HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Analisa Sifat Kimiawi Tepung ikan

Tepung ikan yang mempunyai fungsi utama dalam pembuatan pakan ikan dan pakan ternak lain dapat ditingkatkan mutunya dengan penggunaan bahan baku dan penerapan teknologi dalam proses produksinya. Namun demikian, apabila kondisi penyimpanan tepung ikan kurang memadai akan menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan penurunan kualitas tepung ikan. Pengamatan terhadap perubahan kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, angka peroksida tepung ikan dilakukan untuk mengetahui penurunan kualitas tepung ikan selama penyimpanan.

1. Analisa Kadar Air Tepung Ikan

Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan daya awet bahan pangan tersebut. Makin rendah kadar air, makin lambat pertumbuhan mikroorganisme sedangkan bahan pangan tersebut dapat tahan lama (Winarno, 2002). Tabel 4.1 Hasil Analisa Kadar Air Tepung Ikan (%db)

Sampel

Rata-rata H1P1 a 3,516 3,666 3,591

Ulangan 1

Ulangan 2

H1P2 d 6,102 6,047 6,075 H1P3 c 5,288 5,549 5,419 H1P4 c 5,507 5,574 5,541 H2P1 a 3,438 3,492 3,465 H2P2 b 4,852 4,926 4,889 H2P3 a 3,356 3,589 3,473 H2P4 b 4,899 4,942 4,921 H3P1 a 3,533 3,549 3,541 H3P2 b 4,962 4,992 4,977 H3P3 a 3,545 3,559 3,552 H3P4 b 4,917 4,909 4,913

Keterangan: H1 : Hari ke-1

H2 : Hari ke-14 H3 : Hari ke-28

P1 : Dikukus P2 : Dikukus + BHT 0,001%

P3 : Direbus P4 : Direbus + BHT 0,001% Dari tabel 4.1 terlihat hasil analisa kadar air dari tepung ikan. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, dalam variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kadar air yang dihasilkan pada tepung ikan.

Grafik 4.1 Persentase Kadar Air Tepung Ikan

ir 5

r 4.913b

A 5.4185c

4.9205b

4 3.4725a

a rebus BHT 3.552a

d 3.591a

K 3.541a

kukus BHT

Waktu Penyimpanan (Hari)

Dari tabel 4.1 terlihat hasil analisa kadar air dari tepung ikan. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil yaitu pada hari 1 penyimpanan kadar air tertinggi pada perlakuan dikukus dengan penambahan BHT 0,001% pada hari ke-1 dan yang paling rendah pada perlakuan dikukus pada hari ke-14. Perlakuan dengan penambahan BHT 0,001% pada hari ke-14 dan ke-28 cenderung ± 4,9% dan perlakuan tanpa penambahan BHT 0,001% cenderung ± 3,5%. Selama penyimpanan dari hari ke-1 sampai ke-14 umumnya untuk perlakuan dengan penambahan BHT 0,001% dan tanpa penambahan BHT 0,001% terjadi penurunan yang beda nyata. Pada penyimpanan hari ke-14 sampai ke-28 tidak terjadi penurunan yang signifikan, hal ini disebabkan karena telah terjadi keseimbangan kadar air antara tepung ikan dengan lingkungannya.

Pengaruh lama penyimpanan tepung ikan terhadap kadar air tepung ikan dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kadar air tepung ikan menurun selama penyimpanan. Selama Pengaruh lama penyimpanan tepung ikan terhadap kadar air tepung ikan dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kadar air tepung ikan menurun selama penyimpanan. Selama

Pada proses pengeringan terjadi penguapan air dari bahan yang diikuti dengan perpindahan massa dari dalam bahan ke permukaan secara difusi karena adanya panas (Hall, 1971). Proses utama pengeringan adalah transfer panas dan massa. Panas ditransfer dari udara pengering yang bersuhu 60 ºC, kemudian air dimobilisasi keluar untuk kemudian diuapkan. Uap air selanjutnya diserap udara pengering dan keluar bersama dengan udara sisa pengering sehingga air yang semula terperangkap dalam struktur 3 dimensi gel akan menguap dan akan dihasilkan tepung ikan yang teksturnya keras.

Hasil analisa menunjukkan bahwa perlakuan pengukusan menghasilkan tepung ikan dengan rata-rata kadar air yang lebih rendah dibandingkan tepung ikan dengan perebusan. Penambahan BHT sebagai antioksidan pada tepung ikan menunjukkan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan tepung ikan tanpa penambahan BHT. Tepung ikan dengan penambahan BHT mengalami hidrolisa lemak yang lebih lambat sehingga kebutuhan air untuk hidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak bebas lebih sedikit sehingga penurunan kadar airnya lebih sedikit. Menurut Sri Raharjo (2004), kadar air tepung ikan selama penyimpanan sangat dipengaruhi oleh adanya hidrolisa lemak tepung ikan maupun penyerapan uap air ke dalam tepung ikan tersebut.

Pada penelitian ini tepung ikan disimpan dalam plastik polipropilen. Pengemasan yang rapat menyebabkan terjadinya kontak antara tepung ikan dan udara lebih sulit sehingga proses pengikatan air oleh tepung ikan semakin lambat. Akibat dari proses tersebut, tepung ikan akan tidak akan memadat dan dalam keadaan paling buruk mengeluarkan bau tidak sedap. Menurut Winarno (1997), keberadaan air dapat menyebabkan lemak menjadi terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak sehingga menyebabkan ketengikan hidrolitik. Tepung ikan mutu I dan mutu II menurut standar SNI 01-2715-1995 berkadar air maksimal 10% dan 12%. Setelah penyimpanan selama 28 hari, kadar air tepung ikan tidak melebihi 12%. Hal ini terlihat bahwa tepung ikan termasuk dalam standar mutu I maupun mutu II pada akhir penyimpanan.

2. Analisa Kadar Abu Tepung Ikan

Dari tabel 4.2 terlihat hasil analisa kadar abu dari tepung ikan. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa variasi perlakuan pendahuluan berpengaruh nyata terhadap kadar abu yang dihasilkan tetapi pada lama waktu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap kadar abu dari tepung ikan. Tabel 4.2 Hasil Analisa Kadar Abu Tepung Ikan (%db)

Sampel

Rata-rata H1P1 h 21,845 21,881 21,863

Ulangan 1

Ulangan 2

H1P2 b 14,024 14,165 14,095 H1P3 de 14,727 14,752 14,740 H1P4 f 14,993 14,999 14,996 H2P1 h 21,967 21,887 21,927 H2P2 a 13,653 13,917 13,785 H2P3 cd 14,426 14,689 14,558 H2P4 d 14,726 14,624 14,675 H3P1 g 21,519 21,51 21,515 H3P2 a 13,779 13,809 13,794 H3P3 c 14,348 14,454 14,401 H3P4 ef 14,919 14,916 14,918

Keterangan : H : Hari ; P : Perlakuan

Grafik 4.2 Persentase Kadar Abu Tepung Ikan (%)

14.675d 14.558cd

14.918ef

r Ab 14.401c

a 14.740de

rebus BHT 14.095b

ad 13.794a

13.785a

10 kukus BHT

Waktu Penyimpanan (Hari)

Dari tabel 4.2 terlihat hasil analisa kadar abu dari tepung ikan. Tepung ikan dengan perlakuan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% menunjukkan kadar abu Dari tabel 4.2 terlihat hasil analisa kadar abu dari tepung ikan. Tepung ikan dengan perlakuan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% menunjukkan kadar abu

Menurut Standar Nasional Indonesia tentang standar mutu tepung ikan, kadar abu yang terkandung dalam tepung ikan maksimal 4%. Kadar abu tepung ikan berkisar antara 13,785% - 21,927%, sehingga kadar abu tepung ikan tidak memenuhi standar mutu tepung ikan sesuai dengan SNI 01-2715- 1995.

3. Analisa Kadar Protein Tepung Ikan

Tabel 4.3 terlihat hasil analisa kandungan protein dari tepung ikan. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan berpengaruh terhadap kadar protein dari tepung ikan yang dihasilkan. Tabel 4.3 Hasil Analisa Kadar Protein Tepung Ikan (%db)

Sampel Ulangan 1

Rata-rata H1P1 a 64,206 64,317 64,262

Ulangan 2

H1P2 cde 71,786 71,343 71,565 H1P3 b 67,249 67,595 67,422 H1P4 cde 71,359 71,406 71,383 H2P1 a 65,434 60,759 63,097 H2P2 de 73,243 73,317 73,280 H2P3 c 70,353 71,161 70,757 H2P4 cd 70,625 71,184 70,905 H3P1 cde 72,327 72,6 72,464 H3P2 e 73,339 73,615 73,477 H3P3 cd 71,130 70,748 70,939 H3P4 cd 71,066 71,039 71,053

Keterangan : H : Hari ; P : Perlakuan

Grafik 4.3 Persentase Kadar Protein Tepung Ikan

tein 70 71.383cde

ro 68 70.757c

70.939cd

rP 66 67.422b

rebus BHT

a 64

ad kukus BHT

K 62 64.262a

Waktu Penyimpanan (Hari)

Dari tabel 4.3 terlihat bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan mempengaruhi dari kandungan protein yang terdapat pada tepung ikan. Penambahan BHT 0,001% pada tepung ikan menunjukkan rerata kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan tepung ikan tanpa penambahan BHT 0,001%. Namun pengukusan dan perebusan pada proses pembuatan tepung ikan memberikan perubahan yang signifikan pada peningkatan protein selama penyimpanan. Secara umum, selama penyimpanan terjadi kenaikan protein pada semua perlakuan pada tepung ikan. Kenaikan kadar protein ini disebabkan karena penurunan kadar air dan degradasi lemak sehingga mengurangi proporsi lemak pada tepung ikan selama penyimpanan.

Pada grafik 4.3 terlihat bahwa penyimpanan pada perlakuan perebusan dengan penambahan BHT 0,001% dari hari ke-1 sampai hari ke-28 tidak terjadi perubahan yang signifikan. Pada penyimpanan perlakuan pengukusan dari hari ke-1 sampai hari ke-14 terjadi penurunan 1%, tetapi pada hari ke-14 sampai hari ke-28 terjadi kenaikan kadar protein yang tinggi sebesar 9%. Dari semua perlakuan, hanya pada perlakuan pengukusan yang mengalami kenaikan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena kadar air rendah dan pada hari ke-14 sampai hari ke-28 terjadi penurunan kadar lemak sehingga kadar protein mengalami kenaikan yang signifikan.

Kelarutan protein yang terekstrak di dalam air dipengaruhi oleh ukuran partikel, perbandingan bahan dan air serta suhu air untuk ekstraksi. Perbandingan bahan dan air yang cukup akan menyebabkan seluruh partikel-partikel bahan kontak dengan air, Kelarutan protein yang terekstrak di dalam air dipengaruhi oleh ukuran partikel, perbandingan bahan dan air serta suhu air untuk ekstraksi. Perbandingan bahan dan air yang cukup akan menyebabkan seluruh partikel-partikel bahan kontak dengan air,

Menurut Standar Nasional Indonesia tentang standar mutu tepung ikan, kadar protein yang terkandung dalam tepung ikan mutu I sebesar 60% dan mutu II sebesar 45%. Kadar protein tepung ikan berkisar antara 63,097% -73,477%, sehingga kadar protein tepung ikan memenuhi standar mutu I sesuai dengan SNI 01-2715-1995.

4. Analisa Kadar Lemak Tepung Ikan

Tabel 4.4 terlihat hasil analisa kandungan lemak dari tepung ikan. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan berpengaruh terhadap kadar lemak dari tepung ikan yang dihasilkan. Tabel 4.4 Hasil Analisa Kadar Lemak Tepung Ikan (%db)

Sampel

Rata-rata H1P1 e 8,104 7,914 8,009

Ulangan 1

Ulangan 2

H1P2 b 6,586 6,362 6,474 H1P3 a 5,564 5,654 5,609 H1P4 d 7,273 7,216 7,245 H2P1 f 8,561 8,422 8,492 H2P2 i 10,676 10,655 10,666 H2P3 c 6,834 6,854 6,844 H2P4 j 11,499 11,706 11,603 H3P1 c 6,913 7,145 7,029 H3P2 h 9,405 9,296 9,351 H3P3 g 8,964 8,963 8,964 H3P4 g 9,021 8,957 8,989

Keterangan : H : Hari ; P : Perlakuan

Grafik 4.4 Persentase Kadar Lemak Tepung Ikan

ema 8 8.492f 8.964g 8.989g

L ar 7.245d

rebus BHT 6 6.474b

6.844c

7.029c

ad 5.609a

kukus BHT

Waktu Penyimpanan (Hari)

Dari tabel 4.4 terlihat bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan mempengaruhi dari kandungan lemak yang terdapat pada tepung ikan. Pada hari ke-1 sampai hari ke-14 semua variasi perlakuan mengalami kenaikan kadar lemak yang signifikan, dimana pada perlakuan perebusan dengan penambahan BHT 0,001% dan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% mengalami kenaikan kadar lemak yang tinggi yaitu sekitar 4%. Kenaikan terbesar pada perlakuan perebusan dengan penambahan BHT 0,001%. Menurut Belitz dan Grosch (1998) kadar air juga mempengaruhi kandungan lemak didalam bahan. Menurut Buckle, dkk (1987), semakin rendah kadar air maka kandungan lemak akan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin tinggi kadar air maka kandungan lemak akan semakin rendah.

Pada hari ke-14 sampai hari ke-28 untuk semua perlakuan pendahuluan terjadi penurunan kadar lemak sekitar 2%-3% selain perlakuan perebusan yang terjadi kenaikan kadar lemak sekitar 2,5%. Hal ini diduga karena lemak terdegradasi oleh peroksida.

Dari keseluruhan perlakuan, kadar lemak tertinggi pada perlakuan perebusan dengan penambahan BHT 0,001% pada hari ke-14 sebesar 11,603% dan terendah pada perlakuan perebusan pada hari ke-1 sebesar 5,609%.

Menurut Standar Nasional Indonesia tentang standar mutu tepung ikan, kadar lemak yang terkandung dalam tepung ikan mutu I sebesar 10% dan mutu II sebesar 15%. Kadar lemak tepung ikan berkisar antara 5,609%- 11,603%, sehingga kadar lemak tepung

5. Analisa Angka Peroksida Tepung Ikan

Tabel 4.5 terlihat hasil analisa angka peroksida dari tepung ikan. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan berpengaruh terhadap kadar peroksida dari tepung ikan yang dihasilkan.

Tabel 4.5 Hasil Analisa Angka Peroksida Tepung Ikan (%db)

Sampel Ulangan 1

Rata-rata H1P1 a 0,644 0,655 0,650

Ulangan 2

H1P2 c 2,127 2,182 2,155 H1P3 a 0,695 0,686 0,691 H1P4 f 5,556 5,659 5,608 H2P1 b 2,001 1,955 1,978 H2P2 d 2,518 2,568 2,543 H2P3 h 6,243 6,352 6,298 H2P4 i 6,988 7,043 7,016 H3P1 g 6,080 5,783 5,932 H3P2 e 4,935 4,961 4,948 H3P3 j 8,889 8,964 8,927 H3P4 k 13,957 14,03 13,994

Keterangan : H : Hari ; P : Perlakuan

Grafik 4.5 Persentase Angka Peroksida

Tepung Ikan (mg ekiv/kg)

(m a 8 7.016i

8.927j

rebus BHT

k kukus BHT 6

ro 4.948e

5.608f

4 e 2.543d kukus

2.155c

k rebus

a 2 0.691a

g 0 0.650a

Waktu Penyimpanan (Hari)

Dari tabel 4.5 terlihat hasil analisa angka peroksida dari tepung ikan. Tepung ikan dengan perlakuan pengukusan menunjukkan angka peroksida lebih rendah dibandingkan tepung ikan dengan perebusan. Penambahan BHT 0,001% pada tepung ikan saat perebusan maupun pengukusan menunjukkan angka peroksida yang berbeda nyata dibandingkan tepung ikan tanpa penambahan BHT 0,001%. BHT (Butylated hydroxytoluene) adalah antioksidan primer yang sering digunakan dalam bahan makanan (Winarno,1997). Antioksidan hanya berfungsi untuk menghambat reaksi oksidasi dan tidak dapat menghentikan sama sekali proses autooksidasi pada lemak. Kerja antioksidan dalam menghambat kerusakan lemak yaitu dengan menghambat pembentukan radikal bebas pada tahap inisiasi atau menghambat reaksi berantai pada tahap propagasi pada reaksi autooksidasi. Peningkatan angka peroksida terjadi pada semua perlakuan pendahuluan. Tetapi perlakuan pendahuluan yang peningkatannya tidak terlalu signifikan adalah pada perlakuan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001%. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan pengukusan menghasilkan kadar air yang sedikit, sedangkan kerusakan lemak memerlukan kadar air yang lebih banyak. Maka dengan kadar air yang sedikit dapat mengakibatkan angka peroksidanya rendah. Apalagi dengan penambahan BHT 0,001%, maka dengan adanya antioksidan BHT akan menghambat kerusakan lemak sehingga peningkatan kadar peroksida masih rendah. Tepung ikan dengan perlakuan pengukusan dan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% menunjukkan angka Dari tabel 4.5 terlihat hasil analisa angka peroksida dari tepung ikan. Tepung ikan dengan perlakuan pengukusan menunjukkan angka peroksida lebih rendah dibandingkan tepung ikan dengan perebusan. Penambahan BHT 0,001% pada tepung ikan saat perebusan maupun pengukusan menunjukkan angka peroksida yang berbeda nyata dibandingkan tepung ikan tanpa penambahan BHT 0,001%. BHT (Butylated hydroxytoluene) adalah antioksidan primer yang sering digunakan dalam bahan makanan (Winarno,1997). Antioksidan hanya berfungsi untuk menghambat reaksi oksidasi dan tidak dapat menghentikan sama sekali proses autooksidasi pada lemak. Kerja antioksidan dalam menghambat kerusakan lemak yaitu dengan menghambat pembentukan radikal bebas pada tahap inisiasi atau menghambat reaksi berantai pada tahap propagasi pada reaksi autooksidasi. Peningkatan angka peroksida terjadi pada semua perlakuan pendahuluan. Tetapi perlakuan pendahuluan yang peningkatannya tidak terlalu signifikan adalah pada perlakuan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001%. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan pengukusan menghasilkan kadar air yang sedikit, sedangkan kerusakan lemak memerlukan kadar air yang lebih banyak. Maka dengan kadar air yang sedikit dapat mengakibatkan angka peroksidanya rendah. Apalagi dengan penambahan BHT 0,001%, maka dengan adanya antioksidan BHT akan menghambat kerusakan lemak sehingga peningkatan kadar peroksida masih rendah. Tepung ikan dengan perlakuan pengukusan dan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% menunjukkan angka

Kerusakan tepung ikan disebabkan oleh keberadaan molekul air yang mengakibatkan terjadinya ketengikan hidrolitik dan juga disebabkan oleh proses oksidasi oksigen dalam udara dengan lemak tepung ikan. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida dimana pada tingkat selanjutnya asam-asam lemak akan terurai disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas (Ketaren, 1986). Senyawa peroksida sebagai hasil oksidasi lemak bukanlah senyawa yang berbau tengik. Apabila jumlah senyawa peroksida dalam minyak makin banyak, maka minyak tersebut akan cepat menjadi tengik.