Perbedaan Kesepian Pada Wanita Yang Berperan Sebagai Orangtua Tunggal Karena Bercerai Dan Meninggal Pasangan

(1)

PERBEDAAN KESEPIAN PADA WANITA

YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL

KARENA BERCERAI DAN MENINGGAL PASANGAN

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi

Oleh

HERNA JUNIAR SINAGA

031301039

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Hanya karena kasih karunia Tuhan Yesus Kristus yang begitu besar yang dapat saya rasakan hingga saat ini dan rasa syukur buat setiap kasih dan anugerahNya, membuat peneliti mampu menyelesaikan penelitian skripsi ini, yang berjudul “Perbedaan Kesepian Pada Wanita Yang Berperan Sebagai Orangtua Tunggal Karena Bercerai dan Meninggal Pasangan”.

Saya tidak akan mampu menyelesaikan tugas ini, hanya dengan mengandalkan kemampuan saya. Untuk itu saya ingin berterimakasih kepada setiap pihak yang telah membantu saya selama mengerjakan penelitian ini. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih setulusnya kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A (K).

2. Ibu Hasnida, M.Si, selaku dosen pembimbing saya selama menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih banyak Bu, atas kesediaan dan setiap waktu yang telah ibu berikan kepada saya untuk bimbingan, arahan dan motivasi, juga atas setiap masukan yang sangat berarti buat saya dalam menyelesaikan penelitian ini.

3. Ibu Rr. Lita Hadiati W, S.Psi, Psi, selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih untuk setiap saran yang ibu berikan pada saat menyusun rencana studi dan penerimaan hasil studi setiap semesternya.


(3)

4. Ibu Raras Sutatminingsih, Psi, dan Ibu Irna Minauli, M.Si, sebagai dosen penguji seminar saya. Terima kasih untuk saran dan masukan yang telah ibu berikan bagi kelanjutan penelitian saya.

5. Ibu Etty Rahmawati, M.Si yang bersedia ditanya mengenai metodologi penelitian dan statistik. Makasih Bu, buat masukannya.

6. Serta segenap dosen dan pegawai di lingkungan Program Studi Psikologi USU yang telah banyak membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini. Saya bersyukur telah mengenal kalian.

7. Buat kedua orangtua yang saya kasihi, Bapak P.Sinaga dan Ibu H.E.Pardede terimakasih untuk dukungan dan setiap pengertian yang telah kalian berikan. Kasih sayang dan doa yang menyertai setiap kehidupan saya, menjadi pegangan khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Especially for my mom, moga Ena bisa tambah dewasa dan jadi lebih baik dalam segala hal, ya Mom…Pray for me…

8. Adik-adikku Nanda dan Benni yang kusayangi. Kebersamaan dan canda tawa dalam keluarga selama ini, mudah-mudahan dapat terus terjaga. Dukungan dari kalian, juga tetap dapat mendorongku untuk menjadi panutan yang terbaik buat kalian berdua, wish me luck sist’ and bro’...!! 9. Seluruh keluarga yang telah membantu peneliti memberi keterangan untuk

penyebaran skala peneliti. Khususnya buat keluarga Tulang Bram Pardede, makasih ya tulang…, udah bantu kasih informasi yang bermanfaat sekali buat skala Ena.


(4)

10. Persahabatan yang terjalin di luar adalah suatu pengalaman yang sangat berbeda, terutama buat teman-teman terbaikku di Psikologi USU. Buat Wina (makasih ya eda’ buat curhat-curhatnya selama ini untuk waktu selingan mengerjakan tugas akhir ini, hehehe..), Astry juga (makasih buat diskusi secara private yang kita lakukan di kos-kosan, ok juga masukannya kalau udah ngomong tentang data sama mu, terbuka pikiran jadinya), Fitri (jangan jadi jauh dari kita), Sondang (yang udah mau menemani kemana-mana), Corry (usaha terus dalam perjuangan menyelesaikan skripsi ini ya, Kur, pasti bisa!!), Meilosa dan Rospit (semangat…,semua pasti bisa diselesaikan, okeh!!), terimakasih untuk setiap motivasi, semangat, pengertian dalam memahami diriku, diskusi, dan pengalaman-pengalaman yang tidak terlupakan yang kita jalani sama-sama selama di Psikologi. Ayo, moga kita bisa sama-sama-sama-sama wisudanya..Kalianlah yang terbaik….

11. Seluruh teman-teman Stambuk 2003 yang luar biasa, Nina yang udah bantu mencari orang yang bisa ditanyai informasi berhubungan dengan penelitian ini. Buat info-info seputar SMU 2 yang tetap eksis perkembangannya. Mayke dan Fransiska yang juga bersedia peneliti ganggu buat diminta bantuannya dan ditanyai yang ‘aneh-aneh’ yang peneliti kurang mengerti. Buat teman-teman yang masih ada kuliah, tetap semangat dalam menyelesaikan tugas-tugas kampus yang juga luar biasa. Buat teman-teman yang udah keluar duluan dari kampus, moga dapat kerjaan yang baik ya…Akhirnya kita lewati juga semua hal yang


(5)

melelahkan, sekarang kita petik hasil kerja keras kita yang nggak sia-sia itu. Perjuangan, keceriaan dan hal-hal yang menggelikan itu jadi semangat buat kita. Jangan lupa ya, teman-teman...Semangat!!!!

12. Kakak dan abang stambuk atas, terutama stambuk 2002, yang masih betah di Psikologi, yang memberikan masukan dan diskusi yang sangat berarti. Terutama K’Evi yang udah traktir dan menghabiskan waktu jalan bareng. Doakan juga ya, kakak! Adek-adek stambuk 2004 yang membantu untuk menyebarkan skala penelitian saya. Terutama Reny 04, makasih ya dek buat semuanya saling sharing bahan single parent-nya membantu sekali. 13. Sahabat-sahabat SMU peneliti, Carol, Lasma, Eva, Meylin makasih buat

waktu yang kita habiskan dari masa-masa itu hingga saat ini, buat canda tawa yang memberi keceriaan di saat-saat yang menjenuhkan. Thanks ya, gals…Buat Pipit, Dewi, Irene, Marvina, Yoga, yang jauh disana, tapi dukungan kalian tetap memotivasiku.

14. K’Ade di Psycholib, terimakasih karena kesabarannya ketika harus meminjam buku dan mau mendengar keluh kesah setiap kali ke Psycholib. 15. Seluruh responden yang telah bersedia membantu, karena bantuan dan

kerjasama dari anda seluruhnya sangatlah berarti guna penyelesaian penelitian ini. Saya berterimakasih untuk itu.

16. My 4 Januari 1983, thank you for all your support, your caring, and your love, your faithfull for me. Hopefully, distance doesn’t make any problem to this relationship.


(6)

Segala sesuatu tidak pernah bisa luput dari kesalahan dan kekurangan, dan selayaknya kehidupan dirancang untuk terus dapat memberikan yang terbaik. Demikian pula halnya, dengan proposal ini masih banyak juga kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya. Untuk itu, peneliti dengan hati terbuka menerima saran guna perbaikan dan penyempurnaan penelitian ini. Peneliti juga berharap semoga proposal ini dapat memberikan manfaat yang berarti bagi setiap pembaca.

Medan, November 2007

Peneliti,

Herna Juniar Sinaga


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat oleh perkawinan atau darah dan biasanya meliputi ayah, ibu, dan anak atau anak-anak. Keluarga sebagai sistem sosial terkecil mempunyai fungsi dan tugas agar sistem tersebut berjalan seimbang dan berkesinambungan. Peranan dan fungsi keluarga sangat luas dan sangat bergantung dari sudut dan orientasi mana akan dilakukan, yaitu diantaranya dari sudut biologi, sudut perkembangan, pendidikan, sosiologi, agama dan ekonomi. Majelis Umum PBB mengemukakan bahwa keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera (Sunarti, 2004).

Ayah dan ibu adalah pasangan yang datang dengan latar belakang yang berbeda. Perbedaan ini, idealnya akan saling melengkapi sehingga pasangan akan dapat pula menjalankan rumah tangga dan perkawinannya dengan lancar. Demikian pula halnya dalam hal pengasuhan, kedua orangtua akan memberikan model yang lengkap bagi anak-anak dalam menjalani kehidupan (Andayani dan Koentjoro, 2004). Oleh karena itu, kerjasama dalam pengasuhan atau coparenting


(8)

Dalam keluarga, setiap anggota keluarga tersebut tentunya memiliki peran masing-masing, terutama peran penting ayah dan ibu sebagai orangtua. Menurut Soekanto (1990), seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga yang diharapkan mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang mantap. Sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga, maka seorang ayah harus mengerti serta memahami kepentingan-kepentingan dari keluarga yang dipimpinnya. Ayah sebagai salah satu orang tua diharapkan untuk lebih terlibat dalam pengasuhan. Ayah tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab atas pengasuhan. Ia tidak hanya memasuki masa parenthood dengan adanya anak melainkan juga mempunyai hak dan kewajiban untuk menikmati dan mengurus anak.

Selain peran ayah, peranan ibu pada masa anak-anak sangatlah besar. Peran ibu hampir tidak dapat digantikan oleh orang lain dalam panggung kehidupan sehari-hari, sebab ibu merupakan mata rantai pertama yang menghubungkan anak dengan kehidupan dunia (Cause, 1994). Menurut Kartono (1992), tugas ibu adalah mendidik anaknya, sebab disamping pemeliharaan fisik, seorang ibu harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikis anak, agar anak tersebut dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosialnya. Ibu harus terus menerus melatih anaknya, agar mampu mengendalikan insting-instingnya untuk bisa menjadi manusia beradab.

Tidak setiap orang dapat terus menerus hidup dengan pasangannya. Hal ini dikarenakan keterpaksaan atau pilihan sendiri. Bagaimana bila dalam suatu keluarga peran ayah sebagai kepala keluarga tidak lagi didapat, dan sebaliknya digantikan oleh hanya seorang ibu yang harus menjalankan tugas coparenting


(9)

tersebut. Keluarga tersebut berubah dari keluarga utuh menjadi keluarga dengan orangtua tunggal.

Wolf (2005) mengatakan bahwa menjadi orangtua tunggal akan memperoleh banyak pendapat yang beranekaragam dari masyarakat. Orangtua tunggal terjadi disebabkan oleh adanya kehilangan (seperti: kematian pasangan, perpisahan, perceraian, tinggal dengan orangtua tunggal), atau karena pilihan (single parent yang mengadopsi anak, donor insemination, surrogate motherhood,

dan memilih untuk membesarkan anak dari kehamilan yang tidak diinginkan). Perlmutter & Hall (1995), mengartikan orangtua tunggal sebagai orangtua tanpa

partner (pasangan) yang secara kontinu membesarkan anaknya oleh sendiri. Kemudian menurut Papalia (1998), keluarga dengan orangtua tunggal muncul sebagai akibat dari kematian salah satu pasangan dan pasangan yang ditinggalkan tidak menikah lagi dan sebagian besar keluarga dengan orangtua tunggal muncul karena perceraian dalam keluarga.

Ketiadaan partner tersebut menyebabkan kehidupan keluarga dengan orangtua tunggal pasti akan mengalami perubahan dan berhadapan dengan masalah-masalah baru yang harus diatasi oleh seorang diri pula. Glasser & Navarre (1999) melihat adanya perbedaan antara keluarga utuh dan keluarga

single parent dalam beberapa hal, yaitu struktur tugas (seperti memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan sosial dari seluruh anggota keluarga), struktur komunikasi (bagi anak, orangtua berperan sebagai saluran komunikasi dengan dunia orang dewasa dalam dua cara, yaitu: sebagai pembawa nilai-nilai budaya yang sebelumnya telah diinternalisasi oleh orangtua dan sebagai penghubung serta


(10)

mewakili anak dalam dunia orang dewasa), struktur kekuasaan (dalam setiap situasi, orangtua tunggal akan dihadapkan pada pilihan untuk bekerjasama atau menentang si anak) dan struktur afeksi (dalam hal menyediakan dan mengatur kebutuhan emosional).

Ketika seorang wanita harus bekerja untuk menghidupi keluarganya dan peran yang mereka jalani pun sama dengan kepala keluarga lainnya, saat itulah wanita tersebut mendapat predikat baru sebagai orangtua tunggal. Dia harus menafkahi keluarganya, mengurus anak-anak, mengelola rumah, dan tetap menjadi bagian dari sistem dalam masyarakat. Bagi seorang wanita yang menjadi orangtua tunggal, kesendirian itu yang terberat namun kadang-kadang wanita tidak mau mengakui. Ketika seharusnya mereka saling berbagi beban dengan pasangan, namun sekarang harus menghadapinya sendiri. Belum lagi berinteraksi dengan masyarakat yang selalu menempatkan posisi wanita dengan keluarga lengkap akan lebih baik dibanding sebagai wanita yang menjadi orangtua tunggal (Suhartini, 2003).

Hal ini berkaitan pula dengan tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal yang dikemukakan oleh Hurlock (1999), yaitu dipusatkan pada harapan-harapan masyarakat dan mencakup hal-hal seperti mendapatkan suatu pekerjaan, memilih seorang teman hidup, belajar hidup bersama dengan seorang suami atau istri membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak, mengelola sebuah rumah tangga, menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan bergabung dalam suatu kelompok sosial yang menyenangkan.


(11)

Berdasarkan tugas-tugas perkembangan usia dewasa awal di atas, setiap individu seharusnya melakukan sebagian besar tugas tersebut dengan pasangannya, namun bila dilakukan sendirian maka tentunya akan memberikan dampak serta menghadapi kesulitan bagi orangtua yang menjalaninya.

Menurut Egelman, (2004) terdapat tiga dampak umum keluarga dengan orangtua tunggal bagi orangtua yaitu: multitasking, solo parenting dan issues of self. Multitasking yaitu konflik peran yang muncul pada orangtua tunggal karena banyaknya peran yang harus mereka lakukan dalam waktu yang bersamaan. Solo parenting yaitu kesulitan dalam menghadapi perilaku anak karena mereka sudah tidak memiliki pasangan sebagai teman berbagi dalam menyelesaikan masalah keluarga, terutama dalam mengurus anak. Issues of self yaitu self image pada orangtua tunggal akan berpengaruh terhadap kualitasnya sebagai orangtua.

Menurut Glasser & Navarre (1999), kesulitan yang dihadapi orangtua tunggal yaitu kesulitan ekonomi dalam hal ini pendapatan dan keuangan yang terbatas memang merupakan masalah utama bagi wanita yang menjadi orangtua tunggal. Kemudian menurut Hurlock (1999), masalah umum yang dihadapi wanita single parent karena kematian suami adalah masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah tempat tinggal, masalah sosial, masalah praktis dan masalah seksual. Lebih lanjut, Hetherington, (1999) menjelaskan bahwa masalah utama wanita single parent karena kematian suami berkaitan dengan adanya perubahan tekanan yang dialaminya, antara lain masalah praktis dalam kehidupan, seperti ekonomi, masalah pekerjaan dan masalah mengurus rumah tangga.


(12)

Berikut ini merupakan hasil sensus dan penelitian di Amerika mengenai wanita yang menjadi orangtua tunggal. Hasil sensus di Amerika menyatakan bahwa, wanita single parent berbanding pria single parent adalah 4: 1. Ditambah lagi, hasil dari data sensus pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 32% dari seluruh keluarga yang memiliki anak berusia dibawah 18 tahun tinggal dalam keluarga dengan orangtua tunggal dimana 26% tinggal dibawah pengasuhan ibu dan 6% dibawah pengasuhan ayah (Newman & Newman, 2006). Kemudian beberapa penelitian di Amerika dikatakan bahwa terdapat 25% anak tinggal dengan orangtua tunggal (U.S. Bureau of Census, 2000 dalam Egelman 2004) dan ada beberapa faktor yang mempengaruhi biaya kehidupan bagi anak yang hidup dengan orangtua tunggal yaitu: usia orangtua, tingkat pendidikan dan pekerjaan, pendapatan keluarga (sosioekonomi), dukungan dari keluarga dan teman.

Berdasarkan data dari Pengadilan Agama Medan, pada tahun 2003 jumlah kasus perceraian sebanyak 717; pada tahun 2004 jumlah kasus perceraian sebanyak 693; sedangkan pada tahun 2005 (perhitungan hingga November 2005) terdapat 685 jumlah kasus perceraian. Selanjutnya, melalui data dari Dinas Kependudukan Medan tahun 2005, diperoleh informasi mengenai jumlah janda cerai sebanyak 1,48% dan janda karena kematian suami sebanyak 6,17%, sedangkan jumlah duda cerai sebanyak 0,56% dan duda karena kematian istri sebanyak 1,01%. Bila data diatas dikumulatifkan maka persentase janda lebih besar yaitu 7,65% dibanding persentase duda yang hanya mencapai 1,57%. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa peran sebagai orangtua tunggal lebih banyak dipegang oleh wanita.


(13)

Wanita yang menjadi orangtua tunggal, akan mengalami kemiskinan dalam hal perekonomian 7 kali lebih besar dibandingkan dengan kehidupan keluarga yang memiliki orangtua yang utuh/lengkap. Kemiskinan tersebut terjadi karena rendahnya kemampuan seorang ibu dalam meningkatkan pendapatan dan kemampuan mereka dalam melakukan pekerjaan hanya beberapa jam saja (Newman & Newman, 2006). Selain itu, anak yang berada di bawah pengasuhan ibu akan merasa kehilangan perhatian dan kasih sayang dari ayahnya, menjadi minder karena berbeda dengan anak-anak yang mempunyai orang tua yang lengkap, kehilangan salah satu figur yang seharusnya menjadi teladan, dan mungkin juga anak menyalahkan ibu karena menganggap ibunya yang menjadi penyebab dari ketiadaan ayah dalam keluarganya (Sucahyani, 2006).

Menurut Zisook, dkk (dalam Santrock, 1995), kehilangan yang paling sulit adalah kematian pasangan hidup. Kematian pasangan hidup biasanya tidak mampu dicegah, yang dampaknya barangkali melibatkan kehancuran ikatan yang telah lama terjalin, munculnya peran dan status baru, kekurangan keuangan dan barangkali meninggalkan mereka yang hidup tanpa sistem pendukung yang kuat.

Taylor (2000) mengatakan bahwa individu yang kehilangan pasangan akibat kematian harus dapat hidup secara mandiri tanpa dukungan baik emosional maupun materi dari pasangannya yang telah meninggal. Ditambahkan oleh Hetherington (1999), bahwa wanita yang menjadi orangtua tunggal akan sering menyalahkan diri sendiri, tidak menentu, tidak komunikatif, tidak mendapat dukungan, dan ketidakkonsistenan dalam membuat keputusan dengan anak-anak, serta dapat juga gagal mengendalikan dan mengawasi perilaku anak-anaknya.


(14)

Hasil penelitian Hetherington (dalam Dagun, 2002) menyatakan bahwa, peristiwa perceraian menimbulkan ketidakstabilan emosi, mengalami rasa cemas, tertekan, dan sering marah-marah. Bagi ayah tunggal, ia mengalami kesulitan dalam taraf berpikir, merenungi dirinya bagaimana menghadapi situasi. Lebih lanjut, Hetherington (dalam Dagun, 2002) menambahkan bahwa dalam mengalami kemelut ini, pihak ibulah yang paling pahit merasakan akibat dari perceraian tersebut. Mereka merasa tertekan lebih berat dan pengaruhnya lebih lama, juga kaum ibu tunggallebih mengalami kesulitan konkret dalam menangani anak-anak, terutama ibu yang mengasuh anak laki-laki. Malah setelah dua tahun berlalu, ibu ini masih merasa kurang mampu, merasa cemas, masih trauma dibandingkan dengan ibu yang mengasuh anak putri.

Kesulitan mengasuh anak yang dialami oleh wanita yang menjadi orangtua tunggal ini menurut Weinraub dan Wolf (dalam Basow, 1992) dikarenakan efek dari perceraian bervariasi pada anak-anak berdasarkan usia dan jenis kelamin. Berdasarkan usia, anak-anak yang lebih muda (3-11 tahun) perceraian tersebut lebih berdampak negatif daripada anak-anak yang lebih tua. Berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki yang berada di bawah pengasuhan seorang ibu saja dan kehilangan hubungan dengan ayahnya, akan merasakan dampak perceraian tersebut lebih negatif daripada anak perempuan. Hal ini disebabkan anak laki-laki akan kehilangan figur ayah yang dapat memonitor setiap perilaku anak sebaliknya, penyesuaian lebih baik dilakukan oleh anak perempuan, ketika hubungan yang positif masih terjalin dengan ayahnya, ketiadaan konflik dalam


(15)

hubungan antar orangtuanya, penanganan tahap emosional dan finansial yang baik dari ibu tunggal.

Hal ini sesuai dengan pengalaman yang dialami oleh kedua wanita yang menjadi orangtua tunggal karena meninggalnya pasangan (N.Ratih Purbasari, 36 tahun, dengan anak lelaki berusia 4 tahun) dan karena bercerai (Riri Affandi, 40 tahun, dengan anak lelaki berusia 7 tahun) seperti berikut ini:

”Begitu sadar harus menjadi orangtua tunggal, kekhawatiran yang paling utama adalah sudah tidak ada lagi partner hidup untuk berdiskusi dalam menjalani hidup ini, terutama mengenai kelanjutan hidup anak. Kini, setelah hampir setahun menjadi orangtua tunggal, tantangan yang paling besar adalah ketika semua harus dilakukan sendiri, apa pun dan kapan pun. Contoh, saya tertantang untuk bisa melakukan pekerjaan seorang lelaki seperti mengganti kran air, memeriksa keamanan rumah, membawa anak ke rumah sakit sendiri saat dini hari dan menyelesaikan semua keperluan di rumah sakit.” (N.Ratih Purbasari)

”Awalnya, setahun setelah perceraian memang terasa berat, karena segala sesuatu menyangkut anak lebih banyak saya tangani sendiri. Waktu itu komunikasi dengan mantan kurang bagus, namun seiring membaiknya komunikasi dengan mantan, Enza (anak lelaki subjek berusia 7 tahun) juga kena dampak positifnya. Apalagi kemudian saya menyadari, anak lelaki selalu membutuhkan figur ayah.” (Riri Affandi)

Dibandingkan dengan pria, wanita lebih banyak menjalani kehidupan sebagai orangtua tunggal dan merasakan berbagai kesulitan. Menurut An-Nuaimi (2005), ketika perempuan merasa terbebani dan memikirkan suatu permasalahan atau berbagai permasalahan, secara tiba-tiba dan tanpa melalui pemikiran, ia akan merasa perlu mendapatkan seseorang yang dapat diajak berbicara (laki-laki atau perempuan). Ia akan membicarakan sebagian dari permasalahan yang dialaminya saat itu, bahkan bisa sampai pada semua masalah yang ditanggungnya yang terkadang telah melenceng dengan masalah yang sekarang sedang dihadapi.


(16)

Bird & Melville (1994) lebih lanjut menjelaskan bahwa wanita adalah individu yang lebih sering mengalami masalah-masalah penyesuaian yang harus diselesaikan dan diantara masalah tersebut adalah kesepian. Penelitian yang dilakukan oleh Freedman (dalam Brehm, 1992), dalam suatu perkawinan para istri mengalami kesepian lebih besar daripada para suami. Ditambahkan oleh Fischer dan Philip (dalam Brehm, 1992) bahwa, wanita akan rentan terhadap kesepian apabila ikatan intim atau pernikahan tersebut mengurangi akses mereka pada jaringan sosial yang lebih luas. Kemudian menurut Hetherington (1999), bagi wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal, isolasi sosial juga menjadi masalah yang harus dihadapi, mereka juga membutuhkan dukungan sosial dan dukungan emosional dari keluarganya khususnya ibunya.

Perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada seperti ini disebutkan oleh Brehn dan Kassin (1993, dalam Dayakisni, 2003) sebagai kesepian. Ditambahkan lagi oleh Bruno (2000) bahwa kesepian juga berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain.

Kadang-kadang kesepian ditimbulkan oleh perubahan hidup yang menjauhkan kita dari teman-teman atau hubungan yang akrab. Tidak semua orang dapat melepaskan diri dari derita kesepian. Orang-orang yang kesepian merasakan putus asa (merasa panik dan tidak berdaya), tertekan, rasa bosan yang tidak tertahankan dan cenderung mengutuk diri sendiri (Deaux, Dane dan Wrightsman, 1993).


(17)

Kemudian menurut Sears, dkk (1999) kesepian akibat berpisah dengan orang-orang yang dicintai dapat membangun suatu reaksi emosional seperti kesedihan, kekecewaan bahkan rasa geram yang membuat kita marah pada lingkungan dan diri sendiri. Kesepian pun dapat menimbulkan perasaan sengsara yang hebat dan menetap.

Laki-laki dan wanita memiliki perasaan yang sama mengenai kesepian. Hanya saja wanita lebih mengekspresikan dirinya sebagai orang yang kesepian dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena laki-laki dianggap kurang pantas untuk mengekspresikan emosinya sehingga mereka tidak mau mengakui bahwa mereka kesepian (Deaux, Dane dan Wrightsman, 1993). Ditambahkan oleh Cochrum dan White (dalam Dayakisni, 2003), berdasarkan hasil survey terhadap pria dan wanita usia 27 sampai 46 tahun menemukan bahwa bagi pria kepuasan hidup mereka sangat dipengaruhi oleh harga diri yang mereka miliki. Kepuasan hidup wanita dipengaruhi oleh sesuatu yang sangat berbeda, kesepian emosional adalah sangat penting, diikuti adanya kelekatan.

Menurut Perlman dan Peplau (1982, dalam Brehm 2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa setelah perpisahan kurang dari 6 (enam) tahun pertama, pengalaman kesepian lebih dirasakan oleh wanita dibandingkan pria. Spanier & Thompson (1994) mengatakan bahwa, penghayatan kesepian yang dirasakan wanita dipengaruhi oleh kehadiran anak. Kehadiran anak dapat mengatasi rasa kesepian dengan cara memberikan reaksi positif pada kesepian tersebut. Kemudian Lopata (dalam Brehm, 1992) menjelaskan pentingnya kehadiran anak bagi pasangan bercerai. Semakin banyak anak maka semakin


(18)

banyak kontak yang dilakukan oleh wanita dengan anak-anaknya sehingga semakin sedikit pengalaman kesepian yang dirasakannya. Hal tersebut disebabkan anak dianggap mampu memberikan dukungan secara emosional bagi ibunya melalui kontak komunikasi. Ditambahkan oleh Henwood & Solano, ( 1994) bahwa ada hubungan yang signifikan antara kesepian yang dirasakan anak dengan ibunya, namun tidak dengan ayahnya.

Ketika kesepian, individu akan merasa dissatified (tidak puas), deprivied

(kehilangan), dan distressed. Hal ini tidak berarti bahwa kesepian tersebut sama di setiap waktu. Individu yang berbeda bisa saja memiliki perasaan kesepian yang berbeda pada situasi yang berbeda pula (Lopata, 1969 dalam Brehm 2002). Berdasarkan survey mengenai loneliness yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver & Peplau (1979, dalam Brehm 2002) menguraikan empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang kesepian, yaitu desperation, impation boredom, self-deprecation, dan depression. Keempat jenis perasaan inilah yang akan digunakan sebagai alat ukur perasaan kesepiandi dalam penelitian ini.

Berdasarkan uraian di atas dijelaskan bahwa wanitalah yang paling sering mengalami kesepian dibandingkan pria, dan penelitian ini akan dilakukan untuk melihat apakah kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal yang meninggal pasangan lebih tinggi daripada yang bercerai. Oleh sebab itu peneliti melakukan penelitian mengenai ”Perbedaan Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai Orangtua Tunggal Ditinjau dari Penyebab Perpisahan”.


(19)

I.B. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena meninggal pasangan lebih tinggi daripada yang bercerai.

I.C. Manfaat Penelitian I.C.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan di bidang Psikologi Klinis, khususnya mengenai bagaimana gambaran kesepian yang dirasakan dan dipersepsikan oleh wanita yang menjalani perannya sebagai orangtua tunggal karena bercerai dan meninggal pasangan.

I.C.2 Manfaat Praktis

a. Secara praktis penulis berharap melalui hasil penelitian ini dapat diketahui apakah kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena meninggal pasangan lebih tinggi daripada yang bercerai, sehingga dengan demikian dapat dilakukan tindak lanjut sebagai prevensi terhadap masalah-masalah yang akan muncul.

b. Penulis berharap melalui hasil penelitian ini, dapat menambah wawasan pembaca mengenai kondisi keluarga dengan orangtua tunggal yang tentunya berbeda dengan keadaan keluarga yang utuh, dampak yang ditimbulkannya baik terhadap orangtua tunggal maupun terhadap anak yang ditinggalkan.


(20)

c. Bagi para pembaca, khususnya para ibu tunggal diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah kesepian yang dialaminya sehingga tidak mengalami kendala dalam pengasuhan dan perkembangan anak-anak yang tinggal bersamanya dalam keluarga dengan orangtua tunggal.

I.E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan kesepian dan peran sebagai orangtua tunggal.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda butir pernyataan, uji validitas, dan reliabilitas, prosedur penelitian, serta metode analisis data.


(21)

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian dari teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.


(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Kesepian

Pada bab sebelumnya, telah diberikan beberapa penjelasan mengenai kesepian. Dikatakan bahwa kesepian dapat dirasakan oleh setiap individu, kapan saja dan dalam keadaan tertentu. Namun tentu saja setiap individu memiliki perbedaan dalam mengungkapkan ataupun mengekspresikan kesepian yang dirasakannya, pada waktu maupun situasi yang berbeda-beda pula. Pada bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kesepianyang mencakup beberapa hal seperti: pengertian kesepian, penyebab kesepian, tipe-tipe kesepian, perasaan kesepian,

karakteristik orang yang kesepian, dan reaksi terhadap kesepian.

II.A.1. Pengertian Kesepian

Berikut ini ada beberapa teori yang digunakan untuk mendefinisikan kesepian, diantaranyaadalah:

Menurut Perlman & Peplau (dalam Brehm, 2002):

Loneliness defined as a feeling of deprivation and dissatisfaction produced by a discrepancy between the kind of social relations we want and the kind social relations we have”.

Dalam Baron dan Byrne, (2000) dikatakan bahwa kesepian adalah reaksi emosional dan kognitif untuk mencapai hubungan yang memuaskan. Kesepian terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan seseorang dan


(23)

kenyataan dari kehidupan interpersonalnya, dimana seseorang menjadi sendiri dan kesepian (Burger, 1995). Selanjutnya, kesepian akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (self blame) (Anderson, 1994) dan malu (Jones, Carpenter dan Quintana, 1985).

Deaux, Dane & Wrightsman (1993) menyimpulkan ada tiga elemen dari definisi kesepian yang dikemukakan oleh Peplau dan Perlman, yaitu:

1. Merupakan pengalaman subjektif, yang mana tidak bisa diukur dengan observasi sederhana

2. Kesepian merupakan perasaan yang tidak menyenangkan

3. Secara umum merupakan hasil dari kurangnya/terhambatnya hubungan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah suatu pengalaman subjektif dan perasaan yang tidak menyenangkan disebabkan adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dengan kenyataan kehidupannya yang kemudian disertai dengan emosi negatif seperti kecemasan, ketidakbahagian, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri, malu dan depresi.

II.A.2. Penyebab Kesepian

Menurut Brehm (2002) ada empat hal yang menyebabkan seseorang mengalami kesepian, yaitu:


(24)

a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang

Menurut Brehm (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan (relationship) yang tidak adekuat. Rubenstein dan Shaver (1982, dalam Brehm 2002) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang kesepian sebagai berikut:

i. Being unattached: tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, berpisah dengan pasangan atau kekasih.

ii. Alienation: merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat.

iii. Being alone: pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri. iv. Forced isolation: dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit,

tidak bisa kemana-mana.

v. Dislocation: jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan.

Dua kategori pertama dapat dibedakan menurut tipe kesepian dari Weiss yaitu isolasi emosional (being unattached) dan isolasi sosial (alienation). Kelima kategori ini juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu being unattached, alienation dan being alone disebabkan oleh karakteristik individu yang kesepian, sedangkan forced isolation dan dislocation disebabkan oleh karakteristik orang-orang yang berada di sekitar lingkungan individu yang merasa kesepian.


(25)

b. Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan

Menurut Brehm (2002) kesepian juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan, sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian. Tetapi di saat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm, 2002), perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber, yaitu:

i. Perubahan mood. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika sedang senang akan berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan ketika sedang sedih. Bagi beberapa orang akan cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang dan akan cenderung membutuhkan teman-temannya ketika sedang sedih.

ii. Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan (desire) orang itu terhadap suatu hubungan. Jenis persahabatan yang cukup memuaskan ketika seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak akan memuaskan ketika orang tersebut berusia 25 tahun.

iii. Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika mereka sedang membina karir. Namun, ketika karir sudah mapan orang tersebut akan dihadapkan pada


(26)

kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional.

Jadi, menurut Brehm (2002) pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki orang tersebut tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka orang itu akan mengalami kesepian.

c. Self-esteem dan causal attribution

Kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang berisiko secara sosial (misalnya berbicara di depan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus-menerus akibatnya akan mengalami kesepian.

Menurut Peplau (Brehm, 2002) bagaimana seseorang mengatribusikan penyebab kesepiannya (causal attribution) dapat membuat kesepian orang tersebut semakin kuat (intens) dan menetap. Orang yang percaya bahwa kesepian yang dialaminya berasal atau disebabkan oleh dirinya sendiri akan membuat kesepian yang dialaminya semakin kuat dan cenderung menetap. Atribusi internal seperti ini akan membuat orang tersebut mengalami depresi, menghambat orang tersebut untuk bertemu dan menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini akan membuat kesepiannya semakin meningkat.


(27)

d. Perilaku interpersonal

Perilaku interpersonal seseorang yang kesepian akan menyelidiki orang itu untuk membangun suatu hubungan dengan orang lain. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, orang yang mengalami kesepian akan menilai orang lain secara negatif, mereka tidak begitu menyukai dan mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi (kecenderungan untuk berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan (hostile).

Orang yang kesepian cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat di depan umum. Orang yang kesepian cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial. Orang yang kesepian juga cenderung lambat dalam membangun keintiman dalam hubungan yang dimilikinya dengan orang lain. Perilaku ini akan membatasi kesempatan orang itu untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan (Peplau & Perlman, Saks & Krupart, dalam Brehm, 1992).

Ii.A.3. Tipe-tipe Kesepian

Menurut Meer (dalam Newman & Newman, 2006), perasaan kesepian dapat dibagi kedalam 3 kategori yaitu: transient, situational dan chronic.


(28)

a. Transient Loneliness, menghabiskan waktu yang pendek dan fase, seperti ketika mendengarkan sebuah lagu atau ekspresi yang mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh.

b. Situational Loneliness, merupakan perasaan kehilangan yang terjadi tiba-tiba, seperti pindah ke kota yang baru.

c. Chronic Loneliness, menghabiskan waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor yang spesifik. Orang yang mengalami

chronic loneliness bisa saja berada dalam kontak sosial namun mereka tidak memperoleh tingkat intimasi dalam interaksi tersebut dengan orang lain (Berg & Peplau, 1982).

Sebaliknya, mereka yang kemampuan sosialnya tinggi, yaitu meliputi mampu bersahabat, kemampuan komunikasi, kesesuaian perilaku nonverbal dan respon terhadap orang lain, memiliki sistem dukungan sosial yang lebih baik dan tingkat kesepian yang rendah (Rokach, Bacanli & Ramberan, 2000).

Selanjutnya, Weiss (dalam Brehm & Kassin, 1993) mengatakan bahwa ada dua jenis kesepian:

a. Social isolation, dimana seseorang yang menginginkan hubungan sosial tetapi tidak memiliki jaringan teman-teman atau kerabat.

b. Emotional isolation, yaitu seseorang yang menginginkan suatu hubungan yang mendalam (intens), tetapi tidak memiliki hubungan dengan sedikit orang atau dengan satu orang secara mendalam.


(29)

II.A.4. Perasaan Kesepian

Ketika kesepian individu merasa dissastified (tidak puas), deprived

(kehilangan), dan distressed. Namun, hal ini tidak berarti bahwa perasaan ini sama di setiap waktu. Faktanya, orang-orang yang berbeda bisa saja memiliki perasaan kesepian yang berbeda dalam situasi yang berbeda pula (Lopata, 1969 dalam Brehm, 2002).

Berdasarkan survey mengenai kesepian yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver & Peplau (1979, dalam Brehm 2002) menguraikan empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang kesepan, yaitu desperation, impation boredom, self-deprecation, dan depression. Pembagiannya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1

Empat Jenis Perasaan Ketika Kesepian

Desperation Impatient Boredom Self-Deprecation Depression

Putus asa Tidak sabar Tidak atraktif Sedih

Tidak berdaya Bosan Terpuruk Depresi

Takut Berada ditempat lain Bodoh Hampa Tidak punya harapan Kesulitan Malu Terisolasi Merasa Ditinggalkan Marah Merasa tidak aman Menyesali diri Mudah mendapat

kecaman, kritik

Tidak dapat berkonsentrasi

Melankolis

Mengasingkan diri

Berharap memiliki

seseorang yang spesial

Sumber: Rubeninstein, Shaver & Peplau (dalam Brehm 2002 hal 399)

a. Desperation , yaitu perasaan yang sangat menyedihkan, mampu melakukan tindakan yang nekat, disertai dengan indikator perilaku yaitu putus asa, tidak berdaya, takut, tidak punya harapan, merasa ditinggalkan serta mudah mendapat kecaman dari orang lain.


(30)

b. Impatient Boredom, yaitu rasa bosan yang tidak tertahankan, jenuh, tidak suka menunggu lama, dengan indikator perilaku seperti tidak sabar, ingin berada di tempat lain, kesulitan menghadapi suatu keadaan, sering marah, serta tidak dapat berkonsentrasi.

c. Self-Deprecation, yaitu perasaan dimana seseorang mengutuk serta menyalahkan diri sendiri, tidak mampu menyelesaikan masalahnya, dengan indikator perilaku seperti tidak atraktif, terpuruk, merasa bodoh, malu, serta merasa tidak aman.

d. Depression, menurut Davison (2004) merupakan tahapan emosi yang ditandai dengan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, kurang tidur, dengan indikator perilaku dari Brehm (2002) yaitu, sedih, tertekan, terisolasi, hampa, menyesali diri, mengasingkan diri, serta berharap memiliki seseorang yang spesial.

II.A.5. Karakteristik Orang yang Kesepian

Menurut Myers (1999) orang yang kesepian secara kronis kelihatan terjebak di dalam lingkaran setan kegagalan diri dalam kognisi sosial dan perilaku sosial. Orang yang kesepian memiliki penjelasan yang negatif terhadap depresi yang dialami, menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk dan berbagai hal yang berada di luar kendali (Anderson & Snodgrass, dalam Myers, 1999). Lebih jauh lagi orang yang kesepian menerima orang lain dalam cara yang negatif (Jones, Wittenberg & Reis, dalam Myers, 1999). Pandangan negatif tersebut akan mempengaruhi keyakinannya dan akan menyebabkan orang yang


(31)

mengalami kesepian kehilangan kepercayaan sosial dan menjadi pesimis terhadap orang lain, yang justru akan menghambatnya dalam mengurangi kesepian mereka (Myers, 1999).

Orang yang kesepian cenderung menjadi self-conscious dan memiliki self esteem yang rendah (Cheek, Melcior & Vaux, dalam Myers, 1999). Ketika berbicara dengan orang asing, orang yang kesepian lebih banyak membicarakan diri sendiri dan menaruh sedikit ketertarikan terhadap lawan bicaranya. Setelah pembicaraan selesai biasanya kenalan baru tersebut memberi kesan yang negatif terhadap orang yang kesepian tersebut (Jones, dalam Myers, 1999).

Tidak ada orang yang dapat kebal terhadap kesepian, tetapi beberapa orang memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami kesepian (Taylor, Peplau & Sears, 2000).

II.A.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesepian

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesepian pada masing-masing individu, yaitu:

a. Usia

Orang yang berusia tua memiliki stereotipe tertentu di dalam masyarakat. Banyak orang yang menganggap semakin tua seseorang semakin merasa kesepian. Tetapi banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa stereotipe ini keliru. Berdasarkan penelitian Ostrov & Offer (dalam Brehm, 2002) ditemukan bahwa orang yang paling kesepian justru berasal dari orang-orang yang berusia remaja dan dewasa awal. Fenomena ini kemudian diteliti lagi oleh Perlman (1990) dan


(32)

menemukan hasil yang sama bahwa kesepian lebih tinggi di antara remaja dan dewasa muda, sebaliknya lebih rendah di antara orang-orang yang lebih tua.

Menurut Brehm (2002) hal ini disebabkan orang-orang yang lebih muda menghadapi banyak transisi sosial yang besar, seperti meninggalkan rumah untuk pertama kali, merantau, memasuki dunia kuliah, atau memasuki dunia kerja full time untuk pertama kalinya, yang mana semuanya ini dapat menyebabkan kesepian. Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial mereka menjadi semakin stabil. Dengan bertambahnya usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial, mereka menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang mereka harapkan.

b. Faktor Sosioekonomi

Menurut Weiss (1973, dalam Brehm 2002), rendahnya pendapatan menunjukkan kecenderungan mengalami kesepian. Beberapa studi lainnya juga mendukung pernyataan ini, yaitu survey yang dilakukan Page & Cole (1991, dalam Brehm 2002), terhadap keluarga di Amerika, mereka menyatakan bahwa keluarga dengan pendapatan rendah 4,6 kali lebih merasakan kesepian daripada keluarga dengan pendapatan yang lebih tinggi. Dalam studi ini dikatakan bahwa tingkat pendidikan juga berhubungan dengan kesepian.

Menurut Dewi (2006), dengan semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki membuat peluang wanita untuk mendapatkan pekerjaan dengan level dan pendapatan yang lebih tinggi akan lebih terbuka lebar. Selanjutnya, Pegen, Rayen dan Hall (2004) menjelaskan bahwa ibu tunggalyang memiliki pendapatan rendah


(33)

akan berisiko lebih tinggi untuk mengalami low self-esteem, chronic stressors, negative thinking, dan depressive symptoms. Menurut Rubeinstein dan Shaver, depresi merupakan salah satu indikasi adanya perasaan kesepian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesepian.

c. Lama Perpisahan

Perlman & Peplau (1982), menjelaskan bahwa setelah keputusan perceraian diambil seseorang akan mengalami kesepian. Tidak ada waktu yang tepat untuk mengukur kapan waktu berakhirnya kesepian tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan, kesepian tersebut lebih dirasakan kurang dari enam tahun pertama setelah perpisahan.

d. Kehadiran Anak

Selain beberapa faktor diatas, faktor kehadiran anak juga menjadi hal yang perlu diperhatikan terutama pada pasangan yang berpisah. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, menurut Thompson (1994) penghayatan kesepian yang dirasakan oleh wanita dipengaruhi oleh kehadiran anak. Kehadiran anak dapat mengatasi rasa kesepian dengan cara memberikan reaksi positif pada kesepian tersebut. Kemudian Lopata (dalam Brehm, 2002) menjelaskan pentingnya kehadiran anak bagi pasangan bercerai. Semakin banyak anak maka semakin banyak kontak yang dilakukan oleh wanita dengan anak-anaknya sehingga semakin sedikit pengalaman kesepian yang dirasakannya. Hal tersebut disebabkan


(34)

anak dianggap mampu memberikan dukungan secara emosional bagi ibunya melalui kontak komunikasi. Lebih lanjut ditambahkan oleh Hetherington (dalam Dagun, 2002) bahwa pihak ibulah yang paling pahit dalam merasakan akibat dari perceraian tersebut. Kaum ibu yang menjadi orangtua tunggal lebih mengalami kesulitan konkret dalam menangani anak-anak terutama ibu yang mengasuh anak laki-laki daripada mengasuh anak perempuan.

e. Tinggal Bersama Orang Lain

Pasangan yang tidak menikah namun tinggal dengan bersama biasanya mempunyai hubungan emosional dan seksual (Rice, 2001). Beberapa pasangan yang tinggal bersama disebabkan hal tersebut tidak menyulitkan kedua pihak, dan 70% diantaranya hanya melakukannya untuk aktivitas seksual saja (Morris, 1997). Namun beberapa pasangan menyatakan bahwa tinggal bersama adalah suatu tahap untuk dapat mempersiapkan masa pernikahan (Wu, 1999). Penelitian di Amerika dan Canada, menunjukkan bahwa pasangan yang tinggal bersama sebelum menikah lebih mengarah kepada timbulnya perceraian daripada pasangan yang tidak tinggal bersama sebelum menikah.

Menurut Hetherington (1999), wanita yang berpisah dari pasangannya dan berperan sebagai orangtua tunggal yang masih tinggal bersama keluarganya, wanita tersebut akan mendapatkan dukungan sosial dan emosional dari keluarga terutama ibunya.


(35)

f. Karakteristik Latar Belakang yang Lain

Rubenstein &Shaver (dalam Brehm, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor kesepian. Individu dengan orangtua yang bercerai akan lebih kesepian bila dibandingkan dengan individu dengan orangtua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orangtuanya bercerai semakin tinggi tingkat kesepian yang akan orang dialaminya ketika dewasa. Tetapi, hal ini tidak berlaku pada individu dengan orangtua yang berpisah karena salah satunya meninggal dunia. Individu yang kehilangan orangtua karena meninggal ketika kanak-kanak tidak lebih kesepian ketika dewasa bila dibandingkan dengan individu dengan orangtua yang berpisah semasa kanak-kanak atau remaja. Menurut Brehm (2002) proses perceraian meningkatkan potensi anak-anak dengan orangtua yang bercerai untuk mengalami kesepian ketika anak-anak tersebut dewasa.

II.A.7. Reaksi Terhadap Kesepian

Rubeinstein (dalam Wrightsman, 1993) mengatakan bahwa beberapa orang ada yang menjadi pasif (sad passivity), seperti menangis, tidur, minum, makan, memakan obat penenang, menonton televisi, dan sebagainya. Reaksi lain adalah menjadi aktif. Dalam hal ini orang-orang yang mengalami kesepian akan aktif melakukan kegiatan yang dapat melupakan kesepiannya, misalnya dengan melakukan hobi mereka, belajar, olahraga, dan sebagainya.


(36)

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Shaver & Rubeinstein (1982, dalam Brehm, 2002) disimpulkan beberapa reaksi terhadap kesepian seperti dalam tabel berikut ini:

Tabel 2

Respon Terhadap Kesepian

No. Sad Passivity Active Solitude

1. Menangis Belajar atau bekerja

2. Tidur Menulis

3. Duduk dan berpikir Mendengarkan musik 4. Tidak melakukan apapun Memainkan alat musik 5. Makan secara berlebihan Olahraga 6. Menggunakan obat penenang Melakukan hobi 7. Menonton televisi Pergi ke bioskop

8. Mabuk Membaca

Social Contact Distractions

1. Menelepon teman Meghabiskan uang 2. Mengunjungi seseorang Berbelanja

Sumber: Rubeinstein & Shaver (dalam Brehm, 2002 hal 414).

Secara garis besar Shaver & Rubeinstein (1982, dalam Brehm 2002) mengelompokkan reaksi orang terhadap kesepian ke dalam 4 kategori. Dua diantara keempat kategori tersebut bersifat positif karena merupakan strategi

coping yang konstruktif, yaitu kategori social contact dan active solitude.

Kemudian terdapat satu kategori yang terdiri dari respon yang bersifat negatif karena berpotensi untuk merusak diri, yaitu kategori sad passivity. Selanjutnya respon yang sulit untuk diklasifikasikan ke dalam respon yang positif atau negatif dikategorikan sebagai distractions.


(37)

II.B. Peran Sebagai Orangtua Tunggal

Idealnya dalam suatu keluarga, haruslah dilengkapi dengan kedua orangtua. Namun bila dalam suatu keluarga tersebut hanya ada orangtua tunggal,

maka akan memberi dampak bagi setiap anggota dalam keluarga, timbulnya berbagai kesulitan dan masalah. Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai pengertian orangtua tunggal, perbedaan keluarga utuh dan keluarga dengan orangtua tunggal, dampak menjadi orangtua tunggal, masalah yang dihadapi orangtua tunggal, dan masalah yang dihadapi wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal.

II.B.1 Pengertian Orangtua Tunggal

Menurut Perlmutter & Hall (1995), mengartikan orangtua tunggal sebagai orangtua yang tanpa partner (pasangan) secara kontiniu membesarkan anaknya oleh diri mereka sendiri. Lasswell (1987), mengatakan bahwa orangtua tunggal muncul karena kematian pasangan dan putusnya ikatan perkawinan dalam keluarga, yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku dalam suatu negara (Wolf, 2005). Kemudian ditambahkan oleh Duval & Miller (1995), orangtua tunggal adalah orangtua yang secara sendirian membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung jawab pasangannya.

Keluarga dengan orangtua tunggal muncul karena kematian salah satu pasangan dan pasangan yang ditinggalkan tersebut tidak menikah lagi, sebahagian besar orangtua tunggal adalah akibat perceraian dalam keluarga (Papalia, 1998).


(38)

Umumnya anak yang tinggal dengan orangtua tunggal adalah akibat perceraian orangtua.

Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa keluarga dengan orangtua tunggal adalah ketiadaan figur ayah atau ibu dalam suatu keluarga yang disebabkan karena perceraian atau kematian salah satu orangtua dan orangtua yang ditinggalkan tidak menikah kembali, sehingga membesarkan anak tanpa dukungan dan tanggungjawab pasangannya.

II.B.2. Penyebab Keluarga Dengan Orangtua Tunggal

Papalia (1998) telah menjelaskan pengertian keluarga dengan orangtua tunggal, ada dua hal yang umum menjadi penyebab keluarga dengan orangtua tunggal, yaitu perceraian dan meninggalnya pasangan. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai dua penyebab tersebut.

II.B.2.a. Perceraian

Perceraian adalah kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian yang dapat memuaskan kedua belah pihak (Hurlock, 1999).

Stinson (1991) menjelaskan bahwa, perceraian sebagai gangguan hubungan pernikahan yang dialami oleh orangtua sehingga dapat mempengaruhi hubungan yang terjadi antara anak dan orangtua. Perceraian dapat meningkatkan stres dan menyebabkan berkurangnya waktu, energi dan dukungan emosional yang diberi antara pasangan.


(39)

Brehm (2002), mendefinisikan perceraian sebagai berakhirnya sebuah hubungan pernikahan yang sebenarnya belum saatnya untuk berakhir. Perceraian sering diartikan sebagai sesuatu hal yang dapat menyebabkan kehancuran. Akibat yang ditimbulkan tidak hanya mempengaruhi kehidupan pasangan yang memutuskan untuk bercerai tetapi juga dialami oleh anak.

Argyle & Henderso (1995), mengatakan bahwa perceraian diartikan dengan terputusnya perjanjian pernikahan yang resmi oleh kedua pasangan. Gangguan pernikahan yang dialami terjadi secara keseluruhan pada pernikahan yang formal, menyebabkan terputusnya ikatan emosi, seks dan ekonomi. Sebagai akibat yang ditimbulkan adalah perpisahan yang bersifat menetap.

Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah terputusnya perjanjian pernikahan yang resmi oleh kedua pasangan, dan sebagai akibat dari perpisahan tersebut dapat mempengaruhi kehidupan pasangan maupun anak.

II.B.2.b. Meninggalnya Pasangan

Meninggalnya pasangan merupakan masa yang penuh dengan tekanan dalam pengalaman hidup individu, dan terjadi pada wanita di masa tengah kehidupan dan masa tua. Sebagian besar wanita yang telah melewati usia 65 tahun akan menghadapi masa-masa menjanda (Fileds & Casper, 2001). Selanjutnya, House, Landis, dkk (1996) menjelaskan bahwa pentingnya dukungan sosial dan kelekatan bagi kesehatan fisik dan mental. Selain itu dikatakan bahwa, kematian pasangan dapat membuat berubahnya perilaku kesehatan seseorang (Umberson,


(40)

1992). Kemudian Kraaij, dkk (2002) mengatakan bahwa, kematian pasangan berhubungan dengan semakin tingginya simptom-simptom depresi yang dirasakan pada individu dewasa tua.

Masa setelah kematian pasangan dapat dialami secara berbeda bergantung pada keadaan sosio-historis. Modernisasi masyarakat di Amerika Serikat berakibat pada kehidupan janda yang mandiri, lepas dari kontrol keluarga patriarkal dan mampu untuk mempertahankan diri secara ekonomi melalui uang pensiun dan jaminan sosial. Masa menjanda dapat pula dialami dalam berbagai cara yang berbeda (O’Bryant, dalam Santrock, 1995). Beberapa wanita ada yang pasif, menerima perubahan yang disebabkan kematian suaminya, yang lain memperoleh kemampuan-kemampuan pribadi dan barangkali tetap berkembang di masa menjandanya. Beberapa orang masih tinggal dalam tradisi di sekelilingnya, yang lain lebih suka mencari sumber baru dan peranan sosial yang baru. Terkadang inisiatif untuk mengatasi masa kesendiriannya datang dari diri sendiri, pada saat lain datang dari dukungan sosial.

Menurut Ollenburger & Moore (1996), wanita yang ditinggal mati oleh pasangannya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

a. Wanita hidup lebih lama daripada pria

b. Wanita umumnya menikahi pria yang lebih tua dari mereka sendiri c. Laki-laki tua lebih mungkin menikah kembali daripada wanita tua

d. Adanya norma-norma sosial yang kuat yang menentang wanita tua menikahi pria muda, dan juga norma-norma yang menentang wanita tua menikah lagi.


(41)

e. Wanita yang telah menjanda cenderung tidak menikah lagi karena merasa bahwa mereka tidak akan pernah menemukan lagi orang yang sebaik suaminya dulu (Belsky, 1997).

II.B.3. Dampak Menjadi Orangtua Tunggal

Ada tiga dampak umum menjadi orangtua tunggal yaitu: multitasking, solo parenting dan issues of self (Egelman, 2004).

a. Multitasking yaitu konflik peran yang muncul pada orangtua tunggal karena banyaknya peran yang harus mereka lakukan dalam waktu yang bersamaan.

b. Solo parenting yaitu kesulitan orang tua single parent dalam menghadapi perilaku anak karena mereka sudah tidak memiliki pasangan sebagai teman berbagi dalam menyelesaikan masalah keluarga, terutama dalam mengurus anak. Hal yang sangat diharapkan dari orangtua saat ini adalah bahwa semua orangtua harus “perfect”, sehingga tentunya hal ini menjadi sesuatu yang sulit bagi orangtua baik yang single parent maupun bagi keluarga yang utuh. Mereka harus mampu memberikan dukungan finansial, emosi dan intelektual yang dibutuhkan anak untuk menciptakan emosional yang sehat dan kesuksesan finansial kelak ketika anak menjadi dewasa.

c. Issues of self yaitu self image yang dimiliki oleh orangtua single parent

yang akan berpengaruh terhadap kualitasnya sebagai orangtua. Issues of self, merupakan keadaan dimana orangtua tunggal akan mengalami stress


(42)

dan kebutuhan pribadinya yang luas tidak dapat dipenuhi. Orangtua tunggal berharap dapat melanjutkan pendidikannya, pekerjaannya dan mempunyai kehidupan sosial yang baik. Namun, hal ini akan menjadi sulit karena mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhannya tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang positif berhubungan dengan orangtua yang memiliki self image yang positif. Jika orang dewasa tidak memiliki kesempatan untuk bertumbuh dan mengembangkan pengalaman yang positif pada dirinya, maka kualitasnya sebagai orang tua akan berkurang.

II.B.4. Perbedaan Keluarga Utuh dan Keluarga Dengan Orangtua Tunggal

Glasser dan Navarre (1999) melihat adanya perbedaan antara keluarga utuh dan keluarga single parent dalam beberapa hal, yaitu:

a. Struktur tugas

Berbagai tugas utama dalam keluarga merupakan tanggung jawab orangtua. Memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan sosial dari seluruh anggota keluarga adalah pekerjaan bagi kedua orangtua. Jira tugas tersebut harus dilakukan oleh satu orangtua, maka orang tersebut harus cukup matang, competen dan memiliki cukup waktu untuk melakukan tugasnya. Walau demikian tetap sulit bagi satu orangtua untuk dapat mengambil alih semua tugas dua orangtua dalam jangka waktu yang panjang.

Dukungan kekuatan, pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga merupakan tugas-tugas konkrit yang harus dilakukan oleh orangtua. Jika harus


(43)

dilakukan olae satu orangtua saja, maka ada berbagai keterbatasan yang dimilikinya, yaitu keterbatasan waktu dan tenaga serta keterbatasan sosial, dimana tugas-tugas yang bersifat pria atau wanita harus dilakukan oleh orangtua dari jenis kelamin yang berlawanan. Dengan kata lain orangtua tunggal menjalankan peran ganda, baik sebagai ibu maupun sebagai ayah.

b. Struktur Komunikasi

Bagi anak, orangtua berperan sebagai saluran komunikasi dengan dunia orang dewasa dalam dua cara, yaitu:

1). Sebagai pembawa nilai-nilai budaya yang sebelumnya telah diinternalisasi oleh orangtua.

2). Sebagai penghubung dan mewakili anak dalam dunia orang dewasa.

Berdasarkan asumsi bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi cara pandang seseorang tentang dunia, maka seorang anak akan mengalami gangguan dalam saluran komunikasinya jika hanya ada satu orangtua. Tipe dan kualitas pengalaman orangtua cenderung diatur menurut jenis kelaminnya. Dalam keluarga dengan dua orangtua bukan hanya anak yang memperoleh pengalaman yang lebih bervariasi, tetapi orangtua melalui pasangannya dapat mengetahui tipe pengalaman dari lawan jenisnya.

c. Struktur Kekuasaan

Orangtua punya tanggung jawab penuh dalam keluarga. Oleh karena itu, kehidupan keluarga dengan satu orangtua, dalam setiap situasi ini akan


(44)

dihadapkan pada pilihan untuk bekerjasama atau menentang si anak. Dengan kondisi yang demikian, anak akan melihat otoritas sebagai pribadi daripada kesepakatan bersama. Jika orangtua tunggal tersebut tidak punya pengalaman untuk mengambil keputusan secara demokratis, maka akan mempersulit hubungan dengan anaknya.

Pengambilan keputusan menjadi tanggung jawab orangtua dari dua jenis kelamin, baik ayah maupun ibu dalam keluarga utuh. Sedangkan dalam keluarga orangtua tunggalfigur otoritas atau pemegang kekuasaan dipegang oleh satu jenis kelamin saja, sehingga bagi anak tiap keputusan yang diambil diidentifikasikan dengan jenis kelamin tersebut.

d. Struktur Afeksi

Kebutuhan emosional bagi anggota keluarganya merupakan tanggungjawab orangtua untuk memenuhinya. Orangtua harus memiliki kasih sayang dan rasa aman yang diperlukan anak untuk mempertahankan stabilitas emosionalnya dalam keadaan yang menekan (stres) dan dapat menghilangkan perasaan-perasaan negatif yang ada dalam diri anak.

Struktur keluarga merupakan elemen penting dalam menyediakan dan mengatur kebutuhan emosional. Pada keluarga dengan orangtua tunggal, terjadi perubahan dalam struktur keluarga yang justru dapat menimbulkan tekanan dan membatasi penyelesaian masalah.

Berdasarkan berbagai struktur dalam keluarga tersebut, terlihat bahwa keluarga dengan orangtua tunggal memiliki keterbatasan dan kekurangan bila


(45)

dibandingkan dengan keluarga dengan dua orangtua, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai kesulitan.

II.B.4. Masalah yang Dihadapi Wanita yang Menjadi Orangtua Tunggal II.B.4.a. Masalah yang Dihadapi Wanita yang Menjadi Orangtua Tunggal

karena Bercerai

Hurlock (1991) mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah-masalah umum pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena bercerai yaitu:

Masalah ekonomi dirasakan karena inflasi yang terus meningkat, apa yang diterima janda secara turun temurun jauh kurang memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka. Walaupun seorang janda memulai untuk bekerja pada usia madya, biasanya dia tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang biasa dilakukan.

Apabila masih mempunyai anak yang tinggal serumah, maka seorang wanita harus memainkan peran ganda yaitu sebagai ayah dan ibu, serta harus menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan. Disamping itu wanita juga sering mendapat masalah yang berhubungan dengan anggota keluarga pihak suami, khususnya anggota keluarga yang tidak menyenangi menjadi isteri suaminya.

Masalah tempat tinggal menjadi masalah yang harus diperhatikan pula. Dimana seorang janda akan tinggal biasanya bergantung pada dua kondisi,


(46)

pertama; status ekonominya dan kedua; apakah dia mempunyai seseorang yang bisa diajak tinggal bersama.

Kehidupan sosial orang-orang yang berusia dewasa awal sama dengan orang berusia dewasa, yaitu berorientasi pada pasangan, seorang janda segera akan menemukan dirinya bahwa tidak ada tempat baginya apabila dia diantara pasangan yang menikah.

Masalah-masalah praktis meliputi mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah terbiasa dibantu oleh suami, menjadikan banyak masalah rumah tangga yang harus dihidupi oleh seorang janda, terkecuali dia mempunyai anak yang dapat membantu mengatasi berbagai masalah tersebut atau memang mempunyai kemampuan untuk mengatasinya.

Masalah seksual juga menjadi sering dialami oleh seorang janda. Karena keinginan seksual tidak terpenuhi selama usia ini, janda yang terbiasa menikmati kenikmatan seksual dalam tahun-tahun perkawinannya, sekarang mereka merasa frustasi dan tidak terpakai.

II.B.4.b. Masalah yang Dihadapi Wanita yang Menjadi Orangtua Tunggal karena Meninggalnya Pasangan

Ada beberapa dimensi masalah yang dihadapi seorang wanita setelah pasangannya meninggal. Secara finansial kematian pasangan selalu menyebabkan kesulitan ekonomi dalam hal ini pendapatan dan keuangan yang terbatas, merupakan permasalahan utama yang mereka hadapi (Glasser & Navarre, 1999). Karena tidak hadirnya suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah bagi


(47)

keluarga, seorang perempuan harus mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab sendiri, termasuk mencari nafkah bagi dirinya dan juga anak-anaknya (Suardiman, 2001).

Dalam masalah sosial, kematian pasangan dapat menyebabkan seseorang kehilangan suatu hubungan jangka panjangnya. Wanita yang menjadi orangtua tunggal seringkali ditinggal sendiri oleh teman ataupun keluarga, dan dia tidak tahu bagaimana cara untuk mengatasi perasaan kehilangannya. Hal ini akan mengakibatkan mereka tidak hanya kehilangan pasangannya, tetapi juga teman dan keluarga yang merasa tidak nyaman bersama dengan seseorang yang menjanda. Oleh karena itu, wanita yang ditinggalkan cenderung mengurangi partisipasi sosial mereka karena mereka mengalami penurunan dukungan dari keluarga dan teman (Cavanaugh & Filds, 2006). Mereka mungkin akan merasa tidak tertarik ataupun tidak nyaman dalam situasi sosial dimana dulunya diterima. Harus membangun hubungan sosial yang baru dan mencari teman baru dan akan kehilangan kontak dengan teman ataupun keluarga dari suaminya (Barrow, 1996). Hubungan dengan teman mungkin akan rusak atau mengalami perubahan, terutama jika hubungan itu ada karena berkaitan dengan pasangan yang telah meninggal (Belsky, 1990).

Secara emosional, terdapat goncangan emosi yang mendalam serta kehilangan, adanya perasaan kesepian dan suatu keharusan untuk mengatur kembali kehidupan, termasuk juga membangan suatu kehidupan sosial yang baru (Kephart & Jedlicka, 1991). Wanita yang telah kehilangan kehilangan suaminya,


(48)

juga kehilangan dukungan dan pelayanan dari orang yang dekat secara intim dengannya (Barrow, 1996).

Dalam permasalahan fisik, tidak mengejutkan jika kematian pasangan dihubungkan dengan perasaan depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok dan minum-minum, serta meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan (Santrock, 1995).

II.C. Masa Dewasa Dini

Menurut Hurlock (1999), masa dewasa awal dimulai dari usia 18 tahun hingga sampai kira-kira 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang berkurangnya kemampuan reproduktif. Sementara itu, Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong dewasa muda (young adultdhood) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Kriteria ini yang digunakan peneliti dalam penelitian. Kemudian, menurut Havingurst (dalam Hurlock 1999) masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami/istri, orangtua dan pencari nafkah, dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Selanjutnya akan diuraikan mengenai ciri-ciri yang menonjol dalam tahun-tahun masa dewasa dini serta tugas-tugas perkembangannya.


(49)

II.C.1. Ciri-ciri Masa Dewasa Dini

a. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Pengaturan”

Pada generasi terdahulu terdapat pandangan bahwa jika laki-laki dan perempuan telah mencapai usia dewasa, hari-hari kebebasan mereka telah berakhir dan baginya telah tiba untuk menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa. Ini berarti bahwa pria muda mulai membentuk bidang pekerjaan yang akan ditanganinya sebagai karir, sedangkan wanita muda diharapkan mulai menerima tanggung jawab sebagai ibu dan pengurus rumah tangga.

b. Masa Dewasa Dini sebagai “Usia Reproduktif”

Orangtua (parenthood) merupakan salah satu peran yang paling penting dalam hidup orang dewasa. Orang yang menikah berperan sebagai orangtua pada saat berusia dua puluhan atau pada awal tiga puluhan, beberapa sudah menjadi kakek/nenek sebelum masa dewasa dini berakhir. Orang yang belum menikah hingga menyelesaikan pendidikan atau telah memulai kehidupan karirnya, tidak akan menjadi orangtua sebelum merasa bahwa ia mampu berkeluarga.

c. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Kreatif

Sebagai orang dewasa, tidak lagi terikat dengan ketentuan dan aturan sehingga mereka lepas dari belenggu ikatan ini untuk berbuat apa yang mereka inginkan. Bentuk kreatifitas yang akan terikat sesudah ia dewasa akan tergantung pada minat dan kemampuan individual, kesempatan mewujudkan keinginan dan kegiatan yang memberikan kepuasan.


(50)

d. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Bermasalah”

Pada tahun-tahun awal sampai usia tiga puluh tahun, kebanyakan pria dan wanita berupaya menyesuaikan diri dalam kehidupan perkawinan, peran sebagai orangtua, dan karir mereka. Dalam dasawarsa tiga puluh sampai empat puluh, lebih dipusatkan pada kehidupan keluarga. Alasan mengapa penyesuaian diri terhadap masalah masa dewasa begitu sulit karena; pertama, sedikitnya persiapan menghadapi masalah di usia dewasa tersebut; kedua, mencoba menguasai dua atau lebih keterampilan serempak biasanya menyebabkan keduanya kurang berhasil; ketiga, tidak memperoleh bantuan dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya. e. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Ketegangan Emosional

Apabila emosi yang bergelora yang merupakan ciri tahun-tahun awal kedewasaan masih tetap kuat pada usia tiga puluhan, maka hal ini merupakan tanda bahwa kehidupan orang dewasa belum terlaksana secara memuaskan. Ketegangan emosi ini berlanjut sampai usia tiga puluhan, hal ini umumnya tampak dalam bentuk keresahan yang biasanya disebabkan penyesuaian dalam pekerjaan, keluarga dan peran sebagai orangtua.

f. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Keterasingan Sosial

Dengan berakhirnya pendidikan formal dan terjun ke dalam pola kehidupan orang dewasa, yaitu karir, perkawinan dan rumah tangga, hubungan dengan teman-teman kelompok sebaya menjadi renggang, dan keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus berkurang. Sebagai akibatnya, orang muda akan mengalami krisis keterasingan sosial.


(51)

g. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Komitmen

Ketika memasuki masa dewasa, individu menjadi orang dewasa yang mandiri, maka mereka menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen baru.

h. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Ketergantungan

Meskipun telah mencapai status dewasa, dan status ini memberikan kebebasan untuk mandiri, banyak orang muda yang masih agak tergantung pada orang-orang lain selama jangka waktu yang berbeda-beda.

i. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Perubahan Nilai

Ada banyak alasan yang menyebabkan perubahan nilai pada masa dewasa dini. Pertama, jika orang dewasa muda ingin diterima oleh anggota kelompok, mereka harus menerima nilai-nilai kelompok tersebut. Kedua, orang-orang muda itu menyadari bahwa kebanyakan kelompok sosial berpedoman pada nilai-nilai konvensional dalam hal keyakinan dan perilaku serta penampilan. Ketiga, orang-orang muda yang menjadi ayah-ibu tidak hanya cenderung mengubah nilai-nilai mereka lebih cepat daripada mereka yang tidak kawin atau tidak punya anak, tetapi mereka juga lebih konservatif dan tradisional.

j. Masa Penyesuaian Diri dengan Cara Hidup Baru

Menyesuaikan diri pada gaya hidup baru memang selalu sulit, terlebih karena persiapan yang diterima sewaktu masih kanak-kanak dan di masa remaja biasanya tidak berkaitan atau bahkan tidak cocok dengan gaya hidup baru.


(52)

II.C.2. Tugas-tugas Perkembangan Masa Dewasa Dini

Menurut Hurlock (1999), harapan masyarakat untuk orang dewasa muda cukup jelas digariskan dan telah diketahui oleh mereka bahkan sebelum mereka mencapai kedewasaan secara hukum. Pada usia ini, mereka benar-benar telah mengetahui harapan-harapan yang ditujukan masyarakat pada mereka.

Tugas-tugas perkembangan dewasa dini yang dikemukan oleh Hurlock (1999) dapat dilihat sebagai berikut:

a. Mulai bekerja b. Memilih pasangan

c. Belajar hidup dengan pasangan d. Memulai membina keluarga e. Mengasuh anak

f. Mengelola rumah tangga

g. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara h. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

II.D. Perbedaan Kesepian Pada Wanita yang Berperan Sebagai Orangtua Tunggal Karena Perceraian dan Meninggalnya Pasangan

Perlmutter & Hall (1995), mengartikan orangtua tunggal sebagai orangtua yang tanpa partner (pasangan) secara kontiniu membesarkan anaknya oleh diri mereka sendiri. Menurut Smoke (2003), banyak individu yang mampu mengatasinya dengan komitmen antara pasangan dan anak-anak mereka. Namun tidak sedikit pula yang merasa gagal dalam pernikahandan tidak dapat mengatasi


(53)

masalahnya. Kemudian Baldock (2003) mengatakan bahwa di Inggris keluarga yang menjadi orangtua tunggal paling banyak disebabkan perceraian dan meninggalnya pasangan yaitu 65%. Kedua penyebab yang paling umum ini mempunyai dimensi masalah yang berbeda pula. Ketika wanita bercerai, ia akan berpisah dengan teman dan kerabat yang dulunya dimiliki bersama pasangan. Mereka kehilangan rumah atau bahkan anak-anak. Ditambah lagi masyarakat akan memberi pandangan negatif pada wanita bercerai (Etaugh & Hoehn, 1995). perceraian adalah salah satu pengalaman yang paling membuat tertekan. Depresi dan kemarahan adalah respon yang paling sering ditunjukkan terutama bagi wanita (Kaganoff & Spano, 1995). Penyesuaian terhadap penyesesuaian cukup kompleks dan membutuhkan banyak waktu. Mereka akan menjauh dari suatu hubungan dan menyesali hilangnya ikatan pada pasangan sebelumnya (Kitson, 1992).

Kehilangan yang paling sulit adalah kehilangan pasangan hidup (Zisool, dalam Snatrock, 1995). Bagi wanita yang menjadi orangtua tunggal akibat meninggalnya pasangan, penyesuaian mereka terhadap kehilangan suami meliputi perubahan terhadap konsep diri mereka. Peran penting wanita sebagai seorang istri tidak akan ada lagi dalam kehidupan mereka setelah suaminya meninggal dunia, mereka mengalami kesulitan untuk mendefinisikan dirinya sebagai seorang janda. Oleh karena itu, bagi seorang wanita meninggalnya suami berarti kehilangan orang yang mendukung sef-definition yang dimilikinya (Nock, 1987).

Selain itu, ada beberapa perempuan yang seolah-olah merasakan simptom-simptom terakhir dari penyakit suaminya, ada yang mengenakan pakaian


(54)

suaminya agar merasa nyaman dan dekat dengan suaminya dan beberapa lainnya tetap memasak dan mengatur meja untuk suaminya walaupun suaminya telah meninggal (Heinemann dalam Nock, 1987). Beberapa wanita mengatakan mereka tetap melihat dan mendengar suaminya selama setahun ataupun segera mengikuti kematian suaminya. Mereka merasa bertentangan dengan suaminya, merasa marah karena telah meninggalkannya, dan mencari-cari atau mengharapkan nasehat dari suaminya selama beberapa waktu (Caine dalam Nock, 1987).

Menurut Nock (1987), pada tahun pertama dan kedua mereka akan mengalami masalah fisik seperti sakit kepala, minum minum keras, merokok, kesulitan untuk tidur, dan gugup menghadapi sesuatu, sementara masalah psikologis yang dialami adalah kesepian, depresi dan kelekatan pada mantan pasangan. Selanjutnya ditambahkan oleh Van Hoose & Worth (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) penyebab perpisahan dalam keluarga orangtua tunggal karena kematian pasangan menyebabkan perasaan frustasi, merasa gagal, rasa bersalah dan hubungan yang ambivalen antara orang tua dan anak. Frustasi yang muncul disebabkan karena rasa kehilangan dan rasa kesepian. Rasa bersalah muncul karena orang tua merasa sebagai penyebab seorang anak kehilangan ayah. Sikap ambivalen yang ditunjukkan oleh orangtua tunggal pada anaknya merupakan penghalang untuk mengembangkan hubungan yang baru.

Menurut Deaux, et al (1993), orang yang kesepian merasakan putus asa (merasa panik dan tidak berdaya) tertekan, rasa bosan yang tidak tertahankan dan mengutuk diri sendiri. Hal ini juga sesuai dengan indikator empat jenis perasaan kesepian yang dikemukakan oleh Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002).


(55)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah keluarga sebaiknya dilengkapi oleh kedua orang tua, namun bila harus terjadi keluarga dengan orangtua tunggal yang kebanyakan dijalani oleh wanita, tidak dapat terlepas dari berbagai masalah. Masalah tersebut seharusnya diatasi bersama dengan pasangan namun sebagai wanita yang menjadi orangtua tunggal kini harus melaluinya seorang diri. Salah satu masalah yang dihadapi adalah masalah kesepian. Masalah kesepian ini juga berkaitan dengan kehadiran anak yang dapat memberikan dukungan emosional bagi wanita yang menjadi orangtua tunggal.

Sehingga dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui apakah kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal yang meninggal pasangan lebih tinggi daripada yang bercerai dengan menggunakan empat kategori perasaan kesepian dari Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002). Pada halaman berikutnya dapat dilihat kerangka berpikir peneliti mengenai perbedaan kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal bercerai dan meninggalnya pasangan.

II.D. Hipotesa

Hipotesa yang digunakan pada penelitian ini adalah hipotesa alternatif, yaitu: ada perbedaan kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena bercerai dan meninggalnya pasangan.


(56)

Keluarga

Bercerai

1. Kehilangan kerabat 2. Stigma negatif

3. Kemarahan dan depresi 4. Penyesuaian kompleks

Meninggal pasangan

1. Masalah finansial 2. Masalah sosial 3. Masalah emosional 4. Masalah fisik

KERANGKA BERPIKIR PENELITI

Keterangan:

Terbagi atas Memiliki Dengan

Jika tidak terpenuhi akan menyebabkan KESEPIAN

Desperation, Impatient Boredom, Self-Deprecation, Depression Wanita Single Parent Usia Dewasa Dini Orangtua Tunggal Pria Orangtua Tunggal Wanita Keluarga Utuh Sosioekonomi Lama Perpisahan Kehadiran anak Usia 20-40 tahun

APAKAH ADA PERBEDAAN KESEPIAN? OrangtuaTunggal: Bercerai Meninggal Tinggal Bersama seseorang


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2000). Penelitian ini bersifat komparatif, yakni membandingkan dua gejala untuk melihat persamaan dan perbedaannya (Nawawi & Martina, 1994).

Berikut akan dibahas mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian dan metode analisis data.

III.A. Identifikasi Variabel

Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan variabel tergantung, dengan identifikasi sebagai berikut:

1. Variabel bebas: penyebab perpisahan dalam keluarga dengan orangtua tunggal yaitu bercerai dan meninggalnya pasangan.

2. Variabel tergantung: kesepian.

III.B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional dari penelitian perlu dijabarkan untuk menghindari perbedaan dalam menginterpretasi masing-masing variabel penelitian. Adapun


(58)

a. Penyebab perpisahan dalam keluarga dengan orangtua tunggal

Keluarga dengan orangtua tunggal adalah ketiadaan figur ayah dalam suatu keluarga yang disebabkan oleh perceraian atau kematian salah satu orangtua dan orangtua yang ditinggalkan tidak menikah kembali, sehingga membesarkan anak tanpa dukungan dan tanggungjawab pasangannya.

Penyebab perpisahan dalam keluarga dengan orangtua tunggal, dibedakan karena perceraian dan meninggalnya pasangan. Perceraian adalah terputusnya perjanjian pernikahan yang resmi oleh kedua pasangan, dan sebagai akibat dari perpisahan tersebut dapat mempengaruhi kehidupan pasangan maupun anak.

Meninggalnya pasangan hidup merupakan kehilangan yang paling sulit, masa yang penuh dengan tekanan dalam pengalaman hidup individu, pentingnya dukungan sosial dan kelekatan guna kesehatan fisik dan mental, serta berhubungan dengan semakin tingginya simptom-simptom depresi yang dirasakan pada individu dewasa

Data mengenai peran sebagai orangtua tunggal karena bercerai atau meninggal pasangan diperoleh dari subjek yang mengisi self report bersamaan dengan pemberian skala sebagai alat ukur dalam penelitian.

b. Kesepian

Kesepian adalah suatu pengalaman subjektif dan perasaan tidak menyenangkan yang disebabkan adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dengan kenyataan kehidupannya yang kemudian disertai dengan


(1)

dan tingkat pendapatan sehingga dapat memperkaya hasil penelitian dan memperoleh data yang lebih mendalam.

c. Penambahan data-data secara kualitatif dan data observasi juga sebaiknya digunakan pada penelitian selanjutnya, sehingga dinamika wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena bercerai dan meninggal pasangan dapat lebih digali sesuai dengan masalah-masalah yang dihadapi subjek penelitian.

2. Saran Praktis

a. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena bercerai lebih merasa kesepian daripada wanita yang meninggal pasangan. Diharapkan individu ini dapat menjalin hubungan emosional yang baik dengan anak-anak karena kehadiran anak adalah hal yang sangat membantu mengatasi kesepian yang dialami. Di tahun-tahun pertama perpisahan, sebaiknya menghindari segala sesuatu yang berhubungan dengan pasangan, baik dari kehidupan sosial (teman-teman), maupun kehidupan finansial yang terbiasa dibagi berdua sekarang harus bekerja sendiri. Berbagi tugas dengan anak-anak dapat membantu ibu tunggal untuk menyelesaikan hal-hal praktis dalam rumah tangga. Keterlibatan anak-anak di rumah adalah hal yang sangat membantu dalam keluarga dengan orangtua tunggal.

b. Bagi individu yang berusia dewasa muda seperti dalam penelitian ini, dapat mengatasi kesepiannya dengan tidak larut dalam kesendiriannya


(2)

tersebut dan tidak mengarah pada reaksi-reaksi yang negatif bagi dirinya maupun orang lain terutama bagi anak-anaknya. Karena usia yang masih dewasa muda, individu dapat mengatasi kesepiannya dengan memulai kembali menyelesaikan pendidikannya atau membangun karir yang lebih baik dalam pekerjaannya, sehingga dapat mencukupi kehidupan finansial yang layak bagi dirinya dan anak-anaknya. Menghabiskan waktu senggang dengan melakukan kegemaran positif dan mengembangkan keterampilan sosial lainnya juga dapat mengurangi kesepian yang dirasakan. Selain itu, individu juga berusaha membuka diri untuk hubungan sosial yang lebih baik, tidak berpikiran negatif terhadap dirinya sendiri, sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengurangi atau mengalihkan kesepian yang dirasakan seperti bekerja, menghabiskan waktu bersama anak-anak, olahraga, mendengarkan musik, dan kegiatan lainnya.

c. Bagi wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena meninggal pasangan, dapat mengurangi kesepiannya dengan tidak mengingat benda-benda fisik milik pasangannya, seperti memberikan pakaian pasangan pada keluarga atau orang lain, menghindari tempat-tempat yang sering dikunjungi bersama pasangan, tidak hanya merenung atau menangis di dalam kamar, namun membuka diri untuk ikut aktif dalam kegiatan yang dilakukan dalam lingkungan sosial. Kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan juga dapat membantu untuk mengurangi kesepian yang dirasakan wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal.


(3)

d. Bagi masyarakat di sekitar wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal sebaiknya juga berpikiran terbuka, bahwa mereka bukanlah orang yang harus dianggap negatif dengan kesendiriannya, tidak menganggap status sosial mereka yang tidak memiliki pasangan menjadi lebih rendah dari wanita yang memiliki pasangan, tidak mendiskriminasikan, tidak mengasihani namun membantu dengan membina hubungan sosial yang baik bersama keluarga dengan orangtua tunggal, baik wanita yang menjadi orangtua tunggal maupun anak-anak mereka.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ambert, A. M. (2005). One-Parent Families: Characteristics, causes,

sonsequences, and issues. Journal of Marriage and Family.

http://www.vifamily.ca/library/cft/oneparent.html. Tanggal akses 28 April 2007.

An-Nu’aimi, Thariq Kamal. (2005). Psikologi Suami Istri. Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka.

Andayani, B. & Koentjoro, (2004). Psikologi Keluarga, Peran Ayah Menuju Coparenting. Yogyakarta: Citra Media.

Azwar, S. (2005). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Belajar.

Baron & Byrne. (2000). Social Psychology. (9th Edition). Massachusetts: A Pearson Education Company.

Basow, S. (1992). Gender Stereotypes and Roles. Third Ed, California: Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove,

Baldock, C. (2003). How to Succeed as a Single Parent. American Journal of Community Psychology. Tanggal Akses 29 Maret 2007.

Bird. G & Melville. K. (1994). Families and Intimate Relationship. USA: McGraw-Hill.

Brehm, S. S. (2002). Intimate Relationship 2nd Edition. New York: McGraw-Hill. Bruno, F.J. (2000). Menaklukkan Kesepian. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Cause, A.M., Gonzales, N., Hiraga, Y., Mason, C.A. (1994). Adolescent Problem Behavior: The Effect of Peers and the Moderating Role of Father Absence and the Mother-Child Relationship. American Journal of Community Psychology, Vol.22. http://www.questia.com/PM.qst?a=o&d=5000304646 Tanggal Akses 13 Februari 2007.

Dagun. S. M. (2002). Psikologi Keluarga. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Dayakisni, T & Sri Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial (Edisi Revisi). Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang Press.


(5)

Deaux, Dane & Wrightsman, S. (1993). Social Psychology in the 90’s. (2nd Ed). California: Wadsworth Publishing Company, Inc.

Dewi, Ika Sari. (2006). Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal Yang Bekerja. USU Repository.

Egelman, W. (2004). Understanding Families. Critical Thinking and Analysis.

USA: Iona College.

Glasser, P., & Navarre, E. (1999). Structural Problems of the One-Parent Family .

Dalam Gladys K Phelan (ed) Family Relationship. Minesota Burgess Publishing Company.

Gunarsa, S.D. & Gunarsa, Y. (1993). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Hetherington, E.M & Parke, R.D. (1999). Child Psychology (5th edition). USA: McGraw-Hill Collage.

Kartono, K. (1992). Psikologi Wanita Mengenal Wanita sebagai Ibu dan Nenek (Jilid 2). Bandung: Mandar Maju.

Kail & Cavanaugh (2000). Human Development: A Life Span View. USA: Wadswoth

Newman, B.M & Newman. P.R. (2006). Development Through Life: A Psychosocial Approach. Ninth Edition. Thomson-Wadsworth.

Nock, L.S. (1987). Sociology of the Family. New Jersey: Englewood Cliffs, Prentice-Hall

Peden, A. R, Rayens M. K, Hall, L.A, Grant, E. (2004). Negative Thinking and the Mental Health of Low-Income Single Mothers. Journal of Nursing Scholarship. Indianapolis: Vol.36, Iss. 4; pg. 337, 8 pgs.

http://proquest.umi.com/pqdweb?did=788874071&sid=7&Fmt=4&clientI d=63928&RQT=309&VName=PQD. Tanggal Akses 5 Mei 2007.

Papalia, D. (1998). Human Development (8th edition). New York: McGraw-Hill. Sears, Freedman, Peplau. (1999). Psikologi Sosial. Edisi kelima. Jilid-2. Jakarta:

Penerbit Erlangga.

Shehan, C.L. (2003). Marriage and Families, 2nd ed. Boston: Allyn & Bacon. Smoke, J. (2003). Helping the Divorced Find Hope and Healing.

http://enrichmentjournal.ag.org/200003/054_helping_divorced.cfm. tanggal akses 29 Maret 2007.


(6)

Soekanto, S. (1990). Sosiologi Keluarga Tentang Ikhwal keluarga, Remaja dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta

Sucahyani, B.D. (2006). Menjadi Orangtua Tunggal. Terbit: 25 Juni 2006. Online: http:/www.batampos.co.id/index.php?option = com-content & task = view & id = 485 & itemid = 61. Tanggal akses : 13 Februari 2007

Sunarti, E. (2004). Mengasuh dengan Hati Tantangan yang Menyenangkan.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Taylor,L.M. (1997). Hidup Sendiri Sebuah Pandangan bagi Wanita. Alih Bahasa Mitasari Tjandrasa. Jakarta: Penerbit Arcan.

Wolf, J. (2005) http://en.wikipedia.org/wiki/single_parent). Online: Tanggal akses: 11 Januari 2007.

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=246922&kat_id=85).Online: Tanggal akses 10 Januari 2007.