Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat

DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

NAUFAL P3700212006

PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014

TESIS DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN BARRU

Disusun dan diajukan oleh

NAUFAL Nomor Pokok P3700212006

Telah dipertahankan di depan Panitian Ujian Tesis Pada tanggal 22 Agustus 2014 sehingga dinyatakan telah lulus dan memenuhi syarat

Menyetujui Komisi Penasihat,

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr Prof. Dr. Ir. Baharuddin Nurkin, M.Si

Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Ilmu Kehutanan

Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Ir. Muh Dassir, M.Si Prof. Dr. Syamsul Bahri, SH.MH

ABSTRAK

NAUFAL. Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru (dibimbing oleh Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin)

Penelitian ini bertujuan (1) menentukan dan menganalisis kesesuaian lokasi untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru, (2) menganalisis kesesuain lahan untuk jenis tanaman yang dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan Hutan Tanaman Rakyat, dan (3) mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dengan basis spasial yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, menejemen pengelolaan, preferensi pasar dan industri.

Penelitian akan membuat model desain pembangunan hutan tanaman rakyat yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri yang berbasiskan spasial.

Dari hasil analisis spasial didapatkan areal – areal yang sesuai, agak sesuai, dan tidak sesuai. Masing masing kelas sesuai seluas 1.095 ha (6.5%), agak sesuai seluas 6.373 (37.8%) dan tidak sesuai untuk dikembangkan HTR 9.388 ha seluas (55.7%). Kesimpulan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengusulan HTR dimasa yang akan datang.

Kata kunci : hutan tanaman rakyat, kesesuain lahan, desain pembangunan

ABSTRACT

NAUFAL. Design of the Development of Community Forest in the Barru Regency (Supervised by Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin)

The study aims to : (1) determine and analyse the suitability of location for the development of community forest in Barru regency; (2) analyse the suitability of the area for plants suistable for community forest development; (3) provide a design of community forest development with a spatial base integrated to the space pattern, land suitability, management, market and industry preferences.

A model of community forest development design was made. It was integrated with space pattern, land suitability, management, market, location, and spatial-based need of industrial raw material.

Result of analysis reveals that the suitable land (1.095 hectares / 6.5%), partly-suistable land (6.373 hectares / 37.8%), and non-suitable land (9.388 hectares / 55.7%). Be Used as reference to be considered in proposing the design of community forest development in the future of HTR.

Keywords : community forest plantation, location suitability, development design

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Rabbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Berkat dan Kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru”, yang skaligus merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Begitu banyak doa, dukungan, dan perhatian yang penulis dapatkan selama penyusunan tesis ini berlangsung, sehingga segala hambatan yang ada dapat terlewati dan dapat dihadapi dengan penuh sukacita. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang telah banyak membantu dan meluangkan waktunya dalam penyelesain tesis ini:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M. Agr dan Bapak Prof. Dr. Ir. Baharuddin Nurkin, M.Sc

sebagai dosen pembimbing yang telah banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya, meluangkan waktunya yang begitu berharga untuk memberi bimbingan dan pengarahan dengan baik, dan memberikan dukungan serta motivasi dalam penyelesaian tesis ini.

2. Bapak Prof.Dr. Supratman, S.Hut, M.P, Prof. Dr. Ir. Muh. Dassir, M.Si , dan Dr. Suhasman, S.Hut, M.Si sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya dan banyak memberi masukan, koreksi serta arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan lebih baik.

3. Direktur Pascasarjana, Ketua Program Studi Ilmu Kehutanan beserta staf pengajar dan pegawai yang telah memberikan sumbangsih yang sangat besar kepada penulis.

4. Bapak Bupati Barru dan Kepala Dinas Kehutanan beserta staff yang telah memberikan kesempatan melaksanakan kegiatan di wilayah penelitian, dan telah memfasilitasi dalam kelancaran dan pelaksaan penelitian ini.

5. Kanda Haudec Herawan atas segenap bantuannya yang sangat berarti dalam penyelesaian penelitian ini. Terimkasih sekali lagi kanda.

6. Teman dan Adinda tercinta di Tim Layanan Kehutanan Masyarakat : Haeruddin, Ismed Tanunata, Aksan Firmansyah, Faisal Hidayat, Ikha rurul, Laode Muh Ikbal, Mulyadi, Laode Ifrisal, Nurul, Afif, Ridwan, Muh Ickhwan terimakasih atas dukungan tenaga dan pikirannya serta anugrahandini nasir, selalu menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh penulis. Kalian adalah anak muda yang sukses dimasanya, semoga impian kalian segera tercapai.

7. Seluruh Staf di Sulawesi Community Foundation (SCF), yang telah memfasilitasi secara tidak langsung tapi sangat berdampak dalam merangkumkan dan menyelesaikan studi ini.

8. Seluruh Staf di Medialingkungan.com yang telah memberikan sumbangsih pikiran dan wawasan sehingga memberikan jalan dan pikiran yang segar dalam menyelesaikan tiap masalah yang dihadapi selama penelitian ini. Terimakasih sekali lagi untuk prosesnya.

9. Kawan-kawan peneliti di Tropical Rain Forest, yang selalu menjadi lawan diskusi dan teman berfikir, sehingga membuka wawasan baru dalam penyelesai studi ini.

10. Teman teman seperjuangan Ilmu kehutanan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin 2012, terimakasih atas segala canda tawa, dan waktu suka duka yang telah dilalui bersama. Kalian semua bisa, ini hanya persoalan waktu.

11. Secara khusus penghargaan, rasa hormat dan rasa terima kasih yang tak terhingga ku persembahkan kepada kedua orang tua ku tercinta: Asmin Dunggio dan Adam Achmad yang telah membesarkan, mendidik dan mendoakan dengan segala kasih sayang dan perhatian beliau selama ini, sehingga selalu diberikan jalan untuk menyelesaikan studi hingga jenjang Magister.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya

Makassar, Agustus 2014

Naufal

F. Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat .................................... 86 1. Kelembagaan......................................................................

86 2. Adaptibilty ...........................................................................

88

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................

91 B. Saran ..................................................................................... 92 DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 93 LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

1. Pergeseran Konseptual Dari Paradigma Kehutanan Negara ke Kehutanan Masyarakat………...…………..………………….......

11 2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru ….…………...

40 3. Luas Pencanagan & Izin HTR Kabupaten Barru…….………….

41 4. Bobot Landuse terhadap HTR…………………………………….

48 5. Bobot Jarak Pemukiman terhadap HTR……………………….…

48 6. Bobot Kelas Lereng terhadap HTR……………………………….

49 7. Klasifikasi Kelas Kesesuian Pengembangan HTR……………...

50 8. Luas Kawasan Hutan dalam setiap Kecamatan………………...

55 9. Penggunaan Tanah………………………………………………...

59 10. Perensentase Kemiringan Lahan……………..…………………..

60 11. Persentase Ketinggian Lahan……………………………………..

62 12. Jenis Tanah………………………………………………………….

62 13. Kelas Kesesuain Pengembangan HTR…………………………..

64 14. Daftar jenis tanaman yang berpotensi dikembangkan………….

69 15. Kesesuian Lahan HPT……………………………………………..

69 16. Skenario Pembangunan HTR, melalui jenis Sengon & Jati……

76 17. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Pesimis……...

78 18. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Moderat...…...

78 19. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Optimis……...

78 20. Perizinan Industri Primer Hasil Hutan Kayu……………………..

DAFTAR GAMBAR

1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan.……………………... 26 2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru…………….

40 3. Kerangka Pikir……………………………………………………

42 4. Kerangka Penelitian……………………...……………,……….

52 5. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru..….….….

59 6. Histogram Hari Hujan Rata-Rata Bulanan…………………….

60 7. Kelembapan Udara Rata-Rata Bulanan……………..……..…

61 8. Peta Kelas Kesesuian Pengembangan HTR…………………

67 9. Peta Kesesuain Lahan HPT..…………..…………………...….

70

10 Peta Kelas Kesesuain Pengembangan Terhadap Eksisting

. HTR………………………………………………………….….… 73 11 Peta Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Barru...……

85 12 Persentase Jawaban Responden……………………………...

89 .

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejak tahun 2007 Pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan

telah menggiatkan program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Program pembangunan HTR merupakan kebijakan Pemerintah yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi (pro-growth). Kebijakan HTR memberikan akses lebih kepada masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.

Berdasarkan P.10/Menhut-II/2011, salah satu dari enam kebijakan prioritas pembangunan kehutanan tahun 2010-2014 adalah Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. Pemanfaatan hutan alam dalam memenuhi kebutuhan industri kehutanan saat ini sudah tidak dapat diharapkan lagi. Kondisi hutan alam yang terdegradasi akibat illegal logging dan kebakaran hutan, menyebabkan kurangnya suplai kayu untuk industri kehutanan dan pembangunan nasional secara kompleks. Pengembangan hutan tanaman, baik hutan tanaman industri maupun hutan tanaman rakyat merupakan salah satu cara pemenuhan Berdasarkan P.10/Menhut-II/2011, salah satu dari enam kebijakan prioritas pembangunan kehutanan tahun 2010-2014 adalah Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. Pemanfaatan hutan alam dalam memenuhi kebutuhan industri kehutanan saat ini sudah tidak dapat diharapkan lagi. Kondisi hutan alam yang terdegradasi akibat illegal logging dan kebakaran hutan, menyebabkan kurangnya suplai kayu untuk industri kehutanan dan pembangunan nasional secara kompleks. Pengembangan hutan tanaman, baik hutan tanaman industri maupun hutan tanaman rakyat merupakan salah satu cara pemenuhan

Permasalahan lainnya dalam pengelolaan hutan di Indonesia adalah rendahnya pendapatan masyarakat dari usaha kehutanan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran hutan rakyat dan hutan produksi yang dapat diakses oleh masyarakat melalui skema pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat, belum berfungsi secara optimal. Rendahnya pendapatan masyarakat melalui usaha kehutanan berdampak terhadap tingginya kegiatan konversi lahan hutan menjadi usaha non kehutanan. Selain itu kehidupan masyarakat desa sekitar hutan tidak bisa dipisahkan dengan hutan sebagai tempat menggantungkan hidupnya. Paradigma baru pembangunan pengelolaan kehutanan yang melibatkan masyarakat menjadi harapan baru untuk memecahkan permasalahan kehutanan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan mengindikasikan bahwa terdapat beberapa kendala terkait dengan implementasi program Hutan Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut antara lain meliputi, belum adanya kesepahaman bersama mengenai pentingnya HTR dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten memberikan porsi anggaran pada pembangunan hutan tanaman Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan mengindikasikan bahwa terdapat beberapa kendala terkait dengan implementasi program Hutan Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut antara lain meliputi, belum adanya kesepahaman bersama mengenai pentingnya HTR dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten memberikan porsi anggaran pada pembangunan hutan tanaman

Masalah lain yang cukup serius adalah masalah yang ditemukan pada Industri Kehutanan. Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat ini masih menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam. Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan alam.

Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat. Potensi paling

besar yang memungkinkan supplai untuk industri kehutanan adalah berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat proses management untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan ditingkat tapak.

Kabupaten Barru memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan hutan tanaman rakyat, Berdasarkan data yang didapatkan di Dinas Kehutanan, Barru memiliki pontensi hutan produksi yang cukup besar dan dapat dikelolah dengan baik untuk kepentingan pengembangan HTR dan HTI yaitu sebesar 17.312 ha (Dishut Barru, 2012)

Pada tahun 2010-2012 Kementerian Kehutanan telah mencanangkan pembangunan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh seluas 1.497 ha di Kabupaten Barru, yang terdiri dari 3 kecamatan, yaitu kecamatan Balusu, Kecamatan Barru dan Kecamatan Pujananting. Areal ini telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR) dari Bupati dan telah diverifikasi seluas 1.481 ha. Angka tersebut dipastikan akan naik, karena Dinas Kehutanan Barru pada pertengahan tahun 2013 kembali mengusulkan Pencangan HTR sebesar 14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, dengan model pengelolaan yang menggunakan skema mandiri.

Dalam rangka mendukung kelancaran dan keberhasilan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat termaksud diatas, dibutuhkan suatu perencanaan yang bersifat komperhensif. Sehubungan dengan itu maka penelitian ini difokuskan pada upaya untuk mendesain pembangunan Hutan Tanaman Rakyat secara kompleks, guna mendukung optimalisasi pengelolaan hutan tanaman rakyat yang Dalam rangka mendukung kelancaran dan keberhasilan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat termaksud diatas, dibutuhkan suatu perencanaan yang bersifat komperhensif. Sehubungan dengan itu maka penelitian ini difokuskan pada upaya untuk mendesain pembangunan Hutan Tanaman Rakyat secara kompleks, guna mendukung optimalisasi pengelolaan hutan tanaman rakyat yang

B. Rumusan Masalah Melihat hal diatas, Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat

secara nasional dan perregion, termasuk di Kabupaten Barru terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun sedangkan riset dan pengembangan pengelolaan pada level pengelolaan HTR masih sangat minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia yang bangkrut karna sulitnya mendapatkan bahan baku pasokan kayu yang legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan kenapa riset ini penting untuk dilakukan, agar bagaimana mendesain pembagunan Hutan Tanaman Rakyat secara kompleks untuk menjawab beberapa gap kebutuhan Industri, Pengelolaah HTR, dan Pemda pada konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat yang terintegrasi pada pola ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri

C. Tujuan Penlitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis dan menentukan tingkat kesesuaian lokasi untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru.

2. Menganalisis kesesuain lahan untuk jenis – jenis tanaman yang dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan Hutan Tanaman Rakyat

3. Mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dengan basis spasial yang terintegrasi dengan pola ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri. Desain tersebut meliputi areal-areal yang sesuai untuk dikembangkan, jenis- jenis tanaman, skenario pengelolaan, kelembagaan, serta jenis dan lokasi industri.

D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model rancangan

pembangunan hutan Tanaman Rakyat yang secara kompleks dan terintegrasi dengan pola ruang, kesesuain lahan, pasar dan industri, sehingga diharapkan mendapatkan manfaat yang lebih dalam pembangunan kehutanan yang berbasiskan “suistanable forest management” pada suatu kabupaten.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengelolaan Hutan

1. Pengelolaan Hutan Konvensional dan Permasalahannya Selama dua dasawarsa terakhir strategi pengusahaan hutan

telah terbukti mampu memberikan peranan besar dalam pembangunan ekonomi, namun pembangunan ekonomi di sektor kehutanan yang selama ini dilakukan tidak memperhatikan aspek pelestarian terhadap lingkungan. Akibatnya terjadi bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Masih lemahnya komitmen lembaga-lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap kelestarian hutan semakin memperparah laju tingkat kerusakan hutan (Kartodihardjo, 2008).

Masalah yang sangat kompleks pada hutan dan kehutanan di Indonesia sangat tinggi baik dari segi administrasi sampai pada proses implemntasi dilapangan, kurangnya pengetahuan mengenai dinamika hutan, serta dominasi kepentingan dan keuntungan jangka pendek, telah mengakibatkan kegagalan sebagian besar program penanaman kembali.

Karena prosedur pembangunan kembali hutan tropis bekas tebangan belum dikembangkan dengan baik, maka badan kehutanan mengalami kesulitan untuk menetapkan dana reboisasi yang dengan tepat mencerminkan biaya penanaman kembali. Lebih Karena prosedur pembangunan kembali hutan tropis bekas tebangan belum dikembangkan dengan baik, maka badan kehutanan mengalami kesulitan untuk menetapkan dana reboisasi yang dengan tepat mencerminkan biaya penanaman kembali. Lebih

Mengantisipasi permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya maka Lahjie (2003) sepakat dengan konsep pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan lestari lebih dikenal dengan

management. ITTO mendefinisikannya sebagai proses pengelolaan lahan hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang ditetapkan menyangkut keseimbangan produksi dari hasil hutan dan jasa yang diinginkan serta tidak mendapatkan dampak buruk yang tidak diinginkan. Secara operasional, definisi tersebut mencakup unsur-unsur sebagai berikut :

1. Hasil yang berkesinambungan berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu dan jasa pengelolaan hutan.

2. Mempertahankan tingkat biodiversitas yang tinggi dalam konteks perencanaan tata guna lahan integratif mencakup jaringan kerja kawasan lindung dan kawasan konservasi.

3. Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan penekanan pada pemeliharaan produktivitas tempat tumbuh (site 3. Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan penekanan pada pemeliharaan produktivitas tempat tumbuh (site

4. Meningkatkan dampak positif pada kawasan hutan dan mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak yang merugikan.

5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan berupaya menyelesaikan potensi konflik.

2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Pemanfaatan hutan menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 bertujuan memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Definisi tersebut memberikan kata kunci bagi pengelolaan hutan yaiitu konservasi dan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan hutan harus memberikan manfaat bagi masyarakat yang berada pada kawasan hutan (Nadia, 2011).

Dalam mewujudkan konservasi dan kesejahteraan masyarakat, diperlukan upaya bersama dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat menjadi konsep alternatif pengelolaan saat ini. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat sering kali disebut Community Based Forest management (CBFM). Menurut Supratman (2006), nilai inti pembangunan CBFM adalah ideologi dasar yang bersifat permanen tidak berubah menurut waktu, tempat, dan kondisi masyarakat di mana CBFM tersebut berlangsung. Nilai Dalam mewujudkan konservasi dan kesejahteraan masyarakat, diperlukan upaya bersama dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat menjadi konsep alternatif pengelolaan saat ini. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat sering kali disebut Community Based Forest management (CBFM). Menurut Supratman (2006), nilai inti pembangunan CBFM adalah ideologi dasar yang bersifat permanen tidak berubah menurut waktu, tempat, dan kondisi masyarakat di mana CBFM tersebut berlangsung. Nilai

Hingga saat ini perkembangan kebijakan pembangunan kehutanan terus didorong kearah CBFM. Pergerakan yang mendorong kearah kebutuhan paradigma baru kehutanan dapat dilihat dari gerakan kehutanan masyarakat oleh semua pihak, baik dari masyarakat, pemerintah, pemerhati lingkungan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Gerakan ini terlihat jelas dengan semakin banyak pemikiran-pemikiran dan berbagai konsep untuk mewujudkan CBFM menjadi dasar pembangunan kehutanan. Gerakan masyarakat dan LSM dalam mewacanakan sistem pengelolaan hutan masyarakat setempat dan penguatan hukum adat semakin mewarnai dorongan perubahan (Patiung, dkk, 2006).

Awang (2001) mengatakan bahwa gagasan community forestry (CF) atau kehutanan masyarakat diyakini menjadi cara terbaik untuk membangun sumberdaya hutan. Dalam konteks Indonesia, kehutanan masyarakat diartikan sebagai sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, komunitas atau kelompok. Pengelolaan tersebut dilakukan pada lahan negara, lahan adat, atau lahan milik (individu atau keluarga), untuk memenuhi kebutuhan individu/rumah Awang (2001) mengatakan bahwa gagasan community forestry (CF) atau kehutanan masyarakat diyakini menjadi cara terbaik untuk membangun sumberdaya hutan. Dalam konteks Indonesia, kehutanan masyarakat diartikan sebagai sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, komunitas atau kelompok. Pengelolaan tersebut dilakukan pada lahan negara, lahan adat, atau lahan milik (individu atau keluarga), untuk memenuhi kebutuhan individu/rumah

Tabel 1. Pergeseran konseptual dari paradigma kehutanan negara dengan kehutanan masyarakat. Kehutanan Masyarakat

No. Kehutanan Negara (dari) (Menuju)

A. SIKAP DAN ORIENTASI

1. Pengendalian Dukungan/fasilitasi

2. Penerima manfaat Mitra kerja

3. Pengguna

Pengelola

Pembuatan keputusan uni

4. Partisipatif lateral

5. Orientasi peneriman Orientasi sumberdaya

6. Keuntungan nasional Orientasi keadilan lokal

7. Diarahkan oleh negara Proses belajar/evolusi

B. INSTITUSIONAL DAN ADMINISTRATIF

8. Sentralisasi Desentralisasi Manajemen (perencanaan,

9. pelaksanaan, monitoring)

Kemitraan

oleh pemerintah

10. Top down Partisipatif/negosiatif

11. Orientasi target Orientasi proses Anggaran kaku untuk

Anggaran fleksibel dengan

12. rencana kerja besar

rencana mikro

Aturan-aturan untuk

13. Penyelesaian konflik menghukum

C. METODA MANAJEMEN

14. Kaku

Fleksibel

15. Tujuan tunggal Tujuan ganda/beragam

16. Keseragaman Keanekaragaman

17. Produk tunggal Produk beragam Menu manajemen yang

Beragam pilihan aturan

18. tetap dengan aturan silvikultur untuk spesifik silvikultur tunggal

lokasi

19. Tanaman Spesifik lokal Tenaga kerja/buruh

Manajer/pelaksana/

20. pengumpul

pemroses/pemasar

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) merupakan alternatif pengembangan pengelolaan hutan ke depan. Di bawah ini terdapat 8 kriteria yang menyatakan pentingnya konsep PHBM dilaksanakan (Suwarno, 2011).

a) Pendapatan Nasional Melalui PHBM pendapatan nasional dari sub sektor kehutanan akan meningkat secara nyata. Peningkatan terjadi karena

pengaruh efek massal positif dari pengerahan sumberdaya manusia sekitar 40 juta orang dalam memanfaatkan sumberdaya hutan, baik manfaat aktual maupun manfaat potensial. Manfaat aktual antara lain berupa kayu, hasil hutan non kayu dan jasa wisata sedangkan manfaat potensial antara lain berupa optimalisasi manfaat lahan untuk tanaman sela, pengembangan pengaruh efek massal positif dari pengerahan sumberdaya manusia sekitar 40 juta orang dalam memanfaatkan sumberdaya hutan, baik manfaat aktual maupun manfaat potensial. Manfaat aktual antara lain berupa kayu, hasil hutan non kayu dan jasa wisata sedangkan manfaat potensial antara lain berupa optimalisasi manfaat lahan untuk tanaman sela, pengembangan

memberikan multiflier effect terhadap sektor ekonomi lainnya.

b) Pendapatan Negara Pendapatan negara dari sub sektor kehutanan akan diperoleh secara langsung dari usaha komersial bersama masyarakat (produksi kayu, getah, rotan, ekowisata, dll), dan secara tidak langsung diperoleh melalui pajak dan retribusi yang dikenakan kepada masyarakat. Program PHBM juga diharapkan bisa mengurangi kebocoran kas negara dengan memperkecil terjadinya praktek-praktek KKN dalam tata usaha kayu dan hasil hutan lainnya.

c) Pemerataan Pendapatan dan Lapangan Kerja Dengan PHBM tidak ada lagi monopoli penguasaan hutan oleh

segelintir orang. Masyarakat diharapkan tidak lagi hanya berstatus sebagai penonton atau buruh rendahan di negeri sendiri. Masyarakat diharapkan memperoleh hak-hak akses terhadap hutan, mampu menjadi tuan untuk mengatur dan memanfaatkannnya secara bertanggung jawab. Sekitar 40 juta jiwa bangsa Indonesia yang hidup di dalam kawasan hutan. PHBM akan memberikan prioritas lapangan kerja kepada orang-orang tersebut.

d) Kekuatan struktur ekonomi PHBM sejiwa dengan program ekonomi kerakyatan. Masyarakat Indonesia yang tinggal di dalam kawasan hutan umumnya masih

berada dalam kontinum budaya meramu pertanian tradisional. Mereka memiliki ketergantungan yang sangat tinggi

terhadap flora dan fauna hutan, juga terhadap ketersediaan lahan garapan. Pola tersebut apabila bisa dicegah dari praktek-praktek destruktif, akan menjadi bagian dari basis struktur ekonomi nasional yang handal.

e) Neraca Sumber Daya Alam Kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dalam PHBM akan sangat dipengaruhi oleh kualitas institusi (kelembagaan) yang dibentuk. Institusi yang baik akan dapat menyeimbangkan unsur input dan output, sehingga kelestarian hutan tetap terjaga. PHBM memiliki potensi yang lebih tinggi membentuk institusi pengelolaan hutan yang lebih baik dan kuat dibanding sistem lainnya yang telah ada saat ini. Dikatakan memiliki potensi yang lebih tinggi karena masyarakat hutan sejak dahulu telah mempunyai nilai-nilai kearifan tradisional berkaitan dengan alam. Saat ini kearifan tersebut sedang mengalami degradasi luar bisaa disebabkan ekspasi sistem ekonomi pasar. Tugas pemerintah adalah bagaimana menghidupkan kembali sistem e) Neraca Sumber Daya Alam Kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dalam PHBM akan sangat dipengaruhi oleh kualitas institusi (kelembagaan) yang dibentuk. Institusi yang baik akan dapat menyeimbangkan unsur input dan output, sehingga kelestarian hutan tetap terjaga. PHBM memiliki potensi yang lebih tinggi membentuk institusi pengelolaan hutan yang lebih baik dan kuat dibanding sistem lainnya yang telah ada saat ini. Dikatakan memiliki potensi yang lebih tinggi karena masyarakat hutan sejak dahulu telah mempunyai nilai-nilai kearifan tradisional berkaitan dengan alam. Saat ini kearifan tersebut sedang mengalami degradasi luar bisaa disebabkan ekspasi sistem ekonomi pasar. Tugas pemerintah adalah bagaimana menghidupkan kembali sistem

f) Nilai Ekonomi Keragaman produk hasil hutan khas Indonesia, diyakini memiliki keunggulan komparatif di pasaran dunia. Keunggulan tersebut ada bukan karena polesan teknologi, melainkan kekhasan kualitas alamiahnya. Sebagai contoh, rotan Indonesia dikenal sebagai rotan berkualitas terbaik di dunia. Selain rotan, produk- produk seperti kayu jati dan getah damar menjadi ciri khas tersendiri karena negara lain jarang atau bahkan tidak bisa memproduksi produk tersebut. Keunggulan komparatif ini sangat ditentukan oleh kemampuan dan strategi kepemimpinan pemerintah. Bila PHBM mampu

mengalihkan orientasi pemanfaatan hutan dari timber oriented menjadi pengambilan manfaat-manfaat lainnya

(terutama hasil hutan non kayu) yang tidak merusak kelestarian ekosistem, maka multiproduk hutan ini sangat berpotensi untuk meningkatkan perolehan keuntungan dari hutan. Banyak jenis- jenis hasil hutan non kayu yang setiap unitnya memiliki nilai ekonomi jauh lebih tinggi daripada kayu, misalnya gaharu, madu, tanaman obat, rotan, dan lain-lain. Hal tersebut semakin baik bila kita mampu menciptakan bentuk-bentuk inovasi usaha yang semakin mempertinggi produktifitas hutan.

g) Kapasitas Lingkungan Hidup Ada kekhawatiran terhadap pengerahan massal sejumlah besar masyarakat kedalam hutan untuk mengelola dan memanfaatkan hutan bisa menimbulkan resiko kerusakan hutan. Namun di sisi lain apabila kita merefleksikan praktek-praktek di masa lalu, sesungguhnya masyarakat sekitar hutan telah memiliki nilai-nilai kearifan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dalam mengelola sumberdaya lingkungan. Oleh karena itu, pengaruh PHBM terhadap kapasitas lingkungan akan ditentukan oleh hidup tidaknya kembali kearifan lokal serta penerapan inovasi teknologi baru yang ramah lingkungan.

h) Sumberdaya Genetik Generasi Mendatang Nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat mempunyai semacam pantangan untuk merusak sumberdaya lingkungan dengan semena-mena. Institusi sosial yang dibangun sesuai dengan karakteristik sumberdaya alam yang dikelola, akan memberikan perlindungan yang efektif terhadap sumberdaya alam itu sendiri. Pelanggaran oleh satu anggota masyarakat, akan mendatangkan sanksi sosial yang keras dari kesatuan anggota masyarakat yang lainnya. Ketika keanekaragaman sumberdaya hayati telah menjadi unsur yang disepakati untuk dilindungi, maka keberadaannya akan lebih terjamin untuk generasi di masa yang akan datang.

B. Perkembangan Industri Perkayuan dan Permasalahan Bahan Baku

1. Kebijakan Industri Perkayuan Pengelolaan sumber daya hutan secara lestari dan

berkelanjutan merupakan kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk menjawab amanat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini diatribusi ke dalam UU No. 41 T ahun 1999 tentang Kehutanan, yang kemudian mengalami perubahan berdasarkan Perpu No. 1 T ahun 2004. Perpu ini kemudian disahkan sebagai UU No. 19 Tahun 2004.

Dalam pasal 2 UU No. 41 T ahun 1999 disebutkan bahwa “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan“. Secara teoritis, dalam asas ini terlihat upaya pemerintah untuk mengimplementasikan 4 prinsip good governance dalam penyelenggaraan kehutanan guna menjamin dan melindungi serta mengamankan fungsi hutan (Forest Watch Indonesia, 2011).

Selanjutnya pada masa orde baru, kewenangan perizinan industri pengelolahan kayu dikuasi oleh pemerintah pusat, dibawah kewenangan Departemen Perindustrian dan Pedagangan, Upaya mempercepat tumbuhnya industri pengelolaan kayu juga didukung Selanjutnya pada masa orde baru, kewenangan perizinan industri pengelolahan kayu dikuasi oleh pemerintah pusat, dibawah kewenangan Departemen Perindustrian dan Pedagangan, Upaya mempercepat tumbuhnya industri pengelolaan kayu juga didukung

presiden yang pelakasanaannya diserahkan kepada Menteri Perindustrian, serta tanggung jawab menteri-mentri lain sesuai dengan bidangnya (Greenomics Indonesia, 2004).

PP No. 17 Tahun 1986 ditindaklanjuti dengan PP No.13 tahun 1987 tentang Izin Usaha Industri, yang mengatur ketentuan bahwa izin usaha industri merupakan kewenangan Manteri Perindustrian. Bentuk perizinan idnustri yang menjadi kewenangan Departemen Perindustrian tersebut terdiri dari izin tetap dan izin perluasan. Kewenangan Departemen Perindustrian tidak hanya mencakup kewenangan perizinan, namun juga diperluas dalam bentuk kewenangan pembinaan terhadap iklim usaha, sarana, usaha, dan produksi dari industri pengelolaan kayu. Selain pembinaan jufa dilakukan pengawsan terhadap perusahan industri yang telah mendapatkan izin usaha industri (Greenomics Indonesia, 2004).

Pada tahun 1997, Menteri Perindustrian dan Perdagangan melimpahkan kewenangan perizinan dibidang industri dan perdagangan kepada Dirjen Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, dengan pertimbangan untuk kelancaran proses perizinan bidang industri dan perdagangan. Pelimpahan kewenagan tersebut dituangkan dalam Kepmenperindag No. 255/MPP/Kep/7/1997.

Menteri Kehutanan juga melimpahkan kewenangan dalam hal pelaksanaan kepemilikan dan keterkaitan HPH dengan industri pengelolaan kayu kepada Dirjen Pengusahaan Hutan, dengan pertimbangan untuk efisiensi dan mempercepat pelayanan (Greenomics Indonesia, 2004).

Bentuk kewenangan yang diberikan kepada Direktur Jendral Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan meliputi kewenangan dalam pemberian izin, kewenangan menoloak permohonan, pemberian peringatam, pembekuan dan pencabutan izin industri (Greenomics Indonesia, 2004).

Setelah rezim orde baru yang ditandai dengan lahirnya era otonomi daerah, memberikan dampak pada dimulainya proses desentralisasi kewenangan terkait dengan perizinan industri pengelolaan kayu. Pelimpahan sebagaian urusan dan kewenagan pusat kepada daerah yang diatur melalui UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 juga mencakup kewenangan perizinan industri pengelolaan kayu. Pada oktober 1999, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menetapkan pelimpahan kewenangann pemberian izin bidang industri dan perdaganan kepada Kabupaten/Kota dan Provinsi.

Kewenangan tersebut mencakup kewenangan untuk memberikan peringatan, pembekuan, dan pencabutan izin. Pembagian wewenang perizinan industri tersebut hanya Kewenangan tersebut mencakup kewenangan untuk memberikan peringatan, pembekuan, dan pencabutan izin. Pembagian wewenang perizinan industri tersebut hanya

Izin usaha industri pengolahan kayu dapat diberikan kepada perorangan, perusahan, persekutuan atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia. Pelimpahan kewenangan pemberikan perizinan industri pengelolaan kayu tersebut mencakup industri penggergajian kayu, industri pengawetan kayu, industri kayu lapis, industri kayu lapis laminasi termasuk Decorative Plywood, industri panel kayu lainnya, industri venner dan industri moulding dan komponen bahan bangunan.

Dengan adanya pelimpahan kewenangan perizinan industri pengelolaan kayu kepada pemerintah daerah, maka pemerintah pusat berperan dalam pembinaan industri. Kewenagan pembinaan berada pada Direktur Jendral Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan untuk perusahaan dengan nilai ivenstasi diatas 1 Milyar. Sedangkan untuk perusahaan industri dengan nilai investasi sampai dengan 1 milyar, kewenangan pembinaannya berada pada Direktur Jendral Industri Kecil dan Dagangan Kecil (Greenomics Indonesia, 2004).

2. Degradasi / Penurunan Potensi Hutan Berdasarkan hasil temuan Forest Watch Indonesia (2011), mengemukakan beberapa temuan-temuan terkait deradasi yang berimpact pada penurutunan potensi hutan sebagai berikut :

Pertama, Laju deforestasi pada periode tahun 2000-2009 adalah sebesar 1,51 juta ha/tahun, dengan laju deforestasi terbesar terjadi di Kalimantan yaitu sebesar 550.586,39 ha/tahun. Jika laju deforestasi tidak ditekan, diperkirakan pada tahun 2020 tutupan hutan di Jawa akan habis dan pada tahun 2030 tutupan hutan di Bali-Nusa T enggara juga akan habis.

Kedua, Pada tahun 2003, sektor kehutanan memberikan sumbangan 1,09% terhadap produk domestik bruto, menurun menjadi 1,05 persen pada tahun berikutnya. Pada tahun 2008, kontribusi ini hanya 0,79 persen. Kecenderungan penurunan kontribusi ini menjadi pertanyaan mengingat pada rentang waktu yang relatif sama, produksi kayu bulat nasional justru meningkat drastis dalam jangka 4 tahun, yaitu dari 11,42 juta meter kubik pada tahun 2003 menjadi 31,49 juta meter kubik pada tahun 2007 dan meningkat lagi menjadi 31,98 juta meter kubik pada tahun 2008. Ketiga, kebijakan produksi kayu nasional selama ini menopang pengrusakan hutan alam Indonesia:

a) Tingginya total produksi tahunan dari seluruh izin pemanfaatan kayu mengindikasikan adanya aktivitas pembukaan hutan alam

setiap tahun dengan luasan yang berbading lurus

b) Kebutuhan kawasan hutan untuk aktivitas di luar sektor

kehutanan, terutama perkebunan dan pertambangan kehutanan, terutama perkebunan dan pertambangan

Keempat, berkurangnya luas areal kerja Hak Pengusahaan Hutan berjalan seiring dengan berkurangnya tutupan hutan. Pada tahun 2000, luas areal Hak Pengusahaan Hutan seluas 39, 16 juta ha, sedangkan tahun 2009 menurun menjadi 26,16 juta ha. Pada rentang waktu yang sama tutupan hutannya berkurang dari 22,01 juta ha menjadi 20,42 juta ha.

Kelima, laju deforestasi di kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas yang dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan antara lain disebabkan oleh: perusahaan tidak melakukan kewajiban silvikultur tebang pilih tanam Indonesia yang dipersyaratkan bagi unit manajemen Hak Pengusahaan Hutan, tidak mel akukan pengayaan, menyusun laporan realisasi fiktif, Laporan Hasil Cruising fiktif, tidak melakukan inventarisasi tegakan, tidak melakukan penataan batas secara lugas, menebang di luar areal kerja tahunan, menebang melebihi jatah tebangan, menerima hasil-hasil

pembalakan liar. Forest Watch Indonesia (2011), juga menuliskan bahwa terjadi tekanan terhadap kawasan hutan secara tidak langsung dapat diakibatkan oleh kebijakan penataan ruang wilayah dan kawasan pembalakan liar. Forest Watch Indonesia (2011), juga menuliskan bahwa terjadi tekanan terhadap kawasan hutan secara tidak langsung dapat diakibatkan oleh kebijakan penataan ruang wilayah dan kawasan

Akibatnya, meski belum melalui proses paduserasi, pemda kerap menjadikan Rencana Tata Ruang Wilayah. Ditambah lagi Kebijakan-kebijakan yang kontra produktif menjadi katalis perusakan hutan alam menjadi perkebunan terutama perkebunan sawit. Peraturan yang ada sebenarnya mengatur kriteria pelepasan untuk keperluan perkebunan dimana hutan yang dapat dilepaskan adalah HutanProduksi yang dapat dikonversi.

Namun karena ketidakjelasan aturan, Hutan Produksi dapat dirubah menjadi Hutan Produksi Konversi yang tidak lama

berselang dapat dilepaskan secara parsial menjadi perkebunan. Pada berbagai kasus, perusahaan tidak segan-segan untuk melakukan pembukaan lahan dengan membabat hutan tanpa izin pelepasan kawasan.

Sektor pertambangan juga memberi tekanan yang besar terhadap kawasan hutan. Hingga tahun 2011 lebih dari 6.000 kuasa pertambangan diterbitkan di dalam kawasan hutan dan hanya sekitar 200 unit yang telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan. Ketika legalitas dan legitimasi kawasan hutan Sektor pertambangan juga memberi tekanan yang besar terhadap kawasan hutan. Hingga tahun 2011 lebih dari 6.000 kuasa pertambangan diterbitkan di dalam kawasan hutan dan hanya sekitar 200 unit yang telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan. Ketika legalitas dan legitimasi kawasan hutan

3. Kesenjangan antara Potensi Hutan dan Kebutuhan Bahan Baku Memasuki abad 21, pembangunan kehutanan Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang makin kompleks dan bersifat multidimensional. Salah satu masalah yang cukup menonjol adalah masalah tidak seimbangnya antara pasokan kayu bulat terhadap permintaan bahan baku industri pengolahan kayu. Beberapa faktor dominan yang menyebabkan tidak seimbangnya antara pasokan dan permintaan kayu antara lain adalah menurunnya potensi produksi hutan alam yang diakibatkan oleh menyusutnya hutan perawan (virgin forest) dan meningkatnya luas areal bekas tebang (log over forest). Selain itu pasokan kayu bulat yang berasal dari hutan tanaman yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan (Prahasto & Nurfatriani 2001).

Dalam konteks industrialisasi di Indonesia, industri kayu memiliki peluang untuk dapat dikembangkan, mengingat Indonesia memiliki keunggulan komparatif berupa tersedianya lahan yang luas untuk menyediakan bahan baku kayu sebagai sumber daya alam dari hutan tanaman. Industri kayu mempunyai potensi yang kuat dari sisi internal supply serta sebagai salah satu unsur dalam pilar industri agro. Namun demikian, perlu diingat bahwa ketersediaan Dalam konteks industrialisasi di Indonesia, industri kayu memiliki peluang untuk dapat dikembangkan, mengingat Indonesia memiliki keunggulan komparatif berupa tersedianya lahan yang luas untuk menyediakan bahan baku kayu sebagai sumber daya alam dari hutan tanaman. Industri kayu mempunyai potensi yang kuat dari sisi internal supply serta sebagai salah satu unsur dalam pilar industri agro. Namun demikian, perlu diingat bahwa ketersediaan

Permasalahan utama industri perkayuan adalah terjadinya penurunan produksi kayu yang diambil dari hutan, sehingga terjadi kekurangan pasokan bahan baku bagi industri. Akibat kesenjangan supply dan demand yang paling ekstrim adalah berhentinya operasi industri kayu. Dampak terjadinya penurunan pasokan terhadap ekonomi nasional dapat dilihat dari adanya kecenderungan menurunnya kontribusi kehutanan yang tercermin dari menurunnya nilai PDB sektor kehutanan (Gambar 1). Departemen Perindustrian (2005) juga mencatat. bahwa penurunan ekspor barang-barang kayu pada periode tahun 2001 – 2005 sebesar 1,7%.

Sedangkan Kebutuhan industri perkayuan Indonesia diperkirakan 70 juta meter kubik per tahun dengan kenaikan rata- rata sebesar 14,2%/tahun (Pryono, 2001). Untuk produksi kayu bulat sendiri diperkirakan hanya sebesar 25 juta meter kubik per tahun atau dengan kata lain terjadi defisit sebesar 45 juta meter kubik. Hal ini menujukkan bahwa sebenarnya daya dukung hutan sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan kayu (Setyawati, 2003).

Gambar 1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan Menyikapi kondisi ini industri perkayuan harus memiliki

strategi yang tepat dalam menjaga kelanjutan proses produksinya ditengah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Industri perkayuan harus dapat mempertahankan kondisi dimana bahan baku kayu bulat tetap dalam kondisi yang stabil khususnya dari segi jumlah.

Jika persediaan bahan baku kayu bulat terlalu besar maka industri akan mengalami kerugian, demikian pula jika persediaan bahan baku dalam jumlah yang lebih kecil dari kapasitas mesin maka industri juga akan mengalami kerugian. Agar proses produksi dapat berlangsung secara berkesinambungan, maka industri harus dapat memperkirakan seberapa besar kebutuhan Jika persediaan bahan baku kayu bulat terlalu besar maka industri akan mengalami kerugian, demikian pula jika persediaan bahan baku dalam jumlah yang lebih kecil dari kapasitas mesin maka industri juga akan mengalami kerugian. Agar proses produksi dapat berlangsung secara berkesinambungan, maka industri harus dapat memperkirakan seberapa besar kebutuhan

C. Pembangunan HTR sebagai salah satu Model PHBM

1. Konsep HTR Hutan tanaman rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan pasar dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan program HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan kemiskinan, pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi permintaan bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010).

Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda revitalisasi pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga merupakan implementasi dari Kebijakan Prioritas Sektor Kehutanan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat setempat sehingga sektor kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup, mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada areal sekitar hutan (Emila dan Suwito, 2007).

Menteri Kehutanan No.23/Menhut-II/2007 adalah hutan tanaman yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Dengan kata lain HTR adalah kegiatan rehabilitasi Hutan Produksi yang dilaksanakan oleh masyarakat baik perorangan maupun koperasi untuk kelestarian sumber daya hutan, di mana masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi dari apa yang ditanamnya untuk peningkatan kesejahteraan.

Kawasan hutan yang dapat dijadikan lokasi pembangunan HTR adalah Hutan Produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak (ijin) serta telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai lokasi HTR dengan luasan 15 Ha tiap Kepala Keluarga (KK) atau sesuai kemampuan untuk koperasi. Lokasi HTR diutamakan berada dekat dengan industri hasil hutan untuk memudahkan pemasaran.

Pengembangan HTR juga biasanya dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai varietas tanaman pokok. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari tanaman budidaya tahunan selama masa menunggu waktu penebangan kayu, di samping hasil tambahan lain melalui kegiatan tumpang sari tanaman hortikultura/palawija. Prosentase komposisi jenis tanaman untuk pembangunan HTR yang menggunakan Pengembangan HTR juga biasanya dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai varietas tanaman pokok. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari tanaman budidaya tahunan selama masa menunggu waktu penebangan kayu, di samping hasil tambahan lain melalui kegiatan tumpang sari tanaman hortikultura/palawija. Prosentase komposisi jenis tanaman untuk pembangunan HTR yang menggunakan