Globalisasi dan Penguasaan Teknologi

B. Globalisasi dan Penguasaan Teknologi

Globalisasi adalah tema sentral pasca-berakhirnya Perang Dingin. Berakar dari kata “globe” (dunia, bola), globalisasi (globalization) secara harfiah dapat dimaknai sebagai proses menduniakan segala hal, membuat segala hal terhubung selayaknya bola. Dalam banyak literatur, sebagaimana akan dikerahkan dalam bagian ini, konsep tentang globalisasi kerap kali dibicarakan seturut konsep kapitalisme atau liberalisme dalam bidang ekonomi.

Pada tahun 1989 hingga 1990, dunia menyaksikan keruntuhan rezim komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet. Keruntuhan Uni Soviet sebagai negara dan kebangkrutan komunisme sebagai ideologi menjadikan liberalisme sebagai paham dunia yang paling dominan. Kepentingan Amerika Serikat beserta negara-negara sekutunya untuk membuat dunia menjadi ladang subur bagi pasar bebas (kapitalisme) tak lagi menemukan tantangan berarti semenjak keruntuhan Uni Soviet dan sekutunya.

Tahun-tahun di pengujung abad keduapuluh itu merupakan masa dengan banyak kejadian penting. Tembok Berlin yang selama 28 tahun menjadi penghalang koneksi antara kedua Jerman akhirnya diruntuhkan pada tanggal 9 November 1989. Setelah kekalahan Uni Soviet dari “perang urat saraf”—dan menjadikan negara itu terpecah hingga beberapa

58 Ibid., h. 132.

negara baru—sejumlah perundingan multilateral pun segera diselenggarakan untuk menyukseskan perdagangan bebas (free trade), yang tak lain merupakan model liberalisme dalam bidang ekonomi. Ide pendirian suatu organisasi yang mengatur perdagangan dunia sebagai implementasi dari perundingan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947 akhirnya terealisasi pada tanggal 1 Januari 1995 dengan berdirinya World Trade Organization (WTO). Organisasi ini, beriringan dengan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank sejak beberapa dekade sebelumnya, dianggap sebagai sebuah konspirasi global dan tidak akuntabel untuk memaksakan aturan global terhadap

negara-negara berdaulat. 59

Pada pengujung abad keduapuluh itu pula, muncul perdebatan intelektual berkenaan dengan fenomena kebangkrutan komunisme di penjuru dunia. Dalam sebuah esai yang kemudian dikembangkan menjadi

buku setebal 418 halaman, 60 Francis Fukuyama, bekas analis RAND Corporation yang kini menjadi direktur staf perencana kebijakan

Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, memantik kontroversi karena mengajukan tesis bahwa “akhir sejarah” telah terjadi dengan menyisakan satu pemenang tunggal, yaitu liberalisme politik dan ekonomi (atau

59 F.X. Djoko Priyono, Hukum Perdagangan Barang dalam GATT/WTO (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2012), h. 1. 60 Esai yang terbit dalam jurnal The National Interest 16 pada musim panas tahun 1989 itu berjudul “The End of History?” Sementara perluasan dari esai itu, sebuah buku yang

diterbitkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1992 oleh The Free Press, berjudul “The End of History and the Last Man”.

demokrasi liberal dan kapitalisme). Fukuyama mengatakan bahwa itulah “bentuk akhir pemerintahan manusia”, “titik akhir evolusi ideologis

manusia”, dan “akhir sejarah”. 61

Tentu saja “sejarah” yang dimaksud Fukuyama bukanlah sejarah dalam pengertian konvensional sebagai kejadian-kejadian (events), seperti runtuhnya Tembok Berlin, lengsernya Orde Baru, atau bersemainya Musim Semi Arab, melainkan sejarah sebagai sebuah proses evolusioner yang tunggal dan koheren yang diambil dari

pengalaman umat manusia sepanjang masa. 62 Sejarah dalam pengertian demikian, menurut Fukuyama, kerap diasosiasikan dengan pemikiran

filsuf Jerman G.W.F. Hegel.

Menurut Hegel, perkembangan manusia secara koheren berlangsung dari bentuk kesukuan (tribal) yang berbasis pada perbudakan dan pertanian, yang kemudian berubah menjadi teokrasi, monarki, dan aristokrasi feodal, hingga terbentuknya demokrasi liberal modern dan

teknologi yang diawaki oleh kapitalisme. 63 Hegel berpendapat bahwa proses evolusioner tersebut (baca: sejarah) bukannya terjadi secara acak

dan tak dapat dimengerti sekalipun ia berjalan tidak dalam garis yang lurus. Hegel percaya bahwa evolusi umat manusia akan berakhir dengan

61 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (New York, London, Victoria, Ontario, Auckland: Penguin Group, 1992), h. xi. 62 Ibid., h. xii.

63 Ibid.

terbentuknya suatu masyarakat yang terpenuhi segala keinginan dasar dan terdalamnya (Hegel menegaskan bahwa itulah “akhir sejarah”) dalam

suatu negara liberal. 64

Pandangan pro-kapitalisme yang menganjurkan supaya globalisasi diisi dengan hal-hal yang bertujuan untuk memaksimalkan manfaat demokrasi liberal sebagaimana disampaikan Francis Fukuyama itu bukannya tak mendapat tentangan. Martin Wolf, seorang jurnalis Inggris, dalam bukunya Why Globalization Works (2004) memetakan perdebatan seputar globalisasi:

Bagi banyak pendukungnya, ia [globalisasi] adalah kekuatan tak tertahankan yang diinginkan yang mampu menyapu batas-batas, menjungkalkan pemerintah-pemerintah despot, memperlemah pemajakan, membebaskan individu, dan memperkaya apa saja yang disentuhnya. Bagi banyak penentangnya, ia juga kekuatan tak tertahankan, tapi tidak diinginkan. Dengan embel-embel “neoliberal” dan “korporasi”, globalisasi dikutuk sebagai kekuatan jahat yang memiskinkan massa, menghancurkan budaya, memperlemah demokrasi, memaksakan Amerikanisasi, membasmi negara kesejahteraan, menghancurkan lingkungan hidup, dan memuja

keserakahan. 65 Dari kubu penganut liberalisme, kritik terhadap globalisasi yang

berpatgulipat dengan kapitalisme juga terus dilancarkan. Misalnya saja apa yang disampaikan George Soros, seorang teoretikus dan praktisi

64 Kesimpulan ini bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan Karl Marx, filsuf Jerman yang meminjam gagasan “sejarah” dari Hegel untuk merumuskan pahamnya

yang terkenal, komunisme. Menurut Marx, “akhir sejarah” justru adalah masyarakat komunis. Ibid.

65 Martin Wolf, Globalisasi: Jalan menuju Kesejahteraan, diterjemahkan oleh Samsudin Berlian (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 15.

ekonomi yang konon menjadi aktor utama dari krisis moneter di Asia Tenggara pada tahun 1998. 66

George Soros, dalam bukunya Open Society: Reforming Global Capitalism (2000), tidak bersepakat sepenuhnya pada Francis Fukuyama. Baginya kapitalisme tidak dapat dengan begitu saja menjadi ideologi satu- satunya di muka Bumi kendati komunisme terbukti telah bangkrut. Kapitalisme yang kerap dipraktikkan negara-negara di dunia adalah kapitalisme yang menindas dan bahkan cenderung membelenggu demokrasi. Soros melihat bahwa praktik kapitalisme telah menciptakan

sejenis masyarakat tertutup semacam komunisme dan fasisme. 67 Kapitalisme dewasa ini, menurut Soros, tengah berada dalam keadaan

krisis dan karenanya perlu segera direformasi.

Agenda reformasi atas kapitalisme yang Soros tawarkan bertolak dari pemikiran guru intelektualnya, Karl Raimund Popper (1902-1994). Karl Popper adalah filsuf Austria yang terkenal dengan bukunya, Open Society

66 George Soros disebut fenomenal karena karakter ambivalen dalam dirinya. Pertama, ia adalah spekulator dalam pasar uang dan modal yang membuatnya berada di jajaran

miliuner dunia dengan kekayaan melebihi AS$ 10 miliar. Melalui perusahaannya, Soros Fund Management dan Quantum Fund Management, Soros melipatgandakan kekayaannya sebesar 4.000 persen dalam sepuluh tahun. Dari petualangannya “membobol” bank sentral Inggris, ia berhasil meraup keuntungan sebesar AS$ 2 miliar. Kedua, Soros masyhur karena reputasinya sebagai filantrop yang mendermakan kekayaannya untuk kemanusiaan. Ia membantu mahasiswa kulit hitam di Afrika Selatan yang waktu itu sedang menjalankan politik apartheid untuk dapat berkuliah di Universitas Cape Town. Ia jugalah yang menggelontorkan dana untuk membangun infrastruktur negara-negara Eropa Timur pascakejatuhan komunisme. Karena kemenduaan sikapnya itu Soros kerap mendapat kritik positif dan negatif, dari gelar “Robinhood Era Modern” hingga “cermin dari sebuah hipokrisi”. M. Dawam Rahardjo, “Pengantar” dalam George Soros, Open Society: Reforming Global Capitalism, diterjemahkan oleh Sri Koesdiyantinah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. x-xi.

67 Ibid., h. vi.

and Its Enemies (1945). Dengan meminjam ide “masyarakat terbuka” (open society) Popper, 68 Soros coba mengontekstualisasikan pemikiran

gurunya itu dengan kondisi sekarang. Musuh-musuh masyarakat terbuka bagi Popper adalah keotoriteran yang dibawa komunisme dan fasisme, namun Soros mengartikannya secara lain. Soros mengatakan bahwa kini, setelah komunisme dan fasisme tumbang dalam persaingan ideologi- ideologi besar dunia, kapitalisme tengah mengalami krisis yang justru

membahayakan masyarakat terbuka. 69

Kapitalisme, menurut Soros, sekarang ini tampak salah kaprah karena dianggap sebagai kebenaran akhir (ultimate truth) sebagaimana didengungkan oleh Francis Fukuyama. Kapitalisme global yang didasarkan pada pandangan fundamentalisme pasar, yang didukung prinsip laissez-faire atau free-fight liberalism dengan berbasis pada falsafah individualisme dan teori Darwinisme sosial, adalah praktik dan

ideologi yang membahayakan masyarakat terbuka. 70

Kapitalisme global, demikian Soros, bercirikan tidak hanya perdagangan bebas, tetapi terutama pergerakan modal yang bebas. Angka suku bunga, nilai tukar, dan harga saham di sejumlah negara

68 Sebenarnya teori masyarakat terbuka kali pertama diperkenalkan oleh filsuf Prancis Henri Bergson dalam bukunya, The Two Morality and Religion (1932). Namun teori itu

kemudian dikembangkan dan diberi bobot lebih dalam oleh Karl Popper sehingga kentara signifikansinya untuk memahami keotoriteran komunisme dan fasisme. Ibid., h. xviii.

69 Ibid., h. viii. 70 Ibid., h. ix.

saling berkaitan dan memengaruhi kondisi ekonomi. Kapitalisme global sangat berhasil menciptakan kekayaan, tetapi ia tidak dapat menjamin kebebasan, demokrasi, dan supremasi hukum. Bisnis digerakkan oleh keuntungan dan tidak didesain untuk menjaga prinsip-prinsip universal. Sebagian besar pelaku bisnis barangkali adalah orang-orang yang jujur, namun hal itu tak mengubah fakta bahwa semua bisnis dilakukan demi

kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum. 71

Dari aras penampik kapitalisme seperti Manfred B. Steger, gagasan globalisasi dikritik dengan lantang. Konsep globalisasi (Steger menyebutnya “globalisme”) yang disokong penuh oleh kekuatan kapitalisme global menjadi metafora baru bagi kelompok pendukung neoliberalisme yang berporos pada enam kredo. Pertama, prioritas pertumbuhan ekonomi. Kedua, pentingnya perdagangan bebas untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Ketiga, pasar bebas yang tak terbatas. Keempat, pilihan individual. Kelima, pemangkasan regulasi pemerintah. Keenam, dukungan pada model pembangunan sosial yang revolusioner sesuai dengan pengalaman Barat yang diyakini dapat

diterapkan ke seluruh dunia. 72

Neoliberalisme adalah paham yang diusung oleh, terutama, tiga pemikir ekonomi yang masyhur, yakni Adam Smith (1723-1790), David

71 Ibid., h. xxxiii. 72 Manfred B. Steger, Globalisasi: Bangkitnya Ideologi Pasar, diterjemahkan oleh Heru

Prasetia (Yogyakarta: Lafadl Pustaka, 2005), h. 13.

Ricardo (1772-1823), dan Herbert Spencer (1820-1903). Dalam pemahaman Adam Smith, persoalan ekonomi terpisah dengan politik dan kedudukan ekonomi lebih tinggi ketimbang politik. Sebab, tanpa politik yang termanifestasikan melalui intervensi pemerintah, ekonomi akan berjalan dengan sangat baik. Pasar (market) dinilai sebagai mekanisme otomatis yang mengatur dirinya sendiri melalui “tangan-tangan tak terlihat” (invisible hands) yang senantiasa mengarah pada keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Gagasan Smith adalah buah-reaksi dari penerapan kebijakan merkantilisme ekonomi pada abad ketujuhbelas, yakni kebijakan yang melegitimasi negara untuk melakukan kontrol mutlak atas perekonomian dengan tujuan untuk menimbun cadangan emas yang

besar. 73

Karena teori keuntungan komparatifnya, David Ricardo disebut sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kemunculan perdagangan bebas (free trade) di era modern. Menurut Ricardo, perdagangan

yang sama-sama menguntungkan bagi negara-negara yang terlibat. Hal itu karena perdagangan bebas memungkinkan setiap negara untuk mengkhususkan diri pada produksi komoditas yang memberi negara tersebut keuntungan

bebas menghasilkan

situasi

73 Ibid., h. 14.

komparatif. 74 Argumen Ricardo tak ayal bertendensi pada penolakan intervensi negara dalam perdagangan.

Herbert Spencer, dengan bertolak pada teori Charles Robert Darwin (1809-1882) tentang evolusi melalui seleksi alam, membatasi tugas negara hanya untuk melindungi individu dari agresi internal dan eksternal. Setiap intervensi atas kerja swasta, menurut Spencer, akan menghasilkan stagnasi sosial, korupsi politik, serta terciptanya birokrasi yang lamban, gemuk, dan tak efisien. Bagi Spencer, pasar bebas merupakan bentuk paling beradab dari persaingan antarmanusia yang secara alamiah akan menempatkan pihak yang terkuat sebagai pemenang (the survival of the fittest). Spencer percaya bahwa kapitalisme akan menjadi sistem final yang dituju masyarakat dunia di bawah kepemimpinan negara-negara

Anglo-Amerika. 75

F.X. Adji Samekto menyatakan bahwa sejak globalisasi diwacanakan pada dekade 1990-an, digulirkan pula isu demokratisasi ke seluruh dunia

dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi. 76

F.X. Adji Samekto menilai bahwa ada semacam simbiosis mutualisme antara tuntutan diberlakukannya sistem demokrasi dengan pasar bebas, yakni bahwa pasar bebas bakal memberi keuntungan bagi kepentingan

74 Ibid., h. 15.

75 Ibid., h. 16. 76 F.X. Adji Samekto, Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan (Yogyakarta:

Genta Press, 2008), h. 61.

kapitalisme di wilayah tempat permintaan dan penawaran berlangsung yang dijamin dengan adanya demokrasi.

Menurut Thomas L. Friedman, 77 sebagai sebuah sistem globalisasi memiliki ciri istimewa bila dibandingkan dengan Perang Dingin. Perang

Dingin mempunyai kata kunci divisi (pengelompokan) sementara kata kunci untuk globalisasi adalah integrasi (penyatuan). Dunia menjadi tempat untuk menjalin hubungan. Dewasa ini, peluang dan ancaman suatu negara atau perusahaan semakin tergantung dari kepada siapa negara atau perusahaan tersebut dihubungkan.

Dalam Perang Dingin, semua negara berusaha meraih jalur-langsung (hotline) yang merupakan simbol bahwa dunia ini terbagi-bagi, namun hanya Amerika Serikat dan Uni Soviet yang dapat melakukannya. Dalam globalisasi, negara-negara berupaya meraih internet, yang merupakan simbol bahwa setiap negara menjadi terhubung kian erat dengan negara lain, dan tak seorang pun yang benar-benar berwenang atas negara-

negara tersebut. 78

Seturut dengan Thomas L. Friedman, Alison Brysk, mahaguru dalam ilmu politik pada Universitas California, juga mengungkapkan pandangannya tentang relasi antara negara dan informasi. Menurut Brysk, negara bisa saja melakukan perubahan dari atas dan bawah karena

77 Thomas L. Friedman, Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun, diterjemahkan oleh Tim Penerbit ITB (Bandung: Penerbit ITB, 2002), h. 8. 78 Ibid.

negaralah yang berwenang mengendalikan wilayah, kekuasaan, dan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Namun demikian, negara tidak bisa (dan tidak boleh) memonopoli

informasi. 79

Negara-negara yang melibatkan diri dalam globalisasi wajib mempunyai sumber daya teknologi baru, terutama teknologi informasi, komputer, dan peranti yang lain untuk berhubungan dengan dunia luar. Namun, menurut Joseph E. Stiglitz, teknologi canggih adalah permainan tingkat tinggi yang membutuhkan dukungan investasi yang sangat besar. Hanya negara-negara industri maju dan perusahaan-perusahaan besar

yang dapat memiliki teknologi canggih. 80 Ironisnya, teknologi baru yang diperkuat dengan peraturan perdagangan yang baru malah semakin

memperkuat kedudukan perusahaan-perusahaan yang dominan dan memiliki modal yang besar seperti Microsoft, perusahaan yang berasal

dari Amerika Serikat. 81

Survei Financial Times (28 Januari 1999) mengungkapkan fakta menarik. Dari 500 perusahaan terbesar dunia, 244 perusahaan berasal dari Amerika Serikat, 46 perusahaan berasal dari Jepang, dan 23 perusahaan berasal dari Jerman. Meskipun perusahaan-perusahaan

79 Shayne Weyker, “The Ironies of Information Technology” dalam Alison Brysk (ed.), Globalization and Human Rights (California: University of California Press, 2002), h. 116. 80 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi menuju Dunia yang Lebih Adil, diterjemahkan oleh Edrijani Azwaldi (Bandung: Mizan, 2007), h. 117. 81 Ibid., h. 118.

besar dunia yang berasal dari Eropa dikumpulkan, jumlahnya hanya 173 perusahaan, masih jauh dari jumlah perusahaan besar yang dimiliki dan dikendalikan Amerika Serikat. Jika melihat 25 perusahaan terbesar dunia yang berkapitalisasi melebihi AS$86 miliar, terungkap bahwa lebih dari 70 persen adalah perusahaan Amerika Serikat, 26 persen perusahaan Eropa,

dan 4 persen perusahaan Jepang. 82

Joseph E. Stiglitz, mantan senior vice precident World Bank dan pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi pada tahun 2001, membuat ilustrasi faktual berkenaan dengan relasi antara globalisasi dan penguasaan teknologi:

[K]ota Bongalore di India memiliki teknologi dan orang-orang untuk menjalankannya, namun tidak demikian halnya dengan Afrika. Pada saat globalisasi dan teknologi baru mengurangi kesenjangan antara India, China, dan negara-negara industri maju, kesenjangan antara Afrika dan belahan dunia yang lain justru meningkat. Demikian pula halnya dalam suatu negara, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin meningkat. Dan bersama dengan itu, kesenjangan antara

mereka yang mampu dan tidak mampu bersaing juga meningkat. 83