Kedaulatan Negara di Ruang-maya
A. Kedaulatan Negara di Ruang-maya
1. Peran Negara dalam Konteks Global: Reinterpretasi Gagasan Kedaulatan Negara
Globalisasi telah menjadi sebuah diskursus yang mewarnai segenap pemikiran dalam setiap bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, kebudayaan, maupun hukum. Meskipun secara teoretis- akademis gagasan globalisasi selalu berada dalam ranah perdebatan dan tidak sedikit pula yang menolak elemen primer gagasan itu yang, antara lain, dijiwai oleh semangat liberalisme, tak dapat dimungkiri bahwa secara praksis globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Persoalannya adalah bagaimana cara manusia menyiasati suatu era yang pada dasarnya telah mengglobal itu, di mana sekat-sekat primordial seperti suku, bangsa, wilayah, dan bahkan negara sejatinya telah menciut dan melebur dalam satu dunia yang saling terhubung.
Globalisasi kontemporer yang timbul berkat perkembangan teknologi informasi semenjak penemuan internet memiliki pengaruh yang melebihi globalisasi yang terjadi pada abad-abad sebelumnya. Globalisasi di masa lampau, yang dipicu oleh semangat penyebaran agama, pencarian bahan baku industri, dan perkembangan teknologi Globalisasi kontemporer yang timbul berkat perkembangan teknologi informasi semenjak penemuan internet memiliki pengaruh yang melebihi globalisasi yang terjadi pada abad-abad sebelumnya. Globalisasi di masa lampau, yang dipicu oleh semangat penyebaran agama, pencarian bahan baku industri, dan perkembangan teknologi
benar telah menyingkap batas-batas dunia. Internet bahkan telah bermanifestasi menjadi suatu rezim hukum baru dengan anasir yang sedikit-banyak berbeda dari rezim hukum konvensional. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa internet tak sekadar menciptakan suatu dunia tanpa-batas (borderless world), tetapi juga hukum tanpa-
batas (borderless law). 116
Globalisasi kontemporer mulai menampakkan wujudnya setelah “kemenangan” Amerika Serikat dan sekutunya atas Uni Soviet dan sekutunya dalam Perang Dingin. Inefisiensi sistem pengelolalan negara, yang berakibat pada terpuruknya ekonomi dan merosotnya kehidupan sosial warga, membuat Uni Soviet terpecah menjadi beberapa negara kecil pada tahun 1989-1991. Hal itu dimulai tatkala Mikhail Gorbachev memegang tampuk kekuasaan menggantikan Andrey Gromyko.
Menurut Erman Rajagukguk, globalisasi dapat dikatakan sudah terjadi sejak dimulainya perdagangan rempah-rempah dan tanam-paksa di Jawa hingga tumbuhnya perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda pada abad ke-19. Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia”, Pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara ke-44 (Medan: 20 November 2001), h. 1-2.
Istilah “borderless law” penulis pinjam dari Sulistyowati Irianto ketika ia menjelaskan tentang pluralisme hukum dalam perspektif global yang kemudian menyebabkan timbulnya globalisasi hukum. Sulistyowati Irianto dkk (ed.), Kajian Sosio-legal (Denpasar dan Jakarta: Pustaka Larasan, Universitas Indonesia, Universitas Leiden, dan Universitas Groningen, 2012), h. 160.
Gorbachev, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet sejak bulan Maret 1985, adalah representasi golongan muda Uni Soviet yang jenuh pada sistem ekonomi-politik komunistis yang diwariskan Vladimir Ilych Lenin (1870-1924) setelah Revolusi Bolshevik pada tahun 1917. Gorbachev menjalankan banyak agenda untuk mereformasi negerinya, yang terkenal dengan ide primernya, perestroika (“restrukturisasi”). Pemaknaan perestroika meluas menjadi kebijakan yang berorientasi pada reformasi ekonomi, yang terdiri dari glasnost (keterbukaan), democratizatsia (demokratisasi), dan novoe
myshlenia (pemikiran baru). 117 Reformasi yang diprakarsai Gorbachev bersumber dari keinsafannya akan kelemahan-kelemahan sistem
sentralistik yang tertutup ala Uni Soviet 118 dan ketertarikannya akan ide demokrasi yang terbuka ala Barat.
Ide-ide reformasi yang diusung Gorbachev memang bagus pada awalnya, tetapi ide-ide tersebut mengandung banyak konsekuensi, baik positif maupun negatif. Katup kebebasan yang perlahan-lahan dibuka Gorbachev tidak diimbangi dengan kekuasaan negara untuk mengontrolnya. Tatkala pemerintah membuka kebebasan pers, dengan segera media massa menyingkap keburukan sistem
117 Michael Kort, A Brief History of Russia (New York: Facts On File, 2008), h. 223-224.
Sistem Uni Soviet, demikian George Soros, barangkali adalah bentuk masyarakat tertutup yang paling komprehensif dalam sejarah manusia. Dalam sistem semacam itu, hanya ada satu konsep yang berlaku, yakni otoritas yang dipaksakan dengan kekuasaan. Sistem politik ala Uni Soviet praktis mencampuri seluruh aspek kehidupan, seperti politik, militer, dan intelektual. George Soros, op. cit., h. 255.
pemerintahan dan menyiarkannya ke penjuru dunia. Ide perestroika terlambat disadari telah bekerja di luar kendali dan mengancam keseluruhan sistem Soviet. Kesadaran nasional dan kelompok etnis minoritas non-Rusia meletup dalam rupa kerusuhan sosial. Di wilayah Kaukasus, konflik terjadi antara umat Kristen Armenia dan kaum Muslim Azerbaijan. Begitupun di Asia tengah, sesama Muslim berbeda
etnis terpantik isu sektarian. 119
Di sisi lain, negara-negara Barat kurang memberi respons yang antusias pada perubahan yang mulai tampak di Uni Soviet. Menurut George Soros, negara-negara Barat tidak benar-benar mendukung transisi pemerintahan di Uni Soviet. Soros mengatakan:
[O]rang menaruh simpati, tetapi simpati yang tidak tulus. [...] Dunia Barat telah bersedia mendukung transisi demokrasi dengan kata- kata tetapi tidak dengan uang, dan bantuan serta nasihat yang diberikan telah diarahkan secara salah oleh bias fundamentalisme pasar. Orang Soviet dan kemudian orang Rusia bersedia menerima, bahkan ingin sekali mendapatkan nasihat dari luar. Mereka menyadari bahwa sistem mereka membusuk dan cenderung mengidolakan Barat. Sialnya, mereka membuat kesalahan [...]: mereka mengira bahwa dunia Barat bakal peduli
dengan tulus ikhlas. 120 [A]pa yang tidak dikatakan (Boris) Yeltsin [pemimpin Uni Soviet
lalu Rusia setelah Gorbachev—pen.] adalah bahwa dia dan banyak orang lain telah menaruh kepercayaan pada Barat, tetapi dunia Barat tidak sanggup memenuhi harapan-harapan mereka yang diakui memang berlebihan. [...] Mula-mula saya mengira bahwa para negarawan Barat hanya tidak memahami apa yang sedang terjadi. Bahwa Gorbachev bersedia mengubah sistem Soviet terlalu bagus untuk dipercaya, sehingga mereka ingin
119 Michael Kort, op. cit., h. 226. 120 George Soros, op. cit., h. 257.
mengujinya. Mereka memasang rintangan lain dan ketika Gorbachev melompatinya mereka memasang rintangan-rintangan yang lebih tinggi lagi. Akhirnya mereka harus mengakui bahwa perubahan itu nyata, tetapi pada saat yang sama mereka telah kehilangan segala rasa hormat terhadap Rusia sebagai sebuah negara adikuasa. Mereka mulai memperlakukan Rusia sebagai
pengemis. 121 Kejatuhan Uni Soviet sebagai rival utama Amerika Serikat dan
sekutunya, dengan demikian, juga turut meneguhkan kemenangan liberalisme atas komunisme. Komunisme, ideologi ciptaan Karl Marx (1818-1883), yang sempat mewarnai pergolakan politik dunia selama berabad-abad terbukti mengandung banyak cacat ketika dipraktikkan
pada aras negara. 122 Komunisme telah berubah: dari ideologi yang dipuja-puja menjadi momok yang dicaci dan dijauhi. Perang Dingin
pun usai dengan diiringi peristiwa-peristiwa dramatis: runtuhnya Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dengan Jerman Timur, berakhirnya Pakta Warsawa (The Warsaw Pact) sebagai perjanjian militer yang pada awalnya dibentuk untuk menyaingi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO), disintegrasi sosial-politik negara-negara bekas Uni Soviet, dan seterusnya.
121 Ibid., h. 286.
Negara komunis yang masih tersisa hingga tulisan ini dibuat antara lain Republik Rakyat China, Kuba, Korea Utara, Laos, dan Vietnam. Khusus untuk Republik Rakyat China, perubahan besar banyak terjadi di negara ini. China ditengarai tak lagi menganut komunisme murni, melainkan komunisme yang telah dimodifikasi menjadi sebuah kapitalisme yang “dikontrol” oleh negara (state capitalism). The Economist, “The Rise of State Capitalism” dalam The Economist, 21-27 Januari 2012 (Rubrik Special Report).
Singkat kata, ekspansi liberalisme dalam bentuk politik (demokrasi liberal) ataupun ekonomi (kapitalisme) ke seluruh dunia tak
menemukan rintangan berarti setelah keruntuhan komunisme. 123 Perundingan dan pertemuan-pertemuan dalam skala bilateral,
regional, dan multilateral pun digelar untuk mempromosikan gagasan demokrasi liberal dan perdagangan bebas. Dalam suatu masa di mana hampir setiap negara di dunia adalah negara demokratis dan— diakui ataupun tidak—juga kapitalis itu, lahirlah World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995.
masalah-masalah perdagangan dunia dan menegakkan prinsip-prinsip yang disepakati
WTO diharapkan
dapat
mengatasi
bersama yang termaktub dalam GATT. 124 WTO adalah penerus GATT dan pengganti cita-cita International Trade Organization (ITO) 125 yang
gagal terwujud karena Amerika Serikat menolak usulan pendiriannya
Namun, Manfred B. Steger mencatat bahwa kemenangan liberalisme tersebut tidak memperhitungkan dua penantang baru yang datang pascakeruntuhan komunisme, yaitu fundamentalisme agama dan nasionalisme etnis. Manfred B. Steger, op. cit., h. 4.
124 Lembaga dan perjanjian GATT mengandung pelbagai prinsip dasar yang merupakan landasan dari GATT sebagai suatu sistem dengan konsepsi dan pemikiran yang integral.
Sebagai lembaga, GATT dibentuk pada tahun 1947 sebagai bagian dari serangkaian lembaga (seperti IMF dan World Bank) yang didirikan untuk menata kembali perekonomian dunia selepas Perang Dunia II. Tujuan GATT bukanlah untuk menerapkan perdagangan bebas yang tanpa rintangan, tetapi untuk menerapkan aturan permainan (rules) sehingga perdagangan internasional dapat berkembang secara transparan dan liberalisasi secara bertahap dapat terwujud melalui serangkaian perundingan lanjutan. Liberalisasi di bidang perdagangan dinilai dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara. H.S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia/UI-Press, 2000), h. 21.
Perundingan untuk membentuk ITO diselenggarakan di Havana, Kuba, pada tahun 1948. ITO pada awalnya diharapkan mempunyai wewenang dan struktur yang serupa dengan IMF dan World Bank. Ibid., h. 20.
pada tahun 1950. Kini hampir seluruh negara di dunia menjadi anggota WTO. Bahkan, negara-negara yang dahulu berhaluan komunisme dan tidak percaya pada mekanisme sistem ekonomi pasar (kapitalisme) kini berbondong-bondong mengadopsi sistem tersebut
dan turut mengikuti perundingan-perundingan di WTO. 126 Padahal, instrumen hukum internasional dalam WTO adalah aturan hukum
yang cacat karena dihasilkan dari tawar-menawar, termasuk tawar- menawar antara negara industri maju dan negara berkembang, di mana dalam setiap tawar-menawar negara industri maju dan
berkuasalah yang biasanya selalu menang. 127
Joseph E. Stiglitz memaparkan ilustrasi faktual yang ironis:
[P]emaksaan kehendak biasanya bersifat asimetris. Ancaman pembatasan perdagangan antara Amerika Serikat dan negara kecil seperti Antigua akan menimbulkan kecaman, tetapi Amerika Serikat tidak akan terlalu ambil pusing jika Antigua mengancam akan melakukan restriksi perdagangan. Jika tindakan itu memengaruhi sejumlah besar negara, maka ancaman pembalasan itu akan mengenai sasaran, seperti kasus subsidi yang diberikan Amerika Serikat kepada petani kapas. Meskipun demikian, peraturan yang cacat lebih baik daripada tidak ada
hukum sama sekali. 128 Persoalannya kemudian adalah bagaimana peran negara dalam
dunia yang telah mengglobal dan bercirikan liberalisme dalam bidang
126 Meskipun demikian, pemerintah di negara-negara yang dahulu berhaluan komunisme itu tidak menyebut secara tegas sistem ekonominya sebagai kapitalisme, melainkan
sistem ekonomi pasar sosialis (socialist market economy). Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006 [ed. ke-2]), h. 141.
127 Joseph E. Stiglitz, op. cit., h. 140. 128 Ibid., h. 140-141.
politik dan ekonomi? Kita mengetahui bersama bahwa liberalisme dapat diasosiasikan dengan proses menghilangnya peran negara dalam seluruh bidang kehidupan. Sebagaimana telah penulis ungkapkan, liberalisme adalah buah pemikiran Adam Smith sebagi reaksi atas paham merkantilisme yang cenderung memosisikan negara sebagai pengendali utama. Kekuasaan negara yang terlampau dominan itulah yang menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam pengelolaan negara sehingga memunculkan korupsi, birokrasi yang lamban, dan segenap keburukan lain. Sistem terpusat ala Uni Soviet membuktikan bahwa kontrol pemerintah yang terlalu besar pada akhirnya akan mampu menggulingkan pemerintahan.
Namun, menurut Didik J. Rachbini, liberalisme yang dicirikan dengan sistem ekonomi pasar sejatinya bukan sebuah pemecah masalah yang baik untuk menyelesaikan semua masalah ekonomi. Pasar sering kali tidak bekerja efektif dalam pelbagai keadaan sehingga muncul apa yang disebut sebagai dampak eksternalitas ekonomi, seperti keresahan sosial, dekadensi moral, dan kerusakan
lingkungan. 129
Negara sesungguhnya memiliki peran yang penting dan potensial sebagai pusat segala bentuk organisasi ekonomi alternatif, seperti perusahaan negara dan koperasi. Kekuasaan negara merupakan
129 Didik J. Rachbini, op. cit., h. 141.
dasar untuk mengubah produksi dan konsumsi dari sentralitas pasar global ke lokal. Kekuasaan negara adalah dasar bagi inovasi teknologi yang berakar pada ikatan komunitas dan solidaritas sosial yang lebih besar. Kekuasaan negara mendefinisikan kembali isu pasar dan meletakkannya dalam konteks sosial-politik untuk membentuk konfigurasi baru kekuatan rakyat yang berupa pasar nasional dan
lokal. 130 Pentingnya peran negara dalam sistem ekonomi pasar— sehingga, dengan demikian, dalam konteks global—dapat dijelaskan
dengan argumen-argumen berikut. 131
Pertama, adanya kegagalan pasar dalam sistem ekonomi membuka kemungkinan masuknya negara untuk membuat supaya sistem ekonomi kembali efektif. Tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan yang baik bagi para pelaku ekonomi. Kehadiran negara penting untuk mencegah supaya keadaan yang buruk tidak bertambah semakin buruk. Oleh karena itu, negara perlu bertindak cepat dengan analisis ekonomi yang tepat menyusun regulasi-regulasi yang diperlukan untuk menjaga kestabilan sistem ekonomi.
Kedua, faktor lain yang menjadi alasan mengapa peran pemerintah atau negara sangat penting adalah kenyataan akan kegagalan distribusi pendapatan dan ketimpangan kesejahteraan di
130 James Petras dan Henry Veltmeyer, op. cit., h. 57. 131 Didik J. Rachbini, op. cit., h. 141-142.
masyarakat. Pasar yang tidak bekerja sempurna dengan infomasi yang tidak merata menyebabkan alokasi sumber-sumber ekonomi tidak terjadi secara adil dan proporsional. Pasar juga akan cenderung menafikan aspek moralitas sehingga individu-individu di dalamnya tidak bertindak atas dasar pertimbangan etis dan moral. Hukum sebagai instrumen penegak moral semestinya digunakan untuk
mencegah supaya hal-hal negatif semacam itu tidak terjadi. 132
Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi dan politik dunia yang berorientasi pada pasar, gagasan tentang kedaulatan negara perlu direinterpretasi kembali. Tujuannya, untuk meraba sejauh mana peran negara telah menyusut dalam konteks global dan faktor-faktor yang menyebabkannya.
Penulis, dalam bagian sebelum ini, telah menyinggung bahwa kedaulatan negara sejatinya tak bisa dilepaskan dari narasi historis, situasi politik, ekonomi, dan budaya suatu bangsa. Dengan menelusuri asal muasal gagasan kedaulatan negara—yang pada praktiknya kerap kali diwarnai kontroversi, perang, nuansa keagamaan, dan politik—diperoleh kesimpulan bahwa kedaulatan
132 Namun, Didik J. Rachbini mengajukan catatan bahwa, pertama, pemerintah yang baik tidak akan mengganggu pasar jika tatanannya telah spontan dan telah menciptakan
efisiensi yang wajar atau bahkan optimal. Intervensi negara tak lagi diperlukan tatkala persaingan yang sehat telah terjadi secara alamiah. Kedua, intervensi pemerintah biasanya
(interest group). Masalah ketidakseimbangan pasar mesti disikapi sebagai bagian dari mekanismenya, bersifat sementara, dan biasanya dapat diselesaikan oleh mekanisme pasar itu sendiri. Jika negara hadir, maka persoalan ekonomi akan bergeser menjadi politik yang konsekuensinya akan diterima secara tak seimbang oleh individu-individu di dalamnya. Ibid., h. 94.
datang karena
kelompok
kepentingan kepentingan
Hal itu dapat kita amati dari fenomena, gagasan, atau era globalisasi. Era globalisasi adalah manifestasi sahih bagaimana kedaulatan negara beroperasi laiknya hasrat manusia. Globalisasi yang bersumber dari semangat liberalisme kini telah menciptakan, menurut James Petras dan Henry Veltmeyer, suatu tata-imperialisme baru. Tata-imperialisme baru, melalui kebijakan neoliberal yang diusulkan oleh lembaga ekonomi internasional seperti IMF dan World Bank yang mana pejabatnya dipilih oleh Departemen Keuangan Amerika Serikat, membentuk keputusan makro-ekonomi dan makro- sosial yang memengaruhi struktur dasar ekonomi dan standar hidup
negara-negara di dunia. 133
Jika di masa lalu otoriterisme didefinisikan sebagai rezim yang merangkul militer dan menolak kebebasan individu serta pemilihan umum, otoriterisme di masa kini justru berasaskan kebebasan individu, liberalisme, demokrasi, dan kapitalisme, namun dengan retorika-retorika palsu yang bertujuan untuk memenangkan
133 James Petras dan Henry Veltmeyer, op. cit., h. 74.
kepentingan negara industri maju. Negara adidaya seperti Amerika Serikat secara tidak langsung mengendalikan pemilihan umum di negara lain melalui mekanisme pemilihan tanpa konsultasi atau pertanggungjawaban publik terhadap pejabat di lembaga-lembaga ekonomi internasional. Pejabat-pejabat yang mengisi lembaga ekonomi internasional tersebut pada akhirnya akan menentukan kebijakan lembaganya yang sedikit-banyak pasti memengaruhi arah kebijakan ekonomi dan politik negara-negara yang membutuhkan bantuan, baik berupa nasihat maupun finansial, dari lembaga ekonomi
internasional itu. 134
Globalisasi terbukti lebih banyak menguntungkan negara industri maju 135 daripada negara berkembang. Lembaga-lembaga
internasional seperti IMF, World Bank, dan WTO yang telah dipercaya untuk membuat aturan dan mengelola perekonomian global ternyata
hanya merefleksikan kepentingan negara-negara industri maju. 136 Dalam beberapa hal, lembaga-lembaga internasional tersebut tidak
dapat dipersalahkan karena mereka dijalankan oleh Amerika Serikat dan negara-negara industri maju lainnya. Namun, kegagalan lembaga-lembaga internasional yang tidak bisa mengelola
134 Ibid.
Joseph E. Stiglitz menulis, “Aturan main globalisasi tidak adil, dirancang secara khusus untuk menguntungkan negara industri maju. Kenyataannya, dewasa ini beberapa perubahan sangat tidak adil sehingga membuat negara-negara miskin menjadi makin terpuruk.” Joseph E. Stiglitz, op. cit., h. 56.
136 Ibid., h. 387.
perekonomian global dengan baik dan bersikap tidak adil terhadap negara berkembang menunjukkan bahwa alasan utama kehadiran lembaga-lembaga internasional itu hanyalah untuk mengamankan kepentingan nasional (baca: kedaulatan negara) Amerika Serikat dan
negara-negara industri maju lainnya. 137
Globalisasi seharusnya tidak menyingkirkan nilai-nilai lokal tetapi kenyataannya melalui globalisasilah negara-negara industri maju (misalnya Amerika Serikat) memaksakan sistem ekonomi dan model budaya (misalnya model liberal Anglo-Amerika) mereka kepada negara-negara berkembang. Pemaksaan sistem ekonomi ini untuk beberapa kasus terlalu dipaksakan, kurang tepat, dan cenderung
merusak. 138 Inilah otoriterisme jenis baru yang berakar dari hasrat manusiawi akan kedaulatan negara, yang diusung globalisasi setelah
kemenangan mutlak liberalisme atas rival-rivalnya pada pengujung abad keduapuluh. 139
Kedaulatan negara di era globalisasi ini bahkan berhasrat lebih jauh lagi, yakni berusaha menjangkau dan menegakkan yurisdiksinya
137 Ibid., h. 389. 138 Ibid., h. 56.
Berakhirnya Perang Dingin dan hilangnya persaingan dengan ideologi komunisme memberikan dua kesempatan kepada Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adikuasa yang tersisa: (1) membentuk kembali perekonomian global berdasarkan prinsip- prinsip keadilan dan kepedulian kepada kaum miskin, atau (2) membentuk kembali perekonomian
sendiri dan korporasi internasionalnya. Pada akhirnya, Amerika Serikat terbukti memilih opsi kedua. Ibid., h. 389.
global
berdasarkan
kepentingannya kepentingannya
Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa internet memang laksana pedang bermata dua. Di satu sisi internet dapat memberi kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan peradaban manusia, namun di sisi lain internet juga menyediakan ruang yang potensial memantik beragam tindak pidana baru yang tidak dikenal di era sebelumnya.
Oleh karena itu setiap pengguna internet mesti memahami esensi teknologi menurut Martin Heidegger. Pemahaman akan teknologi, demikian Martin Heidegger, mesti dibebaskan dari penafsiran yang subyektivistik, yang memandang teknologi hanya secara instrumental dan antropologis. Sikap semacam ini hanya akan memosisikan manusia sebagai tuan atas segalanya dan kehilangan esensi dari kemajuan yang telah dicapai teknologi.
2. Arsitektur Internet dan Fungsi Regulasi Negara
Dalam bukunya, Code: Version 2.0 (2006), yang merupakan edisi revisi atas buku sebelumnya, Code and Other Laws of Cyberspace (2000), Lawrence Lessig menyebutkan soal regulabilitas (regulability) di ruang-maya. Regulabilitas adalah kemampuan pemerintah untuk Dalam bukunya, Code: Version 2.0 (2006), yang merupakan edisi revisi atas buku sebelumnya, Code and Other Laws of Cyberspace (2000), Lawrence Lessig menyebutkan soal regulabilitas (regulability) di ruang-maya. Regulabilitas adalah kemampuan pemerintah untuk
mana mereka, dan (3) apa yang mereka lakukan. 140
Berkenaan dengan tiga hal tersebut, Lessig menerangkan arsitektur kendali (architectures of control) yang berlaku secara alamiah di internet. Arsitektur kendali mengandung makna bahwa jika negara tidak mengetahui benar siapa yang diatur, di mana dia atau mereka, atau apa yang dia atau mereka lakukan, negara tidak dapat mengatur internet secara semena-mena. Internet secara alamiah memiliki arsitekturnya sendiri, dan mengatur perilaku manusia di internet bukanlah sesuatu yang mudah. Internet pada dasarnya tidak dirancang (architected) oleh negara, melainkan oleh para pengguna internet itu sendiri, dengan tujuan untuk perdagangan. Internet tidak tercipta karena konspirasi pemerintah, tetapi semata-mata sebagai konsekuensi dari perubahan yang dibuat secara pragmatis, yang
bermotifkan ekonomi. 141
140 Lawrence Lessig, Code: Version 2.0, op. cit., h. 23.
Ibid., 38. Lessig mencontohkan satu peristiwa di Jerman pada bulan Januari 1995. Pada masa itu, Jerman menetapkan aturan tentang pornografi. Compuserve, penyelenggara jasa internet besar pertama di Amerika Serikat, menyediakan konten porno dalam layanannya. Pemerintah Jerman memerintahkan Compuserve agar menghapus layanan pornonya. Bila tidak, pemerintah mengancam akan memidanakan pimpinannya. Tetapi Compuserve gamang. Menghapus layanan porno berarti menghapus seluruh layanan porno di seluruh dunia. Akhirnya, karena tidak mau merugi,
Untuk menetapkan regulasi di ruang-maya, negara perlu memastikan “siapa melakukan apa dan di mana”. Untuk mengetahui “siapa”, negara harus mengetahui cara kerja “identifikasi” secara umum dan bagaimana ia bekerja di dalam internet. Identifikasi berpusar pada tiga hal, yaitu (1) “identitas”, (2) “otentikasi”, (3) dan
“surat kepercayaan”. 142
Identitas dapat ditunjukkan, misalnya, dengan memperlihatkan kartu tanda penduduk (KTP). KTP memuat, antara lain, jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan status perkawinan. Namun, KTP perlu diotentikasi: apakah benar bahwa si fulan sudah menikah? Bagaimana jika ia menunjukkan cincin kawinnya? Tetapi, apakah benar cincin yang dipakai di jarinya itu adalah sebuah cincin kawin? Untuk lebih memberi kepastian pada otentikasi, dibutuhkan surat kepercayaan. Oh, ya, si fulan memang sudah menikah; buktinya, ia dapat menunjukkan akta nikahnya. Maka kita pun merasa teryakinkan akan kepastian status si fulan. Surat kepercayaan, dengan demikian, menjadi peranti yang tak terelakkan untuk “mengamankan” proses
otentikasi. 143
Compuserve membuat sistem yang mampu memfilter konten secara negara per negara. Ibid., h. 39. Dari sini dapat ditangkap pengertian bahwa kendali utama internet sesungguhnya bukan negara.
142 Ibid. 143 Ibid., h. 42.
Identifikasi dan otentikasi di dunia nyata dan ruang-maya secara teoretis tampak sama, tetapi secara praktis jauh berbeda. Internet dibangun dari seperangkat protokol yang secara umum disebut dengan TCP/IP. Dalam TCP/IP terkandung protokol-protokol untuk pertukaran data di antara dua mesin pada suatu jaringan. Sistem mengambil sejumput data (misalnya sebuah file), memotong- motongnya ke dalam paket, dan mengirim paket itu ke alamat pengiriman (disebut “alamat IP”). Paket melewati jalan (disebut “routers”) sebelum sampai ke mesin penerima dan menggabungkan file yang terpotong-potong tadi melalui kode algoritma. Namun, dalam jaringan itu tidak terkandung otentikasi apapun yang menunjukkan
apa isi paket itu, datang dari mana, dan dari siapa. 144 Interpretasi mesinlah yang kemudian akan menerima (disebut “mengenkripsi”)
paket itu dalam wujudnya yang anonim.
Minimalitas arsitektur internet yang semacam itu bukanlah sebuah kekurangan. Justru karena arsitektur internet yang sesederhana itu, maka fungsi yang berbeda-beda bergantung pada aplikasi yang menerima data dapat dimungkinkan. Fungsionalitas internet ditampilkan oleh aplikasi yang terkoneksi ke internet, bukan oleh internet itu sendiri. Prinsip tersebut dinamakan oleh para arsitek internet seperti Jerome Saltzer, David Clark, dan David Reed sebagai prinsip end-to-end. Prinsip end-to-end adalah inti arsitektur internet,
144 Ibid., 44.
dan menjadi alasan mengapa internet bertumbuh dan berinovasi dengan sangat pesat. Menurut prinsip end-to-end, jika di dunia nyata anonimitas sengaja diciptakan, di ruang-maya anonimitas terberi
(given). 145
Ketiadaan otentikasi relatif di ruang-maya membuat sangat sulit mengatur perilaku di sana. Negara bisa saja berkata, “Jangan biarkan anak-anak melihat tayangan porno,” tetapi operator situs-web tidak akan pernah dapat mengetahui entitas yang mengakses situs-webnya itu adalah anak kecil ataukah orang dewasa. Hanya saja, situs-web tertentu yang mensyaratkan pendaftaran bagi penggunanya dapat mengenali identitas pengguna internet yang bersangkutan, misalnya Facebook, Twitter, dan jejaring sosial lain. Namun, identifikasi di ruang-maya masih menyisakan persoalan: apakah identitas yang dikenali internet adalah identitas yang benar-benar eksis dan sama di dunia nyata?
Edisi kedua buku Lessig sesungguhnya bertolak belakang secara substansial dengan edisi pertama bukunya. Kalau dalam Code and Other Laws of Cyberspace (2000) Lessig cenderung bersikukuh bahwa negara tidak akan pernah dapat mengatur internet dan hal itu adalah sesuatu yang baik, maka pada Code: Version 2.0 (2006) pendapat Lessig justru sebaliknya. Meskipun merupakan sesuatu
145 Ibid., 45.
yang lumrah jika mengatakan bahwa pemerintah tidak dapat mengatur internet, untuk hal-hal tertentu seperti kepentingan pemberantasan spam, virus komputer, pencurian identitas, pembajakan karya kekayaan intelektual, dan eksploitasi seksual terhadap anak-anak
regulasi negara amat sangat diperlukan. 146
Lessig mengatakan bahwa negara semestinya memberantas segala keburukan-keburukan di ruang-maya. Lessig percaya bahwa negara dapat menegakkan peraturan di ruang-maya. Konsekuensi nyata dari pengaruh-pengaruh yang jelas dari internet akan secara radikal meningkatkan kemampuan pemerintah untuk mengaturnya. Peraturan penting untuk melindungi dan menjaga kebebasan- kebebasan dasar. Namun demikian, menurut Lessig, masa ketika negara memiliki kemampuan untuk menegakkan regulasi secara partikular semacam itu masih akan jauh bagi kita. Skeptisisme tersebut berasal dari asumsi bahwa (1) negara masih belum dapat membebaskan fungsi kepemerintahannya dari penyakit bernama korupsi dan (2) sampai saat ini belum ada pengakuan yang total dari semua kalangan mengenai bagaimana bekerjanya regulasi di ruang-
maya. 147
146 Ibid., 27. 147 Ibid., 28.
3. Kerjasama Internasional dalam Rezim Hukum Baru
Kerjasama internasional telah diselenggarakan untuk menegaskan sikap negara-negara terhadap ruang-maya, rezim hukum baru yang berbeda secara tradisional dengan sistem negara. Kerjasama yang digelar antara lain berupa konferensi-konferensi yang mempunyai lingkup regional dan global dan perundingan di organisasi-organisasi internasional seperti United Nations Commissions on International Trade Law (Uncitral), Council of Europe (Dewan Eropa), European Union (Uni Eropa), Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC), Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Dalam konferensi dan perundingan yang telah berlangsung, negara-negara bersepakat menyusun peraturan tertulis sebagai bentuk kerjasama antarnegara yang secara bersama-sama bertekad menegakkan hukum di ruang-maya. Meskipun tidak semuanya, regulasi yang tersusun pada umumnya mengatur kerjasama di bidang ekonomi dan perdagangan.
Kejahatan internet yang secara bersama-sama ditolak oleh negara-negara adalah kejahatan atau tindak pidana perdagangan elektronik (electronic commerce, e-commerce) dan sejenisnya. Hampir tidak ada regulasi yang berupaya mengancam pidana terhadap individu berkenaan dengan tindak pidana subyektif seperti Kejahatan internet yang secara bersama-sama ditolak oleh negara-negara adalah kejahatan atau tindak pidana perdagangan elektronik (electronic commerce, e-commerce) dan sejenisnya. Hampir tidak ada regulasi yang berupaya mengancam pidana terhadap individu berkenaan dengan tindak pidana subyektif seperti
a. Model hukum perdagangan elektronik menurut Uncitral
Uncitral menyusun dan mengembangkan model hukum mengenai perdagangan elektronik yang menjadi dasar untuk hukum perdagangan elektronik di sejumlah negara. The Uncitral Model Law on Electronic Commerce dihasilkan pada tahun 1995 berdasarkan perumusan yang bersinambungan sejak tahun 1978. Majelis Umum PBB akhirnya menyetujui model hukum tersebut dengan Resolusi 51/162 pada tanggal 16 Desember 1996.
Model hukum perdagangan elektronik Uncitral merupakan landasan untuk mengatur otentikasi, perlengkapan, dan dampak pesan elektronik berbasis komputer dalam perdagangan. Model hukum perdagangan elektronik Uncitral berupaya (1) mendefinisikan kontrak elektronik dan memberi pengaturan terkait penerimaan dan kekuatan pembuktian dari bukti elektronik, (2) mengatur perdagangan elektronik secara spesifik untuk perundang-undangan nasional, dan (3) memberi aturan yang pasti untuk transaksi berbasis elektronik.
Model hukum perdagangan elektronik Uncitral menyatakan bahwa penafsiran peraturan ini harus dilakukan dengan niat baik dan sesuai dengan (1) prinsip hukum internasional dan (2) persyaratan khusus Model hukum perdagangan elektronik Uncitral menyatakan bahwa penafsiran peraturan ini harus dilakukan dengan niat baik dan sesuai dengan (1) prinsip hukum internasional dan (2) persyaratan khusus
b. Model hukum tandatangan elektronik menurut Uncitral
The Uncitral Model Law on Electronic Signatures (2001) dihasilkan sebagai implementasi dari The Uncitral Model Law on Electronic Commerce (1995). Model hukum tandatangan elektronik ini ditujukan untuk
mengharmonisasikan, memodernisasikan, dan menciptakan kerangka legislatif yang adil untuk dapat menangani secara lebih efektif persoalan dalam tandatangan elektronik.
Tujuan dari model hukum tandatangan elektronik Uncitral adalah untuk memberi dasar hukum dalam penggunaan tandatangan elektronik dan perlakuan yang sama terhadap dokumentasi tertulis dan informasi elektronik. Model hukum tandatangan elektronik Uncitral memperhatikan prinsip tentang tidak adanya diskriminasi terhadap berbagai teknik yang mungkin dapat dipakai untuk berkomunikasi atau disimpan informasinya secara elektronik.
c. Model hukum transfer dana internasional menurut Uncitral
The Uncitral Model Law on International Credit Transfer (1994) memuat ketentuan-ketentuan mengenai transfer dana yang dilakukan secara lintas-batas, yaitu transfer dana yang dilakukan oleh bank The Uncitral Model Law on International Credit Transfer (1994) memuat ketentuan-ketentuan mengenai transfer dana yang dilakukan secara lintas-batas, yaitu transfer dana yang dilakukan oleh bank
Model hukum transfer dana internasional Uncitral mengartikan istilah “transfer dana” secara luas, yakni serangkaian kegiatan yang diawali dari perintah pengirim mengenai pembayaran berupa sejumlah dana tertentu kepada penerima. Istilah tersebut juga mencakup setiap perintah pembayaran oleh bank pengirim asal atau setiap bank penerus guna melaksanakan perintah pembayaran dari pengirim asal.
Serangkaian kegiatan dalam cakupan arti transfer dana juga tidak terbatas pada kegiatan transfer dana yang dilakukan secara elektronik atau dari satu komputer ke komputer lain, tetapi juga serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan perintah pembayaran melalui pengurusan dokumen-dokumen perintah pembayaran.
Model hukum transfer dana internasional Uncitral bersifat terbuka dan tidak eksklusif. Artinya, para pihak dapat membuat ketentuan atau persyaratan-persyaratan disepakati di samping ketentuan-ketentuan dalam model hukum transfer dana internasional Uncitral.
Perumus model hukum transfer dana internasional Uncitral menyadari kemungkinan timbulnya sengketa hukum karena transfer dana yang bersifat lintas batas negara. Dalam hal terjadinya sengketa hukum, model hukum transfer dana internasional Uncitral menempatkan kebebasan para pihak untuk menentukan hukum mana Perumus model hukum transfer dana internasional Uncitral menyadari kemungkinan timbulnya sengketa hukum karena transfer dana yang bersifat lintas batas negara. Dalam hal terjadinya sengketa hukum, model hukum transfer dana internasional Uncitral menempatkan kebebasan para pihak untuk menentukan hukum mana
Model hukum transfer dana internasional Uncitral tidak hanya berlaku terhadap bank, melainkan juga lembaga keuangan lainnya yang berfungsi mentransfer dana ke luar negeri sebagai bidang pekerjaannya. Model hukum transfer dana internasional Uncitral juga menegaskan bahwa anak atau cabang-cabang bank yang berada di luar negeri dianggap sebagai bank yang terpisah dari induknya
(separate bank). Ketentuan ini semata-mata dimaksudkan demi kepastian hukum.
d. Konvensi tentang tindak pidana di ruang-maya menurut Dewan Eropa
Instrumen hukum internasional yang mengatur masalah tindak pidana di ruang-maya (cybercrime, seharusnya cyberspace-crime) yang saat ini paling mendapat perhatian adalah Convention on Cybercrime yang digagas oleh Dewan Eropa pada tahun 2001. Kendati pada awalnya dibuat oleh organisasi regional, yaitu Dewan Eropa, dalam perkembangannya, konvensi ini dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi oleh negara manapun di seluruh dunia yang Instrumen hukum internasional yang mengatur masalah tindak pidana di ruang-maya (cybercrime, seharusnya cyberspace-crime) yang saat ini paling mendapat perhatian adalah Convention on Cybercrime yang digagas oleh Dewan Eropa pada tahun 2001. Kendati pada awalnya dibuat oleh organisasi regional, yaitu Dewan Eropa, dalam perkembangannya, konvensi ini dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi oleh negara manapun di seluruh dunia yang
Di Budapest, Hongaria, pada tanggal 23 November 2001, negara- negara Eropa menyusun dan menyepakati Convention on Cybercrime yang lalu dimasukkan dalam European Treaty Series Nomor 185. Substansi konvensi tersebut mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan pidana (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindak pidana di ruang-maya, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional.
Convention on Cybercrime (2001) disepakati oleh Dewan Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diaksesi oleh negara manapun di seluruh dunia. Hal ini dimaksudkan supaya konvensi tersebut dapat menjadi norma dan instrumen hukum internasional dalam agenda pemberantasan tindak pidana di ruang-maya.
e. Model hukum perdagangan elektronik menurut Uni Eropa
Uni Eropa mengatur perdagangan elektronik yang terdiri dari The General EU Electronic Commerce Directive pada tanggal 4 Mei 2000, The Electronic Signature Directive pada tanggal 30 November 1999, dan The Brussels Convention on Online Transactions yang berlaku mulai tanggal 1 Maret 2002. Instrumen-instrumen hukum tersebut mengatur tentang hukum kontrak, yurisdiksi dan hukum positif, perdagangan elektronik, perlindungan konsumen, tandatangan Uni Eropa mengatur perdagangan elektronik yang terdiri dari The General EU Electronic Commerce Directive pada tanggal 4 Mei 2000, The Electronic Signature Directive pada tanggal 30 November 1999, dan The Brussels Convention on Online Transactions yang berlaku mulai tanggal 1 Maret 2002. Instrumen-instrumen hukum tersebut mengatur tentang hukum kontrak, yurisdiksi dan hukum positif, perdagangan elektronik, perlindungan konsumen, tandatangan
f. Kerangka hukum perdagangan elektronik menurut ASEAN
ASEAN telah mengeluarkan ASEAN Reference Framework for Electronic Commerce Legal Infrastructure (2001) yang pada dasarnya mengikuti prinsip-prinsip Uncitral yang mengatur hal-hal seperti (1) konsep dasar dan definisi, (2) prinsip-prinsip umum dari hukum perdagangan elektronik, (3) ruang lingkup dan akibat hukum perdagangan elektronik, (4) pengaturan hukum perdagangan elektronik, (5) anggapan hukum perdagangan elektronik, (6) implementasi hukum perdagangan elektronik, dan (7) legislasi yang relevan.
g. Cetak-biru aksi untuk perdagangan elektronik menurut APEC
Pada bulan November 1998, APEC menyusun Blueprint for Action on Electronic Commerce yang menekankan peran pemerintah untuk mendukung dan memfasilitasi perkembangan dan kemajuan perdagangan elektronik dengan (1) menyediakan lingkungan yang efektif, termasuk aspek hukum dan regulasi yang transparan dan konsisten; (2) menyediakan lingkungan yang mendukung kepercayaan dan keyakinan di antara pelaku perdagangan elektronik; (3) mendukung fungsi efisien dari perdagangan elektronik secara Pada bulan November 1998, APEC menyusun Blueprint for Action on Electronic Commerce yang menekankan peran pemerintah untuk mendukung dan memfasilitasi perkembangan dan kemajuan perdagangan elektronik dengan (1) menyediakan lingkungan yang efektif, termasuk aspek hukum dan regulasi yang transparan dan konsisten; (2) menyediakan lingkungan yang mendukung kepercayaan dan keyakinan di antara pelaku perdagangan elektronik; (3) mendukung fungsi efisien dari perdagangan elektronik secara
h. Rencana aksi untuk perdagangan elektronik menurut OECD
OECD mulai merundingkan masalah perdagangan elektronik pada tahun 1998 di Ottawa, Kanada, dengan mengumumkan Action Plan for Electronic Commerce yang antara lain merencanakan untuk (1) membangun kepercayaan untuk pengguna dan konsumen, (2) menetapkan aturan dasar untuk tempat pasar digital, (3) memperbaiki infrastruktur informasi untuk perdagangan elektronik, dan (4) memaksimalkan keuntungan dari perdagangan elektronik.