Masa Depan Perkapalan dan Pelayaran Tradisional Sebagaimana kita ketahui, tradisi yang berfaedah bukanlah suatu keadaan yang statis. Dalam arti
4 Masa Depan Perkapalan dan Pelayaran Tradisional Sebagaimana kita ketahui, tradisi yang berfaedah bukanlah suatu keadaan yang statis. Dalam arti
sebenarnya tradisi adalah seutas tali pewarisan yang tidak pernah putus, yang bahkan oleh ketidak- putusan itu mampu untuk berkembang terus - jadi, suatu ‘ketradisian hidup’ yang didasarkan atas pengetahuan dan filsafat yang diturunkan dari generasi ke generasi akan mampu untuk menyertai perkembangan zaman berkat dasarnya yang semakin kuat itu: Dengan menghormati dan menjaga nilai-nilai tradisional kita dapat menyambut yang baru dengan penuh kearifan.
Dalam kerangka acuan suatu seminar mengenai pemgembangan masyarakat bahari yang pernah saya ikuti dilontarkan, bahwa ‘‘teknostruktur adalah bagian atau buah dari budaya masyarakat, [... dan ...] agar mereka mampu mengembangkan teknologi yang dibutuhkan, [...] pengembangan teknologi perlu didukung oleh budaya masyarakat yang sadar atau melek teknologi’’ 89 . Dalam pendahuluan kerangka
acuan acara itu disebutkan pula, bahwa orang asing sudah pada awal abad silam heran dan kagum terhadap pengetahuan para pelaut Nusantara - dan mengingat keterbatasan peralatan, modal dan sumber yang dimiliki masyarakat desa, seharusnya kita semua ikut kagum dan heran melihat
89 Kerangka Acuan Seminar Nasional Pengembangan Kelautan Indonesia, Tim Penyelenggara, UNHAS, Makassar, 1999:3
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
45 keberhasilan mereka dalam penghidupan sehari-harinya: Ternyata masyarakat kita memiliki teknologi,
bahkan yang cukup canggih dan sangat beradaptasi pada situasi dan kondisi mereka. Alhasil, membicarakan pengembangan IPTEK buat masyarakat bahari berarti membahas lebih
dahulu teknologi yang digunakan masyarakat, dan mengembangkan teknostruktur masyarakat itu artinya melihat budaya dan kebudayaan yang melatarbelakangi, baik pengetahuan teknik yang dimiliki maupun struktur sosial dan kultural yang merupakan landasan utama dalam penerapan teknologi, baik yang bersifat tradisional maupun yang modern. ‘Kebudayaan yang melatarbelakangi’ hal-hal tersebut secara paling dasar berarti suatu kumpulan konsep, gagasan, cita-cita dan citra-citra yang dianut suatu masyarakat - dan dengan ini, kita dituntut untuk membahas secara mendalam pola-pola pikiran yang dipergunakan dan diikuti masyarakat dalam pendekatannya terhadap keseluruhan kebudayaanya.
Selain itu, terhadap realitas kehidupan masyarakat bukanlah suatu pendekatan makrostruktur yang dirumuskan di luar lingkungan mereka akan menjamin sustainable development, akan tetapi hanya suatu pendekatan yang berfokus pada kasus-kasus nyatalah mampu menghasilkan pengembangan yang berkelanjutan - dan pasti bukanlah percobaan-percobaan teknologi canggih-canggih yang dari sisi pengadaannya maupun penerapannya jauh dari jangkauan seorang kampung, tetapi hanya embedded technology, teknologi yang berfokus kepada serta terintegrasi dalam yang dibuat dan digunakan oleh masyarakat dapat menjadi strategi-strategi yang ‘‘mampu menciptakan kondisi yang kondusif bagi
pengembangan teknologi secara mandiri’’ 90 .
Untuk menggambarkan hal ini dengan lebih konkrit, perkenankanlah saya untuk mengambil salah satu dari sekian banyak contoh gagalnya penerapan teknologi modern di dalam lingkungan tradisional. Beberapa tahun yang silam diadakan suatu proyek percobaan pembuatan perahu secara barat di sekian banyak desa di Sulawesi Selatan, di mana pembuatan lambung perahu dimulai dengan memasang dahulu gading-gadingnya yang berikutnya dilapisi dengan papan. Teknologi ini bertentangan secara diametral dengan tradisi teknik lokal yang memulai dengan pemasangan papan dan berikutnya ‘mengisi’ lambung perahu yang dihasilkan dengan gading-gading. Selain daripada itu, untuk menerapkan teknologi barat itu dituntut adanya gambar konstruksi berdimensi tiga yang memastikan ukuran gading-gading yang diperlukan, sedangkan pada teknik indigen Sulawesi Selatan bentuk lambung perahu ditentukan melalui tatana, ‘potongannya’: Sebagaimana diterangkan dalam bab 3.1, dengan istilah-istilah akan rupa lambung serta suatu peristilahan sangat rumit yang menandai posisi dan bentuk masing-masing papan dalam konstruksi badan perahu seorang pengrajin tradisional dapat menghasilkan puluhan jenis kapal yang berbeda-beda tanpa gambar konstruksi. Di salah satu desa di daerah Mandar kami dengan heran melihat, bahwa gading-gading dari proyek itu sampai sekarang masih disimpan di depan rumah seorang pengrajin perahu - ternyata baik para pengrajin tradisional maupun para pembimbing dari Pemda dan perguruan tinggi tak mampu menyelesaikan proyek ini di situ, sedangkan baik di pantai kampung itu maupun di lokasi-lokasi proyek lainnya selama ini dibangun puluhan perahu baru dengan memakai teknik tradisional saja. Artinya, tujuan proyek yang cukup tinggi biayanya itu, yakni memasyarakatkan suatu teknologi baru, tak tercapai sebab kelompok sasaran dengan lebih gampang, lebih cepat dan lebih pasti dapat berhasil dengan memakai teknik indigen mereka.
90 Kerangka Acuan ...., op.cit.:3
46 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Pada contoh ini dapat kita saksikan pula sesuatu yang lain: Agar masyarakat menjadi mampu mengembangkan dan memanfaatkan IPTEK secara mandiri memang perlu pengembangan SDM (dalam hal tersebut di atas misalnya ketrampilan membaca gambaran tiga dimensi) - akan tetapi, yang mungkin lebih penting bukan SDM orang kampung, tetapi SDM para penyelenggara proyek-proyek pembangunan yang demikian. Lagi dari contoh yang tadi itu: Sampai sekarang sebagian besar dari para penentu keputusan di pelbagai tingkat pemerintahan, organsiasi dan lembaga pengembangan maupun jajaran akademisi belum mengetahui adanya rumus-rumus pembuatan tipe-tipe perahu lokal yang dikonsepkan dan direalisasikan melalui suatu kesatuan dari upacara-upacara dalam proses membangunkannya dan peristilahan akan bentuk dan posisi masing-masing papan dalam konstruksinya itu, sehingga para penentu proyek-proyek pengembangan itu seringkali cenderung beranggapan, bahwa masyarakat tradisional tak memiliki teknologi yang sederajat dengan teknologi modern yang ingin diajukan itu. Akan tetapi, ternyata para pengrajin tradisional itu dengan cara, pendekatan dan konsep-konsep indigen mereka bahkan sempat memecahkan masalah-masalah teknis yang cukup rumit secara mandiri - contoh terbaik adalah keberhasilan para pengrajin perahu Sulawesi Selatan dalam mengubah jenis-jenis lambung perahu layar tradisional sehingga mampu melengkapinya dengan mesin dalam, suatu proses yang terakhirnya menghasilkan perahu-perahu PLM berukuran ratusan ton yang sampai kini merupakan tulang rusuk perdagangan interinsuler Nusantara.
Yang menjadi masalahnya di sini: Para pengrajin tradisional dengan alat-alat sederhana selama ini sempat menghasilkan perahu-perahu yang secara nyata berlayar, mencari ikan dan mengangkut muatan - sedangkan, misalnya, mahasiswa Jur. Perkapalan UNHAS pada suatu acara pada tahun 1999 bahkan tak mampu membuat pelampung yang dapat melampung. Guna menggambarkan ‘nilai’ pengetahuan tradisional ini dengan lebih nyata di ruangan kuliah saya selalu menyebutkan contoh seorang lolosan akademi pelayaran yang disuruh melaut dengan perahu tradisional: Apakah ia akan kembali besok? Jadi, siapa lebih trampil: Seorang nelayan kampung yang bukan hanya kembali, tetapi membawa ikan pula, atau si nakhoda baru itu?
Masa depan pembuatan perahu dan pelayaran tradisional Nusantara ditentukan oleh beberapa masalah yang semakin mendeasak untuk dipecahkan. Soal utama bagi para pengrajin perahu adalah kekurangan kayu berkwalitas: Masalah itu dapat dipecahkan dengan beberapa teknologi modern seperti laminasi lambung kayu dengan bahan serat kaca. Menurut pemilik sebuah perahu katamaran modern yang sedang dibangun di Makassar dengan suatu kombinasi teknologi tradisional dengan teknik laminasi, biaya pembuatan lambung perahu itu adalah 10-15 kali (!) lebih murah daripada di Eropa – bila pengrajin perahu tradisional dilibatkan dan dibiarkan membangun lambung itu sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan mereka, yakni dengan teknik planks first. Dengan teknologi itu terdapat suatu kemungkinan untuk menciptakan lambung-lambung perahu yang kuat, ringan, berdaya tahan dan bernilai jual tinggi tanpa menguras habis hutan-hutan Nusantara. Pengembangan suatu sistem teknologi yang demikian harus didasarkan atas sebuah perpaduan pengetahuan dan kearifan indigen dengan teknik-teknik canggih yang sekaligus bersifat ‘akar rumput’ dan ‘paling mutakhir’: Tipe-tipe perahu apa yang paling prospektif dan efektif, baik bagi sektor pelayaran rakyat maupun sebagai bahan ekspor? Bagaimana, misalnya, dapat jenis-jenis kayu tropis dikeringkan di sebuah kampung sampai bisa disambungkan dengan lem epoxyd – atau, apakah epoxydnya bisa dikelola sehingga tak perlu kayu yang kering? Apakah sistem-sistem tradisional pengelolaan hutan dapat dikombinasikan dengan keperluan itu?
47 Bagi pelaut dan pelayar masalahnya adalah apakah pengetahuan tradisional mereka bisa mendapatkan
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
pengakuan resmi – menurut seorang instruktur pada salah satu akademi pelayaran di Sulawesi, bahkan merekalah, para pelaut yang seumur-sehidup berlayar dengan perahu-perahu tradisional, dengan jauh lebih cepat lulus dari tes-tes ijazah dasar pelayaran internasional daripada lulusan-lulusan sekolah-sekolah jurusan maritim. Pelaut tradisional dari sekian banyak desa di Sulawesi dan Madura sejak beberapa dekade dipekerjakan di seluruh Asia Tenggara (dan beberapa bahkan di Eropa dan Amerika) sebagai awak dan juragang di atas kapal-kapal modern, dan saya melihat sekian banyak nakhoda tua yang dalam beberapa hari saja dapat memahami dan menggunakan alat-alat navigasi canggih seperti radar dan GPS, dan memadukannya dengan pengetahuan tradisional mereka. Akan tetapi – bila mereka, para pelayar sejati itu tak diberikan pengakuan resminya, nasib bukan hanya mereka itu saja, tetapi pula ketrampilan dan pengetahun mereka yang selama ini terbukti ketangguhannya adalah kemusnahan.
Pariwisata bahari –dalam hal ini, menyediakan perahu-perahu tradisional sebagai sarana liburan– sedang menjadi suatu bidang tourisme yang semakin digemari oleh para pelancong asal dalam dan luar negeri – akan tetapi, jika para pelaut dan perahu tradisional sudah tidak tradisional lagi, masa depannya apa? Jelas: Hanya dengan semakin menghormati dan menjaga nilai-nilai dan kearifan tradisional ini dapat kita capai suatu masa depan yang lebih baik bagi kita semua.
Daftar Pustaka
Ammarell, G. 1999
Bugis Navigation, Yale Southeast Asia Studies, Monograph 48, New Haven Bryun Kops, G.F. de
1921 ‘Vaartuigen’, Encyclopaedie van Nederlands-Indie, vol. 5:422-46, Nijhoff, ‘s-Gravenhage Abas, H. u. T.D. Anderson
1990 Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi dalam Konteks Bahasa Nasional, Prosiding KonPerNas ke-5 Masy. Ling. Ind., UNHAS, Ujung Pandang
Badings, A.H.L. 1880
Woordenboek voor de Zeevaart, in het Hollandsch-Maleisch-Fransch-Engelsch ..., Schoonhoven, S.E. van Nooten&Zoon
Barnes , R.H. 1985
‘‘Whaling Vessels of Indonesia'', in MacGrail&Kentley 1985:345-66 Bellwood, P.
1978 Man ’s Conquest of the Pacific: The Prehistory of Southeast Asia and Oceania, Collins, Auckland 1985
Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Academic Press, North Ryde, London Biro Klassifikasi Indonesia
undat. Pedoman Konstruksi Kapal Layar Motor, Biro Klasifikasi Indonesia, Unit Inkomar, Jakarta Borahima, Ridwan dkk.
1977 Jenis-Jenis Perahu Bugis Makassar, Proy. Pengembangan Media Kebudayaan, Dep. P&K Burningham, Nick 1987
“Reconstruction of a Nineteenth Century Makassan Perahu’’, The Beagle, Records of the Northern Territory Museum of Art and Sciences 4(1):103-28
Caron, L.J.J. 1937
Het Handels- en Zeerecht in de Adatsregelen van den Rechtskring Zuid-Celebes, ’s-Gravenhage Cense, A.A.
1952 “Makassaars-Boegineesche Prauwvaart op Noord-Australie’’, Bijd. KITLV 108:248-64
48 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
1979 Makassaars - Nederlands Woordenboek, Martinus Nijhoff, ’s-Gravenhage Chaudhuri, K.N.
1985 Trade and Civilisation in the Indian Ocean: An Economic History from the Rise of Islam to 1750, University Press, Cambrigde
Coedes, G. 1968
The Indianized States of South-East Asia, East-West Center Press, Hawaii Correira, G.
1858 Lendas da India, Lisbon Collins, G.E.C.
1936 East Monsoon, MacMillan, London 1937
Makassar Sailing, MacMillan, London (repr. 1992, Oxford University Press, Singapore) 1944
“Seafarers of South Celebes”, National Geographic Magazine, Oct. 1944 Dempwolff, O.
1919 “Vergleichende Lautlehre des austronesischen Wortschatzes”, Ztschrft für Eingeborenensprachen Beiheft 15-7 Doran, E.
1972 “Wa, Vinta and Trimaran”, JPS 81(2):144-159 1981
Wangka. Austronesian Canoe Origins, Texas A&M University Press, College Station Dyen, I.
1965 A Lexicostatistical Classification of the Austronesian Languages, Indian University Press Publications, Memoir 19, Indiana
Erp, Th. van 1923
Voorstellingen van Vaartuigen op de Reliefs van den Borobudur, Adi-Poestaka, ’s-Gravenhage Evers, H.-D.
1991 “Traditional Trading Networks of Southeast Asia’’, in Haellquist 1991:142-152 Feinberg, R.
1988 Polynesian Seafaring - Ocean Travel in Anutan Culture and Society, Kent State Uni. Press, Kent, Ohio, London Fernández-Armesto, F.
1995 Millenium, BCA, Bantam Press, London Friederici, G.
1912 “Wissenschaftliche Ergebnisse einer Forschungsreise nach dem Bismarck-Archipel im Jahre 1908’’, Mitteilungen aus den deutschen Schutzgebieten, Erghft.5, Berlin
1928 “Die vorkolumbianischen Verbindungen der Südsee-Völker mit Amerika ’’, Mitt. a.d. dtsch. Schutzgeb., 36, 1 1933
“Das Auslegergeschirr der Südsee-Boote’’, Ethnolog. Anz. 2, 4:187-201 Friedericy, H.J.
1931 “Aantekenningen over Adat en Adatrecht bij de Bonesche Prauwvaarders’’, Koloniaal Tijdschrift 20:490-509 Gibson-Hill, C.A.
1949 “Cargo Boats of the East Coast of Malaya’’, JMBRAS 22, 3:106-25 1950
“The Indonesian Trading Boats reaching Singapore’’, JMBRAS, 23:108-138 1953
“The Origins of the Trengganu Prahu Pinas’’, JMBRAS, 26:?? Gonda, J.
1938 ‘Pigafettas Vocabularium van het Molukken Maleisch’, Bijd. KITLV 94:101-24 Groeneveldt, W.P.
1880 “Notes on the Malay Archipelago and Malacca from Chinese Sources’’, Verhandelingen van de Bataavsche Genootschap 39: i-x, 1-144
Haddon, A.C. & J. Hornell 1935
Canoes of Oceania, Bernice B. Bishop Museum, Special Publication 27-9, Honolulu Haellquist, K.R. (ed.)
1991 Asian Trade Routes, Scandinavian Institue of Asian Studies, Curzon Press, London Hashim, Mohd. Y.
1986 “Perdagangan dan Perkapalan Melayu: Rujukan Khusus kepada Bentuk Perdagangan dan Perkapalan Melaka di Abad ke-15/16 ’’, Hashim (ed.) 1986:1-26
(ed.) 1986 Kapal dan Harta Karam - Ships and Sunken Treasure, Persatuan Muzium Malaysia, Kuala Lumpur
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Haslam, D.W. 1983
Indonesia Pilot, Vol.II, The Hydrographer of the Navy, London Het Indische Boek
1925 Het Indische Boek der Zee, Uitgave van de Volkslectuur, 1925 Hornell, J.
1918 “Origins and ethnological Significance of Indian Boat Design’’, Mem. Asiatic Soc. of Bengal VII, VIII (1918-23) 1920
The Outrigger Canoes of Indonesia, Madras Fisheries Bulletin XII, Madras 1936
“Constructional Parallels in Scandinavian and Oceanic Boat Construction’’, Mariners Mirror 21, 4:411-27 1946
Water Transport - Origins and Early Evolution, Cambridge Horridge, G.A.
1978 The Design of Planked Boats of the Moluccas, National Maritime Museum, Maritime Monographs 38 1979 (a) The Konjo Boatbuilders and the Bugis Perahu of South Sulawesi, National Maritime Museum, Monograph 40, London 1979 (b) The Lambo or Perahu Boti: A Western Ship in an Eastern Setting, National Maritime Museum, Monograph 39,
Greenwich, London 1981
The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, Oxford University Press, Kuala Lumpur 1982
The lashed Lug Boat of the Eastern Archipelago, National Maritime Museum, Monograph 54, London 1986
Sailing Craft of Indonesia, Oxford University Press, Singapore Hourani, G.F.
1951 Arab Seafaring in the Indian Ocean in Ancient and Medieval Times, Princeton Keong, Ng Chin
1986 “Chinese Trade with Southeast Asia in the 17th and 18th Centuries’’, in Hashim 1986:88-106 Knaap, G.J.
1996 Shallow Waters, Rising Tide – Shipping and Trade in Java around 1775, KITLV Press, Leiden Koch, G.
1970 “Bootsbau und Hausbau in Ozeanien’’, Mitteilungen der Berliner Gesellschaft fuer Anthropologie, Ethnologie und Urgeschichte 2(3):154
1971 Materielle Kultur der Santa Cruz-Inseln, Museum f. Völkerkunde, Berlin, Bd. 21 et.al. 1984 Boote aus aller Welt, Staatliche Museen Preuss. Kulturbesitz, Berlin
Komisi Istilah 1956
Kamus Istilah Pelajaran Asing-Indonesia, Perpustakaan Perguruan P&K, Jakarta Kong, Y.
2000 Muslim Tionghoa Cheng Ho, Pustaka Populer Obor, Jakarta Kridalaksana, H.
1980 “Linguistic Reconstruction of Migration’’, Yg. Tersirat dan Tersurat, 98-105 Kriens, M.J.E.
1880 Hollands-Maleisch Technisch Marine-Zakwoordenboek, Oleef, ’s-Gravenhage Lapian, A.B.
1987 Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, Dissertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Le Roux, C.C.
1935 “Boegineesche Zeekarten van den Indischen Archipel’’, Tijdschrift van de Aardrijkskundige Genootschap 52:687-714 LeBar, F.M.
1963 “Some Aspects of Canoe and House Construction on Truk’’, Ethnology 2:55-69 Lee, K.H.
1987 “The Shipping Lists of Dutch Melaka”, Kapal dan Harta Karam - Ships and Sunken Treasure, Hashim, M.Y. (ed.): 53-76, Persatuan Muzium Malaysia, Kuala Lumpur
Leupe, F.A. 1849
“Wetboek voor Zeevarenden van het Koningrijk Makassar en Boegie, op het Eiland Celebes’’, Nederlandsch Indie, 1-6, I:305-317
Lewis, D. 1972, 1994 (rev.ed.) We, the Navigators: The Ancient Art of Landfinding in the Pacific, Australian National University Press,
Canberra Liebner, H.H.
1990 “Istilah-Istilah Kemaritiman dalam Bahasa-Bahasa Buton”, Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi dalam Konteks Bahasa Nasional - Prosiding KonPerNas ke-5, Abas, H., T.D. Anderson (ed), Masy. Ling. Ind., UNHAS, Ujung Pandang
50 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
1990/95 “Sulawesi's Archipelagic Fleet”, “Craftsmen at the Brink of Change”, Sulawesi - The Celebes, Volkman, T.A. & I., Caldwell (ed), Periplus Editions, Singapore, 1993
“Remarks about the Terminology of Boatbuilding and Seamanship in some Languages of Southern Sulawesi”, Indonesia Circle, 59/60, London, 1993
1996 (a) Beberapa Catatan tentang Pembuatan Perahu dan Pelayaran Orang Mandar, Seminar Antar Bangsa, UNHAS; Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian UNHAS, Ujung Pandang, LIPI, Jakarta 1996 (b) Guide to Tana Beru Boatbuilding, P3MP, Ujung Pandang 1997
Guide to the Village of Panrang Luhuk, Bira, P3MP, Ujung Pandang 1998 & Ahmad Rahman: Pola Pengonsepan Pengetahuan Tradisional: Suatu Lontaraq Orang Bugis tentang Pelayaran, Seminar Kelautan Kawasan Timur Indonesia II, UNHAS 1999 (a) Pengembangan IPTEK dan Teknostruktur Masyarakat Bahari, Seminar Pengembangan Kelautan Nasional, UNHAS 1999 (b) “Four Oral Versions of a Story about the Origin of the Bajau People of Southern Selayar”, Land of History,
Mukhlis, K. Robinson (ed), ANU, Canberra:xxxx 2000 (a) “Pinisiq dan Kearifan Tradisional”, KOMPAS 01.01.2000, 1000 Tahun Nusantara, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2000 (b) Paotere, P3MP, Ujung Pandang 2001 (a) “Perahu-Perahu Nusantara - Salah Satu Aset Wisata Bahari dan Kebudayaan; Indonesian Sailing Vessels - An
Asset of Marine and Cultural Tourism”, TIME 2001, Jakarta 2001 (b) Pariwisata Bahari, Laporan, Dep. Kelautan dan Perikanan, Jakarta 2002
Berlayar ke Tompoq Tikkaq – Salah Satu Episode La Galigo, Seminar La Galigo, Barru Liedermoij, D.F.
1870 “De Nijverheid op Celebes’’, Tijd. v.d. Nijverheid v. Nederl. Indie 16:345-386 Lineton, Jacqueline
1973 “Pasompe Ugi - Buginese Migrants and Wanderers’’, Archipel 10 MacGrail, Sean & Eric Kently
1985 Sewn Plank Boats, National Maritime Museum, Archaeological Series 10, Greenwich, London Macknight, C.C.
1969 “The Sea Voyagers of Eastern Indonesia’’, Hemisphere 13, 4:7-14 1976
The Voyage to Marege: Macassar Trepangers in Northern Australia, Melbourne University Press & Mukhlis 1979 “A Bugis Manuscript about Prahus’’, Archipel 18
Manguin, P.Y. 1980
“The Southeast Asian Ship: An Historical Approach”, Jour. of SEA Studies, 11:266-76 1985 (a) Sewn-plank craft of Southeast Asia - a Prelimary Review, National Maritime Museum, Greenwich, Archeological Series 10 1985 (b) “Research on the Ships of Srivijaya”, Report for SPAFA Consultative Workshop on Archaeological and Environmental Studies, Jakarta, Padang 1986
“Shipshape Societies: Boat Symbolism and Political Systems in Southeast Asia”, in Marr (ed.) 1986
1989 “The Trading Ships of Insular South-East Asia - New Evidence from Indonesian Archaeological Sites”, Prosidings Pertemuan Ilmiah Arkeologi 5, I:200-20, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Jakarta
“Southeast Asian Shipping in the Indian Ocean during the First Millenium A.D.”, in Ray, Salles (ed) 1995:181-96
Mansveldt, U.M.F. 1938
“De Prauwvaart in de 19de Eeuw”, Koloniale Studien 22:89-102 Manyambeang, K. et al
1983 Jiwa Laut dalam Sastra Makassar, UNHAS, Ujung Pandang Matthes, B.F.
1859 Makasarsch-Hollandsch Woordenboek met een tot de verklaaring ..., Nederlandsch Bijbelgenootschap, Amsterdam 1869
Over de Wadjorezen met hun Handels- en Scheepswetboek, Hartrop, Makassar 1874
Boeginees - Nederlands Woordenboek met ..., Nederl. Governement, s ’Grafenhage Marquardt, K. H.
1989 Schoner in Nord und Süd, Hinstorff Verlag, Rostock Marr, D.G. & Milner, A.C.
1986 Southeast Asia in the 9th to 14th Centuries, Inst. of SEA-Studies, Singapore Meilink-Roelofsz, M.A.P.
1962 Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630, Martinus Nijhoff, s ’Gravenhage
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Menggang, B. (et al.) 1984
Survei Penyusunan Kamus Istilah Kemaritiman Bugis-Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Hassanudin, Ujung Pandang
Mills, R.F. 1975
“The Reconstruction of Proto South Sulawesi’’, in Archipel 10:205-224 Mills, J.V.
1979 “Chinese Navigators in Insulinde about 1500’’, in Archipel 18 Muhammad Darwis
1988 “Mistik bagi Kaum Nelayan’’, in Mukhlis 1988:85-126 Mukhlis
& Robinson, K. 1985 Masyarakat Pantai, Lembaga Penerbitan UNHAS, Ujung Pandang 1988
Dimensi Sosial Kawasan Pantai, P3MP, Toyota Foundation, SA. Brother ’s, Jakarta Needham, J., Wang Ling & Lu Gwei-Djen
Science and Civilisation in China, Vol.4, part III, “Civil Engineering and Nautics’’, Cambridge Univ. Press Noorduyn, J.
1957 “C.H. Thomsen, the Editor of ‘A Code of Bugis Maritime Laws’ ’’, Bijd. KITLV 113:238-251 Nooteboom, C.
1915 De inlandsche Scheepvaart, Gids in het Volkenkundig Museum Amsterdam 1932
De Boomstamkano van Indonesie, E.J. Brill, Leiden 1936
“Vaartuigen van Ende”, Bijd. KITLV, 76:97-126 1940
“Vaartuigen van Mandar’’, Bijd. KITLV, 80:22-33 1941
“Vaartuigen van Roeha, aan de Zuidkust van West Soemba'', Cultureel Indie, Jan-Feb 1941:7-12 1947
“The Study of Primitive Seagoing Craft as an Ethnological Problem’’, Intern. Archiv f. Ethnographie 45:216-224 1951
Perihal Perkapalan dan Pelajaran di Indonesia, De Moderne Bookhandel, Jakarta 1952 “Galeien in Azie'', Bijd. KITLV, 108:365-384
Nurdin Yatim 1985
Istilah Maritim dalam Bahasa Makassar, Lembaga Penelitian Universitas Hassanudin, Ujung Pandang
1988 “Pengaruh Bahasa Makassar pada Bahasa-Bahasa Aborigin di Australia Utara”, Konferensi dan Seminar Nasional ke-5 Masyarakat Linguistik Indonesia, Ujung Pandang
Oderwald, J. 1924
Verzameling van aan Boord voorkomende Benamingen in het Hollandsch en Maleisch, Kweekschool voor de Zeevaart, Amsterdam
Paasch, R. 1910
From Keel to Truck, Rotterdam Palm, C.H.M.
1962 “Vaartuigen en Visvangst van Anjar Lor, Bantam, W-Jawa'', Bijd. KITLV 118:217-70 Paris, P.
1843 Essai sur la construction navale des peuples extra-europeens ..., Paris 1975 (reed.) Souvenirs de Marine, Grenoble, Editions des 4 Seigneurs
Pelly, U. 1975
Ara dengan perahu Bugisnya, Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang 1977
“Symbolic Aspects of the Bugis Ship and Shipbuilding’’, Journal of the Steward Anthropological Society, 8, 2:87-107 Pigafetta, A. & S.St.John
1849 ‘‘The Piracy and Slave Trade of the Indian Archipelago'', Journal of the Indian Archipelago and East Asia, III:581- 8, 629-36;IV, 1850:45-52, 144-62, 400-10, 617-28, 733-46;V, 1851:374-82
Pires, Tome 1944
Suma Oriental, Trans. Armando Cortesao, London, Hakluyt Soc. Poggie, J.J. & R.B.Pollnac
1990 Small-Scale Fishery Development: Sociocultural Perspectives, ICMRD, Uni. of Rhode Island, New York Prins, A.H.J.
1965 Sailing from Lamu, Assen 1970
A Swahili Nautical Dictionary, Dar-es-Salam
52 Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Ray, Himanshu Prabha & Jean-Francoise Salles (ed) 1995
Tradition and Archaeology – Early Maritime Contacts in the Indian Ocean, National Institute of Science, Technology & Development Studies, New Delhi, Maison de l’Orient Méditerranéen, Lyon, Centre de Sciences Humaines, New Delhi
Reid, Anthony 1988
Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Vol. 1: The Lands below the Winds, Yale Uni. Press, New Haven, London
Ricklefs, M.C. 1991
Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Roebuck, Th.(rev. by Carmichael-Smyth, W.)
1841 An English and Hindoostanee Naval Dictionary ..., 4th edition, no publisher mentioned Roeding
1793 Allgemeines Wörterbuch der Marine in allen Europäischen Seesprachen, reed 1969, Uitgeverij Graphic Publishers, Amsterdam
Sahur, H.Ahmad dkk 1991/92 Pengetahuan Tradisional Pembuatan Perahu Orang Mandar, Lembaga Penelitian UnHas, Ujung Pandang
Scott, William H. 1981
“Boat-Building and Seamamship in Classic Phillipine Society’’, Seameo Project in Archaeology and Fine Arts Digest 6, 2:15-33
Small, George (ed.) 1882
A Laskari Dictionary or Anglo-Indian Vocabulary of Nautical Terms and Phrases, London, W.H. Allen & Co. Soegiono et al.
1984 Kamus Istilah Teknik Kapal, Edisi ke2, Ft. Kelautan, Surabaya Steensgaard, Niels
1991 “Asian Trade Routes: Evidence and Pattern’’, in Haellquist 1991:1-6 Subandi
1983 Bahasa Inggris untuk Para Pelaut, Penerbitan Arcan, Jakarta Sunil Gupta
2001 Roman Egypt to Peninsular India: Archaeological Patterns of Trade, 1st century B.C. to 3rd century A.D, Ph.D. thesis, Department of Archaeology, Deccan College Post-Graduate Research Institute, Pune
Team Tre Tryckare 1981
Seefahrt - Nautisches Lexikon in Bildern, Delius und Klasing, Bielefeld Thompson, Judi & Alan Taylor
1980 Polynesian Canoes and Navigation, Laie, Inst. for Polynesian Studies Tibbets, G.R.
1957 “Early Muslim Traders in South-East Asia’’, JMBRAS 30:1-45 1971
Arab Navigation in the Indian Ocean before the Coming of the Portugese, Oriental Translation Funds, New Series XLIII, RAS, London
1973 “Comparison between Arab and Chinese Navigational Techniques’’, Bulletin of the School for Oriental Studies 36(1), 1973:97-108
Tobing, Ph. 1967
Hukum Pelayaran dan Perniagaan Amanna Gappa, Yayasan Kebudayaan Sulawesi, Ujung Pandang Toshibo, A.
1984 Pelayaran Orang Bugis-Makassar Abad XVII, Dissertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Vaz, Anthony
1879 The Marine Officers Hindustani Interpreter, The Bombay Gazette Steam Press, Bombay Villiers, John
1986 “Caravels, Carracks and Coracoras: Notes on Portuguese Shipping in the Indian Ocean ... in the 16th and 17th entury ’’, in Hashim 1986:40-52
Volkman, T.B. 1994
“Our Garden is the Sea: Contingency and Improvisiation in Mandarwomen's work’’, American Anthropologist 21 (3): 564-85
et al 1990, 1995 (rev.ed.) Sulawesi - The Celebes, Singapore, Periplus Editions
53
Perahu-Perahu Tradisional Nusantara – Horst H. Liebner
Vuuren, L. van 1917
“De prauwvaart van Celebes’’, Koloniale Studien 1917:107-116, 324-328 Wallace, R.
1869 The Malay Archipelago: The Land of the Orang-Utan and the Bird of Paradise, Macmillan, London, repr., Dover Publ., New York, 1962
Wangania, J. 1980
Jenis-Jenis Perahu di Pantai Utara Jawa-Madura, Proyek Media Kebudayaan, DepDikBub, Jakarta 1980/1 Warrington-Smyth, H.
1902 “Boats and Boat Building in the Malay Peninsula’’, Journal of the Society of Arts, 16:570-586 Wheatley, P.
1961 The Golden Khersonese, Kuala Lumpur Winstedt, R. & P.E. De Josselin De Jong
1956 “The Maritime Law of Malacca'', JMBRAS 29, 3:22-59 Woywod, W.
und.: “Sailing the Seas in a Pinisi'', Garuda Magazine, ? Zainal, A.A.
1985 Beberapa Pantangan dan Keharusan bagi Pelaut Bugis, Lembaga Penelitian UnHas, Ujung Pandang Zamri, S.
1979 Keadaan Sosial Ekonomi Nelayan di Ujung Lero, PLPIIS, Ujung Pandang