1008
BAB V PERTANGGUNGJAWABAN DAN LAPORAN
Pasal 38
1  Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada publik melalui DPR. 2  Pertanggungjawaban  kepada  publik  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1
dilaksanakan dengan cara: a.  menerbitkan laporan tahunan; dan
b.  membuka akses informasi secara lengkap dan akurat. 3  Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a setidaknya memuat hal-hal
sebagai berikut: a.  laporan penggunaan anggaran;
b.  data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan; dan c.  data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen Hakim Agung.
4  Laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  2  huruf  a  disampaikan  pula  kepada Presiden.
5  Keuangan  Komisi  Yudisial  diperiksa  oleh  Badan  Pemeriksa  Keuangan  menurut ketentuan undang-undang.
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
Selama  keanggotaan  Komisi  Yudisial  belum  terbentuk  berdasarkan  Undang-Undang  ini, pencalonan  Hakim  Agung  dilaksanakan  berdasarkan  Undang-Undang  Nomor  14  Tahun
1985  tentang  Mahkamah  Agung  sebagaimana  diubah  dengan  Undang-Undang  Nomor  5 Tahun  2004  tentang  Perubahan  atas  Undang-Undang  Nomor  14  Tahun  1985  tentang
Mahkamah Agung.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
1 Anggota  Komisi  Yudisial  ditetapkan  paling  lambat  10  sepuluh  bulan  terhitung  sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.
2 Komisi  Yudisial  melaksanakan  wewenang  dan  tugasnya  paling  lambat  10  sepuluh bulan  terhitung  sejak  ditetapkannya  Anggota  Komisi  Yudisial  sebagaimana  dimaksud
pada ayat 1.
1009
Pasal 41
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 13 Agustus 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 13 Agustus 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd. BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 89
1010
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004
TENTANG KOMISI YUDISIAL I.  UMUM
Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  menegaskan  bahwa kedaulatan  berada  di  tangan  rakyat  dan  dilaksanakan  menurut  Undang-Undang  Dasar.
Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan  dengan  prinsip  ketatanegaraan  di  atas,  salah  satu  substansi  penting  perubahan
Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  adalah  adanya  Komisi Yudisial.  Komisi  Yudisial  tersebut  merupakan  lembaga  negara  yang  bersifat  mandiri  yang
berwenang  mengusulkan  pengangkatan  hakim  agung  dan  mempunyai  wewenang  lain dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku
hakim. Pasal  24B  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  memberikan
landasan  hukum  yang  kuat  bagi  reformasi  bidang  hukum  yakni  dengan  memberikan kewenangan  kepada  Komisi  Yudisial  untuk  mewujudkan  checks  and  balances. Walaupun
Komisi  Yudisial  bukan  pelaku  kekuasaan  kehakiman  namun  fungsinya  berkaitan  dengan kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang  ini  merupakan  pelaksanaan  dari  Pasal  24B  ayat  4  Undang-  Undang Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  yang  menentukan  bahwa  susunan,
kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang- undang. Dalam  Undang-Undang  ini  diatur  secara  rinci  mengenai  wewenang  dan  tugas  Komisi
Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai tugas mengusulkan pengangkatan  Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta  perilaku  hakim,  yakni  Hakim  Agung  dan  hakim  pada  badan  peradilan  di  semua lingkungan  peradilan  yang  berada  di  bawah  Mahkamah  Agung  serta  Hakim  Mahkamah
Konstitusi  sebagaimana  dimaksud  dalam  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik Indonesia  Tahun  1945.  Berkaitan  dengan  wewenang  tersebut,  dalam   Undang-Undang  ini
juga  diatur  mengenai  pengangkatan  dan  pemberhentian  Anggota  Komisi  Yudisial.  Syarat- syarat  untuk  diangkat  menjadi  Anggota  Komisi  Yudisial  harus  mempunyai  pengetahuan
dan  pengalaman  di  bidang  hukum  serta  memiliki  integritas  dan  kepribadian  yang  tidak tercela.  Anggota  Komisi  Yudisial  ini  diangkat  dan  diberhentikan  oleh  Presiden  dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
1011 Selain  hal-hal  yang  ditentukan  di  atas,  dalam  Undang-Undang  ini  diatur  pula  mengenai
larangan  merangkap  jabatan  bagi  Anggota  Komisi  Yudisial.  Di  samping  itu  diatur  pula mengenai  panitia  seleksi  untuk  mempersiapkan  calon  Anggota  Komisi  Yudisial,  beserta
syarat dan tata caranya.
II.        PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
1012 Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat 1 Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Yang  dim aksud  dengan  “seleksi”  dalam  ketentuan  ini  meliputi  penelitian
administrasi,  pengumuman  untuk  mendapatkan  masukan  masyarakat terhadap  pribadi  dan  tingkah  laku  calon,  rekomendasi  dari  Komisi
Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  sebagaimana  dimaksud  dalam Undang-Undang  Nomor  30  Tahun  2002  tentang  Komisi  Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Ayat 2
Cukup jelas. Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat 1 Yang  dim
aksud  dengan  “berturut-turut”  dalam  ketentuan  ini  adalah  pengumuman yang dilakukan secara terus menerus di tempat pengumuman Komisi Yudisial dan
1013 dapat pula diumumkan dalam mass media paling sedikit 2 dua kali.
Ayat 2 Cukup jelas.
Ayat 3 Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Bagi  yang  sudah  menyerahkan  laporan  kekayaan  kepada  Komisi Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  menyerahkan  bukti,  dan  bagi  yang
belum menyerahkan, melaporkan daftar harta kekayaannya. Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat 1 Seleksi terhadap kualitas bakal calon adalah seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial
untuk  menilai  kecakapan,  kemampuan,  integritas,  dan  moral  bakal  calon  dalam melaksanakan tugasnya di bidang peradilan.
Ayat 2 Cukup jelas.
Ayat 3 Yang  dim
aksud  dengan  “karya  ilmiah”  adalah  karya  dalam  bentuk  tulisan  yang
1014 dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ayat 4 Cukup jelas.
Ayat 5 Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat 1 Jangka waktu 30 tiga puluh hari dalam ketentuan  ini adalah hari persidangan dan
tidak termasuk masa reses. Ayat 2
Cukup jelas. Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Penjatuhan sanksi ini diajukan kepada  Mahkamah  Agung untuk hakim agung  dan  kepada Mahkamah Konstitusi untuk hakim Mahkamah Konstitusi.
Pasal 22
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Yang  dim
aksud  dengan  “menaati  norma,  hukum,  dan  ketentuan  peraturan perundang-
undangan” dalam ketentuan ini misalnya tidak memperlakukan semena- mena  terhadap  hakim  yang  dipanggil  untuk  memperoleh  keterangan  atau  tidak
memperlakukan hakim seolah-olah sebagai tersangka atau terdakwa. Hal ini untuk menjaga hak dan martabat hakim yang bersangkutan.
Ayat 3 Cukup jelas.
Ayat 4 Yang dim
aksud dengan “hakim” dalam ketentuan ini termasuk hakim pelapor, hakim terlapor, atau hakim lain yang terkait.
1015 Yang  dim
aksud  dengan  “keterangan”  dalam ketentuan  ini  dapat  diberikan  secara lisan danatau tertulis.
Ayat 5 Cukup jelas.
Ayat 6 Cukup jelas.
Ayat 7 Cukup jelas.
Ayat 8 Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pada ayat ini hanya dalam proses
melakukan tugas secara internal.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Cukup jelas.
Ayat 3 Cukup jelas.
Ayat 4 Keputusan  mengenai  pemberhentian  Hakim  Agung  danatau  Hakim  Mahkamah
Konstitusi yang dimaksud dalam ketentuan ini memuat alasan tertulis bagi anggota yang setuju maupun yang tidak setuju.
Pasal 26
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
1016 Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Yang  dim aksud dengan “tidak tercela” adalah perbuatan yang tidak  merendahkan
martabat Anggota Komisi Yudisial. Huruf f
Sehat jasmani dan rohani  dalam ketentuan  ini  dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter pemerintah.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Untuk  melaporkan  daftar  kekayaan,  setiap  calon  membuat  pernyataan
kesanggupan  mengumumkan  harta  kekayaan  setelah  menjadi  Anggota  Komisi Yudisial sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Jangka waktu 45 empat puluh  lima hari dalam ketentuan  ini tidak termasuk masa
reses. Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Cukup jelas.
Ayat 3 Cukup jelas.
Ayat 4 Cukup jelas.
1017 Ayat 5
Cukup jelas. Ayat 6
Lihat penjelasan Pasal 27 ayat 2. Ayat 7 Cukup jelas.
Ayat 8 Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Selama  menjadi  Anggota  Komisi  Yudisial,  advokat  tidak  boleh  menjalankan
profesinya. Huruf d
Selama menjadi Anggota Komisi Yudisial, notaris tidak boleh menjalankan profesinya.
Huruf e Yang dim
aksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris perusahaan. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 32
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
1018 Cukup jelas.
Huruf c Ketentuan  mengenai  sakit  jasmani  atau  rohani  terus  menerus  diperlukan
keterangan dokter yang ditunjuk khusus untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh, terutama bagi mereka yang telah mencapai umur di atas 68 enam puluh delapan
tahun. Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat 1 Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Yang  dim aksud  dengan  “perbuatan  tercela”  adalah  perbuatan  yang  dapat
merendahkan martabat Anggota Komisi Yudisial. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Ayat 2
Cukup jelas. Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat 1 Pemberhentian  sementara  dilakukan  karena  proses  penyidikan,  penuntutan,  atau
pemeriksaan  di  sidang  pengadilan  yang  diikuti  dengan  penahanan,  menyebabkan yang  bersangkutan  tidak  dapat  melaksanakan  tugas  sebagai  Anggota  Komisi
Yudisial. Ayat 2
1019 Pemberhentian  sementara  dimaksudkan  untuk  memberikan  kesempatan  yang
bersangkutan  untuk  melaksanakan  proses  peradilan  tanpa  dibebani  tugas  sebagai Anggota Komisi Yudisial.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Cukup jelas.
Ayat 3 Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Data  yang  berkaitan  dengan  fungsi  pengawasan  antara  lain  mengenai jumlah  laporan  atau  aduan  yang  masuk,  jumlah  laporan  atau  aduan  yang
ditindaklanjuti  dan  yang  tidak  beserta  alasannya,  hasil  pencarian  fakta  atas dugaan  pelanggaran  atau  penyalahgunaan  kekuasaan  oleh  Hakim  dan
rekomendasi  sanksi  yang  diberikan  kepada  Mahkamah  Agung  atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden.
Huruf c Data  yang  berkaitan  dengan  fungsi  rekruitmen  hakim  agung  antara  lain
jumlah  usulan  bakal  calon  dari  masyarakat,  alasan  diterima  atau  ditolaknya seorang  bakal  calon,  jumlah  laporan  atau  pengaduan  terhadap  bakal  calon
yang  masuk,  jumlah  laporan  yang  ditindaklanjuti  dan  yang  tidak  beserta alasannya, dan  alasan dalam merekomendasikan bakal calon Hakim Agung
ke DPR. Ayat 4
Cukup jelas. Ayat 5
Cukup jelas.
1020
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4415
1021
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011
TENTANG PERUBAHAN AT AS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004
TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang  :  a.   bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang
menjamin  kekuasaan  kehakiman  yang  merdeka  untuk  menjalankan peradilan  guna  menegakkan  hukum  dan  keadilan  berdasarkan  Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.   bahwa  Komisi  Yudisial  mempunyai  peranan  penting  dalam  usaha
mewujudkan  kekuasaan  kehakiman  yang  merdeka  melalui  pengusulan pengangkatan  hakim  agung  dan  wewenang  lain  dalam  rangka  menjaga
dan menegakkan kehormatan,  keluhuran martabat, serta perilaku Hakim demi  tegaknya  hokum  dan  keadilan  sesuai  dengan  Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c.   bahwa  ketentuan  mengenai  Komisi  Yudisial  sebagaimana  diatur  dalam
Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  2004  tentang  Komisi  Yudisial sebagian  sudah  tidak  sesuai  lagi  dengan  perkembangan  kebutuhan
hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan; d.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf  b,  dan  huruf  c  perlu  membentuk  Undang-Undang  tentang Perubahan  Atas Undang-Undang  Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial; Mengingat   :  1.   Pasal  20,  Pasal  24,  Pasal  24A,  dan  Pasal  24B  Undang  -Undang  Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2.   Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  2004  tentang  Komisi  Yudisial
Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2004  Nomor  89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415;
1022 3.   Undang-Undang  Nomor  48  Tahun  2009  tentang  Kekuasaan  Kehakiman
Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2009  Nomor  157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan :  UNDANG-UNDANG  TENTANG  PERUBAHAN  ATAS  UNDANGUNDANG
NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2004  Nomor  89,  Tambahan  Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4415 diubah sebagai berikut: 1.   Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.  Komisi  Yudisial  adalah  lembaga  Negara  sebagaimana  dimaksud  dalam  Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2.  Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3.  Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan
Rakyat  sebagaimana  dimaksud  dalam  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik Indonesia Tahun 1945.
4.  Badan  Peradilan  adalah  penyelenggara  peradilan  di  bawah  Mahkamah  Agung  dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
dan  lingkungan  peradilan  tata  usaha  negara,  serta  pengadilan  khusus  yang  berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
5.  Hakim adalah hakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan. 6.  Kode Etik  danatau Pedoman Perilaku  Hakim adalah panduan dalam rangka menjaga
dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku  Hakim  dalam menjalankan tugas profesinya dan dalam hubungan kemasyarakatan di l uar kedinasan.
1023 7.  Majelis  Kehormatan  Hakim  adalah  perangkat  yang  dibentuk  oleh  Mahkamah  Agung
dan  Komisi  Yudisial  yang  bertugas  memeriksa  dan  memutus  adanya  dugaan pelanggaran Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim.
8.  Hari adalah hari kerja. 2.   Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
1  Komisi Yudisial berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia. 2  Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan.
3  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pembentukan,  susunan,  dan  tata  kerja  penghubung Komisi  Yudisial  di  daerah  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  2  diatur  dengan
Peraturan Komisi Yudisial.
3.   Ketentuan Pasal 6 ayat 3 diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
1  Komisi Yudisial mempunyai 7 tujuh orang anggota. 2  Anggota Komisi Yudisial adalah pejabat negara.
3  Keanggotaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas: a.  2 dua orang mantan hakim;
b.  2 dua orang praktisi hukum; c.  2 dua orang akademisi hukum; dan
d.  1 satu orang anggota masyarakat.
4.   Ketentuan Pasal 11 ditambah 1 satu ayat, yakni ayat 3, sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
1  Komisi Yudisial dibantu oleh sekretariat jenderal yang dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal.
2  Sekretaris jenderal dijabat oleh pejabat pegawai negeri sipil. 3  Sekretaris  jenderal  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1  diangkat  dan  diberhentikan
oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial. 5.   Ketentuan Pasal 12 ayat 1 diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
1024 1  Sekretariat  jenderal  mempunyai  tugas  memberikan  dukungan  administratif  dan  teknis
operasional kepada Komisi Yudisial. 2  Ketentuan  mengenai  susunan  organisasi,  tugas,  tanggung  jawab,  dan  tata  kerja
sekretariat jenderal diatur dengan Peraturan Presiden. 6.   Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a.  mengusulkan  pengangkatan  hakim  agung  dan  hakim  ad  hoc  di  Mahkamah  Agung
kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; b.  menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c.  menetapkan  Kode  Etik  danatau  Pedoman  Perilaku  Hakim  bersama-sama  dengan Mahkamah Agung; dan
d.  menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim. 7.   Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
1  Dalam  jangka  waktu  paling  lama  20  dua  puluh  hari  terhitung  sejak  berakhirnya pengumuman  seleksi  administrasi  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17  ayat  2,
Komisi Yudisial melakukan seleksi uji kelayakan calon hakim agung. 2  Seleksi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1  dilaksanakan  secara  terbuka  dengan
mengikutsertakan partisipasi masyarakat. 3  Dalam  rangka  melakukan  seleksi,  Komisi  Yudisial  membuat  pedoman  untuk
menentukan kelayakan calon hakim agung. 4  Dalam  jangka  waktu  paling  lama  15  lima  belas  hari  terhitung  sejak  berakhirnya
seleksi  uji  kelayakan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1,  Komisi  Yudisial menetapkan dan mengajukan  3 tiga calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1
satu lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
8.   Di  antara  Pasal  19  dan  Pasal  20  disisipkan  1  satu  pasal,  yakni  Pasal  19A,  yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19A
1025 Dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku
hakim,  Komisi  Yudisial  berpedoman  pada  Kode  Etik  danatau  Pedoman  Perilaku  Hakim yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung.
9.   Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
1  Dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim; b. menerima  laporan  dari  masyarakat  berkaitan  dengan  pelanggaran  Kode  Etik
danatau Pedoman Perilaku Hakim; c. melakukan  verifikasi,  klarifikasi,  dan  investigasi  terhadap  laporan  dugaan
pelanggaran Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup; d. memutuskan  benar  tidaknya  laporan  dugaan  pelanggaran  Kode  Etik  danatau
Pedoman Perilaku Hakim; dan e. mengambil  langkah  hukum  danatau  langkah  lain  terhadap  orang  perseorangan,
kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Hakim.
2  Selain  tugas  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1,  Komisi  Yudisial  juga  mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan Hakim.
3  Dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta perilaku  hakim  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1  huruf  a  Komisi  Yudisial  dapat
meminta  bantuan  kepada  aparat  penegak  hukum  untuk  melakukan  penyadapan  dan merekam  pembicaraan  dalam  hal  adanya  dugaan  pelanggaran  Kode  Etik  danatau
Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim. 4  Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana
dimaksud pada ayat 3.
10. Di  antara  Pasal  20  dan  Pasal  21  disisipkan  1  satu  pasal,  yakni  Pasal  20A,  yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20A
1  Dalam melaksanakan  tugas  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  20  ayat  1,  Komisi Yudisial wajib:
a.  menaati peraturan perundang-undangan;
1026 b.  menegakkan Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim;
c.  menjaga  kerahasiaan  keterangan  atau  informasi  yang  diperoleh  yang  karena sifatnya  merupakan  rahasia  Komisi  Yudisial  yang  diperoleh  berdasarkan
kedudukannya sebagai anggota; dan d.  menjaga  kemandirian  dan  kebebasan  Hakim  dalam  memeriksa,  mengadili,  dan
memutus perkara. 2  Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang dilakukan
anggota Komisi Yudisial dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 11. Pasal 21 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
1  Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1 huruf a,  Komisi  Yudisial  menerima  laporan  masyarakat  danatau  informasi  tentang  dugaan
pelanggaran Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim. 2  Untuk  melaksanakan  pengawasan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1,  Komisi
Yudisial  dapat  meminta  keterangan  atau  data  kepada  Badan  Peradilan  danatau Hakim.
3  Pimpinan  Badan  Peradilan  danatau  Hakim  wajib  memberikan  keterangan  atau  data yang diminta oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada  ayat 2 dalam jangka
waktu  14  empat  belas  hari  terhitung  sejak  tanggal  permintaan  Komisi  Yudisial diterima.
4  Apabila  Badan  Peradilan  danatau  Hakim  belum  memberikan  keterangan  atau  data dalam  jangka  waktu  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  2,  Komisi  Yudisial  meminta
keterangan danatau data tersebut melalui pimpinan Mahkamah Agung. 5  Pimpinan  Mahkamah  Agung meminta kepada Badan Peradilan  danatau  Hakim untuk
memberikan keterangan atau data sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dalam jangka waktu 14 empat belas hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial.
6  Apabila  permintaan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  2  dan  ayat  4  tidak  dipenuhi tanpa  alas  an  yang  sah,  pimpinan  Badan  Peradilan  atau  Hakim  yang  bersangkutan
dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 7  Ketentuan  lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan  tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Komisi Yudisial.
1027 13. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 7 tujuh pasal, yakni Pasal 22A, Pasal 22B,
Pasal  22C,  Pasal  22D,  Pasal  22E,  Pasal  22F,  dan  Pasal  22G  yang  berbunyi  sebagai berikut:
Pasal 22A
1  Dalam  pelaksanaan  tugas  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  20  ayat  1  huruf  c, Komisi Yudisial:
a. melakukan verifikasi terhadap laporan; b. melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran;
c. melakukan  pemanggilan  dan  meminta  keterangan  dari  Hakim  yang  diduga melanggar  pedoman  kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku  Hakim  untuk
kepentingan pemeriksaan; d. melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari saksi; dan
e. menyimpulkan hasil pemeriksaan. 2  Dalam  hal  saksi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1  huruf  d  tidak  memenuhi
panggilan  3  tiga  kali  berturut-turut  tanpa  alasan  yang  sah,  Komisi  Yudisial  dapat memanggil  saksi  dengan  paksa  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-
undangan.
Pasal 22B
1  Pemeriksaan oleh Komisi Yudisial meliputi: a.  pemeriksaan  terhadap  dugaan  pelanggaran  Kode  Etik  danatau  Pedoman  Perilaku
Hakim; dan b.  permintaan  klarifikasi  terhadap  Hakim  yang  diduga  melakukan  pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada huruf a. 2  Dalam  setiap  pemeriksaan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1  dibuatkan  berita
acara pemeriksaan yang disahkan dan ditandatangani oleh terperiksa dan pemeriksa. 3  Klarifikasi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1  huruf  b  diajukan  oleh  Hakim  yang
diduga melakukan pelanggaran dalam jangka waktu  paling lama 14 empat belas hari sejak diterimanya pemanggilan yang menyebutkan adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim secara patut oleh Komisi Yudisial.
Pasal 22C
Hasil pemeriksaan atas dugaan pelanggaran Kode Etik danatau Pedoman Perilaku  Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A ayat 1 huruf e menyatakan:
a.  dugaan pelanggaran dinyatakan terbukti; atau
1028 b.  dugaan pelanggaran dinyatakan tidak terbukti.
Pasal 22D
1  Dalam  hal  dugaan  pelanggaran  Kode  Etik  danatau  Pedoman  Perilaku  Hakim dinyatakan terbukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C huruf a, Komisi Yudisial
mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap  Hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung.
2  Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa: a.  Sanksi ringan terdiri atas:
1  teguran lisan; 2  teguran tertulis; atau
3  pernyataan tidak puas secara tertulis. b.  Sanksi sedang terdiri atas:
1  penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 satu tahun; 2  penurunan gaji sebesar 1 satu kali kenaikan gaji berkala paling  lama 1 satu
tahun; 3  penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 satu  tahun; atau
4  hakim nonpalu paling lama 6 enam bulan. c.  Sanksi berat terdiri atas:
1  pembebasan dari jabatan struktural; 2  hakim nonpalu lebih dari 6 enam bulan sampai dengan 2 dua tahun;
3  pemberhentian sementara; 4  pemberhentian tetap dengan hak pensiun; atau
5  pemberhentian tetap tidak dengan hormat. 3  Mahkamah  Agung  menjatuhkan  sanksi  terhadap  Hakim  yang  melakukan  pelanggaran
Kode  Etik  danatau  Pedoman  Perilaku  Hakim  yang  diusulkan  oleh  Komisi  Yudisial dalam waktu paling lama 60 enam puluh hari terhitung sejak tanggal usulan diterima.
Pasal 22E
1  Dalam  hal  tidak  terjadi  perbedaan  pendapat  antara  Komisi  Yudisial  dan  Mahkamah Agung  mengenai  usulan  Komisi  Yudisial  tentang  penjatuhan  sanksi  dan  Mahkamah
Agung belum menjatuhkan sanksi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal  22D  ayat  3  maka  usulan  Komisi  Yudisial  berlaku  secara  otomatis  dan  wajib
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.
1029 2  Dalam  hal  terjadi  perbedaan  pendapat  antara  Komisi  Yudisial  dan  Mahkamah  Agung
mengenai  usulan  Komisi  Yudisial  tentang  penjatuhan  sanksi  ringan,  sanksi  sedang, dan  sanksi  berat  selain  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  22D  ayat  2  huruf  c
angka  4  dan  angka  5,  dilakukan  pemeriksaan  bersama  antara  Komisi  Yudisial  dan Mahkamah Agung terhadap Hakim yang bersangkutan.
3  Dalam  hal  Mahkamah  Agung  dan  Komisi  Yudisial  dalam  jangka  waktu  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  22D  ayat  3  tidak  mencapai  kata  sepakat  sebagaimana
dimaksud pada ayat 2, maka usulan Komisi Yudisial sepanjang memenuhi ketentuan dalam Pasal 22B ayat 1 huruf a, berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung. 4  Ketentuan  mengenai  tata  cara  pemeriksaan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1
diatur bersama oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
1030
Pasal 22F
1  Sanksi  berat  berupa  pemberhentian  tetap  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  22D ayat  2  huruf  c  angka  4  dan  angka  5  diusulkan  Komisi  Yudisial  kepada  Majelis
Kehormatan Hakim. 2  Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas 4 empat
orang anggota Komisi Yudisial dan 3 tiga orang hakim agung. 3  Majelis  Kehormatan  Hakim  memeriksa  dan  memutus  adanya  dugaan  pelanggaran
Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim yang diusulkan oleh Komisi Yudisial atau Mahkamah  Agung  dalam  waktu  paling  lama  60  enam  puluh  hari  terhitung  sejak
tanggal usulan diterima. 4  Keputusan  Majelis  Kehormatan  Hakim  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  3  diambil
secara musyawarah dan mufakat dan apabila tidak tercapai  keputusan diambil melalui suara terbanyak.
5  Mahkamah  Agung  wajib  melaksanakan  keputusan  Majelis  Kehormatan  Hakim  dalam waktu  paling  lama  30  tiga  puluh  hari  terhitung  sejak  tanggal  diucapkan  keputusan
Majelis Kehormatan Hakim.
Pasal 22G
Dalam  hal  dugaan  pelanggaran  dinyatakan  tidak  terbukti  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal  22C  huruf  b,  Majelis  Kehormatan  Hakim  menyatakan  bahwa  dugaan  pelanggaran
tidak terbukti dan memulihkan nama baik Hakim yang diadukan. 14. Pasal 23 dihapus.
15. Pasal 24 dihapus. 16. Ketentuan  Pasal  25  ayat  3  dan  ayat  4  diubah  sehingga  Pasal  25  berbunyi  sebagai
berikut:
Pasal 25
1  Pengambilan  keputusan  Komisi  Yudisial  dilakukan  secara  musyawarah  untuk mencapai mufakat.
2  Apabila  pengambilan  keputusan  secara  musyawarah  tidak  tercapai,  pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak.
3  Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah sah apabila rapat dihadiri oleh paling  sedikit  5  lima  orang  anggota  Komisi  Yudisial,  kecuali  keputusan  mengenai
1031 pengusulan  calon  hakim  agung  ke  DPR  dengan  dihadiri  seluruh  anggota  Komisi
Yudisial. 4  Dalam  hal  terjadi  penundaan  3  tiga  kali  berturutturut  atas  keputusan  mengenai
pengusulan calon hakim agung ke DPR, keputusan dianggap sah apabila dihadiri oleh 5 lima orang anggota.
17. Ketentuan Bagian Pertama Pengangkatan diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kesatu Pengangkatan
18. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
Untuk  dapat  diangkat  menjadi  anggota  Komisi  Yudisial,  seorang  calon  harus  memenuhi syarat:
a.  warga negara Indonesia; b.  bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.  setia  pada  Pancasila,  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia,  dan  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.  berusia  paling  rendah  45  empat  puluh  lima  tahun  dan  paling  tinggi  68  enam  puluh delapan tahun pada saat proses pemilihan;
e.  berijazah  sarjana  hukum  atau  sarjana  lain  yang  relevan  danatau  mempunyai pengalaman di bidang hukum paling singkat 15 lima belas tahun;
f.  berkomitmen untuk memperbaiki sistem peradilan di Indonesia; g.  memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
h.  memiliki kemampuan jasmani dan rohani; i.  tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
j.  melaporkan harta kekayaan. 19. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
1  Presiden  membentuk  panitia  seleksi  pemilihan  anggota  Komisi  Yudisial  dalam  waktu paling lama 3 tiga bulan setelah menerima surat pemberitahuan dari pimpinan Komisi
Yudisial. 2  Panitia  seleksi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1    terdiri  atas  unsur  Pemerintah,
praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
1032 3  Panitia seleksi mempunyai tugas:
a.  mengumumkan  pendaftaran  penerimaan  calon  anggota  Komisi  Yudisial  dalam jangka waktu 15 lima belas hari;
b.  melakukan pendaftaran dan seleksi administrasi serta seleksi kualitas dan integritas calon  anggota  Komisi  Yudisial  dalam  jangka  waktu  60  enam  puluh  hari  terhitung
sejak pengumuman pendaftaran berakhir; dan c.  menentukan  dan  menyampaikan  calon  anggota  Komisi  Yudisial  sebanyak  21  dua
puluh  satu  calon  dengan  memperhatikan  komposisi  anggota  Komisi  Yudisial sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  6  ayat  3  dalam  jangka  waktu  paling  lambat
30 tiga puluh hari. 4  Dalam  melaksanakan  tugas  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  3  panitia  seleksi
bekerja  secara  akuntabel  dan  transparan  dengan  mengikutsertakan  partisipasi masyarakat.
5  Dalam  waktu  paling  lambat  15  lima  belas  hari  sejak  menerima  calon  dari  panitia seleksi,  Presiden  mengajukan  21  dua  puluh  satu  calon  anggota  Komisi  Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf c kepada DPR. 6  DPR wajib memilih dan menetapkan 7 tujuh calon anggota dalam waktu paling lambat
30 tiga puluh hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden. 7  Calon  terpilih  disampaikan  oleh  pimpinan  DPR  kepada  Presiden  paling  lama  15  lima
belas hari terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden. 8  Presiden  wajib  menetapkan  calon  terpilih  paling  lama  15  lima  belas  hari  terhitung
sejak tanggal diterimanya surat Pimpinan DPR. 20. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
1  Anggota  Komisi  Yudisial  memegang  jabatan  selama  5  lima  tahun  dan  sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 satu kali masa jabatan.
2  Pimpinan Komisi Yudisial memberitahukan mengenai berakhirnya masa jabatan Komisi Yudisial kepada Presiden paling lambat 1 satu tahun sebelum habis masa jabatan.
21. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
1  Dalam  hal  terjadi  kekosongan  keanggotaan  Komisi  Yudisial,  Presiden  mengajukan calon anggota pengganti sebanyak 3 tiga kali dari jumlah  keanggotaan yang kosong
kepada DPR.
1033 2  Calon anggota pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan paling lama 3
tiga bulan terhitung sejak terjadi kekosongan. 3  Calon  anggota  pengganti  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1  dapat  berasal  dari
calon yang diajukan Presiden yang tidak terpilih oleh DPR berdasarkan urutan. 4  Anggota  Komisi  Yudisial  yang  menggantikan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  2
melanjutkan sisa masa jabatan anggota Komisi Yudisial yang digantikannya. 5  Prosedur  pengajuan  calon  pengganti  dan  pemilihan  calon  anggota  Komisi  Yudisial
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28.
22. Ketentuan Pasal 38 ayat 3 diubah sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
1  Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada public melalui DPR. 2  Pertanggungjawaban  kepada  publik  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1
dilaksanakan dengan cara: a.  menerbitkan laporan tahunan; dan
b.  membuka akses informasi secara lengkap dan akurat. 3  Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a paling sedikit memuat:
a.  laporan penggunaan anggaran; b.  data  yang  berkaitan  dengan  tugas  mengusulkan  pengangkatan  hakim  agung
kepada DPR; dan c.  data  yang  berkaitan  dengan  tugas  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku Hakim. 4  Laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  2  huruf  a  disampaikan  pula  kepada
Presiden. 5  Keuangan  Komisi  Yudisial  diperiksa  oleh  Badan  Pemeriksa  Keuangan  menurut
ketentuan Undang- Undang. 23. Di  antara  Pasal  40  dan Pasal  41  disisipkan  2  dua  pasal,  yakni  Pasal  40A  dan  Pasal
40B, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40A
1  Majelis Kehormatan Hakim dibentuk sesuai dengan kebutuhan. 2  Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan tata kerja  Majelis Kehormatan Hakim
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1  diatur  bersama  oleh  Komisi  Yudisial  dan Mahkamah Agung.
1034
Pasal 40B
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 satu tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan  Undang-Undang  ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 9 November 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 November 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI M ANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd, AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 106
1035
PENJELASAN AT AS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG
PERUBAHAN AT AS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
I.   UMUM
Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa  Komisi  Yudisial  bersifat  mandiri  yang  berwenang  mengusulkan  pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim.
Undang-Undang ini merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
. Perubahan dilakukan dalam upaya menjabarkan “kewenangan lain” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun  1945  dan  hal  yang  terkait  dengan  upaya  penguatan  tugas  dan  fungsi  Komisi
Yudisial.  Selain  itu,  perubahan  tersebut  dilakukan  dengan  pertimbangan  karena terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial  yang  dianggap  sudah  tidak  sesuai  lagi  dengan  perkembangan  kebutuhan hukum  masyarakat  dan  kehidupan  ketatanegaraan  menurut  Undang-Undang  Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Beberapa  pokok  materi  penting  dalam  perubahan  Undang-Undang  Nomor  22  Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial, antara lain: -   penentuan secara tegas mengenai jumlah keanggotaan Komisi Yudisial;
-   pencantuman  Kode  Etik  danatau  Pedoman  Perilaku  Hakim  sebagai  pedoman Komisi  Yudisial  dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran
martabat, serta perilaku hakim; -   permintaan  bantuan  oleh  Komisi  Yudisial  kepada  aparat  penegak  hukum  untuk
melakukan  penyadapan  dan  merekam  pembicaraan  dalam  hal  adanya  dugaan pelanggaran kode etik oleh Hakim;
-   pemanggilan  paksa  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundangundangan terhadap saksi yang tidak memenuhi panggilan 3 tiga kali berturut-turut; dan
-   penjatuhan sanksi baik ringan, sedang, maupun berat,  kecuali pemberhentian tetap tidak dengan hormat dilakukan oleh Mahkamah Agung atas usul Komisi Yudisial
.
1036 Adapun penjatuhan sanksi berat pemberhentian tidak dengan hormat diusulkan Komisi
Yudisial kepada Majelis Kehormatan Hakim.
II.   PASAL DEMI PASAL
Pasal I Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas.
Angka 2 Pasal 3
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Penghubung  dalam  ketentuan  ini  mempunyai  peran  membantu  pelaksanaan  tugas
Komisi Yudisial. Ayat 3
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 6 Ayat 1
Cukup jelas. Ayat 2
Cukup jelas. Ayat 3
Huruf a Yang  dimaksud  dengan  ”mantan  hakim”  adalah  orang  yang  telah  berhenti
dari jabatan hakim, baik pada saat mendaftarkan diri sebagai calon  anggota
Komisi  Yudisial  maupun  pada  saat  diangkat  sebagai  anggota  Komisi Yudisial.
Huruf b Cukup jelas.
1037 Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 11 Cukup jelas.
Angka 5 Pasal 12
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 13 Cukup jelas.
Angka 7 Pasal 18
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Cukup jelas.
Ayat 3 Yang  dimak
sud dengan “pedoman” dalam ketentuan ini merupakan  panduan bagi Komisi Yudisial dalam menentukan kelayakan calon hakim agung.
Ayat 4 Cukup jelas.
Angka 8 Pasal 19A
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 20 Cukup jelas.
1038 Angka 10
Pasal 20A Cukup jelas.
Angka 11 Cukup jelas.
Angka 12 Pasal 22
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 22A Cukup jelas.
Pasal 27B Cukup jelas.
Pasal 22C Cukup jelas.
Pasal 22D Cukup jelas.
Pasal 22E Cukup jelas.
Pasal 22F Cukup jelas.
Pasal 22G Cukup jelas.
Angka 14 Cukup jelas.
Angka 15 Cukup jelas.
1039 Angka 16
Pasal 25 Ayat 1
Cukup jelas. Ayat 2
Cukup jelas. Ayat 3
Cukup jelas. Ayat 4
Yang dimaksud dengan “3 tiga kali berturut-turut” adalah 3 x 24 tiga kali dua puluh empat jam.
Angka 17 Cukup jelas.
Angka 18 Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 19 Pasal 28
Cukup jelas. Angka 20
Pasal 29 Cukup jelas.
Angka 21 Pasal 37
Cukup jelas. Angka 22
Pasal 38 Cukup jelas.
1040 Angka 23
Pasal 40A Cukup jelas.
Pasal 40B Cukup jelas.
Pasal II Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA  NOMOR 5250
1041
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.  bahwa  Pembangunan  Nasional  menuntut  keikutsertaan  segenap  warganya  untuk
berperan  menghimpun  dana  pembiayaan  yang  memadai,  terutama  harus  bersumber dari  kemampuan  dalam  negeri,  hal  mana  merupakan  perwujudan  kewajiban
kenegaraan dalam rangka mencapai tujuan Pembangunan Nasional; b.  bahwa  Bea  Meterai  yang  selama  ini  dipungut  berdasarkan  Aturan  Bea  Meterai  1921
Zegelverordening  1921  tidak  sesuai  lagi  dengan  keperluan  dan  perkembangan keadaan di Indonesia;
c.  bahwa  sehubungan  dengan  hal  tersebut  di  atas,  perlu  diadakan  pengaturan  kembali tentang  Bea  Meterai  yang  lebih  bersifat  sederhana  dan  mudah  dilaksanakan  oleh
masyarakat; d.  bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas perlu dikeluarkan undang-undang baru
mengenai Bea
Meterai yang
menggantikan Aturan
Bea Meterai
1921 Zegelverordening 1921;
Menimbang : 1.  Pasal 5 ayat 1, Pasal 20 ayat 1, dan Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945;
2.  Undang-undang  Nomor  6  Tahun  1983  tentang  Ketentuan  Umum  dan  Tata  Cara Perpajakan  Lembaran  Negara  Tahun  1983  Nomor  49,  Tambahan  Lembaran  Negara
Nomor 3262; Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
Dengan  mencabut  Aturan  Bea  Meterai  1921  Zegelverordening  1921  Staatsblad  Tahun 1921  Nomor  498  sebagaimana  telah  beberapa  kali  diubah,  terakhir  dengan  Undang-
undang  Nomor 2 Prp Tahun 1965 Lembaran  Negara Tahun 1965  Nomor 121, yang telah
1042 ditetapkan  menjadi  Undang-undang  dengan  Undang-undang  Nomor  7  Tahun  1960
Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38. Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG BEA METERAI
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 1  Dengan  nama  Bea  Meterai  dikenakan  pajak  atas  dokumen  yang  disebut  dalam
Undang-undang ini. 2  Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
a.  Dokumen  adalah  kertas  yang  berisikan  tulisan  yang  mengandung  arti  dan  maksud tentang  perbuatan,  keadaan  atau  kenyataan  bagi  seseorang  danatau  pihak-pihak
yang berkepentingan; b.  Benda  meterai  adalah  meterai  tempel  dan  kertas  meterai  yang  dikeluarkan  oleh
Pemerintah Republik Indonesia; c.  Tandatangan  adalah  tandatangan  sebagaimana  lazimnya  dipergunakan,  termasuk
pula  paraf,  teraan  atau  cap  tandatangan  atau  cap  paraf,  teraan  cap  nama  atau tanda lainnya sebagai pengganti tandatangan;
d.  Pemeteraian  kemudian  adalah  suatu  cara  pelunasan  Bea  Meterai  yang  dilakukan oleh  Pejabat  Pos  atas  permintaan  pemegang  dokumen  yang  Bea  Meterai-nya
belum dilunasi sebagaimana mestinya; e.  Pejabat  Pos  adalah  Pejabat  Perusahaan  Umum  Pos  dan  Giro  yang  diserahi  tugas
melayani permintaan pemeteraian kemudian. BAB II
OBYEK, TARIF, DAN YANG TERHUTANG BEA METERAI Pasal 2
1  Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk : a.  Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai  alat  pembuktian  mengenai  perbuatan,  kenyataan  atau  keadaan  yang bersifat perdata;
b.  akta-akta notaris termasuk salinannya; c.  akta-akta  yang  dibuat  oleh  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  termasuk  rangkap-
rangkapnya; d.  surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp.1.000.000,- satu juta rupiah :
1043 1  yang menyebutkan penerimaan uang;
2  yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan  uang  dalam rekening di bank;
3  yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; 4  yang  berisi  pengakuan  bahwa  hutang  uang  seluruhnya  atau  sebagiannya  telah
dilunasi atau diperhitungkan; e.  surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih
dari Rp.1.000.000,- satu juta rupiah; f.  efek  dengan  nama  dan  dalam  bentuk  apapun,  sepanjang  harga  nominalnya  lebih
dari Rp.1.000.000,- satu juta rupiah. 2  Terhadap  dokumen  sebagaimana  dalam  ayat  1  huruf  a,  huruf  b,  huruf  c,  huruf  d,
huruf  e,  dan  huruf  f  dikenakan  Bea  Meterai  dengan  tarif  sebesar  Rp.1.000,-  seribu rupiah.
3  Dikenakan  pula  Bea  Meterai  sebesar  Rp.1000,-  seribu  rupiah  atas  dokumen  yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan:
a.  surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan; b.  surat-surat  yang  semula  tidak  dikenakan  Bea  Meterai  berdasarkan  tujuannya,  jika
digunakan  untuk  tujuan  lain  atau  digunakan  oleh  orang  lain,  lain  dari  maksud semula;
4 Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf d, huruf e, dan huruf f, yang  mempunyai  harga  nominal  lebih  dari  Rp.100.000,-  seratus  ribu  rupiah  tetapi
tidak  lebih  dari  Rp.1.000.000,-  satu  juta  rupiah  dikenakan  Bea  Meterai  dengan  tarif Rp.500,- lima ratus rupiah dan apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp.100.000,-
seratus ribu rupiah tidak terhutang Bea Meterai. Pasal 3
Dengan  Peraturan  Pemerintah  dapat  ditetapkan  besarnya  tarif  Bea  Meterai  dan  besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan,
dinaikkan  setinggi-tingginya  enam  kali  atas  dokumen-dokumen  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 4 Tidak dikenakan Bea Meterai atas :
a.  dokumen yang berupa : 1 surat penyimpanan barang;
1044 2 konsumen;
3 surat angkutan penumpang dan barang; 4 keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud
dalam angka 1, angka 2, dan angka 3; 5 bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
6 surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; 7 surat-surat  lainnya  yang  dapat  disamakan  dengan  surat-surat  sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 sampai angka 6. b.  segala bentuk Ijazah;
c.  tanda  terima  gaji,  uang  tunggu,  pensiun,  uang  tunjangan,  dan  pembayaran  lainnya yang  ada  kaitannya  dengan  hubungan  kerja  serta  surat-surat  yang  diserahkan  untuk
mendapatkan pembayaran itu; d.  tanda  bukti  penerimaan  uang  Negara  dari  kas  Negara,  Kas  Pemerintah  Daerah,  dan
bank; e.  kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank; f.  tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g.  dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;
h.  surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Penggadaian; i.  tanda  pembagian  keuntungan  atau  bunga  dari  efek,  dengan  nama  dan  dalam  bentuk
apapun. Pasal 5
Saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal : a.  dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
b.  dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen itu dibuat;
c.  dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia. Pasal 6
Bea  Meterai  terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak  yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.
BAB III BENDA METERAI, PENGGUNAAN, DAN CARA PELUNASANNYA
1045 Pasal 7
1  Bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan  kertas meterai, demikian pula pencetakan pengurusan,  penjualan  serta  penelitian  keabsahannya  ditetapkan  oleh  Menteri
Keuangan. 2  Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara :
a. menggunakan benda meterai; b. menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
3  Meterai  tempel  di  rekatkan  seluruhnya  dengan  utuh  dan  tidak  rusak  di  atas  dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
4  Meterai tempel di rekatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan. 5  Pembubuhan  tanda  tangan  disertai  dengan  pencantuman  tanggal,  bulan,  dan  tahun
dilakukan dengan tinta atau  yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian  tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.
6  Jika  digunakan  lebih  dari  satu  meterai  tempel,  tanda  tangan  harus  dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.
7  Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi. 8  Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya
di  atas  meterai  yang  digunakan,  maka  untuk  bagian  isi  yang  masih  tertinggal  dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
9  Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 sampai dengan ayat 8 tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
Pasal 8 1  Dokumen  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  2  yang  Bea  Meterainya  tidak  atau
kurang  dilunasi  sebagaimana  mestinya  dikenakan  denda  administrasi  sebesar  200 dua ratus persen dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.
2  pemegang  dokumen  atas  dokumen  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  1  harus melunasi  Bea  Meterai  yang  terhutang  berikut  dendanya  dengan  cara  pemeteraian-
kemudian. Pasal 9
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di  Indonesia harus telah dilunasi bea Meterai yang terhutang dengan cara pemeteraian-kemudian.
Pasal 10
1046 Pemeteraian-kemudian  atas  dokumen  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  2  ayat  3,
Pasal  8,  dan  Pasal  9  dilakukan  oleh  Pejabat  Pos  menurut  tata  cara  yang  tetapkan  oleh Menteri Keuangan.
BAB IV KETENTUAN KHUSUS
Pasal 11 1  Pejabat  pemerintah,  hakim,  panitera,  jurusita,  notaris,  dan  pejabat  umum  lainnya
masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan : a.  menerima,  mempertimbangkan  atau  menyimpan  dokumen  yang  Bea  Meterai-nya
atau kurang dibayar; b.  meletakan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan
tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan; c.  membuat  salinan,  tembusan,  rangkapan  atau  petikan  dari  dokumen  yang  Bea
Meterai-nya tidak atau kurang dibayar; d.  memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar
sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya. 2  Pelanggaran  terhadap  ketentuan-ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  1
dikenakan sanksi administratif dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 12
Kewajiban  pemenuhan  Bea  Meterai  dan  denda  administrasi  yang  terhutang  menurut Undang-undang  ini  daluwarsa  setelah  lampau  waktu  lima  tahun,  terhitung  sejak  tanggal
dokumen dibuat. BAB V
KETENTUAN PIDANA Pasal 13
Di pidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana : a.  barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan kertas meterai atau meniru
dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai; b.  barang  siapa  dengan  sengaja  menyimpan  dengan  maksud  untuk  diedarkan  atau
memasukan  ke  Negara  Indonesia  meterai  palsu,  yang  dipalsukan  atau  yang  dibuat dengan melawan hak;
c.  barang  siapa  dengan  sengaja  menggunakan,  menjual,  menawarkan,  menyerahkan menyediakan  untuk  dijual  atau  di  masukan  ke  Negara  Indonesia  meterai  yang
1047 mereknya,  capnya,  tanda-tangannya,  tanda  sahnya  atau  tanda  waktunya
mempergunakan  telah  dihilangkan  seolah-olah  meterai  itu  belum  dipakai  dan  atau menyuruh orang lain menggunakan dengan melawan hak;
d.  barang  siapa  menyimpan  bahan-bahan  atau  perkakas-perkakas  yang  diketahuinya digunakan  untuk  melakukan  salah  satu  kejahatan  untuk  meniru  dan  memalsukan
benda meterai. Pasal 14
1  Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana di maksud dalam Pasal 7 ayat 2 huruf b tanpa izin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 7 tujuh tahun. 2  Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kejahatan.
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15 1  Atas  dokumen  yang  tidak  atau  kurang  dibayar  Bea  Meterainya  yang  dibuat  sebelum
Undang-undang  ini  berlaku,  bea  meterainya  tetap  terhutang  berdasarkan  aturan  Bea Meterai 1921 Zegelverordening 1921.
2  Pelaksanaan  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  1  diatur  oleh  Menteri Keuangan.
Pasal 16 Selama  peraturan  pelaksanaan  Undang-undang  ini  belum  dikeluarkan,  maka  peraturan
pelaksanaan  berdasarkan  Aturan  Bea  Meterai  1921  Zegelverordening  1921  yang  tidak bertentangan dengan Undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih
tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1988. BAB VII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 17
Pelaksanaan Undang-undang ini selanjutnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 18
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan  Undang-undang  ini
dengan penempatannya dalam Lembaran negara Republik Indonesia
1048 Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1985
MENTERISEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd
SUDHARMONO, S.H. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 69
PENJELASAN AT AS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI
UMUM Negara  Republik  Indonesia  sebagai  negara  hukum  yang  berdasarkan  Pancasila  dan
Undang-undang  Dasar  1945  memberikan  hak  dan  kewajiban  yang  sama  kepada  semua Warga Negara untuk berperan serta dalam pembangunan Nasional.
Salah  satu  cara  dalam  mewujudkan  peran  serta  masyarakat  tersebut  adalah  dengan memenuhi  kewajiban  pembayaran  atas  pengenaan  Bea  Meterai  terhadap  dokumen-
dokumen tertentu yang digunakan. Pengaturan  pengenaan  bea  Meterai  selama  ini  yang  terdapat  dalam  Aturan  Bea  Meterai
1921  Zegelverordening  1921  staatsblad  Tahun  1921  Nomor  498  sebagaimana  telah beberapa  kali  diubah,  terakhir  dengan  Undang-undang  Nomor  2  Prp  Tahun  1965
Lembaran  Negara  Tahun  1965  Nomor  121,  yang  telah  ditetapkan  menjadi  Undang- undang dengan  Undang-undang  No 7 Tahun 1969 Lembaran Negara Tahun 1969  Nomor
38 tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di  Indonesia sehingga perlu disederhanakan.
Untuk itu Undang-undang ini tidak lagi mencantumkan Bea Meterai menurut luas kertas dan Bea  Meterai  sebanding  melainkan  hanya  Bea  Meterai  tetap  yang  besarnya  Rp.1.000,-
seribu rupiah dan Rp. 500,- lima ratus rupiah.
1049 Selanjutnya  untuk  kesederhanaan  dan  kemudahan  pemenuhan  Bea  Meterai  maka
pelunasannya  cukup  dilakukan  dengan  menggunakan  meterai  tempel  dan  kertas  meterai, sehingga  masyarakat  tidak  perlu  lagi  datang  ke  Kantor  Direktorat  Jenderal  Pajak,  untuk
memperoleh Surat Kuasa Untuk Menyetor SKUM. Yang  dikenakan  Bea  Meterai  dibatasi  pada  dokumen-dokumen  yang  disebut  dalam
Undang-undang ini, yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum. Untuk  melunasi  Bea  Meterai  yang  tidak  atau  kurang  dibayar  beserta  dendanya  jika  ada
dilakukan dengan cara pemeteraian kemudian nexegeling. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 ayat 1
Cukup jelas. Ayat 2
Cukup jelas. Pasal 2
Ayat 1 Huruf a
Pihak-pihak  yang  memegang  surat  perjanjian  atau  surat-surat  lainnya tersebut,  di  bebani  kewajiban  untuk  membayar  Bea  Meterai  atas  surat
perjanjian atau surat-surat yang dipegangnya. Yang dimaksud surat-surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat  kuasa,
surat hibah, surat pernyataan. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d, huruf e, dan huruf f
Jumlah  uang  ataupun  harga  nominal  yang  disebut  dalam  huruf  d,  huruf  e, dan  huruf  f  ini  juga  dimaksudkan  jumlah  uang  ataupun  harga  nominal  yang
dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk  menentukan  nilai  rupiahnya  maka  jumlah  uang  atau  harga  nominal
tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
1050 yang  berlaku  pada  saat  dokumen  itu  dibuat,  sehingga  dapat  diketahui
apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan Bea Meterai. Ayat 2
Cukup jelas. Ayat 3
Ayat ini dimaksudkan untuk mengenakan Bea Meterai atas surat-surat yang semula tidak kena Bea Meterai, tetapi karena kemudian digunakan sebagai alat pembuktian
di muka pengadilan maka lebih dahulu harus dilakukan pemeteraian kemudian. Huruf a
Surat-surat  biasa  yang  dimaksud  dalam  huruf  a  ayat  ini  dibuat  tidak  untuk tujuan  sesuatu  pembuktian  misalnya  seseorang  mengirim  surat  biasa
kepada orang lain untuk menjualkan sebuah barang. Surat  semacam  ini  pada  saat  dibuat  tidak  kena  Bea  Meterai,  tetapi  apabila
kemudian  dipakai  sebagai  alat  pembuktian  di  muka  Pengadilan,  maka terlebih
dahulu dilakukan
pemeteraian kemudian.
Surat-surat kerumahtanggaan misalnya daftar barang.
Daftar  ini  dibuat  tidak  dimaksudkan  untuk  digunakan  sebagai  alat pembuktian, oleh karena itu tidak dikenakan Bea Meterai.
Apabila  kemudian  ada  sengketa  dan  daftar  harga  barang  ini  digunakan sebagai  alat  pembuktian,  maka  daftar  harga  barang  ini  terlebih  dahulu
dilakukan pemeteraian-kemudian. Huruf b
Surat-surat  yang  dimaksud  dalam  huruf  b  ayat  ini  ialah  surat-surat  yang karena  tujuannya  tidak  dikenakan  Bea  Meterai,  tetapi  apabila  tujuannya
kemudian diubah maka surat yang demikian itu dikenakan Bea Meterai. Misalnya tanda penerimaan tidak dikenakan Bea  Meterai.  Apabila kemudian
tanda  penerimaan  uang  tersebut  digunakan  sebagai  alat  pembuktian  di muka  Pengadilan,  maka  tanda  penerimaan  uang  tersebut  harus  dilakukan
pemeteraian-kemudian terlebih dahulu. Ayat 4
Lihat penjelasan ayat 1 huruf d, huruf e, dan huruf f. Pasal 3
Cukup jelas
1051 Pasal 4
Huruf a Angka 1
Cukup jelas. Angka 2
Cukup jelas Angka 3
Cukup jelas Angka 4
Cukup jelas Angka 5
Cukup jelas Angka 6
Cukup jelas Angka 7
Yang  dimaksud  dengan  surat-surat  lainnya  dalam  angka  7  ini  ialah  surat- surat  yang  tidak  disebut  pada  angka  1  sampai  dengan  angka  6  namun
karena  isi  dan  keguanaannya  dapat  disamakan  surat-surat  yang  dimaksud, seperti  titipan  barang,  ceel  gudang  manifest  penumpang,  maka  surat  yang
demikian ini tidak dikenakan Bea Meterai, menurut Pasal 4 huruf a ini. Huruf b
Termasuk dalam pengertian segala bentuk ijazah ini ialah surat tanda tamat belajar, tanda  lulus,  surat  keterangan  telah  mengikuti  sesuatu  pendidikan,  latihan,  kursus,
dan penataran. Huruf c
Cukup jelas Pasal 6
Dalam  hal  dokumen  dibuat  sepihak,  misalnya  kuitansi,  Bea  Meterai  terhutang  oleh penerima kuitansi.
Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 dua pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terhutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya.
Jika  surat  perjanjian  dibuat  dengan  Akta  Notaris,  maka  Bea  Meterai  yang  terhutang  baik atas  asli sahih  yang  disimpan  oleh  Notaris maupun  salinannya  yang  diperuntukkan  pihak-
1052 pihak yang bersangkutan terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen
tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Jika  pihak  atau  pihak-pihak  yang  bersangkutan  menentukan  lain,  maka  Bea  Meterai
terhutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut. Pasal 7
Ayat 1 Cukup jelas
Ayat 2 Pada umumnya Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan benda meterai menurut
tarif yang ditentukan dalam Undang-undang ini. Di samping itu dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan cara lain bagi
pelunasan  Bea  Meterai,  misalnya  membubuhkan  tanda-tera  sebagai  pengganti benda  meterai  di  atas  dokumen  dengan  mesin-teraan,  sesuai  dengan  peraturan
perundang-undangan yang ditentukan untuk itu. Ayat 3
Cukup jelas Ayat 4
Cukup jelas Ayat 5
Yang sejenis dengan tinta misalnya pensil tinta, ballpoint dan sebagainya. Ayat 6
Cukup jelas Ayat 7
Ayat  ini  menegaskan  bahwa  sehelai  kertas  meterai  hanya  dapat  digunakan  untuk sekali pemakaian, sekalipun  dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang  dimuat
dalam  kertas  meterai  tersebut  hanya  menggunakan  sebagian  saja  dari  kertas meterai.
Andai  kata  bagian   yang  masih  kosong  atau  tidak  terisi  tulisan  atau  keterangan, akan  dimuat  tulisan  atau  keterangan  lain,  maka  atas  pemuatan  tulisan  atau
keterangan  lain  tersebut  terhutang  Bea  Meterai  tersendiri  yang  besarnya disesuaikan dengan besarnya tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Jika  sehelai  kertas  meterai  karena  sesuatu  hal  tidak  jadi  digunakan  dan  dalam  hal ini  belum  ditandatangani  oleh  pembuat  atau  yang  berkepentingan,  sedangkan
dalam kertas meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang
1053 belum  merupakan  suatu  dokumen  yang  selesai  dan  kemudian  tulisan  yang  ada
pada kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru maka kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi.
Ayat 8 Cukup jelas
Ayat 9 Cukup jelas
Pasal 8 Ayat 1
Cukup jelas Ayat 2
Cukup jelas Pasal 9
Dokumen  yang  dibuat  di  luar  negeri  tidak  dikenakan  Bea  Meterai  sepanjang  tidak digunakan  di  Indonesia.  Jika  dokumen  tersebut  hendak  digunakan  di  Indonesia  harus
dibubuhi meterai terlebih dahulu yang besarnya sesuai dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan cara pemeteraian-kemudian tanpa denda. Namun apabila dokumen
tersebut  baru  dilunasi  Bea  Meterainya  sesudah  digunakan,  maka  pemeteraian-kemudian dilakukan berikut dendanya sebesar 200 dua ratus persen.
Pasal 10 Cukup jelas
Pasal 11 Cukup jelas
Pasal 12 Ditinjau  dari  segi  kepastian  hukum  daluwarsa  5  lima  tahun  dihitung  sejak  tanggal
dokumen dibuat, berlaku untuk seluruh dokumen termasuk kuitansi. Pasal 13
Cukup jelas Pasal 14
1054 Ayat 1
Melakukan  perbuatan  sebagaimana  dimaksud  dalam  penjelasan  Pasal  7  ayat  2 tanpa izin Menteri Keuangan, akan menimbulkan keuntungan bagi pemilik atau yang
menggunakannya, dan sebaliknya akan menimbulkan kerugian bagi Negara. Oleh  karena  itu  harus  dikenakan  sanksi  pidana  berupa  hukuman  setimpal  dengan
kejahatan yang diperbuatnya. Ayat 2
Cukup jelas Pasal 15
Ayat 1 Cukup jelas
Ayat 2 Cukup jelas
Pasal 16 Cukup jelas
Pasal 17 Cukup jelas
Pasal 18 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3313
1055
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang  :  a.  bahwa Negara Kesatuan Republik  Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  pada
hakikatnya  berkewajiban  memberikan  perlindungan  dan  pengakuan terhadap  penentuan  status  pribadi  dan  status  hukum  atas  setiap
Peristiwa  Kependudukan  dan  Peristiwa  Penting  yang  dialami  oleh Penduduk  Indonesia  yang  berada  di  dalam  danatau  di  luar  wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia; b.  bahwa  untuk  memberikan  perlindungan,  pengakuan,  penentuan  status
pribadi  dan  status  hukum setiap  Peristiwa Kependudukan  dan  Peristiwa Penting  yang  dialami  oleh  Penduduk  Indonesia  dan  Warga  Negara
Indonesia  yang  berada  di  luar  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik Indonesia,
perlu dilakukan
pengaturan tentang
Administrasi Kependudukan;
c.  bahwa  pengaturan  tentang  Administrasi  Kependudukan  hanya  dapat terlaksana  apabila  didukung  oleh  pelayanan  yang  profesional  dan
peningkatan  kesadaran  penduduk,  termasuk  Warga  Negara  Indonesia yang berada di luar negeri;
d.  bahwa peraturan
perundang-undangan mengenai
Administrasi Kependudukan  yang  ada  tidak  sesuai  lagi  dengan  tuntutan  pelayanan
Administrasi  Kependudukan  yang  tertib  dan  tidak  diskriminatif  sehingga diperlukan pengaturan secara menyeluruh untuk menjadi pegangan bags
semua penyelenggara
negara yang
berhubungan dengan
kependudukan; e.  bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana  dimaksud  dalam  huruf
a,  huruf  b,  huruf  c,  dan  huruf  d,  perlu  membentuk  undang-undang
1056 tentang Administrasi Kependudukan;
Mengingat  :  1.  Pasal 5 ayat 1, Pasal 20 ayat 1, ayat 2 dan ayat 4, Pasal 26, Pasal 28  B  ayat  1,  Pasal  28  D  ayat  4,  Pasal  28  E  ayat  1  dan  ayat  2,
Pasal  28  1,  Pasal  29  ayat  1,  Pasal  34  ayat  1  dan  ayat  3  Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  Lembaran Negara Republik  Indonesia Tahun  1974  Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019: 3.  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1984  tentang  Ratifikasi  Konvensi
Penghapusan  Segala  Bentuk  Diskriminasi  terhadap  Wanita  Lembaran Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1984  Nomor  29,  Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32; 4.  Undang-Undang  Nomor 9 Tahun  1992 tentang Keimigrasian Lembaran
Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1992  Nomor  33,  Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474;
5.  Undang-Undang  Nomor  29  Tahun  1999  tentang  Pengesahan International  Convention  On  The  Elimination  Of  All  Forms  Of  Racial
Discrimination  1965  Konvensi  Internasional  tentang  Penghapusan Segala  Bentuk  Diskriminasi  Rasial  1965  Lembaran  Negara  Republik
Indonesia  Tahun  1999  Nomor  83,  Tambahan  Lembaran  Negara Republik Indonesia Nomor 3852;
6.  Undang-Undang  Nomor 37 Tahun 1999 tentang  Hubungan  Luar  Negeri Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1999  Nomor  156,
Tambahan Iembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882; 7.  Undang-Undang  Nomor  39  Tahun  1999  tentang  Hak  Asasi  Manusia
Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1999  Nomor  165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886;
8.  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2002  tentang  Perlindungan  Anak Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2002  Nomor  109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235; 9.  Undang-Undang  Nomor  32  Tahun  2004  tentang  Pemerintahan  Daerah
Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2004  Nomor  125, Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  4437
1057 sebagaimana  telah  diubah  dengan  Undang-Undang  Nomor  8  Tahun
2005  tentang  Penetapan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang- Undang  Nomor  3  Tahun  2005  tentang  Perubahan  Undang-Undang
Nomor  32  Tahun  2004  tentang  Pemerintahan  Daerah  Menjadi  Undang- Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548: 10. Undang-Undang  Nomor  12  Tahun  2006  tentang  Kewarganegaraan
Republik  Indonesia  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2006 Nomor  63,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor
4634; Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan :  UNDANG-UNDANG TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang diinaksud dengan: 1.  Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam
penerbitan  dokumen  dan  Data  Kependudukan  melalui  Pendaftaran  Penduduk, Pencatatan
Sipil, pengelolaan
informasi Administrasi
Kependudukan serta
pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. 2.  Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di
Indonesia. 3.  Warga  Negara  Indonesia  adalah  orang-orang  bangsa  Indonesia  asli  dan  orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia. 4.  Orang Asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia.
5.  Menteri  adalah  menteri  yang  bertanggung  jawab  dalam  urusan  pemerintahan  dalam negeri.
6.  Penyelenggara adalah
Pemerintah, pemerintah
provinsi dan
pemerintah
1058 kabupatenkota  yang  bertanggung  jawab  dan  berwenang  dalam  urusan  Administrasi
Kependudukan. 7.  Instansi  Pelaksana  adalah  perangkat  pemerintah  kabupatenkota  yang  bertanggung
jawab  dan  berwenang  melaksanakan  pelayanan  dalam  urusan  Administrasi Kependudukan.
8.  Dokumen  Kependudukan  adalah  dokumen  resmi  yang  diterbitkan  oleh  Instansi Pelaksana  yang  mempunyai  kekuatan  hukum  sebagai  alat  bukti  autentik  yang
dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. 9.  Data Kependudukan adalah data  perseorangan danatau data agregat yang  terstruktur
sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. 10. Pendaftaran  Penduduk  adalah  pencatatan  biodata  Penduduk,  pencatatan  atas
pelaporan  Peristiwa  Kependudukan  dan  pendataan  Penduduk  rentan  Administrasi Kependudukan  serta  penerbitan  Dokumen  Kependudukan  berupa  kartu  identitas  atau
surat keterangan kependudukan. 11. Peristiwa  Kependudukan  adalah  kejadian  yang  dialami  Penduduk  yang  harus
dilaporkan  karena  membawa  akibat  terhadap  penerbitan  atau  perubahan  Kartu Keluarga,  Kartu  Tanda  Penduduk  danatau  surat  keterangan  kependudukan
lainnya
meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.
12. Nomor  Induk  Kependudukan,  selanjutnya  disingkat  NIK,  adalah  nomor  identitas Penduduk  yang  bersifat  unik  atau  khas,  tunggal  dan  melekat  pada  seseorang  yang
terdaftar sebagai Penduduk Indonesia. 13. Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang memuat
data  tentang  nama,  susunan  dan  hubungan  dalam  keluarga,  serta  identitas  anggota keluarga.
14. Kartu  Tanda  Penduduk,  selanjutnya  disingkat  KTP,  adalah  identitas  resmi  Penduduk sebagai  bukti  diri  yang  diterbitkan  oleh  Instansi  Pelaksana  yang  berlaku  di  seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 15. Pencatatan  Sipil  adalah  pencatatan  Peristiwa  Penting  yang  dialami  oleh  seseorang
dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana. 16. Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa Penting
yang  dialarni  seseorang  pada  Instansi  Pelaksana  yang  pengangkatannya  sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
17. Peristiwa  Penting  adalah  kejadian  yang  dialami  oleh  seseorang  meliputi  kelahiran, kematian,  lahir  rnati,  perkawinan,  perceraian,  pengakuan  anak,  pengesahan  anak,
1059 pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.
18. Izin  Tinggal  Terbatas  adalah  izin  tinggal  yang  diberikan  kepada  Orang  Asing  untuk tinggal  di  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  dalam  jangka  waktu  yang
terbatas sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan. 19. Izin Tinggal Tetap adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal
rnenetap  di  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  sesuai  dengan  ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
20. Petugas Registrasi adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas dan tanggung jawab memberikan pelayanan pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting serta
pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan di desakelurahan. 21. Sistem  Informasi  Administrasi  Kependudukan,  selanjutnya  disingkat  SIAK,  adalah
sistem  informasi  yang  memanfaatkan  teknologl  informasi  dan  komunikasi  untuk memfasilitasi
pengelolaan informasi
administrasi kependudukan
di tingkat
Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan. 22. Data  Pribadi  adalah  data  perseorangan  tertentu  yang  disimpan,  dirawat,  dan  dijaga
kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya. 23. Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya  disingkat KUAKec, adalah satuan kerja
yang  melaksanakan  pencatatan  nikah,  talak,  cerai,  dan  rujuk  pada  tingkat  kecamatan bagi Penduduk yang beragama Islam.
24. Unit  Pelaksana  Teknis  Dinas  Instansi  Pelaksana, selanjutnya  disingkat  UPTD  Instansi Pelaksana,  adalah  satuan  kerja  di  tingkat  kecamatan  yang  melaksanakan  pelayanan
Pencatatan Sipil dengan kewenangan menerbitkan akta.
BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PENDUDUK