Beberapa Pengertian Dasar tentang ‘Perahu’ ‘Bagian’ perahu yang paling menonjol di laut adalah layarnya – dan layar itulah menjadi alasan suatu
3.1 Beberapa Pengertian Dasar tentang ‘Perahu’ ‘Bagian’ perahu yang paling menonjol di laut adalah layarnya – dan layar itulah menjadi alasan suatu
perahu dapat bergerak. Bagi orang awam pun jelas, bahwa sebuah perahu yang dipasangkan sehelai layar secara melintang dengan garis haluan / buritan akan terdorong oleh angin yang mengenai
62 Lht. msl. Horridge 1981, 1986, Liebner 1996(a)
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
layarnya dari buritan; bahkan, bila layar itu
Arah Angin
dapat ‘distel’ keluar dari sudut 90 o terhadap garis haluan
–buritan perahu, maka angin yang bertiup dari suatu sudut yang tidak sesuai dengan arah garis haluan / buritan itu pun dapat ditangkap dan mendorong perahu ke depan (gambar 3.1.1). Akan tetapi, sehelai layar dapat juga ‘menang- kap’ angin yang ‘lewat’ di atas permukaannya: Seperti yang terjadi pada misalnya sebuah sayap pesawat (gambar 3.1.2), angin yang melewati layar menyebabkan adanya suatu daya
Gambar 3.1.1: Tipe layar square rig dengan angin dari
dorong ke arah 90 o dari arah layar itu (gambar
arah-arah buritan
3.1.3). Menurut fisika aerodinamik,
In this sailing position, the wind exerts a pulling rather than a pushing action on the sails, which act as airfoils, like the wings of an airplane. The general principle of wind action is that the wind flows at
a greater rate of speed along the forward surface of the sail, creating an area of lower pressure ahead of the sail. The actual force exerted by the wind is at right angles to the sail. 63
Efek ini sangatlah tergantung dari bentuk permukaan depan layar: Semakin lurus permukaan ini, semakin sempurna bentuk aerodinamis sayap itu. Selain itu, untuk ‘menangkap’ angin yang datang dari arah-arah bagian haluan, sehelai layar yang terpasang secara melintang (yang dalam tradisi Eropa
dinamakan square rig, ‘layar andang-andang’) tak begitu cocok; maka, manusia telah men- ciptakan sekian banyak jenis layar yang ter- pasang searah dengan garis haluan / buritan serta memiliki permukaan depan yang lebih lurus. Dalam gambar (3.1.4) terlihat efek aerodinamika itu pada sejenis layar yang dalam terminologi Eropa dinamakan lateen rig
Gambar 3.1.2: Efek sayap; dalam lingkaran sebelah (salah satu jenis layar non-square paling tua kanan terdapat permukaan profil yang yang dikembangkan dalam tradisi pelayaran menyebabkan efek ini. Menurut Ensiklopedia
India, Arabia dan –secara independen–
Encarta efeknya terjadi sebagai berikut: “The
Austronesia 64 ; oleh pelaut Nusantara dikenali
leading edge of an airplane wing is higher than
sebagai ‘layar lete’): Arah angin yang dapat
the trailing edge. As the wing moves through
‘ditangkap’ layar itu semakin dari arah haluan
the air, it pushes down the air that flows underneath it. As the wing pushes the air perahu. Akan tetapi, daya dorong yang di- down, the air pushes the wing up. Lift is often
munculkan angin itu “would tend to drive the
explained using Bernoulli’s principle, which boat at an oblique angle if the hull of the boat relates an increase in the velocity of a flow of 65 were perfectly flat” ; jadi, pada lambung
fluid (such as air) to a decrease in pressure and
vice versa.” 63 Ensiklopedia Encarta, entri ‘sail’
64 Mengenai hal ini lht. msl. Doran 1981:41ff 65 ibid.
26 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
perahu perlu adanya suatu ‘penahan’ daya itu yang dapat mengubahnya menjadi daya dorong ke depan. Meski resistansi lambung terhadap air yang mengelilingnya sudah merupakan suatu ‘penahan’, masih diperlukan lagi adanya sebuah kemudi yang dapat mengarahkan perahu ke haluan yang diinginkan yang dapat berfungsi sebagai “a flat
90 o longitudinal plane to prevent the boat from moving sideways through the water” 66 – kita akan kembali ke masalah itu di bawah ini.
Gambar 3.1.3: Tipe layar square rig Oleh karena angin yang berdatangan dari arah dead ahead (dari o
dengan angin dari arah se-
sudut 0 terhadap haluan perahu) tak dapat ditangkap oleh la- tengah haluan. Disebabkan yarnya, maka perlu
oleh perbedaan kecepatan ‘beropal-opal’ (beating angin yang melewati kedua to windward) bila se- permukaan layar, maka dalam
buah perahu mau di-
lingkaran di sebelah kanan layarkan ke arah ang- andang-andang terjadi tekan-
in: Perahu itu diarah-
an rendah yang menjadi daya dorong yang berarah 90 o
kan sedekat mungkin
dari
pada arah angin (close-
garis permukaan depan layar.
hauled) untuk berlayar
sepanjang sejarak ter-tentu, dan kemudian haluannya dibalik (wear ship, dalam sekian ban-yak bahasa daerah Nusantara tunggeng – lht. gambar 2.1.3) untuk mengulangi hal yang sama ke arah yang berlawanan. Untuk itu, perlu mengadakan suatu manuver yang bertujuan memindahkan layarnya ke sebelah tiang yang lain. Secara dasar, bagi sebuah perahu layar terdapat dua kemungkinan untuk melaksanakan manuver itu: Memutarkan haluan dengan mengikuti arah angin (gybe), atau
Gambar 3.1.4: Tipe layar lateen dan
balik dengan mengarah ke arah angin (tack). Bila sebuah
efek aerodinamika pada
perahu ingin beropal-opal ke arah angin, maka dengan
layarnya. Lingkaran di ha-
membalikkannya dengan mengikuti arah angin sebagian dari
luan perahu menandai tem-
perjalanan ke arah angin yang sudah didapatkan akan
pat terjadinya tekanan ren-
‘menghilang’ kembali; jika perahu diputar dengan mengarah
dah. Daya dorong perahu
ke mata angin, maka perlu jenis-jenis layar yang efisien dari
yang berarah ke samping
segi aerodinamikanya dan cara penggunaanya. Manuver ini
diubah menjadi daya do-
dapat berbeda bagi jenis-jenis perahu yang berbeda, dan rongan ke depan dengan
adanya kemudi (di sini di-
bahkan terdapat tipe-tipe perahu yang tidak atau hanya
perlihatkan dua jenis kemu-
dengan kesulitan dapat mengadakan manuver ini atau itu
di, yakni kemudi samping
(gambar 3.1.5).
dan kemudi tengah). Di
Oleh sebab memindahkan layar jenis lateen itu agak susah
samping perahu terdapat
(bagian depan layar harus ditarik ke belakang tiang dulu, dan
gambar skema profil layar yang dihasilkan berkat ada-
nya spar atas layar
66 ibid.. Pada perahu layar moderen malah dipasangkan tambahan lunas ke bawah yang berbentuk “plane” itu (lht. gambar 3.1.7).
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Gambar 3.1.5: Berlayar ke arah angin: 5. Layar ditarik,
laberang-laberang di
1. Perahu
Beropal-opal (tengah), manu-
diarahkan ke
sebelah angin yang ver tack dengan layar jenis lete baru dikencangkan
arah angin
atau tanjaq (a) dan sloop mo- dern (b), serta manuver gybe
(a)
dengan layar jenis lete atau tanjaq secara ‘menerbangkan
4. Layar didorong ke
layar’ (c)
depan di sebelah lain tiang, laberang- laberang di sebelah lepas angin dilepaskan
2. Layar
3. Layar ditarik ke
perahu tak lagi
belakang tiang, laberang-
kena angin
laberang sebelah angin yang baru mulai dipasang
4. Daman layar ditarik 5. Layar ditarik,
kembali; laberang laberang-laberang di
dikencangkan, perahu sebelah angin yang
diarahkan ke arah angin. baru dikencangkan
Perahu diarahkan sedekat mungkin ke
(c)
arah angin.
3. Daman layar dibawa ke sebelah angin baru melalui
geladak depan; Drift: Sebab daya dorong di laberang dilepaskan
layar berarah ke samping,
di sebelah angin
maka perahu bergeser dari
lama dan dipasang
(b) haluan yang dituju.
di sebelah angin yang baru.
Berkat aerodinamika
Setelah beberapa kali
layar yang baik, perahu
mengadakan manuver
2. Layar dan laberang arah angin, dan daman
hanya diarahkan ke
balik arah perahu
dilepaskan; layar dibiarkan layar ditarik kembali di
berada di tujuannya.
‘terbang’ ke sebelah angin yang sebelah angin yang
baru. Saat ini cukup berbahaya, baru.
sebab kekuatan angin dapat merobohkan tiang.
1. Perahu diarahkan keluar dari arah angin.
28 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
semua tali-temali yang menahan tiangnya [shrouds,‘laberang’] perlu dipasangkan kembali di sebelah atas angin yang baru), maka sejak abad ke-17 di terutama Belanda dirancangkan yang terakhirnya menjadi jenis layar fore-and-aft: Dengan membagi layar lateen itu ke dalam dua bagian di depan dan di belakang tiang cara memindahkannya sangat dipermudahkan; selain itu, dengan adanya dua (atau lebih banyak) helai layar sifat-sifat aerodinamikanya ditingkatkan (gam-bar 3.1.6). Tipe layar fore-and-aft ini sampai abad ke-19 di Eropa dan Amerika Utara dikembangkan menjadi jenis layar yang paling efektif bagi perahu-perahu layar berukuran kecil dan sedang, dan pada abad ke-20 diubah menjadi layar sloop (‘nade’), jenis layar yang kini digunakan untuk perahu layar modern (gambar 3.1.7).
Tipe layar indigen Nusantara dinamakan layar tanjak/q 67 . Seba- gaimana disebutkan di atas,
perahu-perahu yang memakai jenis layar itu digambarkan dalam sumber Cina, Arab dan Eropa sejak dahulu sebagai layar khas kawasan ‘Arsipel di
Gambar 3.1.6: Tipe layar fore-
Bawah Angin’ ini, dan seba-
and aft (jenis gaff-cut-
gian besar dari gambar perahu-
ter / jengki) dan efek
perahu di dinding-dinding
aerodinamika pada Candi Borobudur pun mem- layarnya. Berkat ada-
perlihatkan jenis layar ini.
nya dua layar dan
Layar tanjaq itu mengkombi-
kemudi tengah, daya
nasikan kedua sifat yang pada
dorong ke depan se- makin tinggi; pana tradisi Eropa dinamakan layar berarah dua menan-
square dan layar fore-and-aft: Bila
dai, bahwa kedua la-
angin berdatangan dari arah-
yarnya itu dapat ber-
arah haluan, layar tanjaq dapat
gerak secara bebas diarahkan sejajar dengan haluan ke kiri dan kanan.
perahu, jika angin bertiup dari arah-arah buritan perahu, maka
layarnya dapat dikembangkan secara melintang (gambar 3.1.8). Hal ini dimungkinkan karena tiang perahu-perahu berlayar tanjaq pada umumnya terdiri dari dua sampai tiga batang kayu atau bambu, sehingga tak diperlukan terlalu banyak laberang untuk menahannya. Meski begitu, pada manuver mengubah haluan perahu kalau misalnya beropal-opal, bagian depan layar Gambar 3.1.7: Beberapa tipe layar itu –sama dengan layar jenis lateen– harus ditarik ke belakang
fore-and-aft: Atas, perahu
atau ‘dibiarkan terbang’ jika mau dipindahkan ke sebelah lain
schooner-ketch (pinisiq); tengah, perahu nade (Indonesian gunter-
sloop); bawah: sloop modern. 67 Karena tipe-tipe perahu yang masih menggunakan jenis layar ini kebanyakan berasal dari Sulawesi, maka berikut ini
akan saya gunakan /q/ untuk menandai fonem glottal stop yang menggantikan /k/ dalam bahasa-bahasa setempat. Lht. juga catatan mengenai penggunaan /q/ pada Daftar Singkatan dan Tanda.
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
29 tiang. Kini layar jenis tanjaq itu semakin
jarang ditemui dan pada umumnya hanya
Arah Angin
dipakai di atas perahu-perahu berukuran kecil.
Suatu tipe layar indigen lain adalah sekian banyak jenis layar lete yang terutamanya terdapat di Madura dan pulau-pulau di Laut Jawa bagian Timur. Menurut beberapa pengamat, di antara layar-layar itu terdapat juga beberapa versi Oceanic spritsail yang dianggap berbeda dari layar lateen versi India,
Arabia atau Lautan Tengah 68 . Perahu yang memakai tipe ini adalah misalnya perahu
janggolan asal Madura 69 ; akan tetapi, jenis layar
Gambar 3.1.8: Tipe layar tanjaq dapat dinamakan kom- binasi dari fore-and-aft dan layar square. Perahu
yang sering digunakan atas perahu-perahu
yang bernama lete asal Madura lebih dekat tan, dan kedua layar dipasang seperti layar dengan sifat-sifat layar lateen ‘biasa’. andang-andang; perahu di sebelah kanan ber-
sebelah kiri berlayar dengan angin dari buri-
Sekian banyak jenis layar yang terdapat di
layar dekat dengan arah angin, dan layarnya
Nusantara merupakan adaptasi tipe-tipe layar
berfungsi seperti layar fore-and-aft.
asal tradisi pelayaran Barat. Pada bab 2.3 dan
2.4 sudah saya utarakan, bahwa para pelaut ‘tradisional’ cenderung menggunakan tekno-logi-teknologi mana pun juga yang terbukti lebih efisien; hal ini dapat dibuktikan dengan adopsi dan perkembangan sekian banyak versi jenis layar fore-and-aft yang terdapat di Nusantara seperti nade atau pinisiq. Akan tetapi, suatu proses adopsi teknologi Barat terjadi juga dalam bentuk dan cara pembuatan lambung perahu: Sedangkan cara tradisional konstruksi lambung Nusantara dimulai dengan menyusun papan kulit dan berikutnya memasukkan gading-gadingnya, dalam tradisi Barat sebuah perahu dibangun mengikuti gading-gading yang dibangun sebelum papan-papan dipasang. Kini, di daerah-daerah yang cukup lama berada dalam pengaruh kekuatan kolonial perahu-perahu dibangun dengan mengikuti pola Barat, sedangkan di daerah-daerah yang baru masuk di bawah pemerintahan Hindia-Belanda pada abad ke-18 dan ke-19 cara tradisional Nusantara dipertahankan.
Hal ini juga terlihat dalam bentuk lambung sendiri: Buritan perahu-perahu indigen berbentuk ‘bundar’, lunas dan linggi merupakan satu lengkungan, dan terdapat kemudi samping, sedangkan bentuk lambung ‘adopsi’ tipe-tipe Barat (yang pada perahu ukuran sedang dan besar kini dinamakan lambo) agak bersegi, dengan linggi yang dipasang kepada lunas dalam sebuah sudut, bentuk buritan yang lebar (square stern) dan kemudi tengah (gambar 3.1.9). Terutama bentuk lambo ini sejak tahun 30-an abad ke-20 menjadi semakin populer karena daya muatnya lebih besar dan dianggap lebih laju
daripada bentuk indigen 70 ; selain itu, adanya linggi belakang yang lurus memungkinkan pemasangan baling-baling mesin dan kemudi yang efisien. Sekarang ini sebagian besar PLM (‘perahu layar
motor’, jenis perahu muatan besar) dan kapal motor kayu menggunakan bentuk lambung itu.
68 Lht. msl. Doran 1981:41 69 Wangania 1980:101ff; Horridge 1981, 1986 70 Lht. msl. Collins 1936, Nooteboom 1936, 1940, 1947, Horridge 1979 (b), Liebner 1990
30 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Sebagaimana digambarkan di atas, perahu- perahu Nusantara dibangun dengan ‘menyusun’ papan-papan lambung dahulu, dan gading-gading baru dipasang setelah lambung itu sudah agak tinggi. Cara pembuatan perahu itu memerlukan suatu
Gambar 3.1.9: Bentuk lambung indigen Nusantara yang konsep teknis yang berbeda dari
‘bundar’ dan memakai kemudi samping (kiri) dan
pengonsepan Barat: Bentuk lambung tak lambung ‘adopsi Barat’ dengan kemudi tengah ditentukan oleh kerangka gading-gading
(kanan).
yang ‘dilapisi’ dengan papan, tetapi melalui jumlah dan rupa papan-papannya. Oleh karena itu, para pengrajin perahu menciptakan suatu konsep pembuatan lambung yang dinamakan ‘pola penyusunan papan’ (plank patterns) yang dapat memastikan jumlah, posisi dan bentuk papan dalam sebuah tipe lambung tertentu:
The patterns discovered vary considerably according to ‘sophistication’ of construction (for this and the following see fig.3 [gambar 3.1.10]). It is usual to begin with the plank in the middle of a new strake, and to add curved planks to front and aft until the strake is completed. While in KON nearly all planks of the construction are named individually and placed in position by several ways of ‘construction plans’ which prescribe length, place and form of each plank, the pattern at other places is to ‘define’ planks by way of usage and process of building. A good example is the Mandarese nomenclature: The plank in the ‘middle’ of a new strake is named with indoq tobo, (‘mother of the tobo’), the planks following tobo soroq, and the planks fitting to the stems paparuppa. ‘Plank, unspec.’ in MAN is papan but tobo could not be found in the only existing dictionary; soroq may be translated as ‘to stop, to return’, paparuppa as ‘the meeting (ruppa) plank’. In BAJ ‘plank’ is expressed with sarimpah or pappan; the first plank of a strake is named iyah timban, the timbers add to fore and aft are called sarimpah with an addition (as lurus, ‘straight’, or bengkoq, ‘curved’) describing their respective forms. Whereas iyah again means ‘mother’, timban and sarimpah could not be explained by the informants. In the other languages on the Butonese islands ‘plank’ is called dhopi throughout the hull except for the short curved planks in bow and stern which are named sarempa. In all areas a ‘body’ of short strakes is topped with a limited number of long sheerstrakes; in most languages the first two of them are given names. In BUG, MAK, KON these are papang lamma (‘the soft plank’) and rembasang (an only technical term?), in MAN palamma and papan tari -same as for the third strake in KON-, in BIN, TOM, WAN palari ([…]name for a hull of boats from South-Sulawesi) and kabewei or kabuwei - as, too, in CIA and SIO, where the first sheerstrake is called salabuku res. tolubotu. In BAJ we find guntuh and panintih.
[…] The Konjo use patterns much more complicated; for explanation we have to return again to the keel and the marks for the ‘constructional drawing’ on its top. […] A piece of bamboo as long as the keelpiece is taken as ‘construction plan’, and marked with notches for the tambugu and ruang which -as stated- will lateron fix the plank’s length and places and the positions of floors and rips; these notches will be transferred on the upper side of the keel in form of the small projecting lugs for the tambugu and hollow spaces for the ruang. In a boat smaller than 30t loading capacity constructed in tatta tallu, the ‘three-times-cut’, there will be 21 of these units, in a ship bigger than this cut by tatta appaq, the ‘four-times-cut’, two more ruang and two more tambugu. […] The sixth ruang from the bows is normally a little longer than the other ones: It will become the place of the magic ‘navel’ of the boat on the night before the launching. Sometimes the first and the last tambugu, too, are extended - in most cases the wood used for the keel extensions had been a little longer than fitting into the schedule, and by extending the counting is made appropriate again. A unit of one ruang and one tambugu is called tataripang or taritaripang; for ‘counting’ in tataripang, reckoning begins with the two tambugu in ‘front’ and ‘aft’ of the sixths ruang counting in both directions from the ‘centre’ of the boat. […] As one can see, each plank in the structure bears an own name associated
t.-t.
t.-t. t.-t.
rembassang
t.-t. tung.-tung-
papang lamma
pannapu sarro t.-t. kulu
pannapu sarro
pannapu tallulalang
papangappa
pannapu tallulalang
tungku-tung-
tungku-tung- kulu
pannapu sarro
kulu tungku-tung-
pannapu sarro
pannapu tallulalang
papangappa
tungku-tung- kulu
pannapu sarro
papangappa
pannapu lalang
kulu rakka
pannapu sarro
pannapu tallulalang
papangappa
pannapu tallulalang
rakka
bengo
pannapu tallulalang
papanglima
bengo
sangahili pintallung
papangannang
sangahili pintallung
urussangkaraq
sangahili pinruang
sangahili pinruang
BAJ: panintiq; MAN: pallamma; BIN, TOM, WAN: kabewei
BAJ: sarimpah bengkoq tapah
BAJ: guntuh; MAN: sallaq mata; BIN, TOM, WAN: palari
MAN: papparuppa
s.b.t
BAJ:s. beng.
BAJ: iyah timban
BAJ: sari. lurus
BAJ: sari. bengkoq
BAJ: sa.ben.tap.
pappar. MAN: t.soroq
MAN: indoq tobo
MAN: tobo soroq
MAN: papparuppa
BIN:sarempa
BIN:sarempa
BIN, TOM, WAN: ndopi, dhopi
BIN: sarempa
BIN,TOM,WAN:sarempa
short plank aft
first plank in middle of new strake
inserted plank
short bow plank
BAJ:sarimp.bengkoq
BAJ: pangepe; MAN: passeger; BIN,TOM,WAN: rumahi
MAN: papparuppa
Gambar 3.1.10: Plank patterns, menurut Liebner 1993, 1996(b). Atas: potongan tatta tallu, tradisi pembuatan perahu orang Konjo; bawah: Nama-nama papan dalam lambung lambo dari Mandar dan Buton. Keterangan singkatan bahasa terdapat pada tabel 2.1.3
with it’s form and place: For example, the plank in the middle of a new strake (papangappaq) will normally last over four (appaq) tataripang, alternating one unit to right or left to its predecessor in the last strake; lalang means ‘inside’, tallu ‘three’; sarro reminds of MAN soroq; tungkulu translates ‘hard’, the name for this plank in Ara, the second centre of Konjo boatbuilding, rakkasala, ‘quickly damaged’. An additional numeral for the strake it is used in can fix the place of a plank definitely; a sophisticated terminology for the various possible forms of planks is in use. In a strictly traditional boat all planks would have to fit rigidly into the pattern, so that planks too long should be cut to size; informants told, that old panrita lopi after long experience could pick out trees suitable for special planks by sight. Depending on the size of the boat this strict prescriptions are stopped after the seventh or the eighth strake in the tatta tallu, and on top of the short planked parts two to four long strakes are fixed; the more flexible tatta appaq can be extended up to the wished size without a
prescribed end of it’s tatta and topped with as much long strakes wished. 71
Pada gambar 3.1.11 terdapat dua plank patterns dari Nusantara Timur. Tipe perahu tena dari Lomblen masih dibangun dengan menggunakan teknik lashed-lug (misalnya), dan pada masing-masing papan terdapat lugs untuk mengikat gading-gading kepadanya. Kelihatannya, pada cara pembuatan lambung perahu yang masih terdapat di Sulawesi, lugs itu telah ‘dipindahkan’ dari masing-masing papan ke atas lunas, tetapi sampai sekarang masih menentukan panjangnya sekeping papan dan letaknya gading- gading. Sebagaimana disebutkan pada bab 2, proses itu kemungkinan sudah terjadi sejak cukup lama
Gambar 3.1.11: Dua pola penyusunan papan (‘plank patterns’)dari Indonesia Timur. Atas: Bagian haluan sebuah perahu dari Ambon (Horridge 1978:15); bawah: Plank pattern perahu tipe tena asal Lomblen (Barnes 1985)
71 Liebner 1993
33 di pusat-pusat perdagangan dan pembuatan perahu; akan tetapi, di pulau-pulau terpencil di
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Nusantara Timur Horridge masih sempat menyaksikan beberapa tahap transisi yang dapat menggambarkan terjadinya 72 . Mengenai adanya lugs itu saya utarakan di tempat lain:
The word tambugu is widespread for a lug supporting a thwart in a canoe, and, too, for a lug left on a plank which in a construction predecessing today’s stiff ribs was used to fasten strong branches of rottan or other flexible materials bent under pressure into the hull (see, for example, Horridge 1981 and Manguin 1985). From the names in different languages quoted in the literature here only Bacan tambuku, old Visayan tamboko and BAJ timbuku shall be mentioned - though in other languages (e.g. Ternate, Galela maru-maru) there are quite dissimilar terms for this lug, difference in time and space - the Philippines of the 17th, the Moluccas at the end of the last century and Tana Beru today- is baffling. The supposition, that the stiff frames which replaced this method are introduced by or copied from European prototypes can be discussed: From the beginning of European intrusion into Asia renegades are reported to have advised local rulers in especially military and maritime subjects, as for example the Macassan or Achin royal docks were reportedly under supervision of long- established Portuguese shipwrights at times these two states were in quarrel with the VOC in the 17th century. As stated above, one of the words found (BUG, KON, MAK soloroq) might have a Portuguese (solera) source, while an other (kilu, kelu) shows affiliations with -for example- Ternatan gilu; proved in an Makassarese manuscript of the early 16th century as strengthening bar in a traditional house-type, kilu might be an indigenous term. Same could be said for lepe, ‘stringer’ in Sulawesi. However, when confronted with drawings of the ‘flexible-rib’ method, some old master- builders from Lemo-Lemo explained an other pattern: Several rows of transverse thwarts are set from above into dove-tailed holes in the upper edges of thick planks and fastened by twisting rottan loops which are bound tightly around these thwarts, a feature seen in several old models of boats in European museums, reproductions of which only by small chance could have been known to the informants. The old men maintained, that this method had been in use five to seven generations
ago - I refute an estimation of the value of this information. 73
Evolusi tipe-tipe perahu di Nusantara selalu tergantung dari kondisi-kondisi lokal, seperti daerah yang ingin dilayari, tersedianya bahan-bahan baku dan peralatan, tujuan penggunaan perahu, jenis layar yang akan dipakai dsb.. Hal-hal ini saling terkait, dan dapat menyebabkan solusi-solusi yang berbeda dari tempat ke tempat. Sebagai contoh atas proses evolusi ini ingin saya menggambarkan proses pengembangan dua tipe perahu terkenal Sulawesi, yakni sandeq dan pinisiq, di bawah ini.