Perumusan Masalah STRUKTUR DOMINASI MEDIA PADA INDEPENDENSI WARTAWAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

wartawan dengan kartu nama – untuk mencari sendiri rizkinya, atau menyuruh wartawan sekaligus mencari order iklan Syah, 2011: 69-70. Sementara itu, Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan, perkembangan kepemilikan perusahaan pers yang mengarah pada konglomerasi media membahayakan pers itu sendiri. Bahkan, kepemilikan perusahaan media yang terpusat pada satu pihak semestinya tidak hanya berorientasi pada keuntungan perusahaan. Dengan demikian, Pers itu sendiri, wartawannya, harus bermutu http:www.investor.co.idhomebagir-manan-konglomerasi-media-banyak- bahayanya19653 . Diunduh pada 25 Agustus 2012 pukul 06.44 WIB. Menurut McQuail 2011a: 212, tingkat kebebasan informasi dapat dilihat dari beberapa hubungan struktur, perilaku, dan kinerja. Struktur merujuk pada semua hal yang berkaitan dengan sistem media, termasuk bentuk organisasi dan keuangan, kepemilikan, bentuk peraturan, infrastruktur, fasilitas distribusi. Perilaku merujuk pada cara pengoperasian pada tingkat organisasi, termasuk metode memilih dan memproduksi konten, pembuatan keputusan editorial, kebijakan pasar, hubungan dengan agen lain, prosedur untuk akuntabilitas. Sedangkan kinerja merujuk pada konten, menyangkut apa yang sebenarnya disiarkan kepada khalayak.

1.2. Perumusan Masalah

Di Indonesia, pemusatan kepemilikan media menjadi lebih bermasalah karena konglomerat media umumnya memiliki irisan dengan kepemilikan di bidang bisnis lain. Sebagian dari konglomerat media juga merupakan pengurus teras di partai politik. Akibatnya, para wartawan yang mencoba menjaga independen di ruang redaksi, sering mendapat tekanan luar biasa karena dipaksa turut memperjuangkan kepentingan si pemilik media. Bahkan, fenomena perkembangan konglomerasi media setelah reformasi menjadi tidak tertahankan karena tidak adanya kekuatan lain yang bisa menyeimbangkan nafsu kuasa ekonomi dan politik dari para pemilik media tersebut untuk hadirnya media yang lebih independen, menghasilkan produk yang membela kepentingan publik, dan tidak jatuh pada jebakan sensasionalisme, dan komersialisme yang membabibuta. Sebelumnya, di masa rezim Soeharto, adanya swasensor telah mendarah daging dalam media massa Indonesia di bawah pengawasan ketat Departemen Penerangan yang sangat berkuasa pada saat itu. Siapa saja yang tidak taat kepada keputusan pemerintah mengenai pers, yang dianggap sebagai penyokong tidak kritisnya negara ini, harus siap dengan ancaman psikis atau dibungkam dengan cara pembreidelan. Tahun 1998 Soeharto dilengserkan. Sejak itu Indonesia berada dalam proses demokratisasi. Sensor dari pemerintah tidak ada lagi, prinsip-prinsip hak asasi manusia HAM diterima dalam UUD, dan media massa kini dapat beroperasi dengan bebas. Untuk menerapkan otonomi jurnalistik tidak hanya dibutuhkan ketiadaan sensor pemerintah. Konsentrasi yang terlalu besar pada pasar dan kehilangan keragaman isi, sebagaimana juga terlihat di negara-negara yang memiliki tradisi demokrasi sejak lama, dinilai sangat membahayakan untuk kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Kecenderungan yang terjadi saat ini, semakin banyak perusahaan yang bergerak di bermacam sektor justru hanya dimiliki oleh segelintir orang yang mempunyai modal besar. Ironisnya, pemilik media atau pemodal alergi terhadap keberadaan serikat pekerja pers SPP. Mereka menganggap dan mengembangkan opini di lingkungan perusahaan bahwa keberadaan serikat pekerja pers justru akan merusak kinerja perusahaan, menciptakan konflik yang tidak perlu antara pimpinan dan bawahan, serta merusak hubungan baik yang bersifat kekeluargaan antara pemilik media dan pekerja pers. Walaupun keberadaannya diakui undang- undang. Di samping itu, banyak wartawan yang terkecoh atau dininabobokkan dengan konsep atau kebanggaan semu kaum profesional, yang dianggap berstatus lebih tinggi daripada pekerja kasar. Akibatnya, keberadaan serikat pekerja pers bukan jatah untuk kaum profesional, tetapi hanya untuk cocok untuk para pekerja kasar, sehingga akan menurunkan status kebanggaan profesional mereka. Selain kurangnya kesadaran di kalangan pekerja, faktor lain adalah adanya resistensi pemilik media atau pemodal yang berujung pada pemecatan sepihak. Hal ini berakibat terhadap rasionalitas instrumental mewarnai pola pikir wartawan. Untung dan rugi dipertimbangkan dalam melakukan tindakannya. Kondisi ini menimbulkan terjadinya kekerasan simbolik yang sebenarnya diterima begitu saja tanpa disadari oleh wartawan. Sebagai akibat dari hal tersebut, maka masalah intervensi dalam otonomi jurnalistik, terlebih independensi wartawan sangat disoroti, terutama jika kepentingan para pemilik perusahaan yang berdiversikasi tinggi – termasuk di dalamnya perusahaan media – terancam. Bertolak dari prinsip jurnalisme yang berpihak pada publik, dan menjadi penyambung lidah bagi mereka yang tertindas. Kewajiban ini melekat pada setiap wartawan. Tapi, bagaimana tindakan agen ketika berada dalam struktur dominasi media? Giddens memberikan penekanan pada agen. Apa yang dilakukan agen, dan kekuatan besar yang dimiliki agen. Artinya, dalam pandangan Giddens, agen memiliki kemampuan mengubah dunia sosial. Bahkan secara lebih tegas dinyatakan bahwa agen tidak menjadi agen tanpa kekuatan. Sementara itu, individu berhenti menjadi agen saat kehilangan kapasitas melakukan perubahan. Kecenderungan Giddens akan kekuatan agen tak tertutupi. Walau Giddens mengakui, struktur dapat menghalangi agen. Namun struktur juga mampu membuat agen melakukan perubahan, sekaligus mampu membatasi agen. Jika pemanfaatan media untuk kepentingan propaganda pribadi di dalam negara dengan demokrasi yang sudah mapan saja dianggap sebagai sebuah masalah, tentu hal tersebut akan mempunyai dampak yang lebih parah di negara yang baru saja keluar dari rezim kediktaturan seperti Indonesia. Hal tersebut merupakan tindakan yang tidak demokratis, dimana sebuah kekuasaan berjalan, tanpa ada pihak yang bisa melakukan check and balances. Apakah itu serikat kerja, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia KPI, Departemen Komunikasi dan Informasi Depkominfo, tekanan publik dan lain-lain. Kondisi tersebut jika dibiarkan tanpa adanya check and balances akan mengarah untuk kembalinya kekuatan otoriter negara mengendalikan semua operasi media ini. Kajian ini berusaha untuk mengungkap beberapa permasalahan pokok dalam penelitian ini sebagai berikut: 1 Bagaimana struktur dominasi internal media terhadap independensi wartawan? 2 Bagaimana struktur dominasi eksternal media terhadap aktifitas kejurnalistikan? 3 Bagaimana implikasi struktur dominasi internal dan eksternal media bagi independensi wartawan?

1.3. Tujuan Penelitian