10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Bb -S
l Bb
-L o
Bb -T
n Bb
-Co Bb
-Cr Mb
-P s
Ma -R
l As
-C o
As- C
r My
-T n
Vl -R
l Pa
-R l
Fu -Sl
Fu -R
l Pe
-C o
Pe -C
r Ko
n tr
o l
Isolat cendawan entomopatogen M
o rt
alit as
d a
n s
p or
u las
i in viv
o
Mort alit as Sporulasi
klass Ascomycotina Cordyceps, Hypocrella dan Torrubiella, Zygomycotina Entomophthorales dan Deuteromycotina kebanyakan dari klass
Hyphomycetes.
Gambar 4.5. Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap
in vivo dan mortalitas rayap
C. gestroi 6 hari setelah diinokulasi dengan suspensi cendawan entomopatogen 10
7
konidiaml.
Di samping virulensi, kemampuan bersporulasi pada inang in vivo menjadi sangat penting bila untuk tujuan penularan di dalam koloni karena
cendawan yang mampu bersporulasi pada inang dengan baik akan dapat membentuk infective propagul baru dan dapat tersebar luas ke seluruh individu di
dalam koloni. Goettel dan Inglis 1997 dalam Scholte et al. 2004 menyatakan bahwa setelah inang mati, hifa biasanya muncul dari bangkai serangga dan di
bawah kondisi abiotik yang menguntungkan, konidia dapat dihasilkan pada tubuh bahagian luar inang, ini kemudian akan tersebar oleh angin atau air.
Menurut Yoshimura et al. 1992, pertumbuhan hifa dari tubuh rayap setelah diamati sampai mati tidak nyata, namun dua sampai 3 hari setelah
kematian banyak hifa yang tumbuh ke luar, kira-kira 2 - 10 hari setelah kematian
Keterangan: Bb-Sl = B. bassiana dari ulat grayak, Bb-Lo = B. bassiana dari walang sangit, Bb-Tn = B. .bassiana dari tanah, Bb-Co =
B. bassiana dari rayap tanah, Bb-Cr = B. bassiana dari ulat krop kubis, Mb-Ps = Metarhizium brunneum dari pasir, Ma-Rl =
M. anisopliae dari penghisap polong, As-Co = A. flavus dari rayap tanah, As-Cr = A..flavus dari ulat krop kubis, My-Tn =
Myrothecium roridum dari tanah, Vl-Rl = V. lecanii dari penghisap polong, Pa-Rl = P. fumosoroseus dari penghisap polong,
Fu-Sl = F. oxysporum dari ulat grayak, Fu-Rl = Fusarium solan dari penghisap polong, Pe-Co = P. citrinum dari rayap tanah, Pe-Cr = P. citrinum dari ulat krop kubis,
dibutuhkan untuk pembentukan konidia baru. Pada kasus cendawan C. coronatus, banyak konidia terlihat setelah 2 hari pada rayap yang telah di ekspose selama 6
jam.
M. roridum F. oxysporum P. fumosoroseus M. brunneum B. bassiana A. flavus
Gambar 4.6. Sporulasi
in vivo beberapa spesies cendawan entomopatogen pada tubuh rayap 9 hari setelah diinokulasi
Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen Terseleksi pada Media SDAY
in vitro: Daya Kecambah, Diameter Koloni dan Sporulasi
Karakter fisiologi adalah kemampuan cendawan untuk tumbuh dan berkembang pada media sintetik atau inang, dalam hal ini yang diamati antara
lain adalah: daya kecambah, diameter koloni dan kemampuan berseporulasi. Di samping patogenisitas, karakterisasi fisiologi cendawan secara in vitro akan
menjadi penting bila cendawan tersebut diperbanyak secara massal untuk tujuan
bio-termitisida komersil.
Umumnya cendawan entomopatogen yang mempunyai tingkat patogenisitas tinggi dapat direkomendasikan pada penelitian selanjutnya, walaupun dari hasil
analisis statistik ada perbedaan diameter koloni, daya berkecambah dan jumlah konidia dari masing-masing spesies atau isolat cendawan entomopatogen.
Tabel 4.2. Karakterisasi fisiologi beberapa spesies cendawan entomopatogen terseleksi: diameter koloni, daya kecambah konidia dan sporulasi.
Isolat Inang atau
sumber inokulum Diameter koloni
cm Daya kecambah
konidia Sporulasi konidia
cawan petri x 10
7
M. anisopliae Penghisap polong
5,47 ± 0,26 b 27,20 ± 13,67 c
6,18 ± 2,70 c M. roridum
Tanah 4,72 ± 0,78 c
92,50 ± 6,02 ab 285,33 ± 102,25 b
M. brunneum Pasir
5,25 ± 0,17 bc 97,20 ± 1,70 a
223,66 ± 45,98 bc B. bassiana
Walang sangit 4,67 ± 0,69 c
82,50 ± 7,76 b 1470,33 ± 291,34 a
F. oxysporum. Ulat grayak
9,00 ± 00 a 95,70 ± 1,70 a
10,08 ± 1,25 c A. flavus
Rayap tanah 8,32 ± 0,25 a
95,20 ± 4,27 a 19,8 ± 5,78 c
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5.
Diameter koloni cm
Diameter koloni dari masing-masing spesies setelah dua minggu berkisar antara 4,4 cm – 9,0 cm, tertinggi diperoleh pada F. oxysporum 9 cm dan
kemudian diikuti oleh A. flavus 8,3 cm. Analisis statistik memperlihatkan kedua spesies cendawan ini tidak berbeda nyata, cendawan yang menunjukkan
pertumbuhan koloni yang lebih cepat ini menunjukkan pertumbuhan yang lebih tipis dipermukaan media kultur SDAY. Hal ini ternyata berkaitan dengan jumlah
konidia yang dihasilkan juga tidak berbeda nyata dan menghasilkan jumlah konidia lebih sedikit.
Olsson 1997 mendefinisikan koloni cendawan adalah suatu kelompok hifa yang berasal dari satu spora atau satu individu atau yang berasal dari satu sumber
miselia. Berdasarkan pernyataan ini, pertumbuhan koloni diawali oleh perkecambahan dan pertumbuhan miselia, cepatnya pertumbuhan miselia akan
menyebabkan nutrisi yang diperoleh dari media tumbuh akan dimanfaatkan terlebih dahulu untuk pertumbuhan miselia sehingga diperkirakan pembentukan
konidia akan dapat terhambat.
Daya kecambah konidia
Daya kecambah cendawan entomopatogen dari masing-masing spesies cendawan lebih dari 80 kecuali M. anisopliae 27,2 setelah 12 - 24 jam
inkubasi. Hasil penelitian menunjukan secara umum semua isolat terseleksi tergolong mempunyai daya kecambah tinggi, hal ini akan sangat menguntungkan
didalam keberhasilan cendawan menginfeksi inangnya, karena keberhasilan cendawan untuk dapat menyerang inang terutama sangat ditentukan oleh
kemampuan cendawan menempel dan berkecambah pada kutikula serangga. Boucias dan Pendland 1998, mengemukakan cendawan entomopatogen
dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang serta dapat tumbuh ke bahagian internal inang hemocoel.
Menurut Leland 2001; Jenkins et al. 1998; Kassa 2003 dalam Trizelia 2005 evaluasi daya kecambah konidia cendawan entomopatogen perlu
dilakukan terutama apabila cendawan tersebut akan dikembangkan sebagai bioinsektisida. Daya kecambah konidia merupakan salah satu kriteria dalam
pemilihan isolat; cendawan yang memiliki daya kecambah konidia di atas 80 telah memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida. Selanjutnya
dinyatakan bahwa dalam pemilihan isolat yang akan digunakan, kecepatan perkecambahan juga harus diperhitungkan. Isolat yang berkecambah lebih cepat
lebih berpotensi untuk menimbulkan infeksi, karena isolat ini dapat terhindar dari pengaruh kekeringan, pengaruh dari mikroorganisme lain dan terlepas dari
kutikula serangga pada waktu ekdisis. Kemampuan konidia untuk berkecambah merupakan suatu faktor penting
untuk berhasilnya melakukan penetrasi pada inang, namun hal ini akan sangat tergantung pada faktor lingkungan asal spesies atau isolat dan sifat genetik
masing-masing spesies cendawan. Hal ini biasanya ditunjukkan oleh perbedaan viabilitas antar isolat di dalam spesies yang sama, pada penelitian ini terlihat
bahwa daya kecambah M. anisopliae berbeda sangat nyata dengan M. brunneum Tabel 4.2. Menurut Ekesi et al. 2003 viabilitas 4 isolat M. anisopliae yang
berasal dari Kenya dan Congo berkisar antara 85 – 90. Viabilitas antar spesies cendawan M. brunneum, F. oxysporum dan A. flavus
tidak berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan tingkat patogenisitas yang tidak berbeda Gambar 4.4. Adanya keterkaitan antara tingkat
patogenisitas dengan kemampuan berkecambah merupakan salah satu hal yang sangat menunjang di dalam adanya kemungkinan spesies cendawan ini untuk
dikembangkan ke penelitian yang lebih mendalam sehingga berpotensi sebagai biopestisida.
Sporulasi konidia cawan petri.
Sporulasi adalah kemampuan cendawan entomopatogen untuk menghasilkan konidia pada media sintetik atau inang. Untuk dapat melakukan
proses infeksi dan menurunkan generasi berikutnya dengan cepat akan sangat tergantung pada kemampuan cendawan menghasilkan konidia. Pada penelitian ini
setelah 2 minggu, B. bassiana menghasilkan jumlah konidia tertinggi 1,47 x 10
10
konidia cawan petri. Hasil ini berbeda nyata dengan jumlah konidia yang dihasilkan oleh spesies cendawan lainnya. Kemudian diikuti oleh M. brunneum,
A. flavus , F. oxysporum dan M. anisopliae Tabel 4.2.
Spesies cendawan B. bassiana, menunjukkan laju pertumbuhan koloni yang lambat namun memperlihatkan pertumbuhan koloni yang lebih tebal,
diperkirakan hal ini salah satu faktor penentu spesies cendawan ini dapat menghasilkan jumlah konidia lebih banyak dibandingkan spesies cendawan yang
diujikan, yang bearti ada korelasi dengan karakter fenotip cendawan disamping juga ditentukan oleh faktor genetik. Hasil penelitian ini menunjang penelitian
yang dilakukan oleh Trizelia 2005, 13 isolat B. bassiana dapat menghasilkan jumlah konidia antara 1,27 X 10
10
– 1,79 X 10
10
konidia cawan petri. Hasil ini juga memperlihatkan perbedaan nyata antar isolat dan tertinggi ditemukan pada
isolat yang berasal dari inang C. pavonana 1,79 X 10
10
konidiacawan petri Kemampuan cendawan menghasilkan jumlah konidia yang banyak,
merupakan salah satu faktor yang menguntungkan di dalam pemanfaatannya sebagai agens pengendalian hayati, karena konidia sangat penting untuk infeksi
dan penyebaran cendawan. Sun et al. 2003 dalam Trizelia 2005 menyatakan bahwa Isolat B. bassiana yang lebih cepat bersporulasi dengan total sporulasi
yang tinggi menghasilkan epizootik yang lebih baik dalam koloni rayap C. formosanus
. Karakter fisiologis diameter koloni, viabilitas dan kemampuan
bersporulasi cendawan entomopatogen menunjukan keragaman antar spesies yang diuji. Selain faktor-faktor penentu yang telah diuraikan di atas, faktor media
tumbuh diperkirakan juga menjadi salah satu faktor penentu pertumbuhan secara fisiologis. Pada penelitian ini media yang digunakan adalah SDAY dengan
komposisi dekstrosa 10 g, pepton 2,5 g, ekstrak khamir 2,5 g, agar 20 g dalam akuades 1 liter yang mengandung 250 ppm chloromphenicol Samuels et al.
2002. Dalam hal ini masing-masing spesies cendawan entomopatogen memungkinkan dapat tumbuh lebih baik pada media yang lebih spesifik.
Kesimpulan
Hasil isolasi menunjukkan keragaman spesies yang didapatkan dari sumber inokulum di alam. Tertinggi ditemukan pada inang yang berasal dari serangga
terinfeksi dibanding dari sumber tanah dan pasir. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang atau sumber inokulum di
alam adalah B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum, P. fumosoroseus, P. citrinum, M. roridum, V. lecanii, F. oxysporum, F. solanii
dan A. flavus. Hasil uji patogenisitas menunjukkan pada umumnya cendawan bersifat patogen
terhadap rayap C. gestroi. Cendawan entomopatogen yang ditemukan umumnya dapat dimanfaatkan
sebagai agens pengendalian hayati rayap C. gestroi, khususnya: M. anisopliae dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah,
B. bassiana dari walang sangit, F. oxysporum dari ulat grayak dan A. flavus dari
rayap tanah; pada penggunaan kerapatan konidia cendawan 10
7
konidiaml dapat membunuh rayap C. gestroi 100 setelah 6 hari inokulasi.
Kemampuan bersporulasi in vivo antar spesies umumnya tidak berkorelasi dengan mortalitas, namun spesies cendawan yang menunjukkan tingkat
patogenisitas yang tinggi seperti A. flavus dari inang rayap tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir dan B. bassiana dari walang sangit juga
menghasilkan kemampuan bersporulasi secara in vivo tinggi 78,25 – 97,25. M. roridum
mempunyai kemampuan bersporulasi secara in vivo paling rendah 10.
Cendawan entomopatogen terseleksi jika ditumbuhkan pada media SDAY
memperlihatkan daya kecambah konidia lebih dari 80 kecuali M. anisopliae.
Diameter koloni tertinggi setelah 2 minggu dicapai oleh F. oxysporum. 9 cm dan sporulasi tertinggi dicapai oleh B. bassiana 1,47 X 10
10
konidiaml. Berdasarkan hasil uji tapis tingkat patogenisitas laju mortalitas, sporulasi
in vivo dan karakterisasi fisiologis, cendawan entomopatogen A. flavus dari
inang rayap tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir, B. bassiana
dari walang sangit dan M. anisopliae dari penghisap polong kedele dapat dilanjutkan pada penelitian berikutnya.
BAB V KEEFEKTIVAN BEBERAPA SPESIES CENDAWAN