Aplikasi Model Renko untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil

(1)

APLIKASI MODEL RENKO UNTUK MEMPREDIKSI POLA

PENGENDAPAN LUMPUR AKTIF DI SEDIMENTASI

AKHIR PADA SISTEM PENGOLAHAN

LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL

YONGKI RIANSONI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

RINGKASAN

YONGKI RIANSONI.F351030201. Aplikasi Model Renko untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur aktif di Sedimentasi Akhir pada Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil (Studi Kasus di PT. X Bogor). Dibawah Bimbingan NASTITI SISWI INDRASTI, SUKARDI and IGNASIUS DWI ATMANA SUTAPA.2007.

Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi zona pengendapan lumpur aktif di sedimentasi akhir. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menanggulangi masalah terbawanya lumpur ke outlet sedimentasi akhir (carry over) dan sulit mengendapnya lumpur (bulking). Penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel lumpur aktif dari sistem pengolahan limbah cair industri tekstil PT. X Bogor. Data Eksperimen diperoleh dengan melakukan pengukuran pengendapan volume lumpur selama 120 menit dalam gelas ukur 1000 ml untuk nilai konsentrasi yang berbeda. Sampel di rehomogenisasi sebelumnya dengan aerator sehingga dapat diasumsikan tidak terjadi penurunan DO (Dissolved Oxigen) secara signifikan. Untuk memperoleh konsentrasi yang lebih rendah sebagian lumpur dalam gelas ukur tersebut digantikan oleh air supernatan secara seimbang. Prosedur di atas dilakukan sampai sepuluh kurva pengendapan terbentuk. Kemudian untuk memperoleh variasi konsentrasi yang lebih luas dilakukan metode yang sama terhadap beberapa kondisi berikut yaitu kondisi 1 merupakan lumpur tanpa pengonsentrasian terlebih dulu, kondisi 2 merupakan lumpur dengan pengonsentrasian terlebih dulu selama 1 jam dan kondisi 3 merupakan lumpur dengan pengonsentrasian terlebih dulu selama 2 jam. Pengkondisian dan eksperimen pengendapan dilakukan dalam suhu ruang.

Untuk memperoleh struktur model yang sesuai maka data volume yang mengendap hasil eksperimen dikonversi ke dalam bentuk tinggi lumpur yang mengendap. Identifikasi zona pengendapan pada penelitian ini dilakukan berdasarkan modifikasi parameter model Renko berikut ini :

) ) /(( 2 2 2 ) ) ( ( ) ( ) ,

( o o t X X ho

o e X h X C X h X C h t

h α β

α β α

β + + − +

+

= . Parameter model yang

diperoleh ternyata mampu mempercepat identifikasi zona pengendapan tanpa harus melakukan eksperimen yang lama.

Hasil penelitian diperoleh bahwa tiap kondisi yang berbeda teridentifikasi beberapa karakteristik lumpur. Dalam satu kondisi bisa teridentifikasi beberapa karakteristik lumpur yang berbeda berdasarkan nilai standar indeks volume lumpur aktif (Sludge Volume Index). Berdasarkan nilai SVI dapat diidentifikasi 3 zona pengendapan yaitu zona normal mempunyai nilai SVI antara 70-120, zona antara mempunyai nilai SVI antara 120-150 dan zona bulking mempunyai nilai SVI di atas 150. Model mampu menghasilkan konstanta parameter zona pengendapan secara berurutan untuk zona normal; zona antara; zona bulking; yaitu

α

(0,0039;0.0028;0.0018),

β

(-0.3345;-0.2100;0.3580),C(2.8e-04;2.5-04;2.9.

-04). Grafik model memperlihatkan bentuk pola pengendapan yang mampu

mendekati kondisi eksperimen. Hasil Validasi model berdasarkan nilai MSE (Mean Square Error) mencatat persentase tingkat kesalahan dibawah 2.0 % untuk semua kondisi dan dibawah 5.0 % untuk ketiga zona yang teridentifikasi. Persentase nilai MSE yang masih di bawah 5.0 % menunjukan model valid dalam menggambarkan hasil eksperimen. Hasil ini jelas meningkatkan efektifitas sistem pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif dalam penanggulangan permasalahan terbawanya lumpur dan pengendapan yang sulit disedimentasi akhir.


(3)

ABSTRACT

YONGKI RIANSONI.F351030201. Application of Renko Model to predict Activated Sludge Settling of Textile Wastewater Treatment in The Final Sedimentation. Under the direction of NASTITI SISWI INDRASTI, SUKARDI and IGNASIUS DWI ATMANA SUTAPA.2007.

The aim of this research is to gain the best activated sludge settling models in the final sedimentation. This research is important for describing the settled behavior of tropical sludge such as Indonesian sludge to solved bulking and carry over problems. Sample sludge was derived from the textiles wastewater treatment PT. X Bogor. Experimental data was collected from batch settling test with 1000 ml cylinder glass. Sample sludge was re-homogenized with aerator therefore it can be assumed there was no significant DO lost. To set up an experiment at lower sludge concentration, part of the sludge in the device was subsequently replaced by supernatant and a new settling curve was recorded. This procedure repeated until ten settling curves were recorded. Then to get wide interval concentration (4000-8000 mg/l), the sludge being settled in the same method for various conditions which are: 1st condition identified as a sample sludge without further concentrated; 2nd condition identified as a sample sludge which concentrated for 1 hour and 3rd condition as a sample sludge which concentrated for 2 hour before begin the experiment. The storage and settling experiments were performed at room temperature.

In order to build appropriate models structure, experimental sludge settling data volume was converted to sludge settling height. This experiment was used the basic formulation models proposed by Renko (1996) which identified settling of the sludge blanket interface as a function of time as:

) ) /(( 2 2 2 ) ) ( ( ) ( ) ,

( o o t X X ho

o e X h X C X h X C h t

h α β

α β α

β + + − +

+

= . This model described the

relationship between settling sludge blanket interface, sludge concentration and settling time.

The result of this research identified difference sludge characteristic in every conditions. In one condition can be identified several characteristic based on difference value of Sludge Volume Index. Based on SVI we can identified three interval zone phenomenon characterized which are normal zone as settling zone with SVI between 70-120, transition zone as settling zone with SVI between 120-150, and Bulking zone as settling zone with SVI above 150. All described difference settling characteristics and curves. The system result these parameter respectively according to identified zone as : normal zone(

α

:0.0039;

β

:-0.3345; C:2.8e-04), transition zone(

α

:0.0028;

β

:-0.2100; C:2.5e-04) and bulking zone(

α

:0.0018;

β

:-0.3580; C:2.9e-04). The curve describe that models could follow behavior of settling sludge. It proved with minimal percentage Mean Square Error (MSE) of all condition less than 2.0 % and for all zone identified less than 5.0%. It means that models have high validity to explain the experimental behavior. These values certainly improved the wastewater treatment system to solve the carry over and bulking problems occurred in the final sedimentation. Key words: activated sludge, settling models, settling curves, final sedimentation


(4)

© Hak Cipta Milik LIPI-Limnologi, dan Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Diperbolehkan mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dengan menuliskan sumbernya untuk tujuan non komersial guna pengembangan IPTEK


(5)

APLIKASI MODEL RENKO UNTUK MEMPREDIKSI POLA

PENGENDAPAN LUMPUR AKTIF DI SEDIMENTASI

AKHIR PADA SISTEM PENGOLAHAN

LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL

YONGKI RIANSONI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(6)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aplikasi Model Renko untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan arahan Komisi Pembimbing kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar atau capaian akademik lainnya pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

Yongki Riansoni F351030201


(7)

Judul penelitian : Aplikasi Model Renko untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil Nama : Yongki Riansoni

NIM : F351030201

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Nastiti S. Indrasti Ketua

Dr.Ir. Sukardi, MM Dr. Ignasius D.A.Sutapa

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr.Ir. Irawadi Jamaran Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa atas segala karunia dan rahmatNya sehingga makalah tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih penulis adalah pengolahan limbah industri dengan judul Aplikasi Model Renko Untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Nastiti. S. Indrasti, Bapak Dr. Sukardi., MM dan Bapak Dr. Ignasius D.A. Sutapa selaku komisi pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan pada saudara-saudaraku Laurenciana Sampebatu, Nida el Husna, M. Fuad, Jumbriah, Ibu Nurul Asni, Iphov K Sarwana, Krishna Swasti, Rina Susanti, Ari, atas dorongan dan bantuannya. Terima kasih untuk teman-teman TIP 2003 atas sarannya. Terimakasih sangat untuk Tri Asih Dewi Agustina, Sari evyanti, Rumiyanti Anggini, Dessy Christin, Nissa, Pyan, mas Supri dan mantan penghuni pondok Agathis, pondok serena dan pondok koe atas kebersamaan dan masukannya yang berharga. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan untuk Papap, mama, Niko, Icha dan seluruh keluargaku atas doa dan dorongannya. Ucapan terima kasih juga untuk semua pihak yang membantu yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga tesis ini diterima dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Bogor, Mei 2007


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada Tanggal 24 April 1979 dari ayah Seprianes Yosep,SPd dan Ibu Euis Maria. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh di Universitas Padjadjaran Program studi Peternakan, Jurusan Produksi ternak, Fakultas Peternakan.Lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan menempuh pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dengan memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Penulis pernah menjadi Asisten Peneliti pada proyek Solid Waste Management On Farm kerjasama UNPAD dan KUD Cipanas Garut pada tahun 2002. Penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Peneliti PT. Suwon Jakarta dalam Analisis Pengembangan Program Unit Pemukiman Transmigrasi Tertinggal Se-Indonesia, kerjasama dengan Depnakertrans RI tahun 2005. Pada Tahun 2005 sampai Januari 2006 pernah bekerja sebagai Trainer Consultan of Human Resource Development PT.Fuji Bijak Prestasi Jakarta dan sebagai staff di Lembaga Riset Center For Indonesia Transform Studies (CITRAS) Jakarta. Saat ini penulis bekerja sebagai training koordinator di Risktec-Hess Indonesia-Pangkah Gresik.

Selama mengikuti program S2, penulis aktif di Forum Pasca sarjana IPB, dan Lembaga Swadaya Masyarakat PUKAT BANGSA Bogor. Penulis pernah menulis artikel tentang IPTEK dan Pengembangan Masyarakat di Koran Mitra Bangsa dan Buletin Cerah.


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa atas segala karunia dan rahmatNya sehingga makalah tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih penulis adalah pengolahan limbah industri dengan judul Aplikasi Model Renko Untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Nastiti. S. Indrasti, Bapak Dr. Sukardi., MM dan Bapak Dr. Ignasius D.A. Sutapa selaku komisi pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan pada saudara-saudaraku Laurenciana Sampebatu, Nida el Husna, M. Fuad, Jumbriah, Ibu Nurul Asni, Iphov K Sarwana, Krishna Swasti, Rina Susanti, Ari, atas dorongan dan bantuannya. Terima kasih untuk teman-teman TIP 2003 atas sarannya. Terimakasih sangat untuk Tri Asih Dewi Agustina, Sari evyanti, Rumiyanti Anggini, Dessy Christin, Nissa, Pyan, mas Supri dan mantan penghuni pondok Agathis, pondok serena dan pondok koe atas kebersamaan dan masukannya yang berharga. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan untuk Papap, mama, Niko, Icha dan seluruh keluargaku atas doa dan dorongannya. Ucapan terima kasih juga untuk semua pihak yang membantu yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga tesis ini diterima dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Bogor, Mei 2007


(11)

APLIKASI MODEL RENKO UNTUK MEMPREDIKSI POLA

PENGENDAPAN LUMPUR AKTIF DI SEDIMENTASI

AKHIR PADA SISTEM PENGOLAHAN

LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL

YONGKI RIANSONI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

RINGKASAN

YONGKI RIANSONI.F351030201. Aplikasi Model Renko untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur aktif di Sedimentasi Akhir pada Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil (Studi Kasus di PT. X Bogor). Dibawah Bimbingan NASTITI SISWI INDRASTI, SUKARDI and IGNASIUS DWI ATMANA SUTAPA.2007.

Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi zona pengendapan lumpur aktif di sedimentasi akhir. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menanggulangi masalah terbawanya lumpur ke outlet sedimentasi akhir (carry over) dan sulit mengendapnya lumpur (bulking). Penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel lumpur aktif dari sistem pengolahan limbah cair industri tekstil PT. X Bogor. Data Eksperimen diperoleh dengan melakukan pengukuran pengendapan volume lumpur selama 120 menit dalam gelas ukur 1000 ml untuk nilai konsentrasi yang berbeda. Sampel di rehomogenisasi sebelumnya dengan aerator sehingga dapat diasumsikan tidak terjadi penurunan DO (Dissolved Oxigen) secara signifikan. Untuk memperoleh konsentrasi yang lebih rendah sebagian lumpur dalam gelas ukur tersebut digantikan oleh air supernatan secara seimbang. Prosedur di atas dilakukan sampai sepuluh kurva pengendapan terbentuk. Kemudian untuk memperoleh variasi konsentrasi yang lebih luas dilakukan metode yang sama terhadap beberapa kondisi berikut yaitu kondisi 1 merupakan lumpur tanpa pengonsentrasian terlebih dulu, kondisi 2 merupakan lumpur dengan pengonsentrasian terlebih dulu selama 1 jam dan kondisi 3 merupakan lumpur dengan pengonsentrasian terlebih dulu selama 2 jam. Pengkondisian dan eksperimen pengendapan dilakukan dalam suhu ruang.

Untuk memperoleh struktur model yang sesuai maka data volume yang mengendap hasil eksperimen dikonversi ke dalam bentuk tinggi lumpur yang mengendap. Identifikasi zona pengendapan pada penelitian ini dilakukan berdasarkan modifikasi parameter model Renko berikut ini :

) ) /(( 2 2 2 ) ) ( ( ) ( ) ,

( o o t X X ho

o e X h X C X h X C h t

h α β

α β α

β + + − +

+

= . Parameter model yang

diperoleh ternyata mampu mempercepat identifikasi zona pengendapan tanpa harus melakukan eksperimen yang lama.

Hasil penelitian diperoleh bahwa tiap kondisi yang berbeda teridentifikasi beberapa karakteristik lumpur. Dalam satu kondisi bisa teridentifikasi beberapa karakteristik lumpur yang berbeda berdasarkan nilai standar indeks volume lumpur aktif (Sludge Volume Index). Berdasarkan nilai SVI dapat diidentifikasi 3 zona pengendapan yaitu zona normal mempunyai nilai SVI antara 70-120, zona antara mempunyai nilai SVI antara 120-150 dan zona bulking mempunyai nilai SVI di atas 150. Model mampu menghasilkan konstanta parameter zona pengendapan secara berurutan untuk zona normal; zona antara; zona bulking; yaitu

α

(0,0039;0.0028;0.0018),

β

(-0.3345;-0.2100;0.3580),C(2.8e-04;2.5-04;2.9.

-04). Grafik model memperlihatkan bentuk pola pengendapan yang mampu

mendekati kondisi eksperimen. Hasil Validasi model berdasarkan nilai MSE (Mean Square Error) mencatat persentase tingkat kesalahan dibawah 2.0 % untuk semua kondisi dan dibawah 5.0 % untuk ketiga zona yang teridentifikasi. Persentase nilai MSE yang masih di bawah 5.0 % menunjukan model valid dalam menggambarkan hasil eksperimen. Hasil ini jelas meningkatkan efektifitas sistem pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif dalam penanggulangan permasalahan terbawanya lumpur dan pengendapan yang sulit disedimentasi akhir.


(13)

ABSTRACT

YONGKI RIANSONI.F351030201. Application of Renko Model to predict Activated Sludge Settling of Textile Wastewater Treatment in The Final Sedimentation. Under the direction of NASTITI SISWI INDRASTI, SUKARDI and IGNASIUS DWI ATMANA SUTAPA.2007.

The aim of this research is to gain the best activated sludge settling models in the final sedimentation. This research is important for describing the settled behavior of tropical sludge such as Indonesian sludge to solved bulking and carry over problems. Sample sludge was derived from the textiles wastewater treatment PT. X Bogor. Experimental data was collected from batch settling test with 1000 ml cylinder glass. Sample sludge was re-homogenized with aerator therefore it can be assumed there was no significant DO lost. To set up an experiment at lower sludge concentration, part of the sludge in the device was subsequently replaced by supernatant and a new settling curve was recorded. This procedure repeated until ten settling curves were recorded. Then to get wide interval concentration (4000-8000 mg/l), the sludge being settled in the same method for various conditions which are: 1st condition identified as a sample sludge without further concentrated; 2nd condition identified as a sample sludge which concentrated for 1 hour and 3rd condition as a sample sludge which concentrated for 2 hour before begin the experiment. The storage and settling experiments were performed at room temperature.

In order to build appropriate models structure, experimental sludge settling data volume was converted to sludge settling height. This experiment was used the basic formulation models proposed by Renko (1996) which identified settling of the sludge blanket interface as a function of time as:

) ) /(( 2 2 2 ) ) ( ( ) ( ) ,

( o o t X X ho

o e X h X C X h X C h t

h α β

α β α

β + + − +

+

= . This model described the

relationship between settling sludge blanket interface, sludge concentration and settling time.

The result of this research identified difference sludge characteristic in every conditions. In one condition can be identified several characteristic based on difference value of Sludge Volume Index. Based on SVI we can identified three interval zone phenomenon characterized which are normal zone as settling zone with SVI between 70-120, transition zone as settling zone with SVI between 120-150, and Bulking zone as settling zone with SVI above 150. All described difference settling characteristics and curves. The system result these parameter respectively according to identified zone as : normal zone(

α

:0.0039;

β

:-0.3345; C:2.8e-04), transition zone(

α

:0.0028;

β

:-0.2100; C:2.5e-04) and bulking zone(

α

:0.0018;

β

:-0.3580; C:2.9e-04). The curve describe that models could follow behavior of settling sludge. It proved with minimal percentage Mean Square Error (MSE) of all condition less than 2.0 % and for all zone identified less than 5.0%. It means that models have high validity to explain the experimental behavior. These values certainly improved the wastewater treatment system to solve the carry over and bulking problems occurred in the final sedimentation. Key words: activated sludge, settling models, settling curves, final sedimentation


(14)

© Hak Cipta Milik LIPI-Limnologi, dan Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Diperbolehkan mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dengan menuliskan sumbernya untuk tujuan non komersial guna pengembangan IPTEK


(15)

APLIKASI MODEL RENKO UNTUK MEMPREDIKSI POLA

PENGENDAPAN LUMPUR AKTIF DI SEDIMENTASI

AKHIR PADA SISTEM PENGOLAHAN

LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL

YONGKI RIANSONI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(16)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aplikasi Model Renko untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan arahan Komisi Pembimbing kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar atau capaian akademik lainnya pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

Yongki Riansoni F351030201


(17)

Judul penelitian : Aplikasi Model Renko untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil Nama : Yongki Riansoni

NIM : F351030201

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Nastiti S. Indrasti Ketua

Dr.Ir. Sukardi, MM Dr. Ignasius D.A.Sutapa

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr.Ir. Irawadi Jamaran Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS


(18)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa atas segala karunia dan rahmatNya sehingga makalah tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih penulis adalah pengolahan limbah industri dengan judul Aplikasi Model Renko Untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Nastiti. S. Indrasti, Bapak Dr. Sukardi., MM dan Bapak Dr. Ignasius D.A. Sutapa selaku komisi pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan pada saudara-saudaraku Laurenciana Sampebatu, Nida el Husna, M. Fuad, Jumbriah, Ibu Nurul Asni, Iphov K Sarwana, Krishna Swasti, Rina Susanti, Ari, atas dorongan dan bantuannya. Terima kasih untuk teman-teman TIP 2003 atas sarannya. Terimakasih sangat untuk Tri Asih Dewi Agustina, Sari evyanti, Rumiyanti Anggini, Dessy Christin, Nissa, Pyan, mas Supri dan mantan penghuni pondok Agathis, pondok serena dan pondok koe atas kebersamaan dan masukannya yang berharga. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan untuk Papap, mama, Niko, Icha dan seluruh keluargaku atas doa dan dorongannya. Ucapan terima kasih juga untuk semua pihak yang membantu yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga tesis ini diterima dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Bogor, Mei 2007


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada Tanggal 24 April 1979 dari ayah Seprianes Yosep,SPd dan Ibu Euis Maria. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh di Universitas Padjadjaran Program studi Peternakan, Jurusan Produksi ternak, Fakultas Peternakan.Lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan menempuh pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dengan memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Penulis pernah menjadi Asisten Peneliti pada proyek Solid Waste Management On Farm kerjasama UNPAD dan KUD Cipanas Garut pada tahun 2002. Penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Peneliti PT. Suwon Jakarta dalam Analisis Pengembangan Program Unit Pemukiman Transmigrasi Tertinggal Se-Indonesia, kerjasama dengan Depnakertrans RI tahun 2005. Pada Tahun 2005 sampai Januari 2006 pernah bekerja sebagai Trainer Consultan of Human Resource Development PT.Fuji Bijak Prestasi Jakarta dan sebagai staff di Lembaga Riset Center For Indonesia Transform Studies (CITRAS) Jakarta. Saat ini penulis bekerja sebagai training koordinator di Risktec-Hess Indonesia-Pangkah Gresik.

Selama mengikuti program S2, penulis aktif di Forum Pasca sarjana IPB, dan Lembaga Swadaya Masyarakat PUKAT BANGSA Bogor. Penulis pernah menulis artikel tentang IPTEK dan Pengembangan Masyarakat di Koran Mitra Bangsa dan Buletin Cerah.


(20)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa atas segala karunia dan rahmatNya sehingga makalah tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih penulis adalah pengolahan limbah industri dengan judul Aplikasi Model Renko Untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Nastiti. S. Indrasti, Bapak Dr. Sukardi., MM dan Bapak Dr. Ignasius D.A. Sutapa selaku komisi pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan pada saudara-saudaraku Laurenciana Sampebatu, Nida el Husna, M. Fuad, Jumbriah, Ibu Nurul Asni, Iphov K Sarwana, Krishna Swasti, Rina Susanti, Ari, atas dorongan dan bantuannya. Terima kasih untuk teman-teman TIP 2003 atas sarannya. Terimakasih sangat untuk Tri Asih Dewi Agustina, Sari evyanti, Rumiyanti Anggini, Dessy Christin, Nissa, Pyan, mas Supri dan mantan penghuni pondok Agathis, pondok serena dan pondok koe atas kebersamaan dan masukannya yang berharga. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan untuk Papap, mama, Niko, Icha dan seluruh keluargaku atas doa dan dorongannya. Ucapan terima kasih juga untuk semua pihak yang membantu yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga tesis ini diterima dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Bogor, Mei 2007


(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada Tanggal 24 April 1979 dari ayah Seprianes Yosep,SPd dan Ibu Euis Maria. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh di Universitas Padjadjaran Program studi Peternakan, Jurusan Produksi ternak, Fakultas Peternakan.Lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan menempuh pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dengan memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Penulis pernah menjadi Asisten Peneliti pada proyek Solid Waste Management On Farm kerjasama UNPAD dan KUD Cipanas Garut pada tahun 2002. Penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Peneliti PT. Suwon Jakarta dalam Analisis Pengembangan Program Unit Pemukiman Transmigrasi Tertinggal Se-Indonesia, kerjasama dengan Depnakertrans RI tahun 2005. Pada Tahun 2005 sampai Januari 2006 pernah bekerja sebagai Trainer Consultan of Human Resource Development PT.Fuji Bijak Prestasi Jakarta dan sebagai staff di Lembaga Riset Center For Indonesia Transform Studies (CITRAS) Jakarta. Saat ini penulis bekerja sebagai training koordinator di Risktec-Hess Indonesia-Pangkah Gresik.

Selama mengikuti program S2, penulis aktif di Forum Pasca sarjana IPB, dan Lembaga Swadaya Masyarakat PUKAT BANGSA Bogor. Penulis pernah menulis artikel tentang IPTEK dan Pengembangan Masyarakat di Koran Mitra Bangsa dan Buletin Cerah.


(22)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i DAFTAR TABEL ... iii DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1 I.1. Latar belakang ... 1 I.2. Tujuan Penelitian ... 2 I.3. Ruang Lingkup ... 3 I.4. Manfaat Penelitian ... 3 I.5. Waktu dan Tempat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4 II.1. Sumber Limbah Cair Industri ... 4

II.1.1. Gambaran Proses Produksi ... 4 II.1.2. Asal Limbah Cair ... 4 II.2. Pengelolaan Limbah Cair Tekstil ... 6 II.2.1. Langkah-langkah Pengelolaan Limbah ... 6 II.2.2. Jenis-Jenis Pengolahan Limbah ... 8 II.3. Baku Mutu dan Instalasi Pengolahan Limbah ... 8 II.3.1. Baku Mutu Limbah Cair Tekstil ... 8 II.3.2. Instalasi Pengolahan Limbah ... 9 II.4. Pengolahan Limbah Cair dengan Lumpur aktif ... 10 II.4.1. Sistem Lumpur Aktif ... 10 II.4.2. Proses Koagulasi Flokulasi ... 11 II.4.3. Proses Sedimentasi ... 13 II.4.4. Karakteristik Flok ... 15 II.5. Prediksi Pola Pengendapan Lumpur ... 18 II.5.1. Teori Pemodelan Sistem ... 18 II.5.2. Pemodelan sistem untuk memprediksi

Pengendapan Lumpur ... 19

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 22 III.1. Prosedur Penelitian ... 22 III.1.1. Penentuan pH dan Temperatur ... 22 III.1.2. Penentuan DO ... 22 III.1.3. Penentuan SV30 ... 22 III.1.4. Penentuan MLSS ... 22 III.1.5. Penentuan SVI ... 23 III.1.6. Penurunan Volume Lumpur ... 23 III.1.7. Penentuan Ketinggian Lumpur ... 24 III.2. Tahapan Pembuatan Model ... 24 III.2.1. Penurunan Persamaan Model ... 26


(23)

III.2.2. Verifikasi Model ... 26 III.2.3. Validasi Model ... 26 III.3. Pengembangan Program komputasi ... 27 III.3.1. Tampilan Program ... 27 III.3.2. Sumber Data ... 28 III.3.3. Optimasi dan Validasi ... 28 III.3.4. Output hasil perhitungan ... 29 III.3.5. Simulasi ... 29 III.3.6. Time series ... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31 IV.1. Penentuan Parameter Fisika dan kimia ... 31 IV.2. Pola Pengendapan Berdasarkan Efek

Pengonsentrasian. ... 32 IV.2.1. Kondisi 1 ... 32 IV.2.2. Kondisi 2 ... 34 IV.2.3 Kondisi 3 ... 37 IV.3. Fenomena Zona Pengendapan ... 41 IV.3.1. Identifikasi Zona Pengendapan ... 41 IV.3.2. Karakteristik Zona Pengendapan ... 42 IV.4. Pembahasan ... 46 IV.4.1. Pengaruh Perlakuan terhadap Parameter Model 46 IV.4.2. Verifikasi Parameter Model ... 47 IV.4.2.1. Verifikasi Model Kondisi 1 ... 47 IV.4.2.2. Verifikasi Model Kondisi 2 ... 50 IV.4.2.3. Verifikasi Model Kondisi 3 ... 53 IV.4.3. Verifikasi Model Terhadap Zona Pengendapan 55 IV.4.3.1. Verifikasi Model Zona Normal ... 56 IV.4.3.2. Verifikasi Model Zona Antara ... 56 IV.4.3.3. Verifikasi Model Zona Bulking ... 59 IV.4.4. Validasi Model Berdasarkan Efek

Pengkonsentrasian ... 62 IV.4.4.1. Validasi Model Kondisi 1 ... 62 IV.4.4.2. Validasi Model Kondisi 2 ... 62 IV.4.4.3. Validasi Model Kondisi 3 ... 63 IV.4.5. Validasi Model berdasarkan zona pengendapan 63 IV.4.5.1. Validasi Model Nona Normal ... 63 IV.4.5.2. Validasi Model Zona Antara ... 64 IV.4.5.3. Validasi Model Zona Bulking ... 64

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 65 V.1. Kesimpulan ... 65 V.2. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67 LAMPIRAN ... 69


(24)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Baku mutu limbah cair untuk industri tekstil yang

sudah beroperasi ... 9

2 Parameter kondisi awal lumpur aktif... 31

3 Persentase volume lumpur yang mengendap untuk t=3 menit

sampai t=50 menit ... 34

4 Persentase volume lumpur yang mengendap untuk t= 60 menit

sampai t=120 menit ... 34

5 Persentase volume lumpur aktif yang mengendap dari t= 3 menit sampai t= 50 menit ... 37

6 Persentase volume lumpur aktif yang mengendap dari t= 60 menit sampai t= 120 menit ... 37

7 Persentase volume lumpur aktif yang mengendap dari t= 3 menit sampai t= 50 menit ... 40

8 Persentase volume lumpur aktif yang mengendap dari t= 60 menit sampai t= 120 menit ... 41

9 Zona pengendapan berdasarkan tipe flok yang berbeda tiap kondisi 42

10 Pengaruh pengonsentrasian terhadap nilai error model ... 47

11 Pengaruh pengonsentrasian terhadap parameter model ... 47

12 Hasil verifikasi model pengendapan lumpur aktif berdasarkan

zona pengendapan ... 56

13 Persentase nilai MSE hasil validasi dengan data baru pada

berbagai kondisi ... 62

14 Persentase nilai MSE hasil validasi dengan data baru pada


(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram Alir Proses Produksi Tekstil ... 5

2 Sistem penanganan limbah cair dengan lumpur aktif ... 11

3 Skema konseptual pola pengendapan lumpur aktif ... 14

4 Skema umum fase pengendapan lumpur terflokulasi ... 15

5 Tipe Flok Berdasarkan Keberadaan Filamennya ... 17

6 Kerangka kerja pengambilan data ketinggian lumpur,

konsentrasi,dan waktu pengendapan lumpur aktif ... 24

7 Tahapan pembuatan model simulasi pola pengendapan

Lumpur aktif pada sistem pengolahan limbah cair tekstil ... 25

8 Hubungan antar parameter pengendapan yang terlibat ... 26

9 Tampilan awal program simulasi pola pengendapan lumpur aktif 28

10 Tampilan komputasi sumber data ... 29

11 Tampilan kolom optimasi dan validasi model ... 29

12 Tampilan data plot grafik dan output perhitungan excel ... 30

13 Tampilan simulasi parameter pengendapan ... 30

14 Tampilan kolom time series polapengendapan ... 30

15 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu

pengendapan pada konsentrasi 2.5 g/l – 4.0 g/l... 32

16 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu

pengendapan pada konsentrasi 1.0 g/l – 2.0 g/l... 32

17 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu

pengendapan pada konsentrasi 4.5 g/l – 6.5 g/l... 35

18 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu

pengendapan pada konsentrasi 1.7 g/l – 4.0 g/l... 35

19 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu


(26)

v

20 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu

pengendapan pada konsentrasi 2.9 g/l – 5.6 g/l ... 38

21 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu

pengendapan pada konsentrasi 2.7 g/l sampai 4.0 g/l ... 43

22 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu

pengendapan pada konsentrasi 0.5 g/l – 2.4 g/l... 43

23 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu

pengendapan pada konsentrasi 2.8 g/l – 4.1 g/l... 45

24 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu

pengendapan pada konsentrasi 0.6 g/l – 2.0 g/l ... 45

25 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan

eksperimen dan model pada kondisi 1 dengan konsentrasi 4.0 g/l. 48

26 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan

eksperimen dan model pada kondisi 1 dengan konsentrasi 3.0 g/l. 48

27 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan

eksperimen dan model pada kondisi 1 dengan konsentrasi 2.0 g/l. 49

28 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan

eksperimen dan model pada kondiai 1 dengan konsentrasi 1.0 g/l. 49

29 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan

eksperimen dan model pada kondisi 2 dengan konsentrasi 6.5 g/l. 51

30 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan

eksperimen dan model pada kondisi 2 dengan konsentrasi 4.5 g/l. 51

31 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan

eksperimen dan model pada kondisi 2 dengan konsentrasi 3.2 g/l. 52

32 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan

eksperimen dan model pada kondisi 2 dengan konsentrasi 1.7 g/l. 52

33 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan

eksperimen dan model pada kondisi 3 dengan konsentrasi 8.0 g/l. 53

34 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan

eksperimen dan model pada kondisi 3 dengan konsentrasi 6.0 g/l. 54

35 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan


(27)

36 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan

eksperimen dan model pada kondisi 3 dengan konsentrasi 2.9 g/l. 55

37 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 4.0 g/l untuk zona

antara ... 56

38 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 3.0 g/l untuk zona

antara. ... 57

39 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 2.0 g/l untuk zona

antara. ... 57

40 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 1.0 g/l untuk zona

antara. ... 58

41 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 4.0 g/l untuk zona

bulking. ... 59

42 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 3.0 g/l untuk zona

bulking. ... 60

43 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 2.0 g/l untuk zona

bulking. ... 60

44 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 1.1 g/l untuk zona


(28)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Baku mutu limbah cair industri tekstil bagi industri baru dan

semua industri yang mulai produksi th.1995 ... 71

2 Skema Pengolahan Limbah PT X Bogor ... 72

3 Grafik volume lumpur yang mengendap terhadap waktu

pengendapan pada kondisi 1 di setiap konsentrasi pengamatan 73

4 Grafik tinggi lumpur yang mengendap terhadap waktu

pengendapan pada kondisi 1 di setiap konsentrasi pengamatan 73

5 Grafik volume lumpur yang mengendap terhadap waktu

pengendapan pada kondisi 2 di setiap konsentrasi pengamatan 74

6 Grafik tinggi lumpur yang mengendap terhadap waktu

pengendapan pada kondisi 2 di setiap konsentrasi pengamatan 74

7 Grafik volume lumpur yang mengendap terhadap waktu

pengendapan pada kondisi 3 di setiap konsentrasi pengamatan 75

8 Grafik tinggi lumpur yang mengendap terhadap waktu

pengendapan pada kondisi 3 di setiap konsentrasi pengamatan 75

9 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona normal dengan konsentrasi 4.0 g/l ... 76

10 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona normal dengan konsentrasi 3.5 g/l ... 76

11 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona normal dengan konsentrasi 3.0 g/l ... 77

12 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona normal dengan konsentrasi 2.8 g/l ... 77

13 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona normal dengan konsentrasi 2.5 g/l ... 78

14 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona normal dengan konsentrasi 2.0 g/l ... 78

15 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen


(29)

16 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona normal dengan konsentrasi 1.6 g/l ... 79

17 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona normal dengan konsentrasi 1.0 g/l ... 80

18 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona antara dengan konsentrasi 4.0 g/l ... 80

19 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona antara dengan konsentrasi 3.7 g/l ... . 81

20 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona antara dengan konsentrasi 3.4 g/l ... . 81

21 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona antara dengan konsentrasi 3.0 g/l ... . 82

22 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona antara dengan konsentrasi 2.7 g/l ... . 82

23 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona antara dengan konsentrasi 2.4 g/l ... . 83

24 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona antara dengan konsentrasi 2.0 g/l ... . 83

25 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona antara dengan konsentrasi 1.5 g/l ... . 84

26 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona antara dengan konsentrasi 1.0 g/l ... . 84

27 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona antara dengan konsentrasi 0.5 g/l ... . 85

28 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 4.1 g/l ... . 85

29 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 3.6 g/l ... . 86

30 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 3.3 g/l ... . 86

31 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen


(30)

ix

32 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 2.8 g/l ... . 87

33 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 2.5 g/l ... . 88

34 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 2.0 g/l ... . 88

35 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 1.5 g/l ... . 89

36 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 1.1 g/l ... . 89

37 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen

dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 0.7 g/l ... . 90

38 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model

kondisi 1 ... 90

39 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model

kondisi 1 ... 91

40 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model

kondisi 2 ... 91

41 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model

kondisi 2 ... 92

42 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model

kondisi 3 ... 92

43 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model

kondisi 3 ... 93

44 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model

zona normal ... 93

45 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model

zona normal ... 94

46 Grafik perbandingan ketinggian model dan data baru 1

zona normal ... 94

47 Grafik perbandingan ketinggian model dan data baru 2


(31)

48 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model

zona antara ... 95

49 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model


(32)

1

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Masalah pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah cair industri merupakan salah satu dampak negatif dari semakin berkembangnya sektor industri. Masalah ini akan menjadi serius bila tidak mendapatkan penanganan yang baik dari pihak industri yang terkait. Dampak pencemaran dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem di lingkungan sekitar industri, karena banyak bahan pencemar hasil produksi industri yang sulit terdegradasi oleh mikroorganisme pengurai di dalam tanah atau perairan.

Limbah cair industri yang berasal dari industri tekstil merupakan salah satu limbah yang mengandung banyak bahan pencemar yang sulit terurai di lingkungan. Umumnya limbah tersebut mengandung bahan berupa padatan tersuspensi, bahan terapung dan bahan terlarut. Rata-rata limbah cair tekstil mengandung 750 mg/L padatan tersuspensi, dan 500 mg/L BOD (Biochemical Oxigen Demand), dengan perbandingan COD (Chemical Oxigen Demand) : BOD berkisar antara 1,5 : 1 sampai 3 : 1 (Potter.,et al,1994; www.menlh.go.id).

Pengolahan limbah cair industri dibutuhkan untuk mengurangi kadar bahan pencemar hasil produksi industri sampai tingkat yang aman dibuang ke lingkungan. Salah satu sistem pengolahan limbah cair yang sering digunakan oleh industri termasuk industri tekstil untuk menghilangkan bahan-bahan pencemar organik terlarut maupun koloidal adalah sistem dengan menggunakan lumpur aktif (activated sludge system). Salah satu keunggulan sistem ini adalah kualitas efluen atau output limbah yang baik dengan pengurangan COD dan BOD bisa mencapai lebih dari 90 % bahkan lebih (www.Forlink,2000).

Sistem lumpur aktif merupakan suatu pengolahan limbah cair industri secara biologis dengan unit pengolahan utama berupa gumpalan partikel tersuspensi yang mengandung campuran mikroorganisme aerobik yang dihasilkan melalui aerasi (Frobisher,1962 dalam Said, 1994). Pada sistem ini, mikroorganisme tumbuh dalam flok lumpur yang terdispersi. Di dalam flok inilah terjadi proses degradasi dan pemisahan komponen limbah (www.Forlink,2000).

Salah satu tahap yang sangat penting dalam sistem pengolahan limbah cair lumpur aktif adalah tahapan pemisahan biomassa (lumpur) dengan air supernatan (efluen) di sedimentasi akhir. Keberhasilan tahapan ini menentukan output akhir sistem. Secara umum tahapan ini dilakukan dengan memanfaatkan fenomena pengendapan sederhana (gravitasional). Pada tahapan ini partikel


(33)

padatan lumpur mengendap ke bawah karena mempunyai berat yang lebih besar sehingga membentuk dua lapisan yaitu bagian atas air supernatan dan bagian bawah padatan lumpur.

Proses fisik pada tahapan ini sering terhambat oleh kemampuan tersedimentasinya lumpur yang buruk dan sulitnya terkonsentrasi sehingga berakibat lumpur sulit mengendap (bulking) dan sebagian terbawa ke outlet (carry over). Hasil penelitian Sutapa (2004) memperlihatkan bahwa kesulitan tersebut disebabkan oleh karakteristik flok lumpur yang mengandung jumlah mikroorganisme berfilamen penyebab kekeruhan lebih tinggi dibanding mikroorganisme pembentuk flok. Keseimbangan antara mikroorganisme berfilamen dan mikroorganisme pembentuk flok yang merupakan inti dari sistem degradasi aerobik lumpur aktif sangat diperlukan agar permasalahan di atas tidak terjadi dan sistem mampu menghasilkan kualitas efluen yang tinggi (penurunan BOD dan COD > 90 %).

Tahapan proses pengendapan tersebut membentuk suatu pola secara kontinyu terhadap waktu. Dengan menggambarkan pola pengendapan tersebut diharapkan mampu mempercepat penanggulangan apabila terjadi masalah seperti kondisi bulking dan carry over. Prediksi terhadap pola pengendapan di atas dilakukan dengan pendekatan pemodelan. Pemodelan mampu menirukan suatu gejala atau proses yang terjadi dan merupakan representasi dari kondisi aktual suatu sistem (Muhammadi et al.,2001).

Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini sangat penting untuk mengetahui pola pengendapan yang terjadi. Model berperan memprediksi pola pengendapan secara cepat sehingga mampu mendeteksi permasalahan

bulking dan carry over di sedimentasi akhir lebih dini. Hal ini sangat bermanfaat untuk penanggulangan lebih lanjut pada sistem pengolahan limbah cair di industri pengguna sistem lumpur aktif.

I.2. Tujuan Penelitian

1. Identifikasi pola pengendapan lumpur aktif di sedimentasi akhir (Final Sedimentation) pada sistem pengolahan limbah cair industri tekstil

2. Menguji Model Renko untuk memprediksi pola pengendapan lumpur aktif yang teridentifikasi di sedimentasi akhir (Final Sedimentation) pada sistem pengolahan limbah cair industri tekstil


(34)

3

I.3. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam konteks kajian aplikasi model pengendapan lumpur aktif pada sistem pengolahan limbah cair industri tekstil. Aspek yang dikaji dititikberatkan pada pemodelan pola pengendapan lumpur aktif di sedimentasi akhir berdasarkan parameter ketinggian lumpur yang mengendap, konsentrasi mix larutan tersuspensi (mixed liquor suspended solids) dan SVI (Sludge Volume Index) terhadap waktu pengendapan yang secara langsung berpengaruh pada kecepatan pengendapan lumpur aktif.

I.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian diharapkan memberikan manfaat berupa :

1. Alat bantu untuk mendeteksi kondisi proses pengendapan di sedimentasi akhir dalam sistem pengolahan limbah cair industri tekstil dengan menggunakan lumpur aktif.

2. Alat penunjang untuk memprediksi pola pengendapan di sedimentasi akhir dalam sistem pengolahan limbah cair industri tekstil dengan menggunakan lumpur aktif.

I.5. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI) Limnologi Cibinong pada bulan Mei - Desember 2005. Pengambilan sampel lumpur aktif dan analisa pengendapan dilakukan di Industri tekstil PT. X Tajur Bogor.


(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Sumber Limbah Cair Industri Tekstil II.1.1. Gambaran Proses Produksi

Pada dasarnya proses produksi tekstil adalah merubah serat buatan maupun alami (kapas) menjadi barang jadi tekstil. Serat kapas tersebut dibersihkan sebelum disatukan menjadi benang, kemudian pemintalan mengubah serat menjadi benang. Sebelum proses penenunan dan perajutan, benang buatan maupun kapas dikanji agar serat menjadi kuat dan kaku. Zat kanji yang biasa digunakan adalah pati, perekat gelatin, getah polivinil alkohol (PVA), karboksimetil selulosa (CMC) (Potter,et al.,1994). Untuk lebih jelas mengenai proses yang dilakukan industri tekstil secara umum dapat dilihat pada diagram alir proses pada Gambar 1.

II.1.2. Asal Limbah Cair

Limbah cair dihasilkan dari proses pengkanjian, proses penghilangan kanji, pengelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan, pencetakan, dan proses penyempurnaan tekstil (www.menlh.go.id,2003). Larutan penghilang kanji mengandung zat kimia pengkanji dan penghilang kanji-pati, PVA, CMC, enzim, asam. Penghilangan kanji biasanya memberikan BOD paling banyak dibandingkan dengan proses-proses lain. Pemasakan dan merserisasi kapas serta pemucatan semua kain adalah sumber-sumber limbah cair yang menghasilkan asam, basa, COD, BOD dan padatan tersuspensi dan zat-zat kimia. Proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi, dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang digunakan. Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD tinggi, dan bahan-bahan lain dari zat warna yang dipakai, seperti fenol dan logam (Potter.,et al,1994).

Limbah yang diolah pada Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) PT. X berbentuk limbah padat dan cair yang berasal dari operasional proses produksi maupun kegiatan penunjang lainnya. Limbah padat berasal dari sampah, kapas-kapas dari blowing, benang dan serat-serat kain yang tidak terpakai. Biasanya penanganannya dibakar. Limbah cair berasal dari proses produksi seperti penenunan dan dyeing (pencelupan). Beberapa bahan kimia yang sering dipakai untuk pengolahan limbah cair di perusahaan ini adalah : Kanji, sunmor, polimer


(36)

5

PN-372,Op-604,antifoam,zat warna,NaOH,Na2S2O4, CH3COOH, FeSO4, Ca(OH)2,

Al2SO3, zat aditif penyempurna kain.

Gambar 1. Diagram Alir Proses Produksi Tekstil (Potter,et al.,1994)


(37)

II.2. Pengelolaan Limbah Cair Tekstil

II.2.1. Langkah-langkah Pengelolaan Limbah

Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan industri tekstil karena memberikan dampak yang paling luas. Hal ini disebabkan oleh karakteristik fisik maupun karakteristik kimianya yang memberikan dampak negatif yang tinggi terhadap lingkungan. Kerusakan lingkungan ini dapat dikurangi apabila dilakukan penanganan dan pengelolaan yang tepat. Untuk mendapatkan hasil yang efektif dan efisien perlu upaya pengelolaan secara terpadu dimulai dengan upaya minimisasi limbah (waste minimization), pengolahan limbah (waste treatment), hingga pembuangan limbah (disposal) (www.menlh.go.id,2003). Minimisasi limbah adalah pengelolaan sebelum proses produksi dengan meminimalkan volume limbah, konsentrasi dan toksisitas bahan kimiawi yang dipakai. Sedangkan pengolahan limbah adalah pengelolaan limbah cair setelah proses produksi dengan menghilangkan atau menurunkan kadar bahan pencemar yang terkandung di dalam limbah cair sehingga memenuhi syarat untuk dapat dibuang (memenuhi baku mutu yang ditetapkan). Limbah hasil pengolahan kemudian dibuang ke lingkungan.

Dalam pengelolaan limbah cair industri tekstil ada beberapa langkah untuk mengurangi (minimisasi) beban pencemaran. Langkah pertama adalah program pengelolaan air yang efektif dalam pabrik, dengan menggunakan :

• Pengukur dan pengatur laju alir

• Pengendalian permukaan cairan untuk mengurangi tumpahan

• Pemeliharaan alat dan pengendalian kebocoran

• Pengurangan pemakaian air masing-masing proses

• Otomatisasi proses atau pengendalian proses operasi secara cermat

• Penggunaan kembali alir limbah proses yang satu untuk penambahan (make-up) dalam proses lain (misalnya limbah merserisasi untuk membuat penangas pemasakan atau penggelantangan)

• Proses kontinyu lebih baik dari pada proses batch (tidak kontinyu)

• Pembilasan dengan aliran berlawanan


(38)

7

dengan langkah sebagai berikut:

• Penggantian kanji dengan kanji buatan untuk mengurangi BOD

• Penggelantangan dengan peroksida menghasilkan limbah yang kadarnya kurang kuat daripada penggelantangan pemasakan hipoklorit.

• Penggantian zat-zat pendispersi dan pengemulsi yang menghasilkan BOD tinggi dengan yang BOD-nya lebih rendah.

Langkah lainnya adalah mengurangi zat warna yang dipakai. Zat ini menentukan sifat dan kadar limbah proses pewarnaan. Pewarna dengan dasar pelarut harus diganti pewarna dengan dasar air untuk mengurangi banyaknya fenol dalam limbah. Bila digunakan pewarna yang mengandung logam seperti krom, mungkin diperlukan reduksi kimia dan pengendapan dalam pengolahan limbahnya. Proses penghilangan logam menghasilkan lumpur yang sukar diolah dan sukar dibuang. Jika pabrik menggunakan pewarnaan secara terbatas dan menggunakan pewarna tanpa krom atau logam lain, maka limbah sering diolah dengan pengolahan biologi saja, sesudah penetralan dan ekualisasi.

Adapun proses pengolahan limbahnya terdiri dari beberapa tahapan diantaranya sebagai berikut (www.Forlink,2000):

1. Pemisahan padatan kasar yaitu sisa serat dan padatan kasar lainnya 2. Segregrasi, hal ini dilakukan apabila air limbah dari suatu proses

tertentu mempuyai sifat yang spesifik, mempunyai beban pencemaran yang sangat tinggi dibandingkan dengan air limbah dari proses lainnya, atau bersifat racun (toxic), sehingga apabila digabungkan akan memberatkan atau menyulitkan proses pengolahan.

3. Ekualisasi untuk menghomogenkan konsentrasi zat pencemar, temperatur dan sebagainya, serta untuk menyamakan laju alir/debit atau menghindari /mengurangi fluktuasi laju alir.

4. Penghilangan /penurunan atau penghancuran bahan organik terdispersi. 5. Penghilangan bahan organik dan anorganik terlarut.

Tahap satu, dua dan tiga merupakan Pre-treatment. Tahap ini tidak banyak memberikan efek penurunan COD, BOD, tetapi lebih banyak ditujukan untuk membantu kelancaran dan meningkatkan efektifitas tahap pengolahan selanjutnya yaitu tahap empat dan lima (www.menLH.go.id,2003).


(39)

II.2.2. Jenis-Jenis Pengolahan Limbah

Pengolahan limbah cair yang saat ini banyak dilakukan oleh pabrik tekstil adalah pengolahan kimiawi yaitu dengan koagulasi-flokulasi menggunakan bahan kimia, pengolahan biologis dengan lagoon dan lumpur aktif atau gabungan keduanya. Bahan kimia (koagulan) yang banyak digunakan untuk pengolahan kimiawi adalah ferosulfat, kapur, alum, PAC dan polielektrolit (Shuval,1977 dalam Mas’ud, 1995). Pada beberapa pabrik cara ini dilanjutkan dengan melewatkan air limbah melalui Zeolit (suatu batuan alam) dan arang aktif (karbon aktif). Cara koagulasi umumnya berhasil menurunkan kadar bahan organik (COD, BOD) sebanyak, 40-70 %, Zeolit dapat menurunkan COD 10-40%, dan karbon aktif dapat menurunkan COD 10-60 % (www.Forlink,2000).

Limbah hasil dari pengolahan kimiawi sebagai tahapan pengolahan pertama (primary treatment) dapat dicampur dengan semua aliran limbah yang lain untuk dilanjutkan ke pengolahan biologi sebagai penanganan sekunder (secondary treatment). Hal ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas efluen yang dihasilkan, dengan penanganan biologis akan terpisah 85-95% bahan organik didalam limbah industri (Tyoso,1991).

Pengolahan biologis dilakukan untuk memisahkan senyawa organik koloidal dan yang terlarut melalui metabolisme mikrobial, sistem ini mengubah senyawa organik yang biodegradable di dalam larutan menjadi senyawa organik yang tersuspensi dan terflokulasi sehingga dapat dipisahkan dengan proses sedimentasi (Tyoso,1991). Dengan memanfaatkan aktivitas mikroba biologi maka bahan-bahan yang ada dalam air limbah dapat dihancurkan menjadi bahan yang mudah dipisahkan dan memberi efek pencemaran rendah sesuai dengan baku mutu yang ditentukan.

II.3. Baku Mutu dan Instalasi Pengolahan Limbah II.3.1. Baku Mutu Limbah Cair Tekstil

Untuk menjamin terpeliharanya sumber daya air dari pembuangan limbah industri, pemerintah dalam hal ini Menteri Negara KLH telah menetapkan baku mutu limbah cair yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Negara KLH Nomor: Kep-03/KLH/ II/1991. Parameter utama pencemaran air untuk industri tekstil adalah TSS (Total Solid Suspended), BOD, COD, krom total, fenol, pH dan warna. Parameter lain yang perlu diperhatikan adalah laju alir (debit) dan beban


(40)

9

limbah, disamping itu kandungan logam seperti sulfida,amonia nitrogen, seng,

tembaga, timbal dan Nikel dan bahan pencemar seperti benzena, naftalen,

kloroetilena, kloroetana, dan ftalat. Parameter ini dijadikan acuan batas maksimal limbah boleh dihasilkan oleh suatu industri atau sering disebut juga baku mutu limbah. Tabel 1 memperlihatkan baku mutu limbah cair untuk industri tekstil yang sudah beroperasi.

Tabel 1 Baku mutu limbah cair untuk industri tekstil yang sudah beroperasi

Parameter Kadar maksimum Beban pencemaran

(mg/l) maksimum (kg/ton)

BOD 5 85 12,75

COD 250 37,5

TSS 50 9

Fenol Total 1 0,15

Krom Total 2 0,3

Minyak Dan Lemak 5 0,75

Ph 6,0 - 9,0; Debit limbah cair maksimum : 150 m3/ton produk tekstil ( www.menLh.go.id,2003)

II.3.2. Instalasi Pengolahan Limbah

Pengolahan limbah cair seperti yang telah dijelaskan di atas meliputi beberapa tahap pengolahan tergantung dari karakteristik limbah cairnya. Seperti halnya proses pengolahan limbah cair pada umumnya, PT. X mengolah limbah cairnya dengan beberapa tahapan yaitu pre-treatment, primer, sekunder dan tersier. Tahap pre-treatment bertujuan menurunkan beban limbah yang sangat tinggi baik padatan terapung, padatan organik dan minyak. Tahap primer bertujuan untuk menghilangkan padatan tersuspensi, selanjutnya tahapan sekunder melanjutkan penghilangan padatan organik dan suspensi sedangkan tahap tersier bertujuan memperbaiki kualitas efluen agar layak dibuang ke lingkungan.

Limbah cair dari bagian dyeing masuk kedalam kolam air umum dan air warna, kemudian air limbah tersebut disaring oleh screen (saringan) kasar kemudian saringan halus untuk menghilangkan padatan-padatan limbah. Limbah kemudian dialirkan ke cooling tower (pendingin), hal ini bertujuan agar air limbah yang memasuki kolam aerasi tidak mematikan organisme, lalu ditampung dalam bak ekualisasi.


(41)

Selanjutnya limbah dipompa masuk ke dalam tanki koagulasi. Dalam tanki ini limbah diproses menggunakan koagulan ferro sulfat (Fe2SO4) atau

Al2(SO4)3.18H2O) yang berfungsi untuk pengikat warna. Kemudian ditambahkan

polimer sebagai flokulan agar terbentuk endapan flok. Selanjutnya limbah dimasukkan ke dalam bak sedimentasi I, sebagai bagian awal pengendapan limbah. Hasilnya ditampung di bak intermediet sebelum dialirkan ke kolam aerasi. Dalam kolam aerasi ini ditambahkan asupan oksigen untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Dengan proses biologis, aktivitas mikroorganisme dalam lumpur aktif mampu memotong-motong rangkaian limbah rantai panjang dan menetralkannya. Hasil dari proses ini dialirkan ke tanki sedimentasi II untuk proses pengendapan. Sebagian hasil pengendapan dialirkan kembali (return sludge) ke kolam aerasi untuk menjaga kestabilan mikroorganisme. Sebagian lagi ke sedimentasi III untuk proses pengendapan lanjutan setelah sebelumnya ditambahkan koagulan. Sebagian kecil lainnya di buang sebagai waste atau masuk ke belt press untuk dijadikan batu bata. Hasilnya efluen yang layak dibuang ke lingkungan.

II.4. Pengolahan Limbah Cair dengan Lumpur Aktif

Proses pengolahan limbah secara biologis merupakan metode yang memanfaatkan mikroorganisme untuk menguraikan material yang terkandung didalam air limbah. Mikroorganisme sendiri selain menguraikan dan menghilangkan kandungan material, juga menjadikan material yang terurai tadi sebagai tempat perkembangbiakannya (Tyoso,1991). Salah satu metode pengolahan limbah secara biologis yang sering dipakai adalah sistem lumpur aktif (Eckenfelder,1989;Tyoso,1991).

II.4.1. Sistem Lumpur aktif

Lumpur aktif (activated sludge) adalah gumpalan partikel tersuspensi yang mengandung campuran mikroorganisme aerobik yang dihasilkan melalui proses aerasi (Frobisher,1962 dalam Said, 1994). Adapun jenis Mikrorganisme yang terdapat dalam lumpur aktif diantaranya adalah bakteri, fungi, protozoa serta beberapa metazoa.

Sistem lumpur aktif mampu menstabilkan zat-zat organik terlarut sampai tingkat kadar yang rendah dalam waktu yang relatif singkat, percepatan terjadi karena massa mikroorganisme membentuk flok-flok zat biologis padat pada


(42)

11

konsentrasi tinggi yang relatif tetap. Kestabilan konsentrasi diperoleh dengan mengembalikan sebagian lumpur dari klarifier akhir ke tangki aerasi, selain juga mendorong terjadinya inokulasi lumpur aktif terus menerus agar waktu tinggal lumpur lebih panjang dan mikroorganisme mampu beradaptasi dengan nutrien yang ada (Tyoso,1991).

Tujuan dari proses lumpur aktif sebenarnya adalah untuk memisahkan bahan organik terlarut dan yang tidak terlarut dari limbah dan mengkonversikan material tersebut menjadi suspensi flokulan mikrobial yang siap diendapkan dengan teknik pemisahan padatan cairan secara gravitasi (Eckenfelder,1989). Secara umum proses lumpur aktif dapat dilihat pada Gambar 2.

Pada Gambar 2 dapat dijelaskan bahwa Influen merupakan input limbah cair hasil dari suatu proses, kemudian diintroduksi oksigen atau disebut dengan aerasi dalam suatu tanki untuk mempercepat terjadinya kontak antara limbah organik dan mikroorganisme untuk pembentukan flok (bioflokulasi). Flok yang terbentuk diendapkan secara gravitasi di tanki sedimentasi sehingga dihasilkan supernatan yang keluar melalui effluen dan padatan lumpur di dasar tanki. Sebagian besar padatan lumpur kemudian dikembalikan ke tanki aerasi untuk menjaga kestabilan serta sebagian kecil dibuang (waste disposal) (Tyoso,1991).

Gambar 2 Sistem penanganan limbah cair dengan lumpur aktif (Tyoso,1991).

II.4.2. Proses Koagulasi – Flokulasi

Proses koagulasi – flokulasi banyak dipengaruhi oleh mekanisme fisik dan kimia, dari media airnya maupun partikel-partikel yang menyebabkan kekeruhan. Proses ini merupakan salah satu penanganan primer (Primary treatment) pada limbah cair yang tercemar berat oleh bahan-bahan kimia

EFFLUEN

LUMPUR YANG DIBUANG AERASI

INFLUEN

BIOFLOKULASI

LUMPUR YANG DIKEMBALIKAN


(43)

berbahaya seperti logam dan lainnya agar memperkecil beban organiknya saat dilakukan proses selanjutnya secara biologis. Proses ini secara umum bertujuan memisahkan partikel-partikel tersuspensi dan koloid yang dengan gravitasi atau secara mekanis biasa tidak mampu mengatasi batas tolak-menolak antara partikel yang bermuatan sama, agar terjadi penggabungan maka gaya tolak menolak harus diperkecil dengan cara penambahan koagulan (Eckenfelder,1989). Koagulan adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan untuk menetralisir muatan partikel koloid dan mampu mengikat partikel-partikel tersebut membentuk gumpalan atau flok (Mas’ud,1995). Dengan cara ini, koagulan digunakan untuk menggumpalkan bahan-bahan yang ada dalam air limbah menjadi flok yang mudah untuk dipisahkan yaitu dengan cara diendapkan, diapungkan dan disaring (www.Forlink,2000).

Flokulasi didefinisikan sebagai suatu proses penggabungan atau penggumpalan partikel-partikel koloid yang telah mengalami destabilisasi pada proses koagulasi sehingga terbentuk flok yang lebih besar dan berat dengan demikian mudah untuk mengendap. Bridgwater dan Mumford (1979) dalam Mas’ud (1995) menambahkan bahwa bentuk kumpulan flok yaitu seperti bunga karang dengan permukaan luas, sehingga mampu mengadsorpsi bahan-bahan halus dari larutan, oleh karena itu kumpulan flok tersebut juga mampu dalam penghilangan warna, kekeruhan, bahan-bahan organik dan bakteri dalam larutan. Flokulan merupakan polimer yang terdiri dari monomer-monomer yang bermuatan listrik atau mengandung gugus yang dapat terionisasi. Flokulan mampu menetralisir muatan, adsorpsi dan pembentukan jembatan antar partikel. Bila molekul flokulan bersentuhan dengan partikel koloid, maka beberapa gugusnya akan terserap pada permukaan partikel dan sisanya tetap berada di dalam larutan. Jika partikel kedua terikat pula pada bagian lain rantai polimer tersebut maka terjadi penggabungan partikel dimana polimernya berfungsi sebagai jembatan. Adapun gradien di dalam cairan akan mengakibatkan kontak antar partikel, dan karena pergerakan partikel akan terjadi saling benturan dan mengakibatkan penggabungan antar mikroflok halus menjadi flok-flok besar.

Secara garis besar tahap pembentukan flok tersebut adalah proses destabilisasi partikel koloid, pembentukan mikroflok, penggabungan mikroflok dan pembentukan makroflok. Tahap destabilisasi dan pembentukan mikroflok terjadi pada proses koagulasi dan tahap penggabungan mikroflok dan pembentukan makroflok terjadi selama proses flokulasi. Proses Koagulasi –


(44)

13

Flokulasi mampu menetralkan kandungan kimiawi yang sangat tinggi menjadi lebih rendah, proses ini sangat berperan dalam menunjang tahap selanjutnya yaitu proses aerasi secara biologis dengan demikian larutan limbah dapat dipisahkan secara lebih mudah.

II.4.3. Proses Sedimentasi Lumpur Aktif

Dalam proses lumpur aktif, polutan organik diserap oleh mikroorganisme dalam tanki aerasi. Mikroorganisme ini secara essensial adalah lumpur aktif itu sendiri. Akan tetapi tanpa sedimentasi atau pemisahan lumpur dari larutannya, proses pengolahan tidak akan efektif sama sekali. Untuk alasan tersebut maka pengendapan gravitasi (sedimentasi) pada tanki kedua (secondary tank) merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem pengolahan lumpur aktif (Nathanson,1997; James, 1994).

Sedimentasi adalah proses pemisahan dari air, partikel larutan yang lebih berat dari air dengan pengendapan secara gravitasi, sedimentasi digunakan untuk memisahkan flok biologis dan memproduksi effluen yang lebih jernih (Metcalf and Eddy,1991). Bila lumpur tidak cepat mengendap, beberapa akan terbawa ke efluen dan akan menyebabkan pencemaran pada air supernatan yang diperoleh (Nathanson,1997). Pada beberapa kasus setelah proses sedimentasi dilakukan penambahan koagulan (bahan kimia yang meningkatkan flokulasi dan menyebabkan penggendapan flok (Schoeder,1977).

Dalam beberapa kondisi, proses sedimentasi sering terhambat. Alasan utamanya adalah pesatnya pertumbuhan bakteri berfilamen atau berserabut, secara subur di tanki aerasi dan membuat lumpur menjadi halus dan ringan. Lumpur berfilamen yang tumbuh secara berlebihan seperti ini lambat mengendap, sehingga supernatan yang jernih tidak akan diperoleh di akhir proses, Kondisi ini sering disebut dengan bulking (Nathanson,1997). Kondisi bulking seperti ini bisa dikontrol dan dibatasi dengan melakukan penyesuaian pada konsentrasi MLSS dan rasio F/M.

Penyesuaian akan efektif bila diketahui pola pengendapan lumpur aktif. Pola pengendapan mampu diidentifikasi berdasarkan nilai kualitas pengendapan lumpur yang disebut Sludge Volume Index (SVI) (Metcalf dan Eddy,1991). Penyesuaian diperoleh dengan mengembalikan lumpur dari tanki sedimentasi kedua ke aerasi dan pengaturan konsentrasi MLSS yang mempunyai SVI yang tinggi (Nathanson,1997).


(45)

Dalam penangangan limbah cair industri dengan menggunakan sistem lumpur aktif, bila konsentrasi dari larutan padat (suspended solid) sangat tinggi, mencapai > 500 mg/l, partikel limbah tidak mengendap secara independen, flok partikel melekat bersama dan massa partikel mengendap membentuk lapisan yang berbeda antara flok lumpur dan supernatan (Schoeder,1977; Eckenfelder,1989). Dengan asumsi kecepatan pengendapan proporsional dengan konsentrasi padatan limbah dan tidak ada interaksi mekanis antar partikel, secara konseptual pola pengendapan berikut dapat menjelaskan sistem yang terjadi :

Gambar 3 Skema konseptual pola pengendapan lumpur aktif (Eckenfelder,1989; Metcalf and Eddy,1991)

Pada skema konseptual di atas, selama periode pengendapan maka kecepatan mengendap lumpur dalam keadaan yang sama. Daerah A menggambarkan konsentrasi awal dari partikel lumpur yang teraerasi (kondisi I), bersamaan dengan terjadinya pengendapan partikel padatan mengendap di daerah D secara konstan, dan terbentuk daerah C sebagai daerah transisi dan daerah supernatan B (kondisi II). Pada kondisi III terjadi hal yang sama dengan padatan yang mengendap lebih banyak (daerah D) dan supernatan yang meningkat (daerah B) serta penurunan daerah A. Kemudian kecepatan pengendapan akan menurun karena meningkatnya densitas dan viskositas larutan di sekitar partikel dan kondisi IV pun terbentuk dimana partikel lumpur sudah mengendap penuh (daerah D) sehingga antara padatan dan air supernatan (daerah B) terlihat jelas (Eckenfelder,1989;Metcalf dan Eddy,1991).

Fenomena yang ditunjukan pada Gambar 3 menjadi dasar identifikasi kurva fase mengendapnya lumpur yang terflokulasi. Pada konsentrasi awal yang seragam lumpur mengendap dengan kecepatan yang seragam pula. Ada tiga fase pengendapan yang terbentuk yaitu fase zona, fase transisi dan fase


(46)

15

pemadatan (Eckenfelder,1989). Skema umum fase pengendapan lumpur disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Skema umum fase pengendapan lumpur terflokulasi. (Eckenfelder,1989)

Seperti halnya kondisi yang terjadi di lapangan ada interaksi antar partikel dan konsentrasi biomassa yang tidak mengendap sempurna ke dasar tanki (bulking) yang berpengaruh terhadap turunnya kecepatan mengendap lumpur. Hal ini yang menyebabkan efektifitas dan kualitas effluen menjadi rendah. Diyakini akibat pengaruh di atas proses pengendapan membentuk suatu pola yang kontinyu terhadap waktu. Skema fase pengendapan 4 menjadi dasar pemikiran dilakukan penelitian ini. Asumsi dasar yang dipergunakan adalah pengaruh dari faktor lingkungan seperti pH, suhu dan lainnya dianggap konstan.

II.4.4. Karakteristik Flok

Dalam Sistem lumpur aktif mikroorganisme bersama-sama dengan partikel-partikel terlarut dalam limbah membentuk flok sebagai unit operasional dasar lumpur aktif yang sering disebut dengan proses Bioflokulasi. Dari beberapa penelitian secara fisik didapatkan informasi bahwa dalam pembentukan flok lumpur aktif terdapat dua macam struktur, yaitu mikrostruktur dan makrostruktur (Sezgin, 1978 dalam Sutapa, 2004).

Mikrostruktur dipengaruhi oleh adhesi mikrobiologis, pembentukan agregat, dan bioflokulasi. Hal ini merupakan dasar pembentukan flok lumpur aktif, karena bila suatu mikroorganisma tidak mampu bergabung dengan mikroorganisma lainnya, maka endapan (sedimen) yang terdiri dari kumpulan mikroorganisme tidak akan terbentuk. Pada sistem lumpur aktif yang hanya terdiri dari bakteri pembentuk flok (floc forming bacteria), flok yang terbentuk

Fase pemadatan Fase Transisi

Fase zona

T

ingg

i perm

u

kaa

n

lum

p

u

r


(47)

adalah mikrostruktur. Pembentukan flok makrostruktur pada sistem lumpur aktif dipengaruhi oleh mikroorganisma berfilamen. Mikroorganisma ini membentuk suatu hubungan atau ikatan diantara flok-flok yang terbentuk oleh bakteri pembentuk flok (Sutapa, 2004).

Dalam pembentukan flok tersebut, mikroorganisme yang paling berperan adalah bakteri (hampir 95% dari total biomassa lumpur aktif). Ada dua kelompok bakteri yang paling dominan yaitu bakteri pembentuk flok serta bakteri berfilamen. Jenis bakteri seperti Zooglea ragimera, Flavobacterium, Pseudomonas, Alcaligenes dan Achromobacter merupakan bakteri pembentuk flok, sementara jenis Flavobacterium ferrugenum, Nocardia, Sphaerotilus natans, Haliscomenobacter hydrosis, Microthrix parvicella merupakan bakteri berfilamen (Jenkins et al.,1993). Berdasarkan keberadaan bakteri filamennya terdapat 3 tipe flok yang terbentuk dalam lumpur aktif yaitu :

1. Flok Normal atau flok ideal

Pada flok normal ini pertumbuhan bakteri filamen seimbang dengan bakteri pembentuk flok. Bakteri filamen berada didalam flok, sebagian kecil membentuk juluran keluar dari flok (gambar 5a). Flok yang terbentuk kokoh dan besar sehingga menghasilkan supernatan yang jernih dengan nilai Sludge Volume Index berkisar antara 70- 120 ml/g.

2. Pinpoint flok

Pada tipe flok ini hanya terdapat sedikit atau bahkan tidak terdapat bakteri filamen (Gambar 5b). Floknya berukuran kecil dan rapuh, mudah terpecah oleh adanya turbulensi dalam bak aerasi. Flok sulit untuk mengendap, meghasilkan supernatan yang keruh, nilai SVI rendah yaitu di bawah 70 ml/g.

3. Flok Bulking

Bakteri filamen sangat banyak, tumbuh di dalam dan diluar flok (Gambar 5c). Bakteri filamen menyebabkan struktur flok menjadi difus, atau terjadi ikatan (bridging) antar flok. Flok sukar untuk mengendap, nilai SVI tinggi yaitu di atas 150 ml/g sehingga menghasilkan bulking.


(48)

17

a. flok normal b. Pinpoint flok c. Flok bulking

Gambar 5 Tipe Flok Berdasarkan Keberadaan Filamennya. (Jenkins et al.,1993)

Didalam flok, bakteri filamen berperan sebagai backbone atau kerangka dasar flok. Bakteri filamen memberi bentuk dan kekuatan pada flok. Sezgin dalam Jenkins et al. (1993). Menemukan bentuk flok berubah dari sferis pada saat jumlah bakteri filamen sedikit, menjadi silindris pada saat jumlah bakteri filamen banyak. Hal ini menandakan bahwa pertumbuhan flok searah dengan pertumbuhan bakteri filamen.

Bulking digambarkan sebagai keadaan limbah yang sulit untuk mengendap sehingga pada aliran keluarnya tetap mengandung senyawa organik tinggi. Dilihat dari segi struktur, bulking mengacu pada pertumbuhan flok makrostruktur dengan jumlah bakteri filamen yang sangat banyak (Gray,1995). Bakteri ini menyebabkan partikel-partikel flok sulit untuk bergabung membentuk massa flok yang lebih besar sehingga sulit mengendap. Selain komposisi limbah, kondisi operasional dan design sistem mempengaruhi terjadinya bulking. Sehingga perlu upaya mengoptimalkan performa kondisi operasional dan design sistemnya.

Prediksi terhadap performa tangki sedimentasi kedua sangat sulit dilakukan dikarenakan keheterogenan larutan limbah. Kesulitan tersebut mampu diatasi dengan membuat pemodelan sistem terhadap design dan performa proses yang terjadi pada tanki tersebut. Menurut James (1994), ada dua faktor yang paling berpengaruh terhadap performa proses di tanki sedimentasi yaitu : (1) Konsentrasi dari larutan limbah (2) Bahan yang terflokulasi dari partikel limbah tersebut. Pemodelan sistem mampu mengidentifikasi dengan tepat kedua faktor di atas.


(49)

II.5. Prediksi Pola Pengendapan Lumpur II.5.1. Teori Pemodelan Sistem

Sistem menurut Manetsch dan Park (1979) dalam Eryatno (1998) adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Dalam sistem terjadi penyatuan dari komponen-komponen yang bekerja yang berinteraksi teratur dan saling bergantung satu sama lain (Muhammadi et al.,2001; Marimin, 2004).

Banyaknya kriteria kompleks yang harus diperhatikan dalam sistem penanganan limbah menyebabkan penelitian eksperimen sulit dilakukan terutama dalam memprediksi kualitas air maupun air limbah (James,1994). Kriteria yang komplek menyebabkan parameter yang dikaji sangat beragam. Oleh karena keragaman yang tinggi maka tidak mungkin dikaji oleh satu atau dua metode spesiifik saja, dalam hal ini kesisteman diperlukan untuk memadukan setiap proses dan elemen yang bekerja (Eryatno,1998; Muhammadi et al.,2001 Marimin, 2004). Dalam pendekatan kesisteman digunakan model untuk merepresentasikan kondisi di lapangan.

Model dapat dikatakan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Mantulangi (1993) menyatakan bahwa model adalah bentuk informasi tentang kumpulan sistem dengan tujuan mempelajari sistem tersebut. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Model juga disebut sebagai suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses yang terjadi atau merupakan representasi dari kondisi aktual suatu sistem (Muhammadi et al.,2001). Suatu model yang berbeda untuk sistem yang sama dapat diperoleh dengan melakukan analisis yang berbeda dalam sistem tersebut. Dasar utama pengembangan model adalah untuk menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat sehingga pengkajian terhadap hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah dapat dikaji. Teknik kualitatif seperti regresi dan simulasi digunakan untuk mempelajari keterkaitan antar parameter peubah dalam sebuah model (Eryatno,1998).

Simulasi adalah suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama atau seperti keadaan pada sistem yang sebenarnya (Eryatno,1998). Secara singkatnya merupakan peniruan perilaku suatu gejala atau proses yang bertujuan untuk memahami


(50)

19

perilaku tersebut dan membuat analisis serta peramalan perilaku gejala atau proses di masa datang (Muhammadi et al.,2001). Sedangkan Mantulangi (1993), menyatakan bahwa simulasi merupakan model matematika yang dapat menjelaskan perilaku sistem dalam suatu lintasan waktu. Melalui observasi perilaku model matematika pada lintasan waktu tersebut, analis dapat menduga perilaku sistem yang sebenarnya.

Di dalam metode simulasi dicoba untuk ditemukan model yang cocok dengan persolan yang dihadapi. Perumusan persoalan dan pembuatan model dilakukan berdasarkan keadaan masalah yang dihadapi. Di dalam simulasi model untuk masalah yang satu kemungkinan akan berbeda dengan model untuk masalah lainnya. Keuntungan dari simulasi model adalah fleksibilitasnya yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi (Mantulangi,1993).

II.5.2. Pemodelan Sistem untuk Memprediksi Pengendapan Lumpur

Pola pengendapan lumpur aktif mampu diidentifikasi apabila diketahui kecepatan pengendapan lumpur tersebut. Kecepatan pengendapan tersebut berubah terus tergantung dari waktu dan konsentrasi lumpur dan faktor-faktor biologis lumpur. Sampai saat ini belum ada yang mampu memadukan faktor-faktor biologis yang berpengaruh terhadap pengendapan lumpur aktif secara komprehensif sehingga menjadi sebuah formula. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang terkait. Oleh karena itu dilakukan pendekatan model untuk mendefinisikan hubungan dalam proses pengendapan lumpur aktif.

Model yang banyak digunakan untuk menentukan hubungan kecepatan pengendapan zona lumpur pada berbagai konsentrasi adalah model Vesilind (1986 )[persamaan 1] yang mengandung 2 parameter konstan: Vo dan n. Untuk memperoleh parameter Vesilind dilakukan percobaan pengenceran yang lama, menghamburkan tenaga dan menghasilkan data yang menyebar (Vanderhasselt dan Vanrolleghem, 2000). Beberapa pendekatan lain dilakukan untuk menghubungkan indeks volume lumpur (SVI,SSVI) dengan parameter Vo dan n melalui fungsi empirik. Hubungan tersebut bisa diperoleh dengan mengambil data eksperimen yang banyak dari SVI dan parameter Vesilind. Akan tetapi hubungan tersebut masih dipertanyakan validitasnya dikarenakan kecepatan pengendapan zona lumpur dengan stirrer (Vzs) dipengaruhi oleh faktor-faktor


(51)

yang tidak berhubungan dengan parameter Vesilind ataupun SVI (Vanderhasselt dan Vanrolleghem, 2000).

Model lain yang digunakan untuk memprediksi kecepatan pengendapan lumpur adalah model yang diajukan oleh Takacs et al (1991)[persamaan 2]. Model ini mampu mendeskripsikan konsentrasi yang rendah dengan lebih baik dibanding model Vesilind. Model Takacs sering disebut sebagai persamaan dua eksponensial (Renko, 1998). Kelemahan model ini adalah banyaknya parameter (5 parameter) yang diperoleh sehingga tidak praktis digunakan di lapangan.

Penelitian lanjutan mengenai kecepatan pengendapan juga dilakukan oleh Renko (1998)[persamaan 3]. Model ini mampu mengatasi kelemahan model Takacs dengan parameter yang lebih sedikit. Model Renko juga mampu mengidentifikasi hubungan antara SSVI dan kecepatan pengendapan zona.

nX

s V e

V = 0 − ...[1] Dimana,

Vs : Kecepatan pengendapan zona (m.h-1) 0

V : Kecepatan pengendapan maksimum (m.h-1) n : Parameter Konstanta Vesilind (m3.kg-1)

X : Konsentrasi lumpur aktif (m-3.kg).

p j p h

j

hX r X

r

sj Ve Ve

V = 0 − − 0...[2] '

0≤VsjV0 Dimana,

sj

V : Kecepatan pengendapan dari partikel padat pada layer j

0

V : Kecepatan pengendapan maksimum

'

0

V : Kecepatan pengendapan maksimum (praktis)

rh , rp : Parameter pengendapan Takacs yang menggambarkan pengendapan

padatan

rh : Parameter pengendapan Takacs yang berhubungan dengan komponen

yang menghambat pengendapan.

rp : Parameter pengendapan Takacs yang berhubungan dengan konsentrasi


(1)

kondisi 3

Lampiran 44 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model pada zona normal


(2)

Lampiran 45 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model pada zona normal

Lampiran 46 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model pada zona antara


(3)

antara

Lampiran 48 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model pada zona bulking


(4)

Lampiran 49 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model pada zona bulking


(5)

V.1. Kesimpulan

Hasil penelitian terhadap pola pengendapan lumpur aktif menjelaskan adanya pengaruh perlakuan pengonsentrasian terhadap pola pengendapan. Semakin tinggi konsentrasi awal lumpur maka semakin sulit lumpur mengendap. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada konsentrasi yang tinggi (> 4000 mg/l) ruang antar partikel lebih sempit, hal ini menyebabkan antar partikel sering terjadi kontak. Akibat saling kontak terbentuk lapisan-lapisan lumpur dimana lapisan lumpur paling bawah menahan lapisan di atasnya sehingga kecepatannya berkurang.

Hasil penelitian mengidentifikasi tiga kondisi perlakuan yaitu kondisi 1,2, dan 3 mempunyai pola pengendapan yang berbeda. Perbedaan terjadi karena nilai SVI (Sludge Volume Index) yang berbeda pada tiap kondisi. Berdasarkan karakteristik flok yang berbeda pada masing-masing kondisi, hasil penelitian juga mampu mengidentifikasi tiga karakteristik zona pengendapan (Jenskins,1993) yaitu zona normal ; zona antara ; dan zona bulking dengan nilai SVI secara berurutan sebagai berikut :75 ml/g;122.5 ml/g ;dan 169.5 ml/g. Zona pengendapan ini memperlihatkan pola pengendapan yang khas sehingga bisa dijadikan acuan untuk menilai kualitas pengendapan. Semakin tinggi nilai SVI maka kecepatan pengendapan semakin rendah. Kecepatan pengendapan terhambat karena ketidakseimbangan proses bioflokulasi yang terjadi dalam sistem. Identifikasi terhadap ketiga zona tersebut mempermudah penanganan masalah bulking dan carry over melalui penyesuaian parameter pengendapan yang lebih terukur.

Hasil verifikasi model menggunakan paket program simulasi pola pengendapan lumpur aktif dengan software Mathlab 7.01, diperoleh model pengendapan untuk tiga kondisi yang berbeda dengan nilai parameter berikut ini: kondisi 1 (

α

:0.00392;

β

:-0.3345; C:2.8e-04), kondisi 2 (

α

:0.00067;

β

:-0.4276; C:9.56e-04) dan zona bulking (

α

:0.00075;

β

:-0.7003; C:9.91e-04). Hasil verifikasi memperlihatkan tiap kondisi mempunyai nilai parameter model yang berbeda. Hal ini menjelaskan adanya pengaruh pengonsentrasian terhadap parameter


(6)

(

α

:0.0039;

β

:-0.3345; C:2.8e-04), zona antara (

α

:0.0028;

β

:-0.2100; C:2.5e-04) dan zona bulking (

α

:0.0018;

β

:-0.3580; C:2.9e-04). Hasil ini memperlihatkan tiap zona mempunyai nilai parameter model yang berbeda. Hal ini menjelaskan adanya pengaruh nilai SVI terhadap parameter model.

Hasil validasi model dengan menggunakan rangkaian data baru berdasarkan nilai MSE (Mean Square Error) terhadap ketiga kondisi diperoleh persentase tingkat kesalahan yang kurang dari 2.0 %. Dengan demikian disimpulkan model dianggap valid dan layak digunakan untuk mengambarkan kondisi pola pengendapan lumpur aktif.

Hasil validasi model berdasarkan nilai MSE yang dihasilkan untuk setiap zona pengendapan mempunyai persentase rata-rata tingkat kesalahan dibawah 5.0 %. Nilai tersebut masih sangat kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa model valid dan mempunyai keandalan yang tinggi untuk menjelaskan zona pengendapan yang terjadi. Hasil validasi pada berbagai kondisi dan zona pengendapan di atas menjelaskan model yang dihasilkan valid dan layak untuk memprediksi pola pengendapan lumpur aktif di sedimentasi akhir.

V.2. Saran

1. Perlu dilakukan kajian lanjutan untuk seluruh unit sistem lumpur aktif sehingga mampu mewakili kondisi sistem secara lebih lengkap.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai komposisi lumpur aktif lokal Indonesia dengan membandingkan jenis lumpur aktif di industri lain.