1.5.7. Regulasi Media
Regulasi di bidang pers di Indonesia saat ini era reformasi memang lebih baik jika dibandingkan dengan masa Orde Baru. Sejak 1999, tak ada lagi kewajiban
bagi surat kabar untuk memiliki lisensi. Di masa lalu, lisensi itu bernama SIUPP yang dikeluarkan oleh Menteri Penerangan. Selain itu, UU Nomor 40 tahun 1999
menjamin bahwa pers di Indonesia tidak bisa dikenai penyensoran dan pembreidelan. Tapi, untuk media televisi dan radio, kebijakan pemerintah relatif
tak banyak berubah. Izin untuk media siaran masih diperlukan karena kedua media itu, televisi dan radio, memakai frekuensi yang, selain jumlahnya sangat
terbatas, termasuk ranah publik. Hubungan antara media massa penyiaran dengan massa tersebut diatur oleh hukum Wiryawan, 2007: 66.
Dalam dunia penyiaran, yang membedakan dari situasi pada 10 tahun sebelumnya adalah keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia KPI. Komisi yang
berdiri pada 2002 ini awalnya memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin atas media penyiaran. Namun, kewenangan KPI untuk mengeluarkan izin terlepas
setelah Komisi ini terlibat sengketa kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Mahkamah Konstitusi MK yang mengadili sengketa
kewenangan itu memutuskan bahwa yang berhak mengeluarkan lisensi untuk media penyiaran adalah pemerintah. Komisi Penyiaran akhirnya lebih menjadi
pemberi rekomendasi semata-–selain fungsi mengawasi isi siarannya. Fakta lain yang menandai era pers bebas adalah cenderung meningkatnya
pengaduan soal pemberitaan kepada Dewan Pers. Sebagian besar komplain publik berisi laporan dugaan pelanggaran atas Kode Etik Jurnalistik KEJ. Dari sisi
praktik jurnalisme, banyaknya pengaduan ke Dewan Pers mencerminkan banyaknya pelanggaran terhadap kode etik, yang juga bisa disebut sebagai sisi
yang “tak tepat” dan “tak konstruktif” dari kebebasan pers. Tapi, dari sisi kesadaran publik, banyaknya pengaduan kepada Dewan Pers malah bisa
ditafsirkan sebagai sesuatu yang positif. Tren itu bisa dibaca sebagai berseminya kepercayaan baru publik terhadap cara penyelesaian sengketa pemberitaan yang
lebih elegan. Sementara, UU Nomor 40 tahun 1999 memang mengajarkan cara yang “tak mengancam kebebasan pers” dalam penyelesaian sengketa pemberitaan,
yaitu dengan memakai hak jawab, hak koreksi, dan mediasi di Dewan Pers Manan, 2010: 23.
Harus diakui bahwa kondisi politik Indonesia yang cukup stabil dan ruang kebebasan pers yang ada selama ini telah memungkinkan media massa, khususnya
media cetak menjalankan fungsinya sebagai alat informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Akan tetapi, independensi media hingga kini masih menjadi
dilema sendiri, terutama apabila melihat pergeseran media sebagai entitas bisnis. Dengan alasan keterbatasan dana untuk kesinambungan penerbitan media, bukan
mustahil terjadi kolusi antara pihak media dan pejabat atau elite yang biasanya memberi masukan dana kepada media melalui iklan di media yang bersangkutan
LSPP, 2005: 5. Selain itu, pertumbuhan industri media akhir-akhir ini tampaknya belum
disertai regulasi dan mekanisme yang memadai sehingga media belum menjalankan fungsinya untuk memberikan informasi yang bebas dan tidak bias
kepada publik, dan bahkan ada di antaranya yang cenderung mengeksploitasi media bagi keuntungan usahanya. Dalam kaitannya dengan media cetak, misalnya
belum ada mekanisme dan regulasi yang mengatur aspek kepemilikan media, konglomerasi media, dan pertumbuhan media cetak. Sedangkan untuk media
elektronik memang sudah ada Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 yang mengatur kepemilikan media termasuk pembatasan kepemilikan media luar
negeri. Namun UU ini belum diimplementasikan secara efektif, karena UU tersebut mempunyai jeda waktu transisi selama tiga tahun sebelum sepenuhnya
dilaksanakan oleh pemerintah LSPP, 2005: 5. Upaya-upaya pemerintah untuk tetap mengontrol situasi ini dengan
menempatkan sebuah kerangka pengaturan yang kuat secara terus-menerus juga ditantang oleh tekanan prinsip televisi komersial untuk memaksimalkan profit.
Ironisnya, para pengusaha di balik televisi swasta tersebut adalah bagian dari keluarga Soeharto dan teman dekatnya Hidayat, dkk. 2000: 174-175.
Gejala yang perlu diperhatikan ialah adanya sekatan informasi antara pihak yang memiliki pengalaman dan perniagaan, dan masyarakat, bangsa dan dunia,
sebagaimana seharusnya informasi yang diinginkan oleh orang perseorangan
untuk mencegah ketidakberdayaan kuasa politik. Jika dominasi perusahaan media bersifat perseorangan dan diam-diam dalam pemusatan modal, perkara ini
tidaklah mengejutkan karena proses keuntungan hanya berbentuk uang dan kuasa. Tetapi media mereka juga mengawasi dengan diam-diam, yang merupakan bukti
bahwa media massa mencerminkan minat politik pemiliknya. Ketiadaan regulasi yang kuat di bidang industri media akan menjadi
ancaman dan tantangan yang potensial bagi media di Indonesia dalam melaksanakan fungsinya sebagai agen demokrasi, terutama sekali di era transisi
masyarakat Indonesia seperti sekarang ini. Adalah tanggung jawab media, untuk mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai isu-isu kewarganegaraan,
demokratisasi negara, dan politik masyarakat serta melembagakan budaya berkeadaban melalui kebebasan arus informasi LSPP, 2005: 5. Dalam kaitannya
dengan komunikasi, model intervensi kebijakan negara juga membuat pengaturan- pengaturan regulasi terhadap media dan industrinya. Selama ini, peran negara
dalam mengatur kehidupan media teramat besar. Negara menjadi pengatur regulator siapa yang berhak dan boleh memasuki wilayah industri media, juga
menentukan dan mengatur sekaligus keberadaan dan fungsinya dalam masyarakat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999, upaya pengembangan
kemerdekaan pers dan peningkatan kehidupan pers Indonesia dikawal oleh Dewan Pers yang independen. Selain Dewan Pers, masyarakat juga dapat mengambil
bagian dalam kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers. Masyarakat berhak ikut memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum,
kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Hasil pantauan dan analisis masyarakat ini bisa disampaikan kepada Dewan Pers. Kalau ini terjadi,
maka masyarakat bisa disebut ikut menjaga dan meningkatkan kualitas pers. Sementara, Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran juga
penting karena media penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempergunakan frekuensi terbatas milik publik dan mampu mempengaruhi
masyarakat. Menurut UU ini, pengaturan lembaga penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia KPI yang terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah.
KPI Pusat diawasi oleh DPR dan KPI Daerah diawasi oleh DPRD. Dalam pelaksanaannya, masyarakat berhak memantau kinerja KPI Abrar, 2008: 23-24.
Memperbincangkan regulasi media tidak dapat serta merta melepaskan tiga varian utama, negara state, pasar market, dan masyarakat society. Hubungan
di antara ketiganya bisa harmonis, dalam arti terdapat hubungan mutualisitik yang inter-aktif, saling mengisi, dan tidak mendominasi. Pada titik ini, hubungan
ketiganya menjadi ideal untuk diciptakan. Tetapi bisa juga hubungan ketiganya merupakan hubungan yang mendominasi. Misalnya saja, pasar yang mendominasi
terhadap masyarakat. Atau hubungan pasar dan negara yang juga mendominasi terhadap kepentingan masyarakat.
Dan bisa juga sebaliknya, masyarakat yang justru menekan pada kepentingan negara dan pasar. Tetapi yang perlu diingat adalah hubungan
ketiganya tetap harus menempatkan society sebagai prioritas. Dalam kerangka itu, untuk mewujudkan cita-cita ideal hubungan ketiganya menjadi peran penting yang
mesti dilakukan oleh negara. Sebagai fungsi regulator, negara berhak dan memiliki wewenang mengatur kebijakan media sehingga menguntungkan semua
pihak. Pada tahap ini, fungsi negara menjadi vital untuk merumuskan kebijakan media yang tidak saling mendominasi di antara ketiganya.
Idealnya pasar berfungsi sebagai alat untuk peningkatan efisiensi ekonomi nasional pasar yang efisien yang menghasilkan persaingan yang sehat, guna
peningkatan kesejahteraan publik. Namun demikian pasar punya sifatnya sendiri, yaitu berorientasi jangka pendek, dan tidak peduli dengan masalah pemerataan.
Oleh karena itu bila di pasar terjadi persaingan yang tidak sehat, sehingga mengganggu kesejahteraan publik, maka negara yang diwakili oleh penyelenggara
negara pemerintah dan lembaga negara lainnya wajib melakukan intervensi pasar, untuk melakukan koreksi, dalam rangka menjaga kepentingan dan
kesejahteraan publik Noor, 2013: 101. Dalam banyak kasus, pemerintah sebagai regulator mengalami kesulitan
dalam menyelaraskan peraturan-peraturan dengan lingkungan industri media yang berubah dengan cepat. Pemerintah yang tidak tanggap telah membuat industri
bergerak dengan leluasa tanpa peraturan-peraturan yang tegas. Kurang tegasnya
kerangka kerja peraturan ini terlihat jelas pada UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, yang terus-menerus dikritik oleh berbagai organisasi masyarakat sipil,
aktivis media, dan juga oleh industri media itu sendiri. Masing-masing pihak memiliki interpretasi yang berbeda terhadap UU yang tampak multitafsir tersebut:
di satu sisi UU ini mempromosikan demokratisasi dan keberagaman melalui media, tetapi di sisi lain UU ini tidak menjelaskan pelaksanaan konkritnya secara
rinci. Peraturan yang tidak jelas ini memberikan kebebasan untuk media, yang kemudian dapat membiarkan bisnis menggunakan barang publik tanpa kendali
yang tegas dari pemerintah. Peraturan media lainnya seperti UU informasi dan Transaksi Elektronik ITE juga telah mengancam hak warga negara untuk
berpartisipasi dalam media dan telah menyingkirkan warga negara dari peran mereka sebagai pengendali media Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2012: 5.
1.5.8. Sistem PersMedia Indonesia