Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis

BAB II BENTUK TINDAK PIDANA AKSI UNJUK RASA YANG ANARKHIS A. Aturan Hukum Terkait Dengan Unjuk Rasa Salah satu dari 10 prinsip dasar demokrasi Pancasila yang dianut oleh

  negara Indonesia adalah demokrasi yang berkedaulatan rakyat, yaitu demokrasi di mana kepentingan rakyat harus diutamakan oleh wakil-wakil rakyat, rakyat juga dididik untuk ikut bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

  Kebebasan menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa atau demonstrasi merupakan bagian dari implementasi prinsip dasar tersebut, oleh karena itu kebebasan mendapat di muka umum dijamin oleh: 1.

  Undang-Undang Dasar 1954 (Amandemen IV)

  Pasal 28, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran

  • dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang- undang.”

  Pasal 28 E Ayat 3, ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,

  • berkumpul, dan mengeluarka n pendapat.” 2.

  Ketetapan MPR No. XVV/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19.

  ”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

  3. UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Pasal 2.

  ”Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab demokrasi dalam

  17 kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Undang-undang ini mengatur tentang: a.

  Konsep Dasar dan Asas Konsep dasarnya adalah: Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara.

  • Unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh
  • seorang atau lebih, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif dimuka umum berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
  • umum.

  Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan

  • secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.

  Mimbar bebas adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum

  Asasnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban, musyawarah mufakat, kepastian hukum dan keadilan, proposionalitas, serta asas manfaat.

  b.

  Hak dan Kewajiban: Hak dan kewajiban warga negara adalah: Mengeluarkan pikiran secara bebas.

  • Memperoleh perlindungan hukum.
  • Menghormati hak-hak kebebasan orang lain.
  • >Menghormati aturan-atauran moral umum yang dihormati.

  • Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum.
  • Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

  Hak dan kewajiban aparatur negara adalah:

  • Melindungi Hak Asasi Manusia.
  • Menghargai asas legalitas.
  • Menghargai prinsip praduga tak bersalah.
  • Menyelengarakan pengamanan.

  c.

  Bentuk-bentuk Penyampaian Pendapat

  • Unjuk rasa atau demonstrasi.
  • Pawai.
  • Rapat umum.
  • Mimbar bebas.

  d.

  Tata Cara Pemberitahuan Kegiatan

  • Penyampain pendapat di muka umum dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum dan mimbar bebas wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Pemberitahuan disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penangung jawab kelompok. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana di atas, tidak berlaku bagi kegiatan-kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
  • Pemberitahuan dilakukan selambat-lambatnya 3x24 ( tiga kali dua
puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai dan telah diterima oleh Polri setempat.

  e.

  Surat Pemberitahuan Surat pemberitahuan ini mencakup: Maksud dan tujuan.

  • Tempat, lokasi, dan rute.
  • Waktu dan lama.
  • Bentuk.
  • Penangung jawab.
  • Nama dan alamat organisasi, kelompok, atau perorangan.
  • Alat peraga yang digunakan.
  • Jumlah peserta.
  • f.

  Tanggung Jawab Polri Setelah menerima surat pemberitahuan akan adanya aksi unjuk rasa, Polri wajib:

  • pelaku atau peserta unjuk rasa.

  Bertangung jawab dan memberikan perlindungan keamanan terhadap

  • keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

  Bertangungjawab menyelengarakan pengamanan untuk menjamin B.

  Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang Anarkhis Membicarakan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis maka pokok permasalahan yang terlebih dahulu harus diketahui adalah keberadaan delik penghasutan itu sendiri.

  Pasal 160 KUHP berbunyi sebagai berikut: Barang siapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti, baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).

  Meskipun tidak ada penjelasan resmi terhadap makna kata menghasut, namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk “membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau

  19

  , atau menurut

  Black’s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262

  memberontak” dengan menggunakan padanan kata menghasut dengan provocation diartikan sebagai, something (such as word or action)

  that affects a person’s reason and

  20 self-control, esp. causing the person to commit a crime impulsively ”.

  Sejalan dengan itu, R. Soesilo dalam komentarnya terhadap Pasal 160 KUHP, menjelaskan: 19 20 Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, halaman 392.

  Zain Al Ahmad, “Delik Penghasutan Dengan Lisan (Pasal 160 KUHP) - Otokritik

Terhadap Pemahaman Berdasarkan Komentar R. Soesilo”, Diakses tanggal 13 Mei 2012. Menghasut artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata menghasut tersimpul sifat dengan sengaja. Menghasut itu lebih keras dari pada memikat atau membujuk, yang tersebut dalam Pasal 55 akan tetapi bukan memaksa. Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu itu itu bukan berarti menghasut. Cara menghasut orang itu rupa-rupa, misalnya dengan cara yang langsung, seperti: Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah dan ambil senjatanya ditujukan terhadap seorang pegawai polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Dapat pula secara tidak langsung, seperti: Lebih baik, andaikata polisi yang tidak adil itu dapat diserang, dibunuh, dan diambil senjatanya.Mungkin pula dalam bentuk pertanyaan, seperti: Saudara-saudara apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak

  

21

kamu serang, bunuh dan ambil senjatanya.

  Sampai di sini, berdasarkan penjelasan R. Soesilo tersebut dikaitkan dengan pengertian menghasut dalam kamus dan bunyi Pasal 160 KUHP di atas, diperoleh pemahaman bahwa: Yang dimaksud dengan menghasut dengan lisan dalam Pasal 160 KUHP adalah peristiwa dimana penghasut mengeluarkan kata-kata atau kalimat-kalimat yang berisi saran, anjuran atau perintah di muka umum, agar si terhasut melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum.

  R. Soesilo melanjutkan komentarnya yaitu: Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan maupun dengan tulisan.

  Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai, jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, sehingga suatu percobaan pada delik 21 R. Soesilo, Op.Cit, halaman 136. ini tidak mungkin terjadi. Lain halnya, apabila hasutan itu dilakukan dengan tulisan. Karangan yang sifatnya menghasut harus ditulis dahulu, kemudian tulisan itu disiarkan atau dipertontonkan pada publik, dan haruslah delik itu dianggap selesai. Orang yang hanya baru menulis karangan itu, belum merupakan percobaan pada delik ini. Jika tulisan itu selesai dan ia bertindak untuk menyiarkan atau mempertontonkan tulisan tersebut, tetapi belum sampai berhasil lalu digagalkan, maka orang itu telah melakukan percobaan yang dapat dihukum. Dalam arti kata tulisan itu tidak termasuk suatu gambar, karena gambar yang bersifat menghasut

  22 sukar dipikirkan.

  Selanjutnya R. Soesilo berkomentar: Orang hanya dapat dihukum, apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak perlu, bahwa penghasut itu harus berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan ialah, bahwa di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa harus di tempat umum dan ada orang banyak, maka hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang menghasut di tengah alun-alun yang kosong dan tidak ada orang sama sekali yang mendengarkan itu, tidak dapat dihukum. Orang menghasut dalam rapat umum dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya dengan karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya menghasut dalam pembicaraan yang bersifat kita sama kita (onder onsjes vertrouwelijk) itu tidak dapat dihukum. Jika menghasut itu dilakukan dengan tulisan, misalnya surat selebaran, majalah, 22 Ibid. panflet dan sebagainya, maka surat-surat itu harus tersiar luas atau ditempelkan (dipertontonkan) di tempat yang dapat dibaca oleh orang banyak. Jika hanya tersiar pada satu dua orang saja atau hanya ditempelkan di tempat yang tidak dapat

  23 dilihat oleh orang banyak itu tidak masuk dalam delik ini.

  Adapun pemahaman yang didapatkan dari komentar R. Soesilo dimaksud yaitu sebagai berikut: bahwa menghasut dengan lisan merupakan kejahatan selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan, jadi tidak soal bila apa yang dihasutkan tersebut tidak betul-betul dilakukan oleh si terhasut (delik formil).

  Tidak mungkin terjadi suatu percobaan dalam kejahatan ini. Kata-kata yang bersifat menghasut itu harus diucapkan di tempat yang ada orang lain di situ dan ucapan tersebut bersifat terbuka walaupun di tempat itu hanya ada 1 (satu) orang saja. Jadi bukan bersifat pembicaraan kita sama kita yang bersifat tertutup.

  Maksud hasutan ditujukan supaya orang melakukan perbuatan yang dapat dihukum dan tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi hasutannya, cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang melanggar hukum.

  Dari pemahaman di atas, maka dapat dikatakan terdapat 2 (dua) syarat terjadinya perbuatan menghasut secara lisan dalam Pasal 160 KUHP adalah:

  1. Kata-kata berisi hasutan diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada orang lain yang ada di situ.

  2. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana. 23 Ibid, halaman 136-137.

  Kemudian dengan metode otokritik dipertanyakan keadaan tentang syarat terjadinya perbuatan menghasut dengan lisan dengan mengemukakan pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana jika orang lain sebagai mana dimaksud dalam simpulan angka 1 (satu) di atas, ada di situ karena niat yang sama dengan isi hasutan. Misalnya: A dan B berada di tempat yang sama. A berada di tempat itu karena ingin membunuh Polisi C dengan perencanaan dan persiapan yang matang (perbuatan persiapan telah terjadi). Lalu B meneriakan kata-kata Ayo, bunuh polisi itu, ditujukan kepada Polisi C yang ada di situ. Apakah B dapat dianggap melakukan penghasutan?

  Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu akan dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Tentang kualifikasi delik

  Dalam ilmu hukum pidana, kualifikasi delik dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu delik formil dan delik materiil. Delik formil ialah delik yang dalam perumusannya hanya menitikberatkan pada suatu perbuatan yang dilarang/diancam pidana oleh undang-undang, tanpa perlu melihat ada tidaknya akibatnya dari perbuatan itu. Sementara delik materiil dalam perumusannya, lebih menekankan pada terjadinya akibat dari suatu perbuatan pidana.

  Sebagaimana disebutkan di atas, R. Soesilo menggolongkan delik penghasutan sebagai delik formil, hal ini dapat dilihat dari penjelasannya yang pada pokoknya menganggap seseorang cukup telah dapat dianggap melakukan penghasutan walaupun isi dari kata-kata hasutan yang diucapkannya tidak betul-

  

24

betul dilakukan oleh orang yang terhasut.

  Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. Nomor: 7/PUU-VII/2009, menegaskan bahwa: "... dalam penerapannya, Pasal a quo (baca: Pasal 160 KUHP) harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil. Hal ini berarti, penjelasan R. Soesilo sepanjang mengenai kualifikasi delik dalam Pasal 160 KUHP tidak dapat diterapkan lagi, sehingga persyaratan terjadinya perbuatan penghasutan dalam Pasal 160 KUHP bertambah satu syarat sejalan dengan sifat delik materiil yaitu: Akibat dari perbuatan penghasutan itu harus benar-benar

  25 terjadi, yakni: si terhasut melakukan isi hasutan.

2. Tentang Asas Culpabilitas

  Asas culpabilitas yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (afwijzigheid van

  

alle schuld ) sebagaimana terkandung dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun

  2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

  Adapun tentang ajaran “kesalahan” (schuld) yang dikenal dalam ilmu hukum pidana yaitu kesalahan (schuld) terdiri atas kesengajaan (dolus/opzet) atau 24 25 R. Soesilo, Op.Cit, halaman 136.

  R. Sugandhi, 1980, KUHP dan Penjelasannya, Jakarta: Usaha Nasional, halaman 122.. kealpaan (culpa). Yang dimaksud de ngan “kesengajaan” (dolus/opzet) ialah perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku menginsafi akan akibat dari perbuatan itu. Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan (culpa) adalah sikap tidak hati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang di samping dapat menduga akibat dari perbuatan itu adalah

  26 hal yang terlarang.

  Kesengajaan (dolus/opzet) mempunyai 3 (tiga) bentuk yaitu: a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk).

  b.

  Kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn) dan c.

  Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (dolus eventualis), sedangkan kealpaan (culpa) dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld) dan kealpaan tanpa

  27 kesadaran (onbewuste schuld).

  Pokok komentar R. Soesilo sebagaimana disebutkan di atas, yang pada pokoknya menegaskan: tidak disyaratkan si penghasut harus mengerti apa isi hasutannya, cukup jika dapat dibuktikan isi hasutan tersebut ditujukan agar orang melanggar hukum, jelas menabrak asas culpabilitas ini sehingga perlu diluruskan.

  Penambahan satu syarat lagi untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan delik penghasutan yaitu: Orang yang menghasut tersebut harus melakukannya dengan sengaja.

  26 27 Ibid.

  PAF Lamintang, 1997, Dasar-DAsar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, halaman 158. Selanjutnya akan dijawab pertanyaan tersebut di atas berdasarkan pemahaman yang telah disebutkan di muka dan dikaitkan dengan logika sebab- akibat dalam ilmu hukum pidana serta pengertian "menghasut" dalam kamus, yaitu: Tidak logis jika B dikatakan menghasut, karena keberadaan si A di situ, dimana si A sebagai satu-satunya orang yang mendengar ucapan itu memang berniat ingin membunuh Polisi C. Ada atau tidaknya ucapan si B, si A telah melakukan perbuatan persiapan untuk membunuh atau hampir pasti dia akan membunuh Polisi C. Jadi, dalam contoh kasus ini, si B tidak dapat dipersalahkan melakukan perbuatan menghasut.

  Berdasarkan alasan di atas, dianggap perlu penambahan satu syarat lagi yaitu syarat: Keberadaan orang lain yang ada di situ tidak mempunyai niat yang sama dengan isi hasutan.

  Dari uraian pembahasan tersebut maka dapat dikatakan bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah meliputi:

  1. Menghasut yang diucapkan di tempat umum dan ditujukan kepada orang lain yang ada di situ.

  2. Keberadaan orang lain yang ada di situ tidak mempunyai niat yang sama dengan isi hasutan.

  3. Kata-kata yang diucapkan tersebut berisi ajakan untuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana.

  4. Isi hasutan harus benar-benar dilakukan oleh orang yang terhasut.

  5. Adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku penghasutan.

  Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh R. Soesilo yaitu: Maksud suatu hasutan itu harus ditujukan supaya: 1.

  Dilakukan sesuatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan), semua perbuatan yang diancam dengan hukuman.

  2. Melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasa, yang diartikan dengan kekuasaan umum yaitu semua orang yang ditugaskan menjalankan kekuasaan pemerintah, dimana termasuk semua bagian dari organisasi pemerintah pusat atau daerah.

  3. Jangan mau menurut peraturan undang-undang, yang diartikan dengan peraturan undang-undang yaitu semua peraturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.

  4. Jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undang- undang, perintah itu harus syah dan diberikan menurut undang-undang, jadi kalau diberikan oleh pembesar yang tidak berhak untuk memberikan

  28 perintah itu, maka tidak termasuk dalam Pasal ini.

  Pendapat di atas didukung pula oleh S.R. Sianturi yang mengatakan: Ada empat macam tindakan/perbuatan yang dihasutkan: 1.

  Menghasut supaya melakukan suatu tindak pidana.

  2. Menghasut supaya melakukan suatu perbuatan kekerasan kepada penguasa umum.

  3. Menghasut supaya tidak mematuhi suatu peraturan perundang-undangan.

  4. Menghasut supaya tidak mematuhi suatu perintah jabatan yang diberikan

  29 berdasarkan peraturan perundangan.

  Pembahasan berikut ini akan diuraikan tentang kasus yang diajukan dalam penelitian ini yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 470.K/Pid/1995, yaitu: Kasus posisi: 1. Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (S.B.S.I) Cabang Medan terdiri dari : Amosi 28 29 R. Soesilo, Op.Cit, halaman 137.

  S.R. Sianturi, 1983, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM PTHM, Halaman 307. . Telaumbanua sebagai Ketua Umum, dengan Saniman Lafoa sebagai sekretariat serta Bendahara Hayati, di bawah nauangan SBSI pusat dipimpin oleh ketua umum : Muchtar Pakpahan.

2. Amosi sebagai Ketua SBSI Cabang Medan adalah penggerak organisasinya. Ia banyak mengetahui masalah-masalah yang sedang dihadapi buruh saat ini.

  Amosi juga mengerti akan hak-hak para buruh yang mestinya diterima dari para pengusaha, namun masih belum terpenuhi.

  3. Diantara cabang-cabang SBSI di daerah, maka SBSI Medan termasuk yang paling aktif mengadakan kegiatan SBSI. Salah satu kegiatan SBSI adalah melakukan pengukuhan kepada buruh tentang hak-hak yang seharusnya diperoleh. Dalam kegiatan tersebut. Amosi memberikan pengarahan dengan materi mengenai perburuhan, termasuk tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan dan pelaksanaannya.

  4. Penyuluhan-penyuluhan yang diberikan SBSI nyatanya menarik perhatian dan keikut sertaan buruh di Medan. Kegiatan SBSI Medan selalu dihadiri oleh banyak buruh. Bukan hanya anggota sBSI saja, para simpatisan juga hadir dalam kegiatan-kegiatan SBSI yang dilakukan secara berkala. Pada separuh pertama tahun 1994, SBSI memberikan pengarahan pada buruh, berturut-turut pada bulan Pebruari, Maret, tanggal 3, 4, 10, 12, 13 April. Kegiatan SBSI dilakukan di rumah para buruh atau kantor Sekretariat SBSI Cabang Medan Jalan Mangaan III Benteng Medan. Para buruh Medan memang mempunyai beberapa masalah yang belum diselesaikan secara tuntas, baik oleh pihak perusahaan maupun oleh Pemerintah daerah setempat. Bagi mereka masalah- masalah yang harus segera diselesaikan itu antara lain : a.

  Kenaikan upah buruh dari Rp. 3.000, - perhari menjadi Rp. 7.000,- b. Kebebasan berorganisasi c. Kematian Rusli rekan kerja mereka d. Pencabutan surat Menaker No. 1 tahun 1994.

  5. Pengarahan yang diberikan amosi agaknya menyulut emosi, para buruh merencanakan unjuk rasa untuk merealisasikan pembicaraan yang telah dilakukan. Sebagai langkah awal, amosi dan rekan pengurus SBSI Cabang Medan lainnya menyebarkan lembaran pamplet seruan mogok kepada buruh di Kawasan Industri Medan, selebaran

  • – selebaran itu diperoleh dari DPP SBSI di Jakarta.

  6. Pada hari yang telah ditentukan tanggal 14 April 1994, sekitar 20.000 orang buruh berkumpul di depan Kantor Gubernur Sumut. Mereka ingin menyampaikan dan membicarakan persoalan-persoalan yang belum diselesaikan. Tetapi aparat Pemda tidak menanggapinya. Melihat kenyataan itu, Amosi menyuruh para buruh untuk membubarkan diri “ Pulanglah kalaian dengan tenang “seru Amosi. Pengunjuk rasa memang menuruti seruan itu.

  Namun diperjalanan pulang, para buruh tidak dapat mengendalikan kekecewaannya. Emosi mereka kembali memuncak, dan tindakan mereka benar-benar sulit untuk dikontrol. Kantor pabrik yang terletak di jalan yang dilalui, sepanjang perjalanan pulang menjadi sasaran kemarahan mereka.

  Mereka melempari bangunan-bangunan itu dengan batu tanpa ada perintah dari Pimpinan mereka. Namun demikian aparat keamanan telah mengetahui siapa pimpinan SBSI yang memprakarsai mogok dan unjuk rasa para buruh tersebut. Polisi setempat menangkap para pengurus SBSI Cabang Medan, termasuk Amosi Talaumbanua. Mereka diperiksa dan diajukan ke pengadilan Negeri Medan dalam berkas perkara secara terpisah.

7. Jaksa Penuntut Umum mengajukan Amosi sebagai terdakwa di Pengadilan

  Negeri Medan dan didakwa melakukan perbuatan pidana sebagai berikut:

  I. Kesatu: Primair : ex Pasal 160 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1e , KUH Pidana.

  “ Secara lisan atau dengan tulisan di depan umum menghasut untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum; melawab para kekuasaan umum dengan kekerasan, ………………… dan seterusnya, …………………………dst, ……………” seterusnya, ………………………..dst, …………………………….

  (Seruan mogok dan unjuk rasa, dst ………………………..). Subsidair: Ex Pasal 161 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUH Pidana. “menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka, menempelkan sesuatu tulisan yang berisi hasutan untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, ……………….dst, ……………………dst “.

  II. Kedua : Ex Pasal 170 ayat (1). Jo Pasal 55 (1) ke-2e KUH Pidan a “ Secara terbuka dan secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap manusia atau barang ………..dst, …………… dst “.

  Jaksa Penuntut Umum dalam reguitoirnya yang diajukan di persidangan Pengadilan Negeri Medan menuntut agar supaya hakim menyatakan : a.

  Terdakwa AMOSI TALAUMBANUA, bersalah melakukan delik: “secara bersama-sama menghasut orang lain dengan lisan atau tulisan agar melakukan perbuatan yang dapat dihukum“ ex Pasal 160. 55 (1) ke.1e KUH Pidana dalam dakwaan kesatu primair.

  b.

  Menuntut hukuman penjara satu tahun dan enam bulan dan dikurangi selama berada dalam tahanan sementara.

  c.

  Dan seterusnya, ……………….. dt, …………………dst,

PENGADILAN NEGERI: 1.

  Hakim pertama yang mengadili perkara ini memberikan pertimbangan sebagai berikut :

  2. Mejelis akan mempertimbangkan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana. Menurut Pasal tersebut, sebagai pembuat (dadaer) sesuatu perbuatan pidana antara lain adalah mereka yang melakukan yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.

  3. Menurut putusan Mahkamah Agung No. 111.7K.Pid/1990, tanggal 30/II/1990 untuk dapat dikualifikasikan sebagai turut serta melakukan perbuatan pidana dalam arti bersama-sama melakukan, sedikitnya harus ada 2 orang, yaitu orang yang melakukan perbuatan pidana itu. Dalam hal ini kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan yaitu melakukan nasir dari perbuatan pidana.

4. Selain itu. Putusan HR No. 1047 tanggal 29/6/1936 yang dalam prakteknya

  tetap digunakan menyatakan : bahwa suatu perbuatan yang dilakukan bersama- sama adalah turut serta melakukan dapat terjadi jika dua atau lebih melakukan secara bersama-sama suatu perbuatan yang dapat dilakukan. Sedang dengan perbuatan masing-masing saja, maksud itu tidak akan sampai.

5. Dipersidangan telah terbukti, baik terdakwa maupun saksi-saksi Saniman

  Lafao; Risman L; fatiwanolo ; Hayati (berkas perkara terpisah), sebagai pengurus SBSI, telah memberikan pengarahan tentang hak-hak dan kewajiban kaum buruh serta hak mogok buruh, jika masalah dengan pengusaha tidak ada penyelesaian. Terutama tentang kenaikan upah. Apalagi jika dihubungkan dengan “ seruan mogok “/unjuk rasa “ dari Ketua Umum SBSI, Muchtar Pakpahan dan sekretaris Umum SBSI, disepakati untuk diperbanyak dan disebarluaskan kepada buruh pada setiap kegiatan pemogokan kaum buruh di unit-unit semua perusahaan masing-masing terdakwa secara bergiliran bersama saksi-saksi tersebut, telah mendampingi buruh yang mogok. Demikian pula pada peristiwa unjuk rasa tanggal 14

  • – 4 1994, menurut Terdakwa, kegiatan buruh selalu ada hubungannya dengan organisasi buruh SBSI.

  6. Dari uraian tersebut telah terbukti bahwa antara terdakwa dengan saksi-saksi saniman, Riswan, Fatiwanolo dan Hayati bekerjasama dalam melaksanakan perbuatan pelaksanaan sehingga terjadi unjuk rasa.

  7. Unjuk rasa tersebut menimbulkan kerusuhan dan pelemparan batu terhadap perusahaan-perusahaan dan rumah-rumah penduduk. Karenanya, Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana terpenuhi dalam perbuatan terdakwa.

  8. Selanjutnya, Mejelis membertimbangkan unsur pertama Pasal 160 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH Pidana.

  9. Dipersidangan diperoleh fajta bahwa sebelum terjadinya unjuk rasa para buruh, dilakukan pertemuan setiap hari. Pertemuan itu dihadiri oleh 50

  • – 100 buruh, baik di rumah terdakwa maupun di kantor cabang SBSI Medan. Terdakwa memberikan penjelasan, pengarahan, tentang hak-hak buruh, diantaranya tentang upah dan hak mogok jika permasalahan dengan pengusaha tidak ada penyelesaian. Tempat pertemuan adalah di rumah Terdakwa di Jalan Mangaan

  III Lorong Benteng No. 106 Medan dan di Kantor SBSI di jalan Tapian Nauli

  III No. 116 Medan. Tempat itu didatangi buruh berserta simpatisan-simpatisan SBSI (umum) atau orang banyak dapat mendengar pengarahan terdakwa.

  Fakta-fakta tersebut memenuhi unsur pertama Pasal 160 KUH Pidana.

  10. Mengenai unsur kedua, pengarahan-pengarahan yang diberikan kepada para buruh serta para simpatisan SBSI oleh Terdakwa adalah secara lisan. Oleh karenanya unsur tersebut terpenuhi.

  11. Untuk unsur ketiga, diperoleh fakta-fakta bahwa terdakwa bersama-sama pengurus SBSI cabang Medan lainnya seperti tersebut pada pertimbangan unsur ke satu telah memperbanyak seruan mogok/unjuk rasa dari PP SBSI kepada para buruh serta simpatisan SBSI. Seruan mogok tersebut berisi tuntutan bahwa upah minimum untuk hidup layak adalah 173.500/bulan atau rp. 7.000/hari. Tuntutan tersebut diberlakukan mulai 1-4-1994. Sehubungan dengan seruan mogok tersebut, terdakwa beserta pengurus SBSI cabang Medan lainnya, hampir tiap hari memberikan pengarahan pada para buruh tentang hak- hak mereka. Diantaranya tentang upah dan hak buruh untuk mogok jika tidak ada penyelesaian.

  12. Terdakwa beserta pengurus SBSI bergantian mendampingi buruh yang mogok di perusahaannya. Menurut terdakwa setiap kegiatan buruh selalu ada hubungannya dengan SBSI. Pengarahan-pengarahan pada buruh diberikan sejak awal, setiap hari, hingga tanggal 12

  • –4–1994. Karena pengarahan- pengarahan tersebut buruh melakukan unjuk rasa yang diikuti kurang lebih 20.000 orang tanpa izin. Terdakwa selaku ketua sBSI cabang Medan tidak mencegah/membiarkan unjuk rasa tanggal 14 –4–1994.

  13. Fakta-fakta tersebut menurut Pengadilan termasuk dalam kwalifikasi perbuatan menghasut, supaya tidak menuruti ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan undang-undang.

  14. Sekalipun Pasal 160 KUH Pidana tidak mencantumkan kata sengaja, namun menurut azas hukum pidana, setiap perbuatan pidana harus dilakukan dengan kesengajaan, kecuali, terhadap perbuatan yang dilakukan karena lalai.

  15. Hakekatnya unsur kesengajaan dalam Pasal tersebut telah terkandung dalam awalan “ me “ pada kata menghasut, Oleh karenanya, unsur sengaja harus dibuktikan dalam perbuatan terdakwa.

  16. Oleh karena undang-undang tidak memberikan pengertian tentang kesengajaan, maka doktrin dan jurisprudensi tentang kesengajaan, maka doktrin dan jurisprudensi memberikan arti sebagai “ dikehendaki dan diketahui “ sehingga dalam paraktek dikenal adanya teori kehendak dan teori pengetahuan.

  17. Pengadilan cenderung akan menerapkan teori kehendak (Will Theory) dalam perkara ini, Di persidangan, ternyata bahwa keberadaan SBSI di Medan tidak diakui oleh Pemerintah, sehingga SBSI dilarang melakukan kegiatan kepala kantor Sosial Politik Pemda Tingkat II Medan, telah memberikan penjelasan/peringatan kepada terdakwa, agar SBSI tidak melakukan kegiatan. Namun terdakwa malah memberikan pengarahan-pengarahan pada kaum buruh dan mendukung untuk mengadakan unjuk rasa. Selaku Ketua SBSI Cabang Medan, terdakwa membiarkan, tidak mencegah rencana diadakannya unjuk rasa kaum buruh. Terdakwa telah mendampingi kaum buruh ketika melakukan unjuk rasa. Dari fakta-fakta tersebut

  Pengadilan berkeyakinan bahwa “Perbuatan menghasut“, telah dilakukan terdakwa dengan sengaja. Perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur ketiga Pasal 160 jo Pasal 55 (1) KUH Pidana. Oleh karenanya, terdakwa terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan dakwaan kesatu Primair :

  Pasal 160 jo. Pasal 55 (1) ke 1 KUH Pidana. Dengan terbuktinya dakwaan ke 1 Primair, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi selain alasan-alasan yuridis, Pengadilan juga mempertim-bangkan faktor keadaan. Yang Memberatkan: Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat

  • Terdakwa tidak menyesali perbuatannya
  • Terdakwa melakukan kegiatan-kegiatan organisasinya sekalipun telah dilarang
  • oleh Pemerintah yang bersangkutan

  Yang Meringankan:

  Terdakwa belum pernah dihukum

  • Terdakwa sopan di dalam persidangan

  Atas dasar pertimbangan tersebut Pengadilan Negeri Medan memutuskan :

  • Menyatakan terdakwa: Amosi Talaumbanua sebagaimana tersebut di atas
  • menurut bukti-bukti yang sah dan meyakinkan terang bersalah telah melakukan perbuatan pidana : “ Menghasut yang dilakukan secara bersama-sama “.
  • bulan

  Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 1 satu tahun 3 (tiga)

  • dalam tahanan

  Menetapkan pidana itu dikurangkan seluruhnya dengan masa terdakwa berada

  • PENGADILAN TINGGI

  Dan seterusnya, dan seterusnya, dst ……

  • Negeri Medan. Dalam memori banding yang diajukannya, terdakwa mohon agar dapat dibebaskan dari segala dakwaan maupun tuntutan hukum. Unjuk rasa yang terjadi bukan kehendak Terdakwa, tetapi kehendak buruh yang hak- haknya dilanggar oleh Pengusaha.

  Terdakwa Amosi Telaumbauna menyatakan banding putusan Pengadilan

  • Pertama telah tepat dan benar sehingga disetujui dan dijadikan pertimbangan Pengadilan Tinggi. Namun Pengadilan Tinggi menganggap pidana yang dijatuhkan terlalu ringan, tidak sesuai dengan rasa keadilan. Selain mengingat hal-hal yang meringankan dan memberatkan sebagaimana dikemukakan oleh Hakim Pertama. Pengadilan Tinggi memperhatikan fakta bahwa unjuk rasa yang dipimpin Terdakwa menimbulkan keresahan dalam masyarakat yang menjurus dalam perbuatan rasialis.

  Hakim Tinggi yang mengadili perkara ini, menganggap pertimbangan Hakim

  Perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian harta benda dan jatuhnya korban. Pengadilan Tinggi akan menjatuhkan pidana penjara untuk memenuhi tujuan

  • pemindanaan yang bersifat korektif preventif dan edukatif. Selebihnya, Pengadilan Tinggi menguatkan putusan hakim Pertama.
  • mengenai pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa dengan amar putusan yang pada pokoknya sebagai berikut :

  Pengadilan tinggi memperbaiki amar putusan pengadilan Negeri Medan

  MENGADILI

  Memperbaiki putusan pengadilan Negeri Medan yang dimohon banding,

  • sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan, sehingga amarnya sebagai berikut : Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan hukuman penjara 3 (tiga) tahun.
  • Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa di kurangkan masa
  • seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan dalam rumah tahanan negara.
  • Menguatkan putusan Pengadilan Negeri tersebut yang selebihnya. Menghukum Terdakwa lagi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah),-

MAHKAMAH AGUNG RI:

  • permohonan kasasi dengan alasan kasasi sebagai berikut: 1.

  Terdakwa, Amosi menolak putusan Pengadilan Tinggi dan mengajukan

  Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi tidak memuat hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

2. Pengadilan tinggi memperberat hukuman, tanpa pertimbangan yang cukup.

  3. Pengadilan Tinggi menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 160 jo.

  55 (1) KUH Pidana, tidak ada saksi atau bukti bahwa Terdakwa menghasut buruh untuk melakukan perbuatan pidana atau melawan kekuasaan hukum dengan kekerasan, atau menghasut buruh untuk melanggar undang-undang. Para saksi menerangkan bahwa terdakwa hanya menjelaskan hak dan kewajiban buruh dalam pertemuan tersebut. Pada waktu terjadi unjuk rasa terdakwa menyuruh pengunjuk rasa pulang, setelah delegasi diterima gubernur.

  4. Petimbangan pengadilan Tinggi yang menjatuhkan terdakwa menimbulkan keresahan dalam masyarakat tidak berdasarkan fakta hukum. Yang dituntut buruh hanya kenaikan upah, kebebasan berorganisasi, masalah-masalah kematian buruh Rusli, dan penyelesaian PHK buruh persoalan tersebut adalah hak buruh yang seharusnya diterima.

  5. Judex facti tidak secara jelas menguraikan perbuatan Terdakwa yang melawan hukum, perintah yang sah yang mana yang terdakwa tidak turuti atau terdakwa menganjurkan kaum buruh untuk tidak mentaatinya.

  6. Judex facti salah menafsirkan pengertian “ mogok “ dan “ unjuk rasa “ dalam hubungannya dengan „ menghasut “, mogok adalah tindakan pasip, sehingga seruan mogok tidak dapat dikualifikasikan sebagai menghasut unjuk rasa.

  7. Mahkamah Agung stelah memeriksa perkara ini dalam putusan kasasi memberikan pertimbangan hukum yang pokoknya sebagai berikut: a. Keberatan tersebut, tidak dapat dibenarkan, Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum.

  b. Keberatan tersebut juga tidak dapat dibenarkan, keberatan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, keberatan demikian tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan ditingkat kasasi. Di tingkat kasasi pemeriksaan hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang dan apakah pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 KUHAP.

d. Dan 5. Keberatan ini dapat dibenarkan, namun hanya sebagai alasan

  perbaikan pertimbangan, bahwa dengan “menghasut“ dalam Pasal 160 KUH Pidana dimaksud: “berupaya agar orang melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan“.

  Pasal 1 dan 2 Undang-Undang No. 22 tahun 1957 membolehkan buruh untuk secara kolektif menghentikan/memperlambat jalannya pekerjaan. Namun untuk itu ditentukan tata cara pengawasan pelaksanaannya, termasuk kewajiban Pengusaha atau pejabat tata usha negara setempat yang tugasnya antara lain memelihara dan bertanggungjawab atas rust en orde ketertiban umum dalam daerah wewenangnya. Tata cara tersebut antara lain pemberitahuan kepada pihak pengusaha dan Ketua P4D setempat (Pasal 6 ayat (1) yang dewasa ini dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang berbunyi:

  • Pasal 26

  Tidak dilakukannya hal itu, istilah kini “ mogok liar “ diancam dengan pidana

  Untuk melakukan arak-arakan dijalanan umum, dalam perkara ini sebagai “

  • unjuk rasa “ harus juga dengan izin dari Pengusaha setempat (polisi atau pejabat Tata Usaha Negara yang ditunjuk).
  • Tindak pidana yang dimaksud adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 26 Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 dan Pasal 510 KUH Pidana.

  Tidak dilakukannya hal itu diancam dengan pidana Pasal 510 KUH Pidana.

  • menjatuhkan pidana yang jauh lebih berat dari pidana yang dijatuhkan Pengadilan Negeri. Bahkan dua kali lebih berat dari pidana yang dituntut jaksa/Penuntut Umum tanpa pertimbangan yang cukup.

  Ad 2 dan ad 4. Keberatan ini dapat dibenarkan karena Pengadilan Tinggi telah

  • memberatkan. Untuk pidana tersebut seharusnya diperhatikan pidana yang diancam terhadap tindak pidana yang dihasut untuk dilakukan tersebut. Ternyata tidak dipertimbangkan tindak pidan tersebut, diancam dengan pidana penjara 3 (tiga) bulan atau denda Rp. 10.000,- maupun denda Rp. 15.000,-

  Keresahan telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri sebagai hal yang

  • dapat diharapkan bahkan dipercaya mengantisipasi akibat dari unjuk rasa tersebut, berdasarkan situasi dan kondisi setempat yang tidak dapat disamakan dengan situasi dan kondisi di Jawa. peristiwa-peristiwa sebagai buntut dari

  Namun demikian, Terdakwa yang menganggap dirinya sebagai pemimpin, unjuk rasa itu seharusnya telah dapat diperhitungkan kemungkinannya walaupun tidak terbukti sengaja dimaksudkan, harus dianggap termasuk hal-hal yang memberatkan, sebagaimana pertimbangan Pengadilan Negeri.

  • Kualifikasi tindak pidna yang terbukti, perlu diperbaiki karena “ secara bersama- sama “ adalah bukan unsur Pasal 160 KUH Pidana.
  • Dengan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung berpendirian bahwa putusan

  Pengadilan Tinggi Medan, tidak dapat dipertahankan lagi, karenanya harus dibatalkan sepanjang mengenai pidana yang dijatuhkan.

  • Mahkamah Agung menyetujui pertimbangan Pengadilan Negeri tentang perbuatan Terdakwa yang terbukti, serta barang bukti, menjadikannya sebagai pertimbangan Mahkamah Agung sendiri.
  • Berdasarkan alasan-alasan yuridis tersebut, mahkamah Agung memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut :

  Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang berbunyi: (1)

  Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. (2)

  Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan pemimpin, alau penanggungjawab kelompok. (3)

  Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat- lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. (4)

  Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.

  MENGADILI: Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 18 Pebruari 1995 No.

  204/Pid/1994 PT Medan

  Mengadili Sendiri :

  Menyatakan Amosi Telaumbauna, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

  • melakukan tindak pidana: “Dimuka Umum Dengan Tulisan Menghasut Supaya Melakukan Perbuatan Pidana“.
  • tahun, 3 (tiga) bulan.

  Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu)

  • Dari uraian di atas maka jelas dapat dilihat bahwa Mahkamah Agung juga sependapat dengan uraian bahwa salah satu bentuk kejahatan penghasutan aksi unjuk rasa dalam Putusan Mahkamah Agung No. 470.K/Pid/195 adalah dimuka umum dengan tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bentuk kejahatan penghasutan aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis adalah adanya kegiatan terpidana berupa menghasut dengan tulisan supaya pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam kasus unjuk rasa tersebut melakukan perbuatan pidana, seperti mengancam buruh lain yang tidak ingin berunjuk rasa, atau melakukan tindak pidana lainnya seperti merusak sarana prasarana umum.

  Dan seterusnya dan seterusnya ………

  C.

  Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis

  Unjuk rasa atau demonstrasi selalu mengiringi perjalanan bangsa Indonesia mulai sebelum Indonesia merdeka, Orde lama, Orde baru hingga era Reformasi, bahkan beralihnya Orde lama ke era Reformasi adalah hasil perjuangan dari para demonstran, demo pada masa ini adalah demo terbesar sepanjang sejarah berdirinya Indonesia, bahkan hingga di warnai dengan insiden penembakan oleh aparat, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, namun akhirnya perjuangan itupun berhasil dan hasil perjuangan itu adalah era reformasi.

  Mulai era reformasi hingga sekarang unjuk rasa masih tetap bermunculan, unjuk rasa sesalu muncul ketika ada permasalahan yang muncul. Sebagai negara yang demokrasi pelaksanaan unjuk rasa tentunya di anggap sebuah hal yang wajar, karena dalam demokrasi Negara harus mengakui, melaksanakan serta melindungi adanya Hak Azasi Manusia (HAM). HAM sendiri terdiri atas beberapa macam, salah satunya adalah hak untuk mengemukakan pendapat yang diatur dalam Undang- undang Dasr 1945 Pasal 28 yang berbunyi “bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang- undang”

  Unjuk rasa merupakan salah satu perwujudan dari hak untuk mengeluarkan pendapat, unjuk rasa masih dianggap sah apabila masih berada pada alur yang benar, berjalan tertib, tidak menggunakan kekerasan atau anarkisme serta tidak melanggar peraturan yang ada. Akan tetapi tidak demikian dengan unjuk rasa yang terjadi dewasa ini, masyarakat seolah menganggap unjuk rasa sebagai wahana atau tempat untuk menghina, mencaci dan memaki para lawan politik, atau pihak yang tidak sependapat dan para pejabat pemerintahan lainnya.

  Menurut Amien Rais, aksi demo dengan membawa kerbau merupakan tindakan tidak bermoral (amoral). “Orang demo bawa kerbau, dan menyatakan ini

  30 cocok dengan tokoh ini. Hal ini sudah tidak bermoral”.

  Lebih lanjut mengenai kemerdekaan mengemukakan pendapat diatur Dalam UU No. 9 tahun 1998, namun kebebasan bukan diartikan bebas sebebas- bebasnya, atau bebas tanpa batas, pengungkapan pendapat harus tetap menghormati hak-hak orang lain, menghormati dan mematuhi aturan yang berlaku, menjaga ketertiban serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, tetapi demonstrasi yang terjadi sepertinya tidak memperdulikan semua itu.

  Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya tindakan anarkis dalam unjuk rasa: