HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kesesuan Lokasi Pengembangan HTR Dengan dasar bahwa persyaratan areal untuk bisa dijadikan areal pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 adalah areal tersebut harus berada di kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak.

Maka dipenelitian ini pada tahap untuk membuat kesesuain lokasi pengembangan HTR dilakukan dengan analisis spasial dengan mengekstraksi peta kawasan hutan produksi, untuk membentuk unit lahan dan membuat kelas kesesuain lahan untuk arahan penggunaan HTR. Hal tersebut didapatkan dari hasil analisis pada peta penggunaan Lahan, Aksesibilitas, dan Kelas Lereng yang berfokus pada areal HPT Kabupaten Barru. Beberapa parameter tersebut di beri bobot dengan mengunakan Skala likert. Variabel – variabel yang akan berdampak positive atau memberikan daya dukung yang baik bagi pengembangan HTR akan diberi bobot tertinggi dan begitu pula sebaliknya jika parameter tersebut tidak mendukung kearah pengembangan HTR akan diberi bobot terendah.

Dari hasil analisis spasial terhadap klasifikasi kelas bobot terhadap kesesuain pengembangan HTR tersebut didapatkan masing masing luasan kelas seperti yang ada pada Tabel 13.

Tabel 13. Kelas Kesesuain Pengembangan HTR

Kelas

Luas (ha)

Agak Sesuai

6.373,2

55.7

Tidak Sesuai

Masing-masing luas yang didapatkan dari hasil analisis spasial ialah kelas “Sesuai” seluas 1.095,0 ha atau sebesar 6.5% dari total luasan HPT di Kabupaten Barru. “Agak Sesuai” sebesar 6.373,2 ha atau sebesar 37.8% dan yang dikategorikan “Tidak Sesuai” sebesar 9.388,7 atau sebesar 55.7%. Sedangkan sebaran kelas tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Pada Gambar 7 tersebut dapat dijelaskan bahwa pada kelas “Tidak Sesuai” memiliki faktor-faktor pembatas berdasarkan variabel penyusunnya, seperti jarak yang cukup jauh dari pemukiman terdekat, didominasi kelerengan yang cukup curam, dan areal yang masih berhutan. Dari hasil analisis yang telah dilakukan maka pada areal tersebut direkomendasikan untuk dihindari dalam pembangunan hutan tanaman rakyat karena akan menyebabkan pengelolaan hutan yang tidak optimal.

Gambar 7. Peta Kelas Kesesuain Pengembangan HTR

Pada kelas “Sesuai” dimaksudkan adalah areal yang layak dapat dikembangakan HTR berdasarkan variabel penyusunnya. Sehingga areal tersebut merupakan areal yang prioritas atau direkomendasikan untuk pembangunan hutan tanaman rakyat untuk terciptanya pengelolaannya yang optimal. Sedangkan pada kelas “Agak Sesuai” merupakan areal yang dapat dikembangkan tetapi dengan beberapa kondisi tertentu agar dari segi pengelolaannya dapat berjalan dengan optimal.

Kondisi-kondisi tertentu yang dimaksudkan pada kelas “Agak Sesuai” ialah, pada beberapa areal yang ditemukan pada kelas lereng 25% hingga >45% dapat ditanami tanaman-tanaman yang berakar dalam sehingga mengidarkan dari erosi dan longsor, memperpendek jarak tanam, atau mengindari areal tersebut jika kemiringan lereng cukup tinggi dan bervegateasi rapat. Untuk kondisi areal yang cukup jauh dari pemukiman masyarakat, akan sangat terbantu bila kondisi jalan tersebut baik dan memiliki kendaraan yang dapat digunakan.

B. Penyusunan Kelas Kesesuain Lahan untuk Kebutuhan HTR

1. Penyusunan Karakteristik Lahan Penyusunan karekteristik lahan dengan cara penetapan satuan peta lahan (SPL). Setiap SPL akan menggambarkan karakteristik lahan yang merupakan gabungan dari sifat-sifat lahan dan lingkungannya diperoleh dari data yang tertera pada legenda peta tanah dan uraiannya, peta/data iklim dan peta topografi/elevasi.

Karakteristik lahan diuraikan pada setiap satuan peta tanah (SPT) dari peta tanah, yang meliputi: bentuk wilayah/lereng, drainase tanah, kedalaman tanah, PH tanah, KTK. Data iklim terdiri dari curah hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering, serta suhu udara diperoleh dari stasiun pengamat iklim yang tergambar pada peta landsystem. Secara sistimatik dapat dilihat pada Gambar 8.

Data/Topografi - Curah Hujan

Data/Peta Iklim

Data/Peta Tanah

- Lereng

- Relief

- Temperatur - Karakteristik Tanah

KESESUAIN LAHAN UNTUK KOMODITAS

Gambar 8. Bagan Penyusunan Karakteristik Lahan Dari hasil overlay dan analisis spasial yang dilakukan maka

dapat dilihat beberapa karakteristik lahan pada setiap SPL yang berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas Kabupaten Barru. Dari setiap SPL tersebutlah yang digunakan untuk menyamakan persyaratan beberapa jenis tanaman untuk kebutuhan pembagunan HTR di kabupaten barru Karekterisitik lahan pada setiap SPL dibuat dengan tingkatan pada tingkat semi detail disajikan pada Tabel

Karekteristik lahan pada Setiap Satuan Peta Lahan (SPL) yang dapat dilihat dalam lampiran.

2. Penyusunan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan (LURs)

Persyaratan tumbuh dapat diperoleh dari berbagai referensi, seperti pada Djaenudin et al. (2003). Sedangkan untuk pemilihan jenis tanaman sendiri yang dijadikan bahan untuk mencocokan dengan karakteristik lahan pada setiap SPL adalah hasil dari wawancara yang dilakukan dilapangan dan masukan peneliti terhadap beberapa kayu komersil. Jenis-jenis tanaman tersebut

dapat dilihat pada Tabel 14. Proses Kesesuain Lahan (Matching) Gambar 9 & Tabel 15 memperlihatkan hasil matching antara

karakteristik lahan dan persayaratan tumbuh beberapa tanaman yang berpotensi dikembangkan di HPT Kabupaten Barru. Secara umum Tanaman Jati dapat tumbuh diseluruh wilayah tersebut dengan kelas yang mendominasi ialah kelas kesesuaian lahan S2 untuk tanaman Jati.

Tabel 14. Daftar Jenis tanaman yang berpontesi dikembangkan No.

Jenis Tanaman Jumlah Pemilih Persentase % Ranking Jangka Panjang 1 Jabon

10 22.2 3 2 Sengon

7 15.5 4 3 Jati lokal

13 28.8 1 4 Aren

4 8.8 5 5 Kemiri

11 24.4 2 Jangka Pendek 1 Jagung

15 33.3 1 2 Kacang Tanah

8 17.7 2 3 Lombok

6 13.3 4 4 Rumput gajah

6 13.3 3 5 Jahe

5 11.1 5

Tabel 15. Kesesuaian Lahan HPT Kab.Barru

Gambar 9. Peta Kesesuaian Lahan HPT Kab.Barru

Untuk tanaman sengon sendiri, berdasarkan hasil analisis spasial dan proses matching yang telah dilakukan, maka didapatkan jenis sengon merupakan tanaman yang paling baik dikembangkan karena dapat tumbuh diseluruh areal HPT dan didominasi pada kelas kesesuaian lahan S1 untuk tanaman sengon tersebut. Hal serupa sama dengan tanaman semusim rumput gajah, karena rumput gajah dapat tumbuh pada seluruh wilayah HPT di Kabupaten Barru. Dari Hasil analisis juga didapatkan rumput gajah sangat sesuai ditanam pada hampir seluruh wilayah tersebut.

Gambar 9 & Tabel 15 juga menjelaskan bahwa ada beberapa areal yang memiliki kendala pembatas terhadap tumbuhnya suatu tanaman. Kendala pembatas tersebut seperti kurangnya unsur hara yang tersedia, Kedalaman tanah dibawah 50 cm sehingga menyulitkan perakaran tanaman yang mebutuhkan lebih dari itu, kondisi lereng yang sangat curam diatas 45% pada beberapa areal, dan kekurangan unsur hara.

C. Evaluasi Kondisi Eksisting HTR terhadap Kesesuian Lahan Pengembangan HTR Evaluasi kondisi eksiting HTR dimaksudkan untuk melihat kondisi existing yang ada terhadap hasil analisis yang telah dilakukan. Hal tersebut akan memberikan masukan tambahan untuk pengembangan HTR secara umum. Dari hal ini juga dapat dilihat beberapa kendala- kendala masyarakat terkait kondisi existing izin yang telah diterima C. Evaluasi Kondisi Eksisting HTR terhadap Kesesuian Lahan Pengembangan HTR Evaluasi kondisi eksiting HTR dimaksudkan untuk melihat kondisi existing yang ada terhadap hasil analisis yang telah dilakukan. Hal tersebut akan memberikan masukan tambahan untuk pengembangan HTR secara umum. Dari hal ini juga dapat dilihat beberapa kendala- kendala masyarakat terkait kondisi existing izin yang telah diterima

Pada Gambar 10 dari hasil analisis spasial, dapat dilihat bahwa kelompok HTR Dae adalah satu-satunya kelompok HTR yang lokasinya berada pada kelas “Sesuai” pada penelitian ini. Hal tersebut menggambarkan untuk jalannya proses pengembagan HTR jika ditinjau dari beberapa variabel seperti landuse, kelerengan, dan aksesibilitas maka kelompok tani HTR Dae secara teknis dapat mengoptimalkan hasil dari pengelolaan HTR.

Kelompok HTR Coppo Beramming mungkin perlu melakukan hal hal khusus dalam rencana pengembangannya karena sebesar 99.1% atau seluas 285.4 ha wilayahnya berada dalam kelas “Kurang Sesuai” hal tersebut mengindikasikan bahwa areal tersebut sulit dioptimalkan berdasarkan beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Hal tersebut juga terverifikasi dari hasil wawancara yang dilakukan pada kelompok HTR Coppo Beramming. Seperti halnya Pak Saharudding (55 tahun) dan Pak Lahewo (57 tahun) mengemukakan bahwa sangat sulit mengelolaa lahan HTR yang dimilikinya, karena areal-areal tersebut sudah padat ditumbuhi pohon-pohon jenis kenanga, gantungan, wajo, bikatte dan cendana, sehingga mereka sangat sulit untuk bisa menanam lagi jika memanfaatkan ruang-ruang kecil yang terbuka.

Gambar 10. Peta Kelas Kesesuain HPT terhadap Existing HTR

Begitu pula pada kelompok HTR Padang Pabbo dan HTR Bolong Ringgi lebih didominasi oleh kelas “Kurang Sesuai” masing-masing sebesar 98.5% dan 58.2%, yang menggambarkan dalam teknis pengelolaannya kedepan kedua kelompok HTR ini akan mendapatkan hasil yang kurang optimal berdasarkan asumsi pada variabel yang dibangun penelitian ini.

D. Skenario Pengembangan HTR Dalam rencana pengembangan HTR dalam penelitian ini akan

dilakukan melalui 3 skenario, yaitu skenario pesimis, skenario moderat dan skenario optimis.

1. Skenario pesimis ialah skenario bilamana luas areal yang dimanfaatkan hanya terbatas pada lahan yang berada pada kelas “Sesuai” dan luas efektif yang dapat dimanfaatkan dari kelas “Sesuai” hanya sebesar 65%, serta diasumsikan pula bahwa kualitas tempat tumbuh areal yang diusahakan tergolong rendah (bonita I - II).

2. Skenario moderat ialah skenario bilamana areal yang dimanfaatkan meliputi lahan kelas “Sesuai + Agak Sesuai”, luas efektif yang dimanfaatkan dari kelas “Sesuai” dan sebagian lahan “Agak Sesuai” yang tadinya ± 65% (pada skenario pesimis) berubah menjadi ±70%, serta kualitas tempat tumbuh yang rendah (bonita I & II) pada skenario pesimis dapat dirubah ke bonita III - IV. Perlakukan yang dilakukan didalamnya sehingga beberapa faktor pembatas dapat 2. Skenario moderat ialah skenario bilamana areal yang dimanfaatkan meliputi lahan kelas “Sesuai + Agak Sesuai”, luas efektif yang dimanfaatkan dari kelas “Sesuai” dan sebagian lahan “Agak Sesuai” yang tadinya ± 65% (pada skenario pesimis) berubah menjadi ±70%, serta kualitas tempat tumbuh yang rendah (bonita I & II) pada skenario pesimis dapat dirubah ke bonita III - IV. Perlakukan yang dilakukan didalamnya sehingga beberapa faktor pembatas dapat

3. Skenario optimis ialah skenario bilamana kondisi faktor-faktor dalam pengelolaan dioptimalkan sebaik mungkin. Dalam skenarion ini luas efektif areal yang dimanfaatkan pada lahan yang berada pada kelas “Sesuai + Agak Sesuai”, dapat mencapai ±75%, serta kualitas tempat tumbuh setelah dioptimalkan dapat menjadi bonita V. Perlakukan yang dilakukan antara lain pemberian pupuk untuk menaikan unsur hara pada lahan-lahan yang kurang unsur hara, menambah alokasi tenaga ataupun pendanaan, penerapan silvikutur intensif sehingga dapat menambah luas efektif lahan yang dapat dikelola, penguatan keterampilan kelompok dan pengelolaan kelembagaan sampai penerapan peralatan dan teknologi yang lebih maju.

Sedangkan untuk asumsi produksi tiap skenario terhadap pada jenis tanaman sengon dan jati di dapatkan dari tabel tegakan dalam buku Vademecum Kehutanan Indonesia (1987).

Tabel16. a Skenario pembangunan Hutan Taanaman Rakyat, melalui pengembangn jenis Sengon (daur 8 tahun) dan jenis Jati (daur 16 tahun)

Optimis Tingkat kesesuaian Lahan

Agak sesuai

Sesuai Agak sesuai

Luas Total

1.095 6373 Luas efektif

34 200 penanaman per tahun (ha)

V III-IV Bonita Jati

V III-IV Produksi (m 3 Sengon

70 200 150 Total Produksi

Jati

8.500 36.000 (m 3 /ha)

6.800 30.000 Produksi mulai

44.500 tahun ke-9 (m 3 )

- Produksi mulai

Jati

44.500 tahun ke-17

36.800 Keterangan : Alokasi luas penanaman tahunan untuk Sengon dan Jati adalah sama untuk semua skenario

(m 3 ) Jati

1. Skenario Pesimis

Skenario pesimis pengembangannya dilakukan dengan pemilihan tanaman komposisi jenis sengon dan jati pada tingkat kesesuaian lahan kelas “Sesuai”. Dengan asumsi pada skenario pesimis ini ± 65% adalah luas lahan yang efektif dapat dimanfaatkan. Serta masing-masing alokasi luas penanaman tahunan untuk jenis sengon dan jati adalah sama. Dengan asumsi produktivitas sengon pada bonita yang rendah, maka didapatkan volume dengan nilai produksi pengusahaan HTR di Kabupaten Barru, seperti yang tertera pada tabel 17.

2. Skenario moderat Skenario moderat pengembangannya dilakukan dengan pemilihan tanaman komposisi jenis sengon dan jati pada tingkat kesesuaian lahan kelas “Sesuai + Agak Sesuai”. Dengan asumsi pada skenario optimis luas lahan efektif yang dapat dimanfaatkan sebesar ±75%. Serta masing-masing alokasi luas penanaman tahunan untuk jenis sengon dan jati adalah sama. Dengan asumsi produktivitas sengon pada kisaran bonita III-IV, maka didapatkan volume dengan nilai produksi pengusahaan HTR di Kabupaten Barru, seperti yang tertera pada tabel 18.

3. Skenario optimis Pada skenario optimis pengembangannya dilakukan dengan pemilihan tanaman komposisi jenis sengon dan jati pada tingkat kesesuaian lahan kelas “Sesuai + Agak Sesuai”. Dengan asumsi pada skenario optimis luas lahan efektif yang dapat dimanfaatkan sebesar ±75%. Serta masing-masing alokasi luas penanaman tahunan untuk jenis sengon dan jati adalah sama.

Rancangan sekenario optimis, Sengon apabila berada pada bonita V - VI maka volume dan nilai produksi pengusahaan HTR di Kabupaten Barru seperti yang dapat dihasilkan tertera pada Tabel

Tabel 17. Volume dan Nilai Produksi HTR Kabupaten Barru , untuk Skenario Pesimis (Bonita I-II)

Luas Tanam per

Volume Nilai

Tahun Mulai

Jenis

Kelas Umur

Produksi Produksi

Berproduksi

(m3/thn) (Rp/thn) Sengon

Daur (ha)

2.34 M Jati

30 Thn ke 9

2.100 3.36 M Sengon + Jati

Keterangan : Harga sengon dan jati masing – masing Rp.600.000/m3

dan Rp.2.000.000/m3, biaya diasumsikan sebesar 20% dari pendapatan bruto

Tabel 18. Volume dan Nilai Produksi HTR Kabupaten Barru , untuk Skenario Pesimis (Bonita I-II)

Luas Tanam per

Volume Nilai

Tahun Mulai

Jenis

Kelas Umur

Produksi Produksi

Berproduksi

(m3/thn) (Rp/thn) Sengon

Daur (ha)

29.940 19.96 M Jati

Thn ke 9

18.820 35.64 M Sengon + Jati

Keterangan : Harga sengon dan jati masing – masing Rp.600.000/m3

dan Rp.2.000.000/m3, biaya diasumsikan sebesar 40% dari pendapatan bruto

Tabel 19. Volume dan Nilai Produksi HTR Kabupaten Barru , untuk Skenario Pesimis (Bonita I-II)

Luas Tanam per

Volume Nilai

Tahun Mulai

Jenis

Kelas Umur

Produksi Produksi

Berproduksi

(m3/thn) (Rp/thn) Sengon

Daur (ha)

44.500 26.70 M Jati

Thn ke 9

36.800 73.60 M Sengon + Jati

Keterangan : Harga sengon dan jati masing – masing Rp.600.000/m3

dan Rp.2.000.000/m3, biaya diasumsikan sebesar 50% dari pendapatan bruto

Dari hasil simulasi antara skenario pesimis, moderat dan optimis yang masing masing dijelaskan pada Tabel 17, 18, dan 19 dapat dilihat Dari hasil simulasi antara skenario pesimis, moderat dan optimis yang masing masing dijelaskan pada Tabel 17, 18, dan 19 dapat dilihat

Sehingga pilihan skenario pesimis ideal digunakan apabila faktor- faktor pembatas menjadi kondisi yang tidak bisa diatasi. Faktor pembatas tersebut kerena areal yang hanya dapat dikembangakan hanyalah pada areal yang sesuai (luas areal yang kecil), modal masyarakat yang minim untuk pegembangan HTR, tenaga kerja, minimnya pengetahuan dan keterampilan pengelolaan.

Skenario moderat dapat digunakan jika beberapa beberapa faktor pembatas dapat dioptimalkan sehingga menaikkan manfaat dan nilai produksi. Faktor tersebut seperti penambahan luasan areal sehingga areal yang agak sesuai juga dimanfaatkan, sesuai dengan variabel pembangunnya maka hal tersebut dapat terjadi jika aksesibilitas baik sarana angkutan dan kondisi jalan dapat diperbaiki. Areal semak belukar dapat dikonversi menjadi lahan HTR, serta sebagian kebun dan tegalan atau yang tidak produktif lagi dapat dikonversi ke HTR.

Sedangkan skenario optimis dapat digunakan jika beberapa beberapa faktor pembatas dapat diatasi dengan mengoptimalkan segala sumberdaya. Seperti penambahan modal, perbaikan jalan dan sarana angkutan, penguatan keterampilan dan kelembagaan, pemberian pupuk, penerapan silvikultur intensif dan penerapan peralatan dan teknologi yang lebih maju.

E. Pengembangan Industri Dalam penelitian ini yang akan dilihat pada pengembagan industri ialah variable; 1.Jenis Industri, 2. Kapasitas Industri dan 3.Lokasi Industri (RTRW). Masing variable tersebut dapat dijelaskan seperti di bawah ini:

1. Jenis Industri Jenis industri yang akan dikembangkan akan erat kaitannya dengan jenis kayu yang dapat tumbuh dengan baik serta hubungannya dengan masyarakat sebagai pemegang izin pemanfaatan hutan ditingkat tapak. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa penelitian ini akan memfokuskan pada jenis kayu sengon & jati dengan dasar dari hasil analisis kesesuain lahan bahwa beberapa jenis dapat tumbuh sangat baik di HPT Kabupaten Barru seperti Sengon, sengon hampir dapat dikembangkan diseluruh wilayah HPT Kabupaten Barru, dengan kelas kesesuaian lahan dominasi S1. Meskipun dalam perangkingkan sengon mendapatkan rangking 4 dari hasil tabulasi jenis-jenis yang dipilih oleh masyarakat. Sama halnya dengan jati, 1. Jenis Industri Jenis industri yang akan dikembangkan akan erat kaitannya dengan jenis kayu yang dapat tumbuh dengan baik serta hubungannya dengan masyarakat sebagai pemegang izin pemanfaatan hutan ditingkat tapak. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa penelitian ini akan memfokuskan pada jenis kayu sengon & jati dengan dasar dari hasil analisis kesesuain lahan bahwa beberapa jenis dapat tumbuh sangat baik di HPT Kabupaten Barru seperti Sengon, sengon hampir dapat dikembangkan diseluruh wilayah HPT Kabupaten Barru, dengan kelas kesesuaian lahan dominasi S1. Meskipun dalam perangkingkan sengon mendapatkan rangking 4 dari hasil tabulasi jenis-jenis yang dipilih oleh masyarakat. Sama halnya dengan jati,

Disamping mereka dapat menggunakan kayu tersebut untuk kebutuhan rumah, kayu jati juga dapat dijual dengan harga yang cukup tinggi meskipun butuh waktu yang cukup lama. Dari hasil analisis kesesuaian lahanp didapatkan bahwa kayu jati hampir dapat tumbuh diseluruh wilayah HPT Kabupaten Barru dengan dominasi kelas kesesuaian lahan S2. Dari komposisi tersebut melihat dari kelas kesesuaian lahan, daur, ekonomis, pemanfaatan masyarakat maka penelitian ini memilih sengon dan jati.

Seperti yang diketahui kayu sengon dapat dimanfaatkan oleh baku pembuat peti, papan penyekat, pengecoran semen dalam kontruksi, industri korek api, pensil, papan partikel, bahan baku industri pulp kertas. Sengon juga merupakan kayu serba guna untuk konstruksi ringan, kerajinan tangan, kotak cerutu, veneer, kayu lapis, korek api, alat musik, pulp. (Siregar, 2009).

Dari Hal tersebut jika dilihat dengan potensi hasil yang dapatkan dari setiap sekenario maka arahan untuk industri nantinya akan mengarah pada pemenuhan bahan baku industri Venner, atau plywood dan chip wood untuk jenis sengon apabila kondisi industri kayu lokal sudah tidak dapat menyerap seluruh hasil dari pembangunan HTR yang dilakukan cukup massif dan besar- Dari Hal tersebut jika dilihat dengan potensi hasil yang dapatkan dari setiap sekenario maka arahan untuk industri nantinya akan mengarah pada pemenuhan bahan baku industri Venner, atau plywood dan chip wood untuk jenis sengon apabila kondisi industri kayu lokal sudah tidak dapat menyerap seluruh hasil dari pembangunan HTR yang dilakukan cukup massif dan besar-

2. Kapasitas Industri Kapasitas industri adalah hal yang cukup penting dipertimbangkan dalam hal pengembangan HTR di Kabupaten Barru. Masuknya investasi untuk industri dipengaruhi ketersedian bahan baku yang ada dilokasi tersebut. Mengingat juga ada batasan-batasan kapasitas produksi kayu untuk setiap izin jenis industri primer. Pada Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dapat dilihat Tabel 20.

Tabel 20 . Perizinan industri primer hasil hutan kayu

Sumber : PP No.32 Tahun 2002

Dari tabel diatas untuk setiap izin usaha baik penggergajian, veneer, playwood dan chip wood masing-masing maksimal kapasitas produksinya 6.000 m3/tahun. Sedangkan dari hasil skenario pesimis yang mengasilkan kayu (paling sedikit dari ketiga skenario itu) sebesar 3.900 m3/tahun kayu sengon dari total luasan efektif 720 ha. Artinya bahwa secara pemenuhan bahan baku terkait kapasitas suatu industri, jika HPT tersebut dimanfaatkan hanya dengan Dari tabel diatas untuk setiap izin usaha baik penggergajian, veneer, playwood dan chip wood masing-masing maksimal kapasitas produksinya 6.000 m3/tahun. Sedangkan dari hasil skenario pesimis yang mengasilkan kayu (paling sedikit dari ketiga skenario itu) sebesar 3.900 m3/tahun kayu sengon dari total luasan efektif 720 ha. Artinya bahwa secara pemenuhan bahan baku terkait kapasitas suatu industri, jika HPT tersebut dimanfaatkan hanya dengan

3. Lokasi Industri - Tata Ruang Wilayah Berdasarkan Rencana Tata Ruang Kabupaten Barru tahun 2011 – 2013, bahwa lokasi Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) Industri berada di Kecamatan Balusu (Gambar 11). Hal tersebut sangat menguntungkan bagi perkembangan industri kehutanan sendiri terkait aspek jarak bahan baku. Dikarenakan hamparan hutan produksi terbatas yang berada pada daerah Utara Kabupaten Barru seperti yang berada di Kecamatan Soppeng Riaja, Barru, dan Balusu sendiri tepat berhimpitan dengan KSK Industri pada Rencana tata ruang 2011-2013. Untuk Exiting HTR sendiri, 6 dari 7 HTR yang telah mendapat izin terdapat pada sekitar KSK Industri tersebut yaitu : HTR Semangat, HTR Dae, HTR Samudae, HTR Jempo Sallo, HTR Coppo Barraming dan HTR Bollong Ringgi.

Sedangkan pada hamparan HPT yang berada diwilayah selatan Kabupaten Barru seperti pada Kecamatan Tanete Riaja dan Kecamatan Pujananting, mempunyai jarak yang cukup dekat yaitu Sedangkan pada hamparan HPT yang berada diwilayah selatan Kabupaten Barru seperti pada Kecamatan Tanete Riaja dan Kecamatan Pujananting, mempunyai jarak yang cukup dekat yaitu

Gambar 11. Peta Penetapan Kawasan Strategis Kab.Barru

F. Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Ada beberapa faktor internal pengelolaan HTR yang dilihat pada

penelitian yang akan berdampak pada pemenuhan bahan baku industri dengan pemegang izin HTR, baik itu dari segi kuantitas, kontinyuitas, dan kualitas kayu yang dihasilkan.

1. Kelembagaan Pengelolaan HTR Kelembagaan pengelolaan merupakan ujung tombak keberhasilan Pembangunan HTR. Maksud dari kelembagaan pengelolaan HTR adalah pilihan-pilihan model kelembagaan dari kelompok tani sampai koperasi yang akan menjalankan dan melakukan pengelolaan nantinya. Hasil wawancara yang telah dilakukan pada 3 kelompok tani; HTR Semangat, HTR Samudae, HTR Coppo Beramming, menggambarkan bahwa masing-masing kelompok pada tingkat tapak pengelolaannya hampir seluruh kelompok tani berjalan sendiri-sendiri.

Seperti halnya anggota masyarakat yang mempunyai banyak modal lebih banyak menanam secara besar-besaran dilahannya, dan dapat menentukan jenis tanaman apa yang ingin ditanam. Disisi lain ada juga masyarakat yang hanya mencari bibit cabutan didalam hutan, yang jumlahnya dan jenisnya belum pasti bisa ditentukan tapi tergantung hasil pencariannya. Ada juga beberapa masyarakat yang hanya menunggu bantuan bibit. Jika ditinjau dari waktu tanam, jenis, dan hasillnya pasti akan berbeda pada setiap anggota dalam setiap Seperti halnya anggota masyarakat yang mempunyai banyak modal lebih banyak menanam secara besar-besaran dilahannya, dan dapat menentukan jenis tanaman apa yang ingin ditanam. Disisi lain ada juga masyarakat yang hanya mencari bibit cabutan didalam hutan, yang jumlahnya dan jenisnya belum pasti bisa ditentukan tapi tergantung hasil pencariannya. Ada juga beberapa masyarakat yang hanya menunggu bantuan bibit. Jika ditinjau dari waktu tanam, jenis, dan hasillnya pasti akan berbeda pada setiap anggota dalam setiap

Maka dari hal tersebut penelitian ini merekomendasikan kelembagaan HTR haruslah model kelembagaan pengelolaan yang sifatnya makro atau tidak terpisah-pisah antar anggota kelompok dan menerapkan sistem bagi hasil tergantung dari luasan masing-masing yang dikelola. Baik kelembagan tersebut dalam bentuk kelompok tani HTR ataupun yang jauh lebih baik jika dalam bentuk koperasi, agar setiap anggota mendapatkan manfaat dari pengelolaan HTR.

Jika hal tersebut dilakukan dengan lahan-lahan dan pengelolaan yang kompak maka secara tidak langsung kapasitas dan kontinyuitas kayu akan lebih banyak dan stabil serta kualitas kayu yang dihasilkan relative sama, sehingga disatu sisi akan menjadi pertimbangan masuknya atau didirikannya suatu industri pengelolaan kayu. Yang diperkuat dengan asumsi potensi hasil produksi kayu yang akan dihasilkan dalam suatu Kabupaten Barru.

Seperti yang dijelaskan dalam P.23/Menhut-II/2007, diketahui bahwa apabila pemegang izin maksimal 15 hektar dan koperasi 700 hektar. Jika pilihan sekenarionya adalah skenario pesimis yang berarti total luasan yang dimanfaatkan sebesar 1.095 ha, maka hanya dibutuhkan 1 koperasi dan ditambah existing HTR yang sudah ada. Dengan hasil dari skenario moderat-optimis , dan melihat Seperti yang dijelaskan dalam P.23/Menhut-II/2007, diketahui bahwa apabila pemegang izin maksimal 15 hektar dan koperasi 700 hektar. Jika pilihan sekenarionya adalah skenario pesimis yang berarti total luasan yang dimanfaatkan sebesar 1.095 ha, maka hanya dibutuhkan 1 koperasi dan ditambah existing HTR yang sudah ada. Dengan hasil dari skenario moderat-optimis , dan melihat

2. Adaptability Pemegang Izin Maksud Adaptability Pemegang izin dalam penelitian ini ialah, apakah HTR nantinya dalam keterkaitannya dengan pemenuhan bahan baku Industri dan manajemen ditingkat tapak dapat berjalan atau tidak. Seperti, pemenuhan bahan baku industri pertahun, jika asumsinya adalah pemegang izin kelompok tani atau masyarakat perseorangan maka tentunya akan sangat sulit menyamakan pola tanam & waktu tanam atau dengan kata lain menyamakan manajemen HTR pada yang lebih makro, seperti minimal pada satuan kelompok dan hasilnya dibagi dengan adil atau sesuai dengan proporsi masing-masing.

Untuk menjawab hal tersebut telah dilakukan wawancara yang pertanyaan : Kesedian masyarakat untuk mengganti tanaman yang sementara tumbuh atau baru akan ditanam nantinya, menanam jenis-jenis tertentu berdasarkan kebutuhan industri dan masyarakat atau hasil analisis tertentu, dan pengaturan hutan/ menajemen hutan untuk mendapatkan kepastian pasar suatu industri. Dari hasil wawancara tersebut didapatkan tabulasi seperti gambar dibawah ini :

Persentase Jawaban

Tergantung Aturan

Gambar 15. Persentase Jawaban Masyarakat Dapat dilihat gambar 15 di atas, bahwa responden yang menjawab iya dan bersedia sebesar 66.67% atau sebanyak 30 orang, 8.89% atau sebanyak 4 orang menjawab tidak bersedia, dan 24.44% atau sebanyak 11 orang menjawab tergantung aturan kelompok. Dari hasil survei yang telah dilakukan terdapat perbedaan tersebut karena persepsi dan pengalaman masyarakat yang diwawancarai juga berbeda. Seperti halnya yang mengatakan tidak sepakat, Pak Abdul rahim dari kelompok HTR Coppo baramming, ternyata telah memiliki kebun jati berumur 3-5 tahun lebih dari 1000 pohon. Sehingga latar belakang untuk menolaknya jelas, tetapi diakhir wawancara mengatakan bersedia dengan asumsi kalau kedepan jati tersebut sudah dipanen dan kemudian mau dilakukan pengaturan yang jelas dengan MoU yang jelas pula untuk kebutuhan industri.

Sedangkan contoh untuk yang menjawab iya, pada kelompok HTR Semangat Pak Marmi dan kelompok HTR Samudae Pak Sugianto sama-sama mengatakan sangat sepakat perihal tersebut. Pengaturan-pengaturan baik secara umum oleh kelompok dan pihak lain yang jelas MoU yang ditandatangani jelas dan saling menguntungkan satu sama lain. Jawaban iya dari hasil wawancara didominasi untuk mendapatkan kepastian pasar.