Tinjauan tentang Folklor (Folklore)

8. Tinjauan tentang Folklor (Folklore)

a. Perlindungan Folklor secara Internasional Salah satu usaha pertama masyarakat internasional adalah Konferensi Diplomatik Stockholm 1967, yang dalam salah satu rekomendasinya menetapkan perlu diberikannya perlindungan terhadap perwujudan suatu Folklore melalui Hukum Hak Cipta. Usaha ini, menghasilkan pengaturan tentang Folklore dalam Revisi Konvensi Berne 1971, Pasal 15 (4). Pasal ini mengatur perlindungan atas ciptaan-ciptaan yang tidak diterbitkan oleh Pencipta yang tidak diketahui, yang dianggap sebagai warga negara dari negara peserta Konvensi Berne. Selain melalui Konvensi Berne, UNESCO dan WIPO telah melaksanakan berbagai usaha untuk pengaturannya. Atas prakarsa kedua organisasi internasional ini, pada tahun 1976 pengaturan Folklore telah dimuat dalam Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries . WIPO pada tahun 1982 telah juga mengaturnya dalam model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore against Illicit Exploitation and Other Prejudical Actions . Selain dengan diterbitkannya model a. Perlindungan Folklor secara Internasional Salah satu usaha pertama masyarakat internasional adalah Konferensi Diplomatik Stockholm 1967, yang dalam salah satu rekomendasinya menetapkan perlu diberikannya perlindungan terhadap perwujudan suatu Folklore melalui Hukum Hak Cipta. Usaha ini, menghasilkan pengaturan tentang Folklore dalam Revisi Konvensi Berne 1971, Pasal 15 (4). Pasal ini mengatur perlindungan atas ciptaan-ciptaan yang tidak diterbitkan oleh Pencipta yang tidak diketahui, yang dianggap sebagai warga negara dari negara peserta Konvensi Berne. Selain melalui Konvensi Berne, UNESCO dan WIPO telah melaksanakan berbagai usaha untuk pengaturannya. Atas prakarsa kedua organisasi internasional ini, pada tahun 1976 pengaturan Folklore telah dimuat dalam Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries . WIPO pada tahun 1982 telah juga mengaturnya dalam model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore against Illicit Exploitation and Other Prejudical Actions . Selain dengan diterbitkannya model

“Work on the international dimension of the protection of traditional cultural expressions has been largely carried out by the World Intellectual Property Organisation (WIPO) and the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO). In 1998 and 1999, WIPO conducted nine fact-finding missions to 28 countries for the purpose of identifying the intellectual property needs and expectations of traditional knowledge holders. Following that, WIPO published a report of its findings (WIPO, 2001). In September 2000, the Member States of WIPO established an Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC) to discuss intellectual property issues that arose in the context, inter alia, of expressions of folklore. The IGC had reviewed legal and policy options for the protection of traditional cultural expressions (WIPO, 2004a) as well as analysed existing national and regional legal mechanisms and forms of protection available under the intellectual property system and other laws (WIPO, 2003) Apart from WIPO, UNESCO has also conducted studies on the possibility of international protection of traditional cultural expressions since the 1970s. Working together with WIPO, UNESCO formulated the Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions, which were adopted by both organisations in 1985. The Model Provisions were intended to encourage legal protection of traditional cultural expressions at national level (Lucas-Schloetter, 2004). More recently, in 2005, the UNESCO General Conference adopted the Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions, which is a binding international legal instrument to protect and promote the diversity of cultural expressions” ( Bekerja dalam dimensi internasional proteksi ekspresi kebudayaan tradisional telah sebagian besar membawa diatur oleh WIPO dan UNESCO. Pada tahun 1998 dan 1999, WIPO menyelenggarakan misi

mengenali kekayaan intelektual dan pemilikan pengetahuan tradisional. WIPO kemudian menerbitkan laporan penemuan (WIPO, 2001). Pada september 2000, negera anggota WIPO mendirikan IGC GRTKF (IGC) untuk mendiskusikan berkenaan dengan HKI dan ekspresi cerita rakyat. IGC telah meninjau kembali hukum dan kebijakan untuk melindungi ekspresi kebudayaan tradisional (WIPO, 2004a) serta menganalisis mekanisme hukum nasional dan regional dan bentuk perlindungan yang tersedia dibawah sistem kekayaan intelektual dan hukum lain (WIPO 2003) selain WIPO, UNESCO telah melakukan sudi tentang kemungkinan perlindungan internasional ekspresi kebudayaan tradisional sejak 1970. bekerja bersama dengan WIPO, UNESCO merumuskan ketentuan model untuk hukum nasional perlindungan ekspresi folklor melawan eksploitasi terlarang dan tindakan merugikan lainnya yang diadobsi oleh kedua organisasi tersebut pada 1985. Ketentuan model ini dimaksudkan mendorong perlindungan hukum terhadap ekspresi kebudayaan tradisional ditingkat nasional (Lucas- Schloetter, 2004). Baru-baru ini konferensi umum UNESCO mengadopsi Konvensi tentang perlindungan dan promosi keanekaragaman ekspresi budaya, yang merupakan instrument hukum internasional yang mengikat untuk melindungi dan mempromosikan keanekaragaman ekspresi budaya) (Tay Pek San, Hanafi Hussin, Khaw Lake Tee, Mohd Anis Md Nor, Ramy Bulan. 2010: 148-149.

b. Definisi Folklor Pemakaian istilah folklore pada awalnya dipandang oleh sebagian orang memiliki konotasi negatif, menggambarkan sesuatu kreasi yang rendah. Guna menghilangkan citra negatif tersebut diperlukan suatu pengertian yang tepat. Maka dari itu, dikembangkan suatu pengertian folklore yang baru sebagai hasil elaborasi dan resultan dari beberapa pengertian yang berkembang sehingga pengertiannya dapat diterima luas dan pantas sesuai dengan maksudnya serta relevan dengan perjanjian internasional. Dengan harapan seperti itu maka folklore mengandung pengertian tidak semata terfokus pada hal artistik kesusasteraan serta seni pertunjukan, namun sangat luas cakupannya meliputi semua aspek kebudayaan. Salah satu definisi yang dapat memenuhi harapan seperti

(Michael Blakeney. http://www.oiprc.ox.ac.uk/EJWP1199.html):

“Folklore (in the broader sense, traditional and popular folk culture) is a group-oriented and tradition-based creation of groups or individuals reflecting the expectations or the community as an adequate axpression of its cultural and social identity; its standarts are transmitted orally, by imitation or by other means. Its forms include, among others, language, literature, music, dance, games, mythology, rituals customs handicrafts, architecture, and other arts.”

Terminologi folklore sendiri sebenarnya pernah dipisahkan dari pembicaraan mengenai tradisional knowledge oleh WIPO dan UNESCO, yaitu sebagai berikut :

“… expression of folklore means productions consisting of characteristic elements of the traditional artistic heritage developed and maintain by a community of (a country) or by individuals reflecting the traditional artistic expectations of such

a community, in particular r: verbal expressions, such as folk tales, folk poetry and riddles; musical expressions, such as folk songs and instrumental music; expressions by action, such asfolk dances, plays and artistic forms or rituals; whether or not reduced to material form; and tangible expressions, such as: productions of folk art, in particular, drawings, paintings carvings, sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork, metalware, jewellery, basket weaving, needlework, textiles, carpets, costumes; musical instruments; architectural forms”.

Penerapan dari pengertian yang luas seperti itu dicontohkan oleh Mould-Idrissu, dalam the World Forum on the Protection of Folklore, sebuah forum yang digagas WIPO dan UNESCO di Phuket Thailand pada April 1997. Beliau mencontohkan bahwa dalam Undang-undang Hak Cipta Ghana tahun 1985, dalam pengertian folklore termasuk di dalamnya pengetahuan sains.

c. Pengaturan Folklor di Indonesia Kata folklor merupakan pengIndonesiaan dari bahasa Inggris yaitu “folklore”, kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar yakni Folk dan Lore. Menurut Alan Dundes kata Folk artinya adalah sekelompok orang yang memiliki cirri-ciri fisik, social, c. Pengaturan Folklor di Indonesia Kata folklor merupakan pengIndonesiaan dari bahasa Inggris yaitu “folklore”, kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar yakni Folk dan Lore. Menurut Alan Dundes kata Folk artinya adalah sekelompok orang yang memiliki cirri-ciri fisik, social,

Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris-Indonesia, kata Lore artinya adat (kebiasaan/ tradisi) dan pengetahuan atau gambaran tradisi yang dimiliki oleh folk, jadi arti folklore menurut Alan Dundes adalah adat atau kebiasaan maupun tradisi dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu yang tinggal secara bersama-sama secara tutun temurun. Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, balai Pustaka, tahun 1990), “Folklore adalah adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun tetapi tidak dibukukan”

Jadi dapat disimpulkan dari kedua definisi tersebut folklore berarti adat (kebiasaan/ tradisi) yang dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri pengenal itu diantaranya baik berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan,dan agama yang sama yang diwariskan secara turun temurun tetapi tidak dibukukan.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Folklor merupakan:

“Sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk:

1) cerita rakyat, puisi rakyat;

2) lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional;

3) tari-tarian rakyat, permainan tradisional;

4) hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional”.

a. Definisi Instrumen Musik Tradisional Musik daerah atau musik tradisional adalah musik yang lahir dan berkembang di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Ciri khas pada jenis musik ini teletak pada isi lagu dan instrumen (alat musiknya). Hampir diseluruh wilayah Indonesia mempunyai seni musik tradisional yang khas. Keunikan tersebut bisa dilihat dari teknik permainannya, penyajiannya maupun bentuk/ organologi instrumen musiknya (Agnesalena .

http://tulisanbebas.blog.com/wp-includes/css/admin- bar.css?ver=20110411). Pengertian Instrumen berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:

1) alat yg dipakai untuk mengerjakan sesuatu (seperti alat yang dipakai oleh pekerja teknik, alat-alat kedokteran, optik, dan kimia); perkakas;

2) sarana penelitian (berupa seperangkat tes dan sebagainya) untuk

mengumpulkan data sbg bahan pengolahan;

3) alat-alat musik (seperti piano, biola, gitar, suling, trompet);

4) orang yang dipakai sebagai alat (diperalat) orang lain (pihak lain);

5) dokumen resmi seperti akta, surat obligasi (Anonim.

http://kamusbahasaindonesia.org/instrumen).

Dari pengertian instrumen tersebut nampak kata instrumen memiliki pengertian dalam berbagai hal dan bidang, sehingga penulis membatasi pengertian instrumen dalam penulisan hukum ini adalah instrumen sebagai alat-alat musik.

Pengertian musik adalah salah satu media ungkapan kesenian, musik mencerminkan kebudayaan masyarakat pendukungnya. Di dalam musik terkandung nilai dan norma-norma yang menjadi bagian dari proses enkulturasi budaya, baik dalam bentuk formal maupun informal. Musik itu sendiri memiliki bentuk yang khas, baik dari sudut struktual maupun jenisnya dalam kebudayaan. Demikian juga yang terjadi pada musik dalam kebudayaan masyarakat melayu.

Musik adalah: “ilmu atau seni menyusun nada atau suara diutarakan, kombinasi

dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai keseimbangan dan kesatuan, nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan (terutama yang dapat menghasilkan bunyi- bunyi itu)”.

Pengertian Musik Tradisional adalah musik yang mempunyai latar belakang budaya. musik tradisional adalah musik daerah, karena pada kenyataannya di dunia ini mempunyai banyak budaya dari berbagai daerah yang berbeda. Musik tradisional mengangkat budaya dari berbagai daerah tersebut sebagai tema, maka istilah musik tradisional lebih sering di sebut orang dengan musik daerah.

Menurut pendapat Julius (2009: 57) musik daerah atau musik tradisional adalah musik yang lahir dan berkembang di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Ciri khas pada jenis musik ini teletak pada isi lagu dan instrumen (alat musiknya). Musik tradisi memiliki karakteristik khas, yakni syair dan melodinya menggunakan bahasa dan gaya daerah setempat. Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari ribuan pulau yang terbentang dari Papua hingga Aceh. Dari sekian banyaknya pulau beserta dengan masyarakatnya tersebut lahir, tumbuh dan berkembang. Seni tradisi yang merupakan identitas, jati diri, media ekspresi dari masyarakat pendukungnya.

Pengertian tradisional berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun- temurun (Anonim. http://kamusbahasaindonesia.org/tradisional).

Penulis menyimpulkan bahwa pengertian Instrumen musik tradisional adalah suatu alat musik yang dibuat dengan tujuan untuk menghasilkan musik atau suara yang bersumber dari tradisi/ kebudayaan masyarakat setempat.

1) Instrumen Musik Perkusi

Perkusi adalah sebutan bagi semua instrumen musik yang teknik permainannya di pukul, baik menggunakan tangan maupun stik. Dalam hal ini beberapa instrumen musik yang tergolong dalam alat musik perkusi adalah, Gamelan, Arumba, Kendang, kolintang, tifa, talempong, rebana, bedug, jimbe dan lain sebagainya.

2) Instrumen Musik Petik

Instrumen musik petik menghasilkan suara ketika senar digetarkan melalui dipetik. Tinggi rendah nada dihasilkan dari panjang pendeknya dawai. Sebagai contoh Kecapi adalah alat musik petik yang berasal dari daerah Jawa Barat. Bentuk organologi kecapi adalah sebuah kotak kayu yang diatasnya berjajar dawai/senar, kotak kayu tersebut berguna sebagai resonatornya. Alat musik yang menyerupai Kecapi adalah siter dari daerah Jawa tengah.

3) Instrumen Musik Gesek

Instrumen musik gesek menghasilkan suara ketika dawai digesek. Seperti alat musik petik, tinggi rendah nada tergantung panjang dan pendek dawai. Instrumen musik tradisional yang menggunakan teknik permainan digesek adalah Rebab. Rebab berasal dari daerah Jawa barat, Jawa Tengah, Jakarta (kesenian betawi). Rebab terbuat dari bahan kayu dan resonatornya ditutup dengan kulit tipis, mempunyai dua buah senar/dawai dan mempunyai tangga nada pentatonis. Instrumen musik tradisional lainnya yang mempunyai bentuk seperti rebab adalah Ohyan yang resonatornya terbuat dari tempurung kelapa, rebab jenis ini dapat dijumpai di bali, Jawa dan kalimantan selatan.

4) Instrumen Musik Tiup

Instrumen musik tiup menghasilkan suara sewaktu suatu kolom udara didalamnya digetarkan. Tinggi rendah nada ditentukan oleh frekuensi gelombang yang dihasilkan terkait dengan panjang Instrumen musik tiup menghasilkan suara sewaktu suatu kolom udara didalamnya digetarkan. Tinggi rendah nada ditentukan oleh frekuensi gelombang yang dihasilkan terkait dengan panjang

5) Instrumen Musik Getar

Instrumen Musik getar adalah instrumen musik di mana cara memainkan dengan cara menggetarkan atau menggoyangkan alat musik tersebut sehingga menimbulkan suara atau bunyi. Sebagai contoh instrumen musik ini adalah Angklung.