1
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Menurut Gunarsa Gunarsa 1993 keluarga adalah ikatan yang diikat oleh perkawinan atau darah dan biasanya meliputi ayah, ibu, dan anak atau anak-
anak. Keluarga sebagai sistem sosial terkecil mempunyai fungsi dan tugas agar sistem tersebut berjalan seimbang dan berkesinambungan. Peranan dan fungsi
keluarga sangat luas dan sangat bergantung dari sudut dan orientasi mana akan dilakukan, yaitu diantaranya dari sudut biologi, sudut perkembangan, pendidikan,
sosiologi, agama dan ekonomi. Majelis Umum PBB mengemukakan bahwa keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak,
mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan
sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera Sunarti, 2004. Ayah dan ibu adalah pasangan yang datang dengan latar belakang yang
berbeda. Perbedaan ini, idealnya akan saling melengkapi sehingga pasangan akan dapat pula menjalankan rumah tangga dan perkawinannya dengan lancar.
Demikian pula halnya dalam hal pengasuhan, kedua orangtua akan memberikan model yang lengkap bagi anak-anak dalam menjalani kehidupan Andayani dan
Koentjoro, 2004. Oleh karena itu, kerjasama dalam pengasuhan atau coparenting adalah hal yang sangat penting Shehan, 2003.
Universitas Sumatera Utara
2 Dalam keluarga, setiap anggota keluarga tersebut tentunya memiliki peran
masing-masing, terutama peran penting ayah dan ibu sebagai orangtua. Menurut Soekanto 1990, seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga yang diharapkan
mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang mantap. Sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga, maka seorang ayah harus mengerti serta memahami
kepentingan-kepentingan dari keluarga yang dipimpinnya. Ayah sebagai salah satu orang tua diharapkan untuk lebih terlibat dalam pengasuhan. Ayah tidak
dapat melepaskan diri dari tanggung jawab atas pengasuhan. Ia tidak hanya memasuki masa parenthood dengan adanya anak melainkan juga mempunyai hak
dan kewajiban untuk menikmati dan mengurus anak. Selain peran ayah, peranan ibu pada masa anak-anak sangatlah besar.
Peran ibu hampir tidak dapat digantikan oleh orang lain dalam panggung kehidupan sehari-hari, sebab ibu merupakan mata rantai pertama yang
menghubungkan anak dengan kehidupan dunia Cause, 1994. Menurut Kartono 1992, tugas ibu adalah mendidik anaknya, sebab disamping pemeliharaan fisik,
seorang ibu harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikis anak, agar anak tersebut dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosialnya. Ibu
harus terus menerus melatih anaknya, agar mampu mengendalikan insting- instingnya untuk bisa menjadi manusia beradab.
Tidak setiap orang dapat terus menerus hidup dengan pasangannya. Hal ini dikarenakan keterpaksaan atau pilihan sendiri. Bagaimana bila dalam suatu
keluarga peran ayah sebagai kepala keluarga tidak lagi didapat, dan sebaliknya digantikan oleh hanya seorang ibu yang harus menjalankan tugas coparenting
Universitas Sumatera Utara
3 tersebut. Keluarga tersebut berubah dari keluarga utuh menjadi keluarga dengan
orangtua tunggal. Wolf 2005 mengatakan bahwa menjadi orangtua tunggal akan
memperoleh banyak pendapat yang beranekaragam dari masyarakat. Orangtua tunggal terjadi disebabkan oleh adanya kehilangan seperti: kematian pasangan,
perpisahan, perceraian, tinggal dengan orangtua tunggal, atau karena pilihan single parent yang mengadopsi anak, donor insemination, surrogate motherhood,
dan memilih untuk membesarkan anak dari kehamilan yang tidak diinginkan. Perlmutter Hall 1995, mengartikan orangtua tunggal sebagai orangtua tanpa
partner pasangan yang secara kontinu membesarkan anaknya oleh sendiri.
Kemudian menurut Papalia 1998, keluarga dengan orangtua tunggal muncul
sebagai akibat dari kematian salah satu pasangan dan pasangan yang ditinggalkan tidak menikah lagi dan sebagian besar keluarga dengan orangtua tunggal muncul
karena perceraian dalam keluarga. Ketiadaan partner tersebut menyebabkan kehidupan keluarga dengan
orangtua tunggal pasti akan mengalami perubahan dan berhadapan dengan masalah-masalah baru yang harus diatasi oleh seorang diri pula. Glasser
Navarre 1999 melihat adanya perbedaan antara keluarga utuh dan keluarga single parent dalam beberapa hal, yaitu struktur tugas seperti memenuhi
kebutuhan fisik, emosi dan sosial dari seluruh anggota keluarga, struktur komunikasi bagi anak, orangtua berperan sebagai saluran komunikasi dengan
dunia orang dewasa dalam dua cara, yaitu: sebagai pembawa nilai-nilai budaya yang sebelumnya telah diinternalisasi oleh orangtua dan sebagai penghubung serta
Universitas Sumatera Utara
4 mewakili anak dalam dunia orang dewasa, struktur kekuasaan dalam setiap
situasi, orangtua tunggal akan dihadapkan pada pilihan untuk bekerjasama atau menentang si anak dan struktur afeksi dalam hal menyediakan dan mengatur
kebutuhan emosional. Ketika seorang wanita harus bekerja untuk menghidupi keluarganya dan
peran yang mereka jalani pun sama dengan kepala keluarga lainnya, saat itulah wanita tersebut mendapat predikat baru sebagai orangtua tunggal. Dia harus
menafkahi keluarganya, mengurus anak-anak, mengelola rumah, dan tetap menjadi bagian dari sistem dalam masyarakat. Bagi seorang wanita yang menjadi
orangtua tunggal, kesendirian itu yang terberat namun kadang-kadang wanita tidak mau mengakui. Ketika seharusnya mereka saling berbagi beban dengan
pasangan, namun sekarang harus menghadapinya sendiri. Belum lagi berinteraksi dengan masyarakat yang selalu menempatkan posisi wanita dengan keluarga
lengkap akan lebih baik dibanding sebagai wanita yang menjadi orangtua tunggal Suhartini, 2003.
Hal ini berkaitan pula dengan tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal yang dikemukakan oleh Hurlock 1999, yaitu dipusatkan pada
harapan-harapan masyarakat dan mencakup hal-hal seperti mendapatkan suatu pekerjaan, memilih seorang teman hidup, belajar hidup bersama dengan seorang
suami atau istri membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak, mengelola sebuah rumah tangga, menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan
bergabung dalam suatu kelompok sosial yang menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
5 Berdasarkan tugas-tugas perkembangan usia dewasa awal di atas, setiap
individu seharusnya melakukan sebagian besar tugas tersebut dengan pasangannya, namun bila dilakukan sendirian maka tentunya akan memberikan
dampak serta menghadapi kesulitan bagi orangtua yang menjalaninya. Menurut Egelman, 2004 terdapat tiga dampak umum keluarga dengan
orangtua tunggal bagi orangtua yaitu: multitasking, solo parenting dan issues of self. Multitasking yaitu konflik peran yang muncul pada orangtua tunggal karena
banyaknya peran yang harus mereka lakukan dalam waktu yang bersamaan. Solo parenting yaitu kesulitan dalam menghadapi perilaku anak karena mereka sudah
tidak memiliki pasangan sebagai teman berbagi dalam menyelesaikan masalah keluarga, terutama dalam mengurus anak. Issues of self yaitu self image pada
orangtua tunggal akan berpengaruh terhadap kualitasnya sebagai orangtua. Menurut Glasser Navarre 1999, kesulitan yang dihadapi orangtua
tunggal yaitu kesulitan ekonomi dalam hal ini pendapatan dan keuangan yang terbatas memang merupakan masalah utama bagi wanita yang menjadi orangtua
tunggal. Kemudian menurut Hurlock 1999, masalah umum yang dihadapi wanita single parent karena kematian suami adalah masalah ekonomi, masalah
keluarga, masalah tempat tinggal, masalah sosial, masalah praktis dan masalah seksual. Lebih lanjut, Hetherington, 1999 menjelaskan bahwa masalah utama
wanita single parent karena kematian suami berkaitan dengan adanya perubahan tekanan yang dialaminya, antara lain masalah praktis dalam kehidupan, seperti
ekonomi, masalah pekerjaan dan masalah mengurus rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara
6 Berikut ini merupakan hasil sensus dan penelitian di Amerika mengenai
wanita yang menjadi orangtua tunggal. Hasil sensus di Amerika menyatakan bahwa, wanita single parent berbanding pria single parent adalah 4: 1. Ditambah
lagi, hasil dari data sensus pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 32 dari seluruh keluarga yang memiliki anak berusia dibawah 18 tahun tinggal dalam keluarga
dengan orangtua tunggal dimana 26 tinggal dibawah pengasuhan ibu dan 6 dibawah pengasuhan ayah Newman Newman, 2006. Kemudian beberapa
penelitian di Amerika dikatakan bahwa terdapat 25 anak tinggal dengan orangtua tunggal U.S. Bureau of Census, 2000 dalam Egelman 2004 dan ada
beberapa faktor yang mempengaruhi biaya kehidupan bagi anak yang hidup dengan orangtua tunggal yaitu: usia orangtua, tingkat pendidikan dan pekerjaan,
pendapatan keluarga sosioekonomi, dukungan dari keluarga dan teman. Berdasarkan data dari Pengadilan Agama Medan, pada tahun 2003 jumlah
kasus perceraian sebanyak 717; pada tahun 2004 jumlah kasus perceraian sebanyak 693; sedangkan pada tahun 2005 perhitungan hingga November 2005
terdapat 685 jumlah kasus perceraian. Selanjutnya, melalui data dari Dinas Kependudukan Medan tahun 2005, diperoleh informasi mengenai jumlah janda
cerai sebanyak 1,48 dan janda karena kematian suami sebanyak 6,17, sedangkan jumlah duda cerai sebanyak 0,56 dan duda karena kematian istri
sebanyak 1,01. Bila data diatas dikumulatifkan maka persentase janda lebih besar yaitu 7,65 dibanding persentase duda yang hanya mencapai 1,57.
Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa peran sebagai orangtua tunggal lebih banyak dipegang oleh wanita.
Universitas Sumatera Utara
7 Wanita yang menjadi orangtua tunggal, akan mengalami kemiskinan
dalam hal perekonomian 7 kali lebih besar dibandingkan dengan kehidupan keluarga yang memiliki orangtua yang utuhlengkap. Kemiskinan tersebut terjadi
karena rendahnya kemampuan seorang ibu dalam meningkatkan pendapatan dan kemampuan mereka dalam melakukan pekerjaan hanya beberapa jam saja
Newman Newman, 2006. Selain itu, anak yang berada di bawah pengasuhan ibu akan merasa kehilangan perhatian dan kasih sayang dari ayahnya, menjadi
minder karena berbeda dengan anak-anak yang mempunyai orang tua yang lengkap, kehilangan salah satu figur yang seharusnya menjadi teladan, dan
mungkin juga anak menyalahkan ibu karena menganggap ibunya yang menjadi penyebab dari ketiadaan ayah dalam keluarganya Sucahyani, 2006.
Menurut Zisook, dkk dalam Santrock, 1995, kehilangan yang paling sulit adalah kematian pasangan hidup. Kematian pasangan hidup biasanya tidak
mampu dicegah, yang dampaknya barangkali melibatkan kehancuran ikatan yang telah lama terjalin, munculnya peran dan status baru, kekurangan keuangan dan
barangkali meninggalkan mereka yang hidup tanpa sistem pendukung yang kuat. Taylor 2000 mengatakan bahwa individu yang kehilangan pasangan
akibat kematian harus dapat hidup secara mandiri tanpa dukungan baik emosional maupun materi dari pasangannya yang telah meninggal. Ditambahkan oleh
Hetherington 1999, bahwa wanita yang menjadi orangtua tunggal akan sering menyalahkan diri sendiri, tidak menentu, tidak komunikatif, tidak mendapat
dukungan, dan ketidakkonsistenan dalam membuat keputusan dengan anak-anak, serta dapat juga gagal mengendalikan dan mengawasi perilaku anak-anaknya.
Universitas Sumatera Utara
8 Hasil penelitian Hetherington dalam Dagun, 2002 menyatakan bahwa,
peristiwa perceraian menimbulkan ketidakstabilan emosi, mengalami rasa cemas, tertekan, dan sering marah-marah. Bagi ayah tunggal, ia mengalami kesulitan
dalam taraf berpikir, merenungi dirinya bagaimana menghadapi situasi. Lebih lanjut, Hetherington dalam Dagun, 2002 menambahkan bahwa dalam
mengalami kemelut ini, pihak ibulah yang paling pahit merasakan akibat dari perceraian tersebut. Mereka merasa tertekan lebih berat dan pengaruhnya lebih
lama, juga kaum ibu tunggal lebih mengalami kesulitan konkret dalam menangani anak-anak, terutama ibu yang mengasuh anak laki-laki. Malah setelah dua tahun
berlalu, ibu ini masih merasa kurang mampu, merasa cemas, masih trauma dibandingkan dengan ibu yang mengasuh anak putri.
Kesulitan mengasuh anak yang dialami oleh wanita yang menjadi orangtua tunggal ini menurut Weinraub dan Wolf dalam Basow, 1992 dikarenakan efek
dari perceraian bervariasi pada anak-anak berdasarkan usia dan jenis kelamin. Berdasarkan usia, anak-anak yang lebih muda 3-11 tahun perceraian tersebut
lebih berdampak negatif daripada anak-anak yang lebih tua. Berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki yang berada di bawah pengasuhan seorang ibu saja dan
kehilangan hubungan dengan ayahnya, akan merasakan dampak perceraian tersebut lebih negatif daripada anak perempuan. Hal ini disebabkan anak laki-laki
akan kehilangan figur ayah yang dapat memonitor setiap perilaku anak sebaliknya, penyesuaian lebih baik dilakukan oleh anak perempuan, ketika
hubungan yang positif masih terjalin dengan ayahnya, ketiadaan konflik dalam
Universitas Sumatera Utara
9 hubungan antar orangtuanya, penanganan tahap emosional dan finansial yang baik
dari ibu tunggal. Hal ini sesuai dengan pengalaman yang dialami oleh kedua wanita yang
menjadi orangtua tunggal karena meninggalnya pasangan N.Ratih Purbasari, 36 tahun, dengan anak lelaki berusia 4 tahun dan karena bercerai Riri Affandi, 40
tahun, dengan anak lelaki berusia 7 tahun seperti berikut ini: ”Begitu sadar harus menjadi orangtua tunggal, kekhawatiran yang paling
utama adalah sudah tidak ada lagi partner hidup untuk berdiskusi dalam menjalani hidup ini, terutama mengenai kelanjutan hidup anak. Kini, setelah hampir setahun
menjadi orangtua tunggal, tantangan yang paling besar adalah ketika semua harus dilakukan sendiri, apa pun dan kapan pun. Contoh, saya tertantang untuk bisa
melakukan pekerjaan seorang lelaki seperti mengganti kran air, memeriksa keamanan rumah, membawa anak ke rumah sakit sendiri saat dini hari dan
menyelesaikan semua keperluan di rumah sakit.” N.Ratih Purbasari
”Awalnya, setahun setelah perceraian memang terasa berat, karena segala sesuatu menyangkut anak lebih banyak saya tangani sendiri. Waktu itu
komunikasi dengan mantan kurang bagus, namun seiring membaiknya komunikasi dengan mantan, Enza anak lelaki subjek berusia 7 tahun juga kena
dampak positifnya. Apalagi kemudian saya menyadari, anak lelaki selalu membutuhkan figur ayah.” Riri Affandi
Dibandingkan dengan pria, wanita lebih banyak menjalani kehidupan sebagai orangtua tunggal dan merasakan berbagai kesulitan. Menurut An-Nuaimi
2005, ketika perempuan merasa terbebani dan memikirkan suatu permasalahan atau berbagai permasalahan, secara tiba-tiba dan tanpa melalui pemikiran, ia akan
merasa perlu mendapatkan seseorang yang dapat diajak berbicara laki-laki atau perempuan. Ia akan membicarakan sebagian dari permasalahan yang dialaminya
saat itu, bahkan bisa sampai pada semua masalah yang ditanggungnya yang terkadang telah melenceng dengan masalah yang sekarang sedang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
10 Bird Melville 1994 lebih lanjut menjelaskan bahwa wanita adalah
individu yang lebih sering mengalami masalah-masalah penyesuaian yang harus diselesaikan dan diantara masalah tersebut adalah kesepian. Penelitian yang
dilakukan oleh Freedman dalam Brehm, 1992, dalam suatu perkawinan para istri mengalami kesepian lebih besar daripada para suami. Ditambahkan oleh Fischer
dan Philip dalam Brehm, 1992 bahwa, wanita akan rentan terhadap kesepian apabila ikatan intim atau pernikahan tersebut mengurangi akses mereka pada
jaringan sosial yang lebih luas. Kemudian menurut Hetherington 1999, bagi wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal, isolasi sosial juga menjadi
masalah yang harus dihadapi, mereka juga membutuhkan dukungan sosial dan dukungan emosional dari keluarganya khususnya ibunya.
Perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada seperti ini disebutkan oleh Brehn
dan Kassin 1993, dalam Dayakisni, 2003 sebagai kesepian. Ditambahkan lagi oleh Bruno 2000 bahwa kesepian juga berarti suatu keadaan mental dan
emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain.
Kadang-kadang kesepian ditimbulkan oleh perubahan hidup yang menjauhkan kita dari teman-teman atau hubungan yang akrab. Tidak semua orang
dapat melepaskan diri dari derita kesepian. Orang-orang yang kesepian merasakan putus asa merasa panik dan tidak berdaya, tertekan, rasa bosan yang tidak
tertahankan dan cenderung mengutuk diri sendiri Deaux, Dane dan Wrightsman, 1993.
Universitas Sumatera Utara
11
Kemudian menurut Sears, dkk 1999 kesepian akibat berpisah dengan
orang-orang yang dicintai dapat membangun suatu reaksi emosional seperti kesedihan, kekecewaan bahkan rasa geram yang membuat kita marah pada
lingkungan dan diri sendiri. Kesepian pun dapat menimbulkan perasaan sengsara yang hebat dan menetap.
Laki-laki dan wanita memiliki perasaan yang sama mengenai kesepian. Hanya saja wanita lebih mengekspresikan dirinya sebagai orang yang kesepian
dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena laki-laki dianggap kurang pantas untuk mengekspresikan emosinya sehingga mereka tidak mau mengakui
bahwa mereka kesepian Deaux, Dane dan Wrightsman, 1993. Ditambahkan oleh Cochrum dan White dalam Dayakisni, 2003, berdasarkan hasil survey terhadap
pria dan wanita usia 27 sampai 46 tahun menemukan bahwa bagi pria kepuasan hidup mereka sangat dipengaruhi oleh harga diri yang mereka miliki. Kepuasan
hidup wanita dipengaruhi oleh sesuatu yang sangat berbeda, kesepian emosional adalah sangat penting, diikuti adanya kelekatan.
Menurut Perlman dan Peplau 1982, dalam Brehm 2002 dalam penelitiannya menemukan bahwa setelah perpisahan kurang dari 6 enam tahun
pertama, pengalaman kesepian lebih dirasakan oleh wanita dibandingkan pria. Spanier Thompson 1994 mengatakan bahwa, penghayatan kesepian yang
dirasakan wanita dipengaruhi oleh kehadiran anak. Kehadiran anak dapat mengatasi rasa kesepian dengan cara memberikan reaksi positif pada kesepian
tersebut. Kemudian Lopata dalam Brehm, 1992 menjelaskan pentingnya kehadiran anak bagi pasangan bercerai. Semakin banyak anak maka semakin
Universitas Sumatera Utara
12 banyak kontak yang dilakukan oleh wanita dengan anak-anaknya sehingga
semakin sedikit pengalaman kesepian yang dirasakannya. Hal tersebut disebabkan anak dianggap mampu memberikan dukungan secara emosional bagi ibunya
melalui kontak komunikasi. Ditambahkan oleh Henwood Solano, 1994 bahwa ada hubungan yang signifikan antara kesepian yang dirasakan anak dengan
ibunya, namun tidak dengan ayahnya. Ketika kesepian, individu akan merasa dissatified tidak puas, deprivied
kehilangan, dan distressed. Hal ini tidak berarti bahwa kesepian tersebut sama di setiap waktu. Individu yang berbeda bisa saja memiliki perasaan kesepian yang
berbeda pada situasi yang berbeda pula Lopata, 1969 dalam Brehm 2002. Berdasarkan survey mengenai loneliness yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver
Peplau 1979, dalam Brehm 2002 menguraikan empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang kesepian, yaitu desperation, impation boredom, self-
deprecation, dan depression. Keempat jenis perasaan inilah yang akan digunakan sebagai alat ukur perasaan kesepian di dalam penelitian ini.
Berdasarkan uraian di atas dijelaskan bahwa wanitalah yang paling sering mengalami kesepian dibandingkan pria, dan penelitian ini akan dilakukan untuk
melihat apakah kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal yang meninggal pasangan lebih tinggi daripada yang bercerai. Oleh sebab itu
peneliti melakukan penelitian mengenai ”Perbedaan Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai Orangtua Tunggal Ditinjau dari Penyebab Perpisahan”.
Universitas Sumatera Utara
13
I.B. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena meninggal
pasangan lebih tinggi daripada yang bercerai.
I.C. Manfaat Penelitian I.C.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan di bidang Psikologi Klinis, khususnya mengenai bagaimana
gambaran kesepian yang dirasakan dan dipersepsikan oleh wanita yang menjalani perannya sebagai orangtua tunggal karena bercerai dan
meninggal pasangan.
I.C.2 Manfaat Praktis
a. Secara praktis penulis berharap melalui hasil penelitian ini dapat diketahui
apakah kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena meninggal pasangan lebih tinggi daripada yang bercerai, sehingga
dengan demikian dapat dilakukan tindak lanjut sebagai prevensi terhadap masalah-masalah yang akan muncul.
b. Penulis berharap melalui hasil penelitian ini, dapat menambah wawasan
pembaca mengenai kondisi keluarga dengan orangtua tunggal yang tentunya berbeda dengan keadaan keluarga yang utuh, dampak yang
ditimbulkannya baik terhadap orangtua tunggal maupun terhadap anak yang ditinggalkan.
Universitas Sumatera Utara
14 c.
Bagi para pembaca, khususnya para ibu tunggal diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah kesepian yang dialaminya sehingga tidak
mengalami kendala dalam pengasuhan dan perkembangan anak-anak yang tinggal bersamanya dalam keluarga dengan orangtua tunggal.
I.E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan kesepian dan peran sebagai orangtua tunggal.
Bab III : Metodologi Penelitian Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian,
identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda butir
pernyataan, uji validitas, dan reliabilitas, prosedur penelitian, serta metode analisis data.
Universitas Sumatera Utara
15 Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian
Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data
penelitian dari teori yang relevan. Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian
ataupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
16
BAB II LANDASAN TEORI