Metode Penelitian dan Pembahahasan

6 | Gerakan Lembaga Dakwah Islam Indonesia LDII 1990-1998 sumber tulisan dan komentar berbagai tokoh Islam. Namun uraiannya kelihatan Sangat ten- densius dan tidak seimbang, karena hanya memuat tulisan-tulisan dari pihak yang kontra terhadap LDII. Dari pihak intern LDIL penulis menda- patkan buku yang berjudul “Hasil-hasil Mus- yawarah Besar LEMKARI” dan “Hasil-hasil musyawarah Besar LDII”. Di dalamnya diurai- kan tentang perkembangan LEMKARI dan LDII dari satu periode ke periode berikutnya, ADART dan program-program kerjanya. Karya ilmiah ini berusaha menambah dan melengkapi pembahasan tentang LDII dari segi latar belakang sejarah berdirinya, keor- ganisasiannya dan aktivitas-aktivitas yang di- lakukannya. Welaupun dalam buku-buku di a- tas materi yang akan dibahas penulis sudah disinggung, namun masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Salah satu kelemahannya terletak pada analisanya yang hanya sepintas, cenderung subjektif dan tendensius. Adapun kekurangannya ada data yang memang belum dianalisa sama sekali. Dalam karya ilmiah ini, kekurangan dan kelemahan tersebut akan diperbaiki.

F. Metode Penelitian dan Pembahahasan

Dalam penelitian ini penulis mengguna- kan metode sejarah, yaitu suatu proses menguji dan menganalisa secara kritis terhadap reka- man dan peninggalan masa lampau. Louis Gottschalk, 1985: 32 Metode ini bertumpu pada empat kegiatan pokok, sebagai berikut: 1. Heuristik, yaitu tahapan pengumpulan data atau menghimpun bukti-bukti sejarah yang relevan dengan objek penelitian. Dalam pengumpulan data ini penulis mengguna- kan dua metode, yaitu: Studi kepustakaan dan wawancara. a. Studi kepustakaan Dilakukan karena ditemukannya sum- ber-sumber tertulis yang memberikan informasi seputar LDII, balk berupa buku, majalah, koran, SK. Pemerintah, dokumen-dokumen resmi LDII, kitab- kitab pegangan LDII dan hasil-hasil MUBES LDII. b. Wawancara Untuk melengkapi data dokumen di atas, penulis mengadakan wawancara kepada tokoh-tokoh dan para pengikut LDII, tokoh-tokoh masyarakat Serta lembaga- lembaga yang sudah mengkaji masalah LDIL 2. Kritik, yaitu data yang telah didapat, diuji atau dinilai baik secara intern ataupun ek- stern untuk menemukan validitas dan kredi- bilitasnya, sehingga secara otomatis akan terpisah mana data yang layak untuk di- pakai dan mana data yang harus diting- galkan. 3. Interpretasi, yaitu tahap menafsirkan eks- planasi dan menganalisis data yang sudah diyakini validitas dan kredibilitasnya, se- hingga memiliki pengertian yang jelas. Ak- hirnya bisa dipahami makna sebenarnya yang terkandung di dalam data tersebut. 4. Hiatoriografi, yaitu tahap menyajikan sin- tesis baru berdasarkan bukti-bukti yang te- lah dinilai, kemudian disusun secara sis- tematis dalam sebuah karya tulis, sehingga memunculkan suatu tulisan ilmiah yang da- pat dipertanggungjawabkan. Sartono Kar- todirjo, 1992: 123 Dalam prosedur penu- lisanya, penulis berusaha untuk memapar- kan secara kronologis, dan di dalam penya- jiannya ditampilkan sesuai dengan tema- tema pokok yang menjadi objek penelitian ini. Penulis menggunakan pendekatan sosio- logis yang didefinisikan sebagai suatu proses pengungkapan kebenaran yang didasarkan pa- da pengunaan konsep-konsep dasar yang di- kenal dalam sosiologi sebagai ilmu, seperti: in- teraksi sosial, kelompok sosial, lembaga sosial, lapisan sosial, perubahan sosial dan sebagai- nya. Soerjono Soekanto, 1999: 458 LDII termasuk Salah satu lembaga sosial yang bercorak keagamaan. Oleh karena itu, un- tuk memahami asal usul, pertumbuhan dan ajaran-ajaran yang dikembangkan LDII, penu- lis menggunakan teori munculnya sekte dari disiplin sosiologi agama. Berdasarkan teori ini, setiap agama dapat dipandang dari dua sisi, 27 Gerakan Lembaga Dakwah Islam Indonesia LDII 1990-1998 | 7 yakni dilihat pada waktu lahirnya dan dilihat dalam kesejarahannya. Pada waktu agama tertentu dilahirkan oleh tokohnya, sering ada kesan bahwa agama yang bersangkutan telah dapat memuaskan para pengikut agama tersebutn Artinya, keu- tuhan ajaran agama yang lahir tersebut seolah- olah sudah mampu menyelesaikan seluruh per- soalan kehidupan yang dihadapi pemeluk aga- ma yang bersangkutan di bawah kendali tokoh agama pendirinya. Setidaknya ada lima penye- bab kenapa muncul kesan seperbi itu. Pertama, tatkala agama tertentu dilahirkan biasanya baru memiliki pengikut yang relative terbatas jum- lahnya dan andaikata berhasil disusun sebuah sistem pemerintahan, maka bentuk pemerin- tahannya masih dalam wujud negara kota. De- ngan jumlah yang masih terbatas ini, maka hampir semua persoalan kemasyarakatan dan keagamaan yang dihadapi masyarakat pemeluk agama bersangkutan masih dapat dijangkau dan diselesaikan. Kedua, tatkala agama ter- tentu dilahirkan, biasanya balum menyebar yang menyebabkan bertemunya lintas budaya, lintas agama atau lintas bangsa. Dengan demi- kian persoalan-persoalan yang muncul belum begitu kompleks dan masih bisa diselesaikan oleh tokoh pendiri agama yang bersangkutan. Ketiga, hampir seluruh tokoh pendiri agama memiliki kewibawaan kharismatik yang ber- dampak memiliki kekuasaan yang kharismatik pula. Kewibawaan dan kharismatik inilah yang menyebabkan ketaatan yang luar biasa dikala- ngan pengikut-pengikutnya. Keempat, tatkala agama tertentu dilahirkan belum ada pemisah- an yang tegas antara urusan agama dan urusan dunia. Kelima, karena pengikut-pengikut aga- ma pada masa awal itu sangat mengandalkan jawaban-jawaban pemecahan dari tokoh pen- diri agama tersebut, sehingga keinginan menaf- sirkan ajaran belum muncul ke permukaan. Namun, kalau dilihat dari kesejarahan agama tersebut selanjutnya, ternyata agama tersebut tidak selamanya memuaskan pengikutnya. Tatkala agama mulai merambah masuk antar budaya, antar agama dan antar bangsa, mulailah agama yang bersangkutan menghadapi kompleksitas yang luar biasa. Banyak hal baru yang belum ditemukan dan banyak hal yang belum ada jawabannya. Dari sini timbul kebaranian, entah terpaksa atau me- mang merasa seharusnya seperti itu, untuk me- lakukan penafsiran sebagai usaha perluasan ajaran agama. Muncullah apa yang disebut sekte agama sesuai dengan tokoh penafsir agama itu sendiri. Dalam proses penafsiran ajaran di atas, tentu saja menimbulkan berbagai variasi penaf- siran. Hal ini terjadi dikarenakan setidaknya oleh dua hal. Pertama, berangkat dari asumsi bahwa kemampuan dan motivasi penafsiran untuk setiap tokoh agama jelas berbeda-beda dan bermacam-macam. Kedua, faktor ekstern yang sedikit banyak berpengaruh terhadap to- koh atau pemikir agama juga sangat bervariasi. Faktar ekstern ini dapat berupa kondisi zaman, kondisi tempat, kondisi sosial, ekonomi, poli- tik dan sebagainya. Berdasarkan kenyataan itu, maka sekte-sekte yang muncul juga sangat ber- agam dan pada tingkat tertentu tidak jarang terjadi konflik atau benturan satu sekte dengan sekte lainnya. Muhammad Damai, 1996: 3-4 Berkenaan dengan konflik, dalam kon- sep interaksi sosial dikenal istilah akomodasi, yaitu suatu proses di mana orang perorang atau kelompok-kelompok yang mula-mula saling bertentangan saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Soerjono S, 1996: 83 Akomodasi ini sering dilakukan juga oleh suatu sekte keagamaan ke- tika mereka menyebarkan ajaran-ajarannya, bahkan ketika mereka membangun sistem ke- organisasiannya dan melakukan aktivitas- aktivitasnya. PEMBAHASAN A. Periode Islam Jama`ah IJ 1. Tokoh Pendiri IJ sebagai suatu aliran keagamaan baru muncul pada tahun 1950-an, tepatnya Semen- jak H. Nurhasan al-Ubaidah mendirikan se- buah pesantren di daerah Kediri. Tokoh terse- but dalam pengembangan ajaran-ajarannya memperoleh teman seperjuangan, yakni H. Nurhasyim. 28 8 | Gerakan Lembaga Dakwah Islam Indonesia LDII 1990-1998 Kedua tokoh ini meskipun sudah me- ninggal dunia, tatapi namanya tetap hidup da- lam lembaran Sejarah perkembangan IJ. H. Nurhasan dan H. Nurhasyim adalah peletak dasar cita-cita IJ. Marzani Anwar dalam Abdul Aziz, 1994: 21. Oleh karena itu cukup penting untuk mengetahui latar belakang pri- badi kedua tokoh itu. a.

H. Nurhasan al-Ubaidah