliae, aflatoxins oleh Aspergillus, asam kojic oleh Aspergilus flavus dan restrictocin oleh Aspergillus fumigatus.

Ferron 1981 di dalam Scholte et al. (2004), menyatakan bahwa di dalam studi histopathological pada jaringan elaterid yang diinfeksi M. anisopliae memperlihatkan bahwa toxin (destruxin) membunuh serangga inang dengan merangsang atau memacu terjadinya kemerosotan jaringan serangga inang. Hal ini mengakibatkan keutuhan struktural membran hilang, kemudian terjadi dehidrasi sel akibat kehilangan cairan. Dalam hal ini memungkinkan terjadinya penyumbatan spiracles dan dapat menyebabkan kematian sebelum penyerbuan pada hemocoel terlihat nyata dan pembentukan tubuh hifa masih sedikit.

Kemampuan patogen untuk bisa menimbulkan penyakit ditentukan oleh berbagai faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan. Dari segi patogen, dosis dan cara aplikasi akan mempengaruhi mortalitas serangga. Dari segi inang, berbagai faktor fisiologi dan morfologi inang mempengaruhi kerentanan serangga terhadap cendawan entomopatogen, seperti kerapatan populasi, perilaku, umur, nutrisi,


(28)

11

genetika dan perlakuan. Salah satu faktor yang berperan penting dalam keberhasilan penggunaan cendawan entomopatogen adalah stadia perkembangan serangga karena tidak seluruh stadia dalam perkembangan serangga rentan terhadap infeksi cendawan. Dari segi lingkungan, berbagai faktor lingkungan seperti radiasi matahari, suhu, kelembaban relatif, curah hujan dan tanah sangat mempengaruhi efikasi cendawan entomopatogen terhadap serangga hama. Semua faktor lingkungan saling berinteraksi, dan interaksi yang komplek dan dinamik ini menentukan efikasi cendawan (Inglis et al. 2001).

Di antara cendawan entomopatogen yang dimanfaatkan untuk mengendalikan rayap Coptotermes sp., Reticulitermes flavipes atau Odontotermes adalah M. anisopliae dan B. bassiana. Kedua jenis cendawan ini telah diuji keefektifannya oleh Zoberi 1995 dalam Bayon et al. (2000) di laboratorium dengan sistem pengumpanan dan kontak secara langsung. Percobaan ini mengkontaminasi rayap R. flavipes dengan M. anisopliae yaitu menempatkan konidia cendawan pada rayap pekerja. Hal ini menghasilkan 100% mortalitas dalam waktu 5 hari, dan 12 hari pada metode pengumpanan. Penelitian lainnya yaitu dengan cara pemindahan rayap kasta pekerja yang terkontaminasi sebagai vektor penyakit cendawan ke rayap yang sehat di dalam cawan petri. Dengan cara ini rayap yang sehat mati setelah 8 hari.

Dengan metode pengumpanan selembar kertas saring, Suzuki (1991) membuktikan keefektifan patogen M. anisopliae terhadap Coptotermes formosanus dan Reticulitermes speratus dengan hasilLT50 11 hari. Selain hal ini,

kertas terkontaminasi spora M. anisopliae juga berperan penting untuk laju mortalitas rayap Cryptotermes brevis (Nash & Moein 1997 dalam Bayon et al. 2000). Milner et al. (1996) menyatakan spesies cendawan M. anisopliae dan B. bassiana tidak bersifat patogen terhadap mamalia dan spesifik terhadap rayap.

Saat ini M. anisopliae telah secara komersil dikembangkan ke dalam suatu produk yang disebut dengan Bio-BlastTM, termitisida hayati yang telah di daftar oleh US EPA pada tahun 1994 (Rath & Tidbury 1996; Krueger et al. 1995 dalam Bayon et al. 2000) untuk diaplikasikan di atas tanah. Cloyd (2003) menyatakan pada uji laboratorium, kematian rayap dapat terjadi pada hari ke 4 – 10,


(29)

tergantung pada temperatur. Viabilitas cendawan menurun pada temperatur tinggi dan virulensi cendawan menurun pada temperatur rendah.

Maniania et al. (2002) telah melakukan studi di lapangan selama dua musim untuk menilai kemanjuran cendawan entomopatogen M. anisopliae. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa formulasi granular dapat bermanfaat sebagai pengendalian rayap di ekosistem pertanian jagung.


(30)

BAB III

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengawetan Kayu UPT Balai Litbang Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor (IPB), sejak Februari 2004 sampai dengan Desember 2005. Secara umum tahapan prosedur pelaksanaan diringkas pada Bab ini dan secara rinci dibahas pada bab-bab berikutnya.

Tahap Persiapan

Spesies Rayap yang Digunakan

Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit rayap tanah spesies Coptotermes gestroi Wasmann (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Balai Litbang Biomaterial LIPI Cibinong, dan spesies Coptotermes curvignathus Holmgren yang dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB.

Sumber Isolat

Isolat cendawan entomopatogen diperoleh dari serangga hama tanaman (inang) terinfeksi yaitu ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak (Spodoptera litura F.), penghisap polong kedele (Riptortus linearis L.), walang sangit(Leptocorisa oratorius F), rayap tanah (C. curvignathus), tanah dan pasir.

Isolat yang berasal dari tanah dan pasir terlebih dahulu dilakukan teknik perangkap (trapping technique) terhadap cendawan entomopatogen menggunakan hama gudang Tenebrio molitor (Keller & Zimmermann 1989). Masing-masing tanah dan pasir ditempatkan di dalam cawan petri berdiameter 15 cm, kemudian di tempatkan ke dalamnya 20 ekor hama gudang T. molitor dan diinkubasi pada suhu ruangan selama 2 minggu. T. molitor yang mati dan dikolonisasi oleh cendawan entomopatogen diambil dan biarkan bersporulasi di dalam cawan petri yang diberi alas kertas tisu lembab.


(31)

Prosedur Isolasi

Dalam tabung reaksi, sumber isolat cendawan entomopatogen ditambah air steril yang mengandung 0,05% triton X-100 dan diaduk selama 5 menit sehingga terbentuk suspensi konidia. Suspensi konidia tersebut diambil 0,5 ml, kemudian ditambahkan dengan 4,5 ml akuades steril di dalam tabung reaksi. Suspensi sebanyak 0,1 ml diinokulasikan pada media Saboraud Dextrose Agar with Yeast extract (SDAY) di dalam cawan petri. Komposisi media SDAY adalah dekstrosa 10 g, pepton 2,5 g, ekstrak khamir 2,5 g, agar-agar 20 g dalam akuades 1 liter yang mengandung 250 ppm chloramphenicol (Samuels et al. 2002), dan diinkubasi pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 4-6 hari. Koloni yang membesar dengan bentuk berbeda atau warna berbeda pada media biakan, diambil dan masing-masing koloni tersebut diinokulasi secara terpisah pada media SDAY baru. Kultur murni didapatkan dengan suksesi inokulasi suatu koloni pada media SDAY. Kemudian stok kultur isolat disimpan pada suhu 4 0C sampai waktu penggunaan (Sudiyani et al. 2002).

Prosedur Identifikasi

Identifikasi dilakukan secara visual terhadap pertumbuhan koloni isolat pada media SDAY dalam cawan petri. Untuk pengamatan mikroskopik terlebih dahulu isolat tersebut ditumbuhkan pada kaca objek cekung dengan metode slide culture (Becnel 1997). Identifikasi cendawan mengacu pada prosedur yang diurai oleh Barneet dan Hunter (1972), Domsch et al. (1980), Singh et al. (1991) dan Ellis (1993), yaitu dengan melihat ciri morfologi khas yang dimiliki oleh masing-masing cendawan.

Persiapan Suspensi Konidia

Sebelum digunakan, isolat hasil isolasi dibiakan kembali pada media SDAY di cawan petri berdiameter 9 cm dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 24 0

C dan kelembaban relatif 95% selama 3 minggu. Kemudian disiapkan suspensi menggunakan air steril yang telah mengandung 0,05% Triton X-100 dengan kerapatan sebagai berikut: a) 107 konidia/ml untuk uji tapis (screening), b) 105


(32)

15

konidia/ml, 5.105 konidia/ml, 106 konidia/ml, 5.106 konidia/ml dan 107 konidia/ml untuk uji keefektifan (bioassay) terhadap rayap, c) LC95 dari cendawan terseleksi pada uji keefektifan untuk uji metode kontak dan umpan.

Uji Tapis dan Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomopatogen

Terhadap Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann

Suspensi konidia dari masing-masing isolat disiapkan seperti diterangkan sebelumnya. Pada setiap unit percobaan sebanyak 20 ekor rayap pekerja dan 2 ekor prajurit C. gestroi dicelupkan ke dalam suspensi konidia selama 4 detik sesuai perlakuan dan langsung ditempatkan pada cawan petri Ø 9 cm yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan rayap. Seluruh unit percobaan dipelihara pada kondisi gelap pada suhu ruangan dan mortalitas rayap dihitung setiap hari selama 6 hari setelah inokulasi.

Metode Kontak dan Umpan

Kontak (Contact method)

Suspensi konidia cendawan disiapkan seperti diterangkan sebelumnya. Pada setiap unit percobaan 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor prajurit dicelupkan ke dalam LC95 suspensi cendawan Metarhizium brunneum Petch, kemudian ditempatkan pada cawan petri Ø 9 cm yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan. Nilai LC95 diketahui dari percobaan sebelumnya (uji keefektifan).

Umpan (Baiting method)

Suspensi konidia cendawan disiapkan seperti diterangkan sebelumnya. Kertas saring bewarna biru yang diwarnai dengan Nile blue A 0,05% kemudian diinokulasi dengan LC95 cendawan M. brunneum, dikering anginkan dan ditempatkan di dalam cawan petri Ø 9 cm. Sejumlah 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor prajurit untuk setiap ulangan dipelihara di dalamnya.


(33)

Uji Aplikasi dengan Penularan di Laboratorium

Uji Penularan di dalam koloni rayap tanah C. gestroi

Dalam percobaan ini sebagian populasi rayap (vektor) diinokulasi dengan cendawan pada konsentrasi LC95. Persentase populasi vektor yang digunakan adalah 10%, 20%, 30%, 40%, 50% terhadap populasi total. Populasi total yang digunakan adalah 20 ekor rayap pekerja dan dua ekor rayap prajurit. Cendawan entomopatogen yang digunakan adalah isolat yang menunjukkan patogenisitas tinggi pada uji tapis. Vektor dipelihara bersama-sama dengan rayap sehat pada unit percobaan (cawan petri Ø 9 cm) yang telah dialasi kertas saring sebagai sumber makanan. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai 2 minggu.

Uji Penularan di dalam koloni rayap tanah C. curvignathus

Pada penelitian ini digunakan spesies cendawan entomopatogen dan proporsi vektor (%) terseleksi pada uji penularan koloni rayap tanah C. gestroi. Rayap tanah C. curvignathus sebanyak 100 ekor pekerja dan 10 ekor prajurit ditempatkan ke dalam setiap unit percobaan (tabung glas Ø 7,5 cm dengan tinggi 10 cm) yang telah di beri kayu pinus (2 cm x 1 cm x 1 cm) sebagai sumber makanan dan 20 mg tanah (Falah 2005). Unit-unit percobaan tersebut dipelihara pada suhu ruangan dengan kondisi gelap selama 2 minggu. Pengamatan hanya dilakukan di akhir penelitian. Bagan alur penelitian ini disajikan pada Gambar 3.1


(34)

17

III

Koleksi Lab. Peremajaan

Pemeliharaan Rayap Koleksi

Cendawan

Nile blue 0,05%

Perbanyakan Diisolasi dari Inang

I

Isolat murni

Pemurnian

Suspensi (107 konidium/ml )

Variabel: Mortalitasi, Sporulasi Rayap uji Variabel: Identifikasi Rayap Vektor: 10% 20% 30% 40% 50%

Keragaman isolat (spesies)

Isolat (spesies) terpilih

Variabel: Mortalitas

Lethal Time & Metode terpilih

Variabel: Mortalitas

Spesies cendawan entomopatogen dengan LC, metode dan % vektor efektif untuk pengendalian rayap tanah

C. gestroi dan C curvignathus di Laboratorium

III

II

Keterangan:

1. Keragaman spesies atau isolat cendawan entomopatogen yang digunakan:

diisolasi dari sumber inang di alam dan koleksi Laboratorium Patologi Serangga Departemen HPT Fak. Pertanian IPB

2. I, II & III: Tahapan penelitian ke I, II & III

3. Vektor: Rayap terkontaminasi cendawan entomopatogen

Gambar 3.1. Diagram cakupan penelitian proses pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai patogen untuk pengendalian rayap tanah

C. gestroi dan C. curvignathus di laboratorium

Variabel: Karakterisasi fisiologi cendawan

Variabel: Mortalitas Metode:

Kontak dan umpan Kerapatan

0, 10 5, 5.10 5, 15.106, 107 konidium/ml

Lethal Concentration


(35)

Analisis Data

Untuk setiap tahapan penelitian, data hasil penelitian dianalisis berdasarkan rancangan penelitian sebagai berikut:

1. Tahap penelitian I, data hasil penelitian variabel mortalitas rayap C. gestroi dan sporulasi in vivo dengan perlakuan 16 isolat cendawan entomopatogen, karakterisasi fisiologis cendawan (viabilitas, diameter koloni dan sporulasi in vitro) spesies cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch., Beauveria bassiana (Bals) Vuill., Fusarium oxysporum Link., Aspergillus flavus Link., Myrothecium roridum Tode EXFR dan kontrol dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (Steel & Torrie 1993).

2. Tahap penelitian II, untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing spesies cendawan (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus) dengan tingkatan kerapatan konidia (105, 5.105,

106, 5.106, 107 konidia/ml dan kontrol) terhadap mortalitas rayap C. gestroi, lethal concentrations (LC) untuk uji keefektifan berbagai spesies cendawan dan lethal time (LT) pada uji metode kontak dan umpan adalah bersasarkan analisis probit (Finney 1971).

3. Tahap penelitian III, untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing spesies cendawan (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum ) dengan proporsi vektor (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan kontrol) terhadap mortalitas rayap C. gestroi pada uji aplikasi dengan metode penularan di laboratorium dianalisis berdasarkan analisis regresi (Mattjik & Sumertajaya, 2000) sedangkan terhadap mortalitas rayap C. curvignathus dengan perlakuan proporsi vektor 10% yang diinokulasi dengan LC95 M. brunneum dan kontroldi analisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (Steel & Torrie 1993).


(36)

BAB IV

ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN

ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM

DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH

COPTOTERMES GESTROI WASMANN

Abstrak

Cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau inokulum di alam yaitu dari ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak (Spodoptera litura

F.), walang sangit (Leptocorisa oratorius F.), penghisap polong (Riptortus linearis L.), rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren.), tanah dan pasir telah diisolasi dan identifikasi untuk menentukan patogenisitasnya terhadap rayap

tanah Coptotermes gestroi Wasmann, kemudian masing-masing isolat

ditempatkan pada suhu 4 0C. Sebelum digunakan, semua isolat dikulturkan kembali pada media agar Sabouraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) dan data yang diperoleh dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji sidik ragam. Perbedaan antara isolat diuji lanjut menggunakan Duncan's Multiple Range Test. Hasil isolasi mengindikasikan keragaman spesies cendawan lebih tinggi pada inang yang berasal dari hama tanaman terinfeksi dibandingkan dari sumber inokulum yang berasal dari tanah dan pasir, setelah diidentifikasi beberapa spesies cendawan yang ditemukan adalah: Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok, Metarhizium brunneum Petch, Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith,

Penicillium citrinum Thom. Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link., Myrothecium roridum Tode ExFR, Fusariumoxysporum Link., dan

Fusarium solani Link., spesies B. bassiana paling dominan. Uji patogenisitas mengindikasikan bahwa umumnya isolat bersifat patogen terhadap rayap dan dapat menyebabkan mortalitas lebih dari 60% setelah 6 hari inokulasi. Mortalitas rayap tertinggi disebabkan oleh M. anisopliae dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari inang walang sangit, F.oxysporum dari inang ulat grayak, dan A.flavus dari inang rayap tanah yaitu dapat menyebabkan mortalitas rayap 100%, dan diikuti oleh kemampuan bersporulasi secara in vivo yang cukup tinggi (76,25% - 96,25%) kecuali spesies

M. anisopliae dan M. roridum. Kemudian isolat-isolat terseleksi disiapkan untuk dipelajari karakterisasi fisiologisnya, hasilnya mengindikasikan: kemampuan berkecambah tertinggi oleh M. brunneum dari pasir, diameter koloni tertinggi oleh F. oxysporum dari inang ulat grayak dan kemampuan bersporulasi secara in vitro tertinggi oleh B. bassiana dari inang walang sangit.

Kata kunci: Bio-kontrol, uji tapis, cendawan entomopatogen, patogenisitas, karakter fisiologis, C. gestroi


(37)

Pendahuluan

Cendawan entomopatogen termasuk genera cendawan yang berasosiasi dengan serangga dan beberapa spesies arthropoda lainnya (seperti laba-laba dan kutu) dengan berbagai cara, yaitu sebagai saprofit, kommensalistik, parasit atau patogen (Boucias & Pendland 1998). Di pertanian dan perkebunan di Indonesia juga banyak ditemukan serangga terinfeksi oleh cendawan entomopatogen. Diharapkan cendawan tersebut dapat diisolasi dan dibiakkan pada media sintetik untuk dimanfaatkan sebagai agens pengendalian rayap secara hayati. Untuk tujuan ini diperlukan koleksi dan uji tapis cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam untuk mengetahui tingkat keragaman spesies dan keefektifannya terhadap rayap. Menurut Keller dan Zimmermann (1989), cendawan entomopatogen hanya dapat menginfeksi satu atau beberapa jenis serangga saja, karena jenis serangga secara umum jarang ditemukan mempunyai tingkat kerentanan yang serupa.

Di samping hal tersebut juga perlu dipelajari kemampuan cendawan bersporulasi secara in vivo dan in vitro serta informasi tentang karakter fisiologis lainnya. Hal ini penting dilakukan karena cendawan entomopatogen bersifat spesifik dalam hubungannya dengan inang dan potensinya untuk dapat diperbanyak secara massal, serta dapat tersebar luas setelah bersporulasi pada

inang sasaran di dalam koloni. Menurut Behle et al. (1999), cendawan

entomopatogen mempunyai keuntungan-keuntungan dibanding migro organisme patogen lainnya diantaranya: cendawan cenderung mempunyai sebaran inang yang lebih luas, beberapa cendawan entomopatogen menghasilkan spora yang toleran terhadap proses pengawetan lewat pengeringan dan menghasilkan stabilitas yang bagus dalam masa penyimpanan.

Pada penelitian pendahuluan, penggunaan cendawan entomopatogen yang diperoleh dari hama tanaman dengan kerapatan konidia 108 konidia/ml dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah inokulasi. Pada penelitian berikut, dicoba penggunaan cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau inokulum di alam yang meliputi isolasi, identifikasi, dan uji tapis cendawan


(38)

21

dengan tujuan untuk mendapatkan isolat cendawan entomopatogen yang efektif dimanfaatkan sebagai pengendali rayap C. gestroi.

Bahan dan Metode

Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pengawetan Kayu UPT Balai Litbang Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB).

Jenis Rayap yang Digunakan

Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan kasta prajurit spesies rayap tanah C. gestroi (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Balai Litbang Biomaterial LIPI Cibinong selama 2 tahun.

Persiapan Isolat Cendawan

Sumber isolat cendawan entomopatogen dikoleksi dan diisolasi dari hama tanaman terinfeksi, tanah dan pasir mengacu pada Bab III.

Prosedur Isolasi

Prosedur isolasi telah dijelaskan pada Bab III.

Prosedur Identifikasi

Prosedur identifikasi telah dijelaskan pada Bab III.

Prosedur Perbanyakan

Perbanyakan dilakukan pada media SDAY dengan cara menginokulasikan konidia kultur murni cendawan di dalam cawan petri. Biakan diinkubasikan selama 3 minggu dalam inkubator dengan suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95%. Untuk menjaga tingkat virulensinya sebelum perlakuan cendawan diremajakan dengan cara menginfeksikan ke serangga sasaran (rayap). Rayap


(39)

yang terinfeksi cendawan dibiarkan selama 2 minggu sampai bersporulasi (Ansari

et al. 2004), kemudian cendawan dari tubuh rayap diisolasi lagi sampai didapatkan lagi kultur murni. Kultur murni tersebut dibiarkan bersporulasi sempurna kurang lebih 3 minggu sehingga siap digunakan sebagai bahan uji. Pada percobaan ini cendawan yang digunakan untuk pengujian adalah pada perbanyakan kedua (F2). Keberhasilan peremajaan ditentukan oleh berhasilnya cendawan menginfeksi dan bersporulasi pada tubuh rayap.

Penyediaan Suspensi Konidia

Suspensi konidia disiapkan dengan menambahkan 2 ml akuades steril yang telah mengandung 0,05% Triton X-100 ke dalam cawan petri berisi biakan cendawan yang telah berumur 3 minggu. Cawan digoyang-goyang, kemudian dengan bantuan kuas kecil steril konidia dapat terlepas. Konidia tersebut disaring dengan kain kasa dan dilakukan 4 kali pengenceran, selanjutnya dilakukan pengenceran dengan air sampai diperoleh konsentrasi yang diinginkan dengan kerapatan sebagai berikut: a). 107 konidia/ml untuk uji patogenisitas dan uji sporulasi in vivo, b). 106 konidia/ml untuk uji daya kecambah dan diameter koloni, c). 105 konidia/ml untuk uji sporulasi in vitro. Konidia dihitung dengan menggunakan haemocytometer.

Uji Patogenisitas

Suspensi konidia masing-masing isolat disiapkan seperti diterangkan di atas. Sebanyak 80 ekor kasta pekerja dan delapan ekor kasta prajurit rayap C. gestroi dicelupkan kedalam 0,50 ml suspensi konidia yang telah diaduk. Kontrol hanya dicelupkan dalam larutan 0,05% Triton X-100. Kertas saring Whatman no. 40 ditempatkan kedalam cawan petri sebagai sumber makanan kemudian rayap (20 ekor pekerja dan dua ekor prajurit) yang telah diinokulasi cendawan ditempatkan ke dalamnya. Semua perlakuan dipelihara pada ruangan dengan kondisi gelap dan mortalitas dihitung setiap hari selama satu minggu. Rayap yang mati diinkubasi pada suhu 24 0C dan kelembaban relatif 95% selama 5-7 hari untuk melihat sporulasi cendawan pada tubuh rayap yang telah mati. Percobaan diulang 4 kali.


(40)

23

Sporulasi in Vivo

Cendawan yang menyerang serangga akan bersporulasi yaitu miselianya tumbuh di permukaan tubuh rayap yang mati. Data untuk pengujian sporulasi in vivo diambil dari data rayap yang mati pada uji patogenisitas yang diinkubasi pada suhu 24 0C dan RH 95% selama 5-7 hari. Setiap perlakuan diulang 4 kali. Persentasi sporulasi dihitung dengan rumus:

Sporulasi = Rayap terkolonisasi X 100% Jumlah rayap perlakuan

Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen in Vitro

Evaluasi daya kecambah konidia

Pengamatan daya kecambah konidia menggunakan metode yang dilakukan oleh Junianto dan Sukamto 1995 dalam Trizelia (2005). Media SDAY (Ø 0,5 cm tebal 1-2 mm) yang telah ditetesi suspensi konidia berkerapatan 106 konidia/ml diletakkan di atas objek gelas steril, kemudian dimasukkan kedalam cawan petri dan diinkubasi pada suhu 24 0C selama 12 - 24 jam. Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Persentase konidia yang berkecambah dihitung dari 100 konidia. Konidia dinyatakan telah berkecambah apabila tabung kecambah (germ tubes) telah muncul lebih panjang dari diameter konidia.

Diameter koloni

Media SDAY yang telah ditumbuhi miselia masing-masing isolat berumur 5 hari dengan dimeter 0,8 cm ditumbuhkan pada media SDAY baru di dalam cawan petri dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 24 0C. Diameter koloni dari masing-masing isolat diukur setelah hari ke 15.

Sporulasi in vitro

Untuk menghitung sporulasi masing-masing isolat pada media SDAY, disiapkan kerapatan suspensi konidia cendawan 105 konidia/ml. Suspensi konidia masing-masing isolat sebanyak 0,1 ml dikulturkan pada media SDAY dalam


(41)

cawan petri (Ø 9 cm), dan diinkubasi selama 15 hari pada suhu 24 0C. Kemudian biakan cendawan dimasukkan ke dalam wadah erlenmeyer dan ditambahkan 40 ml aquades steril, dikocok dengan vortex selama 5 menit, disaring dan dilakukan pengenceran sampai 4 kali. Kerapatan konidia dihitung menggunakan

haemocytometer dan rata-rata konidia untuk setiap cawan petri dibandingkan antar isolat.

Analisis Data

Data mortalitas, sporulasi in vivo dan karakterisasi fisiologis in vitro di analisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (Completely Randomize Design) satu faktor (keragaman isolat atau spesies cendawan entomopatogen yang terdiri dari 16 isolat untuk uji mortalitas dan sporulasi in vivo, 6 spesies untuk uji karakterisasi fisiologis in vitro) dengan 4 x ulangan menggunakan analisis ragam (ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple Range Test. Bentuk umum dari persamaannya adalah sebagai berikut:

Dimana: i = 1,2,....17, t dan j= 1, 2, ....4, r

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum

i = pengaruh perlakuan ke-i

ij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Hasil dan Pembahasan

Isolasi dan Identifikasi

Hasil isolasi cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam (Gambar 4.1) mengindikasikan keragaman spesies cendawan entomopatogen lebih tinggi pada inang yang berasal dari hama tanaman (ulat krop kubis, ulat grayak, penghisap polong, walang sangit dan rayap tanah sebanyak 81%) dibandingkan dengan yang berasal dari tanah (13%) dan pasir (6%). Berdasarkan hasil ini, untuk mendapatkan keragaman spesies cendawan


(42)

25

entomopatogen lebih mudah dilakukan dengan cara mengisolasi dari serangga inang yang terinfeksi di alam dibandingkan dengan mengisolasi dari sumber lainnya (tanah dan pasir). Diperkirakan spesies cendawan yang ada pada inang yang berasal dari hama tanaman umumnya bersifat sebagai cendawan entomopatogen. Menurut MacLeod dan Muller-Kogler 1973 dalam Butt et al.

(2001), serangga inang dari cendawan entomopatogen dijumpai pada lebih dari 32 famili yang tersebar pada ordo Hemiptera, Homoptera, Diptera, Lepidoptera, Coleoptera, Orthoptera, dan Hymenoptera. Beberapa spesies mempunyai rentangan inang yang luas, dan yang lainnya terbatas pada satu spesies atau terbatas pada kelompok spesies tertentu saja.

Gambar 4.1. Persentase isolat cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam.

Cendawan entomopatogen dari sumber inokulum tanah dan pasir mempunyai keragaman spesies yang lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena cendawan entomopatogen selain hidup sebagai patogen obligat juga banyak yang hidup sebagai patogen fakultatif yaitu disamping dapat meneruskan siklus hidupnya sebagai patogen pada serangga inang juga mampu bertahan hidup sebagai sapropit pada berbagai media di alam. Tanada dan Kaya (1993) menyatakan bahwa beberapa cendawan entomopatogen hidup sebagai patogen obligat yang siklus hidupnya selalu pada serangga inang namun kebanyakan cendawan entomopatogen juga sebagai patogen fakultatif dan mampu hidup tanpa inang dan melanjutkan siklus hidupnya sebagai sapropit

Menurut Keller dan Zimmermann (1989) cendawan entomopatogen juga dapat dikoleksi dari tanah dengan menggunakan serangga umpan. Metode ini terbukti sangat bermanfaat untuk mendeteksi cendawan entomopatogen

Serangga Hama

81%

Tanah 13%

Pasir 6%


(43)

khususnya untuk mempelajari sejarah penyebarannya. Walaupun tanah merupakan habitat yang sangat menguntungkan untuk interaksi serangga dan cendawan entomopatogen, hanya sedikit spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan pada tanah. Beberapa spesies cendawan penting yang ditemukan pada tanah tercatat sebagai genera: Conidiobolus, Beauveria, Metarhizium dan

Paecilomyces.

Lebih lanjut dinyatakan keberhasilan cendawan entomopatogen di dalam tanah telah berkembang dengan melakukan adaptasi khusus, dimana siklus kehidupan cendawan entomopatogen terdiri dari fase parasit dan sapropit. Bila serangga terinfeksi cendawan mati dan secara umum siklus hidup cendawan akan berahir bila fase vegetatif atau organ reproduksi seksual terbentuk di luar inang. Namun fase kehidupan selanjutnya sebagai sapropit akan mengkolonisasi inang mati dan untuk sementara waktu berhenti pada pembentukan pseudosclerotium; tingkatan dormansi yang memungkinkan cendawan bertahan pada kondisi yang tidak menguntungkan. Jika faktor eksternal telah menguntungkan, hifa akan muncul lewat kutikula serangga.

Beberapa spesies cendawan seperti Paecilomyces spp., B. bassiana, B. brongniartii atau Cordyceps spp. memproduksi untaian hifa, synnemata atau

stromata di luar serangga inang. Elemen-elemen hifa ini sebagai adaptasi morfologi terhadap kondisi tanah yang memungkinkannya menginfeksi inang baru.

Hasil isolasi cendawan entomopatogen dari masing-masing inang atau sumber inokulum di alam dikoleksi untuk selanjutnya diidentifikasi berdasarkan warna, pertumbuhan secara in vivo dan in vitro serta bentuk organ seksual masing-masing spesies. Berdasarkan hasil identifikasi pada penelitian ini ditemukan 16 isolat (10 spesies) (Gambar 4.2 dan Table 4.1).

Keragaman antar spesies cendawan entomopatogen sangat luas sekali. Cendawan terdiri dari dua Divisi yaitu Myxomycota dan Eumycota. Cendawan entomopatogen ditemukan pada Divisi Eumycota yang terdiri dari sub-divisi: Mastigomycotina, Zygomycotina, Ascomycotina, Basidiomycotina dan Deuteromycotina. Umumnya mikroorganisme ini ada pada semua habitat tingkat perkembangan serangga (Ainsworth 1973 dalam Butt et al. 2001). Boucias dan


(44)

27

Pendland (1998) menyatakan beberapa genus cendawan entomopatogen yang tergolong ke dalam divisi Eumycota, sub-divisi Deuteromycota, klas Hyphomycetes dan ordo Moniliales adalah: Aspergilus, Beauveria, Fusarium, Metarhizium, Paecilomyces dan Verticilium.

B. bassiana M. anisopliae M. brunneum M. roridum

F. solani F. oxysporum V. lecanii A. flavus

P. fumosoroseus P. citrinum

Gambar 4.2. Koloni cendawan entomopatogen dari konidia tunggal

ber-umur 3 minggu pada media SDAY kecuali F. oxysporum (13

hari)

Spesies B. bassiana adalah spesies cendawan entomopatogen yang paling dominan ditemukan. Menurut Scholte et al. (2004), cendawan entomopatogen B. bassiana mempunyai sebaran inang yang luas dan mudah diperbanyak secara

in vitro pada media sintetik, penyebarannya hampir di semua lokasi di dunia dan mempunyai spesies serangga inang lebih banyak dibandingkan spesies cendawan entomopatogen lainnya; kebanyakan inangnya berasal dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, Hemiptera, Diptera dan Hymenoptera.

Spesies B. bassiana menunjukkan pertumbuhan yang tidak cepat tetapi dengan mudah tumbuh pada media SDAY, permukaan biakan rata seperti tepung


(45)

dan bewarna putih, cendawan ini menginfeksi rayap dengan penyebaran yang tidak teratur, kemudian mengalami penyempurnaan yang tidak menyebar rata. Setelah kematian inang konidiofora tumbuh keluar dari tubuh rayap dan diiringi dengan munculnya konidia.

Barron (1968) menjelaskan tentang deskripsi dari B. bassiana sebagai berikut: konidiofora tidak begitu jelas; sel sporogenous sympodulae, muncul langsung dari hipa vegetatif, sederhana, hyaline - sub hyaline, secara berulang menghasilkan kuntum konidia berkelompok atau zigzag, terdiri dari satu sel basal yang sering mengembung, dan menghasilkan sympodulospores pada suksessi

acropetal; muncul spora pada ujung, seperti rachis, kadang-kadang berliku; spora sangat kecil, bundar atau oval, hyaline - sub hyaline (Gambar 4.3)

Tabel 4.1 Cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang atau sumber inokulum di alam

No. Isolat Inang atau sumber inokulum Stadia inang

Spesies cendawan Geografi asal (tahun) 1. 2. 3. Bb-Cr As-Cr Pe-Cr

Ulat krop kubis

(Crocidolomia pavonana F.) (Lepidoptera: Pyralidae)

Larva

Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Aspergillus flavus Link.

Penicillium citrinum Thom.

Cibodas (2004) 4. 5. Bb-Sl Fu-Sl Ulat grayak

(Spodoptera litura F.} (Lepidoptera: Noctuidae)

Larva B. bassiana

Fusarium oxysporum Link.

Cibodas (2004) 6. 7. 8. 9. Ma-Rl Ve-Rl Pa-Rl Fu-Rl Penghisap polong (Riptortus linearis L.) (Hemiptera: Alydidae) Penghisap polong Penghisap polong

Imago Metarhizium anisopliae

(Metsch.) Sorok

Verticilium lecanii

(Zimmermann)

Paecilomycesfumosoroseus

(Wize) Brown and Smith

Fusarium solani Link.

Probolinggo (2003)

10. Bb-Lo Walang sangit

(Leptocorisa oratorius F)

(Hemiptera: Coreidae)

Imago B. bassiana Probolinggo

(2003) 11. 12. 13. Bb-Co As-Co Pe-Co Rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) (Isoptera: Rhinotermitidae)

Larva B. bassiana A. flavus P. citrinum Bogor (2004) 14. 15. Bb-Tn My-Tn Tanah

Tanah - -

B. bassiana

Myrothecium roridum Tode EXFR.

Bogor (2004) Cibodas (2004)


(46)

29

Isolat lainnya yang diisolasi dari inang atau sumber inokulum di alam seperti terlihat pada Tabel 4.1. juga diidentifikasi berdasarkan bentuk organ

seksual, warna massa konidia secara in vitro dan in vivo, dan tipe

pertumbuhannya (Deskripsi selengkapnya pada Lampiran 1).

Gambar 4.3. Cendawan B. bassiana pada media SDAY dengan perbesaran

1000 x Patogenisitas dan Virulensi

Tingkat patogenisitas antar spesies cendawan entomopatogen dan tingkat virulensi antar isolat di dalam satu spesies cendawan yang ditemukan pada penelitian ini umumnya berbeda nyata pada uji DUNCAN pada tingkat keragaman 5%. Spesies cendawan M. anisopliae dari inang penghisap polong,

M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari inang walang sangit, F. oxysporum dari ulat grayak, dan A. flavus dari rayap tanah dapat menyebabkan mortalitas 100% setelah 6 hari inokulasi (Gambar 4.4). Hal ini berarti beberapa isolat cendawan entomopatogen bersifat sangat patogen dan berpotensi dijadikan sebagai agens hayati untuk pengendalian rayap tanah

C. gestroi.

Perbedaan tingkat patogenisitas antar spesies dan perbedaan virulensi antar isolat cendawan entomopatogen diperkirakan disebabkan oleh perbedaan sifat dasar internal (genetik) antar spesies dan perbedaan sumber inang asal isolat. Selain hal ini juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan sebagai faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan cendawan tumbuh dan berkembang serta melumpuhkan mekanisme pertahanan serangga inang. Menurut


(47)

0 20 40 60 80 100

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (hari) M o rt a lit a s ( % ) Bb-Sl Bb-Lo Bb-Tn Bb-Co Bb-Cr Mb-Ps Ma-Rl As-Co As-Cr

0

20

40

60

80

100

0

1

2

3

4

5

6

Waktu (hari)

M

o

rt

a

lit

a

s

(

%

)

My-TnVl-Rl

Pa-Rl Fu-Sl Fu-Rl Pe-Co Pe-Cr kontrol

Tanada dan Kaya (1993) biasanya cendawan menyebabkan mortalitas dengan satu atau lebih cara seperti: defisiensi nutrisi, menyerang dan merusak jaringan, dan melepaskan toksin. Beberapa di antaranya bersifat virulen dan membunuh serangga dalam waktu yang singkat dan yang lainnya menghasilkan infeksi kronik yang lama.

Gambar 4.4. Laju mortalitas rayap C. gestroi oleh cendawan entomopatogen

(107 konidia/ml) dari berbagai inang 6 hari setelah inokulasi

(kontrol 11,25%). Keterangan:

Bb-Sl = B. bassiana dari ulat grayak, Bb-Lo = B. bassiana dari walang sangit, Bb-Tn = B. .bassiana dari tanah, Bb-Co=

B. bassiana dari rayap tanah, Bb-Cr = B. bassiana dari ulat krop kubis, Mb-Ps = M. brunneum dari pasir, Ma-Rl = M. anisopliae

dari penghisap polong, As-Co = A. flavus dari rayap tanah, As-Cr = A..flavus dari ulat krop kubis, My-Tn = M. roridum dari tanah,

Vl-Rl = V. lecanii dari penghisap polong, Pa-Rl = P. fumosoroseus dari penghisap polong, Fu-Sl = F. oxysporum dari ulat grayak,


(48)

31

Isolat cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang umumnya bersifat patogen terhadap rayap, dan dapat menyebabkan mortalitas lebih dari 60%. Yoshimura dan Takahashi (1998), menjelaskan bahwa penggunaan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap telah 25 tahun lebih menjadi target penelitian dan banyak spesies cendawan telah diuji tingkat patogenisitasnya terhadap rayap. Setelah tahun 1960-an banyak peneliti memulai investigasi patogenisitas cendawan terhadap rayap menggunakan A. flavus,

Absidia coerulea Bainier, B. bassiana, Entomophthora sp. M. anisopliae, Conidiobolus coronatus dan Penicillium sp.

Setiap spesies cendawan entomopatogen mempunyai sifat dan kemampuan spesifik untuk tumbuh dan berkembang pada rayap. Perbedaan ini juga terlihat pada karakterisasi fisiologisnya secara in vivo dan in vitro terutama pada kemampuan berkecambah, laju pertumbuhan koloni dan konidiogenesis (Tabel 4.2). Diduga setiap spesies juga menghasilkan jenis metabolit sekunder (toxin) yang bervariasi sehingga mempunyai daya toksisitas yang berbeda satu sama lainnya.

Boucias dan Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang dan dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya sehingga nutrient di dalam hemolymph habis oleh pertumbuhan cendawan yang begitu cepat. Di samping itu cendawan dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan zat beracun yang mengganggu perkembangan inang secara normal. Beberapa di antara zat beracun (toxin) yang dihasilkan cendawan yang dapat membunuh serangga adalah: 1) Beauvericin oleh B. bassiana,

Paecilomyces dan Fusarium, 2) Bassianolide oleh B. bassiana, 3) Cyclosporin A oleh B. bassiana, Verticillium, Fusarium dan Tolypocladium, 4) Oosporein oleh

B. bassiana, 5) asam Oxalic oleh B. brongniartii, 6) Destruxins oleh M. anisopliae dan Aspergillus ochraceus, 7) Cytochalasins oleh M. anisopliae, 8) Swainsonine oleh M. anisopliae, 9) Aflatoxins oleh Aspergillus, 10) Asam kojic oleh A. flavus dan 11) Restrictocin oleh Aspergillus fumigatus.

Selanjutnya dinyatakan bahwa penempelan mungkin melibatkan kekuatan


(49)

N-acetylglucosamine merupakan substansi yang ditemukan pada permukaan spora, spora berkecambah dengan cepat tergantung pada kelembaban lingkungan, temperatur, kondisi cahaya yang kurang serta nutrisi lingkungan. Penetrasi terutama tergantung pada sifat kutikula serangga (ketebalan, sclerotization, dan kehadiran zat anti cendawan) dan substansi nutrisi. Setelah berkecambah hifa masuk ke dalam integumen serangga dan terus ke hemocoel, dan menghasilkan tubuh hifa (hyphal bodies), yang pada hakekatnya berupa blastospores yang berkembang dengan tunas (budding).

Menurut Scholte et al. (2004), siklus cendawan entomopatogen hingga menyebabkan inangnya mati adalah sebagai berikut: konidia menempel pada kutikula kemudian berkecambah dan menembus kutikula. Kemudian di dalam hemocoel miselia tumbuh terus menerus pada inang membentuk tubuh hifa (blastospores). Kematian serangga sering disebabkan oleh kombinasi dari aksi toksin, terhalangnya sirkulasi darah, komsumsi nutrisi atau penyerangan organ dari serangga.

Virulensi antar isolat juga menunjukkan perbedaan, seperti pada 5 isolat cendawan B. bassiana yang berasal dari sumber inang yang berbeda, isolat walang sangit (Bb-Lo) paling virulen dibanding isolat B. bassiana yang lainnya. Dua isolat cendawan A. flavus yang juga berasal dari inang berbeda, isolat rayap tanah (As-Co) lebih virulen dibanding isolat ulat krob kubis (As-Cr). Diperkirakan sifat virulensi yang berbeda ini dipengaruhi oleh kondisi morfologi dan fisiologi serangga inang asal isolat dan lingkungan asal isolat yang berbeda.

Menurut Tanada dan Kaya (1993), virulensi adalah kemampuan penyakit yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme, dalam hal ini adalah kemampuan suatu organisme untuk menyerang dan menyebabkan luka pada inang, yang berhubungan dengan kesanggupan suatu mikroorganisme untuk mengatasi mekanisme pertahanan inang. Suatu patogen mungkin bersifat sangat virulen sebab rendahnya ketahanan atau tingginya kerentanan dari inang, dan sebaliknya patogen dapat mempunyai virulensi yang rendah sebab tingginya ketahanan atau rendahnya kerentanan dari inang.

Patogenisitas secara dekat merupakan sinonim terhadap virulensi yaitu berkenaan dengan kemampuan menghasilkan penyakit oleh mikroorganisme.


(1)

96

Yusuf S, Desyanti, Santoso T, Hadi YS. 2005.

The Application of

Entomopathogenic Fungi as Biocontrol for Subterranean Termites. TRG 2,

Pacific Rim Termite Research Group; Bangkok, 28 February and 1 March.


(2)

(3)

98

Lampiran. Koloni dan Deskripsi Mikroskopik Cendawan Entomopatogen pada

Media Saboraud Dextrose Agar with Yeast extract (SDAY) yang

Digunakan pada Penelitian

2. Metarhizium brunneum Petch

Warna koloni brunneum kuning sampai coklat dan pudar. Sedangkan secara mikroskopik M. brunneum danM. anisopliae sangat mirip ( Latch 1965 dalam Barron dan George 1968; Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya 1993).

3. Penicilliumcitrinum Thom

.

Warna koloni hijau, biru keabu-abuan, tangkai konidiofora (stipe) panjang rata, biverticillate, divergent, metulae sering spathulate, pialit ampulliform dengan collula pendek, konidia bulat rata (Singh et al. 1991)

4. Fusariumoxysporum Link

Pertumbuhan koloni cepat, bewarna orange keputihan, sporodochia orange pucat, mono-pialit, makro konidia 3-septa dengan foot cell dan mikro konidia 0-septa berada didalam kepala palsu (false heads), sering berkelom-pok pada mono-pialit pendek, chlamydospores berlimpah biasanya tunggal pada hifa (Singh et al. 1991).

5. Myrothecium roridum Tode ExFR.

Mycelium putih-kemerahan, sporodochia bertangkai seperti synnemata diameter 60-750 µm, padat muncul dari perkembangan stroma. konidiofora hyaline, olivaceous ramping, muncul percabangan berulang dengan beberapa cabang pada setiap nodus. Cabang terahir merupakan pialit dengan lapisan parallel, berukuran 11-16 X 1.5-2.0 µm. Ada zona melingkar olivaceous-hitam, konidia ellipsoidal sempit dengan ujung membulat berukuran 5.5-7.0 X 1.5-2 µm (Tulloch et al. 1970 dalam Domsch et al. 1980). 1. Metarhizium anisopliae (Metsch.)Sorokin.

Bewarna putih diwaktu muda, setelah konidia matang warna berubah menjadi hijau gelap. Konidiofora bercabang, dan konidium awal dihasilkan oleh untaian sederhana di ujung konidiofora, untaian konidia dibentuk pada masing-masing konidiofora dengan konidia paling muda berdekatan dengan konidiofora, masa untaian konidia menjadi zigzag melekat satu sama lain yang masing-masingnya menghasilkan massa prismatic dari colum untaian konidia. (Latch 1965 dalam Barron dan George 1968; Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya 1993).


(4)

img

6. Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith.

Pertumbuhan koloni agak lambat, mencembung, pink, kadang-kadang memproduksi synnemata pada agar, konidiofora muncul beberapa dengan dasar pialit mencembung, tersusun seperti daun melingkar, konidia cylindrical-fusiform berukuran 3-4 x 1-2 µm (Brown, Smith dan Samson 1979 dalam Domsch et al. 1980).

7. Aspergillus flavus Link.

Warna koloni hijau kekuningan dan semakin hijau dengan bertambahnya umur, bersinar, kepala konidia radiate kehilangan colum konidia dengan bertambahnya umur, stipe panjang, verrucose dan hyaline. Vesicle berbentuk kubah. Ada metula berukuran kecil, pialit berukuran kecil langsung pada vesicle, konidia globose - subglobose, biasanya kasar. (Singh et al. 1991).

8. Beauveria bassiana (Bals) Vuillemin

konidiofora tidak begitu jelas; sel sporogenous sympodulae, muncul langsung dari hifa vegetatif, sederhana, hyaline - sub hyaline, secara berulang menghasilkan kuntum konidia berkelompok atau zigzag, terdiri dari satu sel basal yang sering mengembung, dan menghasilkan sympodulospores pada suksessi acropetal; muncul spora pada ujung, seperti rachis, kadang-kadang berliku; spora sangat kecil, bundar atau oval, hyaline - sub hyaline (Barron 1968).

9. Verticilium lecani (Zimmermann),

Koloni bewarna putih – kuning pucat, hifa fasciculate, reverse tidak bewarna - kuning. Pialit tunggal atau sangat sedikit melingkar muncul pada konidiofora dengan posisi tegak dan sedikit berbeda dengan kedudukan hifa. Konidia di ujung atau parallel berkelompok, silender, ujung membulat atau berbentuk ellip berukuran 2.3-10 x 1.0-2.6 µm (Domsch et al. 1980)

10. Fusariumsolani Link

.

Pertumbuhan koloni cepat, berbentuk wol-cattun bewarna cream – putih. Hifa bersepta dan hyaline. konidiofora tidak bercabang dan bercabang. monophialides. Macroconidia melengkung, gemuk, biasanya 3-5 septate, berukuran 4-6 x 65 µm, muncul pada konidiofora pendek yang segera membentuk sporodochia. Microconidia muncul dari monophialides panjang, satu - dua cel, cylindrical – oval, berbentuk kuntum di ujung pialit. Ada Chlamydoconidia tunggal dan berpasangan. Mudah dikenal berdasarkan warnanya cream, mono pialit panjang dengan microkonidia hanya di false heads. (http://www.doctorfungus.org/index.htm


(5)

(6)