e book himpunan PA Publish Oke

(1)

(2)

i

KAT A PENGANTAR PENGHIMPUN

Assalamua‟alaikum wr. Wb

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas izin-NYA jualah e-book HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA (Edisi I) ini dapat terselesaikan. E-book ini lahir dilatarbelakangi oleh keinginan menjadikan kemajuan teknologi untuk efisiensi dan efektifitas kinerja dalam hal mencari segala peraturan perundang-undangan bagi aparatur peradilan Agama khususnya para Hakim.

Dengan e-book sederhana ini diharapkan menggantikan kesan “manual” dengan tidak lagi perlu membawa-bawa buku ke setiap kegiatan pelatihan maupun dalam aktifitas sehari-hari karena sudah terangkum dalam e-book ini secara lengkap, sehingga segala kegiatan menjadi efisien dan efektif.

E-book ini merupakan “Edisi I” yang dibuat karena masih banyak peraturan perundangan-undangan yang masih belum dihimpun pada edisi kali ini, dengan harapan e-book edisi berikutnya akan diluncurkan berikut dengan update peraturan perundang-undangan terbaru seperti Perma, Sema, SK Dirjen Badilag, Pengumuman dan lain-lain.

Dengan tampilan layaknya sebuah buku, e-book ini diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam pencarian karena dilengkapi dengan indeks daftar isi sehingga untuk menuju ke halaman yang dimaksud cukup dengan meng-klik daftar isi tanpa membuka halaman satu-persatu, disinilah yang dimaksud menggantikan kesan manual seperti halnya buku.

Kami menyadari e-book ini jauh dari kesempurnaan, namun berangkat dari keinginan di atas mudah-mudahan e-book edisi berikutnya dapat dihadirkan lebih lengkap dan sistem yang lebih mudah lagi. Untuk itu kami mengharapakan saran, kritik dan kerjasama dari semua pihak untuk mewujudkannya.

Akhirnya kami ingin menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak, terkhusus Bapak Dirjen Badilag, Bapak Drs. H. Wahyu Widiana, MA; Bapak Auzar Nawawi, S.Ag., SH selaku Ketua PA Muara Bungo, Ibu Dra. Asmidar selaku Waka PA Muara Bungo, rekan-rekan Hakim PA Muara Bungo, Bapak Nursal, S.Ag; Afrizal, M.Ag; Hidayah, S.HI; Iqbal Kadafi, SH; Umi Fathonah, S.HI., Sri Rizki Dwi Putri, SH;


(3)

ii

abangda Drs. Muslim, SH., MA (Waka PA Koto Baru), abangda Yengkie Hirawan, S.Ag., M.Ag (Hakim PA Sarolangun) serta Ketua PA Sambas Drs. Muhammad Dihyah Wahid, Waka PA Sambas Drs. Musthofa Kamal, MH dan rekan-rekan Hakim PA Sambas, yang telah memberikan kesempatan untuk berkarya sederhana ini, juga bantuan, saran serta masukan dalam pembuatan e-book Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Peradilan Agama (Edisi I) dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Demikian pengantar dari kami, dengan harapan, semoga e-book ini bermanfaat bagi kita semua.

Antara Muaro Bungo dan Sambas 13 Juni 2012

Wassalam.

Muhammad Iqbal, S.HI., MA Abdurrahman Rahim, S.HI., MH Hakim PA Muaro Bungo Hakim PA Sambas


(4)

iii

KAT A PENGANTAR DIRJEN BADILAG MA-RI

Bismillaahhirrahmaanirrahiim

Meskipun melalui ide yang awalnya sederhana namun dipadu dengan kemauan dan kejelian melihat peluang maka kehadiran e-book HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA (edisi I) patut diapresiasi oleh semua kalangan khususnya di aparatur Peradilan Agama.

Saat mempresentasikan program e-book ini di depan saya, Penulis ataupun sebagai pencipta e-book ini adalah dua orang hakim yang sadar betul akan pentingnya kemajuan teknologi informasi terhadap kebutuhan para hakim khususnya dan aparatur Peradilan Agama umumnya yang kesehariannya berkutat dengan segala peraturan perundang-undangan yang jumlahnya sangat banyak. Tumpukan buku peraturan perundangan-undangan tidak akan lagi ditemukan karena sudah digantikan fungsinya dengan e-book ini.

Dengan tampilan layaknya seperti buku pada umumnya ditambah dengan kemudahan sistem indeks daftar isi, para pengguna hanya perlu “one click” untuk menuju ke halaman yang diiinginkan. Hal ini sangat membantu efektifitas kerja dan efisiensi waktu seperti dalam kegiatan pelatihan, workshop atau kegiatan memberikan pelayanan kepada masyarakat, tanpa membalik-balikkan buku peraturan perundang-undangan lagi.

Saya yakin kehadiran E-book HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA (edisi I) sangat bermanfaat bagi semua kalangan di lingkungan Peradilan Agama. Semoga pada edisi berikutnya akan ada “update” dan tambahan peraturan-peraturan lainnya, sehingg tidak hanya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan Peradilan Agama saja.

Bagi aparatur Peradilan Agama sangat saya sarankan untuk mencoba serta mengaplikasikan e-book ini dalam kegiatan sehari-hari. Saya yakin e-book HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA (edisi I) akan mendorong lahirnya ide-ide cemerlang lainnya dari para aparatur Peradilan Agama yang sadar akan manfaat dari kemajuan teknologi.

Akhirnya saya ingin menyampaikan terima kasih kepada dua orang hakim sebagai penghimpun dan pencipta e-book HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


(5)

iv

DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA (edisi I) ini atas usaha dan kreatifitas yang bernilai positif bagi semua kalangan khususnya Peradilan Agama.

Saya yakin, karya dari dua hakim kreatif, pencipta e-book ini, yaitu Sdr. Muhammad Iqbal, S.HI., MA dan Sdr. Abdurrahman Rahim, S.HI., MH, sangat besar manfaatnya dan merupakan amal jariyah bagi mereka berdua.

Jakarta, 19 Juli 2012


(6)

v DAFT AR ISI

Kata Pengantar Penghimpun ... i

Kata Pengantar Dirjen Badilag ... iii

Daftar Isi ... v

1. UU No. 4 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasannya ... 1

2. UU No. 48 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasannya ... 26

3. UU No. 14 1985 Tentang Mahkamah Agung dan Penjelasannya ... 58

4. UU No. 5 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 14 1985 Tentang Mahkamah Agung dan Penjelasannya ... 97

5. UU No. 3 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 1985 Tentang Mahkamah Agung dan Penjelasannya ... 118

6. Keputusan Presiden No. 21 2004 Tentang Pengalihan Organisasi, Admi- nistrasi, dan Finansial Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Peradilan Tata Usaha Negara, Dan Peradilan Agama Ke Mahkamah Agung ... 139

7. RBg ... 144

8. HIR ... 206

9. UU No. 20 1947 Tentang Peradilan Ulangan di Jawa Madura ... 247

10. UU No. 7 1989 Tentang Peradilan Agama dan Penjelasannya ... 252

11. SE MA No. 2 1990 Tentang Petunjuk Pelaksanaan UU No. 7 1989... 308

12. UU No. 3 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 1989 Tentang Peradilan Agama dan Penjelasannya... 312

13. UU No. 50 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 1989 Tentang Peradilan Agama dan Penjelasannya ... 342

14. UU No. 1 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya ... 370

15. PP No. 9 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya ... 398

16. Inpres No. 1 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dan Penjelasannya .... 424

17. SE MA No. 2 1994 Tentang Pengertian Pasal 117 KHI ... 486

18. Permenag No. 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan nikah ... 488

19. Permenag No. 30 2005 Tentang Wali Hakim ... 504

20. PP No. 10 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS dan Penjelasannya ... 509


(7)

vi

21. SE MA No. 5 1984 Tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 10 1983 dan

Lampiran A dan Lampiran B... 525

22. PP No. 45 1990 Tentang Perubahan Atas PP No. 10 1983 Tentang Iz in Perkawinan Dan Perceraian Bagi PNS dan Penjelasannya ... 530

23. SE BKN No. 48 1990 Tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45 1990 Tentang Perubahan Atas PP No. 10 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS dan Lampiran ... 543

24. Keputusan Sekretaris MA-RI No. 001/SEK/IZ.07/IV/2010 Tentang Pende- legasian Wewenang Mengenai Penolakan / Pemberian Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi PNS Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan- Badan Peradilan Di Bawahnya ... 562

25. Permenhan No. 23 2008 Tentang Perkawinan, Perceraian Dan Rujuk Bagi Pegawai Di Lingkungan Departemen Pertahanan... 566

26. Perkap No 9 Th 2010 Tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perce- raian, Dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara RI ... 575

27. UU No. 41 2004 Tentang Wakaf dan Penjelasannya ... 588

28. PP No. 28 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik ... 618

29. Permendagri No. 6 1977 Tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakaf Tanah Milik ... 625

30. Permenag No. 1 1978 Tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik ... 630

31. UU No. 38 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Penjelasannya ... 638

32. UU No. 23 2011 Tentang Pengelolaan Zakat dan Penjelasannya ... 652

33. UU No. 23 1999 Tentang Bank Indonesia dan Penjelasannya ... 674

34. UU No 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 23 1999 Tentang Bank Indonesia dan Penjelasannya ... 737

35. UU No. 21 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Penjelasannya ... 766

36. UU No. 19 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara dan Penjelasan nya ... 823

37. PP No. 39 2005 Tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasar- kan Prinsip Syari'ah dan Penjelasannya ... 849

38. PP No. 67 2008 Tentang Pendirian Perusahaan Penerbit Surat Berharga Syariah Negara Indonesia I ... 855


(8)

vii

39. UU No. 30 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

dan Penjelasannya ... 860 40. SE MA No. 8 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah.... 901 41. SE MA No. 8 2010 Tentang Penegas an Tidak Berlakunya SE MA No.

8 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah ... 904 42. PerMA 1 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ... 906 43. UU No. 23 2004 Tentang Penghapusan KDRT dan Penjelasannya ... 920 44. UU No. 13 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Penjelasan

nya ... 945 45. UU No. 18 2003 Tentang Advokat dan Penjelasannya ... 967 46. SEMA 052/KMA/V/2009 Tentang Sikap Mahkamah Agung Terhadap Orga-

nisasi Advokat ... 990 47. SEMA 089/KMA/VI/2010 Tentang Penyumpahan Advokat ... 993 48. UU No. 22 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Penjelasannya ... 995 49. UU No. 18 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 22 2004 Tentang

Komisi Yudisial dan Penjelasannya ... 1021 50. UU No. 13 1985 Tentang Bea Meterai dan Penjelasannya... 1041 51. UU No. 23 2006 Tentang Administrasi Kependudukan dan Penjelasannya. 1055 52. UU No. 23 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Penjelasannya ... 1127 53. UU No. 16 2011 Tentang Bantuan Hukum dan Penjelasannya ... 1171 54. UU No. 14 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Penjelasannya 1186 55. 144/KMA/SK/IVIII/2007 Tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan ... 1232 56. PP No. 53 2008 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara

Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan

Yang Berada Di Bawahnya dan Penjelasannya ; Lampiran ... 1243 57. 42/WKMA-N.Y/XI/2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 53 2008 ... 1251 58. KMA No. 2 2009 Tentang biaya proses penyelesaian perkara dan Pengelo-

laannya pada Mahkamah Agung dan Peradilan yang berada di bawahnya . 1254 Tentang Penghimpun ... 1259


(9)

1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG

KEKUASAAN KEHAKIM AN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

b bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman;

Mengingat :

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:


(10)

2 BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Pasal 2

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Pasal 3

(1) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang.

(2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

Pasal 4

(1) Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

(2) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

(3) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(4) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana.

Pasal 5

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.


(11)

3 Pasal 6

(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.

(2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Pasal 7

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 8

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 9

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.

BAB II

BADAN PERADILAN DAN ASASNYA Pasal 10

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.


(12)

4

(2) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Pasal 11

(1) Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).

(2) Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:

a mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;

b menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan

c kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

(3) Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung. (4) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam

lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang.

Pasal 12

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

a menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c memutus pembubaran partai politik; dan

d memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa


(13)

5

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pi dana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 13

(1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

(2) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

(3) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.

Pasal 14

(1) Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri.

(2) Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diatur dengan undang-undang.

Pasal 15

(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.

(2) Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Pasal 16

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.


(14)

6

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Pasal 17

(1) Semua pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Di antara hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang bertindak sebagai ketua dan lainnya sebagai hakim anggota sidang.

(3) Sidang dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera.

(4) Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 18

(1) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.

Pasal 19

(1) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

(3) Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.

(4) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

(5) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

(6) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur oleh Mahkamah Agung.


(15)

7 Pasal 20

Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 21

(1) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Terhadapputusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 22

Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 23

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Pasal 24

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.


(16)

8 Pasal 25

(1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.

(3) Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.

Pasal 26

Untuk kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta.

BAB III

HUBUNGAN PENGADILAN DAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA Pasal 27

Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta.

BAB IV

HAKIM DAN KEWAJIBANNYA Pasal 28

(1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Pasal 29

(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. (2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili

untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri


(17)

9

meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim, panitera, panitera pengganti, dan juru sita untuk masing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya.

(2) Sumpah atau janji hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

Sumpah:

”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

Janji:

“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”


(18)

10

Lafal sumpah atau janji panitera, panitera pengganti, atau juru sita adalah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

BAB V

KEDUDUKAN HAKIM DAN PEJABAT PERADILAN Pasal 31

Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 32

Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

Pasal 33

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.

Pasal 34

(1) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan undang-undang.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim diatur dalam undang-undang.

(3) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 35

Panitera, panitera pengganti, dan juru sita adalah pejabat peradilan yang pengangkatan dan pemberhentiannya serta tugas pokoknya diatur dalam undang-undang.

BAB VI

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN Pasal 36

(1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.

(2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan undang-undang.


(19)

11

(3) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

(4) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.

BAB VII BANTUAN HUKUM

Pasal 37

Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

Pasal 38

Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.

Pasal 39

Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.

Pasal 40

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dalam undang-undang.

BAB VIII KETENTUAN LAIN

Pasal 41

Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain diatur dalam undang-undang.

BAB IX

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 42

(1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004.


(20)

12

(2) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan agama selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.

(3) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.

(4) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(5) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan paling lambat: a 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berakhir;

b 60 (enam puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berakhir.

Pasal 43

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1):

a semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, menjadi pegawai pada Mahkamah Agung;

b semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, tetap menduduki jabatannya dan tetap menerima tunjangan jabatan pada Mahkamah Agung;

c semua aset milik/barang inventaris di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi serta pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara beralih ke Mahkamah Agung.

Pasal 44

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2):


(21)

13

a semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah Agung;

b semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menduduki jabatan pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c semua aset milik/barang inventaris pada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama beralih menjadi aset milik/barang inventaris Mahkamah Agung.

[

Pasal 45

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3):

a pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur personel militer;

b semua pegawai negeri sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi pegawai negeri sipil pada Mahkamah Agung.

Pasal 46

Mahkamah Agung menyusun organisasi dan tata kerja yang baru di lingkungan Mahkamah Agung paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.

BAB X

KETENTUAN PENUTUP Pasal 47

Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 48

Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara


(22)

14

Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 49

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO


(23)

15

PENJELASAN AT AS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG

KEKUASAAN KEHAKIM AN

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelengaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini sudah harus dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah perkembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang


(24)

16

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Mengingat perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan perubahan secara komprehensif.

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi,


(25)

17

administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Pasal 2 Cukup jelas.

Pasal 3 Ayat (1)

Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 4 Ayat (1)

Ketentuan yang menentukan bahwa peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” adalah sesuai dengan Pasal

29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan:


(26)

18

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Ayat (2)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif.

Yang dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat.

Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Yang dimaksud ”dipidana” dalam ayat ini adalah bahwa unsur-unsur tindak pidana dan pidananya ditentukan dalam undang-undang.

Pasal 5 Cukup jelas.

Pasal 6 Cukup jelas.

Pasal 7 Cukup jelas.

Pasal 8 Cukup jelas.

Pasal 9 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”rehabilitasi” adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain.


(27)

19 Ayat (2)

Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (4). Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 10 Cukup jelas.

Pasal 11 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Ketentuan ini mengatur tentang hak uji Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang. Hak uji tersebut dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan tersebut yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Huruf c

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Yang dimaksud dengan ”pengawasan tertinggi” dalam ketentuan ayat ini meliputi pengawasan internal Mahkamah Agung terhadap semua badan peradilan dibawahnya.

Pasal 12 Cukup jelas.


(28)

20 Pasal 13 Cukup jelas.

Pasal 14 Cukup jelas.

Pasal 15 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Ayat (2)

Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam yang terdiri atas Mahkamah Syariah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk tingkat banding adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134).

Pasal 16 Cukup jelas.

Pasal 17 Cukup jelas.

Pasal 18

Ketentuan ayat (1) berlaku bagi pengadilan tingkat pertama.

Pasal 19 Cukup jelas.


(29)

21 Pasal 20 Cukup jelas.

Pasal 21 Cukup jelas.

Pasal 22 Cukup jelas.

Pasal 23 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”hal atau keadaan tertentu” dalam ketentuan ini antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 24

Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” adalah dilihat dari titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.

Pasal 25 Cukup jelas.

Pasal 26 Cukup jelas.

Pasal 27 Cukup jelas.


(30)

22 Pasal 28 Ayat (1)

Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Ayat (2)

Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya.

Pasal 29 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ”derajat ketiga” dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Yang dimaksud dengan ”kepentingan langsung atau tidak langsung” adalah termasuk apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaa n atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 30 Cukup jelas.

Pasal 31 Cukup jelas.


(31)

23 Pasal 32 Cukup jelas.

Pasal 33 Cukup jelas.

Pasal 34 Cukup jelas.

Pasal 35 Cukup jelas.

Pasal 36 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ”dipimpin” dalam ketentuan ini mencakup pengawasan dan tanggung jawab sejak diterimanya permohonan sampai dengan selesainya pelaksanaan putusan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 37 Cukup jelas.

Pasal 38

Sejalan dengan asas bahwa seseorang selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah, maka ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga atau advokat sejak ditangkap dan/atau ditahan. Tetapi hubungan ini tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan, yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana.


(32)

24 Pasal 39 Cukup jelas.

Pasal 40 Cukup jelas.

Pasal 41 Cukup jelas.

Pasal 42 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “organisasi, administrasi, dan finansial pada ayat ini adalah organisasi, administrasi, dan finansial pada mahkamah militer agung atau pengadilan militer utama, mahkamah militer tinggi atau pengadilan militer tinggi, dan mahkamah militer atau pengadilan militer.

Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 43 Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Ketentuan ini masih tetap membolehkan penggunaan aset/barang inventaris yang ada selama aset/barang inventaris tersebut belum tersedia di Mahkamah Agung.


(33)

25 Pasal 44 Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Lihat penjelasan Pasal 43 huruf c.

Pasal 45 Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas.

Pasal 46 Cukup jelas.

Pasal 47 Cukup jelas.

Pasal 48 Cukup jelas.

Pasal 49 Cukup jelas.


(34)

26

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:

a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

b. bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang terpadu;

c. bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman;

Mengingat:

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:


(35)

27 BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

2. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

6. Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung. 7. Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.

8. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.

9. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.

BAB II

ASAS PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIM AN Pasal 2

(1) Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".


(36)

28

(2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

(3) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang.

(4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 3

(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 5

(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

(3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Pasal 6

(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa


(37)

29

seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Pasal 7

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 8

(1) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Pasal 9

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang- undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.

Pasal 10

(1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Pasal 11

(1) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang- kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.


(38)

30

(2) Susunan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.

(3) Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera.

(4) Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 12

(1) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.

Pasal 13

(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Pasal 14

(1) Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. (2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan

atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

(3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.

Pasal 15


(39)

31 Pasal 16

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Pasal 17

(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. (2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili

untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.

BAB III


(40)

32 Bagian Kesatu

Umum Pasal 18

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Pasal 19

Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

Bagian Kedua

Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya Pasal 20

(1) Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

(2) Mahkamah Agung berwenang:

a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;

b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan

c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.

Pasal 21

(1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.


(41)

33

(2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.

Pasal 22

(1) Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.

(2) Ketentuan mengenai pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan diatur dalam undang-undang.

Pasal 23

Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 24

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Pasal 25

(1) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

(2) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(42)

34

mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(5) Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26

(1) Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. (2) Putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari

dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 27

(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.

(2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.

Pasal 28

Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diatur dalam undang-undang.

Bagian Ketiga Mahkamah Konstitusi

Pasal 29

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


(43)

35

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

(3) Susunan, kekuasaan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.

(4) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

BAB IV

PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM DAN HAKIM KONSTITUSI Bagian Kesatu

Pengangkatan Hakim dan Hakim Konstitusi Pasal 30

(1) Pengangkatan hakim agung berasal dari hakim karier dan non karier.

(2) Pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.

(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam undang-undang.

Pasal 31

(1) Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

(2) Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat merangkap jabatan, kecuali undang- undang menentukan lain.

Pasal 32

(1) Hakim ad hoc dapat diangkat pada pengadilan khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman di bidang


(44)

36 tertentu dalam jangka waktu tertentu.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.

Pasal 33

Untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; b. adil; dan

c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

Pasal 34

(1) Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.

(2) Pencalonan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.

(3) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.

Pasal 35

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Hakim Konstitusi diatur dengan undang- undang.

Bagian Kedua

Pemberhentian Hakim dan Hakim Konstitusi Pasal 36

Hakim dan hakim konstitusi dapat diberhentikan apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.

Pasal 37

Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian hakim dan hakim konstitusi diatur dalam undang-undang.


(45)

37 BAB V

BADAN-BADAN LAIN YANG FUNGSINYA BERKAITAN DENGAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pasal 38

(1) Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

(2) Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. penyelidikan dan penyidikan; b. penuntutan;

c. pelaksanaan putusan; d. pemberian jasa hukum; dan

e. penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

(3) Ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

BAB VI

PENGAWASAN HAKIM DAN HAKIM KONSTITUSI Pasal 39

(1) Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan.

(3) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung. (4) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan

ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pasal 40


(46)

38

perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Pasal 41

(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40, Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung wajib:

a. menaati norma dan peraturan perundang-undangan;

b. berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; dan c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.

(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

(3) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

(4) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 diatur dalam undang-undang.

Pasal 42

Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.

Pasal 43

Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diperiksa oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.

Pasal 44

(1) Pengawasan hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.

BAB VII


(47)

39 Pasal 45

Selain hakim, pada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dapat diangkat panitera, sekretaris, dan/atau juru sita.

Pasal 46 Panitera tidak boleh merangkap menjadi :

a. Hakim; b. Wali; c. Pengampu; d. Advokat; dan/atau

e. Pejabat peradilan yang lain.

Pasal 47

Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian panitera, sekretaris, dan juru sita serta tugas dan fungsinya diatur dalam undang-undang.

BAB VIII

JAMINAN KEAM ANAN DAN KESEJAHTERAAN HAKIM Pasal 48

(1) Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.

(2) Jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

(1) Hakim ad hoc dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diberikan tunjangan khusus.

(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(48)

40 BAB IX

PUTUSAN PENGADILAN Pasal 50

(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.

Pasal 51

Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.

Pasal 52

(1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan.

(2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam perkara pidana, putusan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada instansi yang terkait dengan pelaksanaan putusan.

Pasal 53

(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.

(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

BAB X

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN Pasal 54

(1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.


(49)

41 juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

(3) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.

Pasal 55

(1) Ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB XI BANTUAN HUKUM

Pasal 56

(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. (2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.

Pasal 57

(1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.

(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XII

PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN Pasal 58

Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

Pasal 59


(1)

1254

PERATURAN MAHKAM AH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2009

TENTANG

BIAYA PROSES PENYELESAIAN PERKARA DAN PENGELOLAANNYA PADA MAHKAM AH AGUNG DAN BADAN PERADILAN

YANG BERADA DI BAWAHNYA

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81 A ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan ke dua atas Undang-Undang Nornor 14Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung RI tentang biaya proses penyelesaian perkara dan pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya.

Mengingat :

1. Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 ;

2. Undang-Undang Nornor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5Tahun 2004 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;

3. Undang-Undang Nornor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379);

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380) ;

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nornor 3 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nornor 4611) ;

6. Undang-Undang Nornor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) ;

7. HIR ( Herzien lnlandsch Reglement) Staatsblad 1941 Nornor 44 / RBG (Reglement Tot Regeling Van Het Rechswezen in De Gewesten BuitenJava en Madura Staatsblad 1927- 227) ;


(2)

1255

M E M U T U S K A N

Menetapkan : PERATURAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG BIAYA PROSES PENYELESAIAN PERKARA DAN PENGELOLAANNYA PADA MAHKAMAH AGUNG DAN BADAN PERADILAN YANG BERADA DI BAWAHNYA

Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Biaya Proses Penyelesaian Perkara selanjutnya disebut biaya proses adalah biaya yang dipergunakan untuk proses penyelesaian perkara perdata, perkara tata usaha negara dan hak uji materil pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya yang dibebankan kepada pihak atau para pihak yang berperkara;

2. Pengadilan Tingkat Pertama adalah Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara;

3. Pengadilan Tingkat Banding adalah Pengadilan Tinggi, PengadilanTinggi Agama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara;

4. Mahkamah Agung adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia;

5. Pengelola Biaya Proses adalah Panitera pada Mahkamah Agung dan Panitera/Sekretaris pada Badan Peradilan yang berada di bawahnya;

6. Pembuat Komitmen Biaya Proses pada Mahkamah Agung adalah petugas yang ditunjuk oleh Panitera dan untuk Badan Peradilan di bawahnya ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk melaksanakan pengelolaan biayaproses;

7. Bendahara Biaya Proses adalah petugas yang ditunjuk oleh Pengelola Biaya Proses untuk melaksanakan penatausahaan biaya proses.

Pasal 2

(1) Besarnya biaya proses pada Mahkamah Agung ditetapkan sebagai berikut:

a. Kasasi perkara Perdata, Perdata Agama dan Tata Usaha Negara sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

b. Peninjauan Kembai perkara Perdata, Perdata Agama dan Tata Usaha Negara sebesar Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah);

c. Kasasi perkara perdata niaga sebesar Rp. 5.000.000.00 (lima juta rupiah);

d. Peninjauan Kembali perkara perdata niaga sebesar Rp. 10.000.000.00(sepuluh juta rupiah);

e. Kasasi perkara Perselisihan Hubungan Industrial yang nilai gugatan Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) ke atas sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);


(3)

1256

f. Peninjauan Kembali perkara Perselisihan Hubungan Industrial yang nilai gugatannya Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) ke atas sebesar Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah);

g. Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (keberatan Hak Uji Materiil) sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);

(2) Besarnya biaya proses pada Pengadilan Tingkat Banding sebesar Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah), kecuali Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah);

(3) Besaran panjar biaya proses pada Pengadilan Tingkat Pertama diatur dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (4) Biaya untuk penyelesaian perkara dengan acara prodeo pada tingkat pertama, banding dan kasasi serta perkara Perselisihan Hubungan Industrial yang nilai gugatannya di bawah Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dibebankan kepada Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(5) Besaran biaya proses sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dan (2) dapat dilakukan penyesuaian dengan Surat Keputusan Ketua Mahkarnah Agung;

Pasal 3

(1) Biaya Proses sebagaimana tersebut pada Pasal 2 dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak yang berperkara dengan ditetapkannya besaran biaya proses pada putusan;

(2) Seluruh biaya proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara efektif, efisien, transparan dan dicatat dalam Catatan Atas Laporan Keuangan Mahkamah Agung RI

Pasal 4

(1) Pengelola biaya proses sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 5 bertugas untuk melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

a. Menunjuk dan mengangkat petugas pembuat komitmen, bendahara dan staf pelaksana biaya proses;

b. Merencanakan penerimaan dan pengeluaran biaya proses; c. Melakukan penerimaan dan pembayaran biaya proses; d. Menyelenggarakan pembukuan biaya proses;

e. Menyusun laporan pertanggungjawaban pengelolaan biaya proses;

(2) Petugas pembuat komitmen biaya proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 bertugas membantu pengelola biaya proses untuk melaksanakan tugas sebagairnana dimaksud pada ayat (1) huruf b, c, d dan e;


(4)

1257

(3) Bendahara biaya proses sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 7 bertugas membantu mengelola biaya proses untuk melaksanakan hal-halsebagaimana berikut :

a. Menerima, menyimpan dan mengeluarkan biaya proses;

b. Membukukan seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran biayaproses;

c. Menerima dan menyetor Penerimaan Negara Bukan Pajak kepada bendahara penerima Penerimaan Negara Bukan Pajak;

Pasal 5

(1) Biaya proses sebagaimana tersebut pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) digunakan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan proses penyelesaian perkara dan pendukung lainnya, antara lain: a. Materai;

b. Biaya redaksi; c. Leges;

d. Alat Tulis Kantor (ATK);

e. Penggandaan/ foto copy berkas perkara dan surat-surat yang berkaitan dengan berkas perkara; f. Konsumsi persidangan;

g. Penggandaan salinan putusan;

h. Pengiriman pemberitahuan nomor register ke Pengadilan Pengaju dan para pihak, salinan putusan, berkas perkara dan surat-surat lain yang dipandang perlu;

i. Pemberkasan dan penjili dan berkas perkara yang telah diminutasi; j. Percepatan penyelesaiaan perkara;

k. Insentif Tim Pengelola Biaya Proses;

l. Pengadaan perlengkapan kerja Kepaniteraan yang habis pakai; m. Monitoring dan Evaluasi pelaksanaan penyelesaian perkara perdata.

(2) Penggunaan dan pengelolaan panjar biaya proses pada Pengadilan Tingkat Pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud ayal (1) dan dituangkan dalam bentuk Rencana Kegiatan Biaya Proses (RKBP) yang dibuat oleh Panitera/Sekretaris pada Pengadilan Tingkat Banding dan Panitera pada Mahkamah Agung;

(4) Insentif Tim Pengelola Biaya Proses ditetapkan oleh Panitera/Sekretaris pada Pengadilan Tingkat Banding dan Panitera pada Mahkamah Agung

Pasal 6


(5)

1258

(1) Pengadilan Tingkat Banding membentuk Tim Pengelolaan Biaya Proses yang terdiri dari: a. 1 (satu) orang Pengelola Biaya Proses;

b. 1 (satu) orang Petugas Pembuat Komitmen Biaya Proses; c. 1 (satu) orang Bendahara Biaya Proses;

d. 1 (satu) orang Staf Pelaksana;

(2) Mahkamah Agung RI membentuk Tim Pengelola Biaya Proses yang terdiri dari: a. 1 (satu) orang Pengelola Biaya Proses

b. 1 (satu) orang atau lebih Petugas Pembuat Komitmen Biaya Proses; c. 1 (satu) orang Bendahara biaya proses;

d. Staf Pelaksana sebanyak-banyaknya 12 (dua belas) orang;

Pasal 7

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan ini untuk Pengadilan Tingkat Banding dan Mahkamah Agung akan diatur lebih lanjut oleh Panitera Mahkamah Agung RI;

Pasal 8

Dengan diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung ini maka seluruh Keputusan Ketua Mahkamah Agung yang berhubungan dengan penetapan biaya proses/biaya perkara pada Pengadilan Tingkat Banding dan MahkamahAgung dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9 Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 12 Agustus 2009 KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA


(6)

1259

TENTANG PENGHIMPUN

Muhammad Iqbal, S.HI., M A Hakim PA Muara Bungo

Muhammad Iqbal lahir di Heliopolis Cairo tanggal 23 Oktober 1981, menyelesaikan pendidikan S1 nya di Fakultas Syari‟ah IAIN-SU Medan dengan jurusan Ahwalussakhsiyyah (2004) dan S2 di jurusan Ekonomi Syari‟ah di kampus yang sama pada tahun 2007. Iqbal juga pernah kuliah Diploma 1 Sains Komputer di IBSU (Institut Bisnis Sumatera Utara) dan selesai pada tahun 2004.

Pada tahun 2007 Iqbal mengikuti seleksi penerimaan Calon Hakim dan lulus untuk daerah PTA Medan dengan penempatan Cakim di Pengadilan Agama Binjai Sumatera Utara hingga bulan Juni 2010. Pada tanggal 29 Juni 2010 ia dilantik menjadi Hakim di Pengadilan Agama Muara Bungo – Jambi sampai sekarang.

Selama menjadi Hakim di Pengadilan Agama Muara Bungo, Iqbal memanfaatkan sebagian waktunya untuk berkarya, di antaranya : E-book Buku II Peradilan Agama Edisi Revisi 2010, Program Zakat Profesi (Maal al-Mustafad), Program Konversi Masehi ke Hijriyah dan Program Konversi Masehi ke Hijriyah dan Penanggalan Jawa.

Abdurrahman Rahim, S.HI., MH Hakim PA Sambas

Abdurrahman Rahim menyelesaikan pendidikan S1 nya Di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta (2006) dan menyelesaikan Program Magisternya (S2) dengan Konsentrasi Hukum Bisnis Di Universitas Gadjah Mada (UGM) Djogjakarta (2011).

Selesai menyelesaikan studi S1 dirinya Pernah bekerja sebagai journalis di Koran Rakyat Merdeka Jakarta (Group Jawa Pos) dan sebuah penerbit di Jakarta. Tahun 2007 mengikuti ujian seleksi calon hakim dan lulus untuk daerah DKI Jakarta dan pada tahun yang sama ditempatkan sebagai Calon Hakim (Cakim) di Pengadilan Agama Cibinong Kabupaten Bogor hingga bulan Juni tahun 2010. Pada Juni 2010 dirinya dilantik menjadi hakim di Pengadilan Agama Sambas sampai sekarang.