Kedaulatan Negara: Sebuah Paradoks
A. Kedaulatan Negara: Sebuah Paradoks
Gagasan tentang kedaulatan negara sudah sejak lama menjadi isu sentral dalam perbincangan tentang (ilmu) negara. Kedaulatan negara adalah elemen utama bagi legitimasi pendirian negara modern. Secara yuridis-formalistik, kedaulatan negara mengemuka sejak Konferensi Internasional Ketujuh Negara-negara Amerika di Montevideo, Uruguay, pada tanggal 26 Desember 1933. Dalam dokumen hukum yang dihasilkan konferensi itu, Konvensi Montevideo (Convention on Rights and Duties of States, 1933), negara-negara peserta konferensi merumuskan apa saja unsur yang mesti dipenuhi suatu negara untuk memperoleh kedaulatannya.
Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevideo, suatu negara dianggap sebagai subyek hukum internasional (sehingga, dengan demikian, berdaulat) ketika ia memiliki (1) rakyat yang tetap, (2) wilayah yang berbatas, (3) pemerintah, dan (4) kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain. Sejumlah sarjana, misalnya Oppenheim, Lauterpacht, Chen, Guggenheim, Anzilloti, dan Hans Kelsen, menambah
satu lagi unsur negara berdaulat, yaitu pengakuan. 45 Konvensi
45 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional (Bandung: Keni Media, 2011), h. 73.
Montevideo sendiri menganggap pengakuan bukan sebagai keharusan yang bersifat konstitutif. Suatu negara, demikian Konvensi Montevideo, dapat dikatakan berdaulat dan menjadi subyek hukum internasional ditentukan oleh usaha-usaha, keadaan-keadaan yang nyata, dan kompetensinya menurut hukum nasional, serta tidak perlu menunggu diakui oleh negara lain. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 3 Konvensi Montevideo:
The political existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), term “kedaulatan” berarti “kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya”. Dalam KBBI disebutkan beberapa macam kedaulatan, antara lain kedaulatan hukum (kekuasaan tertinggi terletak atau ada pada hukum); kedaulatan raja (kekuasaan tertinggi ada pada raja); kedaulatan rakyat (kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, demokrasi); kedaulatan Tuhan (kekuasaan tertinggi ada pada Tuhan, teokrasi); dan kedaulatan
negara (kekuasaan tertinggi ada pada negara). 46
Sementara menurut Kamus Hukum Oxford, “sovereignty” (terjemahan harfiah atas kedaulatan) diartikan sebagai “wewenang tertinggi dalam suatu negara” (supreme authority in a state). Di banyak negara,
46 Ebta Setiawan, op. cit.
wewenang itu diseparasikan dalam pelbagai bentuk, misalnya saja lembaga eksekutif, legislatif, dan yudisial. 47
Dalam literatur hukum internasional, kedaulatan negara sering disebut sebagai prasyarat kemunculan yurisdiksi negara. Yurisdiksi negara adalah konsekuensi logis dari suatu negara yang berdaulat. Yurisdiksi negara, menurut Antonio Cassese, didefinisikan sebagai “kewenangan pemerintah pusat dari suatu negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi publik terhadap
individu-individu yang berada dalam wilayahnya”. 48 Hans Kelsen dalam bukunya, Principles of International Law, mengatakan bahwa yurisdiksi
negara merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, prinsip persamaan kedudukan antarnegara, dan prinsip non-intervensi terhadap
urusan domestik negara lain. 49
Dalam perjalanan historisnya, kedaulatan negara sebagai sebuah gagasan kerap diwarnai kontroversi, perang, nuansa keagamaan, dan politik. Susunan politik dan praktik-praktik formal kedaulatan negara
datang lebih dahulu ketimbang teori-teori akademik tentangnya, 50 apalagi
47 “In any state sovereignty is vested in the institution, person, or body having the ultimate authority to impose law on everyone else in the state and the power to alter any pre-
existing law. How and by whom the authority is exercised varies according to the political nature of the state. In many countries the executive, legislative, and judicial powers of sovereignty are exercised by different bodies. One of these bodies may in fact retain sovereignty by having ultimate control over the others.” Elizabeth A. Martin, A Dictionary of Law: Fifth Edition (Oxford: Oxford University Press, 2003), h. 469.
48 Antonio Cassese, International Law, dikutip dalam Huala Adolf, op. cit., h. 163. 49 Hans Kelsen, Principles of International Law, dikutip dalam ibid. 50 Robert Jackson, op. cit., h. xi.
landasan yurisdisnya. Gagasan tentang kedaulatan negara terus eksis hingga permulaan abad keduapuluh satu, di mana terdapat paling tidak duaratus organisasi internasional yang bernama “negara” dan “bangsa”,
dan tetap seperti itu hingga sekarang. 51
Kedaulatan negara mulai dikenal sejak abad keenambelas dan ketujuhbelas dalam sejarah Eropa modern. Eropa di sekitar abad pertengahan (300-1000) mewujud dalam suasana ketidakjelasan susunan organisasi masyarakat beserta pengorganisasian wilayahnya. Perang kerap mewarnai wilayah yang dulunya merupakan salah satu bagian dari Imperium Romawi itu, yang runtuh dan berganti menjadi kerajaan baru bernama Merovingian. Pada gilirannya, Kerajaan Merovingian berganti menjadi Kerajaan Carolingian dengan rajanya yang masyhur, Charlemagne atau Karl yang Agung.
Kerajaan Carolingian, yang kemudian berganti lagi menjadi Kekaisaran Agung Roma, terbagi-bagi dalam beberapa kerajaan yang lebih kecil dengan duke atau duchess sebagai penguasanya. Wilayah tersebut terpilah lagi dalam ratusan tuan tanah atau keluarga bangsawan—disebut count atau countess—yang saling mendaku wilayah
yang disebut regna. 52 Regna-regna inilah cikal-bakal regnum Anglicana (Inggris), Gallicum (Prancis), Hispania (Spanyol), dan seterusnya. Para
51 Ibid., h. ix. 52 Ibid., h. 25.
tuan tanah dan keluarga bangsawan mengadakan perjanjian dengan para kesatria guna mengamankan wilayah mereka. Hasil olahan tanah regna
tersebut kemudian dipersembahkan kepada raja sebagai upeti. 53 Inilah sistem “kenegaraan” waktu itu, yang belum dapat dikatakan sebagai suatu
kedaulatan negara.
Menjelang abad keenambelas dan ketujuhbelas, dilatarbelakangi oleh konflik keagamaan yang kuat dan hasrat kerajaan untuk mengekspansi wilayah kerajaan lain, perang pun berkecamuk di mana-mana. Wibawa Kekaisaran Agung Roma waktu itu mulai surut karena intervensi yang berlebihan oleh gereja atas kekaisaran, sehingga kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekaisaran enggan patuh. Lalu dimulailah apa yang dinamakan Perang Tigapuluh Tahun (Thirty Years War, 1618-1648).
Akibat kerugian perang yang besar dan kekuatan yang selalu imbang, kerajaan-kerajaan terpaksa menerima pilihan bahwa perang harus diselesaikan lewat meja perundingan. Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 berhasil meredam perang dan mengawali babak baru terbentuknya negara modern yang berdaulat. Perjanjian Westphalia telah mengakhiri kekuasaan Kekaisaran Agung Roma, juga menjadi simbol Eropa pasca- reformasi yang berdasar pada pengakuan internasional yang menguntungkan di antara negara-negara Protestan dan Katolik. Sejak
53 Hizkia Yosias Simon Polimpung, “Psikoanalisis Paradoks Kedaulatan Kontemporer: Kasus Kebijakan Global War on Terror Amerika Serikat Semasa Pemerintahan George
W. Bush, Jr., Tesis pada Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional (Jakarta: Universitas Indonesia, 2010), h. 129.
tahun 1648 banyak entitas politik bekas Kekaisaran Agung Roma menjadi merdeka dan menerapkan peraturannya sendiri. Kekaisaran Agung Roma
masih ada, tetapi lebih berupa bayang-bayang dari dirinya sendiri. 54
Perjanjian Westphalia terdiri dari dua subtraktat, yakni (1) traktat Osnabrück yang mengakhiri perselisihan antara Ratu Protestan Swedia melawan Kaisar Habsburg dari Kekaisaran Agung Roma dan (2) traktat Münster yang mengakhiri pertikaian antara Raja Katolik Prancis yang
bertikai dengan Kekaisaran Agung Roma. 55
Perjanjian Westphalia juga memuat dua macam prinsip yang di kemudian hari menjadi landasan konsep kedaulatan negara modern. Pertama, yurisdiksi penuh, yaitu hak raja untuk bebas mengatur wilayah kekuasaannya. Kedua, pengakuan bersama, yaitu pengakuan kedaulatan negara dari negara berdaulat lain yang kemudian melahirkan prinsip non-
intervensi. 56 Dengan demikian, terang bahwa gagasan tentang kedaulatan negara sejatinya tak bisa dilepaskan dari narasi historis, situasi politik,
ekonomi, dan budaya suatu bangsa.
Menurut Hizkia Yosias Simon Polimpung, gagasan kedaulatan negara mengandung paradoks. Kedaulatan negara sesungguhnya merupakan kendaraan bagi suatu fantasi kedirian ideal bagi raja yang notabene
54 Robert Jackson, op. cit., h. 52. 55 Hizkia Yosias Simon Polimpung, op. cit., h. 144. 56 Ibid., h. 146-147.
mustahil. Pembentukan negara berdaulat pada dasarnya dilandasi oleh hasrat raja sebagai individu yang coba mengamankan eksistensi ontologisnya. Kedaulatan negara diumpamakan layaknya manusia yang merasa terancam karena oleh perang dan pemberontakan sipil sehingga
harus mencari “tubuh baru” dalam bentuk negara berdaulat. Bagi raja, kerajaan dan kemudian negara modern merupakan suatu tubuh-super (superbody) yang lebih berkuasa ketimbang dirinya dan fantasi kedirian
ideal. 57 Negara modern adalah kelanjutan dari fantasi kedirian ideal raja pasca-Perjanjian Westphalia. Sebagaimana dikatakan oleh Raja Prancis
Louis XIV, “L’etat, c’est moi,” negara adalah aku.
Hasrat negara akan fantasi kedirian ideal pada akhirnya akan diarahkan untuk semakin memperkuat eksistensi kediriannya yang terepresentasi dalam gagasan kedaulatan negara. Paradoks kedaulatan negara pun bermula: sebagaimana laiknya hasrat, ia mesti diperjuangkan sejauh-jauhnya, bahkan dengan cara menyakiti pihak lain dari dirinya sendiri. Hizkia Yosias Simon Polimpung mengatakan:
[A]pabila kesinambungan kedaulatan itu didasarkan pada suatu identitas primordial, maka identitas ini akan dipertahankan mati-matian demi menjaga keberadaan kedaulatan tersebut. Apabila kedaulatan tersebut didasarkan pada suatu agama, maka agama tersebut akan dipertahankan mati-matian. Upaya mempertahankan ini tidak jarang dengan kekerasan semenjak fasisme selalu mengiringi perjuangan hasrat subyek. Fasisme akan rela memperjuangkan apa saja yang berguna bagi kesinambungan eksistensinya, ia akan rela menyakiti
57 Hizkia Yosias Simon Polimpung, “Menyudahi Analogi Antropomorfisme: Mendamaikan Biologi, Sosiologi, dan Psikologi melalui Psikogenealogi Antropologi Kedaulatan Negara”
dalam Antropologi Indonesia Volume 32 Nomor 2 (Jakarta: 2011), h. 131.
siapa saja termasuk dirinya demi menjaga kedaulatannya yang ilusif itu. 58