commit to user 59
2 Pengendalian Lanjutan
Bila dengan pelaksanaan pengendalian awal terhadap suatu bahaya atau setelah dilakukan review pengendalian awal dinilai tidak dapat lagi
menurunkan tingkat risiko bahaya menjadi
medium
dan
low
atau tingkat risiko menjadi
high
dan
very high
dengan kriteria yang tidak dapat diterima
non acceptable risk
maka harus dilakukan pengendalian lanjutan sehingga pengendalian tersebut dapat menurunkan tingkat
risiko ke kriteria yang dapat diterima
acceptable risk
. Tindakan pengendalian lanjutan tersebut dimasukkan dalam
Register Tindakan Perbaikan RTP untuk segera ditindak-lanjuti dan direview agar tingkat risiko suatu bahaya turun ke tingkat risiko yang
dapat diterima.
B. Pembahasan
Identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko HIRADC dalam aktivitas PT. Cipta Kridatama
site
Mahakam Sumber Jaya digunakan untuk dasar perencanaan program pengendalian kecelakaan kerja manajemen
risiko sesuai dengan OHSAS 18001 : 2007 Klausul 4.3.1 dan ISO 14001 : 2004 Klausul 4.3.1, dimana keduanya secara garis besar menyatakan bahwa
sumber bahaya yang teridentifikasi harus dinilai untuk menentukan tingkat risiko yang merupakan tolak ukur terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat
kerja sehingga dapat dilakukan upaya pengendalian dalam bentuk program keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan hidup.
commit to user 60
1. Manajemen Risiko Proses
Blasting
dan Efektifitasnya Pada pembahasan ini dijabarkan gambaran penerapan manajemen
risiko proses
blasting
dan penilaian efektifitasnya. Penilaian efektifitas dari manajemen risiko tersebut penulis tinjau secara kaulitatif pelaksanaan
penerapan aktual di lapangan. Sedangkan parameter yang digunakan untuk mengamati dan menilai apakah pengendalian risiko sudah efektif atau belum
melalui pertanyaan-pertanyaan dibawah ini : a.
Apakah penerapan proses
blasting
dilaksanakan sesuai prosedur keselamatan peledakan?
b. Apakah hierarki pengendalian sudah dilaksanakan dengan baik dan
maksimal? c.
Apakah masih terjadi kecelakaan, penyakit akibat kerja atau pencemaran lingkungan?
d. Apakah pengendalian sudah sesuai dengan peraturan perundangan?
e. Apakah pengendalian awal sudah cukup menurunkan tingkat risiko ?
Adapun hasil identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko pada proses
blasting
di PT. Cipta Kridatama
site
Mahakam Sumber Jaya adalah sebagai berikut :
a. Bahaya
Flying Rock
Bahaya ini bersumber pada eksekusi peledakan lapisan
Over Burden
OB di area
blasting
. Lemparan batu
Flying Rock
ini dapat menimpa
man power
sehingga dapat menyebabkan luka ringan sampai dengan kematian maupun menimpa unit sehingga dapat menyebabkan
commit to user 61
kerusakan. Penilaian risiko dari bahaya ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 4 dan
severity
: 3 sehingga nilai risikonya 24 dan tingkat risiko medium. Pengendalian bahaya
flying rock
dilakukan melalui metode rekayasa teknis dan administrasi.
1 Rekayasa Teknik
Pengendalian secara rekayasa teknis antara lain dengan :
Cleaning
area peledakan dari
loose material
material bebas, pengaturan bahan peledak yang cukup tidak berlebihan disesuaikan
dengan kebutuhan lubang, penutupan lubang dengan tanah
stemming
dilakukan dengan tanah serbuk hasil pengeboran sehingga bahan peledak dapat terkungkung dengan cukup rapat, penentuan waktu
tunda yang tidak terlalu dekat, penentuan arah dan urutan ledakan yang tepat disesuaikan kondisi dan posisi peledakan, dimensi geometri
peledakan tepat. Geometri peledakan di PT. Cipta Kridatama
site
Mahakam Sumber Jaya menggunakan standar ukuran
Spasi
S : 9,2 m,
Burden
B : 8,0 m dan
Deep
D : 7 m. Hal ini sudah disesuaikan dengan jenis batuan, bahan peledak dan target produksi yang ingin
dicapai. 2
Administrasi Pengendalian secara administrasi yaitu melalui pengaturan waktu
peledakan yaitu pada saat jam istirahat siang yaitu jam 12.00 sehingga
man power
sedang beristirahat dan jauh dari area peledakan. Hal ini dapat mengurangi
production time lost
akan tetapi jika tidak bisa
commit to user 62
dilakukan pada jam 12.00, peledakan akan dilakukan pada jam 15.00 dengan konsekuensi setiap melakukan peledakan diadakan evakuasi
unit dan manusia menjauhi area peledakan menuju jarak aman sesuai dengan Prosedur Peledakan yang dimiliki PT. Cipta Kridatama yaitu
jarak aman untuk unit adalah 300 meter dan jarak aman untuk
man power
adalah 500 meter. Sedangkan penempatan
shelter
bagi
blaster
pada radius minimal 300 meter dari area peledakan dan aman dari arah ledakan. Sebagai tanda radius aman tersebut dilakukan dengan
pemasangan bendera. Bendera kuning untuk jarak aman unit dan bendera hijau untuk jarak aman
man power
. Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini, bahaya
flying rock
masuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima. Pengendalian telah efektif karena dilakukan sesuai dengan prosedur dan dapat
mengurangi risiko kecelakaan diakibatkan
flying rock
. Hal ini telah sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
pasal 3 a yat 1 poin a yang menyatakan “Mencegah dan mengurangi
kecelakaan”. b.
Bahaya
Air Blast
Bahaya ini bersumber pada eksekusi peledakan lapisan
Over Burden
OB dari area
blasting
. Hempasan udara yang sangat cepat dan kuat yang dihasilkan oleh lemparan energi peledakan ini dapat
menyebabkan cidera pada
man power
dan kerusakan pada unit. Penilaian risiko dari bahaya ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 4 dan
severity
: 3
commit to user 63
sehingga nilai risikonya 24 dan tingkat risiko medium. Pengendalian bahaya
air blast
dilakukan melalui metode rekayasa teknik dan administrasi.
1 Rekayasa Teknik
Pengendalian dengan rekayasa teknik dilakukan dengan pengaturan panjang
burden
sehingga tidak terlalu pendek, penutupan bahan peledak dengan tanah
stemming
dipastikan rapat, pengaturan waktu tunda
delay time
tidak terlalu pendek, pengaturan arah ledakan dan peledakan diusahakan dilakukan pada kondisi cuaca yang cerah
sehingga efek hempasan bisa meluncur ke arah vertikal sehingga tidak mengarah ke unit maupun
man power
di posisi horizontal. Karena pada cuaca cerah tekanan udara bagian atas permukaan lebih rendah
dari pada tekanan udara di permukaan. 2
Administrasi Pengendalian secara administrasi yaitu dengan melakukan
evakuasi unit dan
man power
menuju jarak aman. Pelaksanaan evakuasi yang dilakukan telah sesuai dengan Prosedur Peledakan PT.
Cipta Kridatama dimana jarak 300 meter untuk
man power
dan jarak 500 meter. Pengaturan arah hempasan ledakan juga dapat dilakukan
agar tidak mengarah kepada
man power
dan unit. Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini, bahaya
air blast
masuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima. Pengendalian telah efektif karena dilakukan sesuai dengan prosedur dan dapat mengurangi
commit to user 64
risiko kecelakaan diakibatkan
air blast
. Hal ini telah sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3 ayat
1 poin a yang menyatakan “Mencegah dan mengurangi kecelakaan”. c.
Bahaya Gas Beracun Hal ini bersumber dari hasil reaksi kimia yang tidak sempurna
ketika ANFO yang diramu tidak tepat komposisinya dan tetap diledakkan bersama detonatornya. Pencampuran ANFO yang tidak tepat ini dapat
menghasilkan gas CO dan NO
2
. Gas beracun ini berpotensi memapari
blasting crew
yang melakukan inspeksi hasil peledakan. Hal ini dapat menyebabkan keracunan jika terhirup masuk ke pernapasan. Penilaian
risiko dari bahaya ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 4 dan
severity
: 3 sehingga nilai risikonya 24 dan tingkat risiko medium. Pengendalian
bahaya terpapar gas beracun ini dilakukan dengan metode rekayasa teknis, administrasi dan APD.
1 Rekayasa Teknik
Pengendalian secara rekayasa teknis dengan pencampuran ANFO dilakukan dengan perbandingan yang tepat yaitu campuran
Ammonium Nitrat
AN dan
Fuel Oil
FO sebesar 94,3 AN dan 5,7 FO sehingga akan menghasilkan
zero oxygen balanced
dengan energi panas sekitar 3800 joulesgr handak. Apabila campuran yang dibuat
tidak sempurna sehingga akan menghasilkan energi ledak rendah dan gas beracun
noxious gasses
. Waktu penyimpanan bahan peledak
commit to user 65
menjadi perhatian agar bahan peledak tidak kadaluarsa saat akan digunakan. ANFO kering bisa tahan disimpan selama 6 bulan.
2 Administrasi
Pengendalian secara administrasi dilakukan dengan pengaturan waktu melakukan inspeksi hasil peledakan pasca eksekusi
blasting
. Hal ini dimaksudkan untuk menunggu agar kontaminasi gas beracun di
udara pada area
blasting
dapat berkurang konsentrasinya. Dalam prosedur peledakan PT. Cipta Kridatama, pengaturan waktu tunggu
tersebut selama 15 menit setelah eksekusi peledakan. 3
Alat Pelindung Diri Pengendalian dengan APD yaitu melalui pemakaian masker saat
melakukan inspeksi hasil peledakan pasca eksekusi
blasting
. Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini, bahaya gas
beracun masuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima. Hal ini telah sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja pasal 3 ayat 1 poin m, yang menyatakan “Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu,
kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran
”. Akan tetapi pengendalian terhadap bahaya ini belum efektif karena pada pengendalian administrasi dimana inspeksi hasil peledakan
seharusnya dilakukan 15 menit setelah eksekusi peledakan namun kenyataan di lapangan pelaksanaan inspeksi tersebut dilakukan dalam
waktu kurang dari 15 menit setelah eksekusi peledakan. Hal ini tidak
commit to user 66
sesuai dengan prosedur pelaksanaan inspeksi hasil peledakan sehingga harus disosialisalikan kembali prosedur yang benar terkait
timming
pelaksanaan inspeksi hasil peledakan. d.
Bahaya Getaran Bahaya ini dihasilkan oleh eksekusi peledakan yang menghasilkan
energi getar yang tinggi dan merambat dalam radius yang jauh. Potensi bahaya ini dapat merobohkan bangunan instalasi perusahaan maupun
bangunan milik masyarakat sekitar. Penilaian risiko dari bahaya ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 4 dan
severity
: 2 sehingga nilai risikonya 18, dan tingkat risiko medium. Pengendalian bahaya
ground vibration
ini ini dilakukan dengan metode rekayasa teknik dan administrasi.
1 Rekayasa Teknik
Pengendalian secara rekayasa teknis yaitu dengan pengaturan geometri peledakan, jumlah bahan peledak dan waktu tunda peledakan.
Eksekusi peledakan dengan pengurangan peledakan dengan jumlah besar dan dalam waktu yang sama oleh juru ledak
shotfire
. Artinya ia akan meledakan satu demi satu atau menggunakan pengatur waktu.
Akibatnya bangunan yang berdekatan dengan daerah peledakan akan relatif aman dari pengaruh getaran hasil peledakan. Pengendalian juga
dengan pengaturan arah ledakan untuk meminimalkan rambatan yang mengarah pada bangunan yang berada di sekitar area peledakan.
commit to user 67
2 Administrasi
Secara administrasi, area peledakan juga harus diperhitungkan dan dipastikan jauh dari bangunan instalasi perusahaan maupun
perumahan penduduk. Jika terdapat bangunan pemukiman penduduk yang jaraknya tergolong dekat dan berbahaya dari area penambangan
yang akan dapat mengganggu aktivitas peledakan maka PT. Cipta Kridatama melakukan usaha pembebasan lahan dengan memberikan
ganti rugi bagi penduduk yang bangunan dan tanahnya terkena pembebasan tersebut.
Di area penambangan PT. Cipta Kridatama berdekatan dengan proyek lain yaitu proyek penambangan milik PT. Leighton sehingga
ketika jarak area peledakan dengan area kerja PT. Leighton maka dilakukan koordinasi terkait batas jarak aman bagi unit dan
man power
yang masih diperkenankan. Jika mereka berada dalam jarak yang tidak aman maka pihak PT. Leighton akan melakukan evakuasi. Hal serupa
juga dilakukan PT. Cipta Kridatama apabila PT. Leighton melakukan aktivitas peledakan.
Dengan pengendalian yang telah dilakukan ini, bahaya
ground vibration
masuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima. Pengendalian yang dilakukan sesuai dengan teknis peledakan yang aman dan
mempertimbangkan keberadaan bangunan perusahaan, proyek lain maupun pemukiman penduduk. Dengan pengendalian ini tidak ditemukan
kerusakan pada bangunan diakibatkan
ground vibration.
commit to user 68
Aspek yang kurang mendapat perhatian pada pengendalian ini adalah monitoring pengukuran
ground vibration
sehingga belum diketahui apakah getaran akibat peledakan tersebut masih berada dibawah
nilai ambang batas getaran yang disyaratkan oleh peraturan perundangan dalam hal ini adalah Kepmen LH No. 49 Tahun 1996 tentang Baku Mutu
Getaran Mekanis Lingkungan. Oleh karena itu pengendalian bahaya getaran
ground vibration
belum sepenuhnya efektif dilaksanakan. e.
Bahaya Debu Paparan debu pada proses
blasting
terdapat pada aktivitas inspeksi hasil pengeboran, pemasangan rambu peringatan peledakan, pengangkutan
bahan peledak ke area peledakan, pengisian bahan peledak, evakuasi pemblokiran, eksekusi peledakan, inspeksi hasil peledakan dan
pengembalian bahan peledak ke gudang handak. Potensi paparan debu ini dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan iritasi mata pada
man power
maupun masyarakat sekitar. 1
Inspeksi Hasil Pengeboran Penilaian risiko dari bahaya debu pada aktivitas ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 2 dan
severity
: 2 sehingga nilai risikonya 8 dengan tingkat risiko low. Pengendalian bahaya debu dalam aktivitas
ini dilakukan dengan metode rekayasa teknis dan APD. a
Rekayasa Teknik Pengendalian
secara rekayasa
teknik yaitu
dengan penggunaan
drill machine
yang mempunyai perangkat
dust
commit to user 69
collector
sehingga debu yang dihasilkan ketika pengeboran tidak terlalu banyak terakumulasi di udara ketika dilakukan inspeksi
hasil pengeboran. Hal ini dimaksudkan agar paparan debu di udara pada area
blasting
dapat berkurang konsentrasinya. b
Alat Pelindung Diri Pengendalian dengan APD melalui pemakaian masker saat
melakukan inspeksi hasil pengeboran oleh inspektor. Dengan pengendalian yang telah dilakukan ini, bahaya debu
pada aktivitas inspeksi hasil pengeboran masuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima. Meskipun
drill machine
yang dimiliki oleh PT. Cipta Kridatama sudah dilengkapi
dust collector
yang dapat menghisap debu bor sehingga tidak banyak memapari
blasting crew
dan tidak menyebabkan gangguan kesehatan akibat terpapar debu. Pengendalian
belum sepenuhnya efektif dikarenakan monitoring pengukuran kadar debu di area pengeboran di PT. Cipta Kridatama belum dilakukan
sehingga belum sesuai dengan SE Menaker No. 1 Tahun 1997 tentang NAB Faktor Kimia di Tempat Kerja.
2 Pemasangan Rambu Peringatan Peledakan
Penilaian risiko dari bahaya debu pada aktivitas ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 2 dan
severity
: 2 sehingga nilai risikonya 8 dengan tingkat risiko low. Pengendalian bahaya debu dalam aktivitas
ini dilakukan dengan metode rekayasa teknik dan APD.
commit to user 70
a Rekayasa Teknik
Pengendalian secara
rekayasa teknik
yaitu dengan
penyiraman jalan
hauling
dimana digunakan kendaraan sarana untuk mobilitas pemasangan rambu. Penutupan kabin kendaraan
sarana juga dapat mengendalikan besarnya paparan debu terhadap
man power
. b
Alat Pelindung Diri Pengendalian juga dengan pemakaian masker dan
safety glasses
saat melakukan pemasangan rambu peringatan peledakan oleh
blasting crew
. Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini bahaya
debu pada aktivitas pemasangan rambu peringatan peledakan termasuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima. Pengendalian telah efektif
karena tidak terdapat keluhan gangguan kesehatan akibat debu yang memapari
man power.
Hal ini telah sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3 ayat 1 poin m, yang
menyatakan “Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan
angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran ”
3 Pengangkutan bahan peledak dengan ANFO
Truck
Debu yang ada terdapat di jalan
hauling
berpotensi untuk memapari pekerja yang mengendarai ANFO
truck.
Penilaian risiko dari bahaya debu pada aktivitas ini dengan
probability
: 2,
frequency
:
commit to user 71
2 dan
severity
: 2 sehingga nilai risikonya 8 dengan tingkat risiko
low
. Pengendalian bahaya debu dalam aktivitas ini dilakukan dengan
metode rekayasa teknik yaitu dengan penutupan rapat kaca kabin ANFO
truck
saat melakukan pengangkutan dan pengembalian bahan peledak oleh
blasting crew
. Penyiraman jalan
hauling
dengan
water truck
juga dilakukan agar debu tidak terlalu banyak berterbangan. Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini bahaya
debu pada aktivitas pengangkutan dan pengembalian bahan peledak dengan ANFO
truck
masuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima. Pengendalian telah efektif karena ANFO
truck
sudah dilengkapi kabin yang masih berfungsi dengan baik. Selain itu penyiraman juga telah
dilakukan secara rutin dengan jumlah
water truck
yang memadai. Hal ini telah sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja pasal 3 ayat 1 poin m, yang menyatakan “Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran
”. 4
Pengisian Bahan Peledak Penilaian risiko dari bahaya debu pada aktivitas ini dengan
probability
: 2
, frequency
: 2 dan
severity
: 2 sehingga nilai risikonya 8 dengan tingkat risiko
low
. Pengendalian bahaya debu dalam aktivitas ini dilakukan dengan penggunaan administrasi dan APD.
commit to user 72
a Administrasi
Pengendalian secara administrasi yaitu dengan pengisian bahan peledak tidak dilakukan sebelum semua lubang handak
selesai dibor dan diinspeksi. Hal ini dimaksudkan agar debu yang berhamburan akibat pengeboran tidak banyak memapari
blasting crew.
Hal ini juga untuk mencegah jika tiba-tiba
drill machine
mengalami
break down
kerusakan maka peledakan masih dapat dihentikan. Jika bahan peledak sudah dimasukkan ke dalam lubang
maka harus diledakkan untuk mencegah terjadinya peledakan tidur karena PT. Cipta Kridatama tidak memiliki izin untuk melakukan
peledakan tidur. b
Alat Pelindung Diri Pengendalian dengan APD dilakukan dengan pemakaian
safety glasses
dan masker oleh
blasting crew
. Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini bahaya
debu pada aktivitas pengisian bahan peledak termasuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima. Hal ini telah sesuai dengan Undang-undang
No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3 ayat 1 poin m, yang menyatakan “Mencegah dan mengendalikan timbul atau
menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran
”. Meskipun demikian, pengendalian belum efektif karena kesadaran dan
commit to user 73
kedisiplinan penggunaan alat pelindung diri berupa kacamata dan masker masih belum maksimal.
5 Penutupan Lubang dengan Tanah
Stemming
Penilaian risiko dari bahaya debu pada aktivitas penutupan lubang dengan tanah
stemming
ini dengan
probability
: 2
, frequency
: 2 dan
severity
: 2 sehingga nilai risikonya 8 dengan tingkat risiko
low
. Debu berasal dari serbuk tanah pengeboran yang dapat menyebabkan
iritasi mata dan gangguan pernapasan. Pengendalian bahaya debu dalam aktivitas ini dilakukan dengan penggunaan APD yaitu
pemakaian
safety glasses
dan masker oleh
blasting crew
. Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini bahaya
debu pada aktivitas Penutupan lubang dengan tanah
stemming
termasuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima. Hal ini telah sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
pasal 3 ayat 1 poin m, yang menyatakan “Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu,
kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran
”. Adapun pengendalian tersebut masih belum efektif karena kesadaran dan kedisiplinan penggunaan alat pelindung diri
berupa kacamata dan masker masih belum maksimal. 6
Evakuasi Pemblokiran Penilaian risiko dari bahaya debu pada aktivitas ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 2 dan
severity
: 2 sehingga nilai risikonya 8
commit to user 74
dengan tingkat risiko
low
. Pengendalian bahaya debu dalam aktivitas ini dilakukan dengan metode rekayasa teknik dan APD.
a Rekayasa Teknik
Pengendalian secara
rekayasa teknis
yaitu dengan
penggunaan unit berkabin pada saat evakuasi. Unit sarana yang biasa dipakai adalah unit
Light Vehicle
LV. Pengendalian yang lain adalah dengan penyiraman jalan
hauling
dengan
water truck
untuk mengurangi hamburan debu. b
Alat Pelindung Diri Pengendalian dengan APD dilakukan ketika
blastguard
keluar unit sarana saat pemblokiran akses masuk ke area peledakan maka harus menggunakan masker untuk melindungi pernapasan
dan
safety glasses
untuk melindungi mata dari debu yang berterbangan.
Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini bahaya debu pada aktivitas evakuasi pemblokiran termasuk dalam kriteria
risiko yang dapat diterima. Pengendalian telah efektif karena kendaraan sarana sudah dilengkapi kabin yang dapat berfungsi dengan
baik sebagai pelindung dari debu. Selain itu penyiraman juga telah dilakukan secara rutin dengan jumlah
water truck
yang memadai. Hal ini telah sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja pasal 3 ayat 1 poin m, yang menyatakan “Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu,
commit to user 75
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran
”. 7
Inspeksi Hasil Peledakan Penilaian risiko dari bahaya debu pada aktivitas ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 2 dan
severity
: 2 sehingga nilai risikonya 8 dengan tingkat risiko
low
. Pengendalian bahaya debu dalam aktivitas ini secara administrasi dan APD.
a Administrasi
Pengendalian secara administrasi yaitu dengan pengaturan waktu melakukan inspeksi hasil peledakan. Hal ini dimaksudkan
agar paparan debu di udara pada area
blasting
dapat berkurang konsentrasinya. Dalam prosedur peledakan PT. Cipta Kridatama
menetapkan pemeriksaan hasil peledakan dilakukan 15 menit setelah eksekusi peledakan.
b Alat Pelindung Diri
Pengendalian secara APD dengan pemakaian masker saat melakukan inspeksi hasil peledakan oleh inspektor.
Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini, bahaya debu pada aktivitas inspeksi hasil peledakan termasuk dalam kriteria
risiko yang dapat diterima. Hal ini telah sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3 ayat 1 poin m,
yang menyatakan “Mencegah dan mengendalikan timbul atau
commit to user 76
menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran
”. Akan tetapi pengendalian terhadap bahaya ini belum efektif karena
pada pengendalian administrasi dimana inspeksi hasil peledakan seharusnya dilakukan 15 menit setelah eksekusi peledakan namun
kenyataan di lapangan pelaksanaan inspeksi tersebut dilakukan dalam waktu kurang dari 15 menit setelah eksekusi peledakan. Hal ini tidak
sesuai dengan prosedur pelaksanaan inspeksi hasil peledakan sehingga harus disosialisalikan kembali prosedur yang benar terkait
timming
pelaksanaan inspeksi hasil peledakan.
f.
Bahaya
Premature Blast
Bahaya
premature blast
bersumber pada eksekusi peledakan dimana rangkaian bahan peledak meledak sebelum diledakkan dan tanpa adanya
kontrol. Bahaya ini mungkin terjadi pada
misfire
peledakan mangkir maupun
sleep blast
peledakan tidur. Bahaya
premature blast
juga bersumber pada ledakan tanpa kendali pada pembongkaran bahan
Ammoniun Nitrate, Fuel Oil
dan
Accecoris
peledakan di gudang handak. Adapun peledakan pada dasarnya dipicu oleh adanya panas, getaran,
gesekan, pukulan, arus listrik liar dan medan magnet. Sambaran petir ketika cuaca mendung hujan juga dapat mengakibatkan
premature blast
jika menyambar rangkaian
accecoris
di area peledakan.
commit to user 77
1 Peledakan Mangkir
Misfire Misfire
adalah peledakan gagal yang disebabkan oleh karena rangkaian bahan peledakan yang kurang sempurna. Walaupun operasi
peledakan di area PT. Cipta Kridatama site Mahakam Sumber Jaya telah dilakukan oleh orang yang terlatih bersertifikasi KIM Kartu Ijin
Meledakkan akan tetapi peledakan mangkir terkadang masih terjadi. Hal ini berpotensi terjadi
premature blast
jika tidak dilakukan penanganan yang cepat dan tepat. Kejadian
premature blast
ini mungkin dipicu oleh kabel yang terkelupas sambungan bocor atau
sumbu yang mengalami konsleting apalagi jika terkena air. Penilaian risiko dari bahaya debu pada aktivitas ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 1 dan
severity
: 30 sehingga nilai risikonya 60 dengan tingkat risiko
high
. Tindakan pengendalian yang telah dilakukan secara rekayasa
teknis maupun administrasi yang disesuaikan dengan IK Instruksi Kerja Penanganan
Misfire
yang telah dibuat oleh PT. Cipta Kridatama antara lain :
a Inspeksi Hasil Peledakan oleh
Blasting Crew
. Inspeksi ini dilakukan setelah asap dan debu peledakan
habis tidak terakumulasi di area peladakan. Inspeksi ini bertujuan untuk mengetahui adanya lubang yang belum meledak sehingga
dapat ditentukan langkah peledakan ulang sesuai dengan prosedur peledakan normal atau dilakukan langkah penundaan peledakan
commit to user 78
karena jumlah lubang yang belum meledak terlalu banyak dan tingkat kesulitan penanganan
misfire
tersebut. b
Bila penanganan
misfire
tidak dapat dilakukan karena menjelang malam maka :
1 Area
blasting
harus diberi pita barikade. 2
Larangan masuk kecuali juru ledak atau orang lain yang ditunjuknya.
3 Semua unit harus tetap dievakuasi minimal 500 m dari area
blasting
. 4
Pelaksanaan Instruksi Kerja Peledakan Tidur
Sleep Blast
. c
Bila
misfire
ditemukan pada saat proses
loading
dengan alat berat
excavator
di area bekas
blasting
maka : 1
Operator alat berat tersebut dilarang melanjutkan kegiatannya. 2
Pemasangan segera
sign
peledakan dan pagar pembatas supaya tidak terganggu oleh aktifitas penggalian dan
diinformasikan pada
Operation Foreman
terkait hal tersebut. 3
Pengeluaran ANFO dengan penyemprotan air bertekanan ke dalam lubang sampai ANFO itu larut dan bisa diambil
primernya, selanjutnya dibawa ke gudang handak untuk dihancurkan.
4 Setelah penanganan selesai, semua
sign
dan pita pembatas diambil dan diinformasikan pada
Production Foreman
bahwa tempat tersebut sudah aman.
commit to user 79
Pengendalian ini telah sesuai dengan Kepmentamben No. 555 tahun 1995 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja
Pertambangan Umum Pasal 79 mengenai Peledakan Mangkir. Walaupun pengendalian disesuaikan dengan ketetapan
perundangan dan IK
Misfire
akan tetapi pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini bahaya
premature blast
pada
misfire
masuk dalam kriteria risiko yang tidak dapat diterima sehingga
pengendalian belum efektif. Hal ini dikarenakan tingkat risiko
premature blast
pada peledakan mangkir ini tergolong pada tingkat
high
. Pengendalian lanjutan diperlukan untuk menurunkan tingkat
risiko tidak dapat diterima ketingkat kriteria yang dapat diterima. Pengendalian lanjutan tersebut adalah dengan administrasi yaitu
melakukan evaluasi
sub contractor
terkait teknik perangkaian
accecoris
peledakan dan cara penanganan
misfire
. PT. Cipta Kridatama bekerja sama dengan PT. MCB Mega Cakra Baharu
sebagai pelaksana lapangan aktivitas
blasting.
Dengan evaluasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan aspek
keselamatan perangkaian
accecoris
sehingga dapat mengurangi terjadinya
misfire
yang berpotensi menimbulkan
premature blast
. Melalui evaluasi tersebut diharapkan juga dapat meningkatkan
keahlian teknik penanganan
misfire
sesuai dengan IK Penanganan
Misfire
PT. Cipta Kridatama.
commit to user 80
2 Peledakan Tidur
Sleep Blast Sleep Blast
dapat terjadi jika eksekusi peledakan tidak dapat dilaksanakan sampai menjelang malam yaitu pukul 18.00 dengan
konsekuensi peledakan diinapkan untuk diledakkan di hari
shift
berikutnya. PT. Cipta Kridatama tidak mempunyai ijin untuk melakukan peledakan tidur
sleep blast
oleh karena itu eksekusi peledakan harus dilakukan sebelum pukul 18.00. Jika rangkaian bahan
peledak terpaksa menginap maka potensi bahaya yang terjadi adalah meledak dengan tiba-tiba
premature blast
. Hal ini mungkin terjadi jika primer yang terdiri dari
detonator
dan
booster
di dalam lubang memuai dan terbakar karena panas ruangan lubang yang sudah tertutup oleh tanah. Sedangkan suhu
standar penyimpanan untuk bahan peledak adalah tidak boleh melebihi 55
derajat celcius
dan untuk detonator adalah tidak boleh melebihi 35
derajat celcius
. Jika area peledakan tidur tiba-tiba dimasuki alat berat tanpa bisa
dicegah juga bisa menyebabkan terjadi
premature blast
karena hentakan dan getaran alat berat yang menginjak lubang ledak yang
berisi primer dan bahan peledak. Bila kabel terinjak dan terkelupas sehingga sambungan rangkaian kabel bocor maka dengan terjadinya
konsleting juga dapat menyulut
premature blast.
Untuk melakukan tindakan pengendalian terhadap peledakan tidur dilaksanakan secara administrasi dan rekayasa teknis dan telah
commit to user 81
disesuaikan dengan Instruksi Kerja Penanganan Peledakan Tidur yang dimiliki oleh PT. Cipta Kridatama antara lain :
a Inspeksi hasil peledakan oleh
blasting crew
. Tujuan inspeksi ini adalah agar dapat diidentifikasi sebab
terjadinya dan bagaimana rencana penanganannya akan dilakukan. b
Pemasangan
safety line
, rambu dilarang masuk, rambu larangan menggunakan
handphone
dan radio serta rambu larangan merokok. Pembuatan tanggul di sekeliling area peledakan juga dilakukan
untuk mencegah area dimasuki unit tanpa ijin. c
Area tambang harus mendapat pengawasan secara penuh dan semua supervisor harus mengetahui tanda area peledakan tidur
selama proses pergantian
shift
dari awal hingga akhir. d
Area peledakan harus dijaga ketat dan larangan masuk bagi yang tidak berkepentingan.
e Penghubung rangkaian peledakan harus dilepas dan semua
Nonel downline
detonator yang memanjang ke permukaan akan digulung dengan aman guna memperpendek ukuran
downline
di atas permukaan.
f Pembuatan berita acara yang harus diketahui
OSHE Departemen Head
dan
Project Manager. Project Manager
harus melaporkan insiden
sleep blast
peledakan tidur ini kepada KTT Kepala Teknik Tambang dalam hal ini adalah KTT
Owner
yaitu PT. Mahakam Sumber Jaya. Sedangkan KTT PT. Mahakam Sumber
commit to user 82
Jaya harus melaporkan insiden ini kepada KIT Kepala Inspeksi Tambang setempat.
Pengendalian ini telah sesuai dengan Kepmentamben No. 555 tahun 1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan
Umum Pasal 78 mengenai peledakan tidur. Walaupun perencanaan penanganan sudah disesuaikan dengan
ketetapan perundangan dan IK Penanganan Peledakan Tidur akan tetapi pengendalian bahaya
premature blast
pada peledakan tidur ini masi termasuk dalam kriteria risiko yang tidak dapat diterima. Hal ini
dikarenakan tingkat risiko
premature blast
pada peledakan tidur ini tergolong pada tingkat
high
. Pengendalian lanjutan diperlukan untuk menurunkan tingkat
risiko agar turun ke tingkat kriteria yang dapat diterima. Pengendalian lanjutan tersebut adalah dengan melakukan resosialisasi rutin kepada
blasting crew
maupun kepada
sub contractor
terkait dengan IK penanganan peledakan tidur. Resosialisasi rutin ini bisa dilakukan
melalui
meeting weekly
maupun Pembicaraan 5 Menit P5M sebelum memulai pekerjaan.
3 Ledakan di Gudang Handak
Bahaya
premature blast
juga bersumber pada ledakan tanpa kendali pada penyimpanan bahan
Ammoniun Nitrate, Fuel Oil
dan
Accecoris
peledakan di gudang handak. Bahaya tersebut dapat terjadi sebagai akibat penggunaan HP, radio tangan, maupun aktivitas
commit to user 83
merokok di area gudang handak. Karena api panas dan sinyal gelombang getar bisa memicu ledakan. Jika ledakan ini terjadi
kemungkinan juga akan memicu terjadinya kebakaran. Penilaian risiko dari bahaya
premature blast
pada penyimpanan bahan peledak di gudang handak dengan
probability
: 2,
frequency
: 1 dan
severity
: 25 sehingga nilai risikonya 50 dengan tingkat risiko
high
. Pengendalian bahaya
premature blast
di area gudang handak dilakukan secara administrasi dan rekayasa teknis antara lain :
a Pemasangan rambu peringatan di area gudang handak. Rambu
peringatan itu berisi larangan menggunakan HP, radio komunikasi dan merokok serta larangan masuk bagi yang tidak berkepentingan
di area gudang handak. b
Thermometer
yang ditempatkan di dalam ruang penimbunan. c
Pemasangan alat pemadam api yang diletakkan ditempat yang mudah dijangkau di luar bangunan gudang.
d Sekitar gudang bahan peledak harus dilengkapi lampu penerangan.
Rumah jaga harus dibangun di luar gudang dan dapat untuk mengawasi sekitar gudang dengan mudah.
e Sekeliling lokasi gudang bahan peledak telah dipasang pagar
pengaman yang dilengkapi dengan pintu yang dapat dikunci. f
Untuk masuk ke dalam gudang hanya diperbolehkan menggunakan lampu senter kedap gas. Dilarang memakai sepatu yang
commit to user 84
mempunyai alat besi, membawa korek api atau barang-barang lain yang dapat menimbulkan bunga api ke dalam gudang.
g Sekeliling gudang bahan peledak peka detonator harus dilengkapi
tanggul pengaman yang tingginya 2 dua meter dan lebar bagian atasnya 1 satu meter apabila pintu masuk berhadapan langsung
dengan pintu gudang, harus dilengkapi dengan tanggul sehingga jalan masuk hanya dapat dilakukan dari samping.
Pengendalian ini telah sesuai dengan Kepmentamben No. 555 tahun 1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan
Umum Pasal 54 mengenai pengamanan gudang bahan peledak. Pengendalian bahaya
premature blast
di area gudang handak sudah disesuaikan dengan ketetapan perundangan akan tetapi
pengendalian tersebut masih termasuk dalam kriteria risiko yang tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan tingkat risiko
premature blast
pada gudang handak ini tergolong pada tingkat
high
. Pengendalian lanjutan diperlukan untuk menurunkan tingkat
risiko agar turun ke tingkat kriteria yang dapat diterima. Pengendalian lanjutan tersebut secara administrasi yaitu dengan memperketat
pengawasan pengamanan selama 24 jam terhadap potensi bahaya yang dapat menyebabkan terjadinya
premature blast
di gudang handak. 4
Ledakan karena Sambaran Petir Bahaya
premature blast
dapat juga dipicu oleh sambaran petir. Kebocoran rangkaian
accecoris
peledakan karena kabel terkelupas
commit to user 85
dapat tersambar petir saat hujan turun atau cuaca mendung. Penilaian risiko dari bahaya ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 1 dan
severity
: 25 sehingga nilai risikonya 50 dengan tingkat risiko high. Pengendalian bahaya
premature blast
karena sambaran petir ini dengan metode subtitusi yaitu dengan penggantian detonator elektrik
dengan detonator non elektrik nonel. Hal ini dikarenakan detonator nonel tidak terpicu oleh listrik akan tetapi oleh inisiasi sinyal.
Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini bahaya ledakan dikarenakan sambaran petir masih termasuk dalam kriteria
risiko yang tidak dapat diterima sehingga diperlukan pengendalian lanjutan.
Pengendalian lanjutan secara administrasi yaitu pengaturan waktu pelaksanaan
blasting
yaitu dilakukan pada waktu cuaca sedang cerah dan menyegerakan eksekusi
blasting
saat cuaca tiba-tiba mendung.
g. Bahaya Kebisingan
Kebisingan ini bersumber pada penggunaan
diesel
sebagai penggerak
mixing machine
sehingga menimbulkan kebisingan memapari pekerja yang melakukan
mixing
bahan peledak. Kebisingan selain memapari pendengaran
man power
juga memapari lingkungan. Penilaian risiko dari bahaya ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 3 dan
severity
: 2 sehingga nilai risikonya 12 dengan tingkat risiko medium.
commit to user 86
Pengendalian bahaya terpapar kebisingan ini dengan APD yaitu pengguanaan
ear plug
sebagai alat pelindung pendengaran. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi paparan kebisingan ke dalam telinga.
Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini, bahaya kebisingan masuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima akan tetapi pengendalian
belum efektif dikarenakan
man power
masih belum tertib dalam menggunakan
ear plug
sebagai alat pelindung pendengarannya. Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi kesadaran dan ketertiban
pemakaian APD melalu induksi maupun
safety talk
. Pengukuran faktor fisika kebisingan di area ini juga belum dilakukan sehingga belum
memenuhi persyaratan perundangan yaitu Kepmenaker No. 51 Tahun 1999 tentang NAB Faktor Fisika di Tempat Kerja pasal 3 mengenai
Kebisingan. h.
Bahaya Paparan Panas Bahaya ini memapari
blasting crew
dalam aktivitasnya di area peledakan berupa pengisian bahan peledak
charging
, penutupan lubang dengan tanah
stemming
dan perangkaian
accecoris
peledakan. Paparan terik panas matahari tersebut dapat menyebabkan dehidrasi maupun
heat stress
pada
blasting crew
. Penilaian risiko terhadap dari bahaya ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 2 dan
severity
: 2 sehingga nilai risikonya 8 dengan tingkat risiko
low
. Pengendalian bahaya paparan panas ini adalah dengan metode administrasi dan APD.
commit to user 87
1 Administasi
Pengendalian secara administrasi yaitu dengan penyediaan air minum dalam wadah galon air minum di area
blasting
agar
blasting crew
dapat segera minum jika kehausan. 2
Alat Pelindung Diri Pengendalian dengan APD dilakukan dengan pemakaian helm,
pakaian kerja, sarung tangan dan
safety shoes.
Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini, bahaya paparan panas termasuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima.
Meskipun
dehidrasi
maupun
heat stress
dapat ditanggulangi dengan penyediaan air minum dan pemakiaan APD. Pengendalian tersebut belum
efektif karena monitoring pengukuran iklim kerja belum dilakukan sehingga belum memenuhi persyaratan perundangan Kepmenaker No. 51
Tahun 1999 tentang NAB Faktor Fisika di Tempat Kerja pasal 2 mengenai Iklim Kerja.
i. Bahaya Kontaminasi Bahan Kimia
Aktivitas yang dapat menyebabkan kontaminasi bahan kimia ini adalah pembongkaran
Ammonium Nitrate
,
mixing
menggunakan ANFO
Mixer
, dan pengisian bahan peledak. Bahaya kontaminasi ini bersumber dari penggunaan bahan peledak yaitu
Ammonium Nitrate Fuel Oil
ANFO yang dapat tertelan, terhirup, masuk mata maupun kulit. Penilaian risiko
dari bahaya ini dengan
probability
: 3,
frequency
: 2 dan
severity
: 3 sehingga nilai risikonya 18 dengan tingkat risiko medium.
commit to user 88
Pengendalian bahaya kontaminasi bahan kimia ini adalah dengan penggunaan alat pelindung diri lengkap berupa
helm, safety glasses
, masker, pakaian kerja, dan
safety shoes
. Pengendalian ini telah sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
pasal 2 ayat 1 poin h yang menyatakan “Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis, peracunan,
infeksi dan penularan”. Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini, bahaya
kontaminasi bahan kimia masuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima akan tetapi pengendalian belum efektif dikarenakan
man power
masih belum tertib dalam menggunakan alat pelindung diri. Oleh karena itu perlu
adanya resosialisasi kesadaran dan ketertiban memakai APD melalui induksi maupun
safety talk
. j.
Bahaya Tumpahan Bahan Kimia Bahaya ini bersumber pada proses pembongkaran
Ammonium Nitrate, mixing
bahan peledak, pewadahan ANFO ke dalam karung, pengangkutan ANFO ke area
blasting
dan pengangkutan sisa ANFO yang tidak digunakan dalam pengisian lubang peledak. Tumpahan bahan kimia
berupa ANFO ini dapat dikelompokkan dalam 2 area yaitu area gudang handak dan jalan
hauling
. 1
Area gudang handak Tumpahan bahan kimia di area ini bersumber pada aktivitas
pembongkaran
Ammonium Nitrate, mixing
bahan peledak, pewadahan
commit to user 89
ANFO ke dalam karung. Tumpahan bahan kimia ini dapat menyebabkan pencemaran tanah. Penilaian risiko dari bahaya ini
dengan
probability
: 3,
frequency
: 3 dan
severity
: 2 sehingga nilai risikonya 18 dengan tingkat risiko medium. Pengendalian bahaya
tumpahan bahan kimia pada aktivitas pembongkaran
Ammonium Nitrate
dengan rekayasa teknis dan administrasi. a
Rekayasa Teknik Pengendalian secara rekayasa teknik berupa penggunaan alat
angkat angkut yaitu
forklift
sehingga pembongkaran
Ammonium Nitrate
dapat dilakukan dengan lebih aman. Untuk aktivitas
mixing
bahan peledak dan pewadahannya dilakukan di area khusus yaitu
mixing pad
yang kedap air sehingga jika ada tumpahan dapat terkumpul dan tidak langsung mencemari tanah.
b Administrasi
Pengendalian secara administrasi adalah dengan persyaratan pengoperasian
forklift
bersertifikasi Surat Ijin Operasi SIO baik dalam aktivitas pembongkaran maupun
mixing
ANFO. Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini, bahaya
tumpahan bahan kimia termasuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima. Pengendalian telah efektif karena tidak terdapat kecelakaan
lingkungan pencemaran lingkungan yang terjadi karena tumpahan lebih dari 50 liter bahan kimia ANFO. Pengendalian juga merupakan
pencegahan pencemaran tanah khususnya di area gudang handak, hal
commit to user 90
ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah.
2 Jalan
hauling
Tumpahan bahan kimia pada area ini bersumber pada aktivitas pengangkutan ANFO ke area
blasting
dan pengangkutan sisa ANFO yang tidak digunakan dalam pengisian lubang peledak. Tumpahan
bahan kimia di jalan
hauling
dapat menyebabkan pencemaran tanah. Penilaian risiko dari bahaya ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 2 dan
severity
: 3 sehingga nilai risikonya 12 dengan tingkat risiko medium
.
Pengendalian bahaya tumpahan bahan kimia pada aktivitas pengangkutan bahan peledak melalui jalan
hauling
dengan ANFO
truck
ini dilakukan dengan metode administrasi antara lain : Pelaksanaan induksi tentang peraturan keselamatan berlalu lintas di
tambang, kelengkapan alat keselamatan transportasi berupa lampu
rotary
, sabuk pengaman,
double garden
4x4 WD, radio komunikasi dan bendera khusus pertanda
emergency
untuk didahulukan pada kendaraan pengangkut yaitu bendera merah, kelengkapan keselamatan
jalan berupa pemasangan rambu-rambu lalu lintas dan Pelaksanaan Pemeriksaan Harian P2H terhadap kendaraan sebelum dioperasikan.
Keselamatan pengangkutan bahan peledak di jalan
hauling
menentukan keselamatan bahan peledak dari tumpahan. Hal ini dikarenakan potensi bahaya unit terguling dapat menyebabkan
tumpahan bahan kimia bahan peledak di jalan
hauling
.
commit to user 91
Pengendalian tentang keselamatan lalau lintas di jalan
hauling
ini telah sesuai dengan Kepmentamben No. 555 tahun 1995 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum Pasal 146 mengenai Peraturan Angkutan.
Penataan muatan ANFO dilakukan dengan rapi dan disesuai dengan kapasitas angkut dari ANFO
truck
. Sedangkan truck pengangkut ANFO dibedakan dengan
truck
pengangkut
accecoris
. Hal ini selain untuk mencegah tumpahan karena beban bertambah berat
juga untuk mencegah kemungkinann terjadinya ledakan jika ANFO tertumpah dan bercampur
accecoris
termasuk detonator. Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini, bahaya
tumpahan bahan kimia di area ini termasuk dalam kriteria risiko yang dapat diterima. Pengendalian ini telah efektif karena belum terjadi kasus
kecelakaan yang dialami oleh ANFO
truck
di jalan
hauling
sehingga mengakibatkan terjadi tumpahan ANFO ke lingkungan.
k. Bahaya Kecelakaan Lalu Lintas Tambang
Hal ini bersumber pada aktivitas lalu lintas di area tambang seperti aktivitas pengangkutan bahan peledak, transportasi dengan menggunakan
kendaraan sarana
Light Vehicle
LV pada saat melakukakan pemasangan rambu-rambu peringatan
blasting
, inspeksi hasil pengeboran maupun inspeksi hasil peledakan berupa interaksi dengan unit lain di jalur
hauling
, terlalu dekat dengan unit lain, maupun pada kondisi yang tidak aman
berupa jalan
hauling
licin, jalan
hauling
sempit, persimpangan jalan. Hal
commit to user 92
ini dapat menyebabkan tertabrakmenabrak, terperosok, terguling dll. Penilaian risiko dari bahaya ini dengan
probability
: 2,
frequency
: 3 dan
severity
: 3 sehingga nilai risikonya 18 dengan tingkat risiko
medium
. Pengendalian bahaya disebabkan kecelakaan lalu lintas tambang dilakukan
secara rekayasa teknis dan administrasi. 1
Rekayasa Teknik Pengendalian secara rekayasa teknik dengan pembuatan jalan
hauling
yang harus memenuhi persyaratan yaitu untuk jalan dua jalur lebar jalan angkut minimum 3 tiga kali lebar unit
terbesar, jalan satu jalur, lebar jalan angkut minimum 1,5 satu setengah kali lebar unit
terbesar.
Grade
jalan angkut maksimum 8. Setiap tikungan mempunyai
super elevasi
maksimum 2. Sepanjang jalan angkut yang disisi jurang, harus mempunyai
safety berm
yang tingginya minimum setengah tinggi roda unit terbesar. Jalan angkut harus memiliki saluran
pembuangan air
drainage
. Penampang jalan angkut harus mempunyai
cone
maksimum 2. Kekerasan permukaan jalan harus mampu dilewati
dump truck
dengan muatan maksimum. Hal ini telah sesuai dengan prosedur pembuatan dan perawatan jalan
hauling
PT. Cipta Kridatama.
2 Administrasi
Pengendalian secara administrasi yaitu dengan pelaksanaan training
Defensive Driving Course
DDC, persyaratan Surat Ijin Mengemudi Perusahaan SIMPER, pelaksanaan induksi tentang
commit to user 93
peraturan keselamatan berlalu lintas di tambang, Pelaksanaan Pemeriksaan Harian P2H sebelum mengoperasikan unit, kelengkapan
alat keselamatan transportasi berupa lampu
rotary
, sabuk pengaman,
double garden
4x4 WD, radio komunikasi dan bendera serta kelengkapan keselamatan jalan berupa pemasangan rambu-rambu lalu
lintas. Pengendalian ini telah sesuai dengan Kepmentamben No. 555
tahun 1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum Pasal 146 mengenai Peraturan Angkutan.
Dengan pengendalian bahaya yang telah dilakukan ini, bahaya kecelakaan lalu lintas tambang masuk dalam kriteria risiko yang dapat
diterima. Pengendalian belum efektif karena walaupun tidak terdapat catatan kasus kecelakaan di jalan
hauling
terkait dengan mobilitas dalam aktivitas
blasting
akan tetapi kejadian
insiden near miss
akan tetapi masih sering terjadi sehingga perlu peningkatan sosialisasi tentang keselamatan
dalam lalu lintas tambang. Untuk memudahkan inventarisasi pengendalian bahaya yang belum
efektif dalam proses
blasting
di PT. Cipta Kridatama
Jobsite
Mahakam Sumber Jaya di atas, penulis sajikan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 5. Profil Bahaya Proses
Blasting
dengan Pengendalian yang Belum Efektif No
Bahaya Aktivitas
Jenis Kontrol Pengendalian
Deviasi Keterangan
1. Gas beracun Inspeksi eksekusi
blasting
Administrasi Inspeksi oleh
blasting crew
dilakukan setelah 15 menit eksekusi peledakan
Inspeksi tidak memperhatikan waktu tunda
Tidak sesuai prosedur peledakan
2. Getaran
Ground Vibration
Eksekusi
blasting
Administrasi Pengukuran
ground vibration
Belum dilakukan pengukuran
ground vibration
Belum memenuhi perundangan
3. Debu Inspeksi
eksekusi
blasting
Administrasi Inspeksi oleh
blasting crew
dilakukan setelah 15 menit eksekusi peledakan
Inspeksi tidak memperhatikan waktu tunda
Tidak sesuai prosedur peledakan
Charging, Stemming
APD Pemakaian masker dan kacamata
Pekerja sering tidak memakai APD tersebut
Pemakaian APD tidak tertib
4. Kebisingan
Mixing
handak Administrasi Pengukuran paparan kebisingan
Belum dilakukan pengukuran kebisingan mesin diesel
Belum memenuhi perundangan
APD Pemakaian
ear plug
Pekerja sering tidak memakai APD
Pemakaian APD tidak tertib
5. Paparan panas
Charging, Stemming
Administrasi Pengukuran iklim kerja Belum dilakukan pengukuran
iklim kerja di area
blasting
Belum memenuhi perundangan
6. Kontaminasi bahan kimia
Pembongkaran AN,
Mixing Charging
APD Pemakaian helm, masker, sarung
tangan, kacamata dan
safety shoes
Pekerja sering tidak memakai APD
Pemakaian APD tidak tertib
7. Kecelakaan lalu lintas
tambang Pengangkutan
handak, transport dengan
kendaraan sarana Rekayasa
teknis Pembuatan jalan sesuai standar
Masih terdapat
blind spot
, kekerasan jalan kurang
Terjadi
near miss
pada lalu lintas tambang
Administrasi Training DDC, simper, peraturan
keselamatan berkendara Pelanggaran jarak aman, batas
kecepatan Terjadi
near miss
pada lalu lintas tambang
Sedangkan pengendalian bahaya yang masih dalam kriteria yang tidak diterima
non acceptable
dalam proses
blasting
di PT. Cipta Kridatama
Jobsite
Mahakam Sumber Jaya di atas adalah pengendalian bahaya
Premature Blast.
Tabel 6. Pengendalian
Non Acceptable
Bahaya
Premature Blast
No Aktivitas Area Aspek
Pengendalian awal Pengendalian lanjutan
1.
Misfire
peledakan mangkir Penanganan dilaksanakan sesuai dengan
Instruksi Kerja Penanganan
Misfire
Evaluasi
sub contractor
terkait teknik perangkaian
accecoris
peledakan dan cara penanganan
misfire
. 2.
Slept Blast
peledakan tidur Penanganan dilaksanakan sesuai dengan
Instruksi Kerja Penanganan
Slept Blast
Resosialisasi rutin Instrusi Kerja Penanganan
Slept Blast
kepada pekerja dan
sub contractor.
3. Gudang handak
Sistem pengamanan bangunan gudang handak
Peningkatan patroli security 24 jam. 4.
Sambaran petir Subtitusi detonator elektrik dengan
detonator non elektrik. Pengaturan waktu pelaksanaan
blasting
yaitu dilakukan pada waktu cuaca cerah dan menyegerakan eksekusi
blasting
saat cuaca tiba-tiba mendung.
commit to user 96
2. Pemenuhan OHSAS 18001 : 2007 Klausul 4.3.1 “
Hazard Identification, Risk Assessment and Determining Control
” ISO 14001 : 2004 Klausul 4.3.1
“Environmental Aspect” Penerapan manajemen risiko yang dilaksanakan di PT. Cipta Kridatama
berdasarkan Prosedur Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Risiko K3L yaitu PR-00-SHE-025. Prosedur ini diterbitkan oleh
Corporate OSHE
Head Office
di Jakarta pada tanggal 9 Juli 2007 dan telah mengalami 5 kali revisi sampai sekarang. Prosedur tersebut mengacu pada beberapa standar
yaitu : OHSAS 18001:2007, ISO 14001 : 2004, ASNZS 4360 dan Permenakertrans No Per.5MEN1996 tentang SMK3.
Sedangkan pada pembahasan ini, penulis mengacu kepada dua standar yaitu OHSAS 18001 : 2007 dan ISO 14001 : 2004, karena dianggap sudah
mewakili dalam identifikasi, penilaian dan pengendalian risiko terkait aspek keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan.
a. OHSAS 18001 : 2007 Klausul 4.3.1 “
Hazard Identification, Risk Assessment and Determining Control
” Pada persyaratan OHSAS 18001 : 2007, Klausul 4.3.1
Hazard Identification, Risk Assessment and Determining Control
menyatakan bahwa
organisasi harus
menetapkan mengimplemantasikan
dan memelihara prosedur untuk melakukan identifikasi bahaya dari kegiatan
yang sedang berjalan, penilaian risiko dan menetapkan pengendalian yang diperlukan.
commit to user 97
Bila memperhatikan standar OHSAS 18001 : 2007 yang dijadikan salah satu acuan prosedur identifikasi, penilaian dan pengendalian risiko
PT. Cipta Kridatama maka dapat dikatakan bahwa prosedur tersebut dibuat berdasarkan pada usaha penyelenggaraan manajemen risiko di tempat
kerja yang telah mempertimbangkan aspek keselamatan dan kesehatan kerja dimana dalam proses produksi terdapat potensi dan faktor bahaya
yang dapat menyebabkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Dalam penerapan manajeman risiko menurut Klausul 4.3.1 OHSAS
18001 : 2007, organisasi harus mempertimbangkan beberapa persyaratan terkait prosedur identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko.
Sedangkan perusahaan telah mempertimbangkan persyaratan tersebut dalam manajemen risiko proses
blasting
di area pertambangannya antara lain :
1 Kegiatan rutin dan non rutin.
Aktivitas
blasting
di perusahaan merupakan aktivitas rutin yang dilakukan hampir setiap hari. Eksekusi peledakannya dilakukan pada
jam istirahat siang yaitu pukul 12.00 atau bila persiapan belum matang eksekusi dilakukan pada pukul 15.00. akan tetapi jika cuaca mendung
eksekusi peledakan ditunda sampai cuaca kembali cerah atau dilakukan pada hari berikutnya.
commit to user 98
2 Kegiatan seluruh personal yang mempunyai akses terhadap tempat
kerja. Setiap orang baik pekerja, sub kontraktor maupun tamu akan
diinformasikan terkait aktivitas peledakan dalam kegiatan induksi oleh OSHE
Departement
. Dimana aktivitas peledakan merupakan akivitas yang berisiko tinggi maka setiap orang yang memasuki area tambang
harus memperhatikan papan pengumuman jadwal peledakan di pintu masuk tambang dan selalu memantau aktivitas tambang melalui
channel radio “
Operation
”. 3
Perilaku
blasting crew
dan
man power
lain. Di area pertambangan,
blasting crew
merupakan tenaga kerja yang berhubungan langsung dengan kegiatan peledakan sedangkan
man power
lain yang sering berada di area
blasting
seperti
survey crew
yang melakukan pengukuran perkembangan tanah tambang. Eksekusi
peledakan tidak akan dilaksanakan sebelum semua manusia tersebut dievakuasi menuju jarak aman yaitu 500 meter dari titik peledakan.
4 Bahaya di luar aktivitas
blasting
. Lokasi area peledakan yang sering berdekatan
loading point aktif
dimana interaksi dengan unit alat berat yang sedang melakukan pemuatan
over burden
sangat sering terjadi, sehingga menyebabkan potensi bahaya kecelakaan lalu lintas yang berasal dari luar aktivitas
blasting.
commit to user 99
5 Bahaya di sekitar area kerja proses
blasting
. Area peledakan yang berdekatan dengan
high wall
mempunyai potensi bahaya longsor sehingga dapat mengancam keselamatan
blasting crew
yang bekerja di bawahnya. 6
Insfrastruktur, peralatan material yang digunakan dalam
blasting
. Pelaksanaan
blasting
tentu melibatkan baik insfrastruktur, peralatan material yang disediakan perusahaan misalnya gudang
handak, ANFO
mixer
dan handak maupun yang disediakan
sub contractor
seperti
drill machine
yang dioperasikan oleh PT. Nariki. 7
Peraturan perundangan terkait. Pelaksanaan manajemen risiko belum seluruhnya memenuhi legal
aspek peraturan perundangan. Hal ini dikarenakan ada beberapa pengukuran faktor bahaya belum dilakukan. Dapat dilihat di tabel 5.
Dalam Klausul 4.3.1 OHSAS 18001 : 2007 menyebutkan bahwa organisasi harus melakukan identifikasi bahaya, penilaian dan
pengendalian risiko K3 terkait dengan manajemen perubahan pada proses produksi. Manajemen perubahan disini merupakan pengelolaan terkait
perubahan dalam proses
blasting
seperti perubahan penggunaan peralatan dan material. Sebagai contoh dalam aktivitas
blasting
di PT. Cipta Kridatama
Jobsite
Mahakam Sumber Jaya digunakan detonator non elektrik yang menggantikan penggunaan detonator listrik. Dimana
detonator non elektrik mempunyai potensi bahaya lebih rendah daripada
commit to user 100
detonator listrik. Dengan demikian manajemen risiko telah dilakukan pada pelaksanaan manajemen perubahan di PT. Cipta Kridatama.
Selanjutnya dalam Klausul 4.3.1 OHSAS 18001 : 2007 menyebutkan bahwa pengendalian risiko yang dilakukan harus mempertimbangkan
hierarki pengendalian. Adapun perusahaan telah menetapkan dan menerapkan lima jenis pengendalian bahaya dalam HIRADC sesuai
dengan yang dinyatakan OHSAS 18001 : 2007 yaitu dengan urutan eliminasi, subtitusi, rekayasa teknik, administrasi dan alat pelindung diri.
Klausul 4.3.1 OHSAS 18001 : 2007 juga menyebutkan bahwa organisasi harus mendokumentasikan hasil HIRADC serta selalu
memutakhirkan dokumentasinya.
Perusahaan telah
melakukan dokumentasi terhadap setiap perubahan pada HIRADC. Akan tetapi upaya
pemutakhiran dokumen melalui review belum dilaksanakan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil HIRADC yang jarang dilakukan review
walaupun ada pelaporan temuan bahaya berupa
hazard report,
inspeksi dan
Pengamatan Tugas Lapangan PTL. Proses review pun sering tidak dilakukan oleh Tim HIRADC departemen terkait akan tetapi dilakukan
departemen OSHE yang seharusnya hanya sebagai pendamping dan penasehat HIRADC setiap departemen termasuk
Drill Blast Departement
yang mengurusi aktivitas
blasting
di PT. Cipta Kridatama
Jobsite
Mahakam Sumber Jaya. Dalam Klausul 4.3.1 OHSAS 18001 : 2007 menyatakan bahwa hasil
penilaian dan pengendalian risiko telah dipertimbangkan dalam
commit to user 101
menetapkan, menjalankan memelihara SMK3 oleh perusahaan. Di PT. Cipta Kridatama hasil penilaian dan pengendalian risiko telah
dipertimbangkan dalam menjalankan dan memelihara SMK3 di perusahaan akan tetapi pada kenyataannya pelaksanaannya belum
maksimal. Hal ini terbukti dari temuan deviasi pengendalian risiko yang belum efektif sesuai dengan tabel 5.
Untuk memudahkan penilaian secara kuantitatif pencapaian penerapan manajemen risiko K3L dalam proses
blasting
di perusahaan maka dilakukan penilaian dengan sistem
skoring
terkait penerapan Klausul 4.3.1 OHSAS : 2007 sebagai berikut :
Tabel 7. Pencapaian Penerapan Klausul 4.3.1 OHSAS 18001 : 2007 No
Klausul 4.3.1 OHSAS 18001:2007 Nilai
1. Ada prosedur identifikasi, penilaian dan pengendalian risiko
HIRADC pada proses
blasting
1 2.
HIRADC pada proses
blasting
telah mempertimbangkan : a.
Kegiatan rutin dan non rutin 1
b. Kegiatan seluruh personal yang mempunyai akses
terhadap tempat kerja termasuk
sub contractor
dan tamu 1
c. Perilaku
blasting crew
dan
man power
lain 1
d. Bahaya di luar aktivitas
blasting
1 e.
Bahaya di sekitar area kerja proses
blasting
1 f.
Insfrastruktur, peralatan material yang digunakan dalam
blasting
, baik yang disediakan perusahaan maupun
sub contractor
1
g. Peraturan perundangan terkait
3. Adanya identifikasi bahaya, penilaian pengendalian risiko
K3 terkait manajemen perubahan pada proses
blasting
1 4.
Pengendalian risiko pada proses
blasting
mempertimbangkan hirarki pengendalian.
1 5.
Ada dokumentasi hasil HIRADC proses
blasting
1 Bersambung…
commit to user 102
6. Dokumentasi HIRADC proses
blasting
selalu mutakhir 7.
Hasil penilaian dan pengendalian risiko telah dipertimbangkan dalam menetapkan, menjalankan
memelihara SMK3 pada proses
blasting
Jumlah
score
10 Keterangan :
Nilai 1 : jika isi klausul tersebut telah diterapkan dengan sempurna. Nilai 0 : jika isi klausul tersebut telah diterapkan tetapi masih ada
kekurangannya atau belum diterapkan sama sekali. Tingkat pemenuhan Klausul 4.3.1 OHSAS 18001:2007 setelah
dilakukan penilaian hasilnya dapat diketahui tingkat pencapaian penerapannya dengan cara:
Adapun kriteria pencapaian pemenuhan Klausul 4.3.1 OHSAS 18001 : 2007 yang dirumuskan penulis adalah sebagai berikut :
Tabel 8. Kriteria Pencapaian Klausul 4.3.1 OHSAS 18001 : 2007 No Pencapaian
Kriteria 1.
81 - 100 Sangat Baik
2. 61 - 80
Baik 3.
41 - 60 Cukup
4. 21 - 40
Kurang 5.
0 - 20 Sangat Kurang
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat pencapaian pemenuhan Klausul 4.3.1 OHSAS 18001:2007 termasuk dalam kriteria baik.
…dengan sambungan
Jumlah
score
isi klausul Jumlah total
score
isi klausul X 100
10 13
X 100 = 76,92
commit to user 103
b. ISO 14001 : 2004 Klausul 4.3.1 “Environmental Aspect”
Pada persyaratan ISO 14001 : 2004, Klausul 4.3.1
Environmental Aspects
yang menyatakan bahwa organisasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara prosedur untuk mengidentifikasi aspek
lingkungan kegiatan, produk dan jasa dalam lingkup sistem manajemen lingkungan yang dapat dikendalikan dan dapat dipengaruhi dengan
memperhitungkan pembangunan yang direncanakan atau baru, kegiatan produk dan jasa yang baru, atau yang diubah dan menentukan aspek yang
mempunyai atau dapat mempunyai dampak penting terhadap lingkungan. Bila memperhatikan prosedur identifikasi bahaya, penilaian dan
pengendalian risiko PT. Cipta Kridatama maka didapatkan bahwa dalam salah satu aspeknya yaitu penentuan keparahan
severity
telah mempertimbangkan adanya aspek
environmental
dan
community
. Aspek
environmental
berupa adanya baku mutu pembuangan limbah ke lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan,adanya pencemaran
terhadap lingkungan di area perusahaan, lingkungan masyarakat sekitar, regional maupun nasional dan peringatan keras serta tuntutan pidana dari
pemerintah. Sedangkan aspek
community
biasanya merupakan imbas dari aspek
environmental
terhadap masyarakat dan pemerintah sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Menurut Klausul 4.3.1 ISO 14001 : 2004, pelaksanaan HIRADC harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
commit to user 104
a. Kondisi operasional
Dalam penerapan HIRADC di perusahaan telah memasukkan pertimbangan kondisi operasional tersebut. Hal ini dapat diketahui
dalam form HIRADC PT. Cipta Kridatama yang mencantumkan aspek kondisi operasional perusahaan. Adapun kondisi operasional tersebut
meliputi : kondisi normal, abnormal dan
emergency
. Definisi kondisi normal adalah kondisi operasional yang sesuai dengan aturan dan
persyaratan operasional perusahaan yang berlaku. Kondisi abnormal adalah kondisi atau keadaan tidak normal, baik terencana maupun tidak
terencana dan masih terkendali. Sedangkan kondisi
emergency
merupakan kondisi keadaan yang terjadi secara tiba-tiba dan dapat mengakibatkan dampak atau risiko negatif terhadap lingkungan,
peralatan dan manusia yang tidak dapat dikendalikan. b.
Aspek penting terhadap lingkungan Proses produksi selain menghasilkan produk juga menghasilkan
limbah yang dapat mencemari lingkungan sekitar berupa emisi ke udara, pembuangan ke air dan tanah, penggunaan bahan baku pancaran
energi, misalnya panas, kebisingan, getaran. Sedangkan dalam proses
blasting
di PT. Cipta Kridatama terdapat berbagai bahaya seperti bahaya tumpahan bahan kimia, bahaya paparan panas, bahaya
kebisingan, bahaya getaran
gound vibration
dimana bahaya tersebut dapat menimbulkan efek terhadap pekerja, masyarakat maupun
lingkungan.
commit to user 105
c. Peraturan perundangan terkait
Aspek peraturan perundangan yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan harus menjadi acuan manajemen lingkungan di
perusahaan. PT. Cipta Kridatama telah mencantumkan aspek perundangan terkait pengelolaan lingkungan dalam penerapan
HIRADC dalam proses
blasting
akan tetapi karena ada beberapa pengukuran faktor bahaya yang belum dilakukan maka pemenuhan
legal aspek tersebut belum maksimal. Dapat dilihat di Tabel 5. Dalam Klausul 4.3.1 ISO 14001 : 2004 juga dinyatakan bahwa
organisasi harus mendokumentasikan pengelolaan lingkungannya dan menjaga agar tetap mutakhir. Perusahaan telah melakukan dokumentasi
HIRADC yang memuat pencegahan pencemaran lingkungan. Akan tetapi upaya untuk menjaga pemutakhiran dokumentasi masih belum
maksimal dikarenakan
review
yang dilakukan masih belum rutin dan terencana maupun pada kondisi non periodik seperti ketika terjadi
insiden. Pemutakhiran dokumentasi biasanya dilakukan sebagai pemenuhan persyaratan audit.
Selanjutnya dalam Klausul 4.3.1 ISO 14001 : 2004 menyebutkan bahwa identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko terkait
aspek lingkungan digunakan merancang dan menerapkan sistem manajemen lingkungan di perusahaan. Sedangkan perusahaan sudah
menggunakan hasil HIRADC tersebut sebagai acuan perencanaan dan penerapan manajemen lingkungan akan tetapi pelaksanan actual di
commit to user 106
lapangan masih belum maksimal. Hal ini terbukti dari temuan deviasi pengendalian risiko yang belum efektif sesuai dengan tabel 5.
Penilaian kuantitatif pencapaian penerapan manajemen risiko K3L terutama aspek lingkungan di PT. Cipta Kridatama
Jobsite
Mahakam Sumber Jaya maka dilakukan penilaian dengan sistem
skoring
terkait penerapan Klausul 4.3.1 ISO : 2004 sebagai berikut : Tabel 9. Pencapaian Penerapan Klausul 4.3.1 ISO 14001 : 2004
No Penerapan ISO 14001 : 2004
Nilai 1.
Adanya prosedur identifkasi, penilaian dan pengendalian risiko terkait dengan aspek lingkungan dalam proses
blasting
1 2.
HIDADC terkait aspek lingkungan proses
blasting
mempertimbangkan : a.
Kondisi operasional normal, abnormal maupun
emergency
1 b.
Aspek penting terhadap lingkungan berupa emisi ke udara pembuangan ke air dan tanah, penggunaan bahan baku
pancaran energi, misalnya panas, kebisingan, getaran. 1
c. Peraturan perundangan terkait
3. Adanya dokumentasi pengelolaan aspek lingkungan proses
blasting
1 4.
Dokumentasi harus selalu mutakhir 5.
HIRADC terkait aspek lingkungan digunakan merancang dan menerapkan sistem manajemen lingkungan proses
blasting
Jumlah
score
4 Keterangan :
Nilai 1 : jika isi klausul tersebut telah diterapkan dengan sempurna. Nilai 0 : jika isi klausul tersebut telah diterapkan tetapi masih ada
kekurangannya atau belum diterapkan sama sekali.
commit to user 107
Tingkat pemenuhan Klausul 4.3.1 ISO 14001:2004 setelah dilakukan penilaian hasilnya dapat diketahui tingkat pencapaian
penerapannya dengan cara:
Adapun kriteria pencapaian pemenuhan Klausul 4.3.1 ISO 14001 : 2004 yang dirumuskan penulis adalah sebagai berikut :
Tabel 10. Kriteria Pencapaian Klausul 4.3.1 ISO 14001 : 2004 No Pencapaian
Kriteria 1.
81 – 100
Sangat Baik 2.
61 – 80
Baik 3.
41 – 60
Cukup 4.
21 – 40
Kurang 5.
– 20 Sangat Kurang
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat pencapaian pemenuhan Klausul 4.3.1 ISO 14001:2004 termasuk dalam kriteria
cukup. Jumlah
score
isi klausul Jumlah total
score
isi klausul X 100
4 7
X 100 = 57,14
commit to user
108
BAB V SIMPULAN DAN SARAN