Zaman Kolonial Sebagaimana disebutkan pada bab 1.1, salah satu tujuan utama dalam kedatangan kompeni-kompeni
2.4 Zaman Kolonial Sebagaimana disebutkan pada bab 1.1, salah satu tujuan utama dalam kedatangan kompeni-kompeni
perdagangan Eropa ke Asia adalah menguasai lalu-lintas laut demi memonopoli alur perdagangan antara wilayah-wilayah produsen rempah-rempah dan daerah-daerah konsumennya di Eropa dan, setelah profitabilitasnya terbutki, di Asia sendiri – artinya, berbeda dengan Portugal sebagai suatu
negara, VOC dan EIC pada awalnya tidak bertujuan ‘menaklukkan Asia’ 55 , tetapi hanya bermaksud menjadi penyedia transportasi dan penjual satu-satunya beberapa komoditi tertentu yang nilai
pasarnya sangat tinggi. Demi itu, mereka membangun suatu “bureaucratic form of trade” yang berteladan pada cara organisasi suatu perusahaan 56 (yang akhirnya juga dalam sekian banyak poin
menjadi model akan bentuk dan fungsi perusahaan modern) dan ‘mengadministrasikan’ gerakan perdagangan laut di daerah-daerah Asia yang dikuasainya. Sistem administrasi ini misalnya meliputi juga birokratisasi pelabuhan – dan daftar-daftar para syahbandar kompeni-kompeni perdagangan itu adalah salah satu sumber terpenting bagi pengetahuan kita tentang keadaan pelayaran indigen Asia pada zaman itu.
Pada tabel 2.4.1 terlihat sejumlah tipe perahu yang paling banyak digunakan dalam perdagangan dalam Nusantara dan deskripsi atas beberapa sifatnya seperti daya muat, panjangnya, jumlah kru dan daerah operasionalnya berdasarkan catatan-catatan administrasi beberapa pelabuhan VOC dari dekade-dekade akhir abad ke-18. Pada zaman itu ternyata terdapat ‘tipe’ atau ‘kelas’ perahu-perahu yang sangat jelas sifat-sifatnya: Dalam, misalnya, arsip para syahbandar VOC di pantai Utara Jawa,
54 Corriera, 1858:216-18, c.f. Manguin 1980:267 55 Suatu ‘rencana’ yang sebenarnya jauh dari kemampuan Portugal –atau Belanda atau Inggris– yang mungkin
‘mencontohkan diri’ kepada sukses Spanyol di Amerika Tengah dan Selatan. 56 lht. msl. Chaudhuri 1985 82ff
20 Knaap 1996: Jawa Utara 1774-77 + Jarak Berlayar
on an In K Lee 1986: Malaka 1761 dan 1782 oka de ar sed ar ja ar te Perahu
A A Tipe A (la
Tipe perahu kecil lokal, digunakan untuk pelayaran
Baluk sungai dan pantai; lebih sering dimiliki pedagang X X
Cina “Acehnese light attack-boat”, sering digunakan
Banting untuk berdagang oleh orang Aceh dan Melayu; X X
kebanyakan berasal dari pantai timur Aceh
Brigantijn /
Tipe perahu asal Eropa, dibuat di galangan di Asia (Jawa:
32 Rembang dan Juwana); dua tiang, layar andang-andang, “Several hundred ton and a crew of two hundred” –
Bark
bergeladak, kemudi barat (lht gambar 2.4.3)
atau– 400-600 ton (metrik?), kru 60 orang
Daya muat 30-100 last, kru rata-rata 30-40 orang;
Tipe perahu asal Eropa, dibuat di galangan di Asia (Jawa: lebih sering digunakan oleh pedagang Eropa yang
Chialoup
40 20 Rembang dan Juwana); satu-dua tiang, layar fore-and-aft, 75 bergeladak, kemudi barat (lht gambar 2.4.4)
tinggal di Asia dan saudagar Cina; berdagang sampai
“Java, Burma, Thailand and Cambodia”
Gonting
X X x Jukong
10 “A bigger type of mayang, minus the curved bow and stern”, Kru 10-15 orang, tendensi milik orang non-Melayu 60 satu tiang, layar tanjaq, tidak bergeladak
X Kakap
<4 c.30
4 Perahu bercadik, satu layar jenis lete; “small multi-purpose boat”, tidak bergeladak
Kru 7-20 orang; tipe lokal Malaya
“The most common type”, berasal dari perahu perikanan;
Mayang
4 6 satu tiang, layar tanjaq, tanpa cadik, tidak bergeladak (lht.
gambar 2.4.5)
Paduwakang Perahu “Bugis”; tak disebut dalam daftar tahun
X X x Paduwang Perahu bercadik asal Madura, dua layar (lete dan layar kecil
15 Berasal dari / dimiliki oleh pedagang Sulawesi; dua-tiga tiang,
6 50 ++ layar tanjaq, bergeladak (lht. gambar nnn)
1761, tetapi tercatat dalam daftar tahun 1782
<4 c.30
4 pada anjong), tidak bergeladak; perahu muatan
9 Pencalang Tipe perahu asal Malaya, tetapi “certainly copied by Javanese Kru 7-20 orang; tipe lokal Malaya
X X X x Penjajab
60 shipwrights”; satu tiang, layar tanjaq, bergeladak
X X Perahu
Kru 7-20 orang; tipe lokal Malaya
X Sampan
Kru 2-3 orang; berukuran kecil
4 c.30
5 Satu tiang, tanpa cadik, paling sering disebut di pelabuhan- pelabuhan Java Timur; “jukong tanpa cadik”
X Tabel 2.4.1: Beberapa tipe perahu yang disebut dalam daftar-daftar syahbandar VOC pada pertengahan kedua abad ke-18
c.10 Wangkang Berasal dari / dimiliki oleh orang Cina; dua-tiga tiang, layar
0 c.80 junk, kemudi tengah Cina, bergeladak
* 1=4000lbs / 32 pikul / 1.81 metric tons
+ Diperkirakan atas jarak berlayar dari pelabuhan / daerah asalnya; ‘Lokal’: di antara pelabuhan yang berdekatan; ‘dekat’: <200nm; ‘sedang’: 200-1000nm; ‘jauh’: >1000 nm; tanda x menandai bahwa kadang-kadang tipe perahu itu juga terdapat pada daerah-daerah di luar jarak tempuh ‘biasa’
** 1=0.305m
++ Menurut Knaap (1996:36) angka ini seharusnya diragukan karena berbeda jauh dengan angka perbandingan daya muat / jumlah awak pada tipe-tipe perahu lain; “however, the same picture emerged from the 1774-77 harbourmaster’s administration of Makassar”
Tabel 2.4.2: Knaap 1995:66 - Kebangsaan nakhoda-nakhoda beberapa tipe perahu
Knaap mendapatkan 47 istilah akan jenis-jenis perahu dan kapal, dan di antara ribuan entri dalam daftar-daftar tersebut hanya “18 times or less then 0.1%” disebutkan ‘tipe tak dikenal’ 57 . Nama-nama
tipe perahu yang disebutkan sebagai kendaraan laut yang berlayar ke tujuan yang lebih jauh daripada 200 mil laut (nautical miles – nm) muncul juga dalam daftar yang serupa dari Malaka, sehingga hanya
jenis-jenis perahu kecil yang bergerak secara lokal dalam masing-masing daerahnya saja tak dikenali di Jawa atau Malaka. Dari daftar-daftar ini dapat kita simpulkan bahwa tipe-tipe perahu yang digunakan dalam perdagangan jarak jauh di Nusantara pada waktu itu cukup seragam, dan bahwa hanya beberapa tipe tertentu melayari jalur-jalur perdagangan jarak jauh: Dari 15 jenis perahu yang diambil sebagai contoh di sini, cuma 5 tipe terdapat baik di Jawa maupun di Malaka.
Ternyata juga pada zaman itu di Nusantara sudah tak lagi
Gambar 2.4.3: Tipe perahu brigantijn
terdapat sejenis perahu indigen Asia yang daya muatnya di atas 12 last (sekitar 20 ton metrik) selain perahu wangkang asal Cina – kedua tipe perahu yang melayari tujuan-tujuan di atas jarak 1.000nm, bark/brigantijn dan chialoup, adalah jenis perahu asal tradisi perkapalan Eropa yang sebagiannya dibuat di Asia sendiri. Akan tetapi, sebagaimana terlihat pada tabel 2.4.2, sebagian besar para nakhoda tipe-tipe perahu tersebut bukan orang Eropa: Bagi tipe bark/brigantijn (gambar 2.4.3) angka perbandingan nakhoda Eropa:Non-Eropa adalah 1:1,5, dan pada tipe chialoup (gambar 2.4.4) angka ini menjadi 1:8,2. Artinya, meski jenis perahunya bukanlah suatu tipe indigen, sebagian besar dari yang melayarkannya adalah pedagang- Gambar 2.4.4: Tipe perahu chialoup pelaut Asia.
57 Knaap 1996:31. Pilihan dalam tabel 2.4.1 berdasarkan argumen Knaap, bahwa “most of these designations were mentioned only occasionally, only 13 occuring 100 times or more” – artinya, sebagian besar perdagangan laut
dilakukan dengannya.
22 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Hal ini dapat membuktikan bahwa para pelaut indigen Asia pada zaman itu telah beralih dari penggunaan tipe-tipe perahu indigen ke perahu- perahu yang berteladan perahu Barat, suatu proses yang menurut Knaap mulai pada awal abad ke-17 58 :
Karena tipe-tipe perahu besar indigen Asia kalah bersaing dengan perahu-perahu asal Eropa Utara
dalam perdagangan dan perang laut 59 , maka para saudagar indigen sampai akhir abad itu mengadopsi
jenis-jenis perahu Barat untuk pelayaran jarak jauh dan mengembangkan tipe-tipe perahu indigen berukuran kecil dan sedang yang sejak ratusan tahun terbukti fisibilitasnya dalam wilayah yang dilayarinya
Gambar 2.4.5: Tipe perahu mayang
masing-masing itu menjadi lebih efisien. Efisiensi tipe-tipe perahu ‘baru’ itu terlihat dalam angka persentase jenis-jenis perahu yang dinakhodai orang Eropa di Jawa Utara: Lebih dari 50% dari orang Barat itu memilih perahu tipe mayang (gambar 2.4.5) dan pencalang sebagai sarana perdagangan mereka.
Sebenarnya, apa keunggulan perahu-perahu Barat terhadap perahu-perahu indigen? Yang pertama pasti kemungkinan untuk melengkapinya dengan persenjataan: Cara pemakaian meriam sebagai alat penyerang dalam pertempuran di laut adalah suatu penemuan Eropa yang memerlukan dan menyebakan sifat-sifat konstruksi lambung perahu tertentu yang tak dimiliki jenis-jenis perahu Asia. Yang kedua adalah keunggulan jenis layar fore-and-aft dan square asal Eropa Utara yang membuktikan diri sebagai lebih efektif dan efisien dalam pelayaran daripada jenis-jenis layar indigen Asia. Di Eropa (dan di perairan Asia) sendiri bahkan armada-armada Portugal dan Spanyol sejak abad ke-17 kalah di tangan Inggris dan Belanda karena kedua negara yang terakhir sempat mengembangkan perahu layar yang mampu membawa lebih banyak meriam dalam sebuah lambung yang lebih lincah – jadi, kita tak usah heran bahwa para saudagar laut Nusantara, India dan Arabia dalam hanya seabad setelah munculnya jenis-jenis perahu baru itu mengadopsinya untuk keperluan perdagangan mereka sendiri.
Sebaliknya, tipe-tipe perahu indigen Nusantara ternyata membuktikan keunggulannya dalam pelayar- an jarak dekat dan sedang: Sebagai sarana transportasi laut yang sejak ratusan tahun disesuaikan dengan kondisi-kondisi setempat, perahu-perahu itu lebih gampang dibangun dan dilayarkan dengan menggunakan tenaga lokal. Hal ini disadari kompeni-kompeni perdagangan Eropa pun, dan di beberapa tempat tipe-tipe perahu lokallah digunakannya untuk tujuan-tujuan perang dan perdagangan mereka – yang terkenal adalah armada perahu kora-kora yang atas nama VOC pada abad ke-17 dan ke-18 menghancurkan tanaman-tanaman cengkeh dan pala ‘liar’ di Maluku.
Selain itu, para pengrajin perahu Jawa dan Sumatera sejak pertengahan abad ke-17 semakin banyak dipekerjakan oleh baik VOC dan pedagang partikuler untuk membangun perahu-perahu layar berukuran sedang tipe Barat, sehingga sifat-sifat konstruksi Eropa menjadi semakin biasa bagi para pembuat perahu:
58 Lht. Knaap 1996:152ff 59 Lht.msl. Chaudhuri 1985:153: “After the capture of Malacca, the Portuguese armadas destroyed so many local ships
that the Javanese merchants were left with no more than ten junks and a similar number of cargo pangajavas.”
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
IND pintu palka The main impetus […] of Europe in this field came from the ENG hatch
fact that the European colonial powers decided to build many MNL palka
of their medium and small-sized vessels in Asia. Since Europe BUG, MAK palakaq
was so far away, it was not only difficult from a point of KON loe
navigation, but also less economical to sail all the way to Asia MAN petaq
with such relatively small craft, which could be built more BAJ bongka peta
BIN, TOM, CIA, cheaply in Asia anyway. This in turn facilitated the transfer of
European shipbuilding technology to local shipwrights and WAN palaka;bong. peta
palaka SIO
carpenters. 60
Laskari, Marathi falka Gujerati dhooro
Salah satu perubahan prinsipiil terjadi dalam cara pembuatan
PORTUGES escotilha; falca
lambung perahu: Sebagaimana disebutkan di atas, perahu-pe- rahu Nusantara sampai saat itu kemungkinan besar dibuat
IND layar topan ENG forestaysail, jib
dengan ‘mengikat’ gading-gadingnya kepada papan-papan kulit;
MNL trinket, jib
setelah semakin banyak perahu Barat sempat dilihat, dibuat dan
BUG, MAK, tarengke KON, MAN
dilayarkan oleh para pengrajin perahu dan pelaut indigen maka
BIN sosoro, jipu
semakin besar kemungkinan bahwa di pusat-pusat perdagangan
TOM jipu
pemasangan gading-gading perahu dilakukan dengan meng-
WAN sosoro, jipu kapabelo, jipu
gunakan pasak (lht. gambar 2.3.1). Hal yang sama mungkin
CIA SIO jipu
terjadi dengan munculnya semakin banyak perahu berukuran
Madura lajur panyucur
sedang dan kecil yang ditutupi dengan geladak – kemungkinan
Bali cocor
inilah alasannya hilangnya tipe-tipe perahu seperti lancara dan
Laskari trikat, tringket Malagasy tringkety
pangajava yang paling banyak disebutkan dalam sumber-sumber
Perancis trinquette
dari abad ke-16 dan ke-17, tetapi tak muncul lagi dalam daftar-
Italia trinchetina
daftar administrasi pelabuhan abad ke-18. Bagaimanapun, per-
Spanyol trinquetilla PORTUGES trinquetilha
ubahan-perubahan ini memunculkan juga sekian banyak masa- lah teknis: Pengalihan dari suatu teknologi yang berdasarkan
IND tali penahan bom ENG boom-topping lift
fleksibilitas lambung perahu ke sebuah teknik yang meng-
MNL mantil boom
utamakan ‘kekakuan’ pasti tak mungkin terjadi tanpa sekian
BUG manteleq
banyak eksperimen dan percobaan 61 .
MAK pammanting ? KON manteleq
Keinginan para saudagar-pelaut untuk memiliki perahu-perahu
MAN, BAJ mantel
yang lebih andal menyebabkan, bahwa sekian banyak pemba-
BIN, TOM, mante WAN, CIA, SIO
haruan teknis terjadi dalam kurun waktu yang cukup singkat.
Laskari mantela
Misalnya, penggunaan beberapa bagian layar fore-and-aft dan
konstruksi geladak yang memakai pintu palka dapat diasum- Tabel 2.4.6: Tiga istilah ‘pinjaman’ sikan menyebar dengan adanya teladan-teladan pertama ke
PORTUGES amantilho
dari Bahasa Portuges dalam seluruh kawasan Samudera India: Dalam hampir semua bahasa beberapa bahasa di kawasan dalam wilayah ini istilah yang berhubungan dengan sekian Samudera India dan Nusan- tara. Keterangan singkatan banyak bagian layar dan tali-temali dan konstruksi palka perahu bahasa-bahasa terdapat pada berasal dari bahasa Portuges (tabel 2.4.6). tabel 2.1.3
Secara umum, pengaruh kekuatan-kekuatan kolonial Barat atas keadaan perdagangan indigen di kawasan Samudera India kemungkinan besar tak begitu erat sebagaimana sering diutarakan. Pada satu pihak kapal-kapal layar Barat yang berukuran besar sempat
60 Knaap 1995:150 61 Mengenai masalah ini lht. msl. Horridge 1978, 1982 atau Chadhuri 1985:148ff.
24 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
mengambil sebagian dari volume muatan yang selama ini beredar di kawasan itu; pada pihak yang lain, adanya hubungan langsung ke Eropa menciptakan pasar-pasar baru bagi para pedagang indigen. Jelaslah persaingan dan perang dengan para pedagang-penjajah asal Eropa merupakan suatu hambatan bagi para saudagar-pelaut Asia sendiri; akan tetapi, pada pihak lain –misalnya– ekonomi manufaktur India, Cina, dan mungkin Nusantara semakin berkembang dengan permintaan pasar Eropa yang dapat dilayani secara langsung. Kepada tradisi perkapalan dan pelayaran, kekuatan Eropa itu memberikan suatu impetus teknologi yang sempat menyeimbangi sebagian dari restriksi- restriksi yang mereka dirikan, dan pada abad ke-19 pasifikasi wilayah yang terakhirnya menjadi Indonesia menciptakan sebuah iklim yang sangat subur bagi pelayaran tradisionalnya. Pada bab berikutnya ingin saya utarakan beberapa contoh evolusi tipe-tipe perahu tertentu yang mungkin dapat menggambarkan argumen ini dengan lebih jelas.