1008
BAB V PERTANGGUNGJAWABAN DAN LAPORAN
Pasal 38
1 Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada publik melalui DPR. 2 Pertanggungjawaban kepada publik sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilaksanakan dengan cara: a. menerbitkan laporan tahunan; dan
b. membuka akses informasi secara lengkap dan akurat. 3 Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a setidaknya memuat hal-hal
sebagai berikut: a. laporan penggunaan anggaran;
b. data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan; dan c. data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen Hakim Agung.
4 Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a disampaikan pula kepada Presiden.
5 Keuangan Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan undang-undang.
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
Selama keanggotaan Komisi Yudisial belum terbentuk berdasarkan Undang-Undang ini, pencalonan Hakim Agung dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
1 Anggota Komisi Yudisial ditetapkan paling lambat 10 sepuluh bulan terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.
2 Komisi Yudisial melaksanakan wewenang dan tugasnya paling lambat 10 sepuluh bulan terhitung sejak ditetapkannya Anggota Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud
pada ayat 1.
1009
Pasal 41
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 13 Agustus 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 13 Agustus 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd. BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 89
1010
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004
TENTANG KOMISI YUDISIAL I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas, salah satu substansi penting perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah adanya Komisi Yudisial. Komisi Yudisial tersebut merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan
landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan checks and balances. Walaupun
Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 24B ayat 4 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa susunan,
kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang- undang. Dalam Undang-Undang ini diatur secara rinci mengenai wewenang dan tugas Komisi
Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai tugas mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim, yakni Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah
Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berkaitan dengan wewenang tersebut, dalam Undang-Undang ini
juga diatur mengenai pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Yudisial. Syarat- syarat untuk diangkat menjadi Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan
dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
1011 Selain hal-hal yang ditentukan di atas, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai
larangan merangkap jabatan bagi Anggota Komisi Yudisial. Di samping itu diatur pula mengenai panitia seleksi untuk mempersiapkan calon Anggota Komisi Yudisial, beserta
syarat dan tata caranya.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
1012 Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat 1 Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Yang dim aksud dengan “seleksi” dalam ketentuan ini meliputi penelitian
administrasi, pengumuman untuk mendapatkan masukan masyarakat terhadap pribadi dan tingkah laku calon, rekomendasi dari Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Ayat 2
Cukup jelas. Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat 1 Yang dim
aksud dengan “berturut-turut” dalam ketentuan ini adalah pengumuman yang dilakukan secara terus menerus di tempat pengumuman Komisi Yudisial dan
1013 dapat pula diumumkan dalam mass media paling sedikit 2 dua kali.
Ayat 2 Cukup jelas.
Ayat 3 Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Bagi yang sudah menyerahkan laporan kekayaan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyerahkan bukti, dan bagi yang
belum menyerahkan, melaporkan daftar harta kekayaannya. Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat 1 Seleksi terhadap kualitas bakal calon adalah seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial
untuk menilai kecakapan, kemampuan, integritas, dan moral bakal calon dalam melaksanakan tugasnya di bidang peradilan.
Ayat 2 Cukup jelas.
Ayat 3 Yang dim
aksud dengan “karya ilmiah” adalah karya dalam bentuk tulisan yang
1014 dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ayat 4 Cukup jelas.
Ayat 5 Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat 1 Jangka waktu 30 tiga puluh hari dalam ketentuan ini adalah hari persidangan dan
tidak termasuk masa reses. Ayat 2
Cukup jelas. Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Penjatuhan sanksi ini diajukan kepada Mahkamah Agung untuk hakim agung dan kepada Mahkamah Konstitusi untuk hakim Mahkamah Konstitusi.
Pasal 22
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Yang dim
aksud dengan “menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-
undangan” dalam ketentuan ini misalnya tidak memperlakukan semena- mena terhadap hakim yang dipanggil untuk memperoleh keterangan atau tidak
memperlakukan hakim seolah-olah sebagai tersangka atau terdakwa. Hal ini untuk menjaga hak dan martabat hakim yang bersangkutan.
Ayat 3 Cukup jelas.
Ayat 4 Yang dim
aksud dengan “hakim” dalam ketentuan ini termasuk hakim pelapor, hakim terlapor, atau hakim lain yang terkait.
1015 Yang dim
aksud dengan “keterangan” dalam ketentuan ini dapat diberikan secara lisan danatau tertulis.
Ayat 5 Cukup jelas.
Ayat 6 Cukup jelas.
Ayat 7 Cukup jelas.
Ayat 8 Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pada ayat ini hanya dalam proses
melakukan tugas secara internal.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Cukup jelas.
Ayat 3 Cukup jelas.
Ayat 4 Keputusan mengenai pemberhentian Hakim Agung danatau Hakim Mahkamah
Konstitusi yang dimaksud dalam ketentuan ini memuat alasan tertulis bagi anggota yang setuju maupun yang tidak setuju.
Pasal 26
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
1016 Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Yang dim aksud dengan “tidak tercela” adalah perbuatan yang tidak merendahkan
martabat Anggota Komisi Yudisial. Huruf f
Sehat jasmani dan rohani dalam ketentuan ini dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter pemerintah.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Untuk melaporkan daftar kekayaan, setiap calon membuat pernyataan
kesanggupan mengumumkan harta kekayaan setelah menjadi Anggota Komisi Yudisial sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Jangka waktu 45 empat puluh lima hari dalam ketentuan ini tidak termasuk masa
reses. Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Cukup jelas.
Ayat 3 Cukup jelas.
Ayat 4 Cukup jelas.
1017 Ayat 5
Cukup jelas. Ayat 6
Lihat penjelasan Pasal 27 ayat 2. Ayat 7 Cukup jelas.
Ayat 8 Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Selama menjadi Anggota Komisi Yudisial, advokat tidak boleh menjalankan
profesinya. Huruf d
Selama menjadi Anggota Komisi Yudisial, notaris tidak boleh menjalankan profesinya.
Huruf e Yang dim
aksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris perusahaan. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 32
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
1018 Cukup jelas.
Huruf c Ketentuan mengenai sakit jasmani atau rohani terus menerus diperlukan
keterangan dokter yang ditunjuk khusus untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh, terutama bagi mereka yang telah mencapai umur di atas 68 enam puluh delapan
tahun. Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat 1 Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Yang dim aksud dengan “perbuatan tercela” adalah perbuatan yang dapat
merendahkan martabat Anggota Komisi Yudisial. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Ayat 2
Cukup jelas. Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat 1 Pemberhentian sementara dilakukan karena proses penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan yang diikuti dengan penahanan, menyebabkan yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas sebagai Anggota Komisi
Yudisial. Ayat 2
1019 Pemberhentian sementara dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang
bersangkutan untuk melaksanakan proses peradilan tanpa dibebani tugas sebagai Anggota Komisi Yudisial.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Cukup jelas.
Ayat 3 Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan antara lain mengenai jumlah laporan atau aduan yang masuk, jumlah laporan atau aduan yang
ditindaklanjuti dan yang tidak beserta alasannya, hasil pencarian fakta atas dugaan pelanggaran atau penyalahgunaan kekuasaan oleh Hakim dan
rekomendasi sanksi yang diberikan kepada Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden.
Huruf c Data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen hakim agung antara lain
jumlah usulan bakal calon dari masyarakat, alasan diterima atau ditolaknya seorang bakal calon, jumlah laporan atau pengaduan terhadap bakal calon
yang masuk, jumlah laporan yang ditindaklanjuti dan yang tidak beserta alasannya, dan alasan dalam merekomendasikan bakal calon Hakim Agung
ke DPR. Ayat 4
Cukup jelas. Ayat 5
Cukup jelas.
1020
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4415
1021
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011
TENTANG PERUBAHAN AT AS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004
TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang
menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pengusulan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim demi tegaknya hokum dan keadilan sesuai dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial; Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 24, Pasal 24A, dan Pasal 24B Undang -Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415;
1022 3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG
NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4415 diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Komisi Yudisial adalah lembaga Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Badan Peradilan adalah penyelenggara peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
dan lingkungan peradilan tata usaha negara, serta pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
5. Hakim adalah hakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan. 6. Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim adalah panduan dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim dalam menjalankan tugas profesinya dan dalam hubungan kemasyarakatan di l uar kedinasan.
1023 7. Majelis Kehormatan Hakim adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial yang bertugas memeriksa dan memutus adanya dugaan pelanggaran Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim.
8. Hari adalah hari kerja. 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
1 Komisi Yudisial berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia. 2 Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan.
3 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja penghubung Komisi Yudisial di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan
Peraturan Komisi Yudisial.
3. Ketentuan Pasal 6 ayat 3 diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
1 Komisi Yudisial mempunyai 7 tujuh orang anggota. 2 Anggota Komisi Yudisial adalah pejabat negara.
3 Keanggotaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas: a. 2 dua orang mantan hakim;
b. 2 dua orang praktisi hukum; c. 2 dua orang akademisi hukum; dan
d. 1 satu orang anggota masyarakat.
4. Ketentuan Pasal 11 ditambah 1 satu ayat, yakni ayat 3, sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
1 Komisi Yudisial dibantu oleh sekretariat jenderal yang dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal.
2 Sekretaris jenderal dijabat oleh pejabat pegawai negeri sipil. 3 Sekretaris jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial. 5. Ketentuan Pasal 12 ayat 1 diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
1024 1 Sekretariat jenderal mempunyai tugas memberikan dukungan administratif dan teknis
operasional kepada Komisi Yudisial. 2 Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, tanggung jawab, dan tata kerja
sekretariat jenderal diatur dengan Peraturan Presiden. 6. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung
kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c. menetapkan Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim. 7. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
1 Dalam jangka waktu paling lama 20 dua puluh hari terhitung sejak berakhirnya pengumuman seleksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 2,
Komisi Yudisial melakukan seleksi uji kelayakan calon hakim agung. 2 Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan secara terbuka dengan
mengikutsertakan partisipasi masyarakat. 3 Dalam rangka melakukan seleksi, Komisi Yudisial membuat pedoman untuk
menentukan kelayakan calon hakim agung. 4 Dalam jangka waktu paling lama 15 lima belas hari terhitung sejak berakhirnya
seleksi uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 tiga calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1
satu lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
8. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 satu pasal, yakni Pasal 19A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19A
1025 Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, Komisi Yudisial berpedoman pada Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung.
9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
1 Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim; b. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik
danatau Pedoman Perilaku Hakim; c. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan
pelanggaran Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup; d. memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik danatau
Pedoman Perilaku Hakim; dan e. mengambil langkah hukum danatau langkah lain terhadap orang perseorangan,
kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Hakim.
2 Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan Hakim.
3 Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a Komisi Yudisial dapat
meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik danatau
Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim. 4 Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana
dimaksud pada ayat 3.
10. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 satu pasal, yakni Pasal 20A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20A
1 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1, Komisi Yudisial wajib:
a. menaati peraturan perundang-undangan;
1026 b. menegakkan Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim;
c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan
kedudukannya sebagai anggota; dan d. menjaga kemandirian dan kebebasan Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara. 2 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang dilakukan
anggota Komisi Yudisial dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 11. Pasal 21 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
1 Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1 huruf a, Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat danatau informasi tentang dugaan
pelanggaran Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim. 2 Untuk melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Komisi
Yudisial dapat meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan danatau Hakim.
3 Pimpinan Badan Peradilan danatau Hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dalam jangka
waktu 14 empat belas hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima.
4 Apabila Badan Peradilan danatau Hakim belum memberikan keterangan atau data dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Komisi Yudisial meminta
keterangan danatau data tersebut melalui pimpinan Mahkamah Agung. 5 Pimpinan Mahkamah Agung meminta kepada Badan Peradilan danatau Hakim untuk
memberikan keterangan atau data sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dalam jangka waktu 14 empat belas hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial.
6 Apabila permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 4 tidak dipenuhi tanpa alas an yang sah, pimpinan Badan Peradilan atau Hakim yang bersangkutan
dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 7 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Komisi Yudisial.
1027 13. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 7 tujuh pasal, yakni Pasal 22A, Pasal 22B,
Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal 22F, dan Pasal 22G yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22A
1 Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1 huruf c, Komisi Yudisial:
a. melakukan verifikasi terhadap laporan; b. melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran;
c. melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari Hakim yang diduga melanggar pedoman kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim untuk
kepentingan pemeriksaan; d. melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari saksi; dan
e. menyimpulkan hasil pemeriksaan. 2 Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d tidak memenuhi
panggilan 3 tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, Komisi Yudisial dapat memanggil saksi dengan paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 22B
1 Pemeriksaan oleh Komisi Yudisial meliputi: a. pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik danatau Pedoman Perilaku
Hakim; dan b. permintaan klarifikasi terhadap Hakim yang diduga melakukan pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada huruf a. 2 Dalam setiap pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibuatkan berita
acara pemeriksaan yang disahkan dan ditandatangani oleh terperiksa dan pemeriksa. 3 Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b diajukan oleh Hakim yang
diduga melakukan pelanggaran dalam jangka waktu paling lama 14 empat belas hari sejak diterimanya pemanggilan yang menyebutkan adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim secara patut oleh Komisi Yudisial.
Pasal 22C
Hasil pemeriksaan atas dugaan pelanggaran Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A ayat 1 huruf e menyatakan:
a. dugaan pelanggaran dinyatakan terbukti; atau
1028 b. dugaan pelanggaran dinyatakan tidak terbukti.
Pasal 22D
1 Dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan terbukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C huruf a, Komisi Yudisial
mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap Hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung.
2 Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa: a. Sanksi ringan terdiri atas:
1 teguran lisan; 2 teguran tertulis; atau
3 pernyataan tidak puas secara tertulis. b. Sanksi sedang terdiri atas:
1 penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 satu tahun; 2 penurunan gaji sebesar 1 satu kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 satu
tahun; 3 penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 satu tahun; atau
4 hakim nonpalu paling lama 6 enam bulan. c. Sanksi berat terdiri atas:
1 pembebasan dari jabatan struktural; 2 hakim nonpalu lebih dari 6 enam bulan sampai dengan 2 dua tahun;
3 pemberhentian sementara; 4 pemberhentian tetap dengan hak pensiun; atau
5 pemberhentian tetap tidak dengan hormat. 3 Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi terhadap Hakim yang melakukan pelanggaran
Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dalam waktu paling lama 60 enam puluh hari terhitung sejak tanggal usulan diterima.
Pasal 22E
1 Dalam hal tidak terjadi perbedaan pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengenai usulan Komisi Yudisial tentang penjatuhan sanksi dan Mahkamah
Agung belum menjatuhkan sanksi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat 3 maka usulan Komisi Yudisial berlaku secara otomatis dan wajib
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.
1029 2 Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
mengenai usulan Komisi Yudisial tentang penjatuhan sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat 2 huruf c
angka 4 dan angka 5, dilakukan pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung terhadap Hakim yang bersangkutan.
3 Dalam hal Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat 3 tidak mencapai kata sepakat sebagaimana
dimaksud pada ayat 2, maka usulan Komisi Yudisial sepanjang memenuhi ketentuan dalam Pasal 22B ayat 1 huruf a, berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung. 4 Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
diatur bersama oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
1030
Pasal 22F
1 Sanksi berat berupa pemberhentian tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat 2 huruf c angka 4 dan angka 5 diusulkan Komisi Yudisial kepada Majelis
Kehormatan Hakim. 2 Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas 4 empat
orang anggota Komisi Yudisial dan 3 tiga orang hakim agung. 3 Majelis Kehormatan Hakim memeriksa dan memutus adanya dugaan pelanggaran
Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim yang diusulkan oleh Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung dalam waktu paling lama 60 enam puluh hari terhitung sejak
tanggal usulan diterima. 4 Keputusan Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diambil
secara musyawarah dan mufakat dan apabila tidak tercapai keputusan diambil melalui suara terbanyak.
5 Mahkamah Agung wajib melaksanakan keputusan Majelis Kehormatan Hakim dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari terhitung sejak tanggal diucapkan keputusan
Majelis Kehormatan Hakim.
Pasal 22G
Dalam hal dugaan pelanggaran dinyatakan tidak terbukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C huruf b, Majelis Kehormatan Hakim menyatakan bahwa dugaan pelanggaran
tidak terbukti dan memulihkan nama baik Hakim yang diadukan. 14. Pasal 23 dihapus.
15. Pasal 24 dihapus. 16. Ketentuan Pasal 25 ayat 3 dan ayat 4 diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
1 Pengambilan keputusan Komisi Yudisial dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
2 Apabila pengambilan keputusan secara musyawarah tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak.
3 Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah sah apabila rapat dihadiri oleh paling sedikit 5 lima orang anggota Komisi Yudisial, kecuali keputusan mengenai
1031 pengusulan calon hakim agung ke DPR dengan dihadiri seluruh anggota Komisi
Yudisial. 4 Dalam hal terjadi penundaan 3 tiga kali berturutturut atas keputusan mengenai
pengusulan calon hakim agung ke DPR, keputusan dianggap sah apabila dihadiri oleh 5 lima orang anggota.
17. Ketentuan Bagian Pertama Pengangkatan diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kesatu Pengangkatan
18. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Komisi Yudisial, seorang calon harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia pada Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berusia paling rendah 45 empat puluh lima tahun dan paling tinggi 68 enam puluh delapan tahun pada saat proses pemilihan;
e. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang relevan danatau mempunyai pengalaman di bidang hukum paling singkat 15 lima belas tahun;
f. berkomitmen untuk memperbaiki sistem peradilan di Indonesia; g. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
h. memiliki kemampuan jasmani dan rohani; i. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
j. melaporkan harta kekayaan. 19. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
1 Presiden membentuk panitia seleksi pemilihan anggota Komisi Yudisial dalam waktu paling lama 3 tiga bulan setelah menerima surat pemberitahuan dari pimpinan Komisi
Yudisial. 2 Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas unsur Pemerintah,
praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
1032 3 Panitia seleksi mempunyai tugas:
a. mengumumkan pendaftaran penerimaan calon anggota Komisi Yudisial dalam jangka waktu 15 lima belas hari;
b. melakukan pendaftaran dan seleksi administrasi serta seleksi kualitas dan integritas calon anggota Komisi Yudisial dalam jangka waktu 60 enam puluh hari terhitung
sejak pengumuman pendaftaran berakhir; dan c. menentukan dan menyampaikan calon anggota Komisi Yudisial sebanyak 21 dua
puluh satu calon dengan memperhatikan komposisi anggota Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 3 dalam jangka waktu paling lambat
30 tiga puluh hari. 4 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 3 panitia seleksi
bekerja secara akuntabel dan transparan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat.
5 Dalam waktu paling lambat 15 lima belas hari sejak menerima calon dari panitia seleksi, Presiden mengajukan 21 dua puluh satu calon anggota Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf c kepada DPR. 6 DPR wajib memilih dan menetapkan 7 tujuh calon anggota dalam waktu paling lambat
30 tiga puluh hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden. 7 Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden paling lama 15 lima
belas hari terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden. 8 Presiden wajib menetapkan calon terpilih paling lama 15 lima belas hari terhitung
sejak tanggal diterimanya surat Pimpinan DPR. 20. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
1 Anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama 5 lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 satu kali masa jabatan.
2 Pimpinan Komisi Yudisial memberitahukan mengenai berakhirnya masa jabatan Komisi Yudisial kepada Presiden paling lambat 1 satu tahun sebelum habis masa jabatan.
21. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
1 Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi Yudisial, Presiden mengajukan calon anggota pengganti sebanyak 3 tiga kali dari jumlah keanggotaan yang kosong
kepada DPR.
1033 2 Calon anggota pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan paling lama 3
tiga bulan terhitung sejak terjadi kekosongan. 3 Calon anggota pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berasal dari
calon yang diajukan Presiden yang tidak terpilih oleh DPR berdasarkan urutan. 4 Anggota Komisi Yudisial yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat 2
melanjutkan sisa masa jabatan anggota Komisi Yudisial yang digantikannya. 5 Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota Komisi Yudisial
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28.
22. Ketentuan Pasal 38 ayat 3 diubah sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
1 Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada public melalui DPR. 2 Pertanggungjawaban kepada publik sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilaksanakan dengan cara: a. menerbitkan laporan tahunan; dan
b. membuka akses informasi secara lengkap dan akurat. 3 Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a paling sedikit memuat:
a. laporan penggunaan anggaran; b. data yang berkaitan dengan tugas mengusulkan pengangkatan hakim agung
kepada DPR; dan c. data yang berkaitan dengan tugas menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku Hakim. 4 Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a disampaikan pula kepada
Presiden. 5 Keuangan Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut
ketentuan Undang- Undang. 23. Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 2 dua pasal, yakni Pasal 40A dan Pasal
40B, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40A
1 Majelis Kehormatan Hakim dibentuk sesuai dengan kebutuhan. 2 Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur bersama oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
1034
Pasal 40B
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 satu tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 9 November 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 November 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI M ANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd, AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 106
1035
PENJELASAN AT AS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG
PERUBAHAN AT AS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
I. UMUM
Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim.
Undang-Undang ini merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
. Perubahan dilakukan dalam upaya menjabarkan “kewenangan lain” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan hal yang terkait dengan upaya penguatan tugas dan fungsi Komisi
Yudisial. Selain itu, perubahan tersebut dilakukan dengan pertimbangan karena terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Beberapa pokok materi penting dalam perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial, antara lain: - penentuan secara tegas mengenai jumlah keanggotaan Komisi Yudisial;
- pencantuman Kode Etik danatau Pedoman Perilaku Hakim sebagai pedoman Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim; - permintaan bantuan oleh Komisi Yudisial kepada aparat penegak hukum untuk
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Hakim;
- pemanggilan paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan terhadap saksi yang tidak memenuhi panggilan 3 tiga kali berturut-turut; dan
- penjatuhan sanksi baik ringan, sedang, maupun berat, kecuali pemberhentian tetap tidak dengan hormat dilakukan oleh Mahkamah Agung atas usul Komisi Yudisial
.
1036 Adapun penjatuhan sanksi berat pemberhentian tidak dengan hormat diusulkan Komisi
Yudisial kepada Majelis Kehormatan Hakim.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas.
Angka 2 Pasal 3
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Penghubung dalam ketentuan ini mempunyai peran membantu pelaksanaan tugas
Komisi Yudisial. Ayat 3
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 6 Ayat 1
Cukup jelas. Ayat 2
Cukup jelas. Ayat 3
Huruf a Yang dimaksud dengan ”mantan hakim” adalah orang yang telah berhenti
dari jabatan hakim, baik pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota
Komisi Yudisial maupun pada saat diangkat sebagai anggota Komisi Yudisial.
Huruf b Cukup jelas.
1037 Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 11 Cukup jelas.
Angka 5 Pasal 12
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 13 Cukup jelas.
Angka 7 Pasal 18
Ayat 1 Cukup jelas.
Ayat 2 Cukup jelas.
Ayat 3 Yang dimak
sud dengan “pedoman” dalam ketentuan ini merupakan panduan bagi Komisi Yudisial dalam menentukan kelayakan calon hakim agung.
Ayat 4 Cukup jelas.
Angka 8 Pasal 19A
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 20 Cukup jelas.
1038 Angka 10
Pasal 20A Cukup jelas.
Angka 11 Cukup jelas.
Angka 12 Pasal 22
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 22A Cukup jelas.
Pasal 27B Cukup jelas.
Pasal 22C Cukup jelas.
Pasal 22D Cukup jelas.
Pasal 22E Cukup jelas.
Pasal 22F Cukup jelas.
Pasal 22G Cukup jelas.
Angka 14 Cukup jelas.
Angka 15 Cukup jelas.
1039 Angka 16
Pasal 25 Ayat 1
Cukup jelas. Ayat 2
Cukup jelas. Ayat 3
Cukup jelas. Ayat 4
Yang dimaksud dengan “3 tiga kali berturut-turut” adalah 3 x 24 tiga kali dua puluh empat jam.
Angka 17 Cukup jelas.
Angka 18 Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 19 Pasal 28
Cukup jelas. Angka 20
Pasal 29 Cukup jelas.
Angka 21 Pasal 37
Cukup jelas. Angka 22
Pasal 38 Cukup jelas.
1040 Angka 23
Pasal 40A Cukup jelas.
Pasal 40B Cukup jelas.
Pasal II Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5250
1041
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Pembangunan Nasional menuntut keikutsertaan segenap warganya untuk
berperan menghimpun dana pembiayaan yang memadai, terutama harus bersumber dari kemampuan dalam negeri, hal mana merupakan perwujudan kewajiban
kenegaraan dalam rangka mencapai tujuan Pembangunan Nasional; b. bahwa Bea Meterai yang selama ini dipungut berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921
Zegelverordening 1921 tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di Indonesia;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu diadakan pengaturan kembali tentang Bea Meterai yang lebih bersifat sederhana dan mudah dilaksanakan oleh
masyarakat; d. bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas perlu dikeluarkan undang-undang baru
mengenai Bea
Meterai yang
menggantikan Aturan
Bea Meterai
1921 Zegelverordening 1921;
Menimbang : 1. Pasal 5 ayat 1, Pasal 20 ayat 1, dan Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3262; Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
Dengan mencabut Aturan Bea Meterai 1921 Zegelverordening 1921 Staatsblad Tahun 1921 Nomor 498 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 121, yang telah
1042 ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1960
Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38. Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG BEA METERAI
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 1 Dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam
Undang-undang ini. 2 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
a. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang danatau pihak-pihak
yang berkepentingan; b. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia; c. Tandatangan adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk
pula paraf, teraan atau cap tandatangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tandatangan;
d. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterai-nya
belum dilunasi sebagaimana mestinya; e. Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas
melayani permintaan pemeteraian kemudian. BAB II
OBYEK, TARIF, DAN YANG TERHUTANG BEA METERAI Pasal 2
1 Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk : a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b. akta-akta notaris termasuk salinannya; c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-
rangkapnya; d. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp.1.000.000,- satu juta rupiah :
1043 1 yang menyebutkan penerimaan uang;
2 yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;
3 yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; 4 yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah
dilunasi atau diperhitungkan; e. surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih
dari Rp.1.000.000,- satu juta rupiah; f. efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih
dari Rp.1.000.000,- satu juta rupiah. 2 Terhadap dokumen sebagaimana dalam ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp.1.000,- seribu rupiah.
3 Dikenakan pula Bea Meterai sebesar Rp.1000,- seribu rupiah atas dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan:
a. surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan; b. surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula;
4 Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf d, huruf e, dan huruf f, yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.100.000,- seratus ribu rupiah tetapi
tidak lebih dari Rp.1.000.000,- satu juta rupiah dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp.500,- lima ratus rupiah dan apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp.100.000,-
seratus ribu rupiah tidak terhutang Bea Meterai. Pasal 3
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan,
dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 4 Tidak dikenakan Bea Meterai atas :
a. dokumen yang berupa : 1 surat penyimpanan barang;
1044 2 konsumen;
3 surat angkutan penumpang dan barang; 4 keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud
dalam angka 1, angka 2, dan angka 3; 5 bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
6 surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; 7 surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 sampai angka 6. b. segala bentuk Ijazah;
c. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran itu; d. tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan
bank; e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank; f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;
h. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Penggadaian; i. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk
apapun. Pasal 5
Saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal : a. dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
b. dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen itu dibuat;
c. dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia. Pasal 6
Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.
BAB III BENDA METERAI, PENGGUNAAN, DAN CARA PELUNASANNYA
1045 Pasal 7
1 Bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai, demikian pula pencetakan pengurusan, penjualan serta penelitian keabsahannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. 2 Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara :
a. menggunakan benda meterai; b. menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
3 Meterai tempel di rekatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
4 Meterai tempel di rekatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan. 5 Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun
dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.
6 Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.
7 Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi. 8 Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya
di atas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
9 Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 sampai dengan ayat 8 tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
Pasal 8 1 Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya tidak atau
kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200 dua ratus persen dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.
2 pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus melunasi Bea Meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian-
kemudian. Pasal 9
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi bea Meterai yang terhutang dengan cara pemeteraian-kemudian.
Pasal 10
1046 Pemeteraian-kemudian atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3,
Pasal 8, dan Pasal 9 dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara yang tetapkan oleh Menteri Keuangan.
BAB IV KETENTUAN KHUSUS
Pasal 11 1 Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya
masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan : a. menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya
atau kurang dibayar; b. meletakan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan
tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan; c. membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea
Meterai-nya tidak atau kurang dibayar; d. memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar
sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya. 2 Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
dikenakan sanksi administratif dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 12
Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terhutang menurut Undang-undang ini daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal
dokumen dibuat. BAB V
KETENTUAN PIDANA Pasal 13
Di pidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana : a. barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan kertas meterai atau meniru
dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai; b. barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau
memasukan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak;
c. barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan menyediakan untuk dijual atau di masukan ke Negara Indonesia meterai yang
1047 mereknya, capnya, tanda-tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya
mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakan dengan melawan hak;
d. barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan
benda meterai. Pasal 14
1 Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana di maksud dalam Pasal 7 ayat 2 huruf b tanpa izin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 7 tujuh tahun. 2 Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kejahatan.
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15 1 Atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar Bea Meterainya yang dibuat sebelum
Undang-undang ini berlaku, bea meterainya tetap terhutang berdasarkan aturan Bea Meterai 1921 Zegelverordening 1921.
2 Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur oleh Menteri Keuangan.
Pasal 16 Selama peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan
pelaksanaan berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 Zegelverordening 1921 yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih
tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1988. BAB VII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 17
Pelaksanaan Undang-undang ini selanjutnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 18
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran negara Republik Indonesia
1048 Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1985
MENTERISEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd
SUDHARMONO, S.H. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 69
PENJELASAN AT AS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI
UMUM Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada semua Warga Negara untuk berperan serta dalam pembangunan Nasional.
Salah satu cara dalam mewujudkan peran serta masyarakat tersebut adalah dengan memenuhi kewajiban pembayaran atas pengenaan Bea Meterai terhadap dokumen-
dokumen tertentu yang digunakan. Pengaturan pengenaan bea Meterai selama ini yang terdapat dalam Aturan Bea Meterai
1921 Zegelverordening 1921 staatsblad Tahun 1921 Nomor 498 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965
Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 121, yang telah ditetapkan menjadi Undang- undang dengan Undang-undang No 7 Tahun 1969 Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor
38 tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di Indonesia sehingga perlu disederhanakan.
Untuk itu Undang-undang ini tidak lagi mencantumkan Bea Meterai menurut luas kertas dan Bea Meterai sebanding melainkan hanya Bea Meterai tetap yang besarnya Rp.1.000,-
seribu rupiah dan Rp. 500,- lima ratus rupiah.
1049 Selanjutnya untuk kesederhanaan dan kemudahan pemenuhan Bea Meterai maka
pelunasannya cukup dilakukan dengan menggunakan meterai tempel dan kertas meterai, sehingga masyarakat tidak perlu lagi datang ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk
memperoleh Surat Kuasa Untuk Menyetor SKUM. Yang dikenakan Bea Meterai dibatasi pada dokumen-dokumen yang disebut dalam
Undang-undang ini, yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum. Untuk melunasi Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar beserta dendanya jika ada
dilakukan dengan cara pemeteraian kemudian nexegeling. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 ayat 1
Cukup jelas. Ayat 2
Cukup jelas. Pasal 2
Ayat 1 Huruf a
Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnya tersebut, di bebani kewajiban untuk membayar Bea Meterai atas surat
perjanjian atau surat-surat yang dipegangnya. Yang dimaksud surat-surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat kuasa,
surat hibah, surat pernyataan. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d, huruf e, dan huruf f
Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut dalam huruf d, huruf e, dan huruf f ini juga dimaksudkan jumlah uang ataupun harga nominal yang
dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya maka jumlah uang atau harga nominal
tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
1050 yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui
apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan Bea Meterai. Ayat 2
Cukup jelas. Ayat 3
Ayat ini dimaksudkan untuk mengenakan Bea Meterai atas surat-surat yang semula tidak kena Bea Meterai, tetapi karena kemudian digunakan sebagai alat pembuktian
di muka pengadilan maka lebih dahulu harus dilakukan pemeteraian kemudian. Huruf a
Surat-surat biasa yang dimaksud dalam huruf a ayat ini dibuat tidak untuk tujuan sesuatu pembuktian misalnya seseorang mengirim surat biasa
kepada orang lain untuk menjualkan sebuah barang. Surat semacam ini pada saat dibuat tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila
kemudian dipakai sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka terlebih
dahulu dilakukan
pemeteraian kemudian.
Surat-surat kerumahtanggaan misalnya daftar barang.
Daftar ini dibuat tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat pembuktian, oleh karena itu tidak dikenakan Bea Meterai.
Apabila kemudian ada sengketa dan daftar harga barang ini digunakan sebagai alat pembuktian, maka daftar harga barang ini terlebih dahulu
dilakukan pemeteraian-kemudian. Huruf b
Surat-surat yang dimaksud dalam huruf b ayat ini ialah surat-surat yang karena tujuannya tidak dikenakan Bea Meterai, tetapi apabila tujuannya
kemudian diubah maka surat yang demikian itu dikenakan Bea Meterai. Misalnya tanda penerimaan tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian
tanda penerimaan uang tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka tanda penerimaan uang tersebut harus dilakukan
pemeteraian-kemudian terlebih dahulu. Ayat 4
Lihat penjelasan ayat 1 huruf d, huruf e, dan huruf f. Pasal 3
Cukup jelas
1051 Pasal 4
Huruf a Angka 1
Cukup jelas. Angka 2
Cukup jelas Angka 3
Cukup jelas Angka 4
Cukup jelas Angka 5
Cukup jelas Angka 6
Cukup jelas Angka 7
Yang dimaksud dengan surat-surat lainnya dalam angka 7 ini ialah surat- surat yang tidak disebut pada angka 1 sampai dengan angka 6 namun
karena isi dan keguanaannya dapat disamakan surat-surat yang dimaksud, seperti titipan barang, ceel gudang manifest penumpang, maka surat yang
demikian ini tidak dikenakan Bea Meterai, menurut Pasal 4 huruf a ini. Huruf b
Termasuk dalam pengertian segala bentuk ijazah ini ialah surat tanda tamat belajar, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti sesuatu pendidikan, latihan, kursus,
dan penataran. Huruf c
Cukup jelas Pasal 6
Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai terhutang oleh penerima kuitansi.
Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 dua pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terhutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya.
Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai yang terhutang baik atas asli sahih yang disimpan oleh Notaris maupun salinannya yang diperuntukkan pihak-
1052 pihak yang bersangkutan terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen
tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai
terhutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut. Pasal 7
Ayat 1 Cukup jelas
Ayat 2 Pada umumnya Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan benda meterai menurut
tarif yang ditentukan dalam Undang-undang ini. Di samping itu dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan cara lain bagi
pelunasan Bea Meterai, misalnya membubuhkan tanda-tera sebagai pengganti benda meterai di atas dokumen dengan mesin-teraan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ditentukan untuk itu. Ayat 3
Cukup jelas Ayat 4
Cukup jelas Ayat 5
Yang sejenis dengan tinta misalnya pensil tinta, ballpoint dan sebagainya. Ayat 6
Cukup jelas Ayat 7
Ayat ini menegaskan bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian, sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang dimuat
dalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan sebagian saja dari kertas meterai.
Andai kata bagian yang masih kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan, akan dimuat tulisan atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau
keterangan lain tersebut terhutang Bea Meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan dengan besarnya tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Jika sehelai kertas meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh pembuat atau yang berkepentingan, sedangkan
dalam kertas meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang
1053 belum merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada
pada kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru maka kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi.
Ayat 8 Cukup jelas
Ayat 9 Cukup jelas
Pasal 8 Ayat 1
Cukup jelas Ayat 2
Cukup jelas Pasal 9
Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakan di Indonesia. Jika dokumen tersebut hendak digunakan di Indonesia harus
dibubuhi meterai terlebih dahulu yang besarnya sesuai dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan cara pemeteraian-kemudian tanpa denda. Namun apabila dokumen
tersebut baru dilunasi Bea Meterainya sesudah digunakan, maka pemeteraian-kemudian dilakukan berikut dendanya sebesar 200 dua ratus persen.
Pasal 10 Cukup jelas
Pasal 11 Cukup jelas
Pasal 12 Ditinjau dari segi kepastian hukum daluwarsa 5 lima tahun dihitung sejak tanggal
dokumen dibuat, berlaku untuk seluruh dokumen termasuk kuitansi. Pasal 13
Cukup jelas Pasal 14
1054 Ayat 1
Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat 2 tanpa izin Menteri Keuangan, akan menimbulkan keuntungan bagi pemilik atau yang
menggunakannya, dan sebaliknya akan menimbulkan kerugian bagi Negara. Oleh karena itu harus dikenakan sanksi pidana berupa hukuman setimpal dengan
kejahatan yang diperbuatnya. Ayat 2
Cukup jelas Pasal 15
Ayat 1 Cukup jelas
Ayat 2 Cukup jelas
Pasal 16 Cukup jelas
Pasal 17 Cukup jelas
Pasal 18 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3313
1055
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap
Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di dalam danatau di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status
pribadi dan status hukum setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia dan Warga Negara
Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
perlu dilakukan
pengaturan tentang
Administrasi Kependudukan;
c. bahwa pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana apabila didukung oleh pelayanan yang profesional dan
peningkatan kesadaran penduduk, termasuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri;
d. bahwa peraturan
perundang-undangan mengenai
Administrasi Kependudukan yang ada tidak sesuai lagi dengan tuntutan pelayanan
Administrasi Kependudukan yang tertib dan tidak diskriminatif sehingga diperlukan pengaturan secara menyeluruh untuk menjadi pegangan bags
semua penyelenggara
negara yang
berhubungan dengan
kependudukan; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk undang-undang
1056 tentang Administrasi Kependudukan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat 1, Pasal 20 ayat 1, ayat 2 dan ayat 4, Pasal 26, Pasal 28 B ayat 1, Pasal 28 D ayat 4, Pasal 28 E ayat 1 dan ayat 2,
Pasal 28 1, Pasal 29 ayat 1, Pasal 34 ayat 1 dan ayat 3 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019: 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32; 4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474;
5. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial
Discrimination 1965 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852;
6. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156,
Tambahan Iembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882; 7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886;
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235; 9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437
1057 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang- Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548: 10. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4634; Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang diinaksud dengan: 1. Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam
penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan
Sipil, pengelolaan
informasi Administrasi
Kependudukan serta
pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. 2. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di
Indonesia. 3. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia. 4. Orang Asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia.
5. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri.
6. Penyelenggara adalah
Pemerintah, pemerintah
provinsi dan
pemerintah
1058 kabupatenkota yang bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan Administrasi
Kependudukan. 7. Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupatenkota yang bertanggung
jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan.
8. Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang
dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. 9. Data Kependudukan adalah data perseorangan danatau data agregat yang terstruktur
sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. 10. Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata Penduduk, pencatatan atas
pelaporan Peristiwa Kependudukan dan pendataan Penduduk rentan Administrasi Kependudukan serta penerbitan Dokumen Kependudukan berupa kartu identitas atau
surat keterangan kependudukan. 11. Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus
dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk danatau surat keterangan kependudukan
lainnya
meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.
12. Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK, adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang
terdaftar sebagai Penduduk Indonesia. 13. Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang memuat
data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga.
14. Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 15. Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang
dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana. 16. Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa Penting
yang dialarni seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
17. Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir rnati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak,
1059 pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.
18. Izin Tinggal Terbatas adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu yang
terbatas sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan. 19. Izin Tinggal Tetap adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal
rnenetap di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
20. Petugas Registrasi adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas dan tanggung jawab memberikan pelayanan pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting serta
pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan di desakelurahan. 21. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, selanjutnya disingkat SIAK, adalah
sistem informasi yang memanfaatkan teknologl informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi
pengelolaan informasi
administrasi kependudukan
di tingkat
Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan. 22. Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga
kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya. 23. Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat KUAKec, adalah satuan kerja
yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan bagi Penduduk yang beragama Islam.
24. Unit Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana, selanjutnya disingkat UPTD Instansi Pelaksana, adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang melaksanakan pelayanan
Pencatatan Sipil dengan kewenangan menerbitkan akta.
BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PENDUDUK