Mesir Masa Hosni Mubarak

2. Mesir Masa Hosni Mubarak

Mubarak tidak melakukan perubahan yang radikal sejak menggantikan Sadat sebagai presiden,. Dalam politik luar negeri, Mubarak tetap melanjutkan visi Anwar Sadat, yaitu menjadi kekuatan moderat di Timur Tengah. Status itulah yang membuat Mesir saat itu dikucilkan sesama negara Arab karena Mesir adalah negara Arab pertama yang berdamai dengan musuh Arab, Israel. Perjanjian damai dengan Israel itu merupakan warisan Sadat pada tahun 1979, yang akhirnya dilanjutkan Mubarak, namun akibat perjanjian itu membuat Mesir dikeluarkan dari Keanggotaan Liga Arab, dan markas Mesir pindah dari Kairo ke Tunisia. Mubarak meningkatkan hubungan dengan Saddam Hussein, pemimpin Irak yang sangat berpengaruh di Dunia Arab. Irak pada dekade 1980 an melawan Iran selama delapan tahun. Ketika Perang Iran-Irak berakhir, hubungan Mesir dan sesama negara Arab membaik. Bahkan pada tanggal 7 Agustus 1981 Saudi Arabia justru menawarkan rencana perdamaian yang salah satu pasalnya hampir sama dengan isi perjanjian Camp David, yaitu mengakui hak hidup dengan damai semua negara di Timur Tengah (Diunduh dari situs www.vivanews.com pada tanggal 21 Maret 2012).

Legitimasi pemerintah presiden Mubarak memperlihatkan konteks yang berbeda dari kedua pendahulunya. Hal ini terutama disebabkan oleh identifikasinya terhadap demokrasi. Mubarak selalu menekankan bahwa pengenalan terhadap demokrasi merupakan urusan yang sulit dan hanya dapat dicapai dalam kurun waktu yang panjang. Demokrasi yang diinginkan Mubarak bersifat proporsioanl dengan kemampuan bangsa Mesir untuk menyerap nilai-nilai demokrasi. Hal ini jelas membutuhkan waktu yang lama untuk menerapkannya. Dengan demikian, penerapan praktek demokrasi pada masyarakat Mesir harus mengingat karakteristik perkembangan masyarakat Mesir yang berbeda dengan masyarakat di Negara-negara berkembang yang lain. Ketiga pemimpin Mesir

commit to user

tersebut sama-sama menggunakan kekuatan militer sebagai satu unsur yang utama dan membentuk pemerintahan (Agus R. Rahman, 2001 : 71).

Keberhasilan terbesar politik luar negeri Mesir pada masa pemerintahan Mubarak terjadi pada 1984 saat Mesir diterima kembali menjadi anggota OKI, dan memulihkan hubungan diplomatik Mesir dengan Yordania pada September 1984 yang didahului pemulihan hubungan Mesir - PLO (Organisasi Pembebasan Palestina). Pada 1990, sekretariat Liga Arab pindah kembali ke Kairo, namun Mubarak tetap mempertahankan hubungan dengan Israel. Mesir di bawah Mubarak akhirnya menjadi kekuatan penting di Timur Tengah. Negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris, mengandalkan rezim Mubarak untuk meredam radikalisme negara Arab lain menyangkut konflik Israel dan Palestina (Diunduh dari situs http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east- pada tanggal

21 Maret 2012). Hosni Mubarak memberlakukan hukum darurat militer selama memerintah Mesir, dan semua aktivitas politik dibatasi. Hosni Mubarak menjadi ketua partai NDP sejak tahun 1969, partai yang digunakan sebagai alat kekuasaan. Kekuasaan Hosni Mubarak selama hampir 30 tahun ditandai dengan penindasan politik yang dibenarkan sebagai harga diri sebuah kestabilan negara. Peran Hosni Mubarak dalam memerangi ekstremisme Islam telah membuat Hosni Mubarak dikenal di dunia Barat. Rezim presiden Mubarak merupakan rezim yang paling lama berkuasa di Mesir. Mubarak sudah empat kali memenangkan pemilihan presiden yang dimulai ketika Mubarak menggantikan posisi Anwar Sadat. Posisinya kemudian disahkan pada tahun 1987 (Nuraini Soyomukti, Muhammad Iqbal, 2011 : 47).

Masa pemerintahan Mubarak diperpanjang ketika pada tahun 1993 Mubarak kembali mendapat dukungan dari rakyat Mesir. Pada tanggal 26 September 1999, Mubarak kembali mendapat dukungan rakyat mesir untuk kembali memimpin Mesir memasuki era millennium ketiga. Perpolitikan di Mesir masa Mubarak memperlihatkan stabilitas rezim partai pemerintah Partai Demokrasi Nasional (NDP). NDP berhasil mempertahankan posisi dominasi dalam dewan nasional sejak pemilihan umum tahun 1995. Dominasi NDP dalam

commit to user

perpolitikan di Mesir berkaitan dengan posisi ketua NDP selalu dipegang oleh Mubarak. Hal ini memperkuat fakta bahwa perpolitikan di Mesir selalu ditentukan oleh presidennya. Selain itu, rezim ini mendapat dukungan utama dari badan- badan Negara baik birokrasi maupun militernya pada semua tingkatan. Walaupun begitu, rezim ini bertugas mengarahkan praktek demokrasi dalam perpolitikan dengan tekanan pada pengendalian sipil terhadap militer (Apriadi Tambukara, 2011 : 71).

Pemberian ruang kebebasan untuk membentuk partai politik baru telah dibuka sejak pemerintahan Sadat dan diteruskan oleh Mubarak, namun partisipasi sejumlah partai politik dalam dewan nasional baru muncul pada tahun 1984. Pada masa pemerintahn Mubarak, tiga partai politik baru mendapatkan legalisasi oleh pemerintah pada bulan April 1990. Ketiga partai politk yang baru adalah Green Party (GP), Democratic United Party (DUP), dan Young Egypt Party (YEP). Stabilitas rezim ini dapat digambarkan melalui enam karakteristik :

a. Pemilihan Umum ditandai dengan praktek-praktek kecurangan. Dalam sejumlah kasus, terdapat intervensi birokrasi dan agen-agen dari partai pemerintah (NDP).

b. Partai pemerintah NDP selalu berhasil memenangkan Pemilihan Umum dengan lebih dari dua per tiga suara nasional atau mayoritas.

c. Tingkat keragaman dalam pemilihan umum diperlukan untuk membujuk rakyat Mesir dan dunia luar bahwa Mesir di bawah presiden Mubarak memperlihatkan pelaksanaan pemilihan yang bebas.

d. Partai politik oposisi hanya mencapai sukses yang kecil dalam usahanya untuk menjamin bahwa pemilihan umum dilaksanakan dalam satu cara yang dianggapnya fair.

e. NDP didukung oleh badan-badan Negara dari semua tingkatan.

f. Bersamaan dengan lemahnya posisi kelompok oposisi, rezim penguasa mengembangkan suatu sistem pengelolaan dewan nasional untuk mengurangi kemungkinan tuntutan terhadap aturan ini

Hal tersebut berbeda jika para pendukung rezim penguasa mengajukan suatu legislasi yang dicapai dengan lancar. Akan tetapi pemerintah Mubarak tetap

commit to user

menghadapi kendala dari gerakan-gerakan fundamentalis Islam yang mendominasi agenda politik di Mesir (Agus R. Rahman, 2001 : 92-95).

Partai-partai politik yang ada di Mesir lebih sebagai partai politik karbitan daripada sungguhan, yang mendorong kemunculannya yaitu lebih bersifat inisiatif perorangan daripada kepentingan nasional. Tugas serta faktor-faktor yang melatarbelakangi pembentukan partai-partai ini sudah tidak ada lagi. Sistem ini seharusnya juga tidak berlaku, menyusul tidak adanya tugas dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Partai Wafd dibentuk oleh rakyat untuk menuntut kemerdekaan dengan jalan negosiasi. Kemudian dari partai itu berdirilah partai Ahrar Ad Dusturiyin karena adanya Perbedaan dalam cara dan gaya negosiasi.

Negosiasi dengan cara, sistem, dan kaidah-kaidahnya itu telah selesai. .Partai Rakyat (Hizbusy Sya'b) terbentuk karena adanya aturan dan undang- undang khusus. Undang-undang sebagai aturan dengan segala bentuk dan situasinya telah usai, maka misi pendirian partai itu pun berarti telah selesai. Berdirinya Partai Persatuan(Hizbul Ittihaad) dikarenakan adanya sikap dan kondisi khusus yang menyangkut pertikaian antar golongan dan partai. Kondisi- koridisi seperti ini semuanya telah usai dan berkembanglah situasi-situasi baru yang menuntut adanya manhaj (sistem) dan kerja untuk merealisasikannya, Jadi adanya partai-partai ini sama sekali tidak punya arti. Tidak ada gunanya kembali ke masa lalu, sementara masa depan sangat mendesak kita untuk segera beramal dan meniti jalan dengan langkah secepat mungkin (Diunduh dari situs www.konspirasi.com, pada tanggal 6 Juni 2012).

Pada tahun 2003, pemerintah membentuk Dewan Nasional Hak Asasi Manusia di Kairo dan dipimpin oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB, Boutros Ghali yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dewan tersebut dikritik keras oleh aktivis lokal yang berpendapat bahwa organisasi tersebut melemahkan kerja para aktivis di Mesir sebagai alat propaganda bagi pemerintah untuk alasan pelanggaran dan memberikan legitimasi hukum represif seperti undang-undang darurat (Apriadi Tambukara, 2011 : 73).

Secara nominal kekuasaan mesir di bawah organisasi di bawah sistem semi presidensial dengan multi partai, dan kekuasaan dibagi antara presiden dan

commit to user

perdana menteri, namun pada praktiknya kekuasaan tunggal berada di tangan presiden Hosni Mubarak yang selalu terpilih dalam pemilu. Mesir menganut sistem multi partai dalam pemilihan parlemen. Pemilihan presiden tahun 2005 menunjukkan kemenangan Mubarak. Pada akhir Februari 2005, Mubarak mengumumkan pada saluran televisi bahwa Mubarak telah meminta dilakukannya reformasi terhadap undang-undang pemilihan presiden, yang mengisyaratkan kepada banyak pihak bahwa dalam pemilihan berikutnya sangat dimungkinkan calon presiden yang lebih banyak. Mubarak juga mengatakan ingin lebih membuka ruang demokrasi dan kebebasan. Tetapi undang-undang baru ternyata membatasi pencalonan, yang disusun untuk menjegal politisi yang namanya terkenal di Mesir, Ayman Nur.

Pada tanggal 7 September 2005, untuk pertama kalinya diselenggarakan

pemilihan umum kepresidenan yang diikuti oleh multi kandidat di Mesir. Dalam pemilu ini, Presiden Husni Mubarak yang berkuasa di Mesir sejak tahun 1981, dinyatakan menang dengan meraih suara 88,5 persen suara. Dengan demikian, presiden berusia 77 tahun itu berhak melanjutkan masa kekuasaannya di Mesir. Poin paling mencolok dalam pelaksanaan pemilu kepresidenan di Mesir baru-baru ini adalah rendahnya keikutsertaan rakyat. Persentase keikutsertaan warga Mesir dalam pemilu kepresidenan tersebut sangat rendah, yaitu hanya 23 persen menurut data resmi pemerintah atau 15-18 persen menurut data tidak resmi. Sambutan dingin rakyat Mesir terhadap pemilu ini telah menyebbakan kelompok oposisi mempertanyakan legalitas hasil pemilu tersebut. Memanasnya gelombang pro-reformasi membuat pemerintahan Husni Mubarak terpaksa menyetujui tuntutan kaum oposisi, antara lain mengubah UU pemilihan presiden.

Berdasarkan pasal 76 UUD Mesir, pemilihan presiden dimulai dengan pencalonan kandidat oleh parlemen, dan kandidat yang diajukan parlemen inilah yang akan maju dalam referendum. Setelah dilakukan amandemen UUD pada musim semi tahun ini, presiden akan dipilih rakyat Mesir secara langsung melalui pemilihan umum. Amandemen ini disepakati oleh anggota parlemen Mesir dan disepakati juga bahwa untuk pemilu periode pertama, semua syarat yang ditetapkan itu akan diabaikan sehingga setiap pemimpin partai berhak

commit to user

mendaftarkan diri sebagai kandidat presiden (Diunduh dari situs www.konspirasi.com, pada tanggal 6 Juni 2012).

Amandemen UUD Mesir ini kemudian diajukan ke dalam referendum tanggal 15 Juli namun referendum ini hanya diikuti oleh 10 persen warga yang memiliki hak pilih. Dalam proses ini, sempat terjadi bentrokan antara para pendukung Partai Nasional Demokratik yang berkuasa di Mesir dengan para oposan. Itulah sebabnya, partai-partai oposan menuntut agar dilakukan pengawasan internasional terhadap pelaksanaan pemilu kepresidenan. Namun, pemerintah mengabaikan tuntutan ini dan pemilu pertama di Mesir itu dilangsungkan tanpa ada pengawas internasional.

Dalam pemilu ini diikutu oleh 3 partai kandidat yaitu Hosni Mubarak (National Democratic Party), Ayman Nour (Al-Ghad), dan Noaman Gooma (Wafd) yang merupakan dua saingan utama Husni Mubarak. Tempat pemungutan suara (TPS) yang disediakan sebanyak 9.865 untuk melayani sekitar 32 juta pemilih terdaftar. Pemberian suara dimulai pukul 08.00 dan dijadwalkan ditutup pada pukul 22.00. Ketiga kandidat harus bertarung di tengah monopoli yang dilakukan oleh pemerintah dalam masalah kampanye. Radio, televisi, dan media cetak pemerintah Mesir sangat berpihak dalam mengkampanyekan Husni Mubarak dan hal ini menjadi sumber kritikan pihak oposisi. Dalam kampanye itu, para kandidat menyuarakan janji-janji yang hampir sama, yaitu janji reformasi ekonomi, perhatian kepada masalah pengangguran, peningkatan penghasilan, dan

menurunkan tingkat kemiskinan. Namun, dengan melihat pada proses politik beberapa bulan terakhir ini, termasuk di antaranya kampanye yang tidak seimbang, sangat mudah diprediksi bahwa Husni Mubarak akan berhasil memenangkan pemilu tersebut.

Oleh karena itu, poin penting yang sangat mendasar untuk dibahas adalah sangat rendahnya keikutsertaan rakyat dalam pemilu ini. Sebagian pengamat politik menilai bahwa rendahnya partisipasi rakyat Mesir dalam pemilu ini menunjukkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah Mesir sebagai penyelenggara pemilu. Hal ini merupakan bel tanda bahaya bagi Husni Mubarak yang untuk kelima kalinya menjabat sebagai presiden di Mesir. Pemerintahan

commit to user

Husni Mubarak harus berusaha menarik kepercayaan rakyat bila tidak ingin situasi negaranya terus memburuk. Sementara itu, sebagian pengamat politik lainnya menyatakan bahwa pemerintah Husni Mubarak masih memiliki waktu hingga pemilihan anggota parlemen bulan November mendatang untuk membuktikan kesungguhan niatnya dalam melakukan reformasi.

Poin lain yang menarik dari kemenangan Husni Mubarak adalah bahwa meskipun legalitas pemilu yang hanya diikuti oleh hanya 23 persen rakyat Mesir ini dipertanyakan di dalam negari, AS dan Eropa justru menyambut baik kemenangan Mubarak. Tanggapan Barat ini bertentangan dengan pemilu kepresidenan Iran yang meski diikuti oleh lebih dari 60 persen rakyat dan bebas dari indikasi kecurangan, justru dibalas dengan propaganda media massa Barat yang memburuk-burukkan citra demokrasi di Iran. Hal ini sekali lagi membuktikan standar ganda Barat. Sambutan Barat atas kemenangan Husni Mubarak menunjukkan bahwa Barat memang enggan kehilangan mitra utamanya itu (Diunduh dari situs www.konspirasi.com, pada tanggal 6 Juni 2012).

Beberapa organisasi hak asasi manusia lokal dan internasioanl, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch (HRW), telah bertahun-tahun mengkritik hak asasi manusia Mesir. Pada tahun 2005, presiden Hosni Mubarak menghadapi kritik publik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada waktu Mubarak mengekang aktivis demokrasi yang menentang kekuasaannya. Beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang paling serius, menurut laporan HRW 2006 di Mesir, adalah penyiksa rutin, penahanan sewenang-wenang sebelum diadili oleh pihak keamanan negara dan militer. Pada tahun 2007, kelompok hak asasi manusia amnesty International merilis laporan mengkritik Mesir untuk penyiksaan dan penahan ilegal. Laporan tersebut menuduh bahwa Mesir telah menjadi pusat internasional untuk penyiksaan. Pengerahan pasukan berpakaian preman yang dibayar oleh partai Mubarak, Baltageya, telah menjadi ciri dari pemerintahan Mubarak. Organisasi Mesir untuk Hak Asasi Manusia telah mendokumentasikan 567 kasus penyisaan, termasuk 167 kematian, oleh polisi yang terjadi antara tahun 1993 sampai 2007.

commit to user

Angkatan Bersenjata Mesir mempunyai reputasi yang lebih baik oleh masyarakat dibandingkan dengan polisi, karena dianggap sebagai badan profesional yang melindungi negara, dan yang karena korupsi sistemik dan kekerasan tidak sah. Keempat presiden Mesir sejak tahun 1950 datang dari militer sampai mendapatkan kekuasaan. Personel militer utama pemerintahan Hosni Mubarak meliputi menteri pertahanan Mohamed Hussein Tantawi dan General Sami Hafez Enan sebagai kepala staf angkatan bersenjata. Jumlah total militer Mesir sekitar 468.500 bersenjata aktif personel, dan ditambah cadangan sebesar 479.000. pemerintah di Barat termasuk AS telah menganggap Mubarak sebagai sekutu penting dan pendukung negoisasi perdamaian Israel-Palestina (Apriadi Tambukara, 2011 : 74).

Militer Mesir mendapatkan dana bantuan miliaran dolar dari Amerika Serikat, sehingga menjadikan militer Mesir lembaga yang sangat kuat. Militer Mesir memiliki puluhan pabrik senjata dan pabrik yang memproduksi barang- barang kebutuhan masyarakat. Dalam pemilihan presiden tahun 2009, Ali El Deen Hilal Dessouki (Sekretaris Media Partai Nasional Demokrat), menggambarkan Mesir sebagai negara yang menganut sistem politik zaman Fir’aun dan mengatakn bahwa pusat kekuasaan di Mesir adalah tentara. Setelah menjabat sebagai presiden selama 30 tahun, harta kekayaan Hosni Mubarak mencapai Rp 360 triliun. Keluarga Mubarak menyimpan harta kekayaannya dalam berbagai rekening seperti di Amerika, Inggris, Jerman dan Swiss. Istri Mubarak, Suzzane Sabet merupakan salah satu anggota klub milyuner sejak tahun 2000 dengan kekayaan mencapai 5 miliar dolar AS. Sementaara kedua anak Mubarak, Gamal dan Alaa memilki kekayaan sebesar 10 miliar dolar AS. Meyarakat ekonomi kelas atas Mesir adalah kumpulan dari kelompok elit yang diuntungkan oleh relasi ekonomi politik pemerintahan Mubarak yang sarat dengan kolusi dan nepotisme. Kemakmuran sedikit orang ini yang memicu kesenjangan ekonomi dan memperbesar tingginya pengangguran di Mesir.

Kekayaan Ahmed Ezz, mantan Sekretaris Organisasi RPN, mencapai 18.000.000.000 pound Mesir; kekayaan mantan Menteri Perumahan Ahmed al- Maghraby mencapai 11 juta pound Mesir; kekayaan mantan Menteri Pariwisata

commit to user

Zuhair Garrana mencapai 13.000.000.000 pound Mesir; kekayaan mantan Menteri Perdagangan dan Industri Rashid Mohamed Rashid mencapai 12.000.000.000 pouhnd Mesir dan kekayaan mantan Menteri Dalam Negeri Habib al-Adly mencapai 8.000.000.000 pound Mesir (Apriadi Tambukara, 2011 : 72).

Perekonomian Mesir sangat terpusat pada masa pemerintahan mantan presiden Gamal Abdel Nasser dilanjutkan oleh mantan presiden Anwar Sadat dan Mubarak. Tahun 2004-2008 Mubarak melakukan reformasi ekonomi agresif untuk menarik investasi asing dan memfasilitasi pertumbuhan GDP, namun reformasi ekonomi tertunda karena gejolak ekonomi global. Secara internasional penurunan ekonomi Mesir melemah dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 4,5 persen tahun 2009. Kondisi kehidupan di masyarakat di Mesir rata- rata miskin walaupun pertumbuhan ekonomi nasional cukup tinggi. Perekonomian di Mesir terutama tergantung pada sector pertanian, ekspor minyak bumi, pariwisata, dan ada lebih dari tiga juta Rakyat Mesir yang bekerja di luar negeri, terutama di Arab Saudi, Teluk Persia dan Eropa. Populasi penduduk yang tumbuh dengan cepat, keterbatasan lahan pertanian, dan ketergantungan pada sungai Nil, menyebabkan lemahnya sumber daya ekonomi (David Akhmad Ricardo, 2011 : 68).

Pemerintah Hosni Mubarak telah menginvestasikan dana dalam komunikasi dan infrastruktur fisik. Mesir telah menerima bantuan asing sejak tahun 1979 dengan rata-rata mencapai $ 2,2 miliar per tahun, dan merupakan negara terbesar ketiga penerima dana bantuan dari Amerika Serikat setelah perang Irak. Pada tahun 1966 populasi Mesir meningkat dari 30.083.419 jiwa menjadi 79.000.000 jiwa pada tahun 2008. Sebagian besar penduduk Mesir tinggal di tepi sungai Nil, tanah yang subur namun terdapat persaingan warga tentang tempat tinggal. Pada akhir tahun 2010, 40 persen dari jumlah penduduk Mesir tinggal dengan pendapatan perkapita sekitar US $ 2 per hari (Diunduh dari situs www.bbc.com pada tanggal 22 Februari 2012).

Dalam masa kepemimpinan Mubarak, ekonomi Mesir secara makro mengalami pertumbuhan yang cukup baik. Mubarak berjuang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi untuk menekan tingkat pengangguran. Ekonomi

commit to user

Mesir secara makro memang relatif masih aman, namun tidak sejalan dengan distribusi kemakmuran. Ketimpangan sosial sangat terlihat di kalangan rakyat kelas bawah. Di bawah kebijakan ekonomi Mubarak yang liberal, bisnis di Mesir mengalami pertumbuhan pesat dalam beberapa tahun terakhir, namun hampir setengah dari total populasi Mesir, yang berjumlah 80 juta jiwa, hidup di dalam garis kemiskinan menurut standar PBB US$2 per hari. Dalam dua tahun terakhir, tingkat kemiskinan di Mesir naik dari 20 persen menjadi 23,4 persen.

Mubarak berjanji akan menciptakan lapangan kerja, sekaligus menekan tingkat pengangguran, namun Mubarak tidak menepati janjinya. Kelompok oposisi Mesir juga menyalahkan rezim Mubarak yang tidak serius memberantas korupsi. Lembaga Global Coalition Against Corruption mencatat Mesir di peringkat 105 dalam daftar negara bersih pada 2006, sejajar dengan dua negara miskin Afrika, Burkina Faso dan Djibouti. Krisis ini bukan semata-mata karena rezim yang represif, namun juga gabungan dari masalah lain, seperti masalah ekonomi dan ketimpangan sosial di kalangan banyak warga (Diunduh dari situs www.bbc.com pada tanggal 22 Februari 2012).

Menurut Peterson Institute For International Economics, masalah dasar Mesir adalah pengangguran golongan muda, dengan jumlah angkatan kerja yang terserap hanya 4 persen per tahun, pengangguran di Mesir 10 kali lebih tinggi untuk lulusan perguruan tinggi. Korupsi dalam Kementerian Dalam Negeri Mubarak telah meningkat sebagai akibat legitimasi sistem kelembagaan yang diperlukan untuk memperpanjang kekuasaan presiden. Munculnya pengaruh bisnis yang kuat dalam partai NDP di pemerintahan dan Majelis Rakyat menyebabkan kemarahan selama bertahun-tahun terhadap Perdana Menteri Ahmed Nazif.

Kenyataan yang terjadi di Mesir itu adalah gambaran untuk menunjukkan bahwa Hosni Mubarak memerintah secara otoriter, korup, dan sangat anti demokrasi. Sejak tahun 2010, kelompok oposisi telah melakukan kegiatan-kegitan protes terhadap pemerintahan Mubarak. Hosni Mubarak telah mendapat seorang penentang yang cukup terkenal dan berani, yaitu Mohammad El Baradei, mantan pemimpin badan atom PBB.

commit to user