a konsep mengenai eksistensi dan tempat manusia pada alam semesta beserta
segala isinya dan b
konsep segala hal yang berkaitan dengan lingkungan hidup Bachtiar, 1973: 98-118.
Bertitik tolak uraian di atas, dapat dipahami bahwa tari Rema yang semula ditarikan tokoh peranan Besut yang menari rena-rena bermacan-macam gaya
merupakan suatu ritus terhadap sangkan paraning dumadi, yaitu proses kelahiran menjadi “kehidupan” di dalam pertunjukan dan doa permohonan agar manusia di
muka bumi ini selamat. Tari Rema merupakan simbolik harapan secara religi agar
seluruh kejadian di atas pentas, baik yang mengundang, yang menonton, yang main semuanya dalam keadaan selamat dan sejehtera.
3.2 Anasir Abang Putih Merah Putih
Kepercayaan dan penghormatan terhadap warna merah dan putih ini sudah ada semenjak ribuan tahun yang lalu. Menurut catatan Yamin 1954: 17-31, awal
mula kepercayaan dan penghormatan kepada warna merah dan putih ini berkisar
6000 tahun yang lalu, adalah pada masa aditya candra, yakni penghormatan kepada
aditya matahari yang berwarna merah dan candra rembulan yang berwarna putih.
Adapun cerita tentang mitos dan legenda aditia candara dapat diketahui melalui
cerita, dongeng, kepercayaan dan kesusastraan merah putih di seluruh Indonesia. Terutama tentang cerita kelahiran surya candra dapat diperhatikan melalui cerita
Panji-Candrakirana yang sudah terkenal berabad-abad lamanya di Asia Tenggara. Pada pembabakan yang lebih muda, yaitu berkembang sekitar 4000 tahun, berupa
kepercayaan warna merah dan putih melalui zat-zat hidup, seperti darah merah dan getah tumbuh-tumbuhan putih. Maka menjadi kata majemuk getih-getah, getah-getih.
3.2.1 Warna Merah Kata merah dipakai dalam beberapa bahasa sebagai anggota rumpun bahasa
Austronesia. Yang menjadi akar kata dari bermacam-macam sebutan seperti merah Indonesia, sirah Minangkabau, rara Toba, magang Bisaya, ialah ra atau –rah,
yang berarti warna darah yang merupakan benda cair dalam batang tubuh manusia. Di bawah ini akan ditinjau lebih lanjut, bahwa warna merah itu barulah pada suatu
ketika menjadi kata perbandingan dengan rupa darah, dan pada mula-mulanya kata – rah
atau –ra ialah kata perumpamaan bagi pernyataan warna cahaya matahari. Bagaimana rapinya hubungan antara darah dengan warna merah dapatlah
ditinjau dalam bahasa Batak yang memakai dua kata yang berlainan, tetapi hampir sama asal usul akar katanya. Dalam bahasa itu darah dinamai daro, sedangkan rara
artinya merah; bandingan kedua kata ini hampir sama dengan kata rata dan datar, yang hampir sama bunyi dan maknanya. Bandingkan pula kata Indonesia sirih
agaknya berasal dari sedeh atau sereh dengan kata sedah dalam bahasa Jawa. Kata
Jawa Kuno sero melahirkan kata suruh Jawa baru. Adapun nama warna seperti bang
dan putih dipakai dalam bahasa Kawi sebagai nama benda atau nama sifat. Keadaan yang sedemikian berlaku pula pada bahasa Toba dengan memakai rara atau
marara . Contoh dalam kitab Sutasoma: bang wedihan ira pakaian merah atau
masemu bang dan hidu bang dalam kitab Bharatayuddha.
3.2.2 Warna Putih Kata Putih hampir sama bunyinya dengan beberapa bahasa Austronesia,
begitu juga dalam bahasa Jawa kuno dan baru. Dalam bahasa Bali kata itu disalin menjadi; petak, tedas,
⎜udhha, putus suci, dan dhwala. Diberi awalan ma- atau a- kata itu menjadi maputih atau aputih. Keputihan berarti putih menjadi pucat, dalam
bahasa Bali: kapungut. Menurut piagam Airlangga, yang disimpan di Kota Kalkuta dan memakai tahun Syaka 963 T.M. 1041, maka kata putih disalin dengan kata
apinghay , sama dengan kata Sansekerta, pandarin. Kata putih dipakai dalam piagam
dan dalam beberapa buku Jawa kuno, seperti; Ramayana II, 2, 16; VII, 32, XVI, 17; XXII, 53; Pararaton 20. Kata petak ialah bentukan krama bahasa halus bagi
putih dan perkataan itu sama asalnya dengan perkataan perak. Dalam bahasa Indonesia awalan pu- yang berarti dimuliakan itu hanyalah
dipakai pada perkataan pu-tih, tetapi tidak dipakai pada awalan kata –rah yang dimuliakan sebagai getah hidup. Walaupun pada perkataan merah, tidak dipakai
awalan honorifik itu, tetapi pada kata pu-tih dan da-rah memang kedua awalan pu-
dan da- ialah awalan honorofik. Sebelum bangsa Austronesia bertebaran ke lautan Pasifik memang rupanya sudah ada bentukan pu-rah yang berarti merah, karena
sesungguhnya ada beberapa bahasa Austronesia yang mengenal kata itu.
3.2.3 Jenang Merah Putih Menurut adat istiadat di pulau Jawa, pada beberapa macam perayaan orang
menghidangkan jenang abang putih atau jenang Merah Putih. Yang dimaksud dengan jenang ialah bubur terbuat dari beras putih dengan memakai gula Jawa. Bubur
jenang yang dikentalkan bernama dodol Jawa Kuno: dwadal; Minangkabau: kalamai
. Makanan itu dihidangkan pada selamatan, misalnya waktu hari kelahiran, ketika seorang wanita bertegak nama baru atau ketika anak kecil diberi nama. Dalam
hal-hal penghormatan hendaklah diingat, bahwa dalam bahasa Jawa kata jenang tidak saja berarti bubur, tetapi juga mengandung arti nama sebagai gelar. Jadi kata jenang,
jeneng , dan jumeneng selalu mengandung arti yang kembar, dan dapat dipersatukan
pada selamatan pemberian nama. Jenang abang putih dihidangkan pula pada hari lahir wetonan Krama:
tingalan . Hidangan terbagi atas lima piring; dua piring yang berisi hanya bubur
merah atau putih saja, sepiring bubur merah karena diberi gula Jawa dan di atasnya terletak sebuah lingkran bubur putih, sepiring lagi bubur merah dengan bertanda
palang putih di atasnya, serta pirign kelima berisi bubur katul terbuat dari selaput beras dengan parutan kelapa dan gula Jawa. Adapun angka lima piring berhubungan
dengan pengetahuan, bahwa anak dilahirkan tidak sendiri, melainkan dengan membawa empat orang saudara, yaitu: kakang kawah, adi ari-ari, getih, lan user.
Waktu menghidangkan jenang abang putih selalu diucapkan marmadi. Penghormatan makanan berwarna seperti di atas tidaklah berlaku hanya di pulau Jawa, melainkan
dikenal juga di pulau lain. Sungguh amat indah pasangan kedua warna menurut mythology, suryacandra
yang diungkapkan dalam cerita Panji menurut kesusastraan Jawa, Kamboja, Siam, dan dalam bahasa Indonesia, bagi daerah Semenanjung, Sumatera, Jawa, Kalimantan,
dan lain-lainnya. Sebenarnya cerita Panji ialah cerita corak dan warna, sedangkan panji sendiri berarti pula bendera. Dalam cerita itu yang dilambangkan menjadi sinar
cahaya merah matahari ialah pahlawan Inu Kertapati, putera tanah Koripan, serta yang dilambangkan menjadi sinar putih rembulan ialah puteri Candra Kirana. Cerita
Panji tersebut merupakan perpaduan antara dua warna Merah Putih dijadikan bahan pokok cerita, dengan memasukkan beberapa peristiwa sejarah Indonesia sampai
jatuhnya kerajaan Majapahit. Beberapa situasi serta para tokoh di dalam cerita itu dihubungkan pula dengan permainan warna cahaya aditiacandra. Hubungan Inu
Kertapati dengan Candra Kirana ialah hubungan cinta birahi, dan kedua pahlawan cerita Panji itu merupakan pasangan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya
harus menjadi satu kesatuan diantara merah dan putih. Di dalam kepercayaan Jawa, melalui pewayangan, diyakini bahwa dewa
asmara bagi orang Jawa adalah Kamajaya dan dewi Ratih. Kamajaya –Ratih juga
merupakan simbol persatuan antara warna merah dan putih. Kamajaya –Ratih merupakan akronim dari kata: kama sperma dan jaya kuat, kukuh, Ra
merahabang dan tih putih. Maka sperma bisa “jadi” janin jika terjadi percampurankesatuan antara ra merahabang yang berasal dari perempuan atau
ibu, dan tih putih yang berasal dari laki-laki atau bapak. Dalam persepsi kosmologis Jawa, masyarakat berkeyakinan bahwa sebelum
adanya alam semesta terdapat dualisme kosmis, yaitu Shiva dan Shakti atau kutub
negatif dan kutub Positif. Penyatuan keduanya akan membentuk alam semesta.
Konsep penyatuan tersebut dilambangkan dengan Lingga – Yoni, dimana Lingga
melambangkan Shiva dan Yoni melambangkan Shakti. Pada era berikutnya, istilah
Shiva dan Sakthi bergeser menjadi Bapa Akasa dan Ibu Bumi. Penggambaran
penyatuan kosmis tersebut membangkitkan kembali memori primitif orang yang menyaksikannya ke awal penciptaan alam semesta yang teratur atau Kosmos.
Sebelum terbentuknya Kosmos alam semesta ini berupa Khaos atau ketidakteraturan, karena penyatuan suci tersebutlah yang menghasilkan empat anasir alam dan
kemudian mendorongkan daya kehidupan Jw : Urip sehingga tercipta keteraturan atau Kosmos Eliade, 2002: 23-26. Hal tersebutlah yang mengandung nilai sakral,
dimana saat pertama kali penyatuan ini diyakini terjadi atas Shiva, energi maskulin atau positif, dan Shakti, energi feminim atau negatif yang disimbolkan dengan Lingga
dan Yoni, atau diwujutkan dalam cahaya putih dan merah. Dengan demikian, bersatunya antara Shiva dan Shakti atau lingga dan yoni atau putih dan abang,
merupakan “awal mula” terjadinya sesuatu termasuk dunia seisinya yang semula “tidak ada” menjadi “ada”, yaitu kehidupan hurip.
Tari Topeng Bangtih atau Patih atau popular disebut tari Patih ini tersebar di seluruh perkumpulan wayang topeng Malang khususnya di wilayah Malang Selatan,
seperti Jatiguwi, Senggreng, Jambuwer, Kedungmonggo. Sedangkan perkumpulan wayang topeng Malang wilayah Timur dan Utara, seperti Jabung, Precet,
Glagahdawa, Duwet dan Gubugklakah, kini penampilan tari Patih diganti dengan tari Beskalan atau tari Rema. Menurut beberapa pendapat nara sumber, hal tersebut
disebabkan selera penonton lebih suka tari Rema atau Beskalan Putri. Kronologisnya menurut cerita Bardjo penari patih pada wayang topeng Jabung sejak tahun 1940-an
sebagai berikut, sekitar tahun 1950-an, jika ada tari Rema atau Beskalan, penonton langsung banyak yang datang, dibandingkan dengan pembukaan tari Patih. Semula
tari Rema dan Beskalan adalah tari Pembukaan pada pertunjukan Ludruk di Malang. Disamping pertunjukan wayang topeng, pertunjukan Ludruk juga sangat popular di
kalangan masyarakat Malang, bahkan popularitasnya melebihi pertunjukan wayang topeng. Karena masyarakat sangat memahami bahwa salah satu daya tarik
pertunjukan Ludruk adalah tarian pembukanya, yakni Rema atau Beskalan, maka pertunjukan wayang topeng mencoba memberikan awalan dengan tarian tersebut.
Ternyata sangat diterima oleh masyarakat penikmatnya, maka banyak perkumpulan wayang topeng di daerah ini memberikan tari pembukaannya adalah tari Rema atau
tari Beskalan. Perubahan tari pembuka dari tari Patih menjadi tari Rema atau
Beskalan ini, bukan semata-mata kehendak penonton pada waktu itu, melainkan juga permintaan tuan rumah yang punya hajad atau penanggap. Lama kelamaan tari Rema
dan Beskalan ini menjadi sangat populer sebagai pembukaan wayang topeng. Salah satu keistimewaan kedua tarian ini adalah pada tembang Wetanan nyanyian
tradisional Jawa Timur, yang lazim disebut kidungan. Nyanyiankidungan ini dilakukan oleh penarinya sendiri pada frase tertentu, yang bentuk syairnya berupa
parikan , isinya antara lain doa selamat, pendidikan sosial maupun sindiran-sindiran
bagi kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Karena begitu populernya tari Rema dan Beskalan ini sebagai tari pembuka pada wayang topeng, maka lama
kelamaan tari Patih dilupakan. Sampai sekarang perkumpulan wayang topeng diwilayah Malang Timur dan utara, tidak lagi menggunakan tari Patih sebagai tarian
pembuka.
3.3 Karakter Tari Topeng Patih