BIAY A ARBITRASE KETENTUAN PERALIHAN KETENTUAN PENUTUP

882 Pasal 74 1 Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir. 2 Jangka waktu tugas arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ditunda paling lama 60 enam puluh hari sejak meninggalnya salah satu pihak. Pasal 75 1 Dalam hal arbiter meninggal dunia, dikabulkannya tuntutan ingkar atau pemberhentian seorang atau lebih arbiter, para pihak harus mengangkat arbiter pengganti. 2 Apabilapara pihak dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari tidak mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, maka Ketua Pengadilan Negeri atas perm intaan dari pihak yang berkepentingan, mengangkat seorang atau lebih arbiter pengganti. 3 Arbiter pengganti bertugas melanjutkan penyelesaian sengketa yang bersangkutan berdasarkan kesimpulan terakhir yang telah diadakan.

BAB IX BIAY A ARBITRASE

Pasal 76 1 Arbiter m enentukan biaya arbitrase. 2 Biaya sebagaimana dim aksud dalam ayat 1 meliputi : a. honorarium arbiter; b. biaya perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter; c. biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; dan d. biaya adm inistrasi. Pasal 77 1 Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah. 2 Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secara seimbang.

BAB X KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 78 883 Sengketa yang pada saat Undang-undang ini m ulai berlaku sudah diajukan kepada arbiter atau lembaga arbitrase tetapi belum dilakukan pemeriksaan, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Undang-undang ini. Pasal 79 Sengketa yang pada saat Undang-undang ini m ulai berlaku sudah diperiksa tetapi belum diputus, tetap diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang lama. Pasal 80 Sengketa yang pada saat Undang-undang ini m ulai berlaku sudah diputus dan putusannya telah mem peroleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Undang-undang ini.

BAB XI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 81 Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase sebagaim ana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52 dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44 dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 82 Undang-undang ini m ulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indones ia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta 884 pada tanggal 12 Agustus 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEG ARA REPUBLIK INDONESIA, ttd M U L A D I LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 138 885 PENJELASAN AT AS UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 T AHUN 1999 TENT ANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKET A UMUM Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada Undang –undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum , peradilan agama, peradilan m iliter dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah mem peroleh izin atau perintah untuk dieksekusi ex ecutoir dari pengadilan. Selama ini yang dipakai sebagai dasar pem eriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52 dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44 dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227. Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain : a. dijam in kerahasiaan sengketa para pihak ; b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan adm inistratif ; c. para pihak dapat m em ilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; d. para pihak dapat m enentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e. putusan arbiter merupakan putusan yang m engikat para pihak dan dengan melalui tata cara prosedur sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. 886 Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara- negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu- satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih dim inati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional. Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata Reglement op de Rechtvordering yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah m erupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata Reglement op de Rechtvordering. Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap Reglemen Acara Perdata Reglement op de Rechtvordering baik secara filosofis m aupun substantif sudah saatnya dilaksanakan. Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang ini m erupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat m ereka. Hal ini dim aksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali. Dalam rangka menyusun hukum form il yang utuh, maka Undang -undang ini mem uat ketentuan tentang pelaksanaan tugas arbitrase nasional maupun internasional. Bab VI m enjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu paket, agar Undang-undang ini dapat dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini secara sistem hukum dibenarkan. Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena 887 beberapa hal, antara lain : a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan pals u; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertam a dan terakh ir. Selanjutnya pada Bab VIII diatur tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakh ir karena jangka waktu tugas arbiter telah lampau atau kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir. Bab IX dari Undang-undang ini mengatur mengenai biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter. Bab X dari Undang-undang ini m engatur mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam Bab XI disebutkan bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini maka Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52 dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44 dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227 dinyatakan tidak berlaku. PASAL DEMI PAS AL Pasal 1 Cukup jelas 888 Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Yang dimaksud dengan novasi adalah pembaharuan utang. huruf d Yang dimaksud dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar. huruf e 889 Cukup jelas huruf f Cukup jelas huruf g Cukup jelas huruf h Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Tidak dibolehkannya pejabat yang disebut dalam ayat ini menjadi arbiter, dimaksudkan agar terjam in adanya obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pasal 13 Ayat 1 Dengan adanya ketentuan ini, maka dihindarkan bahwa dalam praktek akan terjadi jalan buntu apabila para pihak di dalam syarat arbitrase tidak mengatur secara baik dan seksama tentang acara yang harus ditempuh dalam pengangkatan arbiter. Ayat 2 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas 890 Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat 1 Sebelum mengangkat arbiter, para pihak tentu sudah memperhitungkan adanya kemungkinan yang menjadi alasan untuk mempergunakan hak ingkar. Nam un apabila arbiter tersebut tetap diangkat oleh para pihak, maka para pihak dianggap telah sepakat untuk tidak menggunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta yang mereka ketahui ketika mengangkat arbiter tersebut. Namun ini tidak menutup kemungkinan munculnya fakta-fakta baru yang tidak diketahui sebelumnya, sehingga memberikan hak kepada para pihak untuk mempergunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta baru tersebut. Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Dalam ayat ini diatur tentang pengajuan tuntutan ingkar dan jangka waktunya. Jangka waktu ini dipandang perlu agar tidak sewaktu-waktu dapat dihambat 891 dengan adanya tuntutan ingkar. Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Pasal 25 Ayat 1 Putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam tuntutan ingkar mengikat kedua belah pihak dan putusan tersebut bersifat final dan tidak ada upaya perlawanan. Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 26 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Jika hanya seorang anggota arbiter saja yang diganti, pemeriksaan dapat diteruskan berdasarkan berita acara dan surat yang ada, c ukup oleh para arbiter yang ada. Pasal 27 Ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup adalah menyim pang dari ketentuan acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri yang pada prins ipnya terbuka untuk umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase. 892 Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Sesuai dengan ketentuan um um mengenai acara perdata, diberikan kesempatan kepada para pihak untuk menunjuk kuasa dengan surat kuasa yang bersifat khusus. Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Para pihak dapat menyetujui sendiri tempat dan jangka waktu yang dikehendaki mereka. Apabila mereka tidak mem buat sesuatu ketentuan tentang hal ini, maka arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan. Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Huruf a Yang dimaksud dengan hal khusus tertentu m isalnya karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa seperti permohonan jam inan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata. Huruf b Cukup jelas Huruf c 893 Cukup jelas Pasal 34 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Ayat ini mem berikan kebebasan kepada para pihak untuk m em ilih peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa antara mereka, tanpa harus m empergunakan peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih. Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Pada prinsipnya acara arbitrase dilakukan secara tertulis. Jika ada persetujuan para pihak, pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan. Juga keterangan saksi ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dapat berlangsung secara lisan apabila dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pasal 37 Ayat 1 Ketentuan mengenai tempat arbitrase ini adalah penting terutama apabila terdapat unsur hukum asing dan sengketa menjadi suatu sengketa hukum perdata internasional. Seperti laz imnya tempat arbitrase dilakukan dapat menentukan pula hukum yang harus dipergunakan untuk mem eriksa sengketa tersebut jika para pihak tidak menentukan sendiri maka arbiter yang dapat menentukan tempat arbitrase. Ayat 2 Dalam ayat 2 pasal ini diberi kemungkinan untuk mendengar saksi di tempat lain dari tempat diadakan arbitrase, antara lain berhubung dengan tempat tinggal saksi bersangkutan. Ayat 3 894 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Pasal 38 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Huruf a Cukup jelas Huruf b Salinan perjanj ian arbitrase harus juga diajukan sebagai lam piran . Huruf c Isi tuntutan harus jelas dan apabila is i tuntutan berupa uang, harus disebutkan jumlahnya yang pasti. Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Ayat 1 Pasal ini mengatur mengenai tuntutan rekonvensi yang diajukan oleh pihak termohon. Ayat 2 Cukup jelas Pasal 43 Sesuai dengan hukum acara perdata sengketa menjadi gugur apabila pemohon tidak datang menghadap pada hari pemeriksaan pertama. 895 Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Ayat 1 Penentuan jangka waktu 180 seratus delapan puluh hari sebagai jangka waktu bagi arbiter menyelesaikan sengketa bersangkutan melalui arbitrase adalah untuk menjam in kepastian waktu penyelesaian pemeriksaan arbitrase. Ayat 2 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Tanpa adanya suatu sengketa pun, lembaga arbitrase dapat menerima perm intaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat binding opinion mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas, penambahan atau 896 perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan timbulnya keadaan baru dan lain- lain. Dengan diberikannya pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut kedua belah pihak terikat padanya dan salah satu pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar perjanjian. Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Ayat 1 Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukan bahwa arbiter dalam mem utus perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan ex aequo et bono. Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk m emberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa dwingende regels harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter. Dalam hal arbiter tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim . Ayat 2 Para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Apabila para pihak tidak m enentukan lain, maka hukum yang diterapkan adalah hukum tempat arbitrase dilakukan. Pasal 57 Cukup jelas 897 Pasal 58 Yang dimaksud dengan koreksi terhadap kekeliruan adm inistratif adalah koreksi terhadap hal- hal seperti kesalahan pengetikan ataupun kekeliruan dalam penulisan nama, alamat para pihak atau arbiter dan lain-lain, yang tidak mengubah substansi putusan. Yang dimaksud dengan menambah atau mengurangi tuntutan adalah salah satu pihak dapat mengemukakan keberatan terhadap putusan apabila putusan, antara lain: a. telah mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut oleh pihak lawan; b. tidak memuat satu atau lebih hal yang dim inta untuk diputus; atau c. mengandung ketentuan mengikat yang bertentangan satu sama lainnya. Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan dem ikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Tidak diperiksanya alasan atau pertimbangan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri agar putusan arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final, dan mengikat. Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 898 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan- kegiatan antara lain di bidang : - perniagaan; - perbankan; - keuangan; - penanaman modal; - industri; - hak kekayaan intelektual. Huruf c Cukup jelas Huruf d Suatu Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan eksekuatur. Huruf e Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas 899 Pasal 70 Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, m aka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau m enolak permohonan. Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan jika dim inta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan. Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase. Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Yang dimaksud dengan banding adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70. Ayat 5 Cukup jelas Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas 900 Pasal 75 Cukup jelas Pasal 76 Cukup jelas Pasal 77 Cukup jelas Pasal 78 Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas Pasal 80 Cukup jelas Pasal 81 Cukup jelas Pasal 82 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3872 901 MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 10 Oktober 2008 Nomor : 09Bua.6HsSPX2008 Kepada Yth: 1. Ketua Pengadilan Tinggi Agam a 2. Ketua Pengadilan Tinggi 3. Ketua Pengadilan Agama 4. Ketua Pengadilan Neg er i di Seluruh Indonesia SURAT EDARAN NOMOR : 08 T AHUN 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari’ah Sehubungan dengan pertanyaan yang diajukan oleh beberapa Ketua Pengadilan Agama kepada Mahkamah Agung tentang pelaksanaan e ksekusi putusan Badan Arbitrase Syari‟ah, Mahkamah Agung memandang perlu memberikan petunjuk sebagai berikut : 1. Badan Arbitrase Syari‟ah adalah Lembaga Arbitrase yagn dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu di bidang ekonomi syari‟ah 2. Yang dimaksud dengan ekonomi syari‟ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah, meliputi : a. Bank syari‟ah b. Asuransi syari‟ah c. Reasuransi syari‟ah d. Reksa dana syari‟ah e. Obligasi syari‟ah dan surat berharga berjangka menengah syari‟ah; f. Seliritas syari‟ah g. Pembiayaan syari‟ah 902 h. Pegadaian syariah i. Dana pensiun lembaga keuangan syari‟ah j. Bisnis syari‟ah; dan k. Lembaga keuangan mikro syari‟ah Penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. 3. Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak Pasal 60 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, karenanya para pihak harus melaksanaka n putusan Badan Arbitrase Syari‟ah tersebut secara sukarela. 4. Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syari‟ah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari‟ah, maka Ketua Pengadilan Agama lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syari‟ah. 5. Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah baru dapat dilaksanakan apabila ketentuan dalam Pasal 59 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 telah dipenuhi, yaitu : a. Dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari terhitung sejak tanggal putusan Badan Arbitrase Syari‟ah diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon dalam penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syari‟ah. b. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Agama dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran. c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Agama. d. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. e. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak. 903 6. Perintah pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syari‟ah tersebut diberikan dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon dalam penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syari‟ah. 7. Ketua Pengadilan Agama sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah : a. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui Badan Arbitrase Syari‟ah dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak. b. Sengketa yang diselesaikan tersebut adalah sengketa di bidang ekonomi syari‟ah dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. c. Putusan Badan Arbitras e Syari‟ah tidak bertentangan dengan prinsip syari‟ah. 8. Ketua Pengadilan Agama tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan Badan Arbitrase Syari‟ah. 9. Perintah Ketua Pengadilan Agama ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan Badan Arbitra se Syari‟ah yang dikeluarkan. 10. Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah yagn telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Agama, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan. KETUA MAHKAMAH AGUNG RI BAGIR MANAN 904 MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 20 Mei 2010 Nomor : 09Bua.6HsSPV2010 Kepada Yth: 6. Ketua Pengadilan Tinggi 7. Ketua Pengadilan Tinggi Agama 8. Ketua Pengadilan Negeri 9. Ketua Pengadilan Agama di Seluruh Indonesia SURAT EDARAN NOMOR : 08 T AHUN 2010 Tentang Pe negasan Tidak Berlakunya Surat Edaran M ahka mah Agung Nomor : 08 T ahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari’ah Memperhatikan ketentuan pada angka 4 empat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 08 Tahun 2008 yang intinya berisi bahwa Ketua Pengadilan Agama berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syari‟ah. Bahwa berdasarkan Pasal 59 ayat 3 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya ditentukan bahwa, dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase termasuk arbitrase syari‟ah secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diberitahukan kepada Saudara, bahwa terhitung sejak berlakunya Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putus an Badan Arbitrase Syari‟ah tersebut berdasarkan Pasal 59 ayat 905 3 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya, dinyatakan tidak berlaku. Demikian untuk perhatian dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. a.n. KETUA MAHKAMAH AGUNG RI WAKIL KETUA MAHKAMAH AGUNG BIDANG YUDISIAL H. ABDUL KADIR MAPPONG, SH Tembusan kepada Yth: 1. Ketua Mahkamah Agung RI. 2. Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Non Yudisial. 3. Para Ketua Muda Mahkamah Agung RI 4. Panitera Mahkamah Agung RI 5. Sekretaris Mahkamah Agung RI 906 PERATURAN M AHKAM AH AGUN G REPUBLIK INDO NESI A NOMOR : 01 T AHUN 2008 Tentang PROSEDUR M EDI ASI DI PENG ADIL AN MAHKAMAH AGUNG REPUB LIK I NDONESI A Menimbang : a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. b. Bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus ajudikatif. c. Bahwa hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri. d. Bahwa sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung. e. Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan. Mengingat : 1. Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Reglemen Indonesia yang diperbahrui HIR Staatsblad 1941 Nomor 44 dan Reglemen 907 Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura RBg Staatsblad 1927 Nomor 227; 3. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Nomor 8 Tahun 2004; 4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, lembaran Negara Nomor 73 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 2004 dan Tambahan Lembaran Negara No 4359 Tahun 2004; 5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, lembaran Negara Nomor 20 Tahun 1986, sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Lembaran Negara Nomor 34 Tahun 2004; 6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000. 7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara Nomor 73 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006, Lembaran Negara Nomor 22 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4611; M E M U T U S K A N : PERATUR AN MAHK AMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PROSEDUR MEDIAS I DI PENGADI LAN

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Perma adalah Peraturan Mahkamah Agung Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 2. Akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa. 3. Hakim adalah hakim tunggal atau majelis hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk mengadili perkara perdata; 4. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri 908 oleh pihak lainnya; 5. Kesepakatan perdamaian adalah dokumen yang memuat syarat-syarat yang disepakati oleh para pihak guna mengakhiri sengketa yang merupakan hasil dari upaya perdamaian dengan bantuan seorang mediator atau lebih berdasarkan Peraturan ini; 6. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian; 7. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator; 8. Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bukan kuasa hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian; 9. Prosedur mediasi adalah tahapan proses mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan ini; 10. Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak yang memuat duduk perkara dan atau usulan penyelesaian sengketa; 11. Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung; 12. Proses mediasi tertutup adalah bahwa pertemuan-pertemuan mediasi hanya dihadiri para pihak atau kuasa hukum mereka dan mediator atau pihak lain yang diizinkan oleh para pihak serta dinamika yang terjadi dalam pertemuan tidak boleh disampaikan kepada publik terkecuali atas izin para pihak. 13. Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat Pertama dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. 14. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan tinggi dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. Pasal 2 Ruang lingkup dan Kekuatan Berlaku P erm a 1 Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan. 909 2 Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini. 3 Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. 4 Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. Pasal 3 Biaya Pem anggilan Para Pihak 1 Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara. 2 Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para pihak. 3 Jika mediasi gagal menghasilkan kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak dalam proses mediasi dibebankan kepada pihak yang oleh hakim dihukum membayar biaya perkara. Pasal 4 Jenis Perkara Yang Dim ediasi Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Pasal 5 Sertifikas i Mediator 1 Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat 3 dan Pasal 11 ayat 6, setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat 910 mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2 Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan Pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator. 3 Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia; b. memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi; c. sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan; d. memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan yang disahkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pasal 6 Sifat Pros es Mediasi Proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki la in. BAB II Tahap Pra Mediasi Pasal 7 Kewajiban Hakim Pem eriks a Perkara dan Kuasa Hukum 1 Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. 2 Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. 3 Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. 4 Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. 5 Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. 6 Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa. 911 Pasal 8 Hak Para Pihak Mem ilih Mediator 1 Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut: a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan; b. Advokat atau akademisi hukum; c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa; d. Hakim majelis pemeriksa perkara; e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d. 2 Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri. Pasal 9 Daftar Mediator 1 Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 lima nama mediator dan disertai dengan latarbelakang pendidikan atau pengalaman para mediator. 2 Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator. 3 Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator. 4 Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar mediator pada pengadilan yang bersangkutan. 5 Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan mene mpatkan nama pemohon dalam daftar mediator. 6 Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar mediator. 7 Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar mediator berdasarkan alasan-alasan objektif, antara lain, karena mutasi tugas, berhalangan tetap, ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran atas pedoman perilaku. 912 Pasal 10 Honorarium Mediator 1 Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya. 2 Uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak. Pasal 11 Batas Waktu Pemilihan Mediator 1 Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 dua hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim. 2 Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim. 3 Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas. 4 Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat 1 terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. 5 Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator. 6 Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator. Pasal 12 Menem puh Me dias i dengan Iktikad Baik 1 Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik. 2 Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik. BAB III Tahap-Tahap Pros es Mediasi 913 Pasal 13 Penyerahan Res um e Perkara dan Lama Waktu Pros es Mediasi 1 Dalam waktu paling lama 5 lima hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. 2 Dalam waktu paling lama 5 lima hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. 3 Proses mediasi berlangsung paling lama 40 empat puluh hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 5 dan 6. 4 Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling la ma 14 empat belas hari kerja sejak berakhir masa 40 empat puluh hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3. 5 Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara. 6 Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi. Pasal 14 Kewenangan Mediator Menyatakan Medias i Gagal 1 Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. 2 Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap. Pasal 15 914 Tugas -Tugas Mediator 1 Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati. 2 Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi. 3 Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. 4 Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Pasal 16 Keterlibatan Ahli 1 Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak. 2 Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli. 3 Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Pasal 17 Menc apai Kes epakatan 1 Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. 2 Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. 3 Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. 4 Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. 5 Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan 915 dalam bentuk akta perdamaian. 6 Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. Pasal 18 Tidak Menc apai Kes epakatan 1 Jika setelah batas waktu maksimal 40 empat puluh hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 3, para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. 2 Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. 3 Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. 4 Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 berlangsung paling lama 14 empat belas hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan. Pasal 19 Keterpis ahan Medias i dari Litigasi 1 Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain. 2 Catatan mediator wajib dimusnahkan. 3 Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan. 4 Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi. BAB IV Tempat Penyelenggaraan Mediasi 916 Pasal 20 1 Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak. 2 Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan. 3 Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya. 4 Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan. BAB V PERDAMAIAN DI TINGKAT BANDING, KASAS I, DAN PENINJ AUAN KE MB ALI Pasal 21 1 Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. 2 Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili. 3 Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili segera memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang berwenang atau Ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian. 4 Jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali majelis hakim pemeriksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 empat belas hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian. 5 Jika berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali belum dikirimkan, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan wajib menunda pengiriman berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali untuk memberi kesempatan para pihak mengupayakan perdamaian. Pasal 22 1 Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 1 berlangsung paling la ma 14 empat belas hari kerja sejak penyampaian kehendak tertulis para 917 pihak diterima Ketua Pengadilan Tingkat Pertama. 2 Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut di tingkat pertama atau di tempat lain atas persetujuan para pihak. 3 Jika para pihak menghendaki mediator, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan menunjuk seorang hakim atau lebih untuk menjadi mediator. 4 Mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, tidak boleh berasal dari majelis hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan pada Pengadilan Tingkat Pertama, terkecuali tidak ada hakim lain pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut. 5 Para pihak melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dapat mengajukan k esepaka tan perdamaian secara tertulis kepada majelis hakim tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. 6 Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis hakim banding, kasasi, atau peninjauan kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 tiga puluh hari kerja sejak dicatat dalam register induk perkara. 7 Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 5 peraturan ini, jika para pihak mencapai kesepakatan perdamaian yang telah diteliti oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan para pihak menginginkan perdamaian tersebut dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, berkas dan kesepakatan perdamaian tersebut dikirimkan ke pengadilan tingkat banding atau Mahkamah Agung. Bab VI Kes epakatan di Luar P engadilan Pasal 23 1 Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan. 2 Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa. 3 Hakim di hadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi 918 syarat-syarat sebagai berikut: a. sesuai kehendak para pihak; b. tidak bertentangan dengan hukum; c. tidak merugikan pihak ketiga; d. dapat dieksekusi. e. dengan iktikad baik. Bab VII Pedom an Perilaku Me diator dan Ins entif Pasal 24 1 Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati pedoman perilaku mediator 2 Mahkamah Agung menetapkan pedoman perilaku mediator. Pasal 25 1 Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. 2 Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. BAB VIII Penutup Pasal 26 Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 31 Juli 2008 KETUA MAHK AMAH AGUNG 919 BAGIR MANAN 920 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENT ANG PENGHAPUSAN KEKERAS AN DALAM RUM AH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi m anusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskrim inasi yang harus dihapus; c. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara danatau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang meren?dahkan derajat dan martabat kemanusiaan; d. bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjam in perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat 1 dan ayat 2, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersam a DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM 921 RUMAH T ANGGA.

BAB I KETENTUAN UMUM