Faktor Penyebab Revolusi di Mesir

C. Faktor Penyebab Revolusi di Mesir

Revolusi dalam bentuk penggulingan rezim sering terjadi di wilayah Arab dan Afrika Utara pada abad ke-21, misalnya revolusi di Aljazair (Houari Boumedienne), Tunisia (Ben Ali), Libya Muammar Khadafi), Yaman (Ali Abdullah Saleh) dan Mesir (Hosni Mubarak). Secara umum, negara-negara Arab masih memiliki sistem dan budaya politik yang jauh dari nilai-nilai demokrai, bahkan sebagian besar masih mempertahankan corak politik tradisional dan feodal (kerajaan) dengan kekuasaan mutlak di tangan penguasa. Sebagian besar ada yang memiliki simbol-simbol dan instrument demokrasi yang secara konseptual digunakan untuk membagi kekuasaan agar tidak terpusat, namun yang berjalan dalam kenyataannya adalah praktik politik yang diktator. Sistem yang berjalan di negara-negara Arab belum bisa memenuhi kehendak rakyat secara ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Masih banyak terjadi kemiskinan, penindasan, korupsi dan kesewenang-wenangan oleh rezim penguasa. Sejak tahun 1990, terjadi program-program pro Barat yang mencabut subsidi dan menyebabkan harga-harga naik (Muhamad Iqbal, Nuraini Soyomukti, 2011 : 31).

Pada awalnya, rakyat memang belum berani untuk melakukan protes berupa demonstrasi seperti yang terjadi di Arab. Semua yang menghalangi protes pembangkangan sipil adalah pengahalang psikologis. Rakyat sudah dimiskinkan akibat rezim-rezim yang korup, mengambil kekayaan negara untuk diri sendiri, dan sistem ekonomi yang dijalankan menyebabkan krisis sehingga kemiskinan meningkat, mengakibatkan kenaikan harga bahan pokok. Rakyat belum berani melawan karena mental perlawanan masih rendah. Namun terdapat berbagai macam pemicu yang membuat hambatan psikologis kejiwaan rakyat menghilang,

1. Dengan semakin banyak terlihat orang berani melawan, akan muncul keberanian, dan juga karena ada perasaan tidak sendiri. Pada awalnya seorang akan merasa takut, namun setelah melihat banyak orang berani menunjukkan diri dengan melawan, muncul keberanian dalam setiap individu.

2. Adanya reaksi yang berlebihan dari penguasa dan penindas rakyat yang membuat ketakutan menghilang. Ketika harga diri dihilangkan, rasa takut dan ketertindasan

commit to user

akan membuat seorang melakukan apa pun. Tindakan represif yang sering dilakukan oleh penguasa menumbuhkan kebencian dari rakyat.

Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan oleh seorang pemuda di Tunisia, Bouazizi, yang memicu revolusi di Tunisia. Tindakan Bouazizi untuk membakar diri merupakan tindakan yang ekstrem. Bouazizi membakar diri karena gerobak dagangannya disita oleh polisi. Tindakan bunuh diri sering menjadi luapan protes yang secara simbolis dilakukan rakyat. Berita tentang keberanian rakyat yang telah menumbangkan penguasa akan member inspirasi kepada orang yang mendengar. Ketika terdengar bahwa rakyat Tunisia berhasil menumbangkan Ben Ali, maka berita tersebar. Peranan media internet sangat besar. Berjalannya komunikasi dan jejaring sosial dimudahkan oleh penggunaan bahasa yang hampir sama, sehingga pesan perlawanan menyebar ke berbagai negeri, terutama negeri- negeri di Arab.

Di tengah perkembangan sosial yang cepat akibat dinamika internasional, muncul kontradiksi-kontradiksi sosial di suatu negara sehingga menjadi pemicu munculnya perlawanan. Jejaring sosial yang semakin maju melalui media internet memudahkan pertukaran informasi. Akhir 2010 menjadi awal munculnya perlawanan. Media konvensional memberitakan revolusi yang terjadi di Tunisia melalui saluran televisi satelit regional Timur Tengah. Di sebagian negara Timur Tengah mengalami permasalahan yang sama, yaitu menderita karena rezim penguasa, tingkat pengangguran yang tinggi, populasi kaum muda yang besar, inflasi yang tinggi, dan kesenjangan sosial semakin terlihat antara orang kaya dan orang miskin (Muhamad Iqbal, Nuraini Soyomukti, 2011 : 32).

Timur Tengah sedang memasuki masa transisi dan dalam tahap membangun peradaban baru dengan landasan demokrasi, reformasi dan revolusi. Sedangkan yang terjadi di Arab adalah situasi yang berlawanan dengan makna demokrasi. Rakyat Arab tertindas oleh rezim penguasa yang diktator yang memerintah dengan korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga sebagian besar rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Keterpurukan ekonomi dan kesenjangan sosial rakyat Arab, khususnya Mesir dan Tunisia akibat pemerintahan otoriter Hosni

commit to user

Mubarak dan Ben Ali telah menimbulkan gelombang demonstrasi untuk menuntut mundurnya Mubarak dan Ben Ali.

Revolusi yang terjadi di Mesir merupakan akumulasi kekecewaan publik yang selama puluhan tahun dikekang oleh rezim Hosni Mubarak. Akumulasi kekecewaan di Mesir paralel dengan krisis politik yang terjadi di Tunisia, sehingga rakyat Mesir menemukan waktu yang tepat untuk melakukan revolusi. Pemerintahan Hosni Mubarak yang diktator menyebabkan penderitaan bagi rakyat, terutama rakyat miskin. Sistem ekonomi di Mesir tidak mencerminkan keadilan. Terjadi kesenjangan sosial yang sangat telihat antara kelompok elit dengan mayoritas rakyat yang miskin. Pengekangan terhadap kelompok kelas menengah terdidik yang secara intelektual sudah memahami informasi global tentang proses demokratisasi juga mendorong terjadinya revolusi. Akses sosial ekonomi dan informasi di Mesir dangat dibatasi oleh rezim Mubarak (David Akhmad Ricardo, 2011 : 44).

Sistem yang digunakan Mubarak dalam pemerintahan di Mesir adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang didalamnya memuat tiga pilar, yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, belum dapat direalisasikan, bahkan tidak terjadi sama sekali. Mubarak memerintah Mesir dengan diktator, sehingga sangat berseberangan dengan partai yang diusung, yaitu Partai Nasional Demokrat (NDP) (Kompas, 12 Februari 2011).

Konstitusi Mesir saat ini tidak menjamin liberalisme konstitusional. Menurut 55 pasal dalam Konstitusi Mesir, seorang presiden memiliki wewenang

63 persen sedangkan 25 persen dimiliki lembaga legislatif. Mubarak dengan menjadi presiden dan ketua umum NDP yang menguasai parlemen bisa memiliki

88 persen wewenang. Pasal 77 yang tidak disentuh Mubarak yang memungkinkan presiden berkuasa seumur hidup. Mesir juga masih memberlakukan undang- undang darurat yang selama ini dijadikan alasan untuk meredam kelompok- kelompok oposisi dan membungkam kebebasan dengan alasan keadaan darurat. Negara juga menguasai lembaga-lembaga keagamaan (Al-Azhar, Majlis Fatwa, ordo tarekat, dan masjid), sosial dan pers (koran dan televisi). Di Mesir tidak ada kekuatan masyarakat sipil (civil society) dalam arti yang sebenarnya. Dengan

commit to user

konstitusi saat ini, negara menguasai rakyatnya dan tidak memberi ruang untuk mendapatkan kebebasan. Kediktatoran Mubarak sangat ditentang oleh rakyat Mesir, terutama oleh golongan-golongan Islam radikal, yang membentuk kelompok-kelompok Islam fundamental (Diunduh dari situs kompas.com, pada tanggal 12 Maret 2012).

Presiden Hosni Mubarak adalah salah satu presiden Mesir yang melakukan perlawan ekstrem terhadap gerakan radikalisme Islam. Gerakan-gerakan yang radikal dan keras, yang mereda pada awal periode pemerintahan Mubarak, secara langsung dan berani menentang dan menyerang rezim pada akhir 1980-an dan 1990-an. Organisasi mahasiswa Islam mendominasi himpunan-himpunan mahasiswa universitas. Di Assyut, Minya, Kairo, dan Iskandariyah, mahasiswa mendesak diterapkannya revolusi Islam yang berupa penerapan hukum Islam, reformasi kurikulum, pemisahan jenis kelamin di kelas-kelas, pembatasan pergaulan sosial yang mencampurkan laki-laki dan perempuan, dan pelarangan musik dan konser Barat. Pertumbuhan mahasiswa didorong oleh ketidakmampuan pemerintah menangani realitas sosial ekonomi yang kronis, yang berdampak sangat merugikan bagi lebih dari 50 juta warga Negara Mesir di bawah usia dua puluh tahun. Ratusan ribu pemuda lulusan universitas kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan dan perumahan. Pasangan-pasangan muda sering tinggal bersama keluarga atau menunda perkawinan selama bertahun-tahun hingga dapat menemukan rumah yang memadai (John L. Esposito, John O. Voll, 1999 : 246).

Perlawanan Islam militan yang paling keras terhadap pemerintah Mubarak berasal dari Jamaah Islamiyah dan Jamaah Al-Jihad, yang telah menyatakan perang sampai mati terhadap pasukan keamanan dan polisi pada 1990-an. Pemicunya adalah terbunuhnya Ala Mohieddin, dokter muda dan pemimpin Jamaah Islamiyah dan juru bicara Jamaah Islamiyah terkemuka yang ditunjuk oleh Syaikh Omar Abdel Rahman pada tahun 1991. Jamaah Islamiyah menuduh pemerintah yang telah melakukan pembunuhan terhadap Ala. Jamaah Islamiyah mengubah kelompok-kelompok mahasiswa yang aktif di kampus universitas dan dalam dunia politik di masa pemerintahan Sadat menjadi suatu front atau organisasi yang menghimpun sejumlah kelompok ekstremis yang aktif di

commit to user

Iskandariyah, Kairo, Asyut, Minya, dan Fayyum. Anggotanya adalah orang-orang muda, kurang berpendidikan, hidup dalam kondisi miskin dan pengangguran, lebih radikal dalam ideologi, dan lebih acak dalam melakukan tindak kekerasan.

Pemerintah Mubarak menanggapi secara agresif ancaman dari radikalisme Islam terhadap stabilitas pemerintah dan keamanan regional. Dalam praktiknya, tidak jelas garis pemisah antara Islam moderat dan Islam radikal, antara keamanan Negara dan batas-batas otoritas Negara, antara hukuman kejahatan dan hak asasi manusia. Dalam perang melawan terorisme, tindakan tegas pemerintah dan penahanan massal terhadap para tokoh ekstrimis dan simpatisannya mencakup tokoh-tokoh moderat beserta anggota keluarga terssangka, dalam upaya menakut- nakuti kelompok oposisi. Pada tahun 1989, 10.000 aktivis militias Islam ditahan. Laporan dari hak asasi manusia Departemen Luar Negeri AS mengenai Mesir pada tanggal 1 Februari 1994 mencatat bahwa pemerintah Mesir melakukan banyak pelanggaran, termasuk penahanan sewenang-wenang, penyiksaan terhadap ratusan tahanan, penggunaan pengadilan militer untuk mengadili tahanan yang didakwa sebagai teroris. Penyiksaan sistematis, penahanan jangka panjang tanpa tuduhan, ditangkapnya anggota keluarga aktivis Islam militant, dan sensor pers mendorong para pejabat organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia non- pemerintah internasional untuk menyatakan pembelaannya terhadap penduduk Mesir (John L. Esposito, John O. Voll, 1999 : 251).

Tindakan keras pemerintah Mubarak bukan hanya bermaksud mencabut ekstremisme hingga ke akar-akarnya, namun juga untuk menghadapi dan mengontrol pelembagaan aktivitas Islam, yang dengan jelas tercermin dalam kebijakannya yang berubah-ubah terhaap perhimpunan-perhimpunan profesi. Perhimpunan-perhimpunan di Mesir yang berupa perhimpunan demokratis dan sukarela dari kelompok profesi guru, pengacara, dokter, wartawan, merupakan pilar masyarakat madani Mesir. Pada tahun 1980-an, aktivis-aktivis Islam tampil sebagai kekuatan utama dalam perhimpunan-perhimpunan tersebut. Keberhasilan para aktivis Islam dalam memasuki arus utama sosial politik terlihat dari meningkatnya secara drastic perhimpunan profesi yang berorientasi Islam, yang mencerminkan jumlah lulusan professional muda. Kehadiran dan dampak aktivis

commit to user

Islam dapat dirasakan dalam perhimpunan atau sindikat-sindikat profesi tempat aktivis Islam memimpin organisasi para dokter, insinyur, dan juga pengacara. Sindikat-sindikat profesi merupakan sector yang paling maju dalam kehidupan publik di Mesir, yang menikmati kedudukan tinggi dan memiliki suara otonom dan dihormati. Sindikat para pengacara berada di barisan depan dalam kampanye pembelaan hak asasi manusia dan penegakan aturan hukum.

Pada tahun 1994, dalam suatu gerakan, pemerintah Mubarak memperluas perangnya bukan hanya terhadap Jamaah Islamiyah, namun juga terhadap kelompok oposisi terkuat di Mesir, yaitu Ikhwanul Muslimin. Dalam suatu tindakan yang merupakan perang besar-besaran, pemerintah berusaha membatasi bukan hanya gerakan yang pernah melakukan tindak kekerasan, namun juga sebuah gerakan yang mendominasi banyak daerah kota, perhimpunan profesi dan tenaga kerja serta fakultas-fakultas universitas. Meskipun sebagian besar takut terhadap kekrasan yang dilakukan pemerintah, Ikhwanul Muslimin berupaya menghindari konfrontasi dan kekerasan , dan sebagai gantinya Ikhwanul Muslimin mnghimbau masyarakat agar menaati prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (John L. Esposito, John O. Voll, 1999).

Perlawanan yang dilakukan pemerintah terhadap Ikhwanul Muslimin berlangsung hingga menjelang mundurnya Hosni Mubarak. Pada tahun 2010 Mubarak melakukan kecurangan menjelang pemilu dengan melakukan penagkapan terhadap kelompok oposisi terbesar Mesir, Ikhwanul Muslimin. Menurut Ikhwanul Muslimin, lebih dari 1.000 anggotanya, termasuk delapan kandidat parlemen telah ditahan. Pendukung Ikhwanul Muslimin bentrok dengan pasukan keamanan di sejumlah titik perkotaan. Kelompok hak asasi manusia Amnesty International menuduh Mesir telah melakukan pengekangan terhadap oposisi, namun pemerintaha beralasan kelompok oposisi melanggar hukum karena menggunakan slogan-slogan agama. Rezim Mubarak mencoba mengintimidasi dan meneror penduduk yang mendukung Ikhwanul Mislimin. Amnesty International memberikan perintah kepada pihak berwenang Mesir untuk tidak melarang rakyat Mesir memberikan suara, seperti yang terjadi di sejumlah TPS dalam pemilihan umum terakhir tahun 2005 (David Akhmad Ricardo, 2011 : 46).

commit to user

Penyelenggaraan pemilu presiden di Mesir penuh dengan kecurangan. Kotak-kotak suara sejak awal telah diisi dengan surat suara. Pemerintah telah membeli sura dari rakyat yang pro Mubarak, sedangkan warga yang memilih kandidat oposisi pemerintah diperlakukan dengan cara-cara kekersan oleh pembunuh bayaran. Kecurangan itu telah dicatat oleh kelompok hak asasi manusia. Pemerintah tidak memberikan izin kepada lebih dari lima orang untuk melakukan aksi unjuk rasa damai. Pasukan keamanan selalu berjaga di depan universitas untuk memastikan bahwa tidak ada mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa dan tidak melakukan aktivitas politik (Whasington Post, 27 Desember 2010).

Meluasnya kemiskinan, tingginya pengangguran, korupsi dan inflasi harga pangan ,menjadi alasan utama terjadinya revolusi di Mesir. Situasi ekonomi yang memburuk ini yang menambah kemarahan terhadap pemerintah yang korupsi, kolusi dan nepotisme di dalam pemerintahan di Mesir. Kekuatan ekonomi Negara- negara di Arab, termasuk Mesir, secara umum bersumber dari minyak yang menjadi kebutuhan dunia.

Berikut ini adalah data tabel yang menunjukkan bahwa ekonomi kelompok Negara Arab bersumber dari minyak : Tabel 3. Tabel Pendapatan Negara-negara Arab dari Minyak Bumi

Country group

Total population

GDP (PPP US$ billion)

GDP share

(%)

Per capita GDP (PPP

US$) Group 1 : Oil economies

40.2 13.2 1117

45.9 27786

Group 2 : Mixed oil

Group 3 : Diversified economies

Group 4 : Primary export economies

67.1 22.1 153

6.3 27

Total

303.6

100

2345

100

8020

commit to user

Group 1 : Oil economies : the Gulf Cooperation Council states (Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia, and UAE) Group 2 : Mixed oil economies : Algeria dan Libya Group 3 : Diversified economies : Egypt, Jordan, Lebanon, Morocco, Syria, and Tunisia. Group 4 : Primary export economies : Comoros, Djibouti, Mauritania, Sudan, and Yemen.

Sumber : (League of Arab States and UNDP, 2008, from the IMF and the CIA World Factbook).

Data dari table menunjukkan bahwa ekonomi kelompok Negara yang bersumber sepenuhnya dari minyak seperti Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab secra keseluruhan memiliki pendapatan per kapita yang mencapai 27.786 US$, atau lebih seperempat miliar rupiah per kapita. Libya masuk dalam kelompok Negara mixed oil economies dengan pendapatan per kapita total sebesar 8.313 US$. Mesir dan Tunisia tercatat terbesar ketiga dalam kelompok Negara Arab yang diropang oleh beragam sumber ekonomi dengan penghasilan per kapita sebesar 5.328 US$. Sedangkan Mesir pada tahun 2011, memeiliki estimasi penghasilan per kapita yang turun drastis menjadi 2,892 US$. Yaman yang sepenuhnya mengandalkan ekspor sebagai sumber utama ekonomi negerinya memiliki per kapita sebesar 2.277 US$ (Muhamad Iqbal, Nuraini Soyomukti, 2011 : 118).

Menurut laporan UNDP dalam Arab Knowledge Report 2009, dari tahun 1980-an sampai 2011, tingkat pengangguran berada pada level yang tinggi dan bahkan semakin meningkat. Pada tahun 1980-an, Negara-negara seperti Mesir, Tunisia, Aljazair, Yordania, Maroko dan Suriah, jika dibandingkan 57 persen total angkatan kerja, angka pengangguran mencapai 10,6 persen. Pengangguran tertinggi terjadi di Aljazair yaitu 16,5 persen, dan yang terendah Suriah, yaitu 4,8 persen. Pada tahun 1990-an, rata-rata angka pengangguran meningkat menjadi 14,5 persen. Menurut League of Arab States and UNDP,2008, tingkat pengangguran berlanjut pada tahun 2000 yang meningkat menjadi 15,5 persen, dan pada tahun 2011 mencapai 20 persen, sehingga kemarahan rakyat Mesir mngakibatkan gerakan revolusi perlawanan terhadap rezim dictator Hosni Mubarak yang selama puluhan tahun menyengsarakan rakyatnya sendiri.

commit to user

Faktor pendorong revolusi yang terjadi di Mesir juga disebabkan karena munculnya bentuk komunikasi baru, media baru, yang semakin berkembang dan berbenturan dengan sistem komunikasi publik yang berkembang secara otoriter. Komunikasi melalui media baru seperti facebook dan twitter menjadi hubungan baru dan menjadi penentang komunikasi yang anti demokrasi. Penggerak revolusi melalui media internet adalah Wael Ghonim, seorang kepala marketing Google kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Pada awalnya, Ghonim membuat laman di facebook dengan nama “We are All Khaled Said”. Khaled Mohamed Said adalah nama seorang pemuda di Mesir yang meninggal dalam kekerasan fisik yang dilakukan oleh polisi di Sidi Gaber daerah Iskandariyah karena Said mengunggah video yang memperlihatkan polisi membagikan narkotika hasil sitaan.

Aktivis melakukan demonstrasi dengan memuat slogan “kita semua Khaled Said” yang kemudian membawa perhatian warga Mesir dalam kasus tersebut. Mohamed El Baradei, mantan kepala dari badan Energi Atom Internasional memimpin demonstrasi pada tahun 2010 di Iskandariyah terhadap dugaan pelanggaran oleh polisi dan mengunjungi keluarga Khaled Said sebagai bentuk dukungan dan belasungkawa (Apriadi Tambukara, 2011 : 74).

Media di Mesir sangat berperan dalam terjadinya revolusi. Selain media internet, televisi juga mempunyai peran yang penting. Pada awalnya rakyat Mesir hanya melihat berita di televisi Mesir yang cenderung mendukung Mubarak, namun sebagian penduduk yang mempunyai parabola dapat melihat berita dari luar negeri seperti televisi Al-Jazeera dan BBC, akan menentang Mubarak. Sehingga banyak wartawan asing yang ditangkap ketika meliput peristiwa demonstrasi di Mesir sebelum Mubarak mundur. Lebih dari 20 jurnalis asing ditangkap, atau dirusak peralatannya oleh polisi Mesir. Berbeda dengan pengunujk rasa yang menyambut baik wartawan asing untuk meliput demonstrasi. Banyak warga Mesir yang bersedia menjadi penerjemah bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris (David Akhmad Ricardo, 2011 : 53).

Media sosial di Mesir menjadi tempat untuk menyebarkan kata-kata propaganda, protes, atau provokasi yang dapat member dukungan moral atau

commit to user

emosional kepada rakyat Mesir untuk tujuan organisatoris. Media sosial bukanlah penyebab utama revolusi di Mesir, namun dapat menjadi akslerasi yang terus menguat karena kekuatan jejaring komunikasi, atau jejaring media sosial (social media networking) yang berperan dalam revolusi di Tunisia dan Mesir. Facebook dan Twitter juga tidak menyebabkan revolusi di Mesir, tetapi membantu menyebarkan berita, dan para demonstran mengakui peran facebook dan twitter telah membantu revolusi. Begitu besarnya pengaruh jejaring sosial ini, membuat Hosni Mubarak memerintahkan pejabatnya untuk memblokir seluruh akses internet di Mesir pada Jumat, 28 Januari 2011. Pemblokiran internet dilakukan Hosni Mubarak untuk menghentikan mobilisasi demonstran yang menggunakan media tersebut sebagai alat komunikasi dengan para demonstran lain (Diunduh dari situs vivanews.com, pada tanggal 22 Maret 2012).