BAB II PERJANJIAN KERJA SEBAGAI LANDASAN
PERLINDUNGAN TENAGA KERJA
A. Pengertian dan Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja
1. Pengertian perjanjian kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang
pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai
perjanjian kerja disebutkan bahwa Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya
pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menenima upah.
Iman Soepomo, “mengemukakan bahwa perihal pengertian tentang
perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, bunuh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya,
majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar
upah.”
12
Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau
gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas
Perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat dari Subekti yang
menyatakan:
12
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hukum Perburuhan, Jakarta: PPAKRI Bhayangkari, 1968, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
bahasa Belanda; dierstverhanding yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu majikan berhak memberikan perintah-perintah
yang harus ditaati oleh pihak yang lain.
13
Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai perjanjian kerja, khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601a KUHPerdata
tersebut, ada dikemukakan perkataan “di bawah perintah”, maka perkataan inilah yang merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara
perjanjian kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan “di bawah” ini mengandung arti bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja
harus tunduk pada pihak lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain, berarti ada unsur wenang perintah dan dengan adanya unsur wenang perintah
berarti antara kedua pihak ada kedudukan yang tidak sama yang disebut subordinasi. Jadi di sini ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang
memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah, maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk
pada dan di bawah perintah dari pihak majikan.”
14
Ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan buruh atau pekerja, adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Jika dibandingkan
dengan kedudukan dari pihak majikan, dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja, maka kedudukan hukum antara kedua belah pihak
jelas tidak dalam kedudukan sama dan seimbang. Ketentuan tersebut jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada umumnya seperti yang telah
13
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1977, hal. 63.
14
Djumaidi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008. hal. 31
Universitas Sumatera Utara
diuraikan sebelumnya, yaitu seperti yang ditentukan pada Pasal 1313 KUHPerdata, jelas bahwa kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama
dan seimbang, karena di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Jelaslah pengertian tentang
perjanjian tersebut berlainan jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian kerja pada Pasal 1601a KUHPerdata, karena di dalam ketentuan pasal tersebut
dinyatakan dengan tegas tentang adanya dua ketentuan, yaitu tentang satu pihak yang mengikatkan diri dan hanya satu pihak pula yang di bawah perintah orang
lain, pihak ini adalah pihak buruh atau pekerja. Sebaliknya pihak yang menurut ketentuan tersebut tidak mengikatkan dirinya dan berhak pula untuk memerintah
kepada orang lain, adalah pihak majikan atau pengusaha. Oleh karena itu “perumusan tersebut bisa dikatakan kurang lengkap, maka ketentuannya kurang
adil. Ketidakadilannya adalah tentang ketentuan yang diuraikan didalamnya.”
15
Pengertian tentang perumusan dalam KUH Perdata di atas akan lain, jika perumusan tentang perjanjian kerja tersebut seperti yang dikemukakan Iman
Soepomo, yang mana beliau mengemukakan bahwa yang terikat dalam perjanjian kerja adalah kedua belah pihak. Pihak pertama si buruh mengikatkan dirinya
”Ketidakadilan dalam KUH Perdata ini, kemungkinan besar adanya pengaruh oleh suatu pandangan dari zaman ke zaman di masyarakat
manapun juga, yang memandang bahwa orang-orang yang melakukan pekerjaan, terutama melakukan pekerjaan untuk kepentingan orang lain, sebagai orang-orang
yang derajatnya sangat rendah.”
15
Ibid, hal. 31-32.
Universitas Sumatera Utara
untuk bekerja dan mempunyai hak untuk menerima upah, sebaliknya pihak si majikan mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan buruh serta berkewajiban
untuk membayar upah.
16
Pengertian mengenai perjanjian kerja yang selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Iman Soepomo, adalah seperti yang diketengahkan oleh A.
Ridwan Halim, di bawah ini: “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan-karyawan tertentu,
yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal-balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban mereka
masingmasing terhadap satu sama lainnya”.
17
Selanjutnya menurut Wiwoho Soedjono, pengertian “perjanjian kerja adalah hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau buruh
dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan”.
18
16
Iman Soepomo, Op. cit, hal. 57.
17
A. Ridwan Halim, dkk., Seri Hukum Perburuhan Aktual, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987, hal. 29.
18
Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal. 9.
Dengan adanya pengertian tentang perumusan perjanjian kerja tersebut, di dalam perkembangannya masalah-
masalah yang berkenaan dengan penyelenggaraan atau penerapan penjanjian kerja, perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk mengatasi dan menjembatani kesenjangan
tersebut, perlu adanya suatu perlindungan dari pihak lain atau pihak ketiga, guna pemberian perlindungan pada salah satu pihak. Adanya perbedaan yang prinsip
antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian kerja, merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini disebabkan jika dalam suatu
Universitas Sumatera Utara
perjanjian antara para pihak yang membuatnya mempunyai derajat dan kondisi yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan seimbang. Namun
tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja, karena antara para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya
mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi dikarenakan berbagai aspek yang melingkari di sekelilingnya, seperti telah
diuraikan sebelumnya, maka kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan derajat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut, menjadi tidak
sama dan seimbang. Perjanjian kerja jika dilihat dari segi obyeknya, maka perjanjian kerja itu
mirip dengan perjanjian pemborongan, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain
dengan pembayaran tertentu. Namun perbedaannya antara satu dengan yang lainnya, bahwa pada perjanjian kerja ada terdapat gabungan kedinasan atau
kekuasaan antara buruh dan majikan. Sedangkan pada perjanjian pemborongan tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang
tugasnya mandiri.
19
2. Unsur-unsur perjanjian kerja