KAJIAN PERLAKUAN PENDAHULUAN TERHADAP SIFAT KIMIAWI TEPUNG IKAN SELAMA PENYIMPANAN JurusanProgram Studi Teknologi Hasil Pertanian

IKAN SELAMA PENYIMPANAN

Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian

Oleh Denny Purnanila H0604010 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Potensi sumber daya perikanan hasil laut di Indonesia, diperkirakan mencapai sekitar 6,5 juta ton setahun, termasuk di dalamnya potensi perairan teritorial sebesar 4,5 juta ton (Murtidjo, 2001). Produksi perikanan tangkap dari penangkapan ikan dilaut dan di perairan umum pada tahun 2006 masing-masing sekitar 4.468.010 ton dan 301.150 ton (Ditjen Perikanan Tangkap, 2007).

Potensi sumberdaya hasil laut yang dimiliki oleh Indonesia dan produksi yang dihasilkan menunjukkan bahwa perikanan memiliki potensi yang baik untuk berkontribusi di dalam pemenuhan gizi masyarakat, khususnya protein hewani, di samping kontribusinya dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Produksi perikanan hasil tangkapan dari laut yang dicapai baru sekitar 30% dari seluruh potensi yang telah dimanfaatkan bagi keperluan konsumsi dan ekspor. Dari produksi perikanan tersebut, hanya sebagian kecil saja yang telah dimanfaatkan dan yang lainnya dibuang.

Bagian terbesar hasil tangkapan laut yang ada memang sudah dimanfaatkan sebagai makanan manusia. Sementara, bagian lain yang digolongkan sebagai hasil ikutan atau limbah perikanan yang terdiri atas tangkapan hasil sampingan, kelebihan hasil tangkapan pada musim puncak, sampai sekarang belum termanfaatkan secara baik.

Hasil ikan yang tidak terpakai yang mempunyai ukuran kecil jika dibuang percuma, sebenarnya dapat dimanfaatkan menjadi produk yg lebih bermanfaat atau mempunyai nilai tambah sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis. Ikan yg tidak terpakai tadi dapat dimanfaatkan sebagai hasil samping yaitu dibuat menjadi tepung ikan yg dapat digunakan sebagai pakan unggas, campuran biskuit, dan lain-lain.

Tepung ikan merupakan produk antara yang dapat memperpanjang umur konsumsi dengan tujuan untuk meningkatkan nilai ekonomis. Prosedur baku pembuatan tepung ikan tradisional adalah pembersihan ikan rucah, penjemuran setengah kering, penggilingan, penjemuran kering, penepungan. Perajin tepung ikan tradisional mempunyai banyak kelemahan diantaranya adalah kadar lemaknya relatif tinggi, kadar air tinggi, tidak Tepung ikan merupakan produk antara yang dapat memperpanjang umur konsumsi dengan tujuan untuk meningkatkan nilai ekonomis. Prosedur baku pembuatan tepung ikan tradisional adalah pembersihan ikan rucah, penjemuran setengah kering, penggilingan, penjemuran kering, penepungan. Perajin tepung ikan tradisional mempunyai banyak kelemahan diantaranya adalah kadar lemaknya relatif tinggi, kadar air tinggi, tidak

Dalam penelitian ini bertujuan untuk membantu perajin tepung ikan tradisional agar mendapatkan kualitas tepung ikan yang berkualitas sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan memberikan kontribusi informasi standar mutu tepung ikan yang baik. Selain itu juga produsen dapat meningkatkan kepercayaan kepada konsumen rnendapatkan bahan pangan yang berkualitas sesuai persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) dimana diketahui bahwa perajin tepung ikan tradisional mempunyai banyak kelemahan.

B. Perumusan Masalah

Perajin tradisional mempunyai prosedur pembuatan tepung ikan yaitu pembersihan ikan rucah, penjemuran setengah kering, penggilingan, penjemuran kering, penepungan yang kualitas tepung ikannya masih di bawah Standar Nasional Indonesia (SNI).

Prosedur Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk pembuatan tepung ikan tidak dilakukan sepenuhnya oleh perajin tradisional. Karena perajin tepung ikan tradisional membuat tepung ikan tanpa memperhatikan kualitas dari tepung ikan dan higienitas dari tempat maupun alat-alat untuk membuat tepung ikan tersebut. Sehingga para konsumen kurang berminat dengan produk tepung ikan dari perajin tradisional atau bisa dikatakan hanya sesuai pesanan.

Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh adanya antioksidan.

Dengan melakukan perlakuan pendahuluan yang meliputi pengukusan, pengukusan dengan penambahan Butylated hydroxytoluene (BHT) 0,001%, perebusan, perebusan dengan Dengan melakukan perlakuan pendahuluan yang meliputi pengukusan, pengukusan dengan penambahan Butylated hydroxytoluene (BHT) 0,001%, perebusan, perebusan dengan

Namun selama ini belum diketahui pengaruh perlakuan pendahuluan seperti pengukusan, pengukusan dengan penambahan Butylated hydroxytoluene (BHT) 0,001%, perebusan, perebusan dengan penambahan Butylated hydroxytoluene (BHT) 0,001% terhadap sifat kimiawi tepung ikan sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikaji apakah dengan berbagai perlakuan pendahuluan ini dapat memperbaiki kualitas tepung ikan yang dibuat oleh perajin tepung ikan tradisional agar sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui nilai parameter kualitas (sifat kimiawi) dari perlakuan pandahuluan yang dilakukan.

2. Untuk membandingkan nilai parameter kualitas tepung ikan hasil perlakuan pendahuluan terhadap nilai parameter kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk :

1. Untuk memberikan kontribusi kepada perajin tepung ikan tradisional agar dapat memperbaiki kualitas tepung ikan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu dengan memperbaiki aspek teknologi proses produksi.

2. Agar produsen dapat meningkatkan kepercayaan kepada konsumen yaitu rnendapatkan bahan pangan yang berkualitas sesuai persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI).

3. Memanfaatkan hasil samping/limbah/ikan yang terbuang.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Ikan Rucah

Tabel 2.1 Komposisi kimia dari beberapa jenis ikan rucah Jenis Ikan

Komposisi Kimia (%) Nama lokal

Air Blose

Nama latin

Protein Lemak

Abu

79,50 Pafere (pethek)

Saurida sp.

80,00 Tiga waja

Leiognathus sp.

therapen sp.

Kuniran

84,29 Kerisi

Upeneus sp.

Nemipterus sp.

Selar kuning

Caranx leptolepsis 19,02

Tylesorus sp.

76,78 Mata besar

Silago spp.

79,68 Bulu ayam

77,33 Kepala gepeng

77,33 Sumber: Jaringan Informasi Perikanan Indonesia, 1986 dalam Syarief, 1991. Ikan rucah sebagai bahan baku produk tepung ikan, mudah sekali mengalami kerusakan. Sehingga jika sampai membusuk, akan menjadi bahan baku yang tidak baik digunakan dalam pembuatan produk tepung ikan (Syarief, 1991).

Bahan baku tepung ikan sampai saat ini masih menggunakan ikan rucah sebagai bahan utama. Ikan rucah termasuk bahan pangan yang kualitasnya cepat menurun terutama pada iklim tropis termasuk Indonesia. Oleh karena itu, ikan rucah memerlukan penanganan yang memadai agar kualitasnya tetap baik yaitu untuk menghambat penurunan mutu ikan rucah dapat dilakukan dengan penurunan suhu atau pembekuan (Suwirya dkk dalam Litbang, 2002).

Ikan rucah merupakan ikan-ikan kecil dengan ukuran ± 10 cm yang ikut tertangkap oleh nelayan, antara lain ikan pari, cucut, tembang, kuniran, rebon, selar, krisi Ikan rucah merupakan ikan-ikan kecil dengan ukuran ± 10 cm yang ikut tertangkap oleh nelayan, antara lain ikan pari, cucut, tembang, kuniran, rebon, selar, krisi

Untuk menjaga kualitas ikan rucah yang digunakan sebagai pakan dalam budidaya laut maka ikan rucah perlu mendapatkan penanganan yang baik. Ikan rucah yang baru ditangkap secepat mungkin diberi es, dan tidak terlalu lama di dalam kapal. Pemberian es pada ikan rucah tersebut hanyalah memperlambat proses penurunan mutu. Begitu ikan rucah sampai di darat sebaiknya langsung dicuci dan disimpan dalam freezer. Ketersediaan ikan rucah sangat dipengaruhi oleh musim, sehingga perlu tempat penyimpanan

pakan tidak terputus (Suwirya dkk dalam Litbang, 2002).

2. Tepung Ikan

Definisi tepung ikan menurut standar Nasional Indonesia (SNI 01- 2715-1995 tahun 1995) adalah produk yang diolah dari ikan segar yang mengalami perlakuan sebagai berikut : pencucian, pengukusan atau perebusan, kemudian pengepresan, pengeringan, dan penggilingan/ penepungan. Umumnya tepung ikan dimanfaatkan untuk fortifikasi pakan ternak, unggas, ikan serta udang budidaya. Menurut Sahwan (2001) tepung ikan merupakan bahan baku yang paling penting karena paling baik sebagai sumber protein.

Cara pembuatan tepung ikan dapat dilakukan dengan cara basah dan kering. Cara basah dilakukan untuk mengolah ikan-ikan yang berkadar lemak tinggi (lebih dari 5%). Proses pembuatan tepung ikan tersebut yaitu pengukusan dan pengepresan. Hasil pengepresan berupa ikan tanpa lemak kemudian dikeringkan dan digiling sehingga dihasilkan tepung ikan. Air perasannya dipisahkan dari lemaknya, kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan. Bagian lemaknya berupa minyak ikan. Keuntungan cara pengolahan basah yaitu diperoleh hasil tambahan berupa “fish soluble” hasil pemisahan lemak dan minyak ikan yang bermutu tinggi. Sedangkan kerugiannya adalah banyak zat Cara pembuatan tepung ikan dapat dilakukan dengan cara basah dan kering. Cara basah dilakukan untuk mengolah ikan-ikan yang berkadar lemak tinggi (lebih dari 5%). Proses pembuatan tepung ikan tersebut yaitu pengukusan dan pengepresan. Hasil pengepresan berupa ikan tanpa lemak kemudian dikeringkan dan digiling sehingga dihasilkan tepung ikan. Air perasannya dipisahkan dari lemaknya, kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan. Bagian lemaknya berupa minyak ikan. Keuntungan cara pengolahan basah yaitu diperoleh hasil tambahan berupa “fish soluble” hasil pemisahan lemak dan minyak ikan yang bermutu tinggi. Sedangkan kerugiannya adalah banyak zat

Pengolahan tepung ikan dengan cara kering dilakukan untuk ikan yang kandungan lemaknya rendah (kurang dari 5%). Urutan proses pembuatannya yaitu penggilingan kasar, pengeringan, pengepresan, penggilingan halus dan pengeringan lanjutan (Syarief, 1991).

PT. Wiraniaga Kumala Mas merupakan salah satu industri pengolah tepung ikan di jalur pantai Utara Jawa yang telah menggunakan ikan bergaram (ikan asin) sebagai bahan baku utamanya. Tepung ikan yang dihasilkan oleh PT. Wiraniaga Kumala Mas memiliki komposisi sebagai berikut: air 13,7%, abu 28,7%, lemak 7,7%, dan protein 47.5%. Dengan mengacu kepada standar mutu tepung ikan (Dewan Standarisasi Nasional, 1992), maka dapat disimpulkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan oleh indusri kecil tersebut termasuk kategoni mutu III. Konsekuensi dan rendahnya mutu produk adalah harga jual yang rendah. yaitu Rp. 2400/kg. Sedangkan harga jual untuk mutu II adalah Rp. 2850/kg dan Mutu I adalah Rp. 3700/kg (Astawan dkk, 2003). Gambar 2.1 Diagram alir pembuatan tepung ikan yang diterapkembangkan di PT. Wiraniaga Kumala Mas.

Ikan Rucah

Ikan Bahan Baku Limbah Pembuatan Bakso asin ** ****888

Direbus 10 menit

Dikeringkan I*

Limbah

Gambar 2.1 Bagan Alir Proses Pembuatan Tepung Ikan Keterangan : *) Penekanan proses dilakukan pada: perebusan 10 menit, pengepresan dengan alat

pengepres, pengeringan dengan lantai jemur, pengayakan, dan pengemasan. **) merupakan campuran tepung limbah bakso ikan atau tepung ikan asin hasil desalting dengan tepung ikan rucah segar (perbandingan 4 : 1) (Astawan dkk, 2003). Jenis tepung ikan yang dihasilkan oleh PT. Wiraniaga Kumala Mas termasuk peralihan antara mutu III dan mutu II. Komposisi kimia tepung yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Analisis proksimat tepung ikan yang diproduksi oleh PT. Wiraniaga Kuala

Mas dibandingkan standar DSN 1992.

Komposisi

Nilai (%)

Standar Mutu III

Standar Mutu II

Protein (% bk)

Minimal 55% Air

Minimal 45%

Maksimal 12% Abu

Maksimal 12%

Maksimal 25% Lemak

Maksimal 30%

Maksimal 10% Serat kasar

Maksimal 12%

Maksimal 2,5% Garam (NaCl)

Maksimal 3%

Maksimal 3% Sumber: Astawan dkk, 2003 Adapun untuk dapat menghasilkan tepung ikan berkualitas baik, sebaiknya digunakan bahan baku yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Maksimal 4%

a. Bahan baku berupa ikan rucah yang memiliki ukuran kecil dengan kandungan lemak yang relatif rendah.

b. Kesegaran bahan baku ikan rucah yang digunakan harus baik.

c. Proses pengolahan harus dilakukan dengan cepat dan bersih.

d. Pengemasan dan penyimpanan produk tepung ikan harus baik. (Murtidjo, 2001). Tepung ikan sebagai bahan baku pakan ternak merupakan salah satu hasil pengolahan produk perikanan dalam bentuk kering. Walaupun kadar air tepung ikan yang dianggap aman dari penyebab kerusakan adalah 5-6%, akan tetapi tingkat kesetimbangannya dengan keadaan lingkungan suhu dan kelembaban relatif (T dan RH) berkisar antara 10-12%. Oleh karena itu standar mutu tepung ikan di Indonesia menentukan kadar air maksimal tepung ikan adalah 10-12% (Syarief, 1991).

Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989) menunjukkan pertumbuhan ikan lebih cepat jika pada pakannya ditambahkan tepung ikan 10-40% dan pada ternak mampu memperbaiki pertumbuhan dan produktivitasnya (Brody, 1965). Menurut Stanby dan Dassow (1963), tepung ikan memiliki kandungan konsentrat yang tinggi, bergizi karena mengandung protein, vitamin B kompleks, mineral dan juga mengandung zat-zat tertentu yang mengarah ke pertumbuhan hewan dimana zat-zat tersebut dikenal sebagai unknown growth factors. Brody (1965) dan Rasyaf (1989), menambahkan bahwa protein dalam tepung ikan kaya akan asam amino esensial yaitu lisin dan metionin dimana tepung dari biji-bijian defisiensi akan dua asam amino tersebut. Selain itu kandungan mineral tepung akan cukup tinggi antara 12-13%, pembuatannya relatif mudah, dan biayanya tidak mahal. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasyaf (1989), tepung ikan merupakan sumber kalsium dan fospor yang baik dalam pembuatan ransum pakan unggas. Standar mutu tepung ikan yang dikeluarkan DSN dalam SNI 01-2715-1995 tahun 1995 seperti dalam tabel 2.3. Tabel 2.3. Standar mutu tepung ikan

Karakteristik Persyaratan Mutu Mutu I

Mutu II

a. Organoleptik * Nilai minimum

b. Mikrobiologi * Staphylococcus aureus

5 x 103

5 x 103

* Echericia coli, MPN/gr maks

3 Negatif * Salmonella

Negatif

Negatif

c. Kimia * Air, % bobot/bobot, maks

10 12 * Abu tak larut dalam asam,% b/b maks

2 4 * Protein, % bobot/bobot, maks

60 45 * Lemak, % bobot/bobot, maks

10 15 Sumber : SNI, 1995

Persyaratan dan standar tepung ikan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penilaian secara fisik Penilaian secara fisik meliputi parameter-parameter sebagai berikut:

a. Warna : Kuning kecoklatan atau sedikit kemerahan, tergantung jenis ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung ikan.

b. Bau : Produk disertai sedikit bau minyak.

c. Bentuk : Hasil penggilingan tepung ikan 100% harus dapat lolos saringan nomor

9 dan 98% dapat lolos saringan nomor 10.

d. Sifat : Produk tepung ikan bebas dari ketengikan serta tidak hangus, warna dan tingkat kehalusannya homogen.

2. Komposisi Kimiawi Komposisi kimiawi meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. Kadar air rerata 6,5%, dengan spesifikasi maksimal 10,0%.

b. Kadar protein kasar rerata 60,5%, dengan spesifikasi minimal 60,0%

c. Kadar lemak rerata 6,0%, dengan spesifikasi maksimal 10,0% atau minimal 5,0%.

d. Kadar serat kasar rerata 1,0%, dengan spesifikasi maksimal 1,0%.

e. Kadar abu rerata 21,0%, dengan spesifikasi maksimal 20%.

f. Kadar kalsium rerata 6,0%.

g. Kadar phospor rerata 3,0%.

h. Tulang dengan spesifikasi maksimal 15%

i. Protein tercerna dengan spesifikasi maksimal 90%.

3. Pertimbangan kualitas lainnya Adapun beberapa hal lain yang digunakan untuk mempertimbangkan kualitas 3. Pertimbangan kualitas lainnya Adapun beberapa hal lain yang digunakan untuk mempertimbangkan kualitas

b. Produk tepung ikan diawetkan dengan antioksidan, sehingga tidak mudah menjadi tengik.

c. Produk tepung ikan memiliki kandungan tulang dan sisik maksimal 15,0%.

d. Produk tepung ikan tidak dipalsu dengan bahan baku lain.

e. Produk tepung ikan mengandung pasir maksimal 1,0%.

f. Produk tepung ikan mengandung bahan NPN (Non Protein Nitrogen) maksimal 0,32%.

g. Produk tepung ikan mengandung abu yang tidak larut pada asam maksimal 2,5% (Murtidjo, 2001). Tepung ikan mutu pangan dapat ditambahkan pada produk ekstrusi, roti, biskuit

dan kue kering. Pada pembuatan produk ekstrusi tepung ikan dicampur dengan jagung, beras dan kacang hijau (Fawzya et al., 1997; Murdinah et al., 1998). Tepung ikan, tepung kerang dan tepung udang dapat ditambahkan pada pembuatan permen jeli sebanyak 7,6% (Irianto et al., 2003).

Tepung ikan hendaknya mempunyai ukuran partikel yang seragam bebas dari serpihan tulang, mata ikan dan partikel-partikel kasar lainnya yang tertahan oleh saringan

80 mesh. Fraksi lolos 50 mesh masih dianggap terlalu besar untuk tepung ikan yang bermutu baik. Metode pengolahan melalui tahap pengepresan akan menghasilkan warna tepung ikan yang lebih baik dan kadar lemak yang lebih rendah, sehingga mempunyai daya awet yang lebih panjang dibandingkan tanpa pengepresan (Shaleh, 1990). Ilza dkk (2000) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pengolahan tepung ikan dengan cara pengukusan terbukti menghasilkan kualitas tepung ikan yang lebih baik dibandingkan dengan cara perebusan ditinjau dari kadar protein dan organoleptik hingga penyimpanan

60 hari. Proses pembuatan dan peralatan yang digunakan akan menentukan mutu tepung yang dihasilkan, demikian pula jenis atau spesies ikan yang digunakan untuk tepung. Menurut Sofyan Ilyas dkk (1985) dalam Syarief, 1991, berdasarkan sumbernya, ikan yang diolah menjadi tepung ikan dapat dibedakan atas 3 macam, yaitu ikan yang memang 60 hari. Proses pembuatan dan peralatan yang digunakan akan menentukan mutu tepung yang dihasilkan, demikian pula jenis atau spesies ikan yang digunakan untuk tepung. Menurut Sofyan Ilyas dkk (1985) dalam Syarief, 1991, berdasarkan sumbernya, ikan yang diolah menjadi tepung ikan dapat dibedakan atas 3 macam, yaitu ikan yang memang

Kondisi ikan bukan merupakan faktor penentu nilai nutrisi tepung ikan melainkan hanya berpengaruh pada yieldnya (Brody, 1965). Hal ini telah dibuktikan Shaleh (1990) dalam penelitiannya, bahwa tepung ikan yang diolah dari ikan lemuru segar mempunyai kandungan asam amino threonin, glisin, asam glutamat, valin, metionin, lisin dan arginin yang lebih tinggi daripada yang diolah dari ikan yang kurang segar, sedangkan kandungan asam-asam amino lainnya relatif sama.

Pemanfaatan tepung ikan untuk fortifikasi dalam produk pangan manusia tentu akan meningkatkan nilai gizi dari produk tersebut. Purnomosari (2001) dalam penelitiannya melakukan fortifikasi tepung mujair pada pembuatan kerupuk. Fortifikasi tepung mujair ini mampu meningkatkan kadar protein kerupuk dimana semakin banyak tepung ikan yang ditambahkan, semakin tinggi kandungan proteinnya. Namun fortifikasi ini mengakibatkan penurunan presentasi pengembangan volumetrik kerupuk sehingga tingkat kesukaan konsumen semakin menurun dengan semakin banyaknya tepung mujair yang ditambahkan. Tingkat penambahan tepung mujair sebesar 5% menghasilkan kerupuk yang paling disukai dibandingkan penambahan tepung mujair sebesar 10%, 15%, dan 20%.

3. Minyak

Lemak dan minyak atau secara kimiawi adalah trigliserida merupakan bagian terbesar dari kelompok lipida. Secara umum, lemak diartikan sebagai trigliserida yang dalam kondisi suhu ruang berada dalam keadaan padat. Sedangkan minyak adalah trigliserida yang dalam suhu ruang berbentuk cair. Dalam bidang gizi, lemak dan minyak merupakan sumber biokalori yang cukup tinggi nilai kilokalorinya yaitu sekitar 9 kilokalori setiap gramnya. Juga merupakan sumber asam-asam lemak tak jenuh yang esensial yaitu linoleat dan linolenat. Disamping itu lemak dan minyak juga merupakan sumber alamiah vitamin-vitamin yang terlarut dalam minyak yaitu vitamin A, D, E, dan K. Dalam teknologi makanan lemak dan minyak memegang peran yang penting. Karena

minyak dan lemak memiliki titik didih yang tinggi (sekitar 200 o

C) maka biasa dipergunakan untuk menggoreng makanan sehingga bahan yang digoreng akan C) maka biasa dipergunakan untuk menggoreng makanan sehingga bahan yang digoreng akan

Kerusakan lemak minyak pada umumnya disebabkan oleh :

a. absorpsi bau oleh minyak

b. aksi oleh enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak.

c. oksidasi oleh oksigen atau kombinasi dari dua atau lebih penyebab kerusakan diatas.

Umumnya kerusakan lemak dan minyak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Proses ketengikan sangat dipengaruhi oleh adanya prooksidan dan antioksidan, prooksidan akan menghambatnya. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak dan minyak. Salah satu cara yang digunakan untuk mencegah kerusakan diatas adalah dengan penambahan antioksidan. Antioksidan adalah suatu senyawa kimia yang dalam kadar tertentu mampu menghambat atau memperlambat kerusakan lemak dan minyak akibat proses oksidasi. Berdasarkan fungsinya antioksidan dapat digolongkan menjadi antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah senyawa yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Zat- zat yang termasuk golongan ini dapat berasal dari alam dan dapat pula buatan (sintetis). Antioksidan alam antara lain : tokoferol, lesitin, sesamol, fosfasida, dan asam askrobat, Antioksidan buatan adalah senyawa-senyawa fenol, misalnya : butylated hidroxytoluene (BHT). Antioksidan sekunder adalah suatu senyawa yang dapat mencegah kerja prooksidan yaitu faktor-faktor yang mempercepat terjadinya reaksi oksidasi terutama

logam-logam seperti: Fe, Cu, Pb, Mn (Anonim a , 2006). Kerusakan lemak/minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi dan

hidrolitik, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Kerusakan minyak yang mungkin terjadi ternyata kerusakan karena autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil yang diakibatkan oksidasi lemak antara lain peroksida, asam lemak, aldehid dan keton. Bau tengik atau ransid terutama disebabkan oleh aldehid dan keton. Untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak dapat dinyatakan sebagai angka peroksida atau angka asam thiobarbiturat (TBA). Faktor penentu minyak atau lemak antara lain adalah angka asam, angka asam lemak bebas, angka peroksida, dan angka TBA. Angka hidrolitik, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Kerusakan minyak yang mungkin terjadi ternyata kerusakan karena autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil yang diakibatkan oksidasi lemak antara lain peroksida, asam lemak, aldehid dan keton. Bau tengik atau ransid terutama disebabkan oleh aldehid dan keton. Untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak dapat dinyatakan sebagai angka peroksida atau angka asam thiobarbiturat (TBA). Faktor penentu minyak atau lemak antara lain adalah angka asam, angka asam lemak bebas, angka peroksida, dan angka TBA. Angka

Angka asam merupakan asam lemak bebas yang berasal dari hidrolisa minyak ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik. Makin tinggi angka asam maka

makin rendah kualitasnya ( Anonim b , 2007). Angka asam lemak bebas pada minyak atau lemak hasil ekstraksi dapat

ditentukan dengan cara titrasi. Angka asam lemak bebas dinyatakan dalam % asam lemak yang dianggap dominan pada sampel produk yang dianalisis. Adanya asam lemak bebas cenderung menunjukkan terjadinya ketengikan hidrolitik, namun masih dimungkinkan oksidasi lemak menghasilkan asam-asam organik lainnya (Rahardjo, 2004).

Metode angka peroksida mengukur kadar peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak. Pengukuran dilakukan dengan titrasi menggunakan larutan iod dan dinyatakan sebagai miliequivalen (meq) peroksida per kg minyak. Pada angka peroksida tinggi jelas mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain. Oleh karena itu pengukuran angka peroksida harus dilakukan beberapa kali dalam interval waktu tertentu (Gray and Monahan dalam Rahardjo, 1992).

Angka TBA menunjukkan oksidasi lemak pada fase lanjut (terminasi) menghasilkan senyawa-senyawa aldehid seperti 2-enal dan 2-dienal. Senyawa aldehid ini bisa bereaksi dengan asam 2-thiobarbiturat (TBA) sehingga bisa dilakukan pengukuran. Hasil reaksinya akan membentuk warna merah yang bisa diukur menggunakan spektrofotometer. Meskipun semula metode ini dimaksudkan untuk mengukur kadar malonaldehid, namun uji TBA ini juga bisa bereaksi dengan aldehid lain termasuk bereaksi dengan senyawa fenol pada produk yang diasapi. Penerjemahan nilai TBA mirip seperti angka peroksida. Pada nilai TBA yang rendah bukan selalu berarti lemak belum mengalami oksidasi, bisa jadi karena aldehid yang terakumulasi sudah bereaksi dengan senyawa lain atau menguap selama penyimpanan (Gray, 1987 dalam Rahardjo, 1992).

Lemak dan minyak dapat mengalami kerusakan yang dapat menurunkan nilai gizi serta menyebabkan penyimpangan rasa dan bau pada lemak yang bersangkutan. Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno, 2000).

Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida. Menurut teori yang sampai kini masih dianut orang, sebuah atom hidrogen yang terikat pada suatu atom karbon yang letaknya di sebelah atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi sehingga membentuk radikal bebas (Winarno, 2000).

Kemudian radikal ini dengan oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa-senyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehida-aldehida, dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak. (Winarno, 2000).

Kemungkinan kerusakan lemak dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu : (1) absorbsi bau oleh lemak, (2) aksi oleh enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak, (3) aksi mikrobia dan oksidasi oleh oksigen udara atau (4) kombinasi dari dua atau lebih penyebab kerusakan tersebut. Bentuk kerusakan, terutama ketengikan yang paling penting disebabkan oleh aksi oksigen udara terhadap lemak. Dekomposisi lemak oleh mikroba hanya dapat terjadi jika terdapat air, senyawa nitrogen dan garam mineral,

sedangkan oksida oleh O 2 udara terjadi secara spontan jika bahan yang mengandung lemak dibiarkan kontak dengan udara, sedangkan kecepatan proses oksidasinya tergantung dari tipe lemak dan kondisi penyimpanan. Dalam bahan pangan, konstituen sedangkan oksida oleh O 2 udara terjadi secara spontan jika bahan yang mengandung lemak dibiarkan kontak dengan udara, sedangkan kecepatan proses oksidasinya tergantung dari tipe lemak dan kondisi penyimpanan. Dalam bahan pangan, konstituen

Ada dua tipe kerusakan lemak dan minyak yang utama, yaitu :

a. Ketengikan Ketengikan terjadi bila komponen cita-rasa dan bau yang mudah menguap terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak yang tak jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita rasa yang tak diinginkan dalam lemak dan minyak dan produk-produk yang mengandung lemak dan minyak itu.

b. Hidrolisis Hidrolisis minyak dan lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang dapat mempengaruhi cita-rasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa dapat disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau minyak karena kegiatan enzim (Buckle, 1985).

Menurut Ketaren (1986) proses oksidasi tidak ditentukan oleh besar kecilnya jumlah lemak dalam bahan sehingga bahan yang mengandung lemak dalam jumlah kecil pun mudah mengalami proses oksidasi. Fosfolipid dalam jumlah kecil pun dapat teroksidasi, sebagai contoh ialah kadar fosfolipid dalam susu sekitar 0,03% dapat mempercepat kerusakan susu, daging dan ikan karena proses oksidasi. Pengaruh oksidasi terhadap lemak dapat dilihat pada gambar 2.2

Lemak tak jenuh + O 2

Lipo peroksida, aldehida, asam keton hidroksi, epoksi, polimer Oksidasi berantai

menyebabkan

menyebabkan

Off odour, destruksi asam lemak Destruksi konstituen aroma, esensial, browning dengan protein, flavor dan vitamin kemungkinan menimbulkan keracunan

Gambar 2.2. Pengaruh proses oksidasi terhadap komponen dalam lemak

Proses pemanasan dapat menurunkan kadar lemak bahan pangan. Demikian juga dengan asam lemaknya, baik esensial maupun non esensial. Kandungan lemak daging sapi yang tidak dipanaskan (dimasak) rata-rata 17,2%, sedang jika dimasak dengan suhu

60 0 C, kadar lemaknya akan turun menjadi 11,2 - 13,2% (Muchtadi dkk, 1992).

4. Antioksidan

Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang mempunyai satu elektron/lebih yang tidak berpasangan biasanya pada rumus bangunnya ditulis dengan

titik tebal dibelakang atom atau molekul ( R • ). Radikal bebas di dalam tubuh sangat berbahaya sebab untuk memperoleh pasangan elektron, ia amat reaktif dan merusak

jaringan (Afriansyah, 1996). Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul atau sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti asap rokok, hasil penyinaran ultraviolet, zat kimiawi dalam makanan dan polutan lain. Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat kronis, yaitu dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut menjadi nyata. Contoh penyakit yang sering dihubungkan dengan radikal bebas adalah serangan jantung dan kanker (Wikipedia, 2008).

Berbagai definisi telah diberikan untuk menggambarkan “antioksidan”. Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochhar dan Rossell, 1990 cit Ardiansyah, 2007).

Menurut Cuppert (1997) Disitir Widjaya (2003) antioksidan dinyatakan sebagai senyawa secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dapat dioksidasi.

Antioksidan adalah senyawa yang melindungi senyawa atau jaringan dari efek destruktif jaringan oksigen (Swarth, 2004). Sedangkan menurut Kumalaningsih (2006) antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas.

Antioksidan sebenarnya didefinisikan sebagai inhibitor yang bekerja menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil. Akan tetapi jika dikaitkan dengan radikal bebas yang dapat menyebabkan penyakit, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas oksigen reaktif (Sofia, 2008). Oksidasi adalah suatu proses normal di dalam tubuh sehingga panas dan energi bebas dilepaskan untuk mempertahankan temperatur tubuh, membentuk dan memperbaiki sel-sel jaringan, menguraikan dan mengeluarkan zat-zat yang tidak diperlukan, serta untuk proses metabolisme yang lain. Akan tetapi, pada kondisi tertentu yang tidak normal misalnya infeksi, inflamasi, paparan biota asing yang berlebihan (xenobiotics), pemutusan ikatan oleh cahaya dapat menyebabkan oksidasi yang bersifat destruktif. Oksidasi yang bersifat destruktif dapat menyebabkan kerusakan sel-sel dan jaringan. Bahkan, melalui proses oksidasi yang normal pun kerusakan sel-sel juga dapat terjadi (Silalahi, 2006).

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat oksidasi didalam bahan. Antioksidan terutama penting dalam melindungi lemak, bahan pangan yang dapat dibuat dengan lemak sabun, produk karet, produk petroleum, pelumas, plastik, kosmetika, dan beberapa obat-obatan. Meskipun kerusakan mikrobiologis merupakan faktor utama yang perlu diperhatikan dalam pengawetan bagian karbohidrat dan protein suatu produk pangan, namun oksidasi adalah faktor utama yang mempengaruhi kualitas lemak, minyak, dan bagian lemak dari pangan. Lemak dan minyak mudah mengalami oksidasi yang mengakibatkan kerusakan karena timbulnya bau dan cita rasa menyimpang. Antioksidan efektif dalam mengurangi ketengikan oksidatif dan polimerisasi tetapi tidak mempengaruhi hidrolisis atau reverse. Penggunaan antioksidan disini tergantung pada macam lemak yang distabilkan. Sebagai contoh beberapa tipe kacang seperti kacang kenari, kacang tanah, dan lain-lainnya perlu distabilkan dahulu sebelum ditambahkan pada permen. Mentega yang digunakan dalam permen biasanya distabilkan dengan kombinasi Butylated Hydroxyanisole (BHA) dan Butylated Hydroxytoluene (BHT) (Cahyadi, 2006).

Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan, Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan,

Sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan (Pratt, 1992 ; Ardiansyah, 2007). Berbagai sumber nutrisi yang mengandung antioksidan diantaranya adalah semua biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan, sayuran, hati, tiram, unggas, kerang, ikan, susu, dan daging (Destiutami, 2007).

Dewasa ini telah dikenal kurang lebih sebanyak 500 macam persenyawaan kimia yang mempunyai aktivitas anti-oksidan, yaitu dapat menghambat atau mencegah kerusakan lemak atau bahan pangan berlemak akibat proses oksidasi. Pada umumnya antioksidan mengandung struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzene tidak jenuh disertai gugusan hidroksil atau gugusan amino. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi dapat disebabkan oleh 4 macam mekanisme reaksi, yaitu: 1) pelepasan hidrogen dari antioksidan, 2) pelepasan elektron dari anti-oksidan, 3) adisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan dan 4) pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan. Antioksidan dapat menghambat setiap tahap proses oksidasi. Dalam industri pangan, oksidasi lemak biasanya disertai dengan off flavor yang disebabkan oleh persenyawaan aldehid dan keton. Persenyawaan aldehid dan keton ini merupakan hasil pemecahan dari rantai asam lemak tidak jenuh (Ketaren, 1986).

Secara umum, menurut Coppen (1983), antioksidan diharapkan memiliki ciri-ciri sebagai berikut (a) aman dalam penggunaan, (b) tidak memberi flavor, odor, warna pada produk, (c) efektif pada konsentrasi rendah, (d) tahan terhadap proses pengolahan produk (berkemampuan antioksidan yang baik), (e) tersedia dengan harga yang murah. Ciri keempat merupakan hal yang sangat penting karena sebagian proses pengolahan menggunakan suhu tinggi. Suhu tinggi akan merusak lipida dan stabilitas antioksidan Secara umum, menurut Coppen (1983), antioksidan diharapkan memiliki ciri-ciri sebagai berikut (a) aman dalam penggunaan, (b) tidak memberi flavor, odor, warna pada produk, (c) efektif pada konsentrasi rendah, (d) tahan terhadap proses pengolahan produk (berkemampuan antioksidan yang baik), (e) tersedia dengan harga yang murah. Ciri keempat merupakan hal yang sangat penting karena sebagian proses pengolahan menggunakan suhu tinggi. Suhu tinggi akan merusak lipida dan stabilitas antioksidan

Suatu senyawa untuk dapat digunakan sebagai antioksidan harus mempunyai sifat-sifat tidak toksik, efektif pada konsentrasi yang rendah (0,01–0,02%), dan dapat terkonsentrasi pada permukaan/lapisan lemak (bersifat lipofilik). Selain itu, antioksidan harus dapat tahan pada kondisi pengolahan pangan pada umumnya. Antioksidan yang sering ditambahkan ke dalam makanan dapat bersifat alami, seperti tokoferol dan beta- karoten atau merupakan antioksidan sintetis seperti butylated hydorxyanisole (BHA), butylated hydroytoluene (BHT), PG (propil galat), dan TBHQ (di-t-butyl hydroquinone (Siagian, 2002).

Pada umumnya antioksidan alami yang banyak dalam lemak dan minyak nabati tidak cukup untuk menghambat proses ketengikan atau kerusakan pada lemak dan minyak. Untuk menghambat kerusakan pada lemak dan minyak perlu ditambahkan antioksidan sintetis untuk bahan pangan lain dengan mengacu peraturan pangan.

Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan antioksidan sintetis pada bahan pangan adalah :

a. Efektif pada konsentrasi rendah (0,001-0,01%).

b. Tidak memberikan efek yang tidak diinginkan terhadap bau, warna, rasa, dan karakteristik lain pada makanan.

c. Mempunyai kesesuaian dengan makanan dan mudah untuk digunakan.

d. Mempunyai kestabilan pada pengelolaan lebih lanjut dan pada penyimpangan makanan (Sebayang, 2008).

Minyak hidrokarbon seperti parafin dan minyak mineral juga mempunyai ikatan tak jenuh sehingga mudah mengalami oksidasi. Untuk bahan ini, BHT merupakan antioksidan yang paling efektif dan biasanya digunakan konsentrasi 0,0025%. Antioksidan dalam bentuk padat biasanya mudah larut dalam paraffin panas atau minyak mineral panas (Tranggono dkk, 1990).

Sebagaimana suatu zat pada umumnya, antioksidan juga memiliki keterbatasan- keterbatasan. Keterbatasan tersebut meliputi (a) antioksidan tidak dapat memperbaiki flavor lipida yang berkualitas rendah, (b) antioksidan tidak dapat memperbaiki lipida Sebagaimana suatu zat pada umumnya, antioksidan juga memiliki keterbatasan- keterbatasan. Keterbatasan tersebut meliputi (a) antioksidan tidak dapat memperbaiki flavor lipida yang berkualitas rendah, (b) antioksidan tidak dapat memperbaiki lipida

5. Butylated Hydroxytoluene ne (BHT)

Butylated Hidroxytolu toluene (BHT) telah dipatenkan pada tahun 1947 47 dan mendapat ijin untuk digunakan sebaga gai bahan tambahan makanan dan bahan pengaw awet oleh Badan Administrasi Makanan dan n Obat United State pada tahun 1954 (Departm rtment of Health and Human Services, 2005). 5).

Gambar 2.3 Kristal pu putih Butylated Hydroxytoluene (BHT). Sumber: Jack Reed, Departm rtment of Entomology, Mississippi State Universit rsity.

Gambar 2.4 2.4. Struktur Kimia Butylated Hydroxytoluene (B BHT).

(statcounter.com).

Butylated Hydroxyto ytoluene (BHT) banyak digunakan sebagai ai industri yang diformulasikan secara khus usus digunakan dalam plastik, elastomers, p produk minyak tanah, makanan, dan pakan. n.

BHT terdiri dari 3 macam :

1. Kristal BHT : terdiri dari kristal bentuk acak

2. Bedak BHT

: khusus dirancang dalam bentuk serbuk

3. Cairan BHT : cairan volume besar yang dapat mencair karena suhu dengan suhu

100 o C.

Kelebihan BHT diantaranya :

a. Mengawetkan bahan organik dengan mengurangi efek dari waktu, panas, cahaya.

b. Mencegah pembentukan minyak menjadi tengik. (Manura, 1995). Tabel 2.4 Komposisi Butylated Hydroxytoluene (BHT).

Kimia

Nama Kimia 2,6Di-tert-butyl-para cresol (2,6 DBPC) BHT Sinonim

2,6-diterbutyl-3-metyl phenol

CAS No.

128-37-0

Kemurnian WT %

99,0 menit

Warna yang mencair

50,0 APHA maks

Campuran abu % WT

0,01 maks

Kelembaban % WT

0,1 maks

Residu pada pengapian

Kristal putih solid

Formula WT

Berat jenis

20/4C:1,01

Titik beku o 69 C

Titik didih o 265 C (760 mm)

o 190 C (100 mm)

Titik tercepat o 245 C dari ASTM D93-73 Gelas tertutup o 118,3 C

Index Refractive

(Manura, 1995). Menurut Sherwin (1990), antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, akan memberi efek sinergis bila dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk kristal padat (Manura, 1995). Menurut Sherwin (1990), antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, akan memberi efek sinergis bila dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk kristal padat

C, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga kemampuan antioksidannya rendah. Selain itu, propil galat memiliki sifat berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck, 1991).

6. Pengeringan

Pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air secara simultan, yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan, yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas. Tujuan

adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti. Dengan demikian bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lebih lama (Nani, 2007).

pengeringan

Dasar pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Dalam hal ini, kandungan uap air udara lebih sedikit atau udara mempunyai kelembaban nisbi yang rendah sehingga terjadi penguapan (Adawyah, 2007).

Kemampuan udara membawa uap air bertambah besar jika perbedaan antara kelembaban nisbi udara pengering dengan udara sekitar bahan semakin besar. Salah satu faktor yang memepercepat proses pengeringan adalah kecepatan angin atau udara yang mengalir. Udara yang tidak mengalir menyebabkan kandungan uap air di sekitar bahan yang dikeringkan semakin jenuh sehingga pengeringan semakin lambat (Adawyah, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada 2 golongan, yaitu: faktor yang berhubungan dengan udara pengering. Yang termasuk dalam golongan ini adalah suhu, kecepatan volumetrik, aliran udara pengering, dan kelembaban udara. Faktor yang berhubungan dengan sifat bahan. Yang temasuk dalam golongan ini adalah ukuran bahan, kadar air awal, dan tekanan parsial dalam bahan (Nani, 2007).

Pengering ini mirip lemari yang merupakan sebuah ruangan yang dibatasi oleh sekat-sekat dimana bahan yang dikeringkan diletakkan dalam nampan/ baki. Udara dari sumber panas dibantu dengan kipas angin yang diletakkan dalam lori yang dihembuskan pada bahan yang dikeringkan. Biasanya digunakan di laboratorium untuk mengeringkan sayuran, buah-buahan, dan bahan makanan yang lain (Kusmawati dkk, 2000).

Cabinet dryer ini dindingnya tebal sehingga panas yang ada dalam ruangan tidak keluar melainkan lewat cerobong sehingga hemat pemanasan dan bahan cepat kering. Digunakan untuk berbagai pengeringan bahan seperti tepung-tepungan, daun-daunan, empon-empon,ubi dll (Arifin, 2007).

Cabinet dryer ini mempunyai banyak keuntungan yaitu dapat dilakukan secara terus menerus, pemakaian tidak tergantung dengan cuaca, bebas sama sekali dari lalat, waktu pengeringan relatif pendek, kapasitas alat pengering besar, mutu ikan asin yang dihasilkan lebih baik (Adawyah, 2007).

7. Penyimpanan

Penyimpanan tepung ikan dalam karung plastik atau kemasan yang dilapisi polietilen kedap uap air telah banyak dilakukan. Masalah yang timbul umumnya berupa penggumpalan bagian-bagian tertentu akibat peningkatan kadar air. Penyimpanan tepung ikan pada kadar air di atas 12% dapat menimbulkan serangan jasad renik. Kadar lemak tepung ikan berkisar 10-12%. Kadar lemak yang terlalu tinggi akan menyebabkan ketengikan (Syarief, 1991).

Umur simpan adalah periode waktu dimana wadah serta bahan makanan yang berada di dalamnya dalam kondisi dapat diterima konsumen atau layak dijual di bawah kondisi penyimpanan tertentu. Produk hasil pertanian baik berbentuk segar atau olahan sangat mudah mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan bahan organik yang terkandung didalamnya yang terus mengalami perubahan selama penyimpanan. Untuk menjaga kondisi ini, perlu upaya pengawetan dan pengemasan untuk memperpanjang umur simpan. Bahan pengemas yang dipilih tergantung proteksi yang diinginkan bagi produk. Bahan yang sering digunakan adalah plastik film. Untuk produk kering segi proteksi yang diharapkan terutama adalah sifat penetrasi kemasan terhadap uap air. Sifat permeabilitas Umur simpan adalah periode waktu dimana wadah serta bahan makanan yang berada di dalamnya dalam kondisi dapat diterima konsumen atau layak dijual di bawah kondisi penyimpanan tertentu. Produk hasil pertanian baik berbentuk segar atau olahan sangat mudah mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan bahan organik yang terkandung didalamnya yang terus mengalami perubahan selama penyimpanan. Untuk menjaga kondisi ini, perlu upaya pengawetan dan pengemasan untuk memperpanjang umur simpan. Bahan pengemas yang dipilih tergantung proteksi yang diinginkan bagi produk. Bahan yang sering digunakan adalah plastik film. Untuk produk kering segi proteksi yang diharapkan terutama adalah sifat penetrasi kemasan terhadap uap air. Sifat permeabilitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan

1. Jenis & karakteristik produk pangan

a. Produk yang mengalami pengolahan akan lebih tahan lama dibanding produk segar.

b. Produk yang mengandung lemak berpotensi mengalami rancidity, sedang produk yang mengandung protein & gula berpotensi mengalami reaksi maillard (warna coklat).

2. Jenis & karakteristik bahan kemasan Permeabilitas bahan kemas terhadap kondisi lingkungan (uap air, cahaya, aroma, oksigen).

3. Kondisi lingkungan

a. Intensitas sinar (UV) menyebabkan terjadinya ketengikan dan degradasi warna.

b. Oksigen menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi. (Labuza dan Schmild, 1984). Selama penyimpanan dapat terjadi penyimpangan warna, yaitu tepung ikan yang semula putih kekuningan (dari ikan rucah) atau abu-abu dari limbah pengolahan ikan berubah menjadi coklat yang disertai bau tengik (Syarief, 1991).

Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kemunduran mutu. Suhu rendah mampu untuk menghambat reaksi kimia, reaksi enzimatis, atau pertumbuhan mikroba (Winarno, 1973) sehingga masa simpan dapat diperpanjang dengan kualitas yang relatif baik. Dalam Djundjung (1988), bahwa kemampuan memperpanjang umur simpan dalam suhu dingin sangat tergantung pada jenis produk atau bahan pangan.