Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis

(1)

PERTANGGUNG JAWABAN PENGHASUT UNTUK

MELAKUKAN UNJUK RASA YANG BERAKIBAT

ANARKHIS

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Ainal Masyri Tanjung

NIM : 070200449

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PERTANGGUNG JAWABAN PENGHASUT UNTUK

MELAKUKAN UNJUK RASA YANG BERAKIBAT

ANARKHIS

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Ainal Masyri Tanjung

NIM : 070200449 Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, MH Pembimbing I

Liza Erwina, SH, M.Hum

Pembimbing II

Dr. Marlina, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini

berjudul “Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis. 4. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara.


(4)

7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

8. Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2012 Penulis

Ainal Masyri Tanjung


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 5

F. Metodologi Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II BENTUK TINDAK PIDANA AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS ... 17

A. Aturan Hukum Terkait Dengan Unjuk Rasa ... 17

B. Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang Anarkhis ... 21

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis 43 BAB III TANGGUNGJAWAB PIDANA PENGHASUT AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS ... 51 A. Pihak Yang Dapat Dimintakan Pertanggungjawaban Dalam


(6)

Suatu Unjuk Rasa ... 51

B. Tanggung Jawab Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa yang Berakhir Anarkhis ... 67

BAB I HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MEMINTA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGHASUT AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS ... 74

A. Hambatan Secara Internal ... 74

B. Hambatan Secara Eksternal ... 76

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

PERTANGGUNG JAWABAN PENGHASUT UNTUK MELAKUKAN UNJUK RASA YANG BERAKIBAT ANARKHIS

Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerderkaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum secara tegas memberikan batasan tentang bagaimana sistem melakukan unjuk rasa yang baik dalam hubungannya dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat, tetapi dalam kenyataannya sering terlihat benturan-benturan yang terjadi sewaktu berjalannya unjuk rasa, seperti terjadinya tindakan anarkhis, benturan antara pengunjuk rasa dengan kepolisian, bahkan sampai kehilangan nyawa dan luka-luka di antara kedua belah pihak. Kondisi ini tentunya amat sangat disayangkan. Di satu sisi unjuk rasa adalah dihormati karena merupakan cara menyampaikan pendapat, sedangkan di sisi yang lain, terkadang unjuk rasa dijadikan sebagai sarana pembenaran pendapat.

Permaslahan yang diajukan adalah bagaimana bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis, apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis dan bagaimana tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi: menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana, menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa umum, menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan dan menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan berdasarkan peraturan perundangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah: sikap para demonstran yang menganggap pendapat mereka paling benar dan harus dituruti, suasana panas, sesak dan penat akan membuat para demonstran cunderung mudah terpancing emosi, tidak ada perwakilan yang bersedia menanggapi dan berbicara dengan demonstran, solidaritas yang tinggi antara para anggota demonstran, kerusuhan dalam demo memang sudah di rencanakan serta adanya provokasi.Tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis adalah apabila ia memenuhi unsur-unsur Pasal 160 KUHP maka kepadanya dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara dan atau denda.


(8)

ABSTRAK

PERTANGGUNG JAWABAN PENGHASUT UNTUK MELAKUKAN UNJUK RASA YANG BERAKIBAT ANARKHIS

Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerderkaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum secara tegas memberikan batasan tentang bagaimana sistem melakukan unjuk rasa yang baik dalam hubungannya dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat, tetapi dalam kenyataannya sering terlihat benturan-benturan yang terjadi sewaktu berjalannya unjuk rasa, seperti terjadinya tindakan anarkhis, benturan antara pengunjuk rasa dengan kepolisian, bahkan sampai kehilangan nyawa dan luka-luka di antara kedua belah pihak. Kondisi ini tentunya amat sangat disayangkan. Di satu sisi unjuk rasa adalah dihormati karena merupakan cara menyampaikan pendapat, sedangkan di sisi yang lain, terkadang unjuk rasa dijadikan sebagai sarana pembenaran pendapat.

Permaslahan yang diajukan adalah bagaimana bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis, apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis dan bagaimana tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi: menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana, menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa umum, menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan dan menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan berdasarkan peraturan perundangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah: sikap para demonstran yang menganggap pendapat mereka paling benar dan harus dituruti, suasana panas, sesak dan penat akan membuat para demonstran cunderung mudah terpancing emosi, tidak ada perwakilan yang bersedia menanggapi dan berbicara dengan demonstran, solidaritas yang tinggi antara para anggota demonstran, kerusuhan dalam demo memang sudah di rencanakan serta adanya provokasi.Tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis adalah apabila ia memenuhi unsur-unsur Pasal 160 KUHP maka kepadanya dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara dan atau denda.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Maraknya aksi kekerasan dan kerusuhan massal akhir-akhir ini, membuat kita cukup prihatin. Dikatakan dengan istilah cukup prihatin, karena dari peristiwa yang begitu kecil saja, ternyata dapat memicu kerusuhan massal yang menimbulkan banyak korban, bukan hanya harta benda, melainkan pula jiwa manusia. Sedangkan lokasi dari terjadinya peristiwa kerusuhan-kerusuhan tersebut merata di hampir di seluruh kepulauan-kepulauan besar Nusantara ini. Termasuk halnya di daerah Provinsi Sumatera Utara khususnya di Kota Medan, dimana kerusuhan tersebut diakibatkan dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok di pasaran, sehingga terdapatnya sekelompok orang yang bertindak berlawan dengan perundang-undangan yang ada.

Tidak mengherankan jika saja banyak orang yang mencari penyebabnya. Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa sebagai faktor pemicunya antara lain, karena terjadinya kesenjangan sosial ekonomi, tersumbatnya komunikasi, atau karena adanya rekayasa pihak ketiga.1 Kecuali itu ada pula yang mengkaitkannya dengan makin meningkatnya suhu politik menjelang pemilu dan di masa pemilu itu sendiri, terlebih-lebih dengan semakin turunnya nilai rupiah terhadap dolar yang lebih dikenal dengan istilah krisis moneter.

Maraknya aksi kerusuhan yang terjadi belakangan ini di tanah air, adalah

1

CST, Kansil, dkk, 2009, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, Jakarta: jala Permata Aksara. halaman 22.


(10)

karena terjadinya ketidakadilan di masyarakat, tidak tegaknya hukum, adanya arogansi kekuasaan dari oknum aparat, tersumbatnya aspirasi masyarakat, serta adanya jurang antara si kaya dan si miskin.

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka membicarakan perihal kerusuhan ini tidak terlepas dari faktor-faktor penyulut kerusuhan itu sendiri. Maka dalam kedudukan yang sedemikian penghasut mempunyai kepentingan atas peristiwa-peristiwa kerusuhan yang ditimbulkan tersebut.

Mengantisipasi adanya penghasut yang bakal menyulut berbagai kerusuhan tersebut, maka Presiden Soeharto pernah membentuk Pusat Komando (POSKO) Kewaspadaan Nasional, yang antara lain bertugas untuk memantau gerakan-gerakan penghasut, penyebar selebaran, dan sebagainya. Sebab, menurut Presiden, dengan mencermati detail peristiwa kerusuhan yang terjadi dapat disusupi adanya kelompok-kelompok tertentu yang memang hendak menggoyang stabilitas nasional.

Suatu hal yang sangat berhubungan dengan peristiwa unjuk rasa adalah terjadinya hal-hal yang berakibat tidak baik yang menyertai unjuk rasa tersebut yaitu terjadinya anarkhis. Apabila terjadi suatu anarkhis dalam suatu peristiwa unjuk rasa maka kepada pihak penanggung jawab unjuk rasa tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya, yang salah satunya adalah pertanggung jawaban pidana.

Kajian skripsi ini tidaklah sedemikian luasnya, hanya saja perbandingan uraian di atas mendudukkan penghasut pada suatu peristiwa tindak pidana sehingga dengan demikian sanksi-sanksi pidana sebagaimana yang diatur oleh


(11)

undang-undang perlulah dimintakan pertanggung-jawabannya kepada penghasut. Perihal ketentuan menghasut ini diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana tepatnya pada Pasal 160 yang berbunyi: “Barang siapa di muka umum

dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan per-buatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Meskipun Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerderkaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sudah secara tegas memberikan batasan tentang bagaimana sistem melakukan unjuk rasa yang baik dalam hubungannya dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat, tetapi dalam kenyataannya sering terlihat benturan-benturan yang terjadi sewaktu berjalannya unjuk rasa, seperti terjadinya tindakan anarkhis, benturan antara pengunjuk rasa dengan kepolisian, bahkan sampai kehilangan nyawa dan luka-luka di antara kedua belah pihak. Kondisi ini tentunya amat sangat disa-yangkan. Di satu sisi unjuk rasa adalah dihormati karena merupakan cara menyampaikan pendapat, sedangkan di sisi yang lain, terkadang unjuk rasa dijadikan sebagai sarana pembenaran pendapat.

Mengapa hal ini terjadi dan bagaimana sebenarnya tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam unjuk rasa ini dalam kaitannya dengan unjuk rasa adalah suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih jauh dalam penulisan skripsi ini.


(12)

B.Perumusan Masalah

Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian dan juga pembahasan yang akan dilakukan.

a. Bagaimana bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis?

b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis?

c. Bagaimana tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk:

1. Untuk mengetahui bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis.

3. Untuk mengetahui tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis.

Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah:

a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum pidana khususnya dalam kaitannya dengan tanggung jawab penghasut dalam kasus unjuk rasa yang bersifat anarkhis.


(13)

b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil manfaatnya terutama dalam hal mengetahui tentang akibat hukum tindak pidana bagi penghasut.

D.Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Bersifat Anarkhis” ini merupakan luapan dari

hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

E.Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana

Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana, jadi dalam arti luas hal ini berhubungan dengan pembahasan masalah deliquensi, deviasi, kualitas kejahatan berubah-ubah, proses kriminisasi dan deskriminasi suatu tindakan atau tindak pidana mengingat tempat, waktu, kepentingan dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup orang (berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebudayaan pada masa dan di tempat tertentu).2

2

S.R. Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, halaman. 204.


(14)

Istilah tindak pidana dalam bahasa Indonesia merupakan perbuatan yang dapat atau boleh dihukum, perbuatan pidana, tindak pidana, sedangkan dalam

bahasa Belanda disebut “strafbaarfeit” atau “delik”. Para sarjana Indonesia mengistilahkan strafbaarfeit itu dalam arti yang berbeda, diantaranya Moeljatno

menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu: “perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu,

bagi barang siapa larangan tersebut”.3

Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana yang dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan tindak pidana, yang disebut juga delik. Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat dalam bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat yang dianggap adil.4

Namun demikian tidak semua perbuatan yang merugikan masyarakat dapat disebut sebagai tindak pidana atau semua perbuatan yang merugikan masyarakat diberikan sanksi pidana. Di dalam tindak pidana disamping alat sifat tercelanya perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melakukannya.

Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dengan tindak pidana. Istilah-istilah lain dari tindak pidana tersebut adalah antara lain : 1. Perbuatan melawan hukum.

3

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, halaman 77.

4

Moeljanto, 2001, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, halaman 19.


(15)

2. Pelanggaran pidana.

3. Perbuatan yang boleh dihukum. 4. Perbuatan yang dapat dihukum.5

Menurut R. Soesilo, tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang dilarang atau yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan diancam dengan hukuman.6

Menurut Moeljatno “peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan undang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman Simons, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab, kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan yang meliputi dolus dan culpulate.7

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau

5

Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru, halaman 32.

6

R. Soesilo. 1991. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus. Bogor: Politeia, halaman. 11.

7


(16)

tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.8

Hukum pidana, ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu mengenai hal melakukan perbuatan pidana (actus reus) yang berkaitan dengan subjek ataupelaku perbuatan pidana, dan mengenai kesalahan (mens rea) yang berkaitan dengan masalahpertanggungjawaban pidana. Berkaitan dalam asas

hukum pidana yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea ”, bahwa “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, maka pengertian “tindak

pidana” itu terpisah dengan yang dimaksud “pertanggungjawaban tindak pidana”.

Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.9

Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu. Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku. Batin yang salah (guilty mind, mens rea) ini adalah kesalahan yang merupakan sifat subjektif dari tindak pidana karena

8 Iman Herlambang, “Pengertian Pertanggungjawaban Pidana”,

http://imanhsy.blogspot.com/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html, Diakses tanggal 16 Mei 2012.

9Scribd, “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi Informasi Melalui Hukum

Pidana”, http://www.scribd.com/doc/81906509/39/C-1-2-Pertanggungjawaban-Pidana, Diakses


(17)

berada didalam diri pelaku oleh karena itu kesalahan memiliki dua segi, yaitu segi psikologi dan segi normatif.

Segi psikologi kesalahan harus dicari di dalam batin pelaku yaitu adanya hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan sehingga ia dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Segi normatif yaitu menurut ukuran yang biasa dipakai masyarakat sebagai ukuran untuk menetapkan ada tidaknya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya.

Berkaitan dengan kesalahan yang bersifat psikologis dan normatif, serta unsur-unsurtindak pidana maka kesalahan memiliki beberap unsur:

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)

2. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku (di atas umur dan pelakudalam keadaan sehat dan normal).

3. Adanya hubungan antara si pelaku dengan perbuatannya baik yang disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa).

4. Tidak adanya alasan pelaku yang dapat menghapus kesalahan.10

Seseorang yang melakukan tindak pidana bare boleh dihukum apabila sipelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang

10


(18)

yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah

ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal yaitu: Keadaan Jiwanya a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara. b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya) c. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap dan

sebagainya). Kemampuan Jiwanya:

1. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.

2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak.

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. 11 Adapun menurut Van Hamel, seseorang baru bisa diminta

pertanggungjawabannya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :


(19)

a. Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara kemasyarakatan adalah dilarang.

b. Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya tersebut. 12

3. Pengaturan Unjuk Rasa

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan bahwa “Unjuk rasa atau

demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif di

muka umum”.

Berdasarkan pengertian tersebut maka disini dapat dilihat bahwa undang-undang memberikan kata yang memiliki makna yang sama antara unjuk rasa dan demonstrasi. Penekanan makna unjuk rasa adalah dilakukan di depan umum dengan cara yang demonstratif. Makna kata demonstratif lebih mendekati kepada makna memperlihatkan, mempertontonkan secara mencolok.13

Unjuk rasa atau demonstrasi (demo) adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang

11Comprehensive Education Center, “Pengertian Pertanggungjawaban”

http://www.ombar.net/2009/10/pengertian-pertanggungjawaban.html, Diakses tanggal 12 Mei 2012.

12


(20)

dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok. Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah, atau para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya. Unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lainnya.14

Demonstrasi memiliki banyak definisi dan pengertian yang berbeda-beda jika ditilik dari sudut pandang yang berbeda. Demonstrasi dapat diartikan sebagai suatu aksi peragaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menunjukkan cara kerja, cara pembuatan, maupun cara pakai suatu alat, material, atau obat jika ditilik dari sudut pandang perdagangan maupun sains.

Penulis menggunakan definisi demonstrasi dalam konteksnya sebagai salah satu jalur yang ditempuh untuk menyuarakan pendapat, dukungan, maupun kritikan, yaitu suatu tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik, saran, ketidakberpihakan, dan ketidaksetujuan melalui berbagai cara dan media dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan baik secara tertulis maupun tidak tertulis sebagai akumulasi suara bersama tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pribadi maupun golongan yang menyesatkan dalam rangka mewujudkan demokrasi yang bermuara pada keadaulatan dan keadilan rakyat.

Perkembangannya sekarang, demonstrasi kadang diartikan sempit sebagai long-march, berteriak-teriak, membakar ban, dan aksi teatrikal. Persepsi masyarakat pun menjadi semakin buruk terhadap demonstrasi karena tindakan

13

Dinas Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia., PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 250.

14 Wikipedia Indonesia, “Unjuk Rasa”,

http://www.wikipediaindonesia.com, Diakses tanggal 10 Mei 2012.


(21)

pelaku-pelakunya yang meresahkan dan mengabaikan makna sebenarnya dari demonstrasi.

Memang unjuk rasa sebagai cara menyampaikan pendapat adalah hal yang biasa dalam negara yang menganut demokrasi. Etika tetap harus dijaga. Pengunjuk rasa harus berangkat dari niat baik demi kemajuan bangsa dan negara, karena bagaimanapun juga unjuk rasa merupakan elemen dari demokrasi guna mengemukakan pendapat, bukan memaksakan kehendak.15 Unjuk rasa harus menjunjung etika dan tidak boleh melakukan kekerasan. Unjuk rasa, apalagi dengan jumlah massa yang besar, tak harus menimbulkan ketakutan dalam diri warga lainnya. Tetapi siapa yang berani menjamin keadaan bisa terkendali seperti itu, sebab pada kenyataannya yang terjadi lebih sering sebaliknya.

Pada setiap kegiatan unjuk rasa, kata-kata kotor seakan menjadi lagu wajib yang harus dinyanyikan dengan penuh semangat sebagai media guna mencaci maki, menghasut, bahkan tidak jarang memprovokasi sehingga berujung pada anarki. Sudah demikian, pelajaran demokrasi, akhlaq, dan budi pekerti yang diajarkan di sekolah seolah sama sekali tak lagi berarti. 16

Fenomena demonstrasi/unjuk rasa ini selain di Perguruan Tinggi kini juga marak terjadi di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan formal tingkat menengah SMA dan atau SMK. Sekolah yang mestinya menjadi pusat berkembangnya budaya positif berubah menjadi ajang artikulasi kata-kata yang teramat jauh dari kategori santun.17

15

Sahardi Utama, 2007, Menapaki Jejak Reformasi, Jakarta: Era Grafindo. halaman 91.

16

Muhari. Norma-norma yang Menjadi Pandangan Hidup Demokratis. Powerpoint Project, Surakarta, 2006, hal. 55.

17


(22)

Dari argumentasi yang sedikit dan sederhana ini saja dapat disimpulkan bahwa demonstrasi/unjuk rasa yang sering terjadi di negeri ini jauh dari dapat dikatakan mendidik/edukatif dan yang perlu kita bersama khawatirkan adalah fenomena buruk ini kian menguat dan secara perlahan menjadi bagian dari kultur yang kemudian melekat sebagai bagian dari jati diri bangsa.

F. Metodologi Penulisan

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.18

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni seperti KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.

18

Bambang Sunggono. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. halaman 32


(23)

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan


(24)

pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Bentuk Tindak Pidana Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkhis

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Aturan Hukum Terkait Dengan Unjuk Rasa, Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang Anarkhis serta Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis

Bab III. Tanggungjawab Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkhis Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pihak Yang

Dapat Dimintakan Pertanggungjawaban Dalam Suatu Unjuk Rasa serta Tanggung Jawab Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa yang Berakhir Anarkhis.

Bab IV. Hambatan-Hambatan Dalam Meminta Pertanggungjawaban Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkhis

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Hambatan Secara Internal serta Hambatan Secara Eksternal.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(25)

BAB II

BENTUK TINDAK PIDANA AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS

A. Aturan Hukum Terkait Dengan Unjuk Rasa

Salah satu dari 10 prinsip dasar demokrasi Pancasila yang dianut oleh negara Indonesia adalah demokrasi yang berkedaulatan rakyat, yaitu demokrasi di mana kepentingan rakyat harus diutamakan oleh wakil-wakil rakyat, rakyat juga dididik untuk ikut bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kebebasan menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa atau demonstrasi merupakan bagian dari implementasi prinsip dasar tersebut, oleh karena itu kebebasan mendapat di muka umum dijamin oleh:

1. Undang-Undang Dasar 1954 (Amandemen IV)

- Pasal 28, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan

undang-undang.”

- Pasal 28 E Ayat 3, ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

2. Ketetapan MPR No. XVV/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19.

”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

3. UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Pasal 2.

”Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan


(26)

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Undang-undang ini mengatur tentang:

a.Konsep Dasar dan Asas Konsep dasarnya adalah:

- Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara. - Unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh

seorang atau lebih, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif dimuka umum berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

- Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum.

- Mimbar bebas adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.

Asasnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban, musyawarah mufakat, kepastian hukum dan keadilan, proposionalitas, serta asas manfaat.

b. Hak dan Kewajiban:

Hak dan kewajiban warga negara adalah: - Mengeluarkan pikiran secara bebas. - Memperoleh perlindungan hukum.

- Menghormati hak-hak kebebasan orang lain.


(27)

- Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

- Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum. - Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Hak dan kewajiban aparatur negara adalah: - Melindungi Hak Asasi Manusia. - Menghargai asas legalitas.

- Menghargai prinsip praduga tak bersalah. - Menyelengarakan pengamanan.

c. Bentuk-bentuk Penyampaian Pendapat - Unjuk rasa atau demonstrasi. - Pawai.

- Rapat umum. - Mimbar bebas.

d. Tata Cara Pemberitahuan Kegiatan

- Penyampain pendapat di muka umum dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum dan mimbar bebas wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Pemberitahuan disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penangung jawab kelompok. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana di atas, tidak berlaku bagi kegiatan-kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.


(28)

puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai dan telah diterima oleh Polri setempat.

e. Surat Pemberitahuan

Surat pemberitahuan ini mencakup: - Maksud dan tujuan.

- Tempat, lokasi, dan rute. - Waktu dan lama.

- Bentuk.

- Penangung jawab.

- Nama dan alamat organisasi, kelompok, atau perorangan. - Alat peraga yang digunakan.

- Jumlah peserta. f. Tanggung Jawab Polri

Setelah menerima surat pemberitahuan akan adanya aksi unjuk rasa, Polri wajib:

- Bertangung jawab dan memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta unjuk rasa.

- Bertangungjawab menyelengarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.


(29)

B. Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang Anarkhis

Membicarakan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis maka pokok permasalahan yang terlebih dahulu harus diketahui adalah keberadaan delik penghasutan itu sendiri.

Pasal 160 KUHP berbunyi sebagai berikut:

Barang siapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti, baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).

Meskipun tidak ada penjelasan resmi terhadap makna kata menghasut, namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tindakan penghasutan adalah suatu

perwujudan untuk “membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau

memberontak”19

, atau menurut Black’s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262 dengan menggunakan padanan kata menghasut dengan provocation diartikan sebagai, something (such as word or action) that affects a person’s reason and self-control, esp. causing the person to commit a crime impulsively”.20

Sejalan dengan itu, R. Soesilo dalam komentarnya terhadap Pasal 160 KUHP, menjelaskan:

19

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, halaman 392.

20 Zain Al Ahmad, “Delik Penghasutan Dengan Lisan (Pasal 160 KUHP)

- Otokritik

Terhadap Pemahaman Berdasarkan Komentar R. Soesilo”,

http://catatansangpengadil.blogspot.com/2010/11/delik-penghasutan-dengan-lisan-Pasal.html, Diakses tanggal 13 Mei 2012.


(30)

Menghasut artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata menghasut tersimpul sifat dengan sengaja. Menghasut itu lebih keras dari pada memikat atau membujuk, yang tersebut dalam Pasal 55 akan tetapi bukan memaksa. Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu itu itu bukan berarti menghasut. Cara menghasut orang itu rupa-rupa, misalnya dengan cara yang langsung, seperti: Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah dan ambil senjatanya ditujukan terhadap seorang pegawai polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Dapat pula secara tidak langsung, seperti: Lebih baik, andaikata polisi yang tidak adil itu dapat diserang, dibunuh, dan diambil senjatanya.Mungkin pula dalam bentuk pertanyaan, seperti: Saudara-saudara apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak kamu serang, bunuh dan ambil senjatanya.21

Sampai di sini, berdasarkan penjelasan R. Soesilo tersebut dikaitkan dengan pengertian menghasut dalam kamus dan bunyi Pasal 160 KUHP di atas, diperoleh pemahaman bahwa: Yang dimaksud dengan menghasut dengan lisan dalam Pasal 160 KUHP adalah peristiwa dimana penghasut mengeluarkan kata-kata atau kalimat-kalimat yang berisi saran, anjuran atau perintah di muka umum, agar si terhasut melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum.

R. Soesilo melanjutkan komentarnya yaitu:

Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai, jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, sehingga suatu percobaan pada delik

21


(31)

ini tidak mungkin terjadi. Lain halnya, apabila hasutan itu dilakukan dengan tulisan. Karangan yang sifatnya menghasut harus ditulis dahulu, kemudian tulisan itu disiarkan atau dipertontonkan pada publik, dan haruslah delik itu dianggap selesai. Orang yang hanya baru menulis karangan itu, belum merupakan percobaan pada delik ini. Jika tulisan itu selesai dan ia bertindak untuk menyiarkan atau mempertontonkan tulisan tersebut, tetapi belum sampai berhasil lalu digagalkan, maka orang itu telah melakukan percobaan yang dapat dihukum. Dalam arti kata tulisan itu tidak termasuk suatu gambar, karena gambar yang bersifat menghasut sukar dipikirkan.22

Selanjutnya R. Soesilo berkomentar:

Orang hanya dapat dihukum, apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak perlu, bahwa penghasut itu harus berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan ialah, bahwa di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa harus di tempat umum dan ada orang banyak, maka hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang menghasut di tengah alun-alun yang kosong dan tidak ada orang sama sekali yang mendengarkan itu, tidak dapat dihukum. Orang menghasut dalam rapat umum dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya dengan karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya menghasut dalam pembicaraan yang bersifat kita sama kita (onder onsjes vertrouwelijk) itu tidak dapat dihukum. Jika menghasut itu dilakukan dengan tulisan, misalnya surat selebaran, majalah,

22


(32)

panflet dan sebagainya, maka surat-surat itu harus tersiar luas atau ditempelkan (dipertontonkan) di tempat yang dapat dibaca oleh orang banyak. Jika hanya tersiar pada satu dua orang saja atau hanya ditempelkan di tempat yang tidak dapat dilihat oleh orang banyak itu tidak masuk dalam delik ini.23

Adapun pemahaman yang didapatkan dari komentar R. Soesilo dimaksud yaitu sebagai berikut: bahwa menghasut dengan lisan merupakan kejahatan selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, jadi tidak soal bila apa yang dihasutkan tersebut tidak betul-betul dilakukan oleh si terhasut (delik formil).

Tidak mungkin terjadi suatu percobaan dalam kejahatan ini. Kata-kata yang bersifat menghasut itu harus diucapkan di tempat yang ada orang lain di situ dan ucapan tersebut bersifat terbuka walaupun di tempat itu hanya ada 1 (satu) orang saja. Jadi bukan bersifat pembicaraan kita sama kita yang bersifat tertutup.

Maksud hasutan ditujukan supaya orang melakukan perbuatan yang dapat dihukum dan tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi hasutannya, cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang melanggar hukum.

Dari pemahaman di atas, maka dapat dikatakan terdapat 2 (dua) syarat terjadinya perbuatan menghasut secara lisan dalam Pasal 160 KUHP adalah:

1. Kata-kata berisi hasutan diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada orang lain yang ada di situ.

2. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana.

23


(33)

Kemudian dengan metode otokritik dipertanyakan keadaan tentang syarat terjadinya perbuatan menghasut dengan lisan dengan mengemukakan pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana jika orang lain sebagai mana dimaksud dalam simpulan angka 1 (satu) di atas, ada di situ karena niat yang sama dengan isi hasutan. Misalnya: A dan B berada di tempat yang sama. A berada di tempat itu karena ingin membunuh Polisi C dengan perencanaan dan persiapan yang matang (perbuatan persiapan telah terjadi). Lalu B meneriakan kata-kata Ayo, bunuh polisi itu, ditujukan kepada Polisi C yang ada di situ. Apakah B dapat dianggap melakukan penghasutan?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu akan dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Tentang kualifikasi delik

Dalam ilmu hukum pidana, kualifikasi delik dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu delik formil dan delik materiil. Delik formil ialah delik yang dalam perumusannya hanya menitikberatkan pada suatu perbuatan yang dilarang/diancam pidana oleh undang-undang, tanpa perlu melihat ada tidaknya akibatnya dari perbuatan itu. Sementara delik materiil dalam perumusannya, lebih menekankan pada terjadinya akibat dari suatu perbuatan pidana.

Sebagaimana disebutkan di atas, R. Soesilo menggolongkan delik penghasutan sebagai delik formil, hal ini dapat dilihat dari penjelasannya yang pada pokoknya menganggap seseorang cukup telah dapat dianggap melakukan


(34)

penghasutan walaupun isi dari kata-kata hasutan yang diucapkannya tidak betul-betul dilakukan oleh orang yang terhasut.24

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. Nomor: 7/PUU-VII/2009, menegaskan bahwa: "... dalam penerapannya, Pasal a quo (baca: Pasal 160 KUHP) harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil. Hal ini berarti, penjelasan R. Soesilo sepanjang mengenai kualifikasi delik dalam Pasal 160 KUHP tidak dapat diterapkan lagi, sehingga persyaratan terjadinya perbuatan penghasutan dalam Pasal 160 KUHP bertambah satu syarat sejalan dengan sifat delik materiil yaitu: Akibat dari perbuatan penghasutan itu harus benar-benar terjadi, yakni: si terhasut melakukan isi hasutan. 25

2. Tentang Asas Culpabilitas

Asas culpabilitas yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (afwijzigheid van alle schuld) sebagaimana terkandung dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat

pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan

yang didakwakan atas dirinya.”

Adapun tentang ajaran “kesalahan” (schuld) yang dikenal dalam ilmu hukum pidana yaitu kesalahan (schuld) terdiri atas kesengajaan (dolus/opzet) atau

24

R. Soesilo, Op.Cit, halaman 136.

25


(35)

kealpaan (culpa). Yang dimaksud dengan “kesengajaan” (dolus/opzet) ialah perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku menginsafi akan akibat dari perbuatan itu. Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan (culpa) adalah sikap tidak hati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang di samping dapat menduga akibat dari perbuatan itu adalah hal yang terlarang. 26

Kesengajaan (dolus/opzet) mempunyai 3 (tiga) bentuk yaitu: a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk).

b. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn) dan

c. Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (dolus eventualis), sedangkan kealpaan (culpa) dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld) dan kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld).27

Pokok komentar R. Soesilo sebagaimana disebutkan di atas, yang pada pokoknya menegaskan: tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi hasutannya, cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang melanggar hukum, jelas menabrak asas culpabilitas ini sehingga perlu diluruskan.

Penambahan satu syarat lagi untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan delik penghasutan yaitu: Orang yang menghasut tersebut harus melakukannya dengan sengaja.

26

Ibid.

27

PAF Lamintang, 1997, Dasar-DAsar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, halaman 158.


(36)

Selanjutnya akan dijawab pertanyaan tersebut di atas berdasarkan pemahaman yang telah disebutkan di muka dan dikaitkan dengan logika sebab-akibat dalam ilmu hukum pidana serta pengertian "menghasut" dalam kamus, yaitu: Tidak logis jika B dikatakan menghasut, karena keberadaan si A di situ, dimana si A sebagai satu-satunya orang yang mendengar ucapan itu memang berniat ingin membunuh Polisi C. Ada atau tidaknya ucapan si B, si A telah melakukan perbuatan persiapan untuk membunuh atau hampir pasti dia akan membunuh Polisi C. Jadi, dalam contoh kasus ini, si B tidak dapat dipersalahkan melakukan perbuatan menghasut.

Berdasarkan alasan di atas, dianggap perlu penambahan satu syarat lagi yaitu syarat: Keberadaan orang lain yang ada di situ tidak mempunyai niat yang sama dengan isi hasutan.

Dari uraian pembahasan tersebut maka dapat dikatakan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi: 1. Menghasut yang diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada orang lain

yang ada di situ.

2. Keberadaan orang lain yang ada di situ tidak mempunyai niat yang sama dengan isi hasutan.

3. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana.

4. Isi hasutan harus benar-benar dilakukan oleh orang yang terhasut. 5. Adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku penghasutan.


(37)

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh R. Soesilo yaitu: Maksud suatu hasutan itu harus ditujukan supaya:

1. Dilakukan sesuatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan), semua perbuatan yang diancam dengan hukuman.

2. Melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasa, yang diartikan dengan kekuasaan umum yaitu semua orang yang ditugaskan menjalankan kekuasaan pemerintah, dimana termasuk semua bagian dari organisasi pemerintah pusat atau daerah.

3. Jangan mau menurut peraturan undang-undang, yang diartikan dengan peraturan undang-undang yaitu semua peraturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.

4. Jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undang-undang, perintah itu harus syah dan diberikan menurut undang-undang-undang, jadi kalau diberikan oleh pembesar yang tidak berhak untuk memberikan perintah itu, maka tidak termasuk dalam Pasal ini.28

Pendapat di atas didukung pula oleh S.R. Sianturi yang mengatakan: Ada empat macam tindakan/perbuatan yang dihasutkan:

1. Menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana.

2. Menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa umum.

3. Menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan. 4. Menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan

berdasarkan peraturan perundangan.29

Pembahasan berikut ini akan diuraikan tentang kasus yang diajukan dalam penelitian ini yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 470.K/Pid/1995, yaitu:

Kasus posisi:

1. Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (S.B.S.I) Cabang Medan terdiri dari : Amosi

28

R. Soesilo, Op.Cit, halaman 137.

29

S.R. Sianturi, 1983, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM PTHM, Halaman 307.


(38)

Telaumbanua sebagai Ketua Umum, dengan Saniman Lafoa sebagai sekretariat serta Bendahara Hayati, di bawah nauangan SBSI pusat dipimpin oleh ketua umum : Muchtar Pakpahan.

2. Amosi sebagai Ketua SBSI Cabang Medan adalah penggerak organisasinya. Ia banyak mengetahui masalah-masalah yang sedang dihadapi buruh saat ini. Amosi juga mengerti akan hak-hak para buruh yang mestinya diterima dari para pengusaha, namun masih belum terpenuhi.

3. Diantara cabang-cabang SBSI di daerah, maka SBSI Medan termasuk yang paling aktif mengadakan kegiatan SBSI. Salah satu kegiatan SBSI adalah melakukan pengukuhan kepada buruh tentang hak-hak yang seharusnya diperoleh. Dalam kegiatan tersebut. Amosi memberikan pengarahan dengan materi mengenai perburuhan, termasuk tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan dan pelaksanaannya.

4. Penyuluhan-penyuluhan yang diberikan SBSI nyatanya menarik perhatian dan keikut sertaan buruh di Medan. Kegiatan SBSI Medan selalu dihadiri oleh banyak buruh. Bukan hanya anggota sBSI saja, para simpatisan juga hadir dalam kegiatan-kegiatan SBSI yang dilakukan secara berkala. Pada separuh pertama tahun 1994, SBSI memberikan pengarahan pada buruh, berturut-turut pada bulan Pebruari, Maret, tanggal 3, 4, 10, 12, 13 April. Kegiatan SBSI dilakukan di rumah para buruh atau kantor Sekretariat SBSI Cabang Medan Jalan Mangaan III Benteng Medan. Para buruh Medan memang mempunyai beberapa masalah yang belum diselesaikan secara tuntas, baik oleh pihak perusahaan maupun oleh Pemerintah daerah setempat. Bagi mereka


(39)

masalah-masalah yang harus segera diselesaikan itu antara lain :

a. Kenaikan upah buruh dari Rp. 3.000, - perhari menjadi Rp. 7.000,- b. Kebebasan berorganisasi

c. Kematian Rusli rekan kerja mereka

d. Pencabutan surat Menaker No. 1 tahun 1994.

5. Pengarahan yang diberikan amosi agaknya menyulut emosi, para buruh merencanakan unjuk rasa untuk merealisasikan pembicaraan yang telah dilakukan. Sebagai langkah awal, amosi dan rekan pengurus SBSI Cabang Medan lainnya menyebarkan lembaran pamplet seruan mogok kepada buruh di Kawasan Industri Medan, selebaran – selebaran itu diperoleh dari DPP SBSI di Jakarta.

6. Pada hari yang telah ditentukan tanggal 14 April 1994, sekitar 20.000 orang buruh berkumpul di depan Kantor Gubernur Sumut. Mereka ingin menyampaikan dan membicarakan persoalan-persoalan yang belum diselesaikan. Tetapi aparat Pemda tidak menanggapinya. Melihat kenyataan itu,

Amosi menyuruh para buruh untuk membubarkan diri “ Pulanglah kalaian dengan tenang “seru Amosi. Pengunjuk rasa memang menuruti seruan itu. Namun diperjalanan pulang, para buruh tidak dapat mengendalikan kekecewaannya. Emosi mereka kembali memuncak, dan tindakan mereka benar-benar sulit untuk dikontrol. Kantor pabrik yang terletak di jalan yang dilalui, sepanjang perjalanan pulang menjadi sasaran kemarahan mereka. Mereka melempari bangunan-bangunan itu dengan batu tanpa ada perintah dari Pimpinan mereka. Namun demikian aparat keamanan telah mengetahui siapa


(40)

pimpinan SBSI yang memprakarsai mogok dan unjuk rasa para buruh tersebut. Polisi setempat menangkap para pengurus SBSI Cabang Medan, termasuk Amosi Talaumbanua. Mereka diperiksa dan diajukan ke pengadilan Negeri Medan dalam berkas perkara secara terpisah.

7. Jaksa Penuntut Umum mengajukan Amosi sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Medan dan didakwa melakukan perbuatan pidana sebagai berikut:

I. Kesatu:

Primair : ex Pasal 160 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1e , KUH Pidana.

“ Secara lisan atau dengan tulisan di depan umum menghasut untuk melakukan

sesuatu perbuatan yang dapat dihukum; melawab para kekuasaan umum

dengan kekerasan, ……… dan seterusnya,

………dst, ………” seterusnya,

………..dst, ………. (Seruan mogok dan unjuk rasa, dst ………..).

Subsidair: Ex Pasal 161 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUH Pidana.

“menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka, menempelkan sesuatu

tulisan yang berisi hasutan untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat

dihukum, ……….dst, ………dst “.

II. Kedua :

Ex Pasal 170 ayat (1). Jo Pasal 55 (1) ke-2e KUH Pidana “ Secara terbuka dan secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap manusia atau barang


(41)

Jaksa Penuntut Umum dalam reguitoirnya yang diajukan di persidangan Pengadilan Negeri Medan menuntut agar supaya hakim menyatakan :

a. Terdakwa AMOSI TALAUMBANUA, bersalah melakukan delik: “secara bersama-sama menghasut orang lain dengan lisan atau tulisan agar

melakukan perbuatan yang dapat dihukum“ ex Pasal 160. 55 (1) ke.1e

KUH Pidana dalam dakwaan kesatu primair.

b. Menuntut hukuman penjara satu tahun dan enam bulan dan dikurangi selama berada dalam tahanan sementara.

c. Dan seterusnya, ……….. dt, ………dst,

PENGADILAN NEGERI:

1. Hakim pertama yang mengadili perkara ini memberikan pertimbangan sebagai berikut :

2. Mejelis akan mempertimbangkan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana. Menurut Pasal tersebut, sebagai pembuat (dadaer) sesuatu perbuatan pidana antara lain adalah mereka yang melakukan yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.

3. Menurut putusan Mahkamah Agung No. 111.7K.Pid/1990, tanggal 30/II/1990 untuk dapat dikualifikasikan sebagai turut serta melakukan perbuatan pidana dalam arti bersama-sama melakukan, sedikitnya harus ada 2 orang, yaitu orang yang melakukan perbuatan pidana itu. Dalam hal ini kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan yaitu melakukan nasir dari perbuatan pidana.


(42)

tetap digunakan menyatakan : bahwa suatu perbuatan yang dilakukan bersama-sama adalah turut serta melakukan dapat terjadi jika dua atau lebih melakukan secara bersama-sama suatu perbuatan yang dapat dilakukan. Sedang dengan perbuatan masing-masing saja, maksud itu tidak akan sampai.

5. Dipersidangan telah terbukti, baik terdakwa maupun saksi-saksi Saniman Lafao; Risman L; fatiwanolo ; Hayati (berkas perkara terpisah), sebagai pengurus SBSI, telah memberikan pengarahan tentang hak-hak dan kewajiban kaum buruh serta hak mogok buruh, jika masalah dengan pengusaha tidak ada penyelesaian. Terutama tentang kenaikan upah. Apalagi jika dihubungkan

dengan “ seruan mogok “/unjuk rasa “ dari Ketua Umum SBSI, Muchtar

Pakpahan dan sekretaris Umum SBSI, disepakati untuk diperbanyak dan disebarluaskan kepada buruh pada setiap kegiatan pemogokan kaum buruh di unit-unit semua perusahaan masing-masing terdakwa secara bergiliran bersama saksi-saksi tersebut, telah mendampingi buruh yang mogok. Demikian pula pada peristiwa unjuk rasa tanggal 14 – 4 1994, menurut Terdakwa, kegiatan buruh selalu ada hubungannya dengan organisasi buruh SBSI.

6. Dari uraian tersebut telah terbukti bahwa antara terdakwa dengan saksi-saksi saniman, Riswan, Fatiwanolo dan Hayati bekerjasama dalam melaksanakan perbuatan pelaksanaan sehingga terjadi unjuk rasa.

7. Unjuk rasa tersebut menimbulkan kerusuhan dan pelemparan batu terhadap perusahaan-perusahaan dan rumah-rumah penduduk. Karenanya, Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana terpenuhi dalam perbuatan terdakwa.


(43)

ayat (1) ke 1 KUH Pidana.

9. Dipersidangan diperoleh fajta bahwa sebelum terjadinya unjuk rasa para buruh, dilakukan pertemuan setiap hari. Pertemuan itu dihadiri oleh 50 – 100 buruh, baik di rumah terdakwa maupun di kantor cabang SBSI Medan. Terdakwa memberikan penjelasan, pengarahan, tentang hak-hak buruh, diantaranya tentang upah dan hak mogok jika permasalahan dengan pengusaha tidak ada penyelesaian. Tempat pertemuan adalah di rumah Terdakwa di Jalan Mangaan III Lorong Benteng No. 106 Medan dan di Kantor SBSI di jalan Tapian Nauli III No. 116 Medan. Tempat itu didatangi buruh berserta simpatisan-simpatisan SBSI (umum) atau orang banyak dapat mendengar pengarahan terdakwa. Fakta-fakta tersebut memenuhi unsur pertama Pasal 160 KUH Pidana.

10.Mengenai unsur kedua, pengarahan-pengarahan yang diberikan kepada para buruh serta para simpatisan SBSI oleh Terdakwa adalah secara lisan. Oleh karenanya unsur tersebut terpenuhi.

11.Untuk unsur ketiga, diperoleh fakta-fakta bahwa terdakwa bersama-sama pengurus SBSI cabang Medan lainnya seperti tersebut pada pertimbangan unsur ke satu telah memperbanyak seruan mogok/unjuk rasa dari PP SBSI kepada para buruh serta simpatisan SBSI. Seruan mogok tersebut berisi tuntutan bahwa upah minimum untuk hidup layak adalah 173.500/bulan atau rp. 7.000/hari. Tuntutan tersebut diberlakukan mulai 1-4-1994. Sehubungan dengan seruan mogok tersebut, terdakwa beserta pengurus SBSI cabang Medan lainnya, hampir tiap hari memberikan pengarahan pada para buruh tentang hak-hak mereka. Diantaranya tentang upah dan hak-hak buruh untuk mogok jika tidak


(44)

ada penyelesaian.

12.Terdakwa beserta pengurus SBSI bergantian mendampingi buruh yang mogok di perusahaannya. Menurut terdakwa setiap kegiatan buruh selalu ada hubungannya dengan SBSI. Pengarahan-pengarahan pada buruh diberikan sejak awal, setiap hari, hingga tanggal 12–4–1994. Karena pengarahan-pengarahan tersebut buruh melakukan unjuk rasa yang diikuti kurang lebih 20.000 orang tanpa izin. Terdakwa selaku ketua sBSI cabang Medan tidak mencegah/membiarkan unjuk rasa tanggal 14–4–1994.

13.Fakta-fakta tersebut menurut Pengadilan termasuk dalam kwalifikasi perbuatan menghasut, supaya tidak menuruti ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan undang-undang.

14.Sekalipun Pasal 160 KUH Pidana tidak mencantumkan kata sengaja, namun menurut azas hukum pidana, setiap perbuatan pidana harus dilakukan dengan kesengajaan, kecuali, terhadap perbuatan yang dilakukan karena lalai.

15.Hakekatnya unsur kesengajaan dalam Pasal tersebut telah terkandung dalam

awalan “ me “ pada kata menghasut, Oleh karenanya, unsur sengaja harus dibuktikan dalam perbuatan terdakwa.

16.Oleh karena undang-undang tidak memberikan pengertian tentang kesengajaan, maka doktrin dan jurisprudensi tentang kesengajaan, maka doktrin dan

jurisprudensi memberikan arti sebagai “ dikehendaki dan diketahui “ sehingga

dalam paraktek dikenal adanya teori kehendak dan teori pengetahuan.

17.Pengadilan cenderung akan menerapkan teori kehendak (Will Theory) dalam perkara ini, Di persidangan, ternyata bahwa keberadaan SBSI di Medan tidak


(45)

diakui oleh Pemerintah, sehingga SBSI dilarang melakukan kegiatan kepala kantor Sosial Politik Pemda Tingkat II Medan, telah memberikan penjelasan/peringatan kepada terdakwa, agar SBSI tidak melakukan kegiatan. Namun terdakwa malah memberikan pengarahan-pengarahan pada kaum buruh dan mendukung untuk mengadakan unjuk rasa. Selaku Ketua SBSI Cabang Medan, terdakwa membiarkan, tidak mencegah rencana diadakannya unjuk rasa kaum buruh. Terdakwa telah mendampingi kaum buruh ketika melakukan unjuk rasa.

Dari fakta-fakta tersebut Pengadilan berkeyakinan bahwa “Perbuatan menghasut“, telah dilakukan terdakwa dengan sengaja. Perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur ketiga Pasal 160 jo Pasal 55 (1) KUH Pidana. Oleh karenanya, terdakwa terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan dakwaan kesatu Primair : Pasal 160 jo. Pasal 55 (1) ke 1 KUH Pidana. Dengan terbuktinya dakwaan ke 1 Primair, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi selain alasan-alasan yuridis, Pengadilan juga mempertim-bangkan faktor keadaan.

Yang Memberatkan:

- Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat - Terdakwa tidak menyesali perbuatannya

- Terdakwa melakukan kegiatan-kegiatan organisasinya sekalipun telah dilarang oleh Pemerintah yang bersangkutan

Yang Meringankan:

- Terdakwa belum pernah dihukum - Terdakwa sopan di dalam persidangan


(46)

- Atas dasar pertimbangan tersebut Pengadilan Negeri Medan memutuskan : - Menyatakan terdakwa: Amosi Talaumbanua sebagaimana tersebut di atas

menurut bukti-bukti yang sah dan meyakinkan terang bersalah telah melakukan perbuatan pidana : “ Menghasut yang dilakukan secara bersama-sama “.

- Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 1 satu tahun 3 (tiga) bulan

- Menetapkan pidana itu dikurangkan seluruhnya dengan masa terdakwa berada dalam tahanan

- Dan seterusnya, dan seterusnya, dst ……

PENGADILAN TINGGI

- Terdakwa Amosi Telaumbauna menyatakan banding putusan Pengadilan Negeri Medan. Dalam memori banding yang diajukannya, terdakwa mohon agar dapat dibebaskan dari segala dakwaan maupun tuntutan hukum. Unjuk rasa yang terjadi bukan kehendak Terdakwa, tetapi kehendak buruh yang hak-haknya dilanggar oleh Pengusaha.

- Hakim Tinggi yang mengadili perkara ini, menganggap pertimbangan Hakim Pertama telah tepat dan benar sehingga disetujui dan dijadikan pertimbangan Pengadilan Tinggi. Namun Pengadilan Tinggi menganggap pidana yang dijatuhkan terlalu ringan, tidak sesuai dengan rasa keadilan. Selain mengingat hal-hal yang meringankan dan memberatkan sebagaimana dikemukakan oleh Hakim Pertama. Pengadilan Tinggi memperhatikan fakta bahwa unjuk rasa yang dipimpin Terdakwa menimbulkan keresahan dalam masyarakat yang menjurus dalam perbuatan rasialis.


(47)

Perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian harta benda dan jatuhnya korban. - Pengadilan Tinggi akan menjatuhkan pidana penjara untuk memenuhi tujuan

pemindanaan yang bersifat korektif preventif dan edukatif. Selebihnya, Pengadilan Tinggi menguatkan putusan hakim Pertama.

- Pengadilan tinggi memperbaiki amar putusan pengadilan Negeri Medan mengenai pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa dengan amar putusan yang pada pokoknya sebagai berikut :

MENGADILI

- Memperbaiki putusan pengadilan Negeri Medan yang dimohon banding, sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan, sehingga amarnya sebagai berikut : - Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan hukuman penjara 3 (tiga) tahun. - Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa di kurangkan masa

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan

- Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan dalam rumah tahanan negara. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri tersebut yang selebihnya.

Menghukum Terdakwa lagi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah),-

MAHKAMAH AGUNG RI:

- Terdakwa, Amosi menolak putusan Pengadilan Tinggi dan mengajukan permohonan kasasi dengan alasan kasasi sebagai berikut:

1. Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi tidak memuat hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.


(48)

2. Pengadilan tinggi memperberat hukuman, tanpa pertimbangan yang cukup. 3. Pengadilan Tinggi menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 160 jo.

55 (1) KUH Pidana, tidak ada saksi atau bukti bahwa Terdakwa menghasut buruh untuk melakukan perbuatan pidana atau melawan kekuasaan hukum dengan kekerasan, atau menghasut buruh untuk melanggar undang-undang. Para saksi menerangkan bahwa terdakwa hanya menjelaskan hak dan kewajiban buruh dalam pertemuan tersebut. Pada waktu terjadi unjuk rasa terdakwa menyuruh pengunjuk rasa pulang, setelah delegasi diterima gubernur.

4. Petimbangan pengadilan Tinggi yang menjatuhkan terdakwa menimbulkan keresahan dalam masyarakat tidak berdasarkan fakta hukum. Yang dituntut buruh hanya kenaikan upah, kebebasan berorganisasi, masalah-masalah kematian buruh Rusli, dan penyelesaian PHK buruh persoalan tersebut adalah hak buruh yang seharusnya diterima.

5. Judex facti tidak secara jelas menguraikan perbuatan Terdakwa yang melawan hukum, perintah yang sah yang mana yang terdakwa tidak turuti atau terdakwa menganjurkan kaum buruh untuk tidak mentaatinya.

6. Judex facti salah menafsirkan pengertian “ mogok “ dan “ unjuk rasa “

dalam hubungannya dengan „ menghasut “, mogok adalah tindakan pasip, sehingga seruan mogok tidak dapat dikualifikasikan sebagai menghasut unjuk rasa.

7. Mahkamah Agung stelah memeriksa perkara ini dalam putusan kasasi memberikan pertimbangan hukum yang pokoknya sebagai berikut:


(49)

a. Keberatan tersebut, tidak dapat dibenarkan, Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum.

b. Keberatan tersebut juga tidak dapat dibenarkan, keberatan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, keberatan demikian tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan ditingkat kasasi. Di tingkat kasasi pemeriksaan hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang dan apakah pengadilan telah melampaui batas wewenangnya,

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 KUHAP.

d. Dan 5. Keberatan ini dapat dibenarkan, namun hanya sebagai alasan

perbaikan pertimbangan, bahwa dengan “menghasut“ dalam Pasal 160 KUH Pidana dimaksud: “berupaya agar orang melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan“.

Pasal 1 dan 2 Undang-Undang No. 22 tahun 1957 membolehkan buruh untuk secara kolektif menghentikan/memperlambat jalannya pekerjaan. Namun untuk itu ditentukan tata cara pengawasan pelaksanaannya, termasuk kewajiban Pengusaha atau pejabat tata usha negara setempat yang tugasnya antara lain memelihara dan bertanggungjawab atas rust en orde ketertiban umum dalam daerah wewenangnya. Tata cara tersebut antara lain pemberitahuan kepada pihak pengusaha dan Ketua P4D setempat (Pasal 6 ayat (1) yang dewasa ini dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia


(50)

Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang berbunyi:

- Tidak dilakukannya hal itu, istilah kini “ mogok liar “ diancam dengan pidana Pasal 26

- Untuk melakukan arak-arakan dijalanan umum, dalam perkara ini sebagai “

unjuk rasa “ harus juga dengan izin dari Pengusaha setempat (polisi atau

pejabat Tata Usaha Negara yang ditunjuk).

- Tidak dilakukannya hal itu diancam dengan pidana Pasal 510 KUH Pidana. Tindak pidana yang dimaksud adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 26 Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 dan Pasal 510 KUH Pidana.

- Ad 2 dan ad 4. Keberatan ini dapat dibenarkan karena Pengadilan Tinggi telah menjatuhkan pidana yang jauh lebih berat dari pidana yang dijatuhkan Pengadilan Negeri. Bahkan dua kali lebih berat dari pidana yang dituntut jaksa/Penuntut Umum tanpa pertimbangan yang cukup.

- Keresahan telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri sebagai hal yang memberatkan. Untuk pidana tersebut seharusnya diperhatikan pidana yang diancam terhadap tindak pidana yang dihasut untuk dilakukan tersebut. Ternyata tidak dipertimbangkan tindak pidan tersebut, diancam dengan pidana penjara 3 (tiga) bulan atau denda Rp. 10.000,- maupun denda Rp. 15.000,- - Namun demikian, Terdakwa yang menganggap dirinya sebagai pemimpin,

dapat diharapkan bahkan dipercaya mengantisipasi akibat dari unjuk rasa tersebut, berdasarkan situasi dan kondisi setempat yang tidak dapat disamakan dengan situasi dan kondisi di Jawa. peristiwa-peristiwa sebagai buntut dari


(51)

unjuk rasa itu seharusnya telah dapat diperhitungkan kemungkinannya walaupun tidak terbukti sengaja dimaksudkan, harus dianggap termasuk hal-hal yang memberatkan, sebagaimana pertimbangan Pengadilan Negeri.

- Kualifikasi tindak pidna yang terbukti, perlu diperbaiki karena “ secara bersama-sama “ adalah bukan unsur Pasal 160 KUH Pidana.

- Dengan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung berpendirian bahwa putusan Pengadilan Tinggi Medan, tidak dapat dipertahankan lagi, karenanya harus dibatalkan sepanjang mengenai pidana yang dijatuhkan.

- Mahkamah Agung menyetujui pertimbangan Pengadilan Negeri tentang perbuatan Terdakwa yang terbukti, serta barang bukti, menjadikannya sebagai pertimbangan Mahkamah Agung sendiri.

- Berdasarkan alasan-alasan yuridis tersebut, mahkamah Agung memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut :

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang berbunyi:

(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.

(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan pemimpin, alau penanggungjawab kelompok.

(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.

(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.

MENGADILI:

Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 18 Pebruari 1995 No. 204/Pid/1994 PT Medan


(52)

Mengadili Sendiri :

- Menyatakan Amosi Telaumbauna, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana: “Dimuka Umum Dengan Tulisan Menghasut Supaya Melakukan Perbuatan Pidana“.

- Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun, 3 (tiga) bulan.

- Dan seterusnya dan seterusnya ………

Dari uraian di atas maka jelas dapat dilihat bahwa Mahkamah Agung juga sependapat dengan uraian bahwa salah satu bentuk kejahatan penghasutan aksi unjuk rasa dalam Putusan Mahkamah Agung No. 470.K/Pid/195 adalah dimuka umum dengan tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bentuk kejahatan penghasutan aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah adanya kegiatan terpidana berupa menghasut dengan tulisan supaya pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam kasus unjuk rasa tersebut melakukan perbuatan pidana, seperti mengancam buruh lain yang tidak ingin berunjuk rasa, atau melakukan tindak pidana lainnya seperti merusak sarana prasarana umum.

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis

Unjuk rasa atau demonstrasi selalu mengiringi perjalanan bangsa Indonesia mulai sebelum Indonesia merdeka, Orde lama, Orde baru hingga era Reformasi, bahkan beralihnya Orde lama ke era Reformasi adalah hasil perjuangan dari para demonstran, demo pada masa ini adalah demo terbesar sepanjang sejarah berdirinya Indonesia, bahkan hingga di warnai dengan insiden penembakan oleh


(53)

aparat, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, namun akhirnya perjuangan itupun berhasil dan hasil perjuangan itu adalah era reformasi.

Mulai era reformasi hingga sekarang unjuk rasa masih tetap bermunculan, unjuk rasa sesalu muncul ketika ada permasalahan yang muncul. Sebagai negara yang demokrasi pelaksanaan unjuk rasa tentunya di anggap sebuah hal yang wajar, karena dalam demokrasi Negara harus mengakui, melaksanakan serta melindungi adanya Hak Azasi Manusia (HAM). HAM sendiri terdiri atas beberapa macam, salah satunya adalah hak untuk mengemukakan pendapat yang diatur dalam Undang-undang Dasr 1945 Pasal 28 yang berbunyi “bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang-undang”

Unjuk rasa merupakan salah satu perwujudan dari hak untuk mengeluarkan pendapat, unjuk rasa masih dianggap sah apabila masih berada pada alur yang benar, berjalan tertib, tidak menggunakan kekerasan atau anarkisme serta tidak melanggar peraturan yang ada. Akan tetapi tidak demikian dengan unjuk rasa yang terjadi dewasa ini, masyarakat seolah menganggap unjuk rasa sebagai wahana atau tempat untuk menghina, mencaci dan memaki para lawan politik, atau pihak yang tidak sependapat dan para pejabat pemerintahan lainnya.

Menurut Amien Rais, aksi demo dengan membawa kerbau merupakan tindakan tidak bermoral (amoral). “Orang demo bawa kerbau, dan menyatakan ini

cocok dengan tokoh ini. Hal ini sudah tidak bermoral”.30


(54)

Dalam UU No. 9 tahun 1998, namun kebebasan bukan diartikan bebas sebebas- bebasnya, atau bebas tanpa batas, pengungkapan pendapat harus tetap menghormati hak-hak orang lain, menghormati dan mematuhi aturan yang berlaku, menjaga ketertiban serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, tetapi demonstrasi yang terjadi sepertinya tidak memperdulikan semua itu.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya tindakan anarkis dalam unjuk rasa:

1. Sikap para demonstran yang menganggap pendapat mereka paling benar dan harus dituruti.

Hal ini bisa kita lihat dalam pelaksanaan unjuk rasa/demonstrasi, para demonstran menganggap bahwa aspirasi atau pendapat yang mereka suarakan merupakan merupakan aspirasi yang benar, mereka juga menganggap bahwa aspirasi yang mereka suarakan merupakan aspirasi yang mewakili suara hati seluruh rakyat Indonesia, dengan dasar itulah mereka mengaggap bahwa apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka ucapkan dan apa yang mereka lakukan merupakan hal yang benar dan mereka menginginkan agar apa yang mereka suarakan bisa terrealisasikan.

Dengan dasar kebenaran ini maka dalam pelaksanaan unjuk rasa para demonstran bukan hanya sekedar mengemukakan pendapat namun lebih mengarah pada memaksakan pendapat, sehingga untuk meksakan kehendaknya ini mereka melakukan tindakan anarkis. Jadi tindakan anarkis yang dilakukan merupakan wujud dari pemaksaan kehendak, dengan harapan agar kehendak atau aspirasi yang mereka suarakan diperhatikan.

30 Setetes Ilmu, “Anarkisme Dalam Demonstrasi”,


(55)

2. Suasana panas, sesak dan penat akan membuat para demonstran cenderung mudah terpancing emosi.

Anarkisme dalam unjuk rasa juga bisa di sebabkan karena situasi ketika demo terjadi, umumnya dalam suatu demonstrasi memerlukan waktu yang tidak sebentar dan dilakukan di siang hari, suasana yang panas, sesak dan penat akan mudah membuat para demonstran untuk terpancing emosinya dan mudah marah. Ketika demonstrasi kondisi fisik dari para anggota juga pasti mengalami kelelahan, dengan kondisi ini jika dalam suasana yang panas atau hujan deras maka akan membuat para demonstran mudah marah, hal ini akan mengakibatkan tindakan anarkis, jika salah satu anggota demonstran melakukan tindakan anarkis maka anggota lain akan mudah tertular untuk melakukan tindakan yang serupa.

3. Tidak ada perwakilan yang bersedia menanggapi dan berbicara dengan demonstran.

Ketika ada niat untuk melakukan unjuk rasa, tentunya suatu kelompok atau pihak yang akan melakukan demonstrasi sudah mempunyai suatu pandangan, gagasan dan pemikiran yang mereka yakini kebenarannya, inilah yang nantinya akan mereka suarakan dengan harapan apa yang mereka suarakan bisa menjadi kenyataan, atau paling tidak mendapatkan tanggapan dari pihak yang mereka harapkan. Namun banyak kejadian ketika ada demonstrasi tidak ada satupun orang yang bersedia menemui para demonstran untuk berbicara dan member penjelasan, hal ini membuat para demonstran kecewa, marah sehingga melakukan berbagai tindakan anarkis sebagai luapan emosinya.

4. Solidaritas yang tinggi antara para anggota demonstran.

11 Mei 2012.


(1)

Dalam kaitan itu, cukup wajar bila polisi (dalam hal ini Brigade Mobil) lalu mengikuti prinsip militer yang mementingkan unit, regu, peleton dan aneka fungsi yang diembannya. Tetapi, sebagaimana disebut di atas, terdapat fase-fase awal (sebelum massa berubah anarkis) yang sebenarnya dapat diintervensi oleh polisi. Dan, untuk itu, seorang polisi pun sebenarnya sudah lebih dari cukup.

Hanya saja, polisi Indonesia nampaknya belum cukup terlatih untuk itu. Sebagai contoh, pelatihan polisi negosiator guna menghadapi unjuk rasa baru diadakan pada tahun 2000 ini. Alhasil, paradigma polisi saat menangani massa, boleh jadi belum berubah banyak. “Resep” menghadirkan pasukan pengendali huru-hara dari kesatuan Brimob atau Dalmas dari KOD setempat , yang bertameng dan memakai rotan, masih dianggap sebagai obat manjur.

Padahal, dalam kenyataan, kehadiran pasukan pengendali huru-hara yang terlalu pagi, malah bisa mempercepat lajunya proses menuju anarki. Atau seperti disebutkan dalam media-massa Amerika Serikat “…when people see

batons, raised, riot gear and mounted police clearing an area, a tense situation

becomes a violent one.”

Secara teori, penggunaan polisi paramiliter seperti Brimob dalam rangka menghadapi aksi massa memang tidak sepenuhnya tepat. Teori pemolisian paramiliteristik memperlihatkan adanya kegiatan pemolisian oleh orang-orang yang tidak memiliki basis hubungan apapun dengan kalangan yang menjadi obyek kerjanya. Kegiatan yang dilakukan pun berbentuk standar dan umum, dalam arti cenderung dikenakan pada semua kalangan. Akibatnya, amat mungkin terjadi krisis legitimasi terhadap polisi yang lalu cenderung


(2)

menimbulkan penolakan dan bahkan perlawanan dari masyarakat yang menjadi obyek kerjanya.

Selain itu, diyakini pula bahwa memang tidak cukup banyak personil polisi yang siap (atau terbiasa) dengan pendeteksian perilaku massa di tempat tugas masing-masing. Kesiapan atau keterbiasaan menghadapi saat-saat awal massa mulai terbentuk, mungkin lebih tinggi bila seorang polisi bertugas di kota besar. Masalahnya, pengalaman memperlihatkan, kerusuhan bisa terjadi dimana saja; entah di desa atau di kota.

Terdapat juga hambatan lain dari masyarakat pada umumnya yang (walaupun belum hilang kesadarannya dalam jiwa massa tadi) boleh jadi tetap mengembangkan prasangka negatif kepada polisi sehingga tidak mau mengikuti perintah polisi untuk, katakanlah, bubar.

Disamping itu, “rekan samping” polisi, yakni TNI, pada level personal diduga kuat tidak kondusif (apalagi membantu) terhadap upaya-upaya polisi menghentikan kemungkinan anarki atau anarki itu sendiri bila telah terjadi.

I. Hambatan Secara Eksternal

Dari kajian terhadap penanganan berbagai konflik di Indonesia, dapat dicuplik indikasi yang mengakibatkan gagalnya penanganan konflik, antara lain sebagai berikut:

1. Kelemahan deteksi:

a. Kelemahan fungsi intelijen yang tidak mampu mendeteksi sumber potensi konflik, sehingga tidak sempat dilakukan upaya pembinaan, penggalangan


(3)

atau pencegahan.

b. Kelemahan peran para tokoh penggerak masing-masing pihak yang berkonflik untuk melakukan tindakan pencegahan dini.

c. Kegagalan upaya penggalangan: meredam isu, peran komunikasi/humas.

Sense of crisis.

d. Kelemahan memperkirakan perkembangan situasi (pembuatan perkiraan cepat). 2. Kegagalan upaya pencegahan:

a. Kelemahan pihak aparat melakukan tindakan pencegahan pada saat belum terjadi peristiwa yang dapat memicu konflik, atau pada awal terjadinya konflik.

b. Penyiapan tindakan preventif yang tidak memadai, seperti: jumlah personil yang kurang memadai, kurangnya kesiapan petugas, kurangnya persiapan peralatan.

c. Keterlambatan menghadirkan back up pengamanan, sehingga menimbulkan kecenderungan tindakan anarki massa.

3. Kekeliruan penindakan oleh petugas di lapangan: a. Keraguan bertindak karena HAM.

b. Tidak berani mengambil resiko. c. Tidak berani bertindak tegas.

d. Tindakan yang eksesif dan diskriminatif.

e. Tindakan tidak profesional atau melanggar HAM. f. Keterbatasan sarana dan prasarana.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi: menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana, menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa umum, menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan dan menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan berdasarkan peraturan perundangan.

2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah: sikap para demonstran yang menganggap pendapat mereka paling benar dan harus dituruti, suasana panas, sesak dan penat akan membuat para demonstran cenderung mudah terpancing emosi, tidak ada perwakilan yang bersedia menanggapi dan berbicara dengan demonstran, solidaritas yang tinggi antara para anggota demonstran, kerusuhan dalam demo memang sudah direncanakan serta adanya provokasi.

3. Tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi unjuk rasa yang berakhir anarkhis adalah apabila ia memenuhi unsur-unsur Pasal 160 KUHP maka kepadanya dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara dan atau denda.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika.

Bambang Sunggono. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

CST, Kansil, dkk, 2009, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, Jakarta: jala Permata Aksara.

Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN. Balai Pustaka.

Majalah varia Peradilan Tahun XI No. 124 Januari 1996, Penerbit IKAHi. Moelyatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.

PAF Lamintang, 1997, Dasar-DAsar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

R. Soesilo, 1985, KUHP Serta Komentar-Komentarnya, Bogor: Politeia. R. Sugandhi, 1980, KUHP dan Penjelasannya, Jakarta: Usaha Nasional.

R. Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama.

Roeslan Saleh, 1987, Sifat Melawan Hukum Perbuatan Pidana, Jakarta: Aksara Baru.

Rozali Abdullah dan Syamsir, 2004, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia,. Jakarta: Ghalia Indonesia.

S.R. Sianturi, 1983, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM PTHM.

B. Peraturan Perundang-Undangan:


(6)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

C. Majalah:

Majalah varia Peradilan Tahun XI No. 124 Januari 1996, Penerbit IKAHI.

Panusunan Harahap, Tanggung Jawab Penghasut Menurut Hukum Pidana, Varia Peradilan Tahun XII. No. 142 Juli 1997.

D. Internet:

Artikata.com, “Definisi Demontrasi”, http://www.artikata.com/arti-324774-demonstrasi.html.

Setetes Ilmu, “ANARKISME DALAM DEMONSTRASI”, http://setetesilmublog. blogspot.com/2010/05/anarkisme-dalam-demonstrasi.html.

Wikipedia Indonesia, “Unjuk Rasa”, http://www.wikipediaindonesia.com.

Zain Al Ahmad, “Delik Penghasutan Dengan Lisan (Pasal 160 KUHP) - Otokritik Terhadap Pemahaman Berdasarkan Komentar R. Soesilo”, http://catatan sangpengadil.blogspot.com/2010/11/delik-penghasutan-dengan-lisan-Pasal.html.