Jalannya Revolusi di Mesir

D. Jalannya Revolusi di Mesir

Kelompok oposisi Mesir telah melakukan kegiatan-kegiatan protes terhadap Mubarak sejak tahun 2010. Mubarak mendapatkan calon penantang dalam pemilu yaitu yaitu Mohammed El Baradei, mantan pemimpin badan atom PBB. Sejak bulan Februari El Baradei menyatakan kesiapannya untuk menghadapi Mubarak. Sebagai seorang independen, El Baradei membutuhkan dukungan dari sedikitnya 250 pejabat terpilih pada majelis tinggi dan majelis rendah parlemen dan dari dewan kotapraja, namun semua badan tersebut didominasi oleh Partai Nasional Demokrat, partai Mubarak. Sehingga El Baradei harus berjuang menuntut agas undang-undang pemilu direformasi, dan El Baradei mendapat dukungan dari masyarakat, terutama dari kelompok oposisi (Muhamad Iqbal, Nuraini Soyomukti, 2011 : 135).

Pada tanggal 6 September 2010, El Baradei menyerukan pemboikotan terhadap pemilihan anggota parlemen bulan November 2011 dengan mengatakan bahwa pemilu akan dicurangi. El Baradei menekan pemeintah Mesir agar melakukan reformasi demokratis, dan mengatakan pemilu hanya adakan mengesahkan sistem yang berlaku saat itu, dan tidak akan mencalonkan diri

commit to user

sebagai presiden tahun 2011 sebelum ada perubahan terhadap konstitusi. Menjelang pemilu parlemen akhir pada tahun 2010, kaum oposisi melakukan pemboikotan terhadap proses pemilu karena kecurangannya. Pemungutan suara di majelis tinggi pada bulan Juni 2010 menunjukkan partai yang berkuasa pimpinan Mubarak menduduki sebagian besar kursi di majelis tinggi. Kelompok-kelompok oposisi mengeluhkan kecurangan, sementara pemerintah menyatakan bahwa pemilu berlangsung adil. Kelompok oposisi Mesir saat itu masih terpecah dengan Ikhwanul Muslimin , blok oposisi terbesar dengan 88 kursi di parlemen, dan partai nasionalis Wafd yang liberal, yang menyatakan akan berperan serta dalam pemilihan umum.

Mubarak bereaksi terhadap oposisi dan melakukan tindakan yang represif. Menurut pimpinan Ikhwanul Muslimin, Muhammad Badi, terjadi penangkapan 250 anggota Ikhwanul Muslimin pada bulan Oktober 2010. Ikhwanul Muslimin merupakan partai lawan politik terkuat dari partai Demokrasi Nasional Mubarak. Ikheanul Muslimin juga merupakan salah satu gerakan politik dan Islam yang kuat di Mesir. Sepanjang aktivitas Ikhwanul Muslimin selama 80 tahun, gerakan Ikhwanul Muslimin mampu membangun basis massa yang kuat di tengah rakyat Mesir. Ikhwanul Muslimin bukan satu-satunya kelompok oposisi, masih terdapat kelompok lain baik dari sayap kiri maupun dari liberal.

Memasuki tahun 2011, gerakan oposisi semakin besar dalam menggalang opini untuk menggulingkan presiden Hosni Mubarak. Sebuah gerakan penyatuan yang bernama “Front Nasional untuk Perubahan” di bentuk bersama El Baradei untuk pemilihan yang bebas dan adil serta dicabutnya pembatasan konstitusional untuk pemilihan umum. Koalisi itu mencakup beberapa tokoh oposisi seperti George Ishak dari gerakan Kefaya, Ayman Nur yang menjadi runner-up dalam pemilihan presiden 2005, dan Alaa al-Aswany, pengarang buku Yacoubian Building yang dipuji secara internasional (Kompas, 1 Februari 2011).

Gelombang demonstrasi yang terjadi pada tanggal 25 Januari 2011 mulai secara tegas menuntut presiden Hosni Mubarak untuk turun dari jabatannya karena dianggap sudah tidak mampu memimpin Mesir. Rakyat Mesir menginginkan revolusi dilakukan dalam waktu yang singkat sehingga terjadi

commit to user

demonstrasi secara besar-besaran yang menyebabkan bentrok antara warga Mesir yang pro Mubarak dan anti Mubarak. Kekuatan rakyat semakin besar setelah pihak militer yang semula berada dalam status qou berbalik mendukung gerakan rakyat yang ingin menggulingkan pemerintahan Hosni Mubarak. Pihak militer dalam sebuah pernyataan pada hari Senin, 31 Januari mengatakan bahwa tuntutan rakyat Mesir adalah sah (Kompas, 2 Februari 2011).

Pusat demonstrasi terjadi di lapangan Tahrir (Tahrir Square), Kairo. Tahrir Square mempunyai tempat yang luas dan strategis karena dekat dengan lembaga-lembaga penting Mesir dan kedutaan besar asing. Tahrir Square adalah salah satu tempat bersejarah dan menjadi pusat gerakan sosial politik yang penting di Mesir. Tahrir Square adalah tempat pusat dari aksu kerusuhan tahun 1977, ketika presiden Anwar Sadat mengambil langkah controversial yaitu mengakhiri subsidi bahan makanan dan minyak goring. Tahrir Square juga menjadi pusat lokasi demondtrasi besar menggugat kekuasaan Muhammad Tawfik Pasha, pewaris terakhir dinasti Muhammad Ali pada tahun 1881. Tahrir Square juga menjadi lokasi penting dalam gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Inggris pada tahun 1919, dan menjadi pusat demonstrasi mendukung perang melawan Israel pada tahun 1972. Sedangkan pada tahun 2003, digunakan untuk demonstrasi menentang perang Irak.

Rakyat Mesir melakukan aksi demonstrasi di Tahrir Square, menuntut agar Hosni Mubarak turun dari jabatannya dan menyerahkan kekuasaannya kepada militer. Demonstrasi besar-besaran ini mengakibatkan diputusnya seluruh jaringan komunikasi di Mesir oleh pihak pemerintah, baik komunikasi telepon maupun internet, karena pemerintah beranggapan bahwa semakin banyaknya demonstran disebabkan karena komunikasi yang dilakukan rakyat terutama melalui jejaring sosial facebook dan twitter. Penyedia-penyedia internet (ISP) terbesar Mesir, yaitu Vodafone-Raya Telcom, Etisalat Misr, Link Egypt, Telecom Egypt, dan Internet Egypt menutup layanan karena instruksi dari presiden. Mesir hanya dapat mengakses internet menggunakan akses broadband atau dial-up melalui jaringan satelit, dan akses ini tidak terjangkau oleh masyarakat Mesir (Kompas, 4 Februari 2011).

commit to user

Pemerintah juga menutup siaran televisi Al-Jazeera di Mesir pada hari Minggu, 30 Januari 2011 menteri informasi Mesir Anas al-Fikki mengeluarkan perintah penghentian operasi stasiun televisi Al-Jazeera di Mesir. Perintah penutupan siaran televisi dilakukan setelah ada dugaan bahwa televisi Al-Jazeera telah memicu aksi massa anti pemerintah yang sebelumnya juga terjadi di Tunisia. Kartu pers semua anggota staf Al-Jazeera di Mesir juga ditarik, dan operator satelit Nilesat telah menghentikan relai terhadap program siaran Al-Jazeera, namun saluran siarannya masih dapat dilihat di Kairo melalui Arabsat. Siaran Al- Jazeera sangat terkenal di dunia Arab, karena liputannya yang luas, dalam, dan informatif tentang pergolakan takyat Tunisia, termasuk Mesir. Sehingga Mubarak memerintahkan menterinya untuk menutup saluran televisi Al-Jazeera. Para aktivis dapat mengatasi masalah pemblokiran terhadap internet dan televisi dengan memanfaatkan situs-situs proxy (situs perantara yang tidak diblokir), menggunakan software khusus, atau membuka jaringan Virtual Private Network yang tidak terproteksi. Internet dapat diakses kembali pada tanggal 2 Februari 2011 (Kompas, 1 Februari 2011).

Peran media sangat penting dalam revolusi yang terjadi di Mesir, terutama melalui situs facebook. Dalam check facebook, Mesir bukanlah Negara dengan pengguna facebook yang besar. Hanya ada 5,2 juta pengguna dari total 84,3 juta penduduk Mesir. Berikut adalah table pengguna facebook pada tahun 2011 : Tabel 4. Daftar Negara-negara Pengguna Faceebook Terbesar Tahun 2011

10 Negara terbesar

Kawasan Arab

AmerikaSerikat 152.189.880 Indonesia 35.174.940 Inggris 28.940.400 Turki 26.417.820 Filipina 22.651.600 Meksiko 22.081.200 India 22.057.280 Perancis 21.216.420 Italia 18.438.760 Kanada 17.381.700

Mesir 5.651.800 Arab Saudi 3.486.820 Israel 3.188.840 Maroko 3.013.100 Tunisia 2.202.420 UEA 2.054.520 Jordania 1.301.500 Libanon 1.227.300 Kuwait 682.100 Irak 625.780

commit to user

(Sumber : www.checkfacebook.com, 8 Maret 2011)

Pengguna akun facebook di Mesir memang cukup besar. Pengguna terbanyak adalah kaum laki-laki dengan jumlah pengguna 7.255.140 orang atau sejumlah 64,4%, sedangkan kaum perempuan 1.008.680 orang atau sejumlah 35,6%. Pengguna akun facebook terbesar adalah rakyat Mesir dengan rata-rata umur antara 18-24 tahun, dan yang kedua adalah antara umur 25-34 tahun.

Berikut ini adalah data pengguna facebook di Mesir : Tabul 5. Data Pengguna Facebook di Mesir.

13-15 tahun

1.076.060 orang

9,5% 16-17 tahun

1.203.480 orang

10,6% 18-24 tahun

4.417.960 orang

39,0% 25-34 tahun

3.075.720 orang

27,1% 35-44 tahun

1.005.200 orang

8,9% 45-54 tahun

371.400 orang

3,3% 55-64 tahun

123.100 orang

1,1% 65 tahun keatas

69.260 orang

0,6%

(Sumber : www.checkfacebook.com, 8 Maret 2011)

Demonstrasi yang semakin besar mengakibatkan tindakan yang semakin represif dari polisi. Di ibukota Kairo, polisi menembakkan gas air mata, peluru karet, dan meriam air untuk membubarkan massa. Kantor berita Associated Press melaporkan di dekat masjid Giza polisi melakukan tindak represif dengan menganiaya pendukung tokoh oposisi Mohamed El Baradei. Kerusuhan juga terjadi di Iskandariyah dan di Suez. Pada tanggal 25 Januari 2011 dilaporkan 48 orang tewas dan 1000 orang ditahan, dalam bentrokan yang terjadi antara demonstran dan polisi. korban tewas berasal dari kedua belah pihak, seperti 3 orang polisi yang tewas dikeroyok massa di kota Rafah. Di Kairo, polisi kemudian ditarik dan digantikan oleh tentara Mesir. Polisi melepaskan tembakan kea rah masa yang berusaha menyerbu gedung Kementerian Dalam Negeri di Kairo pada

commit to user

tanggal 29 Januari 2011. Lebih dari 60 persen kantor polisi di Mesir dibakar massa (Diunduh dari situs www.nytimes.com, pada tanggal 16 April 2011).

Di kota Suez pengunjuk rasa membakar kantor polisi dan mencuri senjata yang kemudian digunakan untuk melawan polisi. Mesir mendapatkan bantuan senjata pembubar massa dari Israel untuk mengendalikan unjuk rasa besar- besaran. International Network for Rights dan Development menyatakan bahwa tiga unit pesawat Israel mendarat di bandara Internasional Mina dengan membawa perlengkapan untuk membubarkan dan menekan massa dalam jumlah besar yang penggunaannya dilarang secara internasional. Israel juga mengizinkan Mesir untuk mengerahkan pasukan ke Semenanjung Sinai walaupun telah terjadi kesepakatan bilateral yang menyatakan bahwa Mesir hanya dapat menempatkan polisi di kawasan tersebut. Tel Aviv menyatakan bahwa langkah tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya revolusi di Mesir, karena Israel mempunyai hubungan baik dengan Mesir semenjak Mesir dipimpin Mubarak (David Akhmad Ricardo, 2011 : 66).

Kementerian Luar Negeri Israel telah mengirimkan pesan kepada diplomat Israel di luar negeri untuk mengingatkan Negara-negara tempat Israel bertugas bahwa mempertahankan stabilitas rezim di Mesir menjadi kepentingan Barat dan Timur Tengah. Mesir merupakan Negara kekuatan utama di dunia Arab. Israel merasa apabila Mubarak turun dari jabatannya, akan merusak perdamaian Mesir – Israel, karena satu-satunya pihak yang mendukung perdamaian hanya Mubarak dan orang-prang di lingkaran Mubarak. Ketakutan utama Israel adalah apabila golongan Islam fundamentalis seperti Ikhwanul Muslimin berkuasa di Mesir pasca Mubarak. Berbagai kalangan di Israel menyayangkan sikap Presiden AS dan pemimpin-pemimpin Eropa karena seolah meninggalkan Mubarak di tengah krisis Mesir (Kompas, 1 Februari 2011).

Bentrok juga terjadi antara massa pro Mubarak dan anti Mubarak. Masa pendukung Mubarak menggelar aksi di depan gedung stasiun televisi milik pemerintah di pusat kota Kairo, kemudian bergerak kearah Tahrir Square, yang dijadikan tempat berkumpul massa anti Mubarak. Ribuan massa pro Mubarak masuk ke Lapangan Tahrir dan menembus barikade yang didirikan oleh kelompok

commit to user

oposisi. Masa demonstran dari kedua kubu terlibat bentrok dengan melempari batu dan botol, juga pukulan kayu dan tangan kosong. Sejumlah pria mengndarai kuda dan unta berlari kea rah massa anti Mubarak membawa senjata yang digunakan untuk menghalau massa anti Mubarak, namun tentara hanya melihat tanpa reaksi apapun. Massa anti Mubarak yang bersenjatakan batu dan kayu, melawan massa pro Mubarak yang bersenjata lebih mematikan, dan menggunakan bom Molotov dan blok beton (Kompas, 5 Februari 2011).

Massa pro Mubarak juga menyerang wartawan dan jurnalis asing di Kairo. Seorrang wartawan dari Belgia ditahan massa pro Mubarak. Wartawan ini dianiaya karena dituduh sebagai mata-mata. Seorang wartawan Mesir juga menjadi korban pengeroyokan di lapangan Tahrir. Penyerangan juga dialami oleh jurnalis dari BBC, ABC News dan CNN. Diantara para wartawan ini yang menjadi korban tewas adalah wartawan CNN Anderson Cooper dan Hala Gorani. Penyerangan terhadap para jurnalis dan wartawan ini mengundang perhatian dari dunia Internasional. Kelompok jurnalis Internasional menuduh bahwa serangan terhadap wartawan dilakukan oleh pemerintah yang masih berkuasa. Menurut Mohamed Abdel Dayem, Koordinator Komite Perlindungan Jurnalis Timur Tengah dan Afrika Utara, pemerintah Mesir sedang berupaya melakukan strategi untuk menghilangkan kesaksian atas tindakan represif pemerintah. Serangan terhadap wartawan adalah salah satu cara untuk mengintimidasi pemberitaan. Human Rights Watch mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa polisi Mesir telah menangkap setidaknya 97 jurnalis, aktivis, dan pengunjuk rasa (Diunduh dari situs www.query.nytimes.com, pada tanggal 16 April 2012).

Puluhan wartawan dari seluruh dunia mengalami tindak kekerasan ketika meliput perkembangan demonstrasi anti pemerintah di Kairo. Penyerangan wartawan ini terorganisasi dan bertujuan untuk menggagalkan wartawan yang meliput berita yang terjadi di Mesir. Komite Perlindungan Jurnalis (Commite to Protect Journalists ) yang berpusat di New York, AS, melaporkan pada hari Kamis 3 Februari 2011, dalam waktu 24 jam telah terjadi 30 penahanan, 26 penyerangan, dan 8 insiden penyitaan perlengkapan peliputan terhadap wartawan dari berbagai Negara termasuk Indonesia. Wartawan dari Indonesia menjadi

commit to user

korban penyitaan alat liputan, dan kamera dikembalikan setelah kartu memori kamera diambil. Commite to Protect Journalists juga mengatakan bahwa agen- agen pemerintah Mesir, baik yang berseragam maupun berpakaian sipil, memasuki dua hotel tempat menginap wartawan internasional untuk menyita peralatan peliputan.

Seorang wartawan stasiun televisi dari Swedia, Bert Sundstrom, dirawat di rumah sakit setelah menjadi korban penusukan. Lima wartawan Perancis ditahan dan diinterogasi oleh aparat keamanan Mesir. Wartawan harian The New York Times dan Washington Post dari Amerika, Le Monde dan Le Figaro dari Perancis, serta koresponden Al Jazeera juga ditahan aparat. Dua reporter stasiun televisi Fox News, Greg Palkot dan Olaf Wiig, terluka parah karena aksi pengeroyokan massa di dekat Tahrir Square. Dua jurnalis dari Denmark juga diserang massa pro Mubarak ketika perjalanan menuju Iskandariyah (Kompas, 5 Februari 2011).

Demonstrasi yang terjadi di Mesir menyebabkan perekonomian Mesir lumpuh total. Pasar modal, bank, dan pabrik-pabrik di Mesir sama sekali tidak beroperasi. Bank Investasi Credit Agricole memperkirakan kerugian akibat krisis di Mesir mencapai 310 juta dolar AS (Rp 2,8 triliun) per hari. Dalam laporan yang dirilis, bank tersebut memperkirakan pertumbuhan ekonomi Mesir thun 2011 dari sebelumnya 5,3 persen, hanya menjadi 3,7 persen. Kerugian lain juga disebabkan karena pemutusan jaringan internet oleh pemerintah. Organisasi untuk kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan, kerugian akibat pemutusan jaringan internet mencapai 18 juta dolar AS per hari (Kompas, 5 Februari 2011).

Pada tanggal 11 Februari 2011 Hosni Mubarak menyatakan turun dari jabatannya, dan pasukan militer akan mengambil alih kekuasaan, yang dikatakan melalui wakil presiden Omar Sulaiman dalam televisi pemerintah. Pernyataan Omar Sulaiman adalah sebagai berikut, “Dalam masa-masa sulit yang sedang dihadapi Negara ini, presiden Hosni Mubarak telah memutuskan untuk meninggalkan posisi kepresidenan. Presiden Hosni Mubarak telah menugaskan Dewan Agung Militer untuk mengarahkan berbagai urusan Negara” . Berita pengunduran diri Mubarak ini disambut gembira oleh massa demonstran di lapangan Tahrir. Pengunduran diri Mubarak juga disambut baik oleh dunia

commit to user

Internasional. Para demonstrans dianggap sukses dalam melakukan revolusi di Mesir. Presdien Barack Obama menilai bahwa perubahan ke arah demokrasi akan terjadi di Mesir (Diunduh dari situs www.query.nytimes.com, pada tanggal 16 April 2012).

Mubarak dalam pidatonya menyatakan tidak mundur, tetapi menyerahkan kekuasaannya kepada Wapres Omar Suleiman, mantan kepala intelijen, dan mengajukan amandemen konstitusi. Dewan Tertinggi Militer menyatakan mendukung pengalihan kekuasaan Presiden Mubarak kepada Wapres Suleiman tersebut. Beberapa jam sebelum taklimat pengunduran diri, Mubarak bersama keluarganya telah meninggalkan ibu kota Kairo ke Sharm El Sheikh (500 km arah timur Kairo). Militer Mesir yang telah menerima kekuasaan dari Presiden Hosni Mubarak pada Jumat 11 Februari 2011 malam langsung membubarkan kabinet pimpinan Perdana Menteri Ahmed Shafiq. Ahmed Shafiq ditunjuk Presiden Mubarak menyusul pengunduran diri kabinet pimpinan PM Ahmed Nazif pada 28 Januari. Menurut kantor berita Mesir, MENA, selain pembubaran kabinet, (Diunduh dari situs Kompas.com, pada tanggal 20 Mei 2012).

Kekuasaan diserahkan kepada pihak Militer setelah Mubarak turuh dari jabatannya. Militer Mesir yang memegang kekuasaan de facto sejak protes mulai membesar kemudian menjadi pihak yang menerima kekuasaan dari rezim Mubarak. Militer kemudian menjalankan sebuah pemerintahan darurat atau transisional. Militer menjadi pengawal penting bagi proses reformasi politik Mesir. Mesir berada dalam status darurat militer, dengan dewan militer yang berkuasa bertindak sebagai otoritas tertinggi, meskipun kebebasan Ikhwanul Muslimin dan Partai Keadilan adalah pemenang dalam pemilihan parlemen. Parlemen baru tetap tunduk kepada dewan militer yang berkuasa, meskipun para jenderal telah berjanji untuk menyerahkan kekuasaan untuk warga sipil pada akhir Juni 2012, dengan beberapa batasan masih terdefinisi.

Militer dipercaya karena secara organisasi sangat efektif dan efisien. Militer lebih dipercaya rakyat waktu itu dibandingkan dengan Wakil Presiden Omar Suleiman untuk kemudian membentuk pemerintahan transisi. Omar Suleiman dipandang sebagai “orang Mubarak” dan dikhawatirkan akan

commit to user

membentuk pemerintahan dari loyalis NDP untuk mempertahankan status quo. Militer telah menyatakan penolakan terhadap perpindahan kekuasaan secara cepat kepada sipil dan akan terus memegang kekuasaan sampai pemilu digelar. Militer memang menjanjikan demokrasi tetapi tidak menyebutkan secara jelas bagaiman demokrasi akan dibangun dan jangka waktunya. Dengan demikian, militer tampak tidak ingin melepaskan begitu saja kekuasaan yang dipegang (Apriadi Tambukara, 2011 : 88).

Menguatnya Ikhwanul Muslimin di sisi lain merupakan alasan bagi militer untuk memperlama kekuasaan militer. Ikhwanul Muslimin pasca runtuhnya autokrasi Mubarak kemudian membentuk partai politik sebagai persiapan pemilu demokratis yang akan digelar. Militer Mesir memiliki garis koordinasi dengan kepentingan AS mengingat besarnya bantuan militer AS terhadap Mesir. Dengan kata lain, ada kemungkinan AS meminta militer Mesir untuk memperlambat proses transisi sambil menyusun strategi baru untuk Mesir ke depan. Hal ini merupakan salah satu mekanisme campur tangan asing bagi pembentukan rezim demokrasi melalui cara agenda-setting powers. Bagi AS kebijakan terhadap Mesir merupakan dilema antara mewujudkan demokrasi di satu sisi dan menekan kelompok radikal Islamis di sisi lain.

Kekhawatiran jika demokrasi menghasilkan Ikhwanul Muslimin sebagai pemenang juga melanda Israel yang merupakan sekutu terdekat AS. Namun militer menjamin bahwa hubungan Mesir-Israel tetap berjalan seperti dahulu. Artinya, militer berusaha mempertahankan status quo di berbagai bidang. Direpresinya kaum Islamis (Ikhwanul Muslimin) menunjukkan keinginan mempertahankan komposisi politik domestik sekaligus hubungan dengan AS dan Israel. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan politik Islam selalu dihalang-halangi untuk berkuasa (Diunduh dari situs www.bbc.com, pada tanggal 20 Mei 2012).

commit to user

84