Perahu Perahu Tradisional Nusantara Suat

Perahu-Perahu Tradisional Nusantara

Suatu Tinjauan Sejarah Perkapalan dan Pelayaran

Horst H. Liebner, Proyek Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Pantai, UNHAS

1 SUMBER

1.1 S UMBER -S UMBER T ERTULIS H ISTORIS 2

1.2 I KONOGRAFI , L UKISAN , M AKET P ERAHU DAN A RKEOLOGI 3

1.3 P ENGAMAT K ONTEMPORER 6

2 LATAR BELAKANG HISTORIS

2.1 M IGRASI S UKU -S UKU A USTRONESIA 8

2.2 T AHUN 0 S / D 1000 CE: ‘I NDIANISASI ’ ATAU ‘P ERDAGANGAN I NTERNASIONAL ’? 12 2.3 T AHUN 1000 S / D 1600: ‘T HE A GE OF C OMMERCE ’ 16

2.4 Z AMAN K OLONIAL 19

3 PERAHU-PERAHU

3.1 B EBERAPA P ENGERTIAN D ASAR TENTANG ‘P ERAHU ’ 24 3.2 C ONTOH E VOLUSI P ERAHU B ERCADIK : S ANDEQ 33 3.3 C ONTOH E VOULSI P ERAHU B ERPAPAN : D ARI P ADEWAKANG KE PLM 38

4 MASA DEPAN PERKAPALAN DAN PELAYARAN TRADISIONAL

2 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

© Proyek Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Pantai, Universitas Hasanuddin, Makassar & Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Jakarta, 2002

Perahu-Perahu Tradisional Nusantara 1

Suatu Tinjauan Sejarah Perkapalan dan Pelayaran

Horst H. Liebner, Proyek Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Pantai, UNHAS

Sebenarnya, apa itu, ‘tradisional’, ‘tradisi’? “Adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat”, sebagaimana diterangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2 ?

Artinya, suatu kegiatan masyarakat yang berdasarkan pola-pola ‘kebiasaan’, sehingga pola-pola itulah yang diulang-ulangi terus-menerus? Suatu keadaan ‘statis’, yang “masih dijalankan” meski dunia sudah berubah, sehingga –dan ini penilaian pertama yang begitu sering ‘melengket’ pada kata ‘tradisi- onal’ itu- menjadi ‘keterbelakangan’, faktor penghambat utama dalam pengembangan?

Suatu definisi yang demikian agak susah diterapkan dalam sektor perkapalan dan pelayaran ‘tradi- sional’. Dinamika perkembangan masyarakat-masyarakat bahari telah menjadi topik sekian banyak diskusi dan tulisan: Dengan terjangkaunya bahan-bahan dan munculnya contoh-contoh tipe lambung dan rigging baru maka para pelaut dan pengrajin perahu ‘tradisional’ telah secara terus-menerus mengubah dan mengembangkan ‘perahu-perahu tradisional’ mereka, sehingga pelayaran dan pem- buatan perahu rakyat sampai kini masih eksis, berperan secara signifikan dan mampu bersaing dalam makrostruktur ekonomi Indonesia. Sepanjang terdapat catatan tentangnya, pada setiap saat -baik pada zaman historis maupun sekarang- bisa kita saksikan pembaharuan dan inovasi dalam sektor pembuatan ‘perahu tradisional’ dan ‘pelayaran tradisional’ Nusantara. Jadi, kesimpulan Knaap mengenai perkembangan pelayaran indigen Jawa Utara pada abad ke-18 masih tetap berlaku pada masa kini:

Skippers and shipwrights were keen on introducing all kinds of innovations that made traffic easier and more efficient. This sector of society harboured many people who were ready and willing to in-

novate, by no means invaribly working according to traditions. 3

Di antara lain, dinamika ini disebabkan oleh obyeknya sendiri, yaitu ‘perahu’, suatu alat penghubung antar pulau dan bangsa yang mampu melewati batasan lingkungan-lingkungan ‘tradisional’ dan men- jadi kendaraan ide, pemikiran, bahan dan teknologi baru. Menurut Carr Laughton,

of all things the ship is the most cosmopolitan. […] She was fit to go from one country to another […] and in the intermingling of cultures begun by that intercourse the ship herself was of necessity influenced. […] For the most part such adoptions proceeded from the ordinary interchange of ideas […and…] there have been, probably at all stages of world history, many examples of the deliberate

adoption of foreign methods. 4

Hal inilah yang ingin saya jadikan topik utama makalah ini: Bila kita ingin membahas perkapalan dan pelayaran ‘tradisional’ Nusantara, maka perlu kita memahaminya sebagai suatu proses perkembangan yang tak pernah putus, yang sampai sekarang masih berlangsung dan dilangsungkan sesuai dengan

1 Yang saya maksudkan dengan ‘Perahu Nusantara’ dalam makalah ini adalah kapal kayu yang berasal dari tradisi teknologi pembuatan perahu khas Nusantara sebagaimana digambarkan dalam bab 2.1 dan 3.1. Secara geografis,

istilah ‘Nusantara’ ini mengandung yang dalam literatur asing dinamakan ‘Insular Southeast Asia’, ditambah dengan Semenanjung Malaya dan wilayah historis Kerajaan Campa di Vietnam Selatan. Meski begitu, fokus pembahasan diarahkan kepada kepulauan yang sekarang merupakan wilayah Republik Indonesia.

2 Edisi II, Cetakan ke-9, 1997 3 Knaap 1996:149 4 1925:1-2, c.f. Prins 1965:77; terj. pen.

2 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

tuntutan zaman yang dihadapi, kemungkinan inovasi yang dapat dijangkau dan kemampuan ‘meng- embangkan diri-sendiri’ yang dimiliki oleh para pelakunya, yakni masyarakat bahari ‘tradisional’. Demi itu ingin saya lukiskan suatu outline dinamika sejarah perkapalan dan pelayaran Nusantara dengan menggunakan beberapa contoh evolusi tipe-tipe perahu historis dan modern dan -pada bab terakhir- memberikan suatu pandangan ke masa depan pembuatan ‘perahu tradisional’ yang mungkin dapat menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Diskusi ini akan saya mulai dengan memba- has ‘masalah’ sumber informasi akan perkapalan dan pelayaran ‘tradisional’ Nusantara yang tersedia; setelah coba menyimpulkan sebuah ‘garis besar’ perkembangan teknologi pembuatan perahu dan pe- layaran di Indonesia pada bab kedua, maka pada bab berikutnya akan saya ambil beberapa contoh konkrit akan pola evolusi tipe-tipe perahu tertentu sebagai ‘gambaran nyata’ atas argumen saya ini.

1 Sumber Masalah utama dalam pembahasan pelayaran dan pembuatan perahu Nusantara adalah kurangnya

sumber. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: Sebagian besar dari jumlah kecil pengamat perihal pelayaran dan perkapalan Nusantara yang ada bukanlah pelayar atau ahli perkapalan; perhatiannya – terutama dalam sumber-sumber historis- jarang berfokus kepada teknologi pelayaran atau perkapal- an; perbedaan pola-pola pengonsepan teknologi antara para pengamat dan para pelakunya menye- babkan bahwa sekian banyak poin penting dalam sistem teknologi itu luput dari perhatian. Hal-hal ini terdapat dalam hampir semua jenis sumber yang ada, mulai dari catatan para biksu Buddha yang melewati Nusantara dalam perjalanan dari/ke India dan Cina pada abad-abad pertama CE sampai ke tulisan sekian banyak ilmuwan dan pengamat lain pada masa kini.

1.1 Sumber-Sumber Tertulis Historis Meski perdagangan laut –dan, dengan ini, para pelaut dan pengrajin perahu– menyumbangkan seba-

gian besar pada kemakmuran kerajaan-kerajaan historis Nusantara, masyarakat pelakunya jarang di- jadikan obyek perhatian, sehingga tiada sumber indigen yang secara khusus membahas keadaan pela- yaran dan pembuatan perahu Nusantara pada zaman-zaman historis yang saya ketahui. Bagi kekuat- an-kekuatan kolonial Barat yang secara terang-terangan berbasis atas penguasaan laut itu hal ini seharusnya berbeda; akan tetapi, saya hanya mengenali satu-dua publikasi yang didasarkan atas nas- kah-naskah misionaris yang ‘kebetulan’ sempat menyaksikan dan mendeskripsikan pembuatan pera-

hu ‘tradisional’ di kawasan Nusantara ini 5 . Tertinggal kesan bahwa masyarakat bahari, pengetahuan dan teknologi indigen mereka tak dianggap cukup penting untuk dijadikan fokus pembahasan khusus

– meski semua pihak, baik lokal maupun asing, menggunakannya sebagai sarana transportasi dalam perang dan perdagangan, armada perikanan, atau sumber pajak. Artinya, sebagian besar pengetahuan kita mengenai keadaan sektor maritim Nusantara –terutama dari abad-abad sebelum pertengahan abad ke-19– hanya berdasarkan ‘catatan-catatan sampingan’ yang terdapat dalam tulisan-tulisan yang sebenarnya berfokus kepada hal-hal lain.

Sumber paling ‘berharga’ bagi kita mungkin adalah arsip-arsip para syahbandar dan administrasi

6 lainnya 7 , serta naskah-naskah ‘undang-undang laut’ indigen . Dari sumber-sumber ini, hanya yang

5 Lht. msl. Scott 1981, Horridge 1982 6 Lht. msl. Knaap 1996, Lee 1986 7 Lht. msl. Leupe 1849, Matthes 1869, Caron 1937, Winstedt & De Josselin De Jong 1956, Tobing 1977

3 kedua telah mendapatkan perhatian kalangan luas – meski pembahasannya lebih diarahkan kepada

Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

aspek-aspek hukum daripada sistem pelayaran dan teknologi perkapalan; dari data dalam arsip-arsip tersebut baru beberapa bagian kecil saja diperiksa dan dipublikasikan. Salah satu ‘jenis’ sumber lain yang dapat dimasukkan dalam kategori ini adalah berbagai daftar kosa kata dan kamus yang disusun oleh pedagang dan pejabat kolonial sejak saat tibanya orang Eropa di Nusantara yang mengandung istilah-istilah yang berhubungan dengan pelayaran 8 . Di antaranya bahkan terdapat beberapa kamus

yang disusun secara khusus bagi perwira asing yang ditugaskan membawa kapal dan perahu yang ber- awak pelaut Nusantara yang –meski sebagian besar berasal dari zaman yang lebih dini– mengandung informasi yang sangat tepat dan akurat 9 .

Dari para pelaku sendiri, yakni para pelaut dan/atau pengrajin perahu tradisional Nusantara, hanya terdapat sejumlah kecil sumber tertulis indigen, dan masalah perbedaan pola pengonsepan tadi sangat menonjol: Yang menjadi topik pembahasan bagi –misalnya– seorang penyusun naskah lontaraq pallopiang asal Sulawesi Selatan dua abad silam bukanlah segi ‘teknologi’ pembuatan perahu, ‘sistem’ navigasi atau ‘ilmu’ meteorologi, tetapi hal-hal yang bagi seorang pembaca yang berlatar-belakang

ilmiah “cukuplah susah untuk membedakan di antara kepercayaan dan pengetahuan nyata” 10 sehingga perlu tafsiran dan interpretasi yang sering sulit dibuktikan kebenarannya. Selain itu, bagi para pelaku-

nya, membangun atau melayarkan sebuah perahu tradisional sampai hari ini merupakan suatu kesatu- an dari elemen-elemen kepercayaan, ritual, pengalaman dan pengetahuan teknis yang saling terkait dan biasanya diterangkan dan diwujudkan dalam metafor-metafor, ritual-ritual dan kepercayaan-ke- percayaan – jadi, informasi yang didapatkan dari sumber-sumber ini perlu dibandingkan dengan ke- nyataan lingkungan sosial-budaya dan realitas teknis, suatu hal yang memerlukan pengetahuan luas dalam bidang kemaritiman pada pihak penelitinya.

1.2 Ikonografi, Lukisan, Maket Perahu dan Arkeologi Sumber-sumber historis yang paling sering disebut adalah sejumlah kecil gambar dan fresko yang ter-

dapat pada beberapa candi di Jawa, Sumatera dan daratan Asia Tenggara serta gambar dan lukisan perahu Nusantara yang terdapat dalam laporan dan tulisan Barat dari zaman kolonial. Akan tetapi, hanya sejumlah kecil dari ‘dokumen’ ini dibuat oleh orang yang berpengalaman dan berlatar-belakang sebagai pelaut dan/atau pengrajin perahu, sehingga hasilnya seringkali jauh dari yang dapat diharap- kan: Misalnya, fresko perahu terkenal di Candi Borobudur itu hampir sama sekali tak dapat diambil sebagai ‘gambaran konstruksi’ perahu-perahu abad ke-8 atau 9 CE, dan ‘gambaran rekonstruksi’ yang muncul dalam literatur tentangnya bisa jauh berbeda (lht. gambar 1.2.1) – dan bagi seorang yang ber- pengalaman dengan perahu layar bahkan tak merupakan sesuatupun yang bisa dinamakan ‘laik laut’.

Sebagian dari lukisan dan gambar dari sumber kolonial berbeda: Sejak abad ke-17, di Eropa berkembang seni lukis naturalistis, yang coba mereproduksi keadaan sesuatu obyek dengan senyata-

8 Daftar-daftar kosa kata umum dan terjemahannya mulai disusun sejak kedatangan orang Eropa di Asia; yang paling tua mungkin adalah daftar Pigafetta (1522, lht Gonda 1937). Di dalamnya –dan dalam sekian banyak daftar dan

‘kamus’ yang serupa seperti Houtman 1603, Wiltens & Danckaerts 1623– terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan pelayaran dan perkapalan. Untuk daftar-daftar yang khususnya membahas bidang ini lht. msl. De Bruyn Kops 1927, Matthes 1858, 1874.

9 Lht. msl. Roebuck 1841, Vaz 1879, Small 1882 (India); Badings 1880, Kriens 1880, Oderwald 1924 (Indonesia). Selain terjemahan ke beberapa bahasa, termasuk Bahasa Melayu, kamus Badings (1880) mengandung juga keterangan

mendetil tentang bagian-bagian perahu, tali-temali, perintah-perintah dsb. yang disebutkan. 10 Liebner 1998:23, bdg. juga McKnight, Mukhlis 1979

4 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

nya mungkin; gambar dan lukisan yang dihasilkannya membahas juga pemandangan-pe- mandangan kota, benteng, pelabuhan, bahkan pemandangan alam di Asia, di mana di sana- sini terdapat pula gambar perahu-perahu indigen Nusantara (gambar 1.2.2). Terutama di Belanda muncul suatu aliran kesenian ini yang berfokus-kan laut dan kapal layar (marine paintings) 11 , yang menyebabkan bahwa semakin banyak pelukis ‘menjadi terbiasa’ dengan menggambarkan berbagai jenis perahu layar secara realistis; akan tetapi, gambar-gambar yang ada pada umumnya melukiskan kapal- kapal layar Eropa, dan perahu-perahu indigen Nusantara hanya muncul sebagai ‘pelengkap’. Kwalitas lukisan yang demikian berbeda jauh: Pelukis terbaik aliran ini memang tinggal di Eropa, jumlah seniman berbakat yang terdapat di pusat-pusat pemerintahan kolonial agak kurang, dan di outpost wilayah kekuasaan kekuatan-kekuatan Eropa itu hampir sama sekali tak terdapat pelukis – dan kita tak bisa mengharapkan bahwa semua detil sebuah ‘barang eksotis’ diperhatikan oleh seseorang yang kemungkinan besar bukan pelaut atau pengrajin perahu. Hal ini dapat digambarkan dengan baik dengan sebuah lukisan bergaya re- alistis dalam salah satu karangan tentang tradisi kemaritiman Sulawesi asal Indonesia yang ber- judul “Buginese Vessels” 12 : Meski perahu-pe-

rahu pinisiq pada masa itu masih meramaikan pelabuhan Makassar sehingga dapat dijadikan contoh akan detil-detilnya, yang dihasilkan sang

Gambar 1.2.1. Atas: Salah satu fresko perahu yang

pelukisnya amat jauh dari kebenaran.

terdapat pada Candi Borobudur. Tengah:

Sejenis sumber yang lebih ‘realistis’ lagi adalah

Gambar rekonstruksi dalam Nooteboom

maket-maket perahu Nusantara yang terdapat di

1951. Bawah: Gambar rekonstruksi dalam

sekian banyak musium dalam dan luar negeri.

Hornell 1920

11 Pada awalnya, sebagian besar dari lukisan-lukisan itu dibuat atas pesanan kompeni-kompeni perdagangan, pemilik partikuler kapal layar dan para raja Eropa. Yang terkenal pada abad ke-17 adalah Keluarga Van Velde (1611-1707),

yang selama dua generasi mendedikasikan diri dalam melukis perahu layar, adegan perang laut dsb. bagi raja-raja Eropa, EIC dan VOC, dan L. Backhuyzen (1631-1708) dengan adegan-adegan badai di laut. Berikutnya, menggambarkan pemandangan laut dan kapal layar menjadi salah satu topik penting dalam œuvre pelukis-pelukis (landsekap) naturalistis Eropa seperti C.-J. Vernet (Perancis, 1714-1798), W. Turner (Inggris, 1775-1851), C.D. Friedrich (Jerman, 1774-1840), G. Corbet (Perancis, 1819-1877) atau H.D. Mesdag (Belanda, 1831-1915).

12 Tobing 1977:151

Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

Gambar 1.2.2: ‘Het gezigt van Cheribon …’, lukisan cat air oleh salah seorang asisten J. Rach, c. 1775, Perpustakaan Nasional 446/2 (B.W.63). Di sebelah kanan dan dalam pelabuhan terlihat beberapa perahu setempat. Perahu dengan layar terbuka kemungkinan sebuah perahu tipe mayang; perahu yang berlabuh di bagian dalam sebelah kiri adalah tipe chialoup.

Terutama di Belanda beberapa musium masih menyimpan maket-maket perahu dari abad ke-18 dan ke-19 yang secara mendetil memperlihatkan ciri-ciri konstruksi tertentu yang sudah tak lagi terdapat pada tipe-tipe perahu kini (gambar 2.2.1) 13 . Akan tetapi, kita harus cukup berhati-hati bila ingin

menarik kesimpulan yang terlalu jauh dari maket-maket itu: Menurut pengalaman saya, sebuah maket yang dibuat seorang pengrajin perahu atau pelaut perpengalaman akan memperlihatkan sekian banyak detil lambung perahu dan tali-temalinya, meski ‘kwalitasnya’ sebagai sumber sangat tergantung dari ketelitian sang pembuatnya 14 , sedangkan maket-maket yang dibuat sebagai perhiasan oleh orang yang bukan pelaut pada umumnya jauh dari kenyataanya – contoh terbaik adalah maket- maket yang terbuat dari buah cengkeh asal Maluku atau –pada masa kini– maket yang dibuat sebagai cinderamata industri pariwisata. Selain itu, terutama pada maket-maket tua harus kita perhatikan teknik dan cara restorasinya yang kemungkinan menyebabkan perbedaan berarti dari keadaan aslinya.

Penemuan-penemuan arkeologi yang dapat menjadi ‘bukti nyata’ atas teknologi kemaritiman pada zaman dahulu sampai sekarang masih kurang: Perahu tradisional terbuat dari kayu, dan kayu agak susah bertahan lama dalam iklim tropis; selain itu, perahu-perahu yang mungkin tenggelam ratusan (atau ribuan) tahun silam agak susah dilokalisasi dan dikemukakan kembali. Menurut Manguin, sam- pai tahun 1995 baru ditemukan 10 situs yang mengandung sisa-sisa perahu yang kemungkinan besar berasal dari tradisi historis pembuatan perahu Nusantara sebelum abad ke-14 CE 15 . Ada pun beber- apa penemuan bangkai perahu yang berasal dari abad-abad setelahnya; yang mungkin paling baru adalah sisa dua perahu kayu yang tenggelam di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, yang ditemukan tahun lalu dan diperkirakan berasal dari abad ke-16 dan ke-17 CE. Hampir semua pene- muan itu terdiri dari beberapa keping papan saja yang sebagian besar dalam keadaan “amat rusak”. Meski begitu, dari hasil evaluasi penelitian terhadap keping-keping papan itu Manguin sempat

13 Suatu diskusi sifat-sifat maket-maket ini terdapat dalam msl. Horidge 1978:13ff. 14 Terutama pola penyusunan papan dalam lambung sebuah maket yang Horridge anggap sebagai sumber otentik

tentang teknologi pembuatan perahu dapat berbeda jauh dari kenyataan yang dijumpai dalam sebuah perahu real – lht. diskusi pola-pola plank patterns pada bab 2.2 dan 3.1.

15 Manguin 1995:185-87

6 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

menyimpulkan beberapa sifat utama tradisi konstruksi perahu-perahu Nusantara yang membeda- kannya dari kerangka-kerangka perahu asal daerah-daerah lain – sifat-sifat ini akan kita bahas di bawah ini, dan menjadi penting untuk mengetahui asal-usul sebuah kapal karam: Terutama kawasan Selat Malaka sejak dahulu-kala merupakan sebuah jalur perdagangan laut yang amat ramai, di mana terdapat bangkai-bangkai kapal asal seluruh dunia dan zaman.

1.3 Pengamat Kontemporer Penyebaran suku-suku yang memakai bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia di antara Madagaskar

di ujung Barat Daya Samudera Hindia dan Pulau Paska di pertengahan Samudera Pasifik pada kedua millenium SM sejak lama dikenali sebagai ‘migrasi maritim’ terluas di dunia yang dengan jelas didasarkan atas penguasaan teknologi kemaritiman yang amat sophisticated. Namun, menurut Manguin,

For long, however, once lip service was paid to such obvious maritime adaptations and sailing talents, little else was usually said about the matter. At best, detailed studies of the surviving small sailing vessels of Oceania or Southeast Asia were carried out. Cultural diffusionists were thus content to endlessly discuss the origins and distribution of single and double outrigger canoes. The unsuspecting reader was therefore largely left with the romantic but unsubstantiated idea that fearless Austronesians had sailed around half the planet on flimsy outrigger boats. Another prevailing theory contended that the peopling of the Pacific Ocean by Austronesians was the result of accidental island hopping. And few bothered to understand how –in which practical circumstances– some of the Austronesian speaking peoples who had remained in Southeast Asia leaped across the Indian Ocean and reached west to Madagascar. The very few scholars that blew an early whistle were experienced sailors and knew something was amiss, but not enough attention was

paid to their work. 16

Penilaian-penilaian yang demikian –yang bahkan diutarakan oleh ilmuwan!– memperlihatkan sifat ‘acuh-tak-acuh’ terhadap pengetahuan dan kearifan para pelaut dan pembuat perahu tradisional yang menjadi alasan kurangnya sumber historis dan ikonografi yang dapat dipercayai. Hal ini terutamanya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pengalaman sebagian besar ilmuwan dan pengamat lainnya dalam bidang pelayaran dan pembuatan perahu: Misalnya, sampai sekarang baru terdapat satu penelitian yang secara mendetil membahas sistem navigasi pelaut tradisional Indonesia yang

didsarkan atas riset dan pengetahuan yang mendalam 17 – sedangkan, dalam sekian banyak sumber kontemporer lain terdapat pernyataan-pernyataan seperti “Bintang Boyang Kepang (Bintang Biduk)

[Crux, ‘Salib Selatan’, suatu konstelasi terkenal yang ‘berputar’ sekeliling Kutub Selatan – pen]: Menurut pengetahuan mereka selalu [sic: bintang-bintang ‘berputar’ sesuai dengan bergeraknya bumi dan setiap hari terbit sekitar 4 menit lebih dini daripada pada hari sebelumnya, sehingga tak mungkin

“selalu” berada pada posisi yang sama – pen.] berada pada sebelah utara [sic!]” 18 ; belum ada satu penelitian pun yang berfokus kepada evolusi layar, tali-temali dan seamanship 19 tradisional Nusantara.

Selain itu, perbedaan cara pengonsepan pengetahuan teknis antara pendekatan ‘ilmiah’ dan ‘tradisional’ menyebabkan bahwa sekian banyak hal krusial luput dari perhatian sang peneliti: Misal- nya, dari puluhan penelitian tentang pembuatan perahu ‘pinisiq’ hanya sejumlah kecil menyebutkan

16 Manguin 1995:181-82 17 Ammarell 1999 18 Sahur dkk. 1991:42 19 ‘Praktek dan teknik melayarkan sebuah perahu’.

7 adanya plank patterns, pola penyusunan papan dalam sistem pembuatan perahu tradisional

Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

Nusantara 20 , yang merupakan sebuah poin amat krusial dalam cara pembuatannya; bagi tradisi-tradisi pembuatan perahu di pulau-pulau di luar Sulawesi saya hanya mengenali karangan Barnes tentang

‘Perahu-Perahu Penangkap Ikan Paus di Pulau Lembata’ (1985) dan percobaan-percobaan Horridge di Indonesia Timur (1978, 1982) yang menyebutkan pola-pola itu.

Jelas, yang di Eropa sejak terdahulu dinamakan ‘seni pembuatan perahu dan pelayaran’ juga terdapat di Nusantara, dan para penganutnya harus dicari di kampung-kampung yang secara turun-temurun berorientasi ke laut. Akan tetapi, di Indonesia pada zaman kini “sektor modern yang bertahun-tahun lamanya dianggap sebagai penjamin peningkatan taraf kehidupan masyarakat seolah-olah bersebe- rangan dengan teknologi dan pengetahuan indigen yang selama ini menanggung kehidupan rakyat” 21 ,

sehingga ‘stigma tradisional’ yang mengimplementasikan ‘keterbelakangan’ menyebabkan tersingkir- nya kearifan yang ketangguhannya terbukti sejak ratusan tahun itu – apakah seorang kampung yang mungkin hampir buta huruf bisa memiliki pengetahuan yang lebih canggih atau dapat melakukan se- suatu yang lebih kompleks daripada sang ilmuwan yang mengobservasinya? Atau – sebaliknya: Apa- kah seorang ilmuwan dapat membuat sebuah perahu berukuran ratusan ton muatan dengan bekal ka- yu dan beberapa alat sederhana saja, atau dapat berlayar ke India atau Fiji tanpa peta laut dan GPS 22 ? Mengenai perbedaan pola pengonsepan –dan pendekatan!– ini saya mencatat di tempat lain 23 :

Perbedaan paling mendasar adalah ‘terbungkusnya’ pengetahuan tradisional dalam kode-kode yang jauh berbeda dari kode yang digunakan ilmu modern - bukan perhitungan yang bersifat teknis murni, akan tetapi, misalkan, peristilahan dalam bahasa-bahasa daerah yang sulit diterjemahkan, kebiasaan yang susah diterangkan, pemali yang berlaku pada kegiatan-kegiatan tertentu, bahkan upacara- upacara atau cerita dongeng dapat mengandung butir-butir pengetahuan yang krusial; dan hal-hal yang pada dasarnya dapat ditafsirkan sebagai penerapan suatu teknik sering mengandung pula sekian banyak unsur yang lain. Suatu contoh […]: Terjadinya air surut / air pasang terendah di wilayah Nusantara merupakan suatu hal yang cukup penting buat seorang pelaut tradisional - arus, angin, lokasi-lokasi berkumpulnya ikan dsb tergantung darinya. Di daerah Mandar hal ini dijadikan suatu cerita yang dengan gampang dianggap sebagai cerita dongeng saja: Pada hari kedelapan pada bulan kedelapan sejenis roh yang bernama Datuk berjalan di langit dari Selatan ke Utara melewati Selat Makassar, dan ketika ia lewat, terdengar segala bunyian musik di langit; tanda berjalannya adalah tiga “ombak’’ yang bersusun-susun di pantai, dan setelahnya biasanya sekali lagi datang angin deras. Jika ditafsirkan secara mendalam, maka dengan “tiga ombak yang bersusun-susun di pantai’’ itu dimaksudkan jejak-jejak tiga kali air pasang yang lebih tinggi yang terjadi sebelum Sang Datuk itu lewat - dan memanglah pada bulan kedelapan terjadi air pasang terendah pada setahun.

Kebenaran cerita yang seperti itu cukup susah didapatkan: Sebagian besar informan hanya tahu menceritakannya, tapi tidak dapat mengartikan maksudnya, sehingga data-data yang diperoleh dengan cara yang demikian harus dibandingkan dengan penemuan-penemuan ilmu kelautan moderen. […] Demi itulah kita dituntut untuk lebih memperhatikan dan memperdalam konsep dan gagasan yang dianut masyarakat-masyarakat tradisional - dan yang tak boleh dilupa adalah, bahwa butir-butir pengetahuan indigen yang demikian dikumpulkan dan diuji melalui suatu proses yang berlangsung selama ratusan tahun, dan sering jauh melebihi yang bisa kita dapatkan lewat suatu studi perpustakaan saja.

20 Saya akan membahas hal ini dalam bab 3.1 dan 3.3 21 Liebner 1999(c):259 22 Global Positioning System, suatu jaringan palapa yang digunakan untuk menentukan posisi-posisi di atas permukaan bumi 23 Lihat Liebner 1999(a):3-4

8 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

Sebagaimana disebutkan di atas, penelitian-penelitian tentang tradisi kebaharian yang diadakan selama ini pada umumnya berfokuskan “studies of the surviving small sailing vessels”, dan sering tak menyentuh latar-belakang teknologi, sosial, sejarah dan budaya yang terkait dengannya secara men- dalam. Namun, di antaranya terdapat pula sekian banyak tulisan yang sekurang-kurangnya sempat menggambarkan tipe-tipe perahu dan penggunaanya dengan cukup seksama: Saya di sini hanya ingin menyebutkan karangan-karangan Ammarell (navigasi pelaut-pedagang Bugis), Borahima dkk. (pera- hu-perahu Bugis-Makassar), Doran (evolusi perahu bercadik), Gibson-Hill dan Warrington-Smyth (tipe-tipe perahu di Semenanjung Malaya), Haddon dan Hornell (perahu bercadik Austronesia), Horridge (tentang sekian banyak aspek sejarah dan keadaan indigen perahu-perahu Indonesia), Manguin (sejarah perkapalan Nusantara), Nooteboom (perkapalan dan pelayaran Indonesia), Pelly (pembuatan perahu di Sulawesi Selatan), Wangania (perahu-perahu Madura) 24 . Sayangnya, dari peng-

arang tersebut hanya sebagian kecil berasal dari Indonesia – dan yang lebih saya sayangkan, dari ter- bitan hasil-hasil penelitian ini pun hanya segelintirlah yang bisa didapatkan di perpustakaan-perpus- takaan di dalam negeri, sehingga secara serius membahas masalah tradisi kebaharian Nusantara bukanlah suatu hal yang gampang dan sering harus didasarkan atas asumpsi dan perkiraan saja.

2 Latar Belakang Historis

2.1 Migrasi Suku-Suku Austronesia Pembuatan perahu, pelayaran dan navigasi tradisional di wilayah Nusantara merupakan sebuah crucial point dalam teori-teori migrasi di wilayah Oseania:

To account for the Malayo-Polynesian migrations in the insular environment of Oceania, where islands are often separated from their nearest neighbours by long stretches of open water, the migrants would have had to possess a relatively complex culture, specifically one which included

developed water craft and advanced navigational skills. 25

Suku-suku Austronesia yang pada abad ke-20 sebelum Masehi mulai mendatangi Nusantara dari arah Utara dan Barat telah menciptakan tipe perahu bercadik sebagai alat transportasi migrasi mereka, dan perkembangan jenis-jenis perahu asli Nusantara maupun kawasan Oseania pada umunya didasarkan atas ciptaan itu. Tipe perahu bercadik adalah suatu penemuan yang sangatlah canggih dari segi teknik perkapalan – malahan, jenis perahu ini telah menjadi contoh untuk perahu-perahu pesiar dan lomba moderen: Beberapa tipe perahu pesiar dan lomba seperti katamaran dan trimaran dirancang dengan mengikuti contoh-contoh perahu tradisional yang didapatkan di wilayah Oseania ini.

Riset telah membuktikan, bahwa alat angkutan utama Suku-Suku Austronesia, perahu bercadiknya, terdapat sepanjang jalur migrasi mereka dari Madagaskar di penghujung barat daya Samudera India sampai ke pulau-pulau Polinesia di bagian timur Samudera Pasifik. Menurut hasil beberapa penelitian, kemungkinan wilayah Sulawesi telah merupakan salah satu pusat utama penyebarannya: Dari perbandingan pola-pola konstruksi dan teknik pembuatan perahu bercadik Doran menyimpulkan, bahwa “an Indonesian centre of boat complexity at [...] perhaps 1000 to 500 BC in the vicinity of Sulawesi is a reasonable hypothesis at this stage of knowledge” 26 .

24 Detil-detil kepustakaan terdapat dalam Daftar Pustaka. 25 Murdock 1968:92 26 Doran 1981:91

Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

INDONESIA/

Secara geografis wilayah Nusantara Timur dan

katir cadik

MALAYSIA

Pilipina Selatan merupakan ‘pintu utama’ buat

Sulawesi Selatan

Suku-Suku Austronesia untuk memasuki kawas-

somang baratang an Pasifik, dan beberapa penemuan linguistik

KONJO

somang baratang kelihatan dapat memperkuat anggapan ini:

MAKASSAR

ati baratang Misalnya, dalam penelitiannya tentang morfo-

BUGIS

palatto baratang logi beberapa bahasa Sulawesi dan Polinesia,

MANDAR

katir baratang Kähler (1951) telah membuktikan kesamaan- kesamaan yang menonjol. Dalam tabel 2.1.1

BAJAU (SulSel)

Buton

terlihat pembandingan kata ‘katir’ dan ‘cadik’

WANCI

barata ?

dalam beberapa bahasa Austronesia, dan ter-

CIA-CIA

polanto barata

utama persamaan antara kata-kata yang me-

SIOMPU

polanto darangka

nandai ‘katir’ dalam bahasa-bahasa asal Indo-

BINONGKO

londe katiwa

nesia bagian timur dan Polinesia sangat jelas.

BAJAU (Buton)

katir jarangka

Bagaimanapun, penelitian-penelitian yang mem-

Indonesia Timur

bahas tipologi dan pola konstruksi perahu-pera-

TERNATE

sama nadyu-nadyu ?

hu bercadik di kawasan Oseania sampai seka-

BACAN

somang bairungan

rang lebih berorientasi ke kawasan Mikro- dan

GALELA

suma sesa

Polinesia 27 , dan saya hanya mengenali karangan

TOBELO

hama jaduku

Frederici (1912), Hornell (1920) dan Noote-

TALIABU

somang farotang

boom (1932) yang membahas tipologi perahu-

AMBON (Mal)

semang

perahu bercadik di Indonesia secara meluas.

Jawa

Selain itu, selama ini belum ada penemuan

JAWA

blanjungan ? arkeologi yang dapat dipastikan sebagai sisa

MADURA

katir pelejungan perahu yang berasal dari abad-abad sebelum Mikronesia

tahun 0, dan variasi antara tipe-tipe perahu

Ralik-Ratak

gubak abid bercadik kontemporer Nusantara amat besar,

Lamotrek

tam kio, gio sehingga kita hanya dapat menyimpulkan be-

Truk

tam kio berapa garis besar tentang sifat ‘perahu-perahu Polinesia

Austronesia’ itu. Sifat pertama adalah adanya

HAWAII

ama, akea

iako

cadik dan katir – akan tetapi, kita tak dapat

TAHITI

ama iato menentukan cara pemasangannya, atau apakah

COOK ISL.

ama kiato perahu-perahu itu bercadik ganda atau tunggal;

SAMOA

ama ‘iaito sifat kedua adalah bahwa perahu-perahu itu

TONGA hama, katea

kiato, kaso

berdasarkan perahu batangan yang ditingkatkan

dengan satu atau lebih keping papan. Kita da- bahasa (HURUF KAPITAL) dan daerah pat mengimplikasikan bahwa sambungan antara (Huruf Biasa).

Tabel 2.1.1: Kata ‘katir’ dan ‘cadik’ dalam beberapa

papan dan batangan dilakukan dengan teknik lashed lug (gambar 2.1.2 dan bab berikutnya) –

tetapi sampai ke manakah teknik itu dikembangkan sebelum milenium pertama CE tak dapat ditentukan.

27 Lht msl. Frederici 1912, Nooteboom 1932, Hornell 1920, Haddon&Hornell 1935, Koch 1970, 1971, Thompsen& Taylor 1980, Doran 1972, 1981

10 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

Pengikat dari tali ijuk, sabut kelapa atau rotan

Lug untuk mengikat gading- gading pada lambung

Katir

Papan atau kayu melintang sebagai ‘pengganti’ gading- gading

Cadik Gading-Gading

Batangan

Papan tambahan

Gambar 2.1.2: Asumpsi cara pembuatan perahu-perahu bercadik sebelum tahun 0. Bagian kiri perahu

memperlihatkan cara memasang / mengencangkan papan di atas perahu batangan dengan menggunakan kayu batangan atau papan yang diikatkan sebagai ‘penyepit’; bagian kanan memperlihatkan penggunaan gading-gading yang diikat ke dalam lambung perahu. Bdg. juga gambar 2.2.2

Sejak dua dekade yang silam diadakan pula beberapa penelitian mendalam 28 tentang navigasi tradisional di kawasan Mikro- dan Polinesia, dan hasil penelitian-penelitian tersebut membuktikan

asumpsi para sejarahwan, bahwa Suku-Suku Austronesia telah menciptakan sebuah sistem navigasi yang mantap. Orientasi di laut dilakukan dengan menggunakan pelbagai tanda alam yang berbeda- beda, dan dengan memakai suatu teknik perbintangan sangat khas yang dinamakan ‘star path navigation’: Secara dasar, para navigator menentukan haluan-haluan ke pulau-pulau yang dikenali dengan menggunakan posisi terbitnya dan terbenamnya bintang-bintang tertentu di atas cakrawala. Ammarell dalam penelitiannya tentang navigasi pelaut Bugis kontemporer sempat membuktikan suatu sistem orientasi yang sejajar di Indonesia 29 , dan saya mendapatkan informasi yang serupa di daerah Mandar 30 . Suatu hal yang lain yang dapat menjadi bukti atas kesamaan-kesamaan ini adalah

terminologi yang digunakan pelaut ‘tradisional kontemporer’ untuk menandai manuver-manuver sebuah perahu layar (gambar 2.1.3): Dasar teknik melayarkan sebuah perahu layar adalah sama bagi

28 Lht. msl. Gladwin 1970, Lewis 1972, Thompsen&Taylor 1980, Feinberg 1988 29 Ammarell 1999 30 Liebner 1996(a):25

IND:

BELOK KE ARAH ANGIN

ENG:

TO TACK

IND:

BERLAYAR DEKAT ANGIN

MAK: salurang ??

ARAH ANGIN

ENG: CLOSEHAULED

BUG, KON, MAN:

tunggeng biluq KON:

aqbiluq

BAJ: pabbiluq ka diata MAN:

biluq

BIN, TOM:

koti belu BAJ:

pabbiluq, tutukuq kasangei ?

WAN: koti belo BIN:

kantad(h)i

CIA: bali belu TOM, WAN, CIA: pabelu SIO: bali belo SIO: belo paletanga MNL: bélok ?? MNL: (berlayar) rapat angin

MAL: pal?

TURUT DENGAN ANGIN ENG:

IND: KE ARAH ANGIN

IND:

COME ROUND BUG:

IND:

BEROPAL2, MEMAIR

ENG:

CAST TO LEE SIDE

pabbiluq

MAK, MAN: biluq ENG:

BEATING TO WINDWARD

BUG:

patturuq

KON: paqbiluq BUG: maggaragaji MAK:

turuq

BAJ: bilu KON: aqgaragaji KON:

patturuq

BIN, TOM:

belu MAN: magaragaji MAN:

turuq

belo BAJ: taqtadaang BAJ, BIN, TOM, WAN, SIO : turu CIA: belu naide, pabelu ? BIN, TOM: opala CIA: curu, panuncuru ? MNL: billok ?? WAN, SIO: karakaji MAL: turut

WAN, SIO:

MAL: beluk CIA: karakaci

IND:

ANGIN DARI TENGAH BURITAN

Gambar 2.1.3: Manuver perahu layar

IND:

ANGIN DARI SAMPING

ENG:

SAIL WITH QUARTERING WIND

dan peristilahannya dalam ENG:

BEAM WIND, WIND ABEAM

MAK: turuq

BUG: anging tengngaq ?

KON: lari sihali

beberapa bahasa

KON, MAN: lari sambang MAN: turuq BAJ: passampiri, pangissi BAJ: sangei kamanbuli, passamba BIN: pasamba

IND: Indonesia ENG: Inggris

BIN: tanasawengka

TOM: tana asawengka ? TOM: paletanga

BUG: Bugis KON: Konjo

WAN: langke sawengka WAN: langke sawengka ?

MAN: Mandar BAJ: Bajau

CIA: tandawongka ? CIA: pasamba

SIO: paletanga ? SIO:

bangu turu paletanga

BIN: Binongko TOM: Tomea

WAN: Wanci CIA: Cia-Cia

IND:

ANGIN DARI BURITAN

IND:

BELOK DENGAN ANGIN DARI BELAKANG

SIO: Siompu MAL: Malaysia

ENG:

WIND RIGHT AFT

ENG:

TO GYBE BUG, KON, MAN:

KON: panggang ? tunggeng turuq MNL: Bhs Melayu (menurut kamus-kamus BAJ: paballiq turu pelaut Belanda)

MAN: turuq puar BIN, TOM, WAN:

BAJ: patturu ? koti turu

BIN, TOM, WAN, SIO:

CIA:

bali curu

bangu(n) turu

CIA:

SIO:

bali turu

bangu(n) curu

12 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

semua pelaut, dan kemiripan peristilahan yang menonjol dalam bahasa-bahasa Sulawesi kemungkinan besar bisa dilacak sampai ke Polinesia atau Madagaskar.

2.2 Tahun 0 s/d 1000 CE: ‘Indianisasi’ atau ‘Perdagangan Internasional’? Hubungan antara India, Cina dan Kawasan Nusantara dapat dibuktikan sejak sekurang-kurangnya

abad-abad pertama CE 31 : Rempah-rempah asal Nusantara dikenali dan dikonsumsi di Cina sejak abad ke-5 SM, dan selambat-lambatnya sejak abad ke-2 CE warga kota Roma dapat membelinya di pasar-

pasar, didatangkan melalui India, Persia, Arabia dan Mezir 32 . Berkat perdagangan laut ini, sampai abad ke-6 CE terbentuklah beberapa kerajaan di sepanjang Selat Malaka yang bukan hanya

mengontrol dan menguasai jalur utama perdagangan antara India dan Cina itu, tetapi juga menjadi penyuplai dan pemilik utama armada perahu-perahu dagang yang mendistribusikan rempah-rempah dan produk Nusantara lain, porselein dan sutera Cina, kain dan produk-produk manufaktur India di sepanjang Samudera India dan Laut Cina. Sampai tahun 1000 para pelaut Nusantara itu menemui dan mengolonisasi Pulau Madagaskar di penghujung Barat Daya Samudera India, sehingga “exchanges with the remote island across the Indian Ocean lasted into the early centuries of Islamization of Sumatra” 33 .

Catatan-catatan tertulis paling tua mengenai jenis dan bentuk perahu Nusantara yang menjadi sarana utama dalam sistem perdagangan itu berasal dari Cina: Syahbandar, pejabat, biksu dan ilmuwan

sudah pada abad ke-3 CE memperhatikan k’un-lun b/po 34 , ‘perahu-perahu layar orang Lautan Selatan’, atau bahkan menggunakannya untuk –misalnya– perjalanan ziarah ke/dari India. Akan tetapi,

sebagian besar dari mereka bukan pelaut atau pengrajin perahu, sehingga gambaran-gambaran yang didapatkan jauh dari lengkap. Bagaimanapun, yang mengherankan adalah ukuran p/bo itu: Dalam tulisan asal Cina disebutkan, bahwa perahu-perahu p/bo dapat “membawa antara enam sampai tujuh ratus orang, dengan muatan sampai 10.000 ikat muatan [yang diperkirakan antara 250 – 1000 ton metrik]” (abad ke-3 CE), atau “dapat mengangkut lebih daripada 1.000 orang, selain muatannya” (abad ke-8 CE) 35 . Menurut Manguin, dari deskripsi-deskripsi yang demikian dapat dipastikan bahwa perahu-perahu samudera asal Nusantara pada millenium pertama CE

were very large, even by modern sailing standards (up to 50m in length, some 600 tons burden), […] rigged with multiple masts and sails, a sure indication of sophisticated high seas sailing skills, […and(!) …] probably had no outriggers, for such a conspicous device would no doubt have struck the

minds of the Chinese witnesses. 36

31 Lht. msl. Bellwood 1985:137ff, 279ff, Coedes 1968:36ff 32 Bagi Kekaisaran Roma konsum rempah-rempah ini menjadi suatu malapetaka ekonomi, sebab impor barang eksotis

dibayar dengan menggunakan uang; pada abad ke-3 dan ke-4 CE para kaisar terpaksa melarang ‘ekspor’ koin-koin Romawi untuk mencegah meluasnya krisis moneter Roma yang disebabkan oleh ‘pelarian devisa’ guna membeli rempah-rempah. Maka, penemuan koin-koin Romawi di India, Malaya dan Jawa tak usah mengherankan (lht. msl. Wheatley 1961, Gupta 2001)

33 Manguin 1995:183 34 “The meaning of the term K’un-lun has varied widely in the course of the centuries. But, during the period considered here, it indicates unequivocally Southeast Asian populations, among which was that of Srivijaya. Po [atau, di sumber

lain, bo – pen.] is a term of foreign origin –according to the Chinese themselves- which the Chinese used to refer to the ships of the K’un-lun.” (Manguin 1980:274)

35 c.f. Manguin 1980:275, Needham 1971:495ff, terj. pen. 36 Manguin 1995:189; italics oleh pen.

Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

Gambar 2.2.1: Maket sebuah perahu tipe kora-kora dari Horridge 1978:17. Perhatikanlah kesamaan

dalam misalnya bentuk linggi dan anjungan-anjungan di atas lambung dengan fresko perahu di Borobudur.

Deskripsi-deskripsi ini memang agak berseberangan dengan pendapat sekian banyak pengamat sejarah kemaritiman (Nusantara) lain 37 serta tidak didukun oleh penemuan arkeologi dan ikonografi:

Baik fresko perahu terkenal pada Candi Borobudur maupun sisa-sisa kapal karam yang ditemukan sampai sekarang berasal dari perahu-perahu yang ukurannya lebih kecil. Akan tetapi, terutama ‘perahu Borobudur’ itu dari cara konstruksinya dengan jelas dapat digolongkan dalam sekelas dengan perahu-perahu kora-kora, yang sebagai tipe pada umumnya berukuran jauh lebih kecil daripada yang disebut dalam sumber-sumber Cina (lht. gambar 2.2.1). Selain itu, dalam sumber-sumber tertulis Eropa –dari baik petualang seperti Marco Polo atau Odoric de Pordenonne maupun nakhoda- nakhoda Portuges pertama yang sampai ke Nusantara– tercatat pula adanya kapal layar yang sangat besar ukurannya (kita dalam bab 2.3 akan kembali ke hal ini).

Saya sendiri setuju dengan pendapat Manguin, bahwa “the various states that dominated the late first millenium A.D. historical scene in Insular Southeast Asia […] were no doubt complex enough polities to provide sufficient financial means, manpower and organizational capacities to suceed in building such large vessels” 38 – meski kemungkinan besar ‘perahu dagang biasa’ berukuran lebih kecil

(lht. uraian mengenai jenis-jenis perahu pada zaman kolonial pada bab 2.4), tak tertutup juga kemungkinan adanya kapal kayu berukuran sebesar tipe b/po itu. Dan ada satu hal yang sebaiknya

37 Msl., Chaudhuri (1985:141) menggambarkan perahu-perahu Nusantara pada abad-abad antara “the Rise of Islam and 1750” sebagai “fast, light boats [of] light construction […] and limited cargo-carrying capacity”; Knaap (1996:153)

menyebutkan bahwa “the average volume mentioned by Manguin was simply too high”. 38 Manguin 1995:190

14 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

tak kita lupa: Jumlah penduduk Nusantara pada abad-abad pertama CE itu amat kecil 39 , sehingga jumlah lalu-lintas laut, volume perdagangan dan jumlah perahu-perahu berukuran besar yang

diperlukan dan dipergunakan dalam perdagangan internasional dapat dipastikan adalah amat kecil juga. Bila kita misalnya membandingkan angka-angka yang –berdasarkan catatan Portuges 40 dan

VOC– disebut Knaap untuk perdagangan Java antara awal abad ke-16 s/d akhir abad ke-18 dengan perkiraan jumlah penduduknya, maka secara kasar dapat diasumsikan bahwa seluruh lalu-lintas internasional pulau itu (artinya, hubungan laut ke India dan Cina!) tak mungkin melebihi 10 perjalanan/tahun pada abad-abad sebelum tahun 1000 CE – yang belum pasti seluruhnya dilaksanakan oleh perahu-perahu sebesar tipe b/po.

Biarpun batasan atas ukuran perahu-perahu Nusantara pada abad-abad ini dapat didiskusikan, berkat adanya penemuan arkeologi kita sekurang-kurangnya dapat menyimpulkan beberapa sifat teknik konstruksi kapal kayu zaman itu.

(1) Tiada bukti bahwa semua tipe perahu pada masa itu memakai cadik dan katir. Secara teknis, pemasangan katir dan cadik pada sebuah perahu yang sebesar b/po itu hampir mustahil; pada candi-candi Jawa juga terdapat gambar-gambar perahu tanpa cadik; dari penemuan arkeologi

selama ini belum ada bukti tentang adanya cadik / katir pada perahu-perahu yang berukuran s/d 30m panjangnya.

(2) Sisa-sisa perahu dari milenium pertama mengimplementasikan adanya sebuah teknik pembuatan yang dikenali sebagai lashed-lug and stitched plank tradition; lambung perahu-perahu yang dihasilkan dengan teknik itu terdiri dari sebatang lunas / papan pengganti lunas dan sejumlah susunan

keping-keping papan, dan mungkin beberapa lapisan papan kulit; teknologi ini memungkinkan pembuatan lambung dengan ukuran yang jauh melebihi jenis-jenis lambung yang didasarkan atas perahu batangan.

Sebab hampir semua tahap evolusi cara pembuatan lambung perahu dapat ditelusuri sampai sekarang, terutama poin (2) di atas perlu digambarkan dengan lebih luas di sini. Salah satu sumber Cina menggambarkan bentuk lambung perahu b/po sebagai berikut:

With the fibrous bark of the coconut tree, they make cords which bind the parts of the ship together. Nails and clamps are not used [… . The ships] are constructed by assembling [several]

thicknesses of side-planks, for the boards are thin and they fear they would break. 41

Cara konstruksi ini, yaitu ‘mengikat’ bagian-bagian lambung dengan menggunakan tali yang terbuat dari serat ijuk atau kelapa serta dengan rotan pada tahun 70an abad ke-20 masih terdapat dan disaksikan di beberapa kepulauan Indonesia Timur 42 , dan digambarkan oleh hampir semua pengamat Eropa pertama sebagai sifat utama perahu-perahu di kawasan Samudera Hindia (lht. poin 2.3 di

39 Misalnya, Reid (1988:14; bdg. juga Ricklefs 1981/91:22-3) menyebutkan angka sekitar 14 juta penduduk untuk daerah- daerah yang sekarang mencakupi Indonesia (dikurangi Papua Barat) dan Malaya pada tahun 1800, dan memperkirakan

suatu angka sekitar 10juta bagi tahun 1600 – artinya, sejajar dengan argumen-argumen Reid bahwa penambahan penduduk sebelum pasifikasi wilayah ini pada akhir abad ke-18 berkat adanya kekuatan Barat tak terlalu signifikan, maka jumlah penduduk Nusantara sebelum tahun 1000 CE tak mungkin melebihi angka 5-6juta!

40 Menurut laporan Tomé Pires, jumlah perahu besar tipe jung yang terdapat di Jawa Utara adalah sebagai berikut: Sunda Kelapa, 6bh; Cirebon, 4bh; Tegal, 1bh; Semarang, 3bh; Demak, paling tinggi 40bh; Jepara, 20bh; Gresik, sekitar 30bh.

Armada gabungan Palembang dan Jawa yang menyerang Malaka pada tahun 1513 terdiri dari sekitar 40 buah perahu besar tipe jung dan 60 buah perahu sedang tipe lancara (Knaap 1996:161 ck.1).

41 C.f. Manguin 1980:275 42 lht. msl. Horidge 1978

Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

Lug untuk mengikat gading-gading pada

papan lambung

Pasak Kayu

‘Jahitan’ dari tali ijuk, sabut kelapa atau rotan

Lug untuk mengikat gading-gading pada

papan lambung

Pasak Kayu

‘Pengunci’ pasak yang menghindari lepasnya

Gambar 2.2.2: Rekonstruksi cara pemasangan papan yang didasarkan atas dua penemuan arkeologi (atas:

Pontian, Pahang, Malaysia, antara abad ke-3 dan ke-5 CE [call. 14 C]; bawah: Butuan, Mindanao Utara, Pilipina, antara abad ke-13 dan ke-15 [ 14 C]). Papan-papan dari Pontian dipasang dengan menggunakan dua teknik, yakni ‘menjahitnya’ dengan tali ijuk melalui lobang-lobang yang terdapat di sisi atas dan bawah masing-masing keping papan serta dengan pasak kayu; papan- papan dari Butuan dikaitkan dengan menggunakan pasak kayu saja yang dipasang dalam jarak yang lebih dekat daripada yang terdapat pada papan-papan dari Pontian. Lugs yang terdapat pada permukaan dalam papan-papan itu digunakan untuk mengikat gading-gading perahu kepada papan lambung; lobang pengikat gading-gading yang terdapat dalam lugs pada papan dari Pontian jauh lebih besar daripada lobang-lobang yang terdapat pada papan dari Butuan. Gambar ini mengikuti gambar yang terdapat dalam Manguin (1995:187) dan tak memakai sekala.

bawah ini). Evaluasi penemuan-penemuan arkeologi membenarkan adanya teknologi ini: Pada papan-papan hasil ekskavasi yang diperiksa Manguin terdapat tanda-tanda seperti lobang-lobang, lugs dsb. yang secara jelas berhubungan dengannya (lht. gambar 2.2.2 dan 2.3.1). Bahkan, dari evaluasi dan penentuan konteks waktu pembuatan papan-papan yang ditemukan oleh para arkeolog ini dapat disimpulkan, bahwa “[the] stitching of the planks together appears to have progressively given way to dowelling” 43 , teknik pembuatan perahu tradisional Nusantara yang tetap digunakan pada masa

kini. Perubahan ini kemungkinan terjadi setelah semakin banyak alat yang terbuat dari besi bersedia bagi para pengrajin perahu: Melobangi sebuah papan kayu tropis adalah suatu pekerjaan yang sangat berat tanpa peralatan besi, dan kita dapat mengasumpsikan bahwa dengan pertambahan volume perdagangan dan penukaran pengetahuan teknis antara kebudayaan-kebudayaan Asia juga semakin banyak peralatan menjadi bersedia sekurang-kurangnya di pusat-pusat sistem perdagangan itu – di

43 Manguin 1995:185

16 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner

mana pula ada kebutuhan atas perahu perdagangan dan perang yang semakin kuat dan besar. Menurut Chaudhuri,

As long as the Asian shipwright had the use of a wood-drill or a gouging chisel, he could make holes in a hard timber such as teak and utilise iron treenails for fastening the sheating timber to the internal frames. The larger the sip and the higher the total cost of construction, the easier it was for

the owners to absorb the extra cost of iron. 44

Dengan ini kita tidak mendapatkan saja suatu petunjuk atas kemungkinan-kemungkinan adanya dan cara pembuatan kapal layar sebesar b/po itu, tetapi juga harus mulai melihat teknologi kemaritiman Nusantara dalam framework perdagangan laut Asia yang lebih luas itu.

2.3 Tahun 1000 s/d 1600: ‘The Age of Commerce’ Kelihatannya, sistem perdagangan lewat laut sejak tahun 1000 semakin terorganisir: Hubungan di

antara kedua ujungnya, yakni Arabia dan Cina, tak lagi disalin melalui single voyages, ‘pelayaran tunggal’, tetapi dengan suatu pola perdagangan yang terdiri dari tiga segmen, yaitu bagian Barat yang menghubungi Jazirah Arabia (dan dengan itu Asia Minor, Afrika dan Eropa) dengan India, bagian Tengah antara India dan Selat Malaka serta bagian Timur, Cina dan Nusantara. Jalur, arah dan waktu perdagangan dalam masing-masing segmen ini disesuaikan dengan keadaan cuaca selama setahun,

sehingga dapat mendukung dan melancarkan aliran barang dagangan di antara ketiga segmen itu 45 . Kita mungkin dapat mengambil serangan Kerajaan Chola atas Srivijaya pada tahun 1025 46 sebagai

titik awal ‘Zaman Perdagangan’ ini; pada waktu itupun terjadi perkembangan armada niaga Cina yang berikutnya berpartisipasi secara langsung dalam perdagangan laut Asia. Puncaknya mungkin ekspedisi-ekspedisi laut Cina yang pada awal abad ke-15 mengarungi seluruh Samudera India sampai Jiddah dan Kilwa di ujung Barat dan Barat Dayanya dengan armada-armada perahu layar terbesar